Anda di halaman 1dari 74

PROPOSAL

PENGARUH EDUKASI SELF CARE MANAGEMENT TERHADAP


PENCEGAHAN KOMPLIKASI ULKUS KAKI DIABETIK PADA
PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS

Disusun oleh :

Moh. Lukman Firmansyah

(717.6.2.0891)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS WIRARAJA

SUMENEP

2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Diabetes melitus atau lebih dikenal dengan penyakit kencing manis


yang merupakan penyakit tidak menular yang ditandai dengan terjadinya
kenaikan pada kadar gula dalam darah [ CITATION Qur20 \l 2057 ]. Diabetes
adalah penyakit kronis yang terjadi karena pankreas tidak menghasilkan
cukup insulin, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan
insulin yang dihasilkannya[ CITATION Kha185 \l 2057 ].

Diabetes melitus, merupakan kondisi kedaruratan global terbesar di


abad 21. Sampai saat ini masih banyak negara yang belum waspada
terhadap dampak yang dapat ditimbulkan oleh diabetes melitus. Diabetes
melitus jika tidak terkontrol dengan baik, dapat menyebabkan berbagai
macam komplikasi penyakit diantaranya serangan jantung, stroke, gagal
ginjal, impotensi, amputasi bagian tubuh dan kebutaan. Risiko kematian
penderita diabetes secara umum dua kali lipat jika dibandingkan dengan
seseorang yang bukan penderita diabetes. Sekarang ini prevalensi penyakit
diabetes melitus tipe dua semakin hari semakin meningkat. [ CITATION
Ret201 \l 2057 ].

International Diabetes Federation (IDF) (2017) menyatakan jumlah


penderita diabetes di dunia pada tahun 2017 sebanyak 425 juta jiwa dan di
Asia Tenggara sebanyak 82 juta jiwa.[ CITATION Irm20 \l 2057 ].

Menurut International Diabetes Federation (IDF) melaporkan


bahwa Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan jumlah penderita
terbanyak di seluruh dunia pada tahun 2019, yaitu berada pada urutan
ketujuh dengan jumlah penderita diabetes melitus sebanyak 10,7 juta jiwa [
CITATION Ret201 \l 2057 ] .Prevelensi diabetes militus berdasarkan diagnosis
dokter pada penduduk umur ≥15 di provinsi jawa timur yaitu sebesar 2,6
%. Prevelensi diabetes militus berdasarkan diagnosis dokter pada
penduduk semua umur dan prevelansi rutin periksa kadar gula darah
(KGD) pada provinsi jawa timur yaitu sebesar 2,0 %. [ CITATION Kha185 \l
2057 ].Data yang di dapatkan dari dinas kesehatan, kabupaten sumenep,
pada tahun 2020 tercatat sebanyak 97.6 % orang yang terdiagnosa terkena
diabetes mellitus. Dan berdasarkan data di kecamatan dan puskesmas,
ganding berada di urutan ke 12 pada tahun 2019, yaitu terdapat 121.5 %
orang terdiagnosa diabetes melitus dari 27 kecamatan dan puskesmas yang
terdata.

Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang tidak dapat


disembuhkan namun yang bisa dilakukan adalah mengontrol kadar gula
darahnya yang membutuhkan pengelolaan seumur hidup agar dapat
meningkatkan kualitas hidup penderita (Sundari, 2016). Kurangnya
kesadaran akan pentingnya pengendalian diri dan gaya hidup yang tidak
sehat atau manajemen diri yang salah pada penderita diabetes melitus,
yang akhirnya dapat mengakibatkan peningkatan masalah kesehatan yang
menyebabkan pasien akan menderita komplikasi dan berujung pada tingkat
kematian yang semakin meningkat pada setiap tahunnya[ CITATION Rad20 \l
2057 ]. Faktor lingkungan yang sangat mempenganuhi untuk seseorang
berpontensial terserang penyakit diabetes melitus adalah pola makan dan
pola hidup yang buruk. Pola makan yang terbiasa dengan makanan yang
banyak mengandung lemak dan kalori tinggi sangat berpotensi untuk
meningkatkan resiko diabetes melitus, Adapun pola hidup buruk adalah
pola hidup yang tidak teratur dan penuh tekanan kejiwaan seperti stres
yang berkepanjangan, perasaan khawatir dan takut yang berlebihan dan
jauh dari nilai-nilai spiritual diyakini sebagai faktor terbesar untuk
seseorang garnpang terserang penyakit berat baik diabetes maupun
penyakit berat lainya. kurangnya aktifitas fisik yang rendah juga
berpotensi untuk seseorang terjangkit penyakit diabetes.Diabetes
merupakan penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan terjadinya
penyakit lain) yang paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula
darah yang tingi terus menerus, sehingga berakibat rusaknya pembuluh
darah, saraf dan struktur internal lainnya.[ CITATION Pri15 \l 2057 ].

penderita diabetes mellitus dapat mengalami berbagai komplikasi


jangka panjang jika diabetesnya tidak di kelola dengan baik. Salah satu
komplikasi penyakit diabetes melitus yang sering dijumpai adalah kaki
diabetik (diabetic foot), yang dapat bermanifestasikan sebagai ulkus,
infeksi dan gangren.[ CITATION Far20 \l 2057 ].Komplikasi diabetes melitus
lebih cepat dialami oleh penyandang diabetes melitus yang tidak dapat
mengendalikan gula darahnya. Komplikasi tersebut dapat dibedakan
menjadi dua yaitu komplikasi akut seperti: hiperglikemi dan hipoglikemi.
Sedangkan komplikasi kronis dapat seperti : Komplikasi pada Otak
(stroke) jantung (penyakit-penyakit jantung) Ginjal (Gagal ginjal kronis)
Mata (glukoma dan katarak) Kaki (kaki diabetik)[ CITATION ind19 \l 2057 ].

Edukasi atau Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan


perilaku secara terencana pada diri individu, kelompok atau masyarakat
untuk dapat lebih mandiri dalam mencapi tujuan sehat [ CITATION Sum18 \l
2057 ].Salah satu upaya yang dapat diterapkan adalah program Diabetes
Self Management Education (DSME). DSME merupakan suatu proses
berkelanjutan yang dilakukan untuk menfasilitasi pengetahuan,
keterampilan, pengambilan keputusan pasien melakukan perawatan
mandiri(self care) (Funnel,et al, 2011). DSME bertujuan untuk mendukung
pengambilan keputusan, perilaku perawatan diri( self care), pemecahan
masalah dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk memperbaiki
hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup [CITATION Yak20 \l 2057 ].
Dalam teori self-care, Orem mengemukakan self-care merupakan aktivitas
atau kegiatan perawatan diri individu dalam menjaga kesehatan secara
mandiri (Hidayat, 2017). Perawatan diri suatu tindakan menjaga kesehatan
fisik dan mental, kebutuhan sosial dan psikologis, dan mencegah penyakit
(Skill For Care [SFC], 2015). Kemampuan individu meningkatkan
kesehatan tanpa dukungan dari penyedia layanan kesehatan [ CITATION
Qur20 \l 2057 ].

Self-care management merupakan tindakan mandiri dalam


perawatan diri untuk mencegah terjadinya komplikasi berlanjut pada
penderita diabetes mellitus. Self-care management bertujuan mengontrol
gula darah tetap dalam kadar normal (Rodhianto 2011). Komponen self-
care management diabetes militus meliputi pemantauan kadar glukosa
darah, terapi nutrisi medis (diet), latihan fisik (olahraga), terapi
farmakologi, dan pemeriksaan rutin ke pelayanan kesehatan (Bai, Chiou &
Chang 2009). Penderita diabetes melitus dalam melakukan self-care
management dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi self-care management yaitu komunikasi, pendidikan
kesehatan, dukungan, dan faktor personal[ CITATION Irm20 \l 2057 ]

Diabetes melitus memerlukan penanganan secara klinis dengan


prosedur yang tepat untuk mengurangi risiko multi faktorial hiperglikemia.
Pendidikan yang mendukung manajemen diri pasien sangat diperlukan.
Proses ini untuk mengatur kebutuhan atau kemampuan individu dalam
memantau timbulnya gejala lain.[ CITATION Qur20 \l 2057 ]. Pengendalian
diabetes melitus sedini mungkin sangatlah penting untuk menghindari
komplikasi dengan gaya hidup sehat dengan menjaga pola makan yg baik,
membiasakan olah raga dan tidak merokok merupakan kebiasaan yang
baik dalam pencegahan Diabetes Melitus. Oleh karena itu, peran para
pendidik baik formal maupun informal, edukator diabetes melitus dan para
kader sangat memegang peranan penting untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat diabetes militus.[ CITATION ind19 \l 2057 ].

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk


melakukan penelitian dengan judul, Pengaruh Edukasi Self care
Management Terhadap Pencegahan Komplikasi ulkus kaki diabetik Pada
Penderita Diabetes Melitus Tipe II di wilayah kerja puskesmas gapura

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang yang diuraikan ,maka peneliti
merumuskan masalah .

1. Adakah pengaruh edukasi self care management terhadap


pencegahan komplikasi ulkus kaki diabetik pada penderita
diabetes melitus tipe II di wilayah kerja puskesmas?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh edukasi self care management


terhadap pencegahan komplikasi ulkus kaki diabetik pada penderita
diabetes melitus tipe II di wilayah kerja puskesmas .

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi edukasi self care management pada penderita


diabetes melitus tipe II

2. Menganalisis pengaruh edukasi self care management terhadap


pencegahan komplikasi ulkus kaki diabetik pada penderita
diabetes melitus tipe II

1.4 Manfaat penelitian


1.4.1 Bagi keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi


perawat dalam penatalaksanaan pada pasien diabetes melitus
khususnya pada edukasi selfcare managemennya.dapat memacu
perawat sebagai educator dengan melakukan motivasi dan
pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga.

1.4.2 Bagi peeneliti

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai


data tambahan untuk peneliti selanjutnya terutama terhadap
pengaruh edukasi self care management terhadap pencegahan
komplikasi ulkus kaki diabetik pada penderita diabetes melitus tipe
II .

1.4.3 Bagi pasien

diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai


informasi dan pengetahuan tentang pengaruh edukasi self care
management terhadap pencegahan komplikasi ulkus kaki diabetik
pada penderita diabetes melitus tipe II.

1.4.4 Bagi masyarakat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai


sumber informasi dan pengetahuan tentang edukasi self care
management terhadap pencegahan komplikasi ulkus kaki diabetik
pada penderita diabetes melitus tipe II.

1.4.5 Bagi puskesmas

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk


meningkatkan mutu pelayanan tenaga keperawatan dalam edukasi
self care management terhadap pencegahan komplikasi ulkus kaki
diabetik pada penderita diabetes melitus tipe II.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Militus

2.1.1 Definisi Diabetes militus

Diabetes Melitus (DM) atau yang biasa disebut dengan


kencing manis merupakan penyakit gangguan metabolisme tubuh
yang menahun akibat hormon insulin dalam tubuh yang tidak dapat
digunakan secara efektif dalam mengatur keseimbangan gula darah
sehingga meningkatkan konsentrasi kadar gula di dalam darah
(hiperglikemia).Kencing manis merupakan suatu penyakit yang
ditandai dengan tingginya gula darah akibat kerusakan sel beta
pankreas (pabrik yang memproduksi insulin).[ CITATION Feb20 \l
2057 ].

