Anda di halaman 1dari 23

Literatur Review dan EPDS

Diajukan untuk memenuhi Tugas salah satu mata kuliah Tema 12 “Asuhan
Kebidanan pada Masa Nifas”

Tim Penyusun
Kelompok 5

Salma Nurkamila 314119005


Rima Siti Maryama 314119006
Mega Shabillaputri Utami 314119007
Mutiara Tsaltsa Khaerun Nisa 314119010
Shelza Novelya Azahra 314119029
Nursyifa Sofianti 314119030
Femmy Dyandra Farahdinda 314119033
Nisrin Nabila Sudrajat 314119035

Program Studi Sarjana dan Profesi Bidan


STIKES JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI
Cimahi, 25 Juni 2021
Kata Pengantar
Alhamdulillah dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, kami panjatkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah Kebutuhan Dasar Ibu NIfas dalam Proyek Tugas Tema
12 dengan semampu kami dan tepat waktu.
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah pada Tema 12
(Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas). Harapan kami semoga makalah yang telah
disusun ini dapat memberikan manfaat dan menambah referensi mengenai
Kebutuhan Dasar Ibu Nifas yang lebih dalam lagi kepada para pembaca
khususnya dibidang kebidanan.
Kami sampaikan banyak terima kasih kepada ibu Sophia, M.Keb selaku
Dosen Pembimbing pada tugas di tema 12 kali ini. Kami menyadari makalah ini
tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, masih jauh dari kata sempurna, untuk
itu setiap kritik dan saran dari semua pihak pembaca yang bersifat membangun
akan selalu saya harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhai segala usaha setiap umatnya. Aamiin.

Bandung, 25 Juni 2021

Penyusun
Daftar Isi……………………………………………………………………………
Kata Pengantar…………………………………………………………………...…
Daftar Gambar………………………………………………………………..….…
Bab I Pendahuluan……………………………………………………..…….……..
1. Latar Belakang………………………………………………………………...…
2. Rumusan Masalah……………………………………………………………….
3. Tujuan Penulisan Makalah………………………………………………………
Bab II Pembahasan……………………………………………………………..…..
1. D………………………………………………………………..
2. T……………………………………………………………..
3. K………………………………………………………
4. T………………………………………...
5. A……………………………………………..
Bab III Penutup………………………………………………………………..……
Kesimpulan…………………………………………………………………………
Saran………………………………………………………………………………..
Daftar Rujukan/
Pustaka…………………………………………………………….
Lampiran……………………………………………………………………………
..
BAB I
Pendahuluan
1. Latar belakang
Berdasarkan permasalahan yang terjadi maka seharusnya kita sebagai
tenaga kesehatan khusus nya bidan, perlu mengetahui adanya gejala ibu
depresi postpartum. Depresi postpartum dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan psikologis jangka pendek dan jangka panjang, tidak saja pada
wanita penderita tapi juga pada anak dan anggota keluarga lainnya
(Armstrong et al, 2010). Selain itu juga dapat terjadi gangguan hubungan tali
kasih ibu dan anak, kurangnya perhatian ibu dalam merawat, mengasuh serta
membesarkan anaknya. Tugas perkembangan seorang wanita secara kodrati
adalah hamil dan melahirkan. Namun demikian, peristiwa kelahiran dan
persalinan dapat menimbulkan berbagai gangguan emosional pada periode
setelah melahirkan (postpartum periode). Salah satu variasi gangguan
emosional pada wanita paska-salin periode postpartum adalah depresi
postpartum. Kejadian depresi postpartum ini banyak dialami terutama oleh
para wanita yang baru melahirkan pertama kali (primipara mother).
Kebanyakan penderita yang mencari pertolongan datang ke pelayanan
kesehatan, hanya sedikit mengungkapkan perasaan depresi mereka dan hanya
melaporkan gejalagejala fisik yang dirasakan mengganggu. Peran Bidan di
komunitas dan keterlibatan praktisi kesehatan secara profesional sangat
diperlukan untuk melakukan deteksi dan pencegahan depresi postpartum di
masyarakat.
2. Rumusan masalah
Apa saja

3. Tujuan penulisan makalah


Tujuan Umum
Dalam penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa efektif
penggunaan alat skrining depresi pada masa nifas

