Anda di halaman 1dari 13

https://doi.org /10.36869/pjhpish.v6i2.

139

MAKNA SIMBOL PAKAIAN ADAT PERKAWINAN BUTON


PADA GOLONGAN KAOMU DAN GOLONGAN WALAKA
DI KOTA BAUBAU: KAJIAN SEMIOTIK

SYMBOL MEANING OF TRADITIONAL CLOTHES OF BUTON MARRIAGE


AT THE KAOMU AND THE WALAKA GROUP IN BAUBAU CITY: A SEMIOTIC
STUDY
Abdul Asis1; Herianah2
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan1; Balai Bahasa Prov. Sulawesi Selatan2
Jalan Sultan Alauddin Km 7 Tala Salapang Makassar
Email: asisabdul72@gmail.com/herianah606@gmail.com
Naskah diterima 28-04-2020 Naskah direvisi 28-10-2020 Naskah disetujui 17-11-2020

ABSTRACT
The study aims to convey the symbolic meaning in traditional clothes of Buton marriage at the Kaomu
and Walaka group. In addition, to describe the difference in using traditional clothes, accessories
through semiotic study. The method used in this study was descriptive qualitative with conducting
observation, interview, and literature study methods. The results show that the meaning of traditional
clothes of the Butonese in their use is closely related to the community’s social stratification and
implied in certain symbols. The grooms’ clothes are called Balahada, while the clothes for the bridge
are called a combo. These clothes have full meaning and symbols. The traditional garments have
their characteristics and add to the national culture wealth.

Keywords: meaning, symbols, traditional clothes, the Butonese

ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui makna simbol yang terkandung dalam pakaian adat
perkawinan masyarakat Buton golongan Kaomu dan golongan Walak. Selain itu, untuk mengetahui
perbedaan dalam penggunaan aksesoris pakaian adat tersebut melalui kajian semiotik. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode
pengamatan, wawancara, dan studi pustaka. Hasil pembahasan menunjukkan, bahwa makna pakaian
adat perkawinan orang Buton dalam penggunaannya berkaitan erat dengan stratifikasi sosial yang
ada di masyarakat dan tersirat melalui simbol-simbol tertentu. Pada pakaian pengantin laki-laki
balahadada, sedangkan pakaian pengantin perempuan baju kombo, yang sarat dengan makna dan
simbol. Pakaian adat ini memiliki kekhasan tersendiri dan menambah kekayaan budaya nasional.

Kata kunci: makna, simbol, pakaian adat tradisional, suku Buton

PENDAHULUAN untuk saling memahami. Hal ini sejalan


Dalam berkomunikasi peranan bahasa dengan pendapat (Kustyarini, 2017:46) yang
sangatlah penting, baik dalam berkomuikasi mengatakan bahwa bahasa merupakan tombak
verbal maupun nonverbal. Manusia dalam dalam berkomunikasi, yang selalu mengalami
berkomunikasi satu sama lain tentu saja ingin perkembagan sesuai dengan tuntutan zaman.
menyampaikan pesan agar apa yang ingin Bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi
disampaikan terlaksana dengan baik. Pesan itu melainkan pesan yang merupakan sebuah tanda.
sendiri dalam berkomunikasi menggunakan Pesan yang merupakan sistem tanda inilah yang
tanda berupa kata-kata maupun gerakan disebut semiotika. Semiotika memuat berbagai

254
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

macam makna sesuai dengan konteksnya. hanya segelintir orang saja yang mengetahuinya.
Dalam ilmu bahasa, istilah semiotik Eksistensi sebuah pakaian tradisional
bermakna tanda, sedangkan istilah Yunani yaitu seperti halnya pakaian perkawinan adat Buton
semeion. Tentu saja dalam berkomunikasi, diwujudkan sebagai bentuk kebudayaan
keberadaan tanda sangatlah berarti dalam yang sangat penting sebagai salah satu
menyampaikan pesan. Ilmu semiotika selalu warisan budaya. Selain itu, warisan budaya
berkembang sesuai dengan zamannya. Terdapat ini dalam perkembangannya, pakaian adat
tiga aliran dalam perkembangannya, yaitu dalam perkawinan selalu berkembang sesuai
aliran semiotika komunikasti, komunikatif, dan tuntutan zaman dengan masyarakat yang
ekspansif. Dalam berkomunikasi tidak dapat dinamis. Eksistensi keberadaan pakaian adat
dipungkiri pentingnya memahami semiotika ini dalam sebuah komunitas masyarakat masih
sebagai salah satu studi tentang sign ‘tanda’ sangat penting untuk dipertahankan sebagai
dan meaning ‘makna’. Sebuah pemaknaan upaya pelestarian budaya agar generasi muda
pesan tidak hanya melalui ujaran tetapi juga yang akan datang tidak kehilangan identitas
melalui tanda pada benda, misalnya tanda alam, tetapi bangga akan warisan budaya yang
tanda-tanda warna pada benda. demikian pula didapatkannya. Dengan demikian, tumbuh rasa
dengan tanda pada pakaian atau perhiasan yang cinta dan pentingnya budaya daerah seperti
dipakai oleh seseorang. pakaian adat yang di dalamnya terdapat simbol-
Dalam penggunaan semotika pada simbol budaya yang sarat makna.
benda seperti pakaian, bentuk, dan corak dapat Pakaian adat merupakan pakaian
dimaksudkan sebagai ‘teks’. Berdasarkan tradisional yang digunakan oleh masyarakat
ilmu semiotika, sebuah corak pakaian dapat secara berkesinambungan dari generasi ke
juga dianggap sebagai “teks”. Mengapa, generasi. Pakaian adat tersebut merupakan
karena teks tersebut mampu membawa pesan. kebanggaan identitas yang mendukung
Untuk mengetahui semiotika yg mengandung kebudayaan sehingga menjadi identitas yang
teks terdapat semiotika jenis arsitekur yg di perlu dipertahankan. Kelengkapan dari pakaian
dalamnya terdapat (signifier) atau pemberi adat tersebut sangat beragam dengan adanya
tanda yang mempunyai fungsi nyata. aksesori lengkap yang menambah keindahan
Sedangkan istilah indeks mempunyai makna sebagai busana tradisonal, Chalik (dalam
sehingga terdapat hubungan antara penanda Melamba, 2012:196). Demikian pula dengan
(signifier) dan petanda signified. Adapun pendukung masyarakat Buton, arti pakaian
bagian dari semiotika dikenal pula istilah ikon adat taradisional sangat penting. Pakaian adat
yang menyertakan adanya objek yang diwakili ini merupakan kebanggan masyarakat Buton
karena adanya kesamaan dengan benda yang karena di dalamnya mempunyai berbagai makna
dimaksud. Lain halnya dengan istilah simbol khusus dengan adanya ciri-ciri yang melekat.
yang terwujud karena adanya kesepakatan pada Tanda yang merupakan ciri khusus tersebut
orang. Dengan demikian terdapat hubungan dapat dilihat dari warna busana, aksesori yang
antara simbol, tanda, dan makna (Dharma, dikenakan dengan jumlah tertentu. Namun,
2016). Dengan adanya ilmu semiotika, fungsi tentu saja ada perbedaan dalam pemakaiannya
dan makna suatu benda, seperti pakaian dapat karena menunjukkan adanya stratifikasi
diketahui berbagai hal terkait dengan simbol sosial dalam masyarakat. Pakaian tidak asal
yang terdapat pada pakaian tradisional tersebut dipakai oleh pendukung masyarakat Buton,
sehingga dapat menambah kekayaan budaya tetapi harus memperhatikan aturan yang mesti
nasional. dijalani karena sudah menjadi konvensi dalam
Dalam tulisan ini eksistensi pakaian masyarakat.
adat Buton tidak hanya sekadar pakaian tetapi Keberagaman bentuk dan ragam
mempunyai makna dan simbol yang mendalam, pakaian adat Buton tidak dapat dilepaskan
khususnya pakaian adat golongan Kaomu dan dari keberagaman latar belakang sosial budaya
golongan Walaka. Namun demikian, makna masyarakat Buton khususnya para pendiri
pakaian pernikahan adat Buton baik aksesoris Kerajaan Buton yang juga mencerminkan sistem
maupun kelengkapan-kelengkapan lainnya golongan sosial dalam masyarakat Buton.