2.1.2 Klasifikasi diabetes melitus

a) Diabetes Melitus Tipe 1


Terjadi karena sel beta di pankreas mengalami
kerusakan, sehingga memerlukan insulin ekstrogen seumur
hidup,Umumnya muncul pada usia muda dan Penyebabnya
bukan karena faktor keturunan melainkan faktor autoimun.
b) Diabetes Melitus Tipe 2
Tipe DM umum, lebih banyak penderitanya di
bandingkan Tipe 1 Munculnya saat usia dewasa ,Disebabkan
beberapa faktor seperti obesitas dan keturunan dan Dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi apabila tidak
dikendalikan.
c) Diabetes Gestasional
Timbul pada saat kehamilan, Penyebab riwayat DM
dari keluarga, obesitas, usia ibu saat hamil, riwayat melahirkan
bayi besar dan riwayat penyakit lainnya. dan Gejalanya sama
seperti DM pada umumnya, Jika tidak ditangani secara dini
akan beresiko komplikasi pada persalinan, dan menyebabkan
bayi lahir dengan berat badan > 4000gram serta kematian bayi
dalam kandungan.
d) Diabetes Melitus Tipe Lain
Terjadi karena kelainan kromosom dan mitokondria
DNA, biasanya Disebabkan karena infeksi dari rubella
congenital dan cytomegalovirus,Penyakit eksokrin pankreas
(fibrosis kistik, pankreatitis), Disebabkan oleh obat atau zat
kimia (misalnya penggunaan glukokortikoid pada terapi
HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ) dan Disebabkan
sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
2.1.3 Faktor resiko diabetes mellitus
Seseorang lebih berisiko terkena penyakit diabetes melitus
(DM) apabila memiliki beberapa faktor risiko. Faktor risiko ini
dibagi menjadi dua faktor risiko yang tidak dimodifikasi dan yang
dapat dimodifikasi.
1) Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain ras dan
etnik, riwayat keluarga dengan DM, umur > 45 tahun
(meningkat seiring dengan peningkatan usia), riwayat
melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi > 4000gram
atau riwayat menderita DM saat masa kehamilan (DM
gestasional), riwayat lahir dengan berat badan rendah (<2500
gram).
2) Faktor yang dapat dimodifikasi mengandung makna bahwa
faktor tersebut dapat diubah, salah satunya dengan pola hidup
sehat. Faktor-faktor tersebut adalah berat badan lebih (IMT ≥
23 kg/m2 ), kurangnya aktivitas fisik, tekanan darah
tinggi/hipertensi (> 140/90 mmHg), gangguan profil lemak
dalam darah (HDL < 35 mg/dL, dan atau trigliserida > 250
mg/dL), dan diet yang tidak sehat (tinggi gula dan rendah
serat).1,2 Penelitian juga menunjukkan bahwa perokok aktif
memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena DM dibandingkan
dengan orang yang tidak merokok.
Selain itu, seseorang yang mengalami gangguan pada
glukosa darah puasa dan toleransi glukosa, menderita sindrom
metabolik (tekanan darah tinggi, peningkatan kolesterol darah,
gula darah tinggi, obesitas) atau memiliki riwayat penyakit
stroke atau penyakit jantung koroner, dan memiliki risiko
terkena diabetes melitus lebih tinggi

2.1.4 Patofisiologi

Gula dalam darah yang disebut glukosa berasal dari dua


sumber, yaitu makanan dan yang diproduksi oleh hati. Gula dari
makanan yang masuk melalui mulut dicernakan di lambung dan
diserap lewat usus, kemudian masuk ke dalam aliran
darah.Glukosa ini merupakan sumber energi utama bagi sel tubuh
di otot dan jaringan. Agar dapat melakukan fungsinya, gula
membutuhkan teman" yang disebut insulin. Hormon insulin ini
diproduksi oleh sel beta di pulau Langerhans (islets of Langerhans)
dalam pankreas. Setiapvkali kita makan, pankreas memberi
respons dengan mengeluarkan insulin ke dalam aliran darah. Ibarat
kunci, insulin membuka pintu agar gula masuk. Dengan demikian,
kadar gula dalam darah menjad turun.Hati merupakan tempat
penyimpanan sekaligus pusat pengolahan gula, Pada saat kadar
insulin meningkat seiring dengan makanan yang masuk ke dalam
tubuh, hati akan menimbun glukosa, yang nantinya akan dialirkan
ke sel-sel tubuh bilamana dibutuhkan. Ketika kita lapan atau tidak
makan, insulin dalam darah rendah, timbunan gula dalam hati
(glikogen) akan diubah menjadi glukosa kembali dan dikeluarkan
ke aliran darah menuju sel-sel tubuh.[ CITATION Han17 \l 2057 ].

Dalam pankreas juga ada sel alfa yang memproduksi


hormon glukagon. Bila kadar gula darah rendah, glukagon akan
bekerja merang sang sel hati untuk memecah glikogen menjadi
glukosa. Tubuh kita mempunyai hormon-hormon lain yang
fungsinya berlawanan dengan insulin, yaitu glukagon, epinefrin
atau adrenalin, dan kortisol atau hormon steroid. Hormon-hormon
ini memacu hati mengeluarkan glukosa sehingga gula darah bisa
naik. Keseimbangan hormon-hormon dalam tubuh akan
mempertahankan gula darah kita tetap dalam batas normal.

Pada penderita diabetes, ada gangguan keseimbangan


antara transportasi gula ke dalam sel, gula yang disimpan di hati,
dan gula yang dikeluarkan dari hati. Akibatnya, kadar gula dalam
darah meningkat Kelebihan ini keluar melalui urine. Oleh karena
itu, urine menjadi banyak dan mengandung gula. Penyebab
keadaan ini hanya dua. Pertama,pankreas kita tidak mampu lagi
memproduksi insulin. Kedua sel kita tidak memberi respons pada
kerja insulin sebagai kunci untuk membuka pintu sel sehingga gula
tidak dapat masuk ke dalam sel. Dengan demikian, mengapa
diabetes mellitus juga sering disebut lengan istilah kencing manis
menjadi jelas. Diabetes berarti banyak kencing, sedangkan mellitus
berarti manis, yang biasanya kita singkat aja dengan nama diabetes.

2.1.5 Data Penunjang


1. kadar glukosa darah
Tabel : kadar glukosa sewaktu dan puasa dengan metode
enzimatik sebagai patokan penyaring.[ CITATION Nur169 \l
2057 ].

1. Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl)


Kadar glukosa darah DM Belum
sewaktu pasti DM
Plasma vena >200 100-200
Darah kapiler >200 80-100
2. Kadar glukosa darah puasa (mg/dl)
Kadar glukosa darah DM Belum
puasa pasti DM
Plasma vena >120 110-120
Darah kapiler >110 90-110

2. Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes melitus pada


sedikitnya dua kali pemeriksaan :
 Glukosa plasma sewaktu > 200 mg / dl (11,1mmol/L).
 Glukosa plasma puasa > 140 mg/ dl (7,8 mmol/L).
 Glukosa plasma yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat ( 2 jam post prandial (pp)
> 200mg/dl).
3. Tes laboratorium DM
jenis tes pada pasien DM daoat berupa tes saring,
diagnostic,tes pemantauan terapi dan tes untuk mendeteksi
komplikasi.
4. Tes saring
tes -tes saring pada DM adalah :
 GDP, GDS
 Tes glukosa urin:
-Tes konvensional ( metode reduksi/benedict).
-Tes carik celup (metode glukosa oxidase/hesokinase).
5. Tes diagnostik
Tes-tes diagnostik pada DM adalah GDP,GDS,GD2PP
(glukosa darah 2 jam post parandial), glukosa jam ke 2 TTOG.
6. Tes monitoring terapi
Tes-tes monitoring terapi DM adalah :
 GDP : plasma vena ,darah kapiler
 GD2PP: plasma vena
 A 1c: darah vena,darah kapiler
7. Tes untuk mendeteksi komplikasi
Tes -tes mendeteksi komplikasi adalah
 mikroalbuminuria : urin
 Ureum,kreatinin,asam urat
 Kolestrol total : (plasma vena puasa)
 Kolestrol HDL : (plasma vena puasa)
 Kolestrol LDL : (plasma vena puasa)
 Trigliserida : (plasma vena puasa)
2.1.6 Komplikasi diabetes mellitus
Diabetes melitus ditandai dengan kadar gula darah yang
tinggi. Pengobatan diabetes, baik obat minum maupun suntikan
insulin, bertujuan untuk mengendalikan kenaikan gula darah
tersebut. Apabila kadar gula darah tidak dikendalikan maka akan
terjadi berbagai komplikasi baik jangka pendek (akut) maupun
jangka panjang (kronik). Hipoglikemia dan ketoasidosis adalah
bentuk komplikasi akut, sedangkan komplikasi yang bersifat kronis
terjadi ketika diabetes mellitus sudah mempengaruhi fungsi mata,
jantung, ginjal, kulit, saluran pencernaan, dan saraf. Komplikasi
DM sangat mungkin terjadi dan bisa menyerang seluruh organ
tubuh. Oleh karena itu, penderita diabetes harus selalu rutin
memantau dan menjaga kadar gula darahnya agar tetap normal.

1) Komplikasi Diabetes Melitus Akut


Komplikasi DM akut bisa disebabkan oleh dua hal,
yakni peningkatan dan penurunan kadar gula darah yang
drastis. Kondisi ini memerlukan penanganan medis segera,
karena jika terlambat ditangani akan menyebabkan
hilangnya kesadaran, kejang, hingga kematian . Terdapat 3
macam komplikasi diabetes melitus akut yaitu:
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan kondisi turunnya
kadar gula darah yang drastis akibat terlalu banyak
insulin dalam tubuh, terlalu banyak mengonsumsi
obat penurun gula darah, atau terlambat makan.
Gejalanya meliputi penglihatan kabur, detak antung
cepat, sakit kepala, gemetar, keringat dingin, dan
pusing. Kadar gula darah yang terlalu rendah bisa
menyebabkan pingsan, kejang, bahkan koma.
b. Ketosiadosis diabetik (KAD) Ketosiadosis diabetik
adalah kondisi kegawatan medis akibat
peningkatan kadar gula darah yang terlalu tinggi. Ini
adalah komplikasi diabetes melitus yang terjadi ketika
tubuh tidak dapat menggunakan gula atau glukosa
sebagai sumber bahan bakar, sehingga tubuh
mengolah lemak dan menghasilkan zat keton sebagai
sumber energi. Kondisi ini dapat menimbulkan
penumpukan zat asam yang berbahaya di dalam
darah, sehingga menyebabkan dehidrasi, koma, sesak
napas, bahkan kematian, jika tidak segera mendapat
penanganan medis .
c. Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS).
Kondisi ini juga merupakan salah satu kegawatan
dengan tingkat kematian mencapai 20%. HHS terjadi
akibat adanya lonjakan kadar gula darah yang sangat
tinggi dalam waktu tertentu. Gejala HHS ditandai
dengan haus yang berat, kejang, lemas, dan gangguan
kesadaran hingga koma. Selain itu, diabetes yang
tidak terkontrol juga dapat menimbulkan komplikasi
serius lain, yaitu sindrom hiperglikemi hiperosmolar
nonketotik. Komplikasi akut diabetes adalah kondisi
medis serius yang perlu mendapat penanganan dan
pemantauan dokter di rumah sakit.
2) Komplikasi Diabetes Melitus Kronis
Komplikasi jangka panjang biasanya berkembang
secara bertahap dan terjadi ketika diabetes tidak
dikendalikan dengan baik. Tingginya kadar gula darah
yang tidak terkontrol dari waktu ke waktu akan
menimbulkan kerusakan serius pada seluruh organ tubuh.
Beberapa komplikasi jangka panjang pada penyakit
diabetes melitus yaitu:
a. Gangguan pada mata (retinopati diabetik)
Tingginya kadar gula darah dapat merusak
pembuluh darah di retina yang berpotensi menyebabkan
kebutaan. Kerusakan pembuluh darah di mata juga
meningkatkan risiko gangguan penglihatan, seperti
katarak dan glaukoma . Deteksi dini dan pengobatan
retinopati secepatnya dapat mencegah atau menunda
kebutaan. Penderita diabetes dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan mata secara teratur.
b. Kerusakan ginjal (nefropati diabetik)
Kerusakan ginjal akibat DM disebut dengan
nefropati diabetik. Kondisi ini bisa menyebabkan gagal
ginjal, bahkan bisa berujung kematian jika tidak
ditangani dengan baik. Saat terjadi gagal ginjal,
penderita harus melakukan cuci darah rutin ataupun
transplantasi ginjal1 . Diabetes dikatakan sebagai silent
killer, karena sering kali tidak menimbulkan gejala khas
pada tahap awal. Namun pada tahap lanjut, dapat
muncul gejala seperti anemia, mudah lelah,
pembengkakan pada kaki, dan gangguan elektrolit .
Diagnosis sejak dini, mengontrol glukosa darah dan
tekanan darah, pemberian obat-obatan pada tahap awal
kerusakan ginjal, dan membatasi asupan protein adalah
cara yang bisa dilakukan untuk menghambat
perkembangan diabetes yang mengarah ke gagal ginjal.
c. Kerusakan saraf (neuropati diabetik)
Diabetes juga dapat merusak pembuluh darah dan
saraf di tubuh terutama bagian kaki. Kondisi ini biasa
disebut dengan neuropati diabetik, yang terjadi karena
saraf mengalami kerusakan, baik secara langsung
akibat tingginya gula darah, maupun karena penurunan
aliran darah menuju saraf.
Rusaknya saraf akan menyebabkan gangguan
sensorik, yang gejalanya dapat berupa kesemutan, mati
rasa, atau nyeri . Kerusakan saraf juga dapat
memengaruhi saluran pencernaan atau disebut
gastroparesis. Gejalanya berupa mual, muntah, dan
merasa cepat kenyang saat makan. Pada pria,
komplikasi diabetes melitus dapat menyebabkan
disfungsi ereksi atau impotensi. Komplikasi jenis ini
bisa dicegah dan ditunda hanya jika diabetes terdeteksi
sejak dini, sehingga kadar gula darah bisa dikendalikan
dengan menerapkan pola makan dan pola hidup yang
sehat, serta mengonsumsi obat sesuai anjuran dokter.
d. Masalah kaki dan kulit
Komplikasi yang juga umum terjadi adalah
masalah pada kulit dan luka pada kaki yang sulit
sembuh. Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan
pembuluh darah dan saraf, serta aliran darah ke kaki
yang sangat terbatas. Gula darah yang tinggi
mempermudah bakteri dan jamur untuk berkembang
biak. Terlebih lagi akibat diabetes juga terjadi
penurunan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan
diri . Jika tidak dirawat dengan baik, kaki penderita
diabetes berisiko untuk mudah luka dan terinfeksi
sehingga menimbulkan gangren dan ulkus diabetikum.
Penanganan luka pada kaki penderita diabetes adalah
dengan pemberian antibiotik, perawatan luka yang baik,
hingga kemungkinan amputasi bila kerusakan jaringan
sudah parah.
e. Penyakit kardiovaskular
Kadar gula darah yang tinggi dapat
menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga
terjadi gangguan pada sirkulasi darah di seluruh tubuh
termasuk pada jantung. Komplikasi yang menyerang
jantung dan pembuluh darah meliputi penyakit jantung,
stroke, serangan jantung, dan penyempitan arteri
(aterosklerosis) . Mengontrol kadar gula darah dan
faktor risiko lainnya dapat mencegah dan menunda
komplikasi pada penyakit kardiovaskular . Komplikasi
diabetes melitus lainnya bisa berupa gangguan
pendengaran, penyakit alzheimer, depresi, dan masalah
pada gigi dan mulut.