Tujuan Khusus
Untuk mengetahui
BAB II
Pembahasan
1. Risk Assesment Tools Masa Nifas
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu faktor penting agar
tercapai kualitas produk yang baik dan tercapainya keselamatan kerja di tempat
kerja yang terjamin sehingga kesejahteraan pekerja dapat lebih ditingkatkan.
Sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang baik dapat meminimasi risiko
terjadinya kecelakaan kerja yang menimpa fisik ataupun mental dari pekerja.
Risk Assessment merupakan metode yang digunakan untuk melakukan
identifikasi terhadap risiko bahaya yang memuat daftar berbagai hal pokok untuk
memeriksa keadaan di dalam suatu sistem dengan menghasilkan Risk Rating
terhadap bahaya yang terjadi, sehingga dapat ditentukan prioritas usulan
perbaikannya

A. Deteksi Infeksi Endometritis


Diagnosis endometriosis diawali dengan anamnesis yang lengkap untuk
mengetahui riwayat menstruasi dan gejala yang timbul. Keluhan seperti nyeri saat
menstruasi, nyeri panggul kronis, nyeri saat berhubungan seksual, dan infertilitas
dapat mengarahkan kecurigaan pada endometriosis. Diagnosis definitif dapat
ditegakkan dengan laparoskopi.  Laparoskopi diagnostik merupakan metode
utama untuk mendiagnosis endometriosis. Konfirmasi diagnosis dari sampel
histologi direkomendasikan dengan pengambilan melalui biopsi yang dilakukan
setelah laparoskopi. Beberapa diagnosis banding yang memiliki gejala serupa
dengan endometriosis dapat disingkirkan dengan pemeriksaan penunjang
laboratorium seperti hematologi lengkap, urinalisis dan kultur urine, pewarnaan
gram dan kultur serviks, serta pemeriksaan serum Ca-125.
Gambar 1. Laparoskopi
B. Alat Metricheck dan Vaginoskop
Metricheck merupakan suatu alat yang terdiri dari batang stainless steel,
bagian ujung terbuat dari karet berbentuk seperti mangkuk. Mangkuk karet
dimasukkan kedalam vagina kemudian ditarik kembali disepanjang lantai vagina,
lendir yang terkumpul dalam mangkuk dapat diperiksa secara visual.
Vaginoskop merupakan alat yang terbuat dari logam, digunakan untuk membuka
vagina sehingga operator atau pemeriksa dapat melihat bagian dalam dari vagina.
Vaginoskop dimasukkan secara miring dalam posisi tertutup, setelah masuk
kedalam vagina putar dan buka bagian pengungkit, pastikan objek yang
diinginkan terlihat dengan jelas.
. C. Alat Deteksi Depresi Postpartum
Alat ini merupakan alat pendeteksi depresi klinis non-invasif pertama
yang inovatif di Indonesia. Umumnya pendeteksian depresi masih
menggunakan kuesioner yang rawan subyektifitas pasien karena ekspektasi
terhadap kondisi yang dialaminya. Mahasiswa ITB menciptakan alat
pendeteksi klinis, yang menggunakan biomarker atau penanda yang
diproduksi oleh tubuh akibat perubahan metabolisme saat seseorang
mengalami depresi untuk mengurangi risiko subjektivitas. Biomarker yang di
gunakan adalah asam azelaic, asam urat, dan sorbitol yang ditemukan dalam
urin. Penggunaan alat ini cukup untuk mengeluarkan busa di kompartemen
utama, menggunakannya seperti test pack kehamilan, memasukkannya
kembali, dan memasukkannya ke dalam case utama. Setelah beberapa menit,
hasilnya akan ditampilkan di layar.
Arloji Anti Depresan :

Prinsip kerjanya, REACT nanti akan mendeteksi denyut nadi setiap saat pada
media arloji. Apabila denyut nadi lebih dari 151 bpm per menit atau kurang dari
60 bpm per menit, maka alat akan bereaksi. Dengan kata lain, pemancar akan
mengemisikan gelombang yang akan beresonansi dengan gelombang otak.