255
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

Dikatakan bahwa Kerajaan Buton didirikan dilakukan menyesuaikan dengan pakaian


oleh sekelompok orang yang berasal dari latar yang digunakan lapisan masyarakat tersebut.
belakang suku dan etnis yang berbeda, yaitu Dalam penggunaan pakaian adat tradisional
Dungkusangia yang berasal dari Tiongkok- tersebut, penggunaan tidak sembarangan, baik
Mongol, Mia Patamiana dari Melayu, Wa yang digunakan oleh kaum bangsawan Buton
Kaa Kaa dari Jawa Mongol dan Sibatana dari seperti sultan, maupun pejabat kerajaan, atau
Jawa (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota tokoh-tokoh yang dianggap penting dalam
Baubau, 2019:10). masyarakat. Pakaian mencerminkan stratifikasi
Pakaian pengantin mempelai bangsawan sosial masyarakat sehingga penggunaannya
yang terdapat di Wolio hingga sekarang ini sesuai dengan aturan yang berlaku.
merupakan gambaran pakaian pengantin Ratu Menurut adat dan kebiasaan
Wa Kaa Kaa dengan bangsawan asal Kerajaan masyarakat Buton, pakaian adat itu tentu
Majapahit bernama Sibatara. Proses perkawinan saja mempunyai fungsi dan memiliki
tersebut dipimpin langsung oleh Betoambari perbedaan dalam pemakaiannya. Dalam
selaku Bontona Bhaaluwu dan Sangariarana masyarakat Buton, seseorang akan mudah
selaku Bontona Peropa yang disaksikan oleh dikenali identitasnya hanya dengan melihat
Si Jawangkati selaku Bontona Bharangkatopa pakaian yang dikenakannya, baik dari jenis
dan Si Tamanajo selaku Bontona Gundu- bahan, warna pakaian, jumlah maupun
Gundu. Sebaliknya pakaian adat pengantin yang bentuk aksesorinya. Oleh karena pakaian
dipakai oleh golongan Walaka dimungkinkan adat tradisional, mempunyai fungsi dan
sebagai gambaran pakaian yang digunakan makna dalam menentukan identitas sosial
Betoambari saat menikah dengan putri Raja pemakaianya sehingga pakaian tradisional ini
Kamaru bernama Wa Guntu. Bentuk pakaian sangat dipertahankan dalam masyarakat Buton.
ini juga merupakan gambaran pakaian yang Dengan demikian, dikatakan bahwa pakaian
digunakan oleh si Pajonga saat menikah adat dengan simbol dan makna di dalamnya
dengan adil si Malui yang bernama Si Banaa. perlu untuk dilestarikan dan diketahui oleh
Sementara pakaian yang digunakan oleh kaum generasi muda berikutnya.
Papara atau masyarakat umum yang terdapat Sehubungan dengan penggunaan pakaian
dalam lingkungan kerajaan adalah meniru- tradiosional yang sarat akan simbol, penulis
meniru pakaian pengantin bangsawan (Kaomu) sangat berkepentingan untuk membahas
dan Walaka atau kombinasi keduanya namun pakaian tradisonal Buton yang dibatasi pada
tidak selengkap pakaian golongan Kaomo dan pakaian adat yang dikenakan oleh masyarakat
Walaka (Zahari, 1981). golongan Kaomu dan Walaka. Berdasarkan
Menurut (Chalik, et al.,1992/1993:2) latar belakang tersebut, rumusan masalah
pakaian adat tradisional daerah di nusantara tulisan ini, yaitu bagaimanakah makna simbol
adalah kostum yang mencirikan atau pakaian pengantin adat Buton pada masyarakat
mengekspresikan suatu kebanggaan nasional golongan Kaomu dan Walaka di Kota Baubau.
atau jati diri kedaerahan dan merupakan Adapun tujuannya adalah mendeskripsikan
salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh dan makna simbol pakaian adat pengantin Buton
berkembang sesuai dengan pertumbuhan suatu pada masyarakat golongan Kaomu dan
suku bangsa. Pada kenyataannya dalam pakai golongan Walaka di Kota Baubau. Manfaat
adat tradisional memiliki fungsi dan simbol- tulisan ini agar masyarakat mengetahui bahwa
simbol budaya. Namun seiring berjalannya pakaian adat Buton ini bukan sekadar pakaian
waktu, simbol-simbol tersebut tidak banyak melainkan ada makna dan simbol di dalamnya.
diketahui, terutama generasi milenial. Diharapkan pula agar pakaian adat sebagai
Penggunaan pakaian tradisional adat identitas lokal diketahui dan dicintai generasi
Buton tidak dapat dipisahkan dari strata sosial muda sehingga kebudayaan daerah ini dapat
dan sistem adat yang berlaku dalam masyarakat. menambah kekayaan budaya nasional.
Hal ini berhubungan dengan lapisan
masyarakat yang masih mempertahankan Konsep Makna Simbol dan Semiotik
kebudayaan sehingga berbagai kegiatan yang Semiotik merupakan suatu ilmu bahasa