2.2 Definisi diabetes mellitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan suatu kelompok


penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sembilan puluh
persen dari kasus diabetes adalah DMT2 dengan karakteristik gangguan
sensitivitas insulin dan/atau gangguan sekresi insulin. DMT2 secara klinis
muncul ketika tubuh tidak mampu lagi memproduksi cukup insulin unuk
mengkompensasi peningkatan insulin resisten.

DMT2 menjadi masalah kesehatan dunia karena prevalensi dan


insiden penyakit ini terus meningkat, baik di negara industri maupun
negara berkembang, termasuk juga Indonesia. DMT2 merupakan suatu
epidemi yang berkembang, mengakibatkan penderitaan individu dan
kerugian ekonomi yang luar biasa.[ CITATION Dec19 \l 2057 ]

2.2.1 Patofisiologi diabetes mellitus tipe 2

a) Resistensi

Insulin Dua patofisiologi utama yang mendasari


terjadinya kasus DMT2 secara genetik adalah resistensi insulin
dan defek fungsi sel beta pankreas. Resistensi insulin merupakan
kondisi umum bagi orang-orang dengan berat badan overweight
atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara optimal di sel
otot, lemak, dan hati sehingga memaksa pankreas
mengkompensasi untuk memproduksi insulin lebih banyak.
Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat
guna mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka
kadar glukosa darah akan meningkat, pada saatnya akan terjadi
hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik pada DMT2
semakin merusak sel beta di satu sisi dan memperburuk
resistensi insulin di sisi lain, sehingga penyakit DMT2 semakin
progresif. Secara klinis, makna resistensi insulin adalah adanya
konsentrasi insulin yang lebih tinggi dari normal yang
dibutuhkan untuk mempertahankan normoglikemia. Pada
tingkat seluler, resistensi insulin menunjukan kemampuan yang
tidak adekuat dari insulin signaling mulai dari pre reseptor,
reseptor, dan post reseptor. Secara molekuler beberapa faktor
yang diduga terlibat dalam patogenesis resistensi insulin antara
lain, perubahan pada protein kinase B, mutasi protein Insulin
Receptor Substrate (IRS), peningkatan fosforilasi serin dari
protein IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase), protein
kinase C, dan mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen
IR (Insulin Receptor).

b) Disfungsi Sel Beta Pankreas

Pada perjalanan penyakit DMT2 terjadi penurunan fungsi


sel beta pankreas dan peningkatan resistensi insulin yang
berlanjut sehingga terjadi hiperglikemia kronik dengan segala
dampaknya. Hiperglikemia kronik juga berdampak
memperburuk disfungsi sel beta pankreas. Sebelum diagnosis
DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas dapat memproduksi insulin
secukupnya untuk mengkompensasi peningkatan resistensi
insulin. Pada saat diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas
tidak dapat memproduksi insulin yang adekuat untuk
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin oleh karena
pada saat itu fungsi sel beta pankreas yang normal tinggal 50%.
Pada tahap lanjut dari perjalanan DMT2, sel beta pankreas
diganti dengan jaringan amiloid, akibatnya produksi insulin
mengalami penurunan sedemikian rupa, sehingga secara klinis
DMT2 sudah menyerupai DMT1 yaitu kekurangan insulin
secara absolut.

Sel beta pankreas merupakan sel yang sangat penting


diantara sel lainnya seperti sel alfa, sel delta, dan sel jaringan
ikat pada pankreas. Disfungsi sel beta pankreas terjadi akibat
kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan. Jumlah dan
kualitas sel beta pankreas dipengaruhi oleh beberapa hal antara
lain proses regenerasi dan kelangsungan hidup sel beta itu
sendiri, mekanisme selular sebagai pengatur sel beta,
kemampuan adaptasi sel beta ataupun kegagalan
mengkompensasi beban metabolik dan proses apoptosis sel.

Pada orang dewasa, sel beta memiliki waktu hidup 60 hari.


Pada kondisi normal, 0,5 % sel beta mengalami apoptosis tetapi
diimbangi dengan replikasi dan neogenesis. Normalnya, ukuran
sel beta relatif konstan sehingga jumlah sel beta dipertahankan
pada kadar optimal selama masa dewasa. Seiring dengan
bertambahnya usia, jumlah sel beta akan menurun karena proses
apoptosis melebihi replikasi dan neogenesis. Hal ini
menjelaskan mengapa orang tua lebih rentan terhadap terjadinya
DMT2.

Pada masa dewasa, jumlah sel beta bersifat adaptif terhadap


perubahan homeostasis metabolik. Jumlah sel beta dapat
beradaptasi terhadap peningkatan beban metabolik yang
disebabkan oleh obesitas dan resistensi insulin. Peningkatan
jumlah sel beta ini terjadi melalui peningkatan replikasi dan
neogenesis, serta hipertrofi sel beta.

Ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana


terjadinya kerusakan sel beta, diantaranya adalah teori
glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan penumpukan amiloid. Efek
hiperglikemia terhadap sel beta pankreas dapat muncul dalam
beberapa bentuk. Pertama adalah desensitasi sel beta pankreas,
yaitu gangguan sementara sel beta yang dirangsang oleh
hiperglikemia yang berulang. Keadaan ini akan kembali normal
bila glukosa darah dinormalkan. Kedua adalah ausnya sel beta
pankreas yang merupakan kelainan yang masih reversibel dan
terjadi lebih dini dibandingkan glukotoksisitas. Ketiga adalah
kerusakan sel beta yang menetap.

Pada DMT2, sel beta pankreas yang terpajan dengan


hiperglikemia akan memproduksi reactive oxygen species
(ROS). Peningkatan ROS yang berlebihan akan menyebabkan
kerusakan sel beta pankreas. Hiperglikemia kronik merupakan
keadaan yang dapat menyebabkan berkurangnya sintesis dan
sekresi insulin di satu sisi dan merusak sel beta secara gradual.

c) Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam


terjadinya penyakit DMT2. Faktor lingkungan tersebut adalah
adanya obesitas, banyak makan, dan kurangnya aktivitas fisik.

Peningkatan berat badan adalah faktor risiko terjadinya


DMT2. Walaupun demikian sebagian besar populasi yang
mengalami obesitas tidak menderita DMT2. Penelitian terbaru
telah menelaah adanya hubungan antara DMT2 dengan obesitas
yang melibatkan sitokin proinflamasi yaitu tumor necrosis factor
alfa (TNFα) dan interleukin-6 (IL-6), resistensi insulin,
gangguan metabolisme asam lemak, proses selular seperti
disfungsi mitokondria, dan stres retikulum endoplasma.

2.2.2 Diagnosis diabetes melitus tipe 2

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar


glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa darah secara enzimatik dengan bahan plasma
darah vena. Penggunaan darah vena ataupun kapiler tetap dapat
dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.

Kecurigaan adanya DMT2 perlu dipikirkan apabila terdapat


keluhan klasik berupa; poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena


dengan sistem enzimatik dengan hasil :

1. Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl


2. Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl
3. Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
4. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
5. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
6. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah
TTGO ≥ 200 mg/dl 7. HbA1c ≥ 6.5% Meskipun TTGO
dengan beban glukosa 75 g lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan pemeriksaan glukosa darah puasa, TTGO
memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit dilakukan
berulang-ulang. Apabila
hasil pemeriksaan TTGO tidak memenuhi kriteria DMT2, dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT (toleransi glukosa
terganggu/ impaired glucose tolerance) atau GDPT (Glukosa Darah
Puasa Terganggu/ impaired fasting glucose). Diagnosis TGT
ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
darah 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dL. Diagnosis
GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa darah puasa
didapatkan antara 100-125 mg/dL.

a) Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

Dalam tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan


seperti kebiasaan sehari-hari dan tetap melakukan kegiatan
jasmani seperti biasa. Pasien diharuskan berpuasa paling
sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan.
Minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. Setelah
diperiksa kadar glukosa darah puasa, penderita diberikan
glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 mL, kemudian
penderita berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah
2 jam setelah minum larutan glukosa.

b) Pemeriksaan penyaring

Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang


mempunyai risiko DM namun tidak menunjukkan adanya
gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
menemukan pasien dengan DM, TGT maupun GDPT,
sehingga dapat ditangani lebih dini. Pasien dengan TGT dan
GDPT juga disebut sebagai pasien prediabetes. Prediabetes ini
merupakan tahapan sementara menuju DM.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan


pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa
darah puasa. Apabila pada pemeriksaan penyaring didapatkan
hasil peningkatan kadar glukosa darah sesuai dengan kriteria
diagnosis diabetes, maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
untuk mengkonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa ulang atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass
screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal.
Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat
pemeriksaan untuk penyakit lain (misalnya pada pasien dengan
sindrom metabolik) atau general check-up.

Tabel Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa pada DM dan


non-DM

Bukan Prediabetes Diabetes


diabetes melitus
mellitus
Kadar Plasma < 100 100-199 > 200
glukosa vena
darah
sewaktu
Darah < 90 90-199 > 200
(mg/dl)
kapiler

Kadar Plasma < 100 100-125 > 126


glukosa vena
darah
Puasa
(mg/dl) Darah < 90 90-99 >100
kapiler

2.2.3 Manisfestasi Klinik

Seseorang yang menderita DM dapat memiliki gejala antara


lain :
1) poliuria (sering kencing).
2) polidipsia (sering merasa haus).
3) polifagia (sering merasa lapar).
4) penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
5) lemah badan dan kurangnya energy.
6) kesemutan di tangan atau kaki.
7) gatal, mudah terkena infeksi bakteri atau jamur.
8) penyembuhan luka yang lama.
9) dan mata kabur.
10) Namun, pada beberapa kasus, penderita DM tidak
menunjukkan adanya gejala.