2. Literatur Review

A. Jurnal 1
Difa Ardiyanti, Siti Muthia Dinni. (2018). Aplikasi Model Rasch dalam
Pengembangan Instrumen Deteksi Dini Postpartum
Depression. Jurnal Psikologi Volume 45, Nomor 2. Universitas
Ahmad Dahlan

Tingginya tantangan seorang ibu setelah melahirkan (ibu nifas) menuntut


sebuah proses adaptasi yang besar sehingga berisiko mencetus gangguan
depresi setelah melahirkan (postpartum depression atau PPD). Deteksi
dan penanganan yang terlambat dapat membahayakan nyawa ibu dan
bayinya. Kondisi ini menunjukkan bahwa PPD merupakan permasalahan
kesehatan mental keluarga serius dalam jangka panjang dan terkait
dengan isu keselamatan ibu-anak.

Seorang ibu nifas mengalami banyak tantangan yang bersumber dari


keharusan untuk menyesuaikan diri dengan proses perawatan bayi,
sekaligus kebutuhan ibu untuk memulihkan kondisi fisiknya. Proses
perawatan bayi juga memengaruhi kewajiban seorang ibu dalam peran
lain seperti dalam keluarga, pernikahan, kehidupan sosial, dan pekerjaan.
Proses penyesuaian besar ini terutama dirasakan pada ibu yang baru
pertama kali mengalami kelahiran dan ibu-ibu yang mengalami kelahiran
dengan anak kembar (Choi, Bishai, & Minkovit, 2009; Rosenthal, 2003).
Banyaknya tantangan ibu setelah melahirkan ini menuntut proses
adaptasi yang besar sehingga berisiko mencetus gangguan depresi
setelah melahirkan postpartum depression atau PPD.
Postpartum depression (PPD) adalah salah satu jenis depresi
yang dialami setelah proses persalinan dengan onset pada satu bulan
pertama setelah melahirkan, yaitu pada minggu ke-2 hingga ke-6 dan
terjadi pada 13% ibu-ibu setelah melahirkan (Depkes RI, 2007; Gilbert
& Harmon, 2003; O’Hara & Swain, 1996; APA, 1994). Diagnosis PPD
dalam Diasnostic Statistical Manual (DSM) tidak dipisahkan dengan
diagnosis depresi mayor. PPD dianggap sebagai bagian dari episode
berulang dari depresi mayor dengan karakteristik onset setelah
melahirkan sehingga penanganannya tidak berbeda dengan gangguan
depresi mayor (Barlow & Durand, 2012; Kring, Johnson, Davison, &
Neale, 2010; Carr, 2001). Penegakan diagnosis gangguan depresi ini
memerlukan waktu sekurang-sekurangnya dua minggu. PPD biasanya
diawali dengan sindroma gangguan afek ringan yaitu postpartum blues
(baby blues syndrome). Apabila PPD tidak tertangani dengan baik, maka
gejalanya dapat berkembang menjadi gejala gangguan yang lebih serius
yaitu postpartum psychosis (Bobak, 2004; O’Hara, 1897).
Gejala PPD meliputi kondisi mood yang tertekan atau sedih,
kehilangan minat hampir di semua aktivitas, penurunan berat badan yang
signifikan, insomnia atau hypersomnia, agitasi atau retardasi psikomotor,
kelelahan atau kehilangan tenaga, perasaan tidak berharga atau perasaan
bersalah yang amat sangat, kesulitan dalam berfikir atau berkonsentrasi,
dan pikiran tentang kematian yang berulang (APA, 1994). Gejala
minimal yang harus muncul adalah munculnya mood tertekan/sedih atau
berkurangnya minat dalam hampir segala hal termasuk aktivitas yang
dilakukan sehari-hari (APA, 2000). Dalam Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa atau PPDGJ-III (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2003; Maslim, 2001) pun dijelaskan bahwa ada tiga
gejala utama yang harus muncul pada gangguan depresi, yakni afek
depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, serta berkurangnya energi
yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata
sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
Di Indonesia, EPDS lebih populer digunakan oleh para praktisi
dan peneliti kesehatan dibandingkan PDSS. EPDS memang tergolong
mudah diadministrasikan dan memiliki proses skoring yang mudah dan
cepat. Para praktisi dan peneliti kesehatan di Indonesia menggunakan
EPDS yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk mendeteksi
PPD, padahal Gondo (2012) menyebutkan bahwa EPDS Bahasa
Indonesia tersebut belum melalui proses validasi. Berbagai penelitian
yang menggunakan EPDS Bahasa Indonesia sebagai instrumen
penelitian (Diniyah, 2017; Dira & Wahyuni, 2016; Soep, 2011) juga
tidak menyampaikan adanya proses adaptasi maupun uji coba dalam
tahapan penelitian, serta tidak ditemukan adanya informasi properti
psikometris dari instrumen tersebut. Apabila ditinjau dari psikometrika,
maka EPDS Bahasa Indonesia yang digunakan di Indonesia selama ini
belum dapat dipercayai ketepatan dan keterhandalan hasil
pengukurannya. Hal ini menunjukkan bahwa belum adanya proses
adaptasi terhadap EPDS sesuai prosedur yang seharusnya dan belum ada
pula upaya pengembangan instrumen PPD yang lain di Indonesia,
padahal PPD merupakan permasalahan kesehatan mental ibu yang
penting untuk diperhatikan. Oleh karenanya, diperlukan penelitian yang
berfokus pada pengembangan instrumen deteksi dini PPD.
Dalam penelitian ini, peneliti menyusun instrumen deteksi dini
PPD berdasarkan tiga gejala utama gangguan depresi dalam PPDGJ III
(Maslim, 2001; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003), yakni
1) afek depresif,
2) kehilangan minat dan kegembiraan,
3) berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah dan menurunnya aktivitas, serta ditambah satu gejala
pendukung yang spesifik, yakni gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri. Peneliti memilih tiga gejala ini
karena ketiga gejala tersebut merupakan gejala-gejala yang harus
muncul pada gangguan depresi.
4) Untuk gejala pendukung, peneliti memilih satu gejala yakni bunuh
diri/menyakiti diri karena gejala ini dipandang mengindikasikan
gejala depresi berat sehingga nantinya seseorang dapat dideteksi
lebih awal apabila ia memiliki indikasi gangguan depresi berat.
Instrumen ini dirancang sebagai alat deteksi dini saja, bukan
instrumen penegakan diagnosis sehingga dari instrumen deteksi dini
ini baru diperoleh indikasi-indikasi awal ada tidaknya gejala PPD
yang kemudian perlu ditindaklanjuti dengan asesmen yang lebih
detail dan mendalam.

