Dosen Pengampu
3. Melaningsih 24185600A
B. DASAR TEORI
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia
dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati
adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang dimaksud
eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari
tanamannya.
Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan
digunakan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan
(Materia Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung
dikonsumsi (serbuk jamu dsb.) masih harus memenuhi persyaratan produk
kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku. (Depkes RI, 2017). Pada
umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan sebagai berikut:
Pengumpulan bahan baku : kualitas bahan baku simplisia sangat
dipengaruhi beberapa faktor, seperti : umur tumbuhan atau bagian
tumbuhan pada waktu panen, bagian tumbuhan, waktu panen dan
lingkungan tempat tumbuh
Sortasi basah : Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran
atau bahan asing lainnya setelah dilakukan pencucian dan perajangan.
Pencucian: dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya
yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih.
Perajangan
Pengeringan : mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga
dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar
air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau
perusakan simplisia.
Sortasi kering : tujuannya untuk memisahkan benda-benda asing seperti
bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran
lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering.
Pengepakan
Penyimpanan dan pemeriksaan mutu (Depkes, 2017).
(Cuci dengan air mengalir, sampai semua pengotor seperti tanah, dan hama hilang)
(Buang akar dan potong menjadi beberapa bagian)
(Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven dengan suhu <60 O C atau di jemur dibawah sinar
matahari, sampai simplisia kering. Setelah kering kemudian di ayak dengan pengayak no 60 (FHI) dan
dihitung rendemen serbuk)
Penyarian/Ekstraksi
3. Pembuatan ekstrak daun sirih
(Dikeringkan menggunakan oven dengan suhu <60 o C)
E. HASIL/DATA
1. Pare
Bobot serbuk
¿ ×100 %
Bobot simplisiakering
1000 g
¿ ×100 %=83,33 % b /b
1200 g
2. Herba meniran
Bobot serbuk
¿ ×100 %
Bobot simplisiakering
2050 g
¿ ×100 %=89,13 % b /b
2300 g
3. Daun sirih
Bobot serbuk
¿ ×100 %
Bobot simplisiakering
500 g
¿ ×100 %=83,33 % b /b
600 g
F. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini melakukan pembuatan ekstrak dari simplisia tanaman meniran, pare,
dan sirih. Tujuan dari praktikum ini yaitu dapat memahami prinsip dalam pembuatan simplisia.
Praktikum kali ini dilakukan dengan menggunakan beberapa alat dan bahan. Alat yang digunakan
yaitu timbangan, oven, wadah kaca, pisau, talenan, rotary evaporator, nampan, ayakan, corong kaca,
kertas saring, kain flannel, lap, dan beaker glass, sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum
ini yaitu buah pare, herba meniran, daun sirih, etanol 96%, dan air atau aquadest.
Prosedur pada praktikum ini, pertama melakukan pengumpulan bahan bakunya yaitu buah
pare, herba meniran, dan daun sirih. Tahap kedua yaitu dilakukan sortasi basah, pada tahap ini untuk
meniran dilakukan pemisahan antara tanaman dengan akarnya, untuk daun sirih dipilih daun yang
segar dan tidak kering. Proses selanjutnya yaitu dilakukan pencucian terhadap air mengalir, dengan
tujuan untuk menghilangkan kotoran, jamur, dan kapang yang menempel pada simplisia. Tahap
selanjutnya dilakukan perajangan simplisia, pada tahap ini perajangan dilakukan dengan ketebalan
yang sesuai dengan simplisia yang digunakan dengan tujuan untuk mempercepat proses
pengeringanya. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu dengan menggunakan
oven yang pada suhu 60oC, kemudian untuk cara kedua yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar
matahari secara langsung tetapi ditutupi dengan kain hitam. Tahap selanjutnya yaitu sortasi kering dan
penyerbukan menggunakan metode grinding, serbuk yang dihasilkan kemudian diayak dengan ayakan
no.60 untuk daun sirih dan herba meniran, kemudian ayakan no.40 untuk buah pare, tahap ini
bertujuan untuk memberikan derajat kehalusan yang seragam. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan
ekstraksi dengan metode maserasi dan menggunakan pelarut etanol sebanyak 1:10 bagian, masukkan
serbuk kedalam botol kaca coklat dan ditambahkan dengan pelarut kemudian dibiarkan 1-2 hari, dan
setelah 1-2 hari disaring dengan menggunakan kain flanel maupun kertas saring. Filtrat yang diperoleh
dari penyarian tersebut kemudian diuapkan atau dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu
50oC dan putaran kecepatan 50 rpm hingga diperoleh ekstrak kental. Prinsip rotary evaporator yaitu
menguapkan pelarut dengan merotasikan atau memutar labu sebagai wadah filtrat untuk memperoleh
endapan ekstrak (Pranoto, 2012). Ekstrak kental kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven
pada suhu 60oC, selanjutnya dilakukan pengujian sterilisasi untuk dijadikan produk sediaan farmasi.