2.2.4 Pencegahan diabetes mellitus


Pencegahan penyakit Diabetes Melitus (DM) terutama
ditujukan kepada orang-orang yang memiliki risiko untuk
menderita DM. Tujuannya adalah untuk memperlambat timbulnya
DM, menjaga fungsi sel penghasil insulin di pankreas, dan
mencegah atau memperlambat munculnya gangguan pada jantung
dan pembuluh darah. Faktor risiko DM dapat dibedakan menjadi
faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat
dimodifikasi.
Usaha pencegahan dilakukan dengan mengurangi risiko
yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi contohnya ras dan etnik, riwayat anggota keluarga
menderita DM, usia lebih dari 45 tahun (risiko menderita DM
meningkat seiring bertambahnya usia), riwayat melahirkan bayi
dengan berat badan lahir bayi > 4000gram atau riwayat pernah
menderita DM gestasional (DMG), dan riwayat lahir dengan berat
badan rendah (kurang dari 2,5 kg). Faktor risiko yang dapat
dimodifikasi contohnya berat badan berlebih (IMT ≥ 23 kg/m2 ),
kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (>140/90 mmHg), gangguan
profil lipid dalam darah (HDL < 35 mg/dL dan/atau trigliserida >
250 mg/dL), dan diet tidak sehat yang tinggi gula dan rendah serat.
Pencegahan DM juga harus dilakukan oleh pasien-pasien pre-
diabetes yakni mereka yang mengalami intoleransi glukosa
[glukosa darah puasa terganggu (GDPT) dan toleransi glukosa
terganggu (TGT)] dan berisiko tinggi mederita DM [mereka yang
memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit
jantung koroner, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).
Pencegahan DM pada orang-orang yang berisiko pada
prinsipnya adalah dengan mengubah gaya hidup yang meliputi olah
raga, penurunan berat badan, dan pengaturan pola makan.
Berdasarkan analisis terhadap sekelompok orang dengan perubahan
gaya hidup intensif, pencegahan diabetes paling berhubungan
dengan penurunan berat badan. Menurut penelitian, penurunan
berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya
DM. Dianjurkan pula melakukan pola makan yang sehat, yakni
terdiri dari karbohidrat kompleks, mengandung sedikit lemak
jenuh, dan tinggi serat larut. Asupan kalori ditujukan untuk
mencapai berat badan ideal.
Akitivitas fisik harus ditingkatkan dengan berolahraga rutin,
minimal 150 menit per minggu, dibagi 3-4 kali seminggu. Olahraga
dapat memperbaiki resistensi insulin yang terjadi pada pasien pre-
diabetes, meningkatkan kadar HDL (kolesterol baik), dan
membantu mencapai berat badan ideal. Selain olah raga, dianjurkan
juga lebih aktif saat beraktivitas sehari-hari, misalnya dengan
memilih menggunakan tangga dari pada elevator, berjalan kaki ke
pasar daripada menggunakan mobil, dan lain-lain. Merokok,
walaupun tidak secara langsung menimbulkan intoleransi glukosa,
dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi
glukosa dan DM. Oleh karena itu, pasien juga dianjurkan berhenti
merokok.
1.) Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan
pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka
yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk menderita DM
dan intoleransi glukosa. Identifikasi dan pemeriksaan
penyaring kelompok risiko tinggi diabetes dan pre-diabetes
dapat dilihat pada penjelasan bab sebelumnya. Pencegahan
primer DM dilakukan dengan tindakan penyuluhan dan
pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat
yang mempunyai risiko tinggi DM dan intoleransi glukosa.
Upaya pencegahan dilakukan terutama melalui
perubahan gaya hidup. Berbagai bukti yang kuat
menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup dapat
mencegah DM. Perubahan gaya hidup harus menjadi
intervensi awal bagi semua pasien terutama kelompok
risiko tinggi. Perubahan gaya hidup juga dapat sekaligus
memperbaiki komponen faktor risiko diabetes dan
sindroma metabolik lainnya seperti obesitas, hipertensi,
dislipidemia, dan hiperglikemia.
Indikator keberhasilan intervensi gaya hidup adalah
penurunan berat badan 0,5 - 1 kg/minggu atau 5-7%
penurunan berat badan dalam 6 bulan dengan cara
mengatur pola makan dan meningkatkan aktifitas fisik.
Penelitian Diabetes Prevention Programme (DPP)
menunjukkan bahwa intervensi gaya hidup yang intensif
dapat menurunkan 58% insiden DM tipe 2 dalam tiga
tahun. Tindak lanjut dari DPP Outcome Study
menunjukkan penurunan insiden DM tipe 2 sampai 34%
dan 27 % dalam 10 dan 15 tahun.
Perubahan gaya hidup yang dianjurkan untuk
individu risiko tinggi DM dan intoleransi glukosa adalah:
a. Pengaturan pola makan
1. Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai
berat badan ideal.
2. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan
diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga
tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah
yang tinggi setelah makan.
3. Komposisi diet sehat mengandung sedikit lemak
jenuh dan tinggi serat larut.
b. Meningkatkan aktifitas fisik dan latihan jasmani
Latihan jasmani yang dianjurkan:
1. Latihan dikerjakan sedikitnya selama 150
menit/minggu dengan latihan aerobik sedang
(mencapai 50 - 70% denyut jantung maksimal) atau
90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat
(mencapai denyut jantung > 70% maksimal).
2. Latihan jasmani dibagi menjadi 3 – 4 kali
aktivitas/minggu.
c. Menghentikan kebiasaan merokok.
d. Pada kelompok dengan risiko tinggi diperlukan
intervensi farmakologis.
Tidak semua individu dengan risiko tinggi dapat
menjalankan perubahan gaya hidup dan mencapai
target penurunan berat badan seperti yang diharapkan,
oleh karena itu dibutuhkan intervensi lain yaitu dengan
penggunaan obatobatan. Intervensi farmakologis untuk
pencegahan DM direkomendasikan sebagai intervensi
sekunder yang diberikan setelah atau bersamasama
dengan intervensi perubahan gaya hidup.
Metformin merupakan obat yang dapat digunakan
dalam pencegahan diabetes dengan bukti terkuat dan
keamanan jangka panjang terbaik. Metformin dapat
dipertimbangkan pemberiannya pada pasien pre-
diabetes berusia < 60 tahun dengan obesitas atau wanita
dengan riwayat diabetes gestasional. Obat lain yang
dapat dipertimbangkan adalah alfa glukosidase
inhibitor (Acarbose) yang bekerja dengan cara
menghambat kerja enzim alfa glukosidase yang
mencerna karbohidrat. Berdasarkan studi STOP-
NIDDM dalam tindak lanjut selama 3,3 tahun, acarbose
terbukti menurunkan risiko DM tipe 2 sampai 25% dan
risiko penyakit kardiovaskular sebesar 49%.

2.) Pencegahan Sekunder


terhadap Komplikasi Diabetes Melitus Pencegahan
sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis
DM. Tindakan pencegahan sekunder dilakukan dengan
pengendalian kadar glukosa sesuai target terapi serta
pengendalian faktor risiko penyulit yang lain dengan
pemberian pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi
dini adanya penyulit merupakan bagian dari pencegahan
sekunder. Tindakan ini dilakukan sejak awal pengelolaan
penyakit DM. Program penyuluhan memegang peran
penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam
menjalani program pengobatan sehingga mencapai target
terapi yang diharapkan. Penyuluhan dilakukan sejak
pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada
pertemuan berikutnya.
Menurut Kushartanti, kegiatan yang tepat untuk
mencapai program pencegahan sekunder pada penderita
DM yaitu:
a. Diet yaitu menkonsumsi makanan yang berserat tinggi,
rendah gula, dan banyak air putih.
b. Olahraga yang teratur.
1. Olahraga intermiten (1 – 3 – 1) untuk mengelola
kadar glukosa darah dan memperbaiki profil lipid.
Perbandingan irama gerak 1-3-1 artinya 1 (anaerob),
3 (aerob), dan 1 (anaerob)
2. Stretching dan loosening untuk kelenturan sendi dan
lancarnya aliran darah tepi.
3. Meditasi dan senam pernafasan.
Olahraga yang dianjurkan untuk penderita diabetes
adalah olahraga aerobic low impact dan ritmis
seperti senam, jogging, berenang dan naik sepeda.
Porsi latihan juga harus diperhatikan, latihan yang
berlebihan akan merugikan kesehatan, sedangkan
Latihan yang terlalu sedikit tidak begitu bermanfaat.
Penentuan porsi latihan tersebut harus
memperhatikan intensitas latihan, lama latihan dan
frekuensi latihan.
3.) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok
penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam
upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta
meningkatkan kualitas hidup. Upaya rehabilitasi pada
pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan
menetap. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan
penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan
termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan
kesehatan komprehensif dan terintegrasi antar disiplin yang
terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama yang
baik antara para ahli di berbagai disiplin (jantung, ginjal,
mata, saraf, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medis, gizi, pediatris, dan lain-lain.) sangat
diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan
tersier.

2.2.5 Penatalaksanaan diabetes mellitus

Diabetes Melitus (DM) memang penyakit yang tidak dapat


disembuhkan, namun dapat dikendalikan sehingga penderita
dapat menjalani hidupnya dengan normal. Pengendalian tersebut
meliputi pengaturan pola makan (diet), olahraga, dan pengobatan
pemeriksaan gula darah.

1) Pengaturan pola makan


Pengaturan pola makan atau diet pada penderita DM
prinsipnya hampir sama dengan pengaturan makanan pada
masyarakat umumnya yaitu dengan mempertimbangkan
jumlah kebutuhan kalori serta gizi yang seimbang. Penderita
DM ditekankan pada pengaturan dalam 3 J yakni keteraturan
jadwal makan, jenis makan, dan jumlah kandungan kalori.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat
yang tidak lebih dari 45-65% dari jumlah total asupan energi
yang dibutuhkan, lemak yang dianjurkan 20-25% kkal dari
asupan energi, protein 10-20% kkal dari asupan energy.
a. Tujuan umum penatalaksanaan diet pada diabetes melitus
adalah:
 Mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati kadar normal.
 Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati
kadar yang optimal.
 Mencegah komplikasi akut dan kronik
 Meningkatkan kualitas hidup
2) Olahraga
Olahraga atau latihan jasmani seharusnya dilakukan
secara rutin yaitu sebanyak 3-5 kali dalam seminggu selama
kurang lebih 30 menit dengan jeda latihan tidak lebih dari 2
hari berturut-turut. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-
hari bukan termasuk dalam olahraga meskipun dianjurkan
untuk selalu aktif setiap hari . Olahraga selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan guna untuk
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga dapat
mengedalikan kadar gula darah. Olahraga yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang . Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Kegiatan yang kurang gerak seperti
menonton televisi perlu dibatasi atau jangan terlalu lama .
Apabila kadar gula darah < 100 mg/dl maka pasien DM
dianjurkan untuk makan terlebih dahulu, dan jika kadar gula
darah > 250 mg/dl maka latihan harus ditunda terlebih
dahulu. Kegiatan fisik sehari-hari bukan dikatakan sebagai
latihan jasmani.
3) Pengobatan
Pengobatan pada penderita DM diberikan sebagai
tambahan jika pengaturan diet serta olahraga belum dapat
mengendalikan gula darah. Pengobatan disini berupa
pemberian obat hiperglikemi oral (OHO) atau injeksi insulin.
Dosis pengobatan ditentukan oleh dokter.
a. Obat

Obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO)

1. Golongan sulfoniluria

Cara kerja golongan ini adalah: merangsang sel


beta pankreas untuk mengeluarkan insulin, jadi
golongan sulfonuria hanya bekerja bila sel-sel beta
utuh, menghalangi pengikatan insulin,
mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin
dan menekan pengeluaran glukagon. Indikasi
pemberian obat golongan sulfoniluria adalah:bila
berat badan sekitar ideal kurang lebih 10% dari
berat badan ideal, bila kebutuhan insulin kurang
dari 40 u/hari, bila tidak ada stress akut, seperti
infeksi berat/perasi. Junadi, 1982).

2. Golongan biguanid

Cara kerja golongan ini tidak merangsang


sekresi insulin. Golongan biguanid dapat
menurunkan kadar gula darah menjadi normal dan
istimewanya tidak pernah menyebabkan
hipoglikemi.(Junadi, 1982).
Efek samping penggunaan obat ini
(metformin) menyebabkan anoreksia, neusea, nyeri
abdomen dan diare. Metformin telah digunakan
padaklien dengan gangguan hati dan ginjal,
penyalahgunaan alkohol, kehamilan atau
insufisiensi cardiorespiratory.

3. Alfa Glukosidase Inhibitor

Obat ini berguna menghambat kerja insulin


alfaglukosidase didalam saluran cerna sehingga
dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikenia post prandial. Obat ini
bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemi dan tidak berpengaruh pada kadar
insulin. Alfa glukosidase inhibitor dapat
menghambat bioavailabilitas metformin Jika
dibiarkan bersamaan pada orang normal.