256
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

yang berhubungan dengan sistem tanda. Sebuah mempunyai bagian ilmu tersendiri. Lebih jauh
tanda dapat ditemui di mana-mana sebagai diungkapkan bahwa makna adalah hubungan
tanda pesan. Hal ini dapat dilihat di lingkungan antara nama dengan pengertiannya (Pateda,
kita berada. Namun, tanda itu bermakna apabila 2010:79 &82). Adapun pengertian makna
ada konvensi atau kesepakatan masyarakat dalam KBBI daring diungkapkan sebagai suatu
tentang segala petunjuk. Misalnya dalam arti yang dimaksudkan oleh si pembicara atau
berkomunikasi, bahasa isyarat tidak digunakan penulis.
begitu saja, misalnya gerakan tangan di depan Simbol dalam bahasa Yunani sumballo
mulut, sebagai tanda stop berbicara, mata yang atau (sumballein) mempunyai arti sebagai
melotot artinya marah dan sebagainya. Begitu tanda. Dalam hal ini, pesan atau ciri yang
pula bila seorang polisi mengatur lalu lintas, yang bersifat menyampaikan sesuatu kepada
sebagai isyarat, juga dengan seseorang yang orang lain. Adapun bentuk simbol itu sendiri
betugas mengatur posisi pesawat yang telah menyatukan dua subjek yang berbeda menjadi
mendarat. Semua itu merupakan tanda yang satu. (Dibyasuharda, 1990:11). Dalam KBBI
mempunyai makna dan disepakati secara daring dijelaskan simbol yang berarti lambang.
konvensi. Zoest (dalam Kaelan, 2009:162). Selain itu, terdapat definisi yang dipopulerkan
Tokoh yang berperan dalam perkembangan oleh oleh A.N. Whitehed dalam bukunya
ilmu semiotik, yaitu Saussure dan Pierce. Symbolism, ia menulis simbol sebagai berikut:
Dalam perkembangan semiotik, Pierce terkenal “Pikiran manusia berfungsi secara
dengan paham filsafat pragmatism dan logika simbolis apabila beberapa komponen
di mana dalam konsepnya dilandasi oleh pengalamannya menggugah kesadaran,
dasar-dasar pragmatik. Adapun Saussure yang kepercayaan, perasaan dan gambaran
dikenal sebagai pelopor linguistik modern mengenai komponen-komponen lain
menggunakan istilah semiologi, istilah yang pengalamannya. Perangkat komponen-
berbeda dengan Pierce. Meskipun berbeda komponen lainnya adalah “simbol‟ dan
dalam hal istilah, namun pada dasarnya sama, perangkat komponen yang kemudian
yaitu keduanya pelopor dalam pengenalan membentuk “makna‟ dan “ simbol”.
sistem tanda. (Kaelan, 2009:165). Pada
dasarnya, semiotik mempelajari tentang tanda Sejauh menyangkut definisi kamus,
yang berhubungan dengan pemaknaan yang rupanya ada kesepakatan umum bahwa
tersirat di dalamnya. Oleh karena itu, sistem dalam sebuah istilah simbol sebenarnya tidak
tanda ini perlu dipelajari agar makna yang didefiniskan sebagai hal yang mempunyai
didapatkan berguna dan bermanfaat dalam kemiripan yang sama persis dan setepat-
berkomunikasi. tepatnya. Simbol berfungsi sebagai perangsang
Berbicara mengenai makna dan benda daya imajinasi seseorang dalam menggunakan
saling terkait satu sama lain. Makna itu sendiri berbagai hal di antaranya adanya daya sugesti,
apabila terkait dengan suatu benda, maka juga daya imajinasi, dan relasi seseorang. (Dillistone,
terkait dengan penamaan dari benda tersebut 2002:20). Berdasarkan hal ini, Dillistone dalam
sehingga antara keduanya saling menyatu. bukunya yang berjudul The Power of Symbols
Makna juga dapat terkait dengan suatu memberikan pandangan tentang simbol,
perkataan, apabila kata tak bermakna maka pertama simbol sebagai suatu objek yang nyata;
orang tidak dapat menjelaskan suatu peristiwa kedua simbol sebagai suatu syarat yang merujuk
atau keadaan. Oleh karena itu, makna yang pada suatu objek tertentu yang bersesuaian.
dijabarkan dengan kata-kata harus terkait agar Berdasarkan beberapa pendapat tentang simbol
tidak menimbulkan kesalahtafsiran. ( Danesi, dikatakan bahwa simbol itu selalu ada dan tak
2012:9). dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia
Makna sering menimbulkan penafsiran dalam melaksanakan aktivitasnya. Simbol ada
tersendiri sehingga kadang membingungkan. dalam tingkah laku manusia dalam berbudaya.
Makna itu sendiri termasuk dalam tataran Setelah mengetahui pengertian tentang simbol
ilmu di bidang kebahasaan yang di dalamnya disimpulkan bahwa simbol merupakan suatu
tersusun konsep tersendiri sehingga makna alat yang dapat memperluas wawasan daya

257
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

imajinasi yang luas dan penglihatan yang lebih Dalam berpakaian, tentu saja memberikan
fokus serta pemahaman yang lebih dalam. dampak bagi pemakainya karena berpakaian
Demikian pula dalam masyarakat Buton, pun harus sesuai dengan kepribadian
dalam mempertahankan kebudayaannya, seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat
utamanya dalam pemakaian pakaian tradisional Jalins (1990:6) bahwa kepribadian seseorang
tidak terlepas dari simbol-simbol yang berlaku sangat berpengaruh dalam penampilan
dalam masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini, cara berpakaian. Sementara pendapat yang
penggunaan simbol dalam pakaian adat Buton dikemukakan oleh Koten (1991:2) mengatakan
yang menyangkut penggunaan tata rias, busana, bahwa ciri pengenal masyarakat dilihat dari
dan aksesori yang dipakai. Pakaian tersebut pakaian adat yang dikenakan. Di samping
bukan hanya sekadar dipakai melainkan sarat pakaian adat sebagai identitas kebanggan
makna dan prinsip hidup masyarakat terutama masyarakat pakaian adat juga mempunyai
pada etnis Buton di Sulawesi Tenggara. fungsi dan makna tersendiri.
Dari berbagai pendapat di atas, pada
Pakaian Adat dan Kebudayaan dasarnya pakaian adalah bagian dari sandang
Pada dasarnya manusia senang melihat yang tentu saja menjadi kebutuhan primer
manusia atau orang yang berpenampilan dalam kebudayaan manusia. Bukan hanya
menarik, serasi dan tahu memadukan warna pangan atau makanan yang dibutuhkan,
agar terlihat sepadan karena berbusana tidak melainkan pakaian ini wajib dikenakan pada
dapat dilepaskan dari estetika serta paham semua kesempatan karena manusia merupakan
dalam penerapan nilai-nilai estetika di dalam bagian dari lingkungan dalam melangsungkan
berbusana. Pendekatan estetik menurut Sachari kehidupannya dalam berbudaya. Dalam
(2005: 119) pada dasarnya dapat dilaksanakan perkembangannya, pakaian itu digunakan
menurut dua sisi. Pertama melalui filsafat seni sesuai dengan situasi dan kondisi baik laki-laki
dan kedua dengan melaksanakan pendekatan maupun perempuan, anak-anak orang dewasa
kritik seni. Pendekatan filsafat seni, beberapa dan sebagainya. Pakaian terdiri atas berbagai
objek yang dapat diketahui desainnya dengan corak dan model sesuiai yang diinginkan. Hal
melihat objek tersebut yang mengandung ini juga berhubungan dengan kebutuhan religius
makna simbolik, sosial, budaya dan keindahan, atau agama. Dalam agama Islam misalnya
dan sebagainya. Sedangkan pendekatan dengan dikenal pakaian syar’i yang menutup aurat
kritik seni, objeknya mengandung hal yang perempuan. Demikian pula, jika seorang dalam
kritis seperti adanya permainan gaya, inovasi keadaan berolahraga tentu saja menyesuaikan.
dalam berkarya yang menimbulkan efek dalam Demikian halnya jika situasi pernikahan,
masyarakat. orang menggunakan pakaian tradisional sesuai
Pakaian adat merupakan salah satu unsur dengan etnis masing-masing.
kebudayaan yang mengandung nilai-nilai dan Terkait dengan pakaian tradisional
memegang peranan penting dalam berbagai sebagai salah satu pakaian yang digunakan
kegiatan upacara atau ritual. Pakaian adat dalam kebudayaan manusia melangsungkan
mencirikan tingkatan budaya masyarakat di budaya yang sudah ada secara turun temurun,
wilayah tertentu. Pakaian adat kurang praktis maka pakaian adat ini pun tentu saja harus
untuk digunakan sehari-hari. Pakaian adat dilestarikan, walaupun dalam perkembanganya
tersebut lebih cocok digunakan untuk perayaan mengalami berbagai modifikasi atau corak
hari-hari nasional maupun upacara upacara sesuai dengan kebutuhan. Pakaian adat ini
tradisional. Menurut Soekanto bahwa “… dalam suatu komunitas adat mesti digunakan
dalam era kekinian orang-orang Indonesia pada dalam berbagai upacara, sebagai lambang
umumnya memakai pakaian yang bercorak identitas, kebanggaan, ciri etnis, dan kekayaan
Barat,….. karena dianggap lebih praktis. budaya setempat. Dalam pakaian adat pun
Pakaian adat tradisional hanya dikenakan pada tidak dipakai begitu saja, tetapi ada aturan atau
kesempatan-kesempatan tertentu”. (Soekanto, norma yang mesti ditaati dan menjadi konvensi.
2007:250). Misalnya pemilihan pakaian corak dan aksesori
yang mana khusus bangsawan dan yang mana