Hasil data randemen herba meniran antara lain rendemen berat basah terhadap berat kering
didapat hasil sebesar 57,79 %; randemen serbuk terhadap berat kering sebesar 61,40 %; dan randemen
ekstrak sebesar 13,658 %. Dalam literatur Farmakope Herbal Indonesia, rendemen ekstrak herba
meniran tidak kurang dari 19 %. Jadi, randemen ekstrak yang didapat tidak memenuhi persyaratan, hal
ini kemungkinan dikarenakan proses penguapan pada sampel yang terlalu lama sehingga ekstrak yang
didapat sedikit sekali.
Hasil data randemen daun sirih antara lain randemen berat basah terhadap berat kering didapat
hasil sebesar 26,56 %; randemen serbuk terhadap berat daun kering sebesar 55,55 %; dan randemen
ekstrak sebesar 11,902 %. Dalam literatur Farmakope Herbal Indonesia, rendemen ekstrak daun sirih
tidak kurang dari 5 %. Hasil rendemen ekstrak daun sirih yang diperoleh memenuhi persyaratan.
Hasil data randemen pare antara lain randemen berat basah terhadap berat kering sebesar 3,53
%; randemen serbuk terhadap berat daun kering sebesar 88,14 %; dan randemen ekstrak sebesar
97,76%. Dalam literatur, rendemen ekstrak pare tidak kurang dari 17,9 % (Depkes RI, 2006).
Berdasarkan perhitungan rendemen ekstrak buah pare menunjukkan bahwa rendemen buah pare
memenuhi syarat.
G. KESIMPULAN
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa randemen ekstrak meniran sebesar 13,66%.
Dalam literatur Farmakope Herbal Indonesia, rendemen ekstrak meniran tidak kurang dari 19%. Jadi,
randemen ekstrak yang didapat tidak sesuai dengan literatur yang ada. randemen ekstrak daun sirih
sebesar 11,92%. Hasil rendemen ekstrak yang diperoleh memenuhi persyaratan Farmakope Herbal
Indonesia dengan total rendemen ekstrak daun sirih lebih dari 5%. randemen ekstrak buah pare
sebesar 97,74%. Berdasarkan perhitungan rendemen ekstrak buah pare menunjukkan bahwa rendemen
buah pare memenuhi syarat karena tidak kurang dari 17,9%.
DAFTAR PUSTAKA
Ariolla, Nicholas de. 2011. Chanca Piedra (Phyllanthus niruri L.). Laboratoriosfitofarma, Lima.
Damayanti R, Mulyono. 2005. Khasiat dan Manfaat Daun Sirih : Obat Nujarab dari Masa ke Masa.
Jakarta : Agro Media Pustaka.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Farmakope Herbal Indonesia Edisi Kedua. Depkes
RI, Jakarta. Halaman 444-448
Hariana,Arief.2005,”Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri Ke 2”,
Penebar swadaya : Jakarta
Patel, Jay Ram dkk., 2011. “Phyllanthus amarus: Ethnomedicinal uses, phytochemistry and
pharmacology: A review” Journal of Ethnopharmacology 138. Elsevier, Ireland.
LAMPIRAN
JUDUL JURNAL
Alamat url : gunakan jurnal yang terkait dengan contoh sampel/simplisia kel anda