Pemodelan Rasch dipilih karena dianggap lebih mampu


mengembalikan data sesuai kondisi alamiahnya dibandingkan teori
tes klasik karena data skor mentah dikonversi dulu ke dalam bentuk
odds ratio dan selanjutnya dilakukan transformasi logaritma
menjadi unit logit sebagai manisfestasi probabilitas responden
dalam merespons suatu aitem. Melalui pemodelan Rasch, suatu
respon yang bersifat ordinal dapat ditransformasikan ke dalam
bentuk rasio yang memiliki tingkat akurasi lebih tinggi dengan
mengacu pada prinsip probabilitas.

Pemodelan Rasch juga mampu melakukan prediksi terhadap


data hilang (missing data), yang didasarkan pada pola respon yang
sistematis. Hal ini jelas menjadikan hasil analisis statistik yang lebih
akurat dan mampu menghasilkan nilai pengukuran standar eror
untuk instrumen yang digunakan yang dapat meningkatkan
ketepatan perhitungan. Kalibrasi dilakukan dalam pemodelan Rasch
secara sekaligus dalam tiga hal, yaitu skala pengukuran, responden
(person), dan butir soal (item). Suatu instrumen yang tidak
dikalibrasi maka mempunyai kemungkinan menghasilkan data yang
tidak valid dan bisa menyebabkan kegiatan riset yang dilakukan
mengalami kegagalan (Sumintono & Widhiarso, 2014; Wibisono,
2016). Penggunaan model Rasch dalam validasi instrumen akan
menghasilkan informasi yang lebih holistik tentang instrumen dan
lebih memenuhi definisi pengukuran (Bond & Fox, 2007). Oleh
karenanya, penelitian ini pun menggunakan pemodelan Rasch dalam
analisis datanya.