258
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

untuk orang biasa. Semua itu perlu dilestarikan masyaraka yang secara menyeluruh dan
untuk keberlangsungan budaya daerah dan berada pada tataran lebih tinggi sesuai
memperkaya kebudayaan nasional. dengan keinginannya. Pengertian lain tentang
Menurut pakar antropologi, yaitu kebudayaan juga dikemukakan oleh Selo
Koentjaraningrat (1993:9) bahwa kata Soemardjan dan Soeleman Soemardi (dalam
kebudayaan itu sendiri berawal dari bahasa Ranjabar, 2006:21) bahwa seluruh aktivitas
Sansekerta buddhayah yang diartikan ‘budi manusia yang merupakan pengejawantahan
atau akal.’ Kebudayaan adalah suatu hal dari karya ciptanya sendiri digunakan dalam
yang menjadi wujud budi dan akal manusia. keberlangsungan hidup dalam masyarakat.
Selain itu, kebudayaan juga diartikan sebagai Hasil karya tersebut seiring dengan
perkembangan majemuk dari budi dan daya. perkembangan zaman dan perkembangan
Artinya ada kekuatan daya dari budi yang teknologi yang semakin pesat sehingga
berupa kekuatan dari akal manusia. Selanjutnya, manusia dapat menguasai alam sekitarnya dan
beliau juga mengatakan bahwa dalam unsur menjadi kebutuhan masyarakat sesuai dengan
kebudayaan terdapat tiga wujud, yaitu adanya kepentingannya.
ide gagasan serta nilai-nilai atau norma-norma Berdasarkan beberapa konsep
yang menjadi aturan dan konvensi dalam kebudayaan di atas pada dasarnya sama, yaitu
masyarakat pendukung, adanya suatu aktivitas adanya cipta karya dan karsa manusia dalam
manusa dalam suatu komunitas, dan adanya mempertahankan hidupnya. Kebudayaan
hasil karya manusia yang berwujud benda yang sampai saat ini merupakan konsep
yang digunakan dalam berbagai aktivitas hidup yang masih sesuai dengan situasi dan kondisi
manusia. (Koentjaraningrat, 1993:5) manusia dalam kelangsungan hidupnya. Dalam
Konsep kebudayaan selanjutnya menurut perkembangan zaman sesuai dengan akal budi
Geertz dalam bukunya “Mojokuto; Dinamika manusia, adanya perkembangan teknologi
Sosial Sebuah Kota di Jawa”, bahwa budaya yang kian canggih sehingga manusia mau tidak
didefinisikan sebagai suatu manifestasi individu mau menyesuaikan diri dengan perkembangan
dalam mewujudkan hasratnya, memberikan tersebut sehingga mampu bertahan dalam
penilaian melalui makna dan simbol yang telah kelangsungan hidupnya.
tersusun secara baik dalam melangsungkan
kehidupannya. Dalam bentuk secara simbolik, METODE
manusia dapat berkomunikasi, mengembangkan Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif
pengetahuan melalui transmisi konsep suatu dengan capaian data yang diharapkan mencakup
makna secara sinkronis. Budaya merupakan sistem kognitif masyarakat pendukung
sistem simbolik yang seharusnya diterjemahkan kebudayaan Buton. Objek penelitian adalah
dengan baik agar tidak terjadi salah persepsi pakaian adat pengantin Buton pada golongan
dan tidak menimbulkan kegaduhan dalam bangsawan (Kaomu) dan orang biasa (Walaka).
masyarakat. (Tasmuji, dkk, 2011:154). Penelitian dilakukan di Kota Baubau pada
Lain halnya dengan antropolog Inggris tahun 2016. Metode penelitian kualitatif
Edward B. Taylor 1832—1917. Beliau menurut Bogdan dan Taylor dalam (Moleong,
memberikan konsep kultur sebagai bagian 2011:3) adalah penelitian yang kualitatif yang
budaya yang merupakan segala hal komplek outpunya berupa data deskriptif yang dapat
termasuk di dalamnya pengetahuan, keyakinan, berupa data secara tulis dan tidak tertulis
unsur seni, dan moral hukum yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan peneliti. Metode
oleh anggota masyarakat yang sudah menjadi yang bersifat objektif ini mengungkap data apa
kebiasaan dalam kehidupannya. (Haviland, adanya sesuai dengan perilaku yang diamati
1995:332). tanpa rekayasa peneliti. Penelitian kualitatif
Konsep tentang kebudayaan memang menurut Rianse dan Abdi (2009:9) adalah
bervariasi namun pada dasarnya sama. penelitian yang dilakukan secara intensif
Ralph Linton (dalam Tasmuji, 2011:151) dan mendalam bergantung dengan apa yang
mengemukakan pandangannya bahwa dijadikan objek penelitian. Sementara menurut
kebudayaan adalah tata cara kehidupan