4. Insulin Sensitizing Agent

Obat ini mempunyai efek farmokologi


meningkatkan sensitifitas berbagai masalah akibat
resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemia.

b. Insulin

Dari sekian banyak jenis insulin, untuk praktisnya


hanya 3 jenis yang penting menurut cara kerjanya,
yakni menurut Junadi, 1982, diantaranya adalah

1. Yang kerjanya cepat: RI (Regular Insulin)


denganmasa kerja 2-4 jam contoh
obatnya:Actrapid.
2. Yang kerjanya sedang: NPN, dengan masa kerja 6-
12 jam.
3. Yang kerjanya lambat: PZI (Protamme Zinc
Insulin) massa kerjanya 18-24 jam.Untuk pasien
yang pertama kali akan dapat insulin, sebaiknya
selalu dimulai dengan dosis redah (8-20 unit)
disesuaikan dengan reduksi urine dan glukosa
darah.Selalu dimulai dengan RI, diberikan 3 kali
(misalnya 3 x 8 unit) yang disuntikkan subkutan1/2
jam sebelum makan. Jika masih kurang dosis
dinaikkan sebanyak 4 unit per tiap suntikan.
Setelah keadaan stabil RI dapat diganti dengan
insulin kerjasedang atau lama PZI mempunyai efek
maksium setelah 20-24 jam setelah penyuntikan.
PZI disuntik1/4 jam sebelum makan pagi dengan
dosis 2/3 dari dosis total RI sehari. Dapat pula
diberikan kombinasi RI dengan PZI diberikan
sekali sehari. Misalnya semula diberikan RI 3 x 20
unit dapat diganti dengan pemberian RI 20 unit dan
PZI 30 unit.[ CITATION Suk13 \l 2057 ].
c. Pemeriksaan gula darah
Pemeriksaan gula darah digunakan untuk
memantau kadar gula darah. Pemeriksaan yang
dilakukan meliputi pemeriksaan kadar gula darah
puasa dan glukosa 2 jam setelah makan yang bertujuan
untuk mengetahui keberhasilan terapi. Selain itu pada
pasien yang telah mencapai sasaran terapi disertai
dengan kadar gula yang terkontrol maka pemeriksaan
tes hemoglobin terglikosilasi (HbA1C) bisa dilakukan
minimal 1 tahun 2 kali. Selain itu pasien DM juga
dapat melakukan pemeriksaan gula darah mandiri
(PGDM) dengan menggunakan alat yang sederhana
serta mudah untuk digunakan (glukometer). Hasil
pemeriksaan gula darah menggunakan alat ini dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan
teratur serta pemeriksaan menggunakan sesuai dengan
standar yang telah dianjurkan.

2.2.6 Komplikasi diabetes mellitus ulkus kaki diabetik

Diabetes melitus ditandai dengan kadar gula darah yang


tinggi. Pengobatan diabetes, baik obat minum maupun suntikan
insulin, bertujuan untuk mengendalikan kenaikan gula darah
tersebut. Apabila kadar gula darah tidak dikendalikan maka akan
terjadi berbagai komplikasi baik jangka pendek (akut) maupun
jangka panjang (kronik).
Komplikasi jangka panjang biasanya berkembang secara
bertahap dan terjadi ketika diabetes tidak dikendalikan dengan
baik. Tingginya kadar gula darah yang tidak terkontrol dari waktu
ke waktu akan menimbulkan kerusakan serius pada seluruh organ
tubuh. Salah satu komplikasi jangka panjang yang sering dialami
pada penyakit diabetes melitus yaitu:
a) Ulkus kaki diabetik

Ulkus kaki diabetik (UKD) merupakan salah satu


komplikasi kronik dari DMT2 yang sering ditemui.UKD
adalah penyakit pada kaki penderita diabetes dengan
karakteristik adanya neuropati sensorik, motorik, otonom dan
atau gangguan pembuluh darah tungkai. UKD merupakan
salah satu penyebab utama penderita diabetes dirawat di rumah
sakit. Ulkus, infeksi, gangren, amputasi, dan kematian
merupakan komplikasi yang serius dan memerlukan biaya
yang tidak sedikit dan perawatan yang lebih lama. Amputasi
merupakan konsekuensi yang serius dari UKD. Sebanyak
14,3% akan meninggal dalam setahun setelah amputasi, dan
sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi. Bila
dilakukan deteksi dini dan pengobatan yang adekuat akan
dapat mengurangi kejadian tindakan amputasi. Perhatian yang
lebih pada kaki penderita DM dan pemeriksaan secara reguler
diharapkan akan mengurangi kejadian komplikasi berupa ulkus
diabetik, yang pada akhirnya akan mengurangi biaya rawat dan
kecacatan.Oleh karena itu perlu peningkatan pemahanan
mengenai diagnosis UKD yang kemudian dilanjutkan dengan
penatalaksanaan yang optimal. Penatalaksanaan UKD yang
optimal memerlukan pendekatan multidisiplin, seperti ahli
bedah, ahli endokrin, ahli patologi klinik, ahli mikrobiologi,
ahli gizi, ahli rehabilitasi medik dan perawat mahir kaki.
[ CITATION Dec19 \l 2057 ].

1. Epidemiologi

Tingkat morbiditas UKD sangat tinggi demikian


juga dengan angka mortalitas 5 tahun setelah amputasi
ekstremitas bawah. Kunci utama untuk menurukan
morbiditas dan mortalitas ini adalah pencegahan yaitu
mengetahui dan mengobati diabetes lebih dini dan menilai
kelainan kaki penderita DMT2 lebih awal. Lebih dari
setengah ulkus kaki akan terinfeksi dan membutuhkan
rawat inap, dan 20% dari infeksi ekstremitas bawah akan
berakhir dengan amputasi. Prevalensi UKD bervariasi dari
sekitar 1% di Eropa dan lebih dari 11% di beberapa negara
Afrika. Di negara-negara berkembang, ulkus kaki dan
amputasi masih sangat umum terjadi. Kemiskinan,
kurangnya sanitasi dan kebersihan, dan berjalan kaki tanpa
alas kaki sering berinteraksi menambah dampak kerusakan
UKD. Di RSUP DR M Djamil angka amputasi pada
penderita UKD adalah sebesar 40%. Penatalaksanaan
diabetes dan perawatan kaki komprehensif dapat
mengurangi komplikasi dan amputasi kaki hingga85%.
2. Patogenesis

Ulkus Kaki Diabetik (UKD) Faktor yang berperan


pada patogenesis UKD meliputi hiperglikemia kronik,
neuropati perifer, keterbatasan sendi dan deformitas.
Perubahan fisiologis yang diinduksi oleh “hiperglikemia
jaringan” ekstremitas bawah termasuk penurunan potensial
pertukaran oksigen dengan membatasi proses pertukaran
atau melalui induksi kerusakan pada sistem saraf otonom
yang menyebabkan shunting darah yang kaya oksigen
menjauhi permukaan kulit. Sistem saraf dirusak oleh
keadaan hiperglikemia melalui berbagai cara sehingga lebih
mudah terjadinya cedera pada saraf tersebut. Sedikitnya ada
3 mekanisme kerusakan saraf yang disebabkan oleh
hiperglikemia, yaitu efek metabolik, kondisi mekanik, dan
efek kompresi kompartemen tungkai bawah. Penurunan
kadar oksigen jaringan, yang digabung dengan fungsi saraf
sensorik dan motorik yang terganggu bisa menyebabkan
UKD.

Kerusakan saraf pada diabetes mengenai serat


motorik, sensorik, dan otonom. Neuropati motorik
menyebabkan kelemahan otot, atrofi, dan paresis.
Neuropati sensorik menyebabkan hilangnya sensasi nyeri,
tekanan, dan panas yang protektif. Neuropati otonom yang
menyebabkan vasodilatasi dan pengurangan keringat juga
bisa menyebabkan kehilangan integritas kulit, y ang
membentuk lokasi ideal untuk invasi mikrobial.

Keterbatasan mobilitas sendi pada sendi subtalar


dan metatarsalphalangeal sangat sering terjadi pada pasien
DMT2 berhubungan dengan glikosilasi kolagen yang
menyebabkan penebalan struktur periartikuler, seperti
tendon, ligamen, dan kapsul sendi. Hilangnya sensasi
karena neuropati pada sendi menyebabkan artropati kronik,
progresif, dan destruktif. Glikosilasi kolagen ikut
memperburuk penurunan fungsi tendon Achilles pada
pasien DMT2 sehingga pergerakan tendon Achilles
menyebabkan deformitas. Pada keadaan di atas bila kaki
mendapat tekanan yang tinggi maka memudahkan
terjadinya ulserasi pada pasien DMT2.

UKD juga dapat terjadi oleh karena adanya


gangguan pada aliran darah pembuluh darah tungkai yang
merupakan manifestasi dari penyakit arteri perifer. Penyakit
arteri perifer pada pembuluh darah tungkai didasari oleh
hiperglikemia kronik, kerusakan endotel dan terbentuknya
plak aterosklerosis.

3. Diagnosis Ulkus Kaki Diabetik (UKD)

Deteksi dini kelainan pada kaki penderita DMT2,


khususnya pada pasien dengan risiko tinggi, membantu
untuk menentukan intervensi awal dan mengurangi potensi
perawatan dirumah sakit atau amputasi. Deteksi dini itu
meliputi identifikasi riwayat keluhan kaki dan pemeriksaan
fisik. Anamnesis secara rinci meliputi riwayat ulkus
sebelumnya, riwayat amputasi, riwayat trauma, dan
anamnesis mengenai penyakit yang mendasarinya serta
kebiasaan merokok. Pemeriksaan fisik yang penting adalah
penilaian adanya neuropati tungkai, kelainan anatomi
tungkai dan kelainan vaskuler tungkai serta tanda-tanda
infeksi.

4. Penilaian Infeksi pada UKD

Untuk menilai adanya infeksi, pertama dilakukan


pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui
apakah ada peningkatan leukosit dengan peningkatan
neutrofil segmen. Sebagai gold standard adanya infeksi
pada UKD adalah ditemukan hasil kultur yang positif pada
swab ulkus. Lebih lanjut, suatu UKD yang mengalami
infeksi harus dicurigai apakah sudah terjadi osteomyelitis
atau belum yaitu dengan melakukan pemeriksaan
radiologis. Rontgen pedis biasa harus dilakukan sebagai
pemeriksaan radiologi awal pasien diabetes dengan tanda
dan gejala klinis penyakit UKD. Pada pemeriksaan rontgen
pedis dapat ditemukan gambaran osteomielitis, osteolisis,
fraktur, dislokasi, kalsifikasi arteri medial, gas jaringan
lunak, benda asing, serta adanya arthritis. Osteomielitis
akut pada rontgen pedis biasanya tidak menunjukkan
perubahan tulang hingga 14 hari berikutnya. Pada
osteomielitis akut diperlukan pemeriksaan radiologis serial.

Bone scan dengan Technetium-99 methylene


diphosphonate (Tc-99 MDP) sering digunakan untuk
mencari osteomielitis pada infeksi UKD. Pemeriksaan ini
memiliki sensitifitas yang tinggi, tidak spesifik untuk
pemeriksaan kaki neuropati. Tidak spesifiknya pemeriksaan
ini disebabkan oleh adanya peningkatan radiotracer uptake
pada banyak kondisi seperti: osteomielitis, fraktur, arthritis,
dan neuropati artropati.

Computed tomography scanning (CT scan)


diindikasikan untuk menilai tulang dan sendi yang dicurigai
mengalami gangguan, tetapi tidak terbukti pada
pemeriksaan radiologi biasa. CT scan dapat memberikan
gambaran fragmentasi tulang dan subluksasio sendi.

Magnetic resonance imaging (MRI) untuk


pemeriksaan osteomielitis lebih disukai dari CT scan
karena resolusi gambar yang lebih baik dan dapat melihat
proses infeksi yang meluas. MRI digunakan untuk menilai
osteomielitis, abses dalam, dan ruptur tendon. Mekipun
mahal, MRI diterima secara luas dalam diagnostik radiologi
infeksi UKD.Penggunaan ultrasonografi (USG) untuk
deteksi osteomielitis kronis tampaknya lebih superior di
bandingkan dengan rontgen biasa, sensitifitas yang
sebanding dengan Tc-99 MDP bone scanning.

2.2.7 Penatalaksanaan diabetes mellitus Ulkus Kaki Diabetik

Penatalaksanaan UKD dapat dibagi menjadi 2 kelompok


besar, yaitu pencegahan primer (pencegahan sebelum terjadinya
ulkus) dan pencegahan sekunder (pencegahan dan penatalaksanaan
ulkus/ gangren diabetik yang sudah terjadi) agar tidak terjadi
kecacatan yang lebih parah.
Pencegahan primer Penyuluhan mengenai bagaimana
terjadinya UKD sangat penting untuk mempertahankan kondisi
kaki yang masih baik selama mungkin dan tidak berlanjut ke
tingkat yang lebih berat. Penyuluhan ini dilakukan beriringan
dengan penyuluhan mengenai kontrol glukosa darah untuk pasien
diabetes melitus, seperti diet, olahraga, dan gaya hidup. Edukasi
pasien dan praktek mandiri pasien seperti menjaga kebersihan kaki,
mempertahankan kelembaban kulit kaki dengan pelembab, dan
perawatan kuku sebaiknya dilakukan pada kegiatan penyuluhan.
Pengelolaan UKD terutama ditujukan untuk pencegahan
terjadinya ulkus yang disesuaikan dengan risiko kaki. Berbagai
upaya pencegahan dilakukan sesuai dengan tingkat besarnya risiko
tersebut. Dengan memberikan alas kaki yang sesuai, berbagai hal
terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik dapat dicegah.
Dalam pengelolaan UKD, kerja sama multi disipliner
sangat diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik
agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan
sebagai berikut :
1. Kontrol metabolik : sebaiknya menggunakan insulin agar
kadar glukosa darah normal dapat cepat dicapai.
2. Kontrol neuropati : menggunakan golongan vasodilator seperti
cilostazol ataupun antiplatelet.
3. Kontrol vaskuler : dilakukan dengan melakukan penilaian
dengan seksama terhadap kelainan vaskuler tungkai.
4. Kontrol mekanis-tekanan : dilakukan dengan bekerjasama
dengan ahli kaki, dokter bedah vaskuler, dan rehabilitasi
medik.
5. Kontrol luka dan mikrobiologi : dilakukan dengan
membersihkan luka secara adekuat dan memberikan antibiotik
sesuai kultur.