Dalam penelitian ini, untuk memperjelas hasil analisis model


Rasch, dilakukan pula uji reliabilitas menggunakan pendekatan teori
tes klasik sehingga akan tampak perbandingannya antara hasil
analisis model Rasch dan hasil analisis teori tes klasik. Sejauh ini di
Indonesia, sudah ada beberapa riset pengembangan alat ukur
menggunakan pemodelan Rasch seperti pengembangan instrumen
persepsi siswa terhadap karakter moral guru (Misbach &
Sumintono, 2014), pengujian alat ukur kesehatan mental di tempat
kerja (Aziz, 2015), pengembangan instrumen pengukuran
fundamentalisme agama (Wibisono, 2016), dan pengembangan
skala efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir (Ardiyanti,
2016), namun belum ada yang menggunakan pemodelan Rasch
untuk mengembangkan instrumen deteksi dini PPD.
Berdasarkan hasil analisis dengan pemodelan Rasch,
instrumen deteksi dini postpartum depression ini terbukti
memberikan hasil yang konsisten dan terbukti mengungkap satu
konstrak psikologis (unidimensi), yakni postpartum depression.
Terdapat 13 aitem yang sesuai model, dengan koefisien reliabilitas
instrumen 0,90, koefisien reliabilitas aitem 0,92, dan koefisien
relibilitas responden 0,87. Artinya, instrumen ini menghasilkan skor
pengukuran yang konsisten dan dapat dipercaya dengan kualitas
aitem yang baik. Kelima alternatif jawaban (tidak pernah, jarang,
kadang-kadang, sering, selalu) yang tersediapun sudah tepat
digunakan karena responden tidak mengalami kebingungan dalam
memastikan perbedaan antar pilihan respon jawaban. Secara
keseluruhan dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa instrumen
deteksi dini postpartum depression ini terbukti memiliki properti
psikometris yang baik sehingga dapat digunakan sebagai instrumen
asesmen deteksi dini adanya gejala gangguan depresi setelah
melahirkan.

B. Jurnal 2
Difa Ardiyanti, Siti Muthia Dinni. (2019). Pengembangan Asipp (Alat
Asesmen Ibu Postpartum) Menggunakan Pemodelan Rasch.
Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 2. Universitas Ahmad Dahlan.
Yogyakarta, Indonesia

Postpartum Depression (PPD) merupakan permasalahan kesehatan


mental pada ibu yang berdampak serius bagi ibu nifas, anak, dan
keluarga. Deteksi dan penanganan yang terlambat dapat membahayakan
nyawa ibu dan bayinya. Sayangnya, di Indonesia, riset tentang
pengembangan alat ukur bagi ibu postpartum terkait pendeteksian gejala
awal berdasarkan faktor-faktor potensial atau risiko dari PPD belum
banyak dilakukan.
Data mengenai tingkat prevalensi PPD di Indonesia masih relatif terbatas
jumlahnya. Pada tahun 2016, tingkat prevalensi PPD di kota Denpasar
mencapai 20,5% (Dira & Wahyuni, 2016), sementara di kota Jakarta
mencapai 18,37% di tahun yang sama (Nurbaeti, Deoisres, &
Hengudomsub, 2018a). Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan
untuk meminimalisasi dampak serius dari PPD adalah pengembangan
alat deteksi dini PPD. Terdapat dua instrumen yang populer digunakan
untuk mengukur PPD yakni, Edinburgh Postnatal Depression Scale
(EPDS) dan Postpartum Depression Screening Scale (PDSS). EPDS
terbukti akurat dalam mengidentifikasi PPD (Venkatesh dkk., 2014).
EPDS dan PPD memiliki sensitivitas dan kekhususan sebagai alat
skrining PDD (Zubaran, Schumacher, Roxo, & Foresti, 2010). Di
Indonesia, pengembangan instrumen deteksi dini postpartum depression
telah dilakukan oleh Ardiyanti & Dinni (2018). Instrumen tersebut berisi
13 item dan memiliki kualitas properti psikometris yang baik, yakni
koefisien reliabilitas instrumen sebesar 0,90 dan koefisien reliabilitas
item sebesar 0,92. Sebagai alat deteksi dini PPD¸ instrumen tersebut
sudah dapat digunakan, namun peneliti berkeyakinan bahwa sebetulnya
PPD dapat dideteksi lebih dini dan lebih komprehensif lagi berdasarkan
variabe-lvariabel psikologis lain yang terbukti berkorelasi dengan PPD
sehingga skor pengukuran variabel tersebut dapat mencerminkan
seberapa tinggi rendah potensi risiko seorang ibu mengalami PPD ke
depannya. Hal ini tentu berbeda dengan skor pengukuran yang
dihasilkan oleh instrumen deteksi dini postpartum depression, yakni
menggambarkan seberapa tinggi rendah potensi seorang ibu mengalami
PPD berdasarkan gejala-gejala PPD yang ditunjukkannya.