259
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

Sugiyono (2017) penelitian dsekriptif adalah adat berbeda-beda tiap daerah dan merupakan
penelitian yang natural penelitian ini dilakukan kebanggaan tersendiri bagi komunitas daerah
pada keadaan yang apa adanya dan alamiah tersebut. Secara tidak langsung pakaian adat
sesuai dengan objek penelitian yang diamati. tersebut dapat menyampaikan pesan terhadap
Dari berbagai pendapat tentang penelitian lingkungan di mana mereka berada sebagai
kualitatif d disimpulkan bahwa penelitian penduduk asli atau etnis setempat. Pakaian
kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan adat itu sendiri tentu saja dalam pemanfatannya
secara alamiah tanpa rekayasa peneliti dan tidak digunakan begitu saja karena pakaian
dibuat seobjektif mungkin sesuai dengan adat itu mengandung nilai-nilai yang dijunjung
kenyataan yang ada di masyarakat. Begitu tinggi dalam masyarakat seperti nilai moral,
pula hal-hal menyangkut pakaian adat Buton sosial, agama, dan kepercayaan. Begitu pula
merupakan penelitian yang menggunakan pakaian adat Buton, mempunyai nilai-nilai yang
metode deskriftif kualitatif. dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
Dalam penelitian kualitatif ini, Pakaian adat nusantara yang merupakan
pengumpulan data dilakukan melalui teknik kebanggaan setiap daerah masing-masing
pengamatan atau observasi, teknik wawancara, memiliki makna tertentu, demikian pula
dan dokumen. Pada tahap observasi dan pakaian adat masyarakat suku Buton, terdapat
pengamatan, peneliti melakukan pengamatan makna-makna khusus yang membedakan
langsung pada daerah penelitian mengamati pakaian adat lainnya. Pakaian adat memiliki
tingkah laku objek penelitian, seperti adanya ciri dan spesifikasi tertentu sebagai unsur
aktivitas budaya. Selain itu dilakukan pembeda. Begitu pula dalam pakaian adat
wawancara mendalam untuk mendapatkan Buton memiliki ciri khas tersendiri, baik bagi
informasi secara langsung melaui tatap muka. masyarakat yang mempunyai stratifikasi sosial
Wawancara dengan orang yang dianggap yang tinggi maupun orang biasa. Hal itu dilihat
mampu memberikan data yang akurat sesuai dari segi corak, bahan, warna maupun jumlah
objek yang diteliti. Dokumen pustaka berupa aksesori yang dikenakan. Hal tersebut terlihat
buku atau dokumen penting juga sangat pada saat pesta adat seperti perkawinan dan
dibutuhkan sebagai data penunjang dalam pesta adat lainnya. Seperti terlihat pada gambar
penelitian. (Endraswara, 2009). di bawah ini:
Setelah teknik pengumpulan data, Pada pakaian adat tradisional masyarakat
langkah penelitian selanjutnya adalah teknik
analisis data. Analisis data menurut Sugiyono
(2017) adalah langkah yang dilakukan setelah
mengumpulkan data dengan cara menyusun
proses yang didapatkan di lapangan, baik
melalui observasi, interviu, dan pustaka
yang telah disusun secara sistematis. Setelah
menyeleksi segala data yang diinginkan
dan menyajikan data. Selanjutnya adalah
memberikan kesimpulan terhadap data yang
telah didapatkan dengan berbagai pertimbangan
yang dilakukan oleh peneliti.
Foto 1. Foto Pakaian Adat Tradisional suku Buton
PEMBAHASAN (Sumber: Internet 2016)

Dalam komunitas suatu etnis, sangat Buton di Kota Baubau, mempunyai berbagai
terkait dengan pakaian adat yang merupakan macam ragam dan model sesuai perkembangan
rangkaian upacara tradisional setiap daerah zaman. Dalam pakaian adat tersebut memiliki
di Indonesia. Pakaian adat kegunaannya fungsi dan makna simbol tersendiri dalam
tergantung dari kegiatan-kegiatan atau upacara- penggunaannya. Pada umumnya, pakaian
upacara adat di daerahnya. Eksistensi pakaian tradisional itu pada kenyataannya lebih

260
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

cenderung dipakai oleh kaum bangsawan


seperti sultan, pegawai kesultanan, perangkat
Masjid Agung Keraton Buton, dan aparat
pemerintahan dalam Kesultanan Buton. Hal ini
menjadi kenyataan karena pada kesehariannya
para kaum bangsawan tersebut mernunjukkan
sebuah tingkat stratifikasi sosial dalam
masyarakat. Dalam konteks kekinian tentang
penggunaan pakaian adat tradisional di setiap
momen dan kesempatan, hampir sebagian besar
masyarakat suku Buton, tidak lagi mengetahui
makna-makna yang terkandung dalam pakaian
adatnya.
Makna Simbol Pakaian Adat Pengantin
Laki-laki (Balahadada)
Pada masyakarat Buton terdapat pakaian
adat Buton, baik laki-laki maupun perempuan.
Balahadada merupakan pakaian kebesaran bagi Foto 2. Baju Bahaladada
Dok. Pribadi Februari 2016
seorang laki-laki bangsawan maupun bukan
bangsawan. Baju balahadada bahan dasarnya kelengkapan antara lain sala arabu, kampurui,
terbuat dari beludru berwarna hitam (sesuai ikat pinggang, keris, bio ogena, sarung,
aslinya). Hiasan-hiasan yang menyerupai mahkota dan kamba. Adapun kelengkapan
bundaran-bundaran kecil yang terdapat di pakaian adat tersebut dapat diuraikan sebagai
badan baju terbuat dari emas atau perak, berikut.
dinamakan buka-buka. Sedangkan hiasan yang
a. Sala Arabu
terdapat dipinggir baju disebut pasamani.
Perhiasan yang ditempelkan pada leher baju Sala arabu biasa juga diistilahkan
disebut ake yang biasanya terbuat dari emas dengan celana arab. Biasanya corak
dan perak. Untuk menambah keindahan ake dan motif celana ini disamakan dengan
besar biasanya ditempelkan pada belahan dada atasan atau baju balahadada yang
yang diletakkan mulai dari bawah leher sampai dikenakan, agar terdapat kesesuain.
sampai ke bagian perut. Pada bagian kanan Pada sala arabu, bagian kaki biasanya
ditambahkan aksesori kancing sebanyak 6--7 ada sedikit belahan sebagai variasi, dan
biji kancing segi lima yang model kerucut yang dipinggirannya dihiasi dengan tujuh
dipasang pada ujung lengan baju yang berfungsi buah kancing sebagai hiasan.
sebagai hiasan. Sedangkan, pasangan dari baju b. Kampurui
balahadada disebut sala arabu (celana arab).
Pakaian adat kebesaran bagi orang Buton ini, Kampurui biasa juga disebut destar atau
di samping sebagai pakaian pengantin untuk ikat kepala. Kampurui ini memiliki
mempelai laki-laki bagi kaum Kaomu, juga di makna sebagai sebagai tanda kebesaran
pakai oleh kaum Walaka. Selain itu, digunakan diibaratkan sebagai jelmaan sang
pula pada kegiatan-kegiatan adat di Keraton surya atau matahari yang bersinar
Buton, maupun untuk menyambut tamu-tamu menyinari alam raya. Simbol tersebut
penting. Saat sekarang ini perbedaan pakaian melambangkan sifat seseorang yang
pengantin untuk kaum Koumu dan kaum jujur, bijak, lemah lembut hatinya.
Walaka tidak diketahui letak perbedaannya. Penggunaan kampurui ini sangat
(Wawancara; AE, Februari 2016). berkaitan dengan masa Kesultanan
Dalam pakaian adat tradisional Buton Buton dalam memerintah. Pakaian ini
ini mempuyai kelengkapan dan aksesori. dipakai oleh seorang bangsawan seperti
Termasuk baju adat balahadada, mempunyai Kesultanan Buton dalam menangani