2.3 Pendidikan Kesehatan

Pendidikan adalah suatu kebutuhan dasar yang harus dimiliki oleh


semua orang. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses memperoleh ilmu
dan pengetahuan. Pendidikan ini dapat dicapai dengan cara formal dan
non-formal.Cara formalnya dengan mengikuti program-program seperti
sekolah atau pelatihan pelatihan sedangkan cara non-formalnya dengan
membaca buku melalui media atau mengikuti seminar dan penyuluhan
yang diuadakan oleh berbagai macam pihak. Kesehatan yaitu keadan sehat
baik fisik, mental,sosial maupun ekonomi.

Proses pendidikan kesehatan dapat dilakukan secara individu,


kelompok maupun masyarakat sehingga di sesuaikan kondisi
lingkungnnya . cara ini dapat berupa cara belajar yang tiak terlepas dari
persoalan masukan , proses belajar dan luaran . dalam proses belajar ini
akn terjadi komonikasi antara masyarakat ,pengajar atau pendidik, metode
dan teknik belajar , media atau sarana belajar serta materi atau bahan ajar.
[ CITATION Has20 \l 2057 ].

Menurut WHO (1954) pendidikan kesehatan merupakan satu


upaya kesehatan dengan tujuan:

1. Menjadikan kesehatan bernilai di mata masyarakat


2. Membantu individu sehingga dapat melaksanakan kegiatan untuk
mencapai tujuan hidup sehat baik secara mandiri maupun
berkelompok.
3. Mengembangkan dengan tepat sarana pelayanan kesehatan yang
ada.

2.3.1 Rencana pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan merupakan proses belajar yang harus


dialami aleh individu, keluarga, kelempok dan mayarakat yang
menjadi sasaran dengan tujuan akhir perubahan perilaku.
Benyamin Bloom (1908) ahli pakologi pendidikan, membagi
perilaku ke dalam tiga domain, yaitu domain kognitif (cognitive
domain), domain sikap (atitude domain), dan domain psikomotor
(psicomotor domain).[CITATION Nur081 \l 2057 ].
a) Domain Kognitif

Kognitif (pengetahuan) adalah merupakan hasil 'tahu', dan


ini terjadi setelah orang melakulan pengindraan terhadap suatu
objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra
seseorang .Kognitif merupukan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
Tingkat pengetahuan mempunyai enam tingkatan sebagai
berikut.

1. Tahu (know)
2. Memahami (comprehension)
3. Aplikasi (application)
4. Analisis (analysis)
5. Sintesis (shyintesis)
6. Evaluasi (evaluation)
 Proses adopsi Perilaku

Sebelum mengadopsi perilaku seseorang akan


terjadi proses yang berurutan (Rogers, 1974).berikut
ini:

1. Kesadaran , di mana orang tersebut menyadari


dalam artian mengetahui terlebih dahulu terhadap
stimulus (objek).
2. Tertarik , di mana orang mulai tertarik pada
stimulus.
3. evaluasi , orang akan menimbang nimbang
terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya.
4. Mencoba , di mana orang mulai mencoba
perilaku baru tersebut.
5. Adopsi, subjekk telah berperilaku baru sesuai
dengan pengetahuan kesadaran, dan sikapnya
terhadap stimulus.
b) Domain sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup


dari seseorang terhadap stimulus(objek)

 Komponen Pokok Sikap

Komponen sikap mempunyai tiga komponen


pokok sebagai berikut:

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep


terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap
suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak.
 Tingkat sikap mempunyai empat tingkatan berikut ini.
1. Menerima
2. Merespons
3. Menghargai
4. Bertanggung jawab

c) Domain Psikomotor (Praktik)


Tingkat psikomotor mempunyai empat tingkatan sebagai
berikut.

1. Persepsi
2. Respons terpimpin
3. Mekanisme
4. Adaptasi

Undang-undang kesehatan No.23 tahun 1992 pendidikan kesehatan


masyarakat adalah kegiatan yang melekat pada setiap upaya kesehatan. Di
mana pendidikan kesehatan masyarakat dilaksanakan untuk merubah
perilaku sesorang atau kekompok masyarakat agar hidup sehat melaui
komunikasi,informasi dan edukasi. (Ali, 2010).

Ira Numala dk (2018) dalam buku yang berjudul promosi


kesehatan telah merangkum beberapa pendapat para ahli tentang
pendidikan kesehatan terdiri dari:

1. Stuart (1986) berpendapat bahwa Pendidikan kesehatan adalah


suatu upaya yang terencana yang bertujuan merubah sudut
pandang perilaku dan sikap individu, komunitas serta masyarakat
ke arah pola hidup yang lebih baik dan sehat, melalui upaya
promotif. preventif kuratif dan rehabilitatif.
2. kyswander (1974) berpendapat bahwa pendidikan kesehatan itu
bukanlah merupakan sebuah kumpulan cara atau proses
penyampaian materi dari suatu individu ke individu yang
lainnya.Akan tetapi,lebih berorientasi pada suatu cara dinamis
berkaitan dengan perubahan perilaku. Di mana perubahan perilaku
yang dimaksud ini yaitu proses di mana individu akan memilih
untuk menolak atau menerima suatu informasi maupun kegiatan
yang sifatnya baru, bertujuan untuk menggapai derajat kesehatan
yang lebih baik.
3. Green berpendapat bahwa pendidikan kesehatan adalah proses
yang direncanakan untuk mendapat tujuan kesehatan dengan
menggabungkan berbagai macam cara pembelajaran.
4. Committee President on Health Education (1997) mendefinisikan
pendidikan kesehatan sebagai suatu cara yang dapat membantu
membangkitkan kesenjangan yang terjadi antara informasi yang
diperoleh dan praktik kesehatan. Melalui proses ini, diharapkan
individu memperoleh stimulus untuk menjauhkan.
5. Craven & Himle (1996) berpendapat bahwa pendidikan kesehatan
merupakan upaya pembelajaran yang sifatnya praktik dan instruksi
dengan harapan untuk memberikan informasi ataupun stimulus
kepada seseorang sebagai akibatnya diharapkan terjadi
pengembangan wawasan serta keterampilan untuk menerapkan
pola hidup yang lebih optimal.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Pendidikan


kesehatan adalah suatu proses yang terencana dalam memberikan
informasi kepada individu,komunitas ataupun masyarakat dengan tujuan
meningkatkan sikap,keterampilan dan pengetahuan guna untuk
meningkatkan derajat kesehatan yang lebih optimal melalui upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Dalam menjalankan peran dan fungsi petugas kesehatan dalam


kegiatan pendidikan kesehatan masyarakat maka haruslah memahami
beberapa hal

berikut di antaranya:

1. Konsep pendidikan kesehatan


2. Konsep perilaku
3. Teknologi pendidikan kesehatan masyarakat
4. Proses pendidikan kesehatan masyarakat
2.3.2 Tujuan pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan dirancang dengan tujuan di mana


masyarakat dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan mereka.
Hal ini sejalan dengan Undang -undang Kesehatan No23 tahun
1992 yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menjaga
dan meningkatkan derajat kesehatannya baik fisik, mental dan
sosialnya sehingga dapat produktif secara ekonomi dan
sosial.Selain itu, promosi kesehatan bertujuan juga untuk
menciptakan keadan yakni perilaku dan lingkungan yang optimal
bagi kesehatan. [CITATION Has20 \l 2057 ].

Pendidikan kesehatan masyarakat bertujuan meningkatkan


pengetahuan kesadaran, kemauan serta kemampuan masyarakat
agar dapat hidup sehat dan aktif berperan serta dalam upaya
peningkatan kesehatan. Tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:

1. Membuat kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di


masyarakat.
2. Menolong individu sehingga dapat secara
mandiri/berkelompok melakukan aktivitas untuk mencapai
tujuan hidup sehat dan optimal.
3. Mendorong peningkatan dan penggunaan sarana pelayanan
kesehatan yang ada secara tepat.
4. Klien mengetahui apa yang bisa dilakukan secara individu dan
mengetahui bagaimana caranya melakukan pencegahan tanpa
meminta pertolongan kepada sarana pelayanan kesehatan
formal.
5. menciptakan suasana yang kondusif di mana individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat dapat mengubah sikap dan
perilakunya.(Ali, 2010).
2.3.3 Sasaran Pendidikan Kesehatan

Sesuai program pembangunan Indonesia, sasaran


pendidikan kesehatan adalah masyarakat umum dengan orientasi
masyarakat desa, kelompok tertentu misalnya remaja, pemuda,
wanita dan sebagainya serta individu dengan teknik pendidikan
kesehatan individu (Maulana, 2012).

2.3.4 Prinsip-Prinsip Pendidikan Kesehatan

1. Pendidikan kesehatan bukanlah pelajaran di kelas akan tetapi


merupakan pengalaman yang kapan saja dan di mana saja
dapat memengaruhi pengetahuan sikap dan kebiasaan.
2. Pendidikan kesehatan tidak mudah diberikan oleh seseorang
kepada orang lain, karena sasaran pendidikan itu sendiri yang
dapat mengubah perilakunya sendiri.
3. Yang perlu dilakukan oleh pendidik adalah membuat sasaran
agar individu, kelompok dan masyarakat dapat merubah
perilakunya sendiri,
4. Pendidikan kesehatan dapat dikatakan berhasil jika individu
kelompok maupun masyarakat sudah dapat mengubah sikap
dan perilakunya sesuai dengan tujuan yang diharapkan (Ali,
2010).

Dalam strategi global promosi kesehatan menurut


organisasi kesehatan dunia (WHO, 1984) mengatakan bahwa
terdapat tujuh prinsip dalam promosi kesehatan yaitu:

1. Perubahan perilaku

Sesuai dengan tujuan promosi kesehatan yaitu perubahan


perilaku namun perubahan perilaku yang dimaksud bukan
semata-mata perilaku masyarakat saja akan tetapi perilaku stake
holder yang lain seperti tokoh masyarakat dan yang lebih
penting adalah perilaku para pembuat keputusan dari berbagai
jenis tingkat institusi baik institusi pemerintahan maupun non-
pemerintahan.

Adapun dimensi perilaku yang diharapkan kepada ketiga


sasaran tersebut yaitu:

a) Masyarakat diharapkan memiliki pengetahuan yang benar


tentang kesehatan.
b) Tokoh masyarakat, tokoh agama dan sebagainya diharapkan
terjadi perubahan perilaku yaitu perilaku sehat. Karena tokoh
masyarakat, tokoh agama dan sebagainya dapat dijadikan role
model atau contoh bagi masyarakat di sekitarnya. Hal ini sesuai
dengan budaya kita di Indonesia yang masih memandang tokoh
masyarakat sebagai panutan.
c) Para pembuat keputusan baik pusat maupun daerah diharapkan
terjadi perubahan perilaku yang mencakup hal sebagai berikut:
1) Berperilaku sehat untuk kepentingan dirinya sendiri
2) Para pejabat yang berperilaku sehat untuk dirinya maka
akan menjadi contoh bagi masyarakat yang lainnya.
3) Sikap dan perilaku yang diharapkan berkaitan dengan
kewenangannya sebagai pemegang kebijakan, baik
setingkat pusat maupun dacrah sehingga membuat
kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
2. Perubahan Sosial

Pendidikan kesehatan yang memiliki peran besar untuk


mengubah perilaku adalah perubahan sosial. Dalam melakukan
perubahan sosial tidak mesti melakukan intervensi pada tatanan
keluarga atau individu akan tetapi terthadap komunitas.

Peran petugas atau provider dalam hal ini adalah sebagai


motivator dan fasilitator di mana masyarakat dibimbing
sehingga mampu melakukan hal- hal berikut:
a) Melakukan identifikasi kebutuhan, masalah dan
kemampuan mereka sendiri.
b) Merencanakan kegiatan agar mampu mengatasi masalah
mereka sendiri.
c) Melakukan kegiatan sesuai yang telah mereka
rencanakan . Melakukan evaluasi terhadap kegiatan
mereka sendiri.
3. Pengembangan Kebijakan

Kebijakan berwawasan kesehatan di antaranya undang-


undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri atau peraturan
daerah dan sebagainya. Dalam hal ini, pendidikan kesehatan
perlu melakukan advokasi terhadap para pemegang otoritas,
agar dapat mengembangkan kebijakan-kebijakan publik
berwawasan kesehatan.