Keyakinan peneliti ini didukung dengan adanya instrumen The


Postpartum Depression Predictors Inventory-Revised (PDPI-R). PDPI-R
merupakan suatu instrumen pengukuran yang mengungkap 13 faktor
risiko yang berkorelasi signifikan dengan PPD. Instrumen ini berisi 13
pertanyaan yang mengungkap 10 faktor risiko yang dapat diukur selama
periode kehamilan dan pasca melahirkan, yakni status pernikahan, status
sosial-ekonomi, self-esteem, depresi prenatal, kecemasan prenatal,
kehamilan yang tidak direncanakan, riwayat depresi, dukungan sosial,
kepuasan pernikahan, dan life stress, serta 3 faktor risiko yang diukur
setelah melahirkan, yaitu childcare stress, infant temperament, dan
maternity blues (Oppo dkk., 2009). PDPI-R terbukti memiliki kualitas
psikometris (reliabilitas dan validitas) yang memadai (Ibarra-Yruegas
dkk., 2018) dan mudah diadministrasikan (Oppo dkk., 2009) sehingga
memungkinkan untuk digunakan secara luas sebagai alat asesmen faktor
risiko PPD. PDPI-R telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Portugis
(Alves dkk., 2018), Bahasa Korea (Youn & Jeong, 2011), Bahasa Jepang
(Ikeda & Kamibeppu, 2013) dan terbukti memiliki validitas prediktif
yang baik sehingga direkomendasikan untuk digunakan memprediksi
gejala PPD pada wanita hamil dan pasca melahirkan (Alves dkk., 2019;
Ikeda & Kamibeppu, 2013; Youn & Jeong, 2011).

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengembangkan ASIPP yang


merupakan akronim dari Alat Asesmen Ibu Postpartum. Pengembangan
ASIPP ini merupakan bagian dari penelitian identifikasi prediktor dari
PPD sehingga nantinya akan diketahui variabel-variabel psikologis yang
dapat menjadi prediktor dari PPD. Hal ini tentunya tidak akan bisa
dilakukan tanpa adanya alat asesmen yang valid dan reliabel. Melalui
penelitian ini, diharapkan akan didapatkan suatu alat asesmen yang
berkualitas sebagai instrumen pendukung deteksi dini PPD. ASIPP berisi
beberapa skala pengukuran variabel psikologi yang secara teoritis
berkorelasi dengan PPD. Berdasarkan hasil reviu peneliti terhadap
berbagai penelitian PPD, peneliti menemukan ada tiga variabel
psikologis penting yang berkaitan dengan PPD maupun depresi secara
umum, yakni kepercayaan diri maternal (Zubaran & Foresti, 2013;
Reck dkk., 2012; Haga dkk., 2012; Leahy-Warren, McCarthy, &
Corcoran, 2011), regulasi emosi (Visted dkk., 2018; Compare dkk.,
2014; Haga dkk., 2012), dan kepuasan pernikahan (Nurbaeti,
Deoisres, & Hengudomsub, 2018b; Maliszewska dkk., 2016; Yim dkk.,
2015; Abadi, Fallahchai, & Askari, 2014; Munaf & Siddiqui, 2013;
Bener, Gerber, & Sheikh, 2012; Kiani dkk., 2010)

ASIPP (Alat Asesmen Ibu Postpartum) berisi tiga skala pengukuran,


yakni Skala Regulasi Emosi, Skala Kepercayaan Diri Maternal, dan
Skala Kepuasan Pernikahan. Peneliti menyusun skala kepercayaan diri
maternal berdasarkan teori kepercayaan diri dari Lauster (2006) yang
kemudian disesuaikan dengan konteks pengasuhan ibu. Skala regulasi
emosi disusun