261
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

pemerintahan, sehingga seorang sultan arabu. Pada umumnya bia samasili ini
sangat berwibawa ketika memakai berwarna hitam dengan motif kotak-
kampurui ini. kotak berwarna putih. Motif kotak-
c. Sulepe kotak putih tersebut berupa benang
perak (Kumbaea: bahasa Buton).
Sulepe biasa disebut ikat pinggang. Pengantin laki-laki yang mengenakan
Sulepe ini berfungsi untuk mengikat sarung bia samasili tampak lebih sopan
celana atau baju yang dikenakan agar dan berwibawa.
tidak mudah jatuh dan diikatkan pada
bagian pinggang. Biasanya sulepe ini g. Mahkota
terbuat dari sebuah kain yang berwarna Dalam pakaian adat Buton ini, terdapat
hitam, dan pada bagian kepala ikat mahkota yang biasa disebut lipi-
pinggang tersebut terdapat hiasan berupa lipi yang dipasang pada bagian atas
emas atau perak. Hiasan kepala sulepe kampurui yang berlogo buah nenas yang
tersebut berbentuk lonjong seperti butir mempunyai simbol wilayah Buton.
telur dan ada juga berbentuk empat Nenas berbuah tunggal memiliki makna
persegi panjang yang biasanya terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa. Daunnya
ukiran bacaan kalimat tauhid dan hiasan berduri dan tajam mengandung makna
motif bunga di sekelilingnya yang biasa melindungi diri dari marahabaya. Buah/
disebut rongo. Sulepe ini mempunyai kulit luarnya berduri tetapi di dalamnya
makna simbol sebagai sebuah kekuatan manis. Hal ini mengandung makna
atau pengukuh dalam ikatan adat dan di luar kelihatannya keras dan kasar
agama namun bagian dalamnya penuh dengan
d. Keris kelembutan,

Dalam bahasa Buton, keris biasa juga h. Kamba adalah rangkaian bunga yang
diistilahkan tobo. Keris merupakan salah selempangkan di bahu kiri mempelai
satu perlengkapan pakaian pengantin pengantin laki-laki. Maknanya untuk
laki-laki yang diselip dipinggang. memperindah penampilan sebagai
Adapun makna dari pemakaian keris pakaian kebesaran adat Buton. (Hasil
sebagai senjata untuk mawas diri dan wawancara: AT, 2016)
pelindung dalam menjaga kehormatan Makna yang terkandung pada aksesori
sebagai laki-laki. yang melekat pada pakaian adat bahaladada
e. Bia ogena tersebut sangat penting diketahui. Aksesori
pada pakaian adat itu sebagai penghias
Dalam bahasa Buton, bia ogena sehingga orang yang memandangnya indah dan
berarti sarung besar. Namun dalam menyenangkan. Oleh karena itu, pakaian adat
kenyataannya, istilah sarung besar ini tradisional Buton disamping sebagai perhiasan
bukan ukuran sarungnya yang besar, yang menarik, juga sarat dengan makna.
melainkan sarung ini maknanya sarung Pakaian adat Buton sebagai simbol pakaian
kebesaran. Sarung kebesaran ini pada kebesaran dan menjadi kebanggaan masyarakat
dasarnya hanya digunakan oleh kaum Buton. Makna pakaian adat tersebut sangat
bangsawan dan keturunannya atau biasa mendalam karena menyangkut aspek kehidupan
disebut La Ode, para pejabat. Pada masyarakat Buton. Adanya makna simbol yang
pengantin laki-laki bio ogena ini juga tersirat ini menandakan bahkan pakaian adat
dikenakan sebagai tanda kebesaran. tidak hanya sekadar pakaian tetapi sarat makna
f. Bia Samasili dan simbol.
Bia samasili atau sarung biasanya Fungsi dan Makna Pakaian Adat Pengantin
digunakan sebagai pelapis pakaian Mempelai Wanita (Kombo)
baju balahadada dan celana sala Kombo adalah pakaian kebesaran kaum

262
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

wanita Buton. Bahannya terbuat dari kain satin baju kombo. Pada bagian atas baju kombo dan
dengan warna dasar putih, dipenuhi hiasan bagian bawah sarung lonjo, b) Tipolo yang
manik-manik, dan jahitan benang emas dan terbuat dari kain beludru dikenakan sebagai
perak. Berbagai hiasan yang dikenakan ada penutup kepala pengantin wanita. Pada bagian
yang terbuat dari kuningan, perak bahkan emas. tersebut terdapat berbagai hiasan seperti bunga
Perhiasan berupa manik-manik dengan bentuk ija/bigi sebagai penyangga, kemudian tedapat
belah ketupat dijahitkan pada permukaan baju. patiga, gulu-gulu, papunga Tipolo memiliki
Pada setiap motif petak-petak belah ketupat beberapa hiasan seperti penyangga bunga ija/
terdapat hiasan berwarna emas atau kuningan bigi, patiga, gulu-gulu, papunga, bunga ija atau
yang bermotifkan daun kapas. Selanjutnya pada tarimakasi. Patiga adalah kain ukiran di atas
bagian ujung daun kapas dihiasi sekuntum bunga beludru hitam yang dipasang menutupi telinga.
yang dijahitkan dengan posisi berdiri tegak. Popungu adalah ukiran poni pada bagian
Pada saat ini, seiring dengan perkembangan dahi, Gulu-gulu adalah dua gulungan hiasan
zaman, baju kambo makin bervariasi baik model yang ditempatkan, bunga ija yang diistilahkan
maupun warnanya. Namun sudah menjadi tarima kasih, c). Salah satu perhiasan yang
kebiasaan bila dalam perkawinan adat Buton, merupakan kelengkapan pakaian kombo adalah
pakaian yang dikenakan pengantin perempuan punto, yang oleh pemakainya difungsikan
cenderung berwarna putih. (Wawancara, RK: sebagai sarung hias. Sarung hias ini memiliki
Februari 2016). warna dasar hitam dengan motif tawana kapa
Pakaian adat jenis baju kombo ini, terdapat yang ditempatkan dibagian depan punto, serta
beberapa kelengkapan yang menjadikan didominasi dengan hiasan manik-manik yang
pakaian ini tampak semakin indah terhadap menjadikan punto ini tampak semakin indah, d).
Jao-jaonga adalah kalung terbuat dari kuningan.
Jao-jaonga dikenakan pada mempelai wanita
dalam pesta perkawinan adat Buton. Perhiasan
jao jaonga terdiri atas tiga lapisan, yaitu;
hiasan berkukir naga, berukir kupu-kupu, dan
lapisan berbentuk permata, e). Pada pengantin
wanita juga menggunakan gelang pada bagian
kiri dan kanannya sebanyak empat buah.
Pada zaman dahulu gelang yang dipakai oleh
mempelai wanita yang keturunan bangsawan
terbuat dari emas, tetapi saat sekarang ini
umumnya terbuat perak atau kuningan, f).
Pengikat tangan dikenakan berpasangan dengan
gelang disebut kabokena lima, berfungsi untuk
menahan gelang. Perhiasan kabokenan lima
pada dasarnya memiliki makna yaitu sebagai
alat untuk mempererat tali persaudaraan
antarsesama umat manusia. Artinya, dalam
dalam mengarungi bahtera rumah tangga
silaturrahmi harus selalu dijaga dalam keluarga.
Begitupun dalam pemakaian gelang itu sebagai
Foto 3. Baju Kombo simbol pengikat agar tidak mudah terpisahkan,
Dok. Pribadi, Februari 2016
g). Dali-dali dalam bahasa Buton disebut
juga anting-anting. Pada umumnya anting ini
pemakainya, antara lain: a). Bia ogena atau
dibuat dari emas atau perak, namun saat ini
sarung lonjo. Sarung ini terdiri atas beberapa
hanya berupa imitasi, biasanya digunakan pada
warna polos seperti putih, biru, kuning, hijau,
pesta perkawinan atau pesta adat. h). Perhiasan
hitam, dan merah yang dijahit dengan model
kamberei artinya berupa aksesori yang bersifat
bertingkat-tingkat dan merupakan pasangannya
tambahan pada pengantin wanita. Kamberei,