Pengembangan kebijakan kesehatan ini tidak hanya berasal


dari para pejabat pemerintah, baik pusat maupun daerah akan
tetapi dapat pula berasal dari pimpinan ditempat kerja

4. Pemberdayaan

Tujuan dari pemberdayaan kesehatan adalah masyarakat


agar mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka
sendiri, sehingga perlu diberikan kemampuan agar dapat
memfasilitasi dirinya sendiri untuk hidup sehat. Sektor
kesehatan tidak dapat berjalan sendiri akan tetapi harus menjalin
kemitraan dengan sector lain sehingga mampu mewujudkan
kemampuan masyarakat untuk hidup sehat misalnya sector
kesehatan tidak mampu mengadakan air bersih sehingga butuh
kerja sama dengan dinas pekerjaan umum agar masyarakat
mampu mengakses air bersih.
5. Partisipasi komonitas

Keterlibatan masyarakat dalam program kesehatan seperti


kader kesehatan dan sebagainya merupakan salah satu wujud
partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan. Partisipasi
masyarakat di bidang kesehatan ini sebenamya telah dituangkan
dalam "Deklarasi Alma Ata" September 1978, pasal 4 yaitu
sebagai berikut: The people have the right and duty to
participate individually and collectively in planning and
implementation of their health care. Kutipan tersebut labih
menekankan kepada pelayanan kesehatan masyarakat baik
secara individu maupun kolektif perlu partisipasi karena
partisipasi ini adalah hak dan kewajiban masyarakat.

6. Membangun Kemitraan dan Aliansi

Seperti yang telah dijelaskan bahwa sector kesehatan tidak


mampu berjalan sendiri akan tetapi perlu menjalin kemitraan
dengan sektor lain terutama dalam menjalankan program-
program kesehatan masyarakat. Sama halnya dengan dalam
mewujudkan perilaku hidup sehat, sarana dan prasarana juga
memerlukan dukungan dari sektor lain. Kegiatan-kegiatan
promosi kesehatan harus menjalin kemitraan dan aliansi dengan
pihak lain. Baik dalam sektor keschatan sendiri maupun di luar
sektor kesehatan di mana tujuan dari kemitraan ini adalah agar
diperoleh dukungan sumber daya seperti man,moneu and
material untuk memfasilitasi perilaku hidup sehat masyarakat.
(Novita, 2012).
2.4 Self Care (Perwatan Diri)

2.4.1 Definisi Self Care

Keperawatan mandiri (self care) menurut Orem adalah


suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh
individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna
mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya
sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit.[ CITATION Akb191 \l 2057 ].

Selfcare diartikan sebagai wujud perilaku seseorang dalam


menjaga kehidupan,kesehatan,.perkembangan,dan kehidupan
sekitarnya (Baker&Denyes,2008). Pada konsep self care ,orem
menitik beratkan bahwa seseorang harus dapat bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan self care untuk dirinya sendiri dan terlibat
dalam penganmbilan keputusan untuk kesehatannya[ CITATION
Nur168 \l 2057 ].

2.4.2 Konsep Utama Keperawatan Menurut Teori Orem

1. Manusia/Klien: Individu atau kelompok yang tidak mampu


secara terus menerus mempertahankan self care untuk hidup
dan sehat, pemulihan dari sakit/trauma atau coping dan
efeknya.
2. Sehat: Kemampuan individu atau kelompok memenuhi
tuntutan self care yang berperan untuk mempertahankan
dan meningkatkan integritas struktural fungsi dan
perkembangan.
3. Lingkungan: Tatanan dimana klien tidak dapat memenuhi
kebutuhan keperluan self care dan perawat termasuk di
dalamnya tetapi tidak spesifik.
4. Keperawatan: Pelayanan yang dengan sengaja dipilih atau
kegiatan yang dilakukan untuk membantu individu,
keluarga dan kelompok masyarakat dalam mempertahan
self care yang mencangkup integritas strukturak,fungsi dan
perkembangan.
2.4.3 Teori Self Care

Teori keperawatan self care dikemukakn oleh Dorothea E.


orem pada tahun 1971 dan dikenal dengan teori self care deficit
nursing theori (SCDNT)(Delaun &Ldner,2002). Teori SCDNT
sebagai grand teori mempunyai grand teori mempunyai komponen
teori yaitu teori self care,teori self care deficit,dan teori nursing
system[ CITATION Nur168 \l 2057 ].

Orem mengembangkan teori Self Care Deficit meliputi 3


teori yang berkaitan yaitu : 1). Self Care, 2). Self care defisit dan 3)
nursing system. Ketiga teori tersebut dihubungkan oleh enam
konsep sentral yaitu; self care, self care agency, kebutuhan self
care therapeutik, self care defisit, nursing agency, dan nursing
system, serta satu konsep perifer yaitu basic conditioning factor
(faktor kondisi dasar).[ CITATION Muh101 \l 2057 ].

SelfCare Deficit Theory of Nursing yang dikembangkan oleh Orem


terdiri dari tiga teori umum yang saling berkaitan, [ CITATION
Par18 \l 2057 ]yaitu:

1) Teori Self-Care

Perawatan diri (self-care) adalah pelaksanan aktivitas


individu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dalam
mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Jika
perawatan diri dapat dilakukan dengan efektif, maka akan
dapat membantu individu dalam mengembangkan potensi
dirinya Kemampuan perawatan diri (self-care agency) adalah
kemampuan individu untuk terlibat dalam proses perawatan
diri. Kemampuan ini berkaitan dengan faktor pengkondisian
perawatan diri. Faktor yang memengaruhi perawatan diri
(basic conditioning factor) adalah faktor usia, jenis kelamin,
status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan
kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup, faktor lingkungan
dan keadaan ekonomi Terapi kebutuhan perawatan diri
(therapeutic self-care demand), yaitu tindakan yang dilakukan
sebagai bantuan untuk memenuhi syarat perawatan diri.

Model Orem, menyebutkan ada beberapa kebutuhan self


care atau yang disebutkan sebagai keperluan self care (self care
requisite), yaitu:

a) Kebutuhan perawatan diri universal (Universal self care


requisite):
Keperluan self careuniversal ada pada setiap manusia
dan berkaitan dengan fungsi kemanusiaan dan proses
kehidupan, biasanya mengacu pada kebutuhan dasar
manusia. Universal selfcare requisite yang dimaksudkan
adalah:
1) Pemeliharaan kecukupan intake udara
2) Pemeliharaan kecukupan intake cairan.
3) Pemeliharaan kecukupan intake makanan.
4) Pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan
istirahat.
5) Pemeliharaan keseimbangan antara solitut dan interaksi
sosial.
6) Mencegah ancaman kehidupan manusia, fungsi
kemanusiaan dan kesejahteraan manusia.
7) Persediaan asuhan yang berkaitan dengan proses-proses
eliminasi dan exrement.
8) Meningkatkan fungsi human fungtioning dan
perkembangan kedalam kelompok sosial sesuai dengan
potensi seseorang, keterbatasan seseorang dan
keinginan seseorang untuk menjadi normal.
b) Perkembangan kebutuhan perawatan diri (Developmental
self care requisite):
terjadi berhubungan dengan tingkat perkembangan
individu dan lingkungan dimana tempat mereka tinggal,
yang berkaitan dengan perubahan hidup seseorang atau
tingkat siklus kehidupan
c) Penyimpangan kesehatan kebutuhan perawatan diri(Health
Deviation self care requisite):
timbul karena kesehatan yang tidak sehat dan
merupakan kebutuhan yang menjadi nyata karena sakit
atau ketidakmampuan yang menginginkan perubahan
dalam perilaku self care.
2) Teori Self-Care Deficit

Teori ini merupakan inti dari teori keperawatan Orem.


Teori ini mengambarkan kapan keperawatan dibutuhkan.
Keperawatan diperlukan ketika individu tidak mampu atau
mengalami keterbatasan dalam memenuhi syarat perawatan
diri yang efektif.

Keperawatan diberikan jika tingkat kemampuan


perawatan diri lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan
perawatan diri atau kemampuan perawatan diri seimbang
dengan kebutuhan namun hubungan defisit dapat terjadi
selanjutnya akibat penurunan kemampuan, peningkatan
kualitas dan kuantitas kebutuhan atau keduanya.

Teori self care deficit diterapkan bila anak belum dewasa,


kebutuhan melebihi kemampuan perawatan, kemampuan
sebanding dengan kebutuhan tetapi diprediksi untuk masa yang
akan datang, kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan
peningkatan kebutuhan.
Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu
dalam proses penyelesaian masalah, orem memiliki metode
untuk proses tersebut diantaranya:

a) bertindak atau berbuat untuk orang lain,


b) sebagai pembimbing orang lain,
c) memberi support baik secara fisik atau psikologis,
d) meningkatkan pengembangan lingkungan untuk
pengembangan pribadi,
e) serta mengajarkan atau memberi pendidikan pada orang
lain.

Inti dari teori ini menggambarkan manusia sebagai


penerima perawatan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
perawatan dirinya dan memiliki berbagai keterbatasan-
keterbatasan dalam mencapai taraf kesehatannya. Perawatan
yang diberikan didasarkan kepada tingkat ketergantungan,
yaitu ketergantungan total atau parsial. Defisit perawatan diri
menjelaskan hubungan antara kemampuan seseorang dalam
bertindak/beraktivitas dengan tuntutan kebutuhan tentang
perawatan diri. Sehingga bila tuntutan lebih besar dari
kemampuan, maka ia akan mengalami penurunan/ defisit
perawatan diri.
Self
care

R R

R
Self Self care
care demand
agency
Slf care
deficit

R R

Nursing
agency

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa jika


kebutuhan lebih banyak dari kemampuan, maka keperawatan akan
dibutuhkan. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat
pada saat memberikan pelayanan keperawatan dapat digambarkan
sebagi domain keperawatan. Faktor – faktor yang mempengaruhi
kebutuhan self care (basic conditioning factor)berdasarkan orem
tahun 2001 yaitu:

1. usia
2. jenis kelamin
3. status perkembangan
4. status kesehatan
5. sosiokultural
6. istem pelayanan klesehatan
7. sistem keluarga
8. pola hidup
9. lingkungan
10. ketersedian sumber.
3) The Theory of Nursing System

Nursing system adalah bagian dari pertimbangan praktik


keperawatan yang dilakukan oleh perawat berdasarkan
koordinasi untuk mencapai kebutuhan perawatan diri (self-care
demand) pasiennya dan untuk melindungi dan mengontrol
latihan/pengembangan dari kemampuan perawatan diri pasien
(self-care agency).

Orem mengidentifikasi tiga klasifikasi dari sistem


keperawatan berdasarkan kemampuan pasien dalam mencapai
syarat pemenuhan perawatan diri:

a.Sistem sepenuhnya kompensasi

Menyelesaikan therapeutik self care klien

Tindakan Kompensasi ketidak mampuan untuk self


perawat care

Pendukung dan melindungi klien


b.Sebagian system kompensasi

Tindakan
perawat
Menjalankan beberapa kegiatan self care

Kompensasi ketidak mampuan untuk self


care

Membantu klien sesuai kebutuhan

Menjalankan self care measure

Mengatur kemampuan self care Tindakan


pasien

Menerima asuhan dan bantuan nurse

c.Sistem suportif edukatif system

Mencapai perawatan diri


Tindakan
pasien
Tindakan
Mengatur latihan dan perkembangan
perawat
kemampuan self care
1) Sistem kompensasi penuh (Wholly Compensatory System)

Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh


merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan
kompensasi penuh kepada pasien disebabkan karena
ketidakmampuan pasien dalam memenuhi tindakan
keperawatan secara mandiri.

Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh


dibutuhkan ketika perawat harus menjadi peringan bagi
ketidakmampuan total seorang pasien yang membutuhkan
tindakan penyembuhan dan manipulasi. Perawat
mengambil alih pemenuhan kebutuhan self care secara
menyeluruh kepada pasien yang tidak mampu, misal: pada
pasien koma atau pasien bayi.

2) Sistem kompensasi sebagian (Partly Compensatory System)

Sistem penyeimbang sebagian yaitu sistem


keperawatan dalam memberikan perawatan diri kepada
pasien secara sebagian saja dan ditujukan pada pasien yang
memerlukan bantuan secara minimal. Perawat mengambil
alih beberapa aktivitas yang tidak dapat dilakukan oleh
pasien dalam memenuhi kebutuhan self care-nya, di mana
hal tersebut dijalankan pada saat perawat, dan pasien
menjalankan intervensi perawatan atau tindakan lain yang
melibatkan tugas manipulatif atau penyembuhan. Misalnya
pasien usia lanjut atau pasien stroke dengan kelumpuhan.