263
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

bahannya terbuat dari kain yang terdapat hiasan dan tersamarkan oleh warna hitam. (5) sarung
benang emas atau perak, dan biasanya dikaitkan dengan istilah bio ogena yang terdiri atas sarung
pada bahu kiri yang bentuknya memanjang yang dijahit secara bersusun atau bertingkat.
yang disertai jahitan bunga, i). Cincin yang Hal ini menunjukkan adanya awal kehidupan
biasa dikenakan pada ibu jari berupa bentuk manusia di dunia sesuai dengan agama dan
korokoronji atau diistilahkan kuku atau kepercayaan masyarakat Buton. Selain itu,
kanuku harimau mempelai pengantin wanita sebagai bio ogena dipandang sebagai simbol
dan perempuan yang mengikuti acara adat ketaatan serta kepatuhan akan segala hukum
pasuo (pingitan) pada masyarakat Buton, adat dan agama. Susunan atau tingkatan sarung
j). Kambero adalah kipas tangan digunakan tersebut adalah sarung berwarna hitam, sarung
oleh mempelai pengantin wanita untuk ini terdapat pada punto yang berfungsi untuk
berkipas-kipas wajahnya agar tidak merasa menahan rembesan darah haid ketika seorang
gerah atau mencegah keringatnya keluar, wanita sedang haid. Selanjutnya warna kuning,
k). Sampelaka yaitu benda yang dikenakan fungsinya sama dengan warna hitam tadi, yaitu
yang disangkutkan pada bagian kanan bahu, untuk menyamarkan darah haid wanita.
adapun sampelaka mempunyai bahan serta Dalam penelitian ini, berdasar pada
ukuran yang sama dengan kambarambei. interviu pada informan masyarakat setempat
Perhiasan ini juga sebagai pelengkap aksesori bahwa baju kombo pada dasarnya mengandung
guna untuk menambah keindahan penampilan makna adanya harapan kebaikan atas segala
mempelai pengantin wanita, dan l). Sapu keinginan yang ingin dicapai dalam mengarungi
tangan digunakan alat pembersih, orang Buton kehidupan. Selain itu warna putih pada dasar
menyebutnya kalegowa. Selain itu kalegowa baju menunjukkan adanya kesucian seorang
berfungsi sebagai kelengkapan aksesori wanita yang mesti dijunjung tinggi. Adapun
mempelai pengantin wanita. (Wawancara; AE, kain berjahit yang disusun secara rapi biasa
Februari 2016). disebut lonjo, berguna sebagai penahan darah
Pada baju kombo, terdapat kandungan haid yang dapat saja merembes. Apabila
makna seperti (1) warna putih sarat dengan darah haid tersebut masih dapat merembes
makna pelambangan kesucian, kedamaian, pada punto, maka akan sampai pada lapisan
kepolosan wanita Buton, dan lain sebagainya. kain berwarna kuning, dan hijau dan akhirnya
(2) Rongo adalah istilah hiasa bunga-bunga sampai pada kain yang berwarna merah.
dengan posisi tumbuh tegak pada tawana Adapun lonjo yang disusun atas tiga tingkatan
kappa mengandung makna adanya harapan tersebut menggambarkan bahwa terdapat tiga
pada pengantin wanita berupa kebaikan, golongan masyarakat dalam masyarakat Buton,
kesuburan, sejahtera, dan lapang dalam segala yaitu kaomu, walaka dan papara. Menurut
hal. Harapan kepada seorang wanita yang akan pandangan masyarakat Islam yang ada di Buton,
menjadi pengantin agar kedepannya kehidupan lonjo bermaksud adanya skema kehidupan
rumah tangganya berjalan dengan harmonis yang harus dilewati oleh manusia, yakni adanya
dan membentuk suatu ikatan suci pernikahan. hubungan manusia dengan penciptanya, adanya
(3) gelang tangan yang berjumlah masing- hubungan manusia dengan manusia, adanya
masing empat buah pada tangan kiri dan hubungan manusia dengan alam secara lahir dan
kanan, melambangkan bahwa sesungguhnya batin. Dalam hubungannya dengan pemakaian
wanita Buton itu telah terikat dalam suatu lonjo pada masyarakat Buton khususnya wanita
hukum adat dan agama bahwa ia harus selalu makna lahirnya, selain berfungsi sebagai
menjadi panutan dalam masyarakat. Selain itu, penahan rembesan darah haid wanita, juga
hiasan-hiasan yang melekat pada baju kombo bermakna sebagai suatu penghargaan sebagai
adalah untuk menambah keindahan dalam sarung kebesaran bagi wanita. Adapun makna
berpakaian adat. (4) terdapat sebuah kain yang batin yang terkandung di dalam pemakaian
berwarna hitam yang disebut punto, dalam lonjo adalah siklus kehidupan manusia di alam
pakaian adat Buton pada dasarnya digunakan raya mulai dari proses kejadian sampai pada
sebagai pelindung bila ada rembesan darah kehiduan akhir. Begitulah menurut kepercayaan
ketika wanita haid, sehingga tidak kelihatan masyarakat setempat yang diyakini hingga

264
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

saat ini dan dijunjung sebagai kearifan lokal. alam semesta, sebagai pengukuh adat serta
(Wawancara, LD. Haz, Februari 2016) ajaran dalam agama. Dengan demikian pakai
adat tradisonal, masyarakat Buton bukan hanya
PENUTUP sekadar pakaian adat biasa, melainkan memiliki
Pada dasarnya setiap kebudayaan simbol yang sarat dengan makna yang tersirat
memiliki ciri khas tersendiri bagi masyarakat di dalamnya.
pendukungnya. Begitu pula dengan hasil Pakaian adat pengantin perempuan jenis
budaya berupa pakaian adat atau tradisional baju kombo ini, memiliki beberapa kelengkapan
yang ada di Buton. Pakaian adat itu tentu saja yang menjadikan pakaian ini tampak semakin
tidak dipakai begitu saja, tetapi memiliki fungsi indah terhadap pemakainya, antara lain: a).
dan makna tersendiri. Begitu pula dengan bia ogena atau sarung lonj,. b). penutup kepala
aksesori yang digunakan, baik warna maupun biasa disebut tipolo terbuat dari kain beludru, c)
bahan, jumlahnya mempunyai aturan tersendiri punto salah satu kelengkapan dalam pakaian
dalam pemakaiannya. Begitu pula dalam kombo, d) jao-jaonga adalah kalung terbuat dari
pemakaiannya bergantung pada golongan kuningan, e) simbi artinya gelang, f) pengikat
stratifikasi sosial masyarakat, baik kaum tangan disebut juga kabokena lima biasanya
bangsawan, pejabat, maupun rakyat biasa, digunakan wanita sebagai gelang atau simbi yang
termasuk pakaian dalam adat perkawinan. berpasangan dengan yang berfungsi sebagai
Pakaian yang biasa dikenakan oleh penahan gelang atau pengikat agar tidak mudah
pengantin laki-laki yang biasa disebut jatuh, g) anting-anting atau dali digunakan oleh
balahadada, mempunyai beberapa bagian, pengantin wanita biasanya terbuat dari emas
yaitu pada pakaian pengantin laki-laki atau perak, h) hiasan kamberambaei atau kupu-
balahadada terdiri atas beberapa bagian, kupu sebagai perhiasan yang dikenakan wanita,
yaitu: a) Sala arabu, berupa celana arab yang i) cincin atau korokoronjo biasanya bentuknya
biasanya motif dan warnanya disesuaikan bentuknya memanjang dan dipasangkan pada
dengan baju balahadada, b). Kampurui atau ibu jari kiri pemakainya, j) kipas tangan atau
ikat kepala pada laki-laki bermakna sebagai kambero digunakan oleh pengantin wanita saat
tanda kebesaran, kesetiaan, kejujuran, dan duduk di pelaminan, k) sampelaka merupan
kelembutan hati, c) Sulepe sebagai hiasan cincin yang dikenakan pada ibu jari seorang
yang dipakai sebagai ikat pinggang. Pemakaian pengantin wanita, dan l) sapu tangan atau
sulepe ini mengandung simbol adanya sikap kalegoa dipegang oleh pengantun wanita
yang kukuh dalam ikatan adat dan ajaran- sebagai hiasan.
ajaran agama bagi masyarakat, d) Tobo yang Pakaian adat tradisonal masyarakat Buton
biasa disebut keris, maknanya sebagai sebuah tiakd hanya sekadar dipakai tetapi sarat dengan
peindung dari marabahaya serta menjunjung makna simbol di dalamnya. Pakaian tradisional
nilai kehormatan laki-laki, e) Bio ogena yang adat Buton ini merupakan bagian kebudayaan
berarti sarung besar mempunyai simbol adanya yang harus dilestarikan dan dijunjung tinggi
tanda kebesaran bagi seorang laki-laki seorang sebagai kekayaan daerah yang memperkaya
bangsawan atau pejabat, f) Bia samasil berupa kebudayaan nasional. Keberadaan pakaian adat
sarung yang digunakan untuk menutupi baju tradiosional ini sangat berarti sehingga generasi
balahadada dan celana arab atau sala arabu. muda penerus bangsa akan lebih mencintai
Adapun makna yang terkandung adalah adanya budayanya sendiri di tengah arus globalisasi
rasa wibawa, sopan dan bersahaja bagi seorang yang semakin gencar. Oleh karena itu, mari kita
laki-laki, g) Lipi-lipi disebut juga mahkota mencintai dan melestarikan kebudayaan daerah
biasanya dipasang pada bagian atas kampurui. kita.
Lipi-lipi tersebut, bentuk logonya menyerupai
buah nenas, yang fungsinya sebagai hiasan DAFTAR PUSTAKA
yang indah dan menambah keindahan bagi
yang melihatnya. Makna yang terkandung di Chalik, Husein A, et. al. 1992/1993. Pakaian
dalamnya sebagai siklus hidup manusia dalam Adat Tradisional Daerah Provinsi

265
Pangadereng: jurnal hasil penelitian ilmu sosial dan humaniora, Vol. 6 No. 2, Desember 2020: hlm. 254 - 266

Sulawesi Tenggara. Kendari: Bagian Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal.


Proyek Penelitian Pengkajian dan Jakarta: Rineka cipta.
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok
Sulawesi Tenggara. Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik ----------------------. 1993. Kebudayaan,
Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Mentalitas dan Pembangunan.
Cipta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Danesi, Marsel. 2012. Pesan Tanda dan makna. Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya
Yogyakarta: Jalasultra. Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor:
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota GHalia Indonesia.
Baubau. 2019. Corak dan Bentuk Tasmuji, Dkk, 2011. Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu
Pakaian Adat Buton di Kota Baubau. Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar.
Dharma A. 2016. Semiotika dalam Arsitektur. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Tesis. Jakarta: Universitas Tim Penyusun. 2016. Kamus Besar Bahasa
Gunadarma. Indonesia V. Jakarta: Pembinaan dan
Dibyasuharda. 1990. Dimensi Metafisik Dalam Pengembangan Bahasa.
Simbol Ontology Mengenai Akar Sachari, Agus. 2005. Pengantar Metodologi
Simbol. (Disertasi). Gadjah Mada: Penelitian Budaya Rupa. Jakarta:
Yogyakarta. Erlangga.
Dillistone, F.N. 2002. The Power of Symbols. Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu
(Penerjemah A.Widyamartaya). Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Yogyakarta: Kanisius. Persada.
Endraswara, Suwandi. 2009. Metode penelitian Rianse, Usman &Abdi. 2009. Metodologi
Folkor: Konsep Teori, dan Aplikasi. Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori
Yogyakarta: MedPress. dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta.
Haviland, William A. 1995. Antropologi. (Jilid Sugiyono. 2017. Metode penelitian Kuantitatif,
1). Jakarta: Erlangga. Kualitatif, dan R &D. Bandung:
Jalins. 1990. Unsur-unsur Pokok Dalam Seni Alfabeta.
Berpakaian. Jakarta: Misuar.
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotik dan
Hermautika. Yogyakarta: Paradigma.
Koten, dkk. 1991. Pakaian Adat Tradisional
Daerah Provinsi NTT. Kupang:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi
dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Melamba, Basrin. 2012. “Sejarah dan Ragam
Hias Pakaian Adat Tolaki di Sulawesi
Tenggara”, dalam Mozaik: Jurnal
Ilmu Humaniora, Vol. 12 No. 2, Juli-
Desember 2012: hlm. 193-209.
Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

266

Anda mungkin juga menyukai