3) Sistem pendukung pendidikan (Supportive-Educative


System)

Sistem yang mendukung/mendidik yaitu tindakan


keperawatan yang bertujuan untuk memberikan dukungan
dan pendidikan agar pasien mampu melakukan perawatan
mandiri. Perawat memberikan pendidikan kesehatan atau
penjelasan untuk memotivasi melakukan self care, tetapi
yang melakukan self care adalah pasien sendiri. Misalnya
dengan mengajarkan pasien merawat lukannya,
mengajarkan bagaimana menyuntik insulin. Hal ini
diperlukan pada situasi di mana pasien harus belajar untuk
menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara eksternal
atau internal yang ditujukan oleh therapeutic self care,
namun tidak dapat melakukan tanpa bantuan. Metode
bantuan tersebut diantaranya tindakan, panduan, pelajaran,
dukungan, dan memberikan lingkungan yang
membangun(Tomey &Alligood, 2006).
2.5 Manajemen diri diabetes melitus

Adalah sebuah usaha individu dengan menggunakan teknik


terapeutik (teknik yang secara otomatis dapat membantu menyembuhkan
Anda) yang akan diberikan sebagai intervensi untuk mengendalikan dan
mengarahkan diri, serta mendukung perubahan perilaku menuju pola
hidup sehat setelah terdiagnosa Diabetes Mellitus.[ CITATION Hug17 \l
2057 ].

2.5.2 Komponen manajmen diri

Menurut Roy, Voh, & Tice (2007) komponen manajemen


diri yang dapat mempengaruhi individu dalam mempersepsi dan
melakukan sesuatu, ada di dalam diri individu Respon yang
diharapkan dalam sebuah manajemen pengaturan diri akan
menyangkut beberapa hal :

1. Kemampuan pengontrol pikiran

Caranya dengan memperbaiki kemampuan dalam


berkonsentrasi. Adanya hubungan yang kuat antara pikiran,
sikap, dan emosi dengan kesehatan mental dan fisik membuat
sangat penting untuk menciptakan pemikiran yang konstruktif.

Permikiran yang konstruktif dan positif akan


memberikan efek yang positif untuk tubuh dan emosi. Pikiran
juga dapat dilatih untuk belajar suatu gaya hidup sehat yang
baru dengan teknik relaksasi progresif, visualisasi, dan sugesti
berupa self talk yang dapat membantu memanajemen symptom
diabetes yang ada (Lorig,et all., 2006). Kemampuan
mengontrol pikiran juga dapat dilatihkan dengan yoga, atau
membuat pola pikir yang baru, terutama tentang mengenal
makanan yang baik untuk tubuh, tetap tenang di saat ada
masalah dan fokus pada tujuan mengontrol kadar gula dalam
darah yang disertai aksi yang tepat.
2. Mood Management

Hal ini terkait dengan mengontrol perasaan. Pada


umumnya, penderita diabetes sering mengalami perubahan
mood terutama terkait dengan treatment yang dijalani. Bagi
para penderita diabetes, sangat penting untuk menjaga emosi
karena dapat mempengaruhi kadar gula dalam darah. Salah
satu hal yang menstimulasi adanya fluktuasi pada perasaan
adalah stres.

Ada tiga macam sumber stres.

a) Stresor fisik, meliputi adanya kelelahan atau kehabisan


energi.
b) Stresor mental dan emosi, meliputi adanya perasaan
khawatir dan cemas akan penyakit yang diderita, tekanan
di tempat kerja, serta bertemu dengan orang yang tidak
diharapkan.
c) Stresor lingkungan, meliputi udara yang panas, berisik,
lingkungan yang penuh asap rokok. Untuk mengatasi hal
ini maka perlu didentifikasi terlebih dahulu situasi apa
yang memicu perubahan mood atau stres, kemudian
memberikan pengertian baru pada pikiran sehingga dapat
mempengaruhi perasaan atau mood. Hal ini dapat disertai
dengan relaksasi (Lorig, et all. 2006).
3. Mengatasi hal-hal impuls yang tiadak dinginkan terkait dengan
kontrol perilaku

Perilaku yang perlu dimanajemen antara lain adalah


makan –makanan yang sehat ,aktivitas fisik,penaganan stres
yang baik(coping)serta melakukan pengobatan medis sesuai
yang disarankan (Glasgow,2006).
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Faktor
Predisposisi/Dasar
1.
Pengetahuan Self care di
tingkatkan
2. Sikap
3. Keyakinan
4. pendidikan
5. Pekerjaan

Faktor Pemungkin Edukasi


1. sarana prasarana
/fasilitas
pelayanan kes .
2. jarak dengan Komitmen
pelayanan untuk Perilaku
merencana promosi
kan suatu kesehatan
tindakan
Factor penguat
1. dukungan Komplikasi ulkus kaki
keluarga diabetic diabetes melitus
2. kelompok ,tenaga tipe II
kesehatan

Meningkatkan kemandirian
Pasien Diabetes mellitus
keterangan :
dalam memenagement
perawatan diri.
: diteliti
1. pengturan pola makan
/diet
:tidak diteliti
2. aktivitas fisik/olahraga
teratur
:berpengaruh
3. pengontrolan dan
pengolaan gula darah
3.2 Hipotesis

Hipotesi adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau


pertanyaan penelitian.menurut La Biando-Wood dan Haber (2002).
hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan, dugaan, atau dalil.
Sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut,
variable yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam
penelitian .setiap hipotesis terdiri atas suatu unit atau bagian dari
permasalahan.[ CITATION Nur168 \l 2057 ].

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh edukasi self


care management terhadap pencegahan komplikasi diabetes mellitus tipe II
4.1 Desain Penelitian Dan Jenis Penelitian

Desain atau rancangan penelitian adalah sesuatu yang sangat


penting dalam penelitian, yang memungkinkan pengontrolan maksimal
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akurasi suatu hasil. Istilah
rancangan penelitian digunakan dalam dua hal; pertama, rancangan
penelitian meruapakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi
permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data; dan kedua,
rancangan penelitian digunakan untuk mendefenisikan struktur penelitian
yang akan dilaksanakan[ CITATION Nur168 \l 2057 ].

Penelitian ini menggunakan eksperimen dengan rancang bangun


menggunakan pra eksperimen one group pretest-postest . one group
pretest-postest merupakan penelitian Rancangan ini juga tidak ada
kelompok pembanding (kontrol), tetapi paling tidak sudah dilakukan
observasi pertama (pretes) yang memungkinkan peneliti dapat menguji
perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen
(program).ciri tipe penelitian ini adalah mengungkapkan hubungan sebab
akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek.kelompok subjek di
observasi sebelum dilakukan intervensi ,kemudian diobservasi lagi setelah
intervensi.[ CITATION Nur168 \l 2057 ].
4.2 Kerangka Kerja (frame work)

Populasi

Seluruh pasien diabetes militus yang ada di wilayah kerja


puskesmas sumenep tahun 2021 sebanyak,,…

Sampel

Sebagian pasien diabetes militus yang ada di wilayah kerja


puskesmas sumenep tahun 2021sebanyak…….

Teknik Sampling

Purposive sampling

Variabel Dependen
Variabel Independen
Pencegahan komplikasi
Edukasi self care diabetes mellitus tipe II
management

Pengumpulan Data

Kusioner

Pengolaan Data

Editing coding presentase tabulating

Analisa Data

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran


4.3 Total Populasi dan Teknik Sampling

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian adalah subjek atau keseluruhan


kumpulan kasus yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan
memiliki karekteristik tertentu yg ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya[ CITATION Nur168 \l
2057 ]. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien diabetes
melitus tipe II yang ada di wilayah kerja puskesmas tahun 2021
sebanyak,,…

1.3.2 Sampel

Sampel adalah proses pemilihan sebagian populasi untuk


mewakili seluruh populasi yang terdiri atas bagian populasi
terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitin
melalalui sampling[ CITATION Nur168 \l 2057 ]. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Sebagian pasien diabetes
melitus tipe II yang ada di wilayah kerja puskesmas sumenep tahun
2021 sebanyak…….

1.3.3 Teknik Sampling


Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi
yang dapat mewakili populasi yang ada[ CITATION Nur168 \l 2057 ].
Pada penelitian teknik samplingnya adalah purposive sampling.
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien diabetes melitus
tipe II.
Kriteria inklusi dan eksklusi:
1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek


penelitian dari suatu populsi target yang terjankau dan akan
diteliti[ CITATION Nur168 \l 2057 ].

a. pasien diabetes melitus tipe II


b. pasien dapat berkomonikasi degan baik dan jelas .
c. pasien degan umur 30 tahun sampai 70 tahun .
d. pasien bersedia menjadi responden.
2. Kriteria eksklusi
Kritera eksklusi adalah menghilangkan / mengeluarkan
subjek yang akan memenuhi kriteria inklusi dari studi karena
berbagai sebab (Nursalam,2016).
a. Pasien diabetes mellitus tipe I
b. Pasien yang tidak bersedia dijadikan responden.
1.3.4 Besar Sample

Besar sampel ditentukan dengan rumus :

Z 2 × P (1−P ) N
n= 2
d ( N −1 )+ Z 2 × P ( 1−P )

Keterangan :

n : Besar sampel

d : Presisi atau ketelitian (+/- 5%) = 0,01 s/d


0,10

P : Proporsi populasi (prevalensi) 10% = 0,10

Jika tidak ditentukan pakai = 0,50

Z : Statistik (Z = 1,96)

N : Jumlah populasi
4.4 Identifikasi Variabel

Variable adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nialai


beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain –lain) (Soeparto, putra, &
Haryanto, 2000). Ciri yang dimliki oleh anggota suatu kelompok ( orang,
benda, situasi) bebeda dengan yang dimiliki oleh kelompok
tersebut[ CITATION Nur168 \l 2057 ].
4.4.1 Variabel Independen (bebas)
Variable yang memengaruhi atau nilainya menentukan
variable lain suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh
peneliti menciptakan suatu dampak pada variable dependen.
Variabel bebas biasanya dimanipulasi , daiamati, dan diukur untuk
di ketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variable
lain[ CITATION Nur168 \l 2057 ]. Dalam penelitian ini yang termasuk
variable independen adalah edukasi self care management.
4.4.2 Variabel Dependent (terikat)
Variabel yang di pengaruhi nilainya ditentukan oleh
variabel lain. Variabel respons akan muncul sebagai akibat dari
manipulasi variabel –variabel lain. Dalam ilmu perilakuvariabel
terikat adalah aspek tingkah laku yang di amati dari suatu
organisme yang dikenai stimulus dengan kata lain , variabel terikat
adalah factor yang diamati dan di ukur untuk menentukanada
tidaknya hubunganatau pengaruh dari variabel bebas[ CITATION
Nur168 \l 2057 ]. Dalam penelitian ini yang termasuk variabel
dependen adalah pencegahan komplikasi ulkus kaki diabetik
diabetes mellitus tipe II.
4.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah aspek penelitian yang memberikan


informasi tentang bagaimana caranya mengukur variabel, kemudian
memberikan gambaran tentang variabel tersebut atau menghubungkannya.
Sehingga penting untuk menjelaskan variabel penelitian, meliputi variabel
–variabel yang diteliti, jenis variabel, definisi konseptual dan operasional,
serta bagaimana melakukan pengukuran /penelitian terhadap
variabel[ CITATION Dha11 \l 2057 ].

Variabel Definisi Parameter Alat Skal Skor


operasional Ukur a
Varibel Hasil tau a) Pengertian kuesion R Baik =
independen. tentang b) penyebab er a (70-100)
1.Edukasi penyakit c) Pencegaha s Cukup=
selfcare diabetes n i (50-60)
management militus,dan d) Perawatan o Kurang=
cara perawatan e) Pola (20-40)
diabetes makan
militus yang /diet
benar. dan f) Aktivitas
Suatu fisik/olahr
kemampuan aga
seseorang g) Pengolaan
dalam gula darah
berperilaku
baik untuk
merawat
dirinya sendiri.
Variabel Merupakan a) kesehatan kuesion O baik=
Dependen suatu tujuan fisik er r (60-80)
2.pencegahan b) psiko d Cukup=
komplikasi logis i (40-59)
c) hubungan n Kurang=
social a (20-39)
d) lingkunga l
n
e) pola hidup

4.6 Pengumpulan dan Pengolahan Data

4.6.1 Instrumen Penelitian

4.6.2 Lokasi dan waktu penelitian

4.6.3 ProsedurPengumpulan Data

4.6.4 Pengolahan Data

4.7 Analisa Data

4.8 Etika Penelitian

4.8.1 Persetujuan responden (informed consent)

4.8.2 Tanpa Nama (Anominity)

4.8.3 Kerahasiaan (Confidentially)

4.9 Keterbatasan Penelitian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB VI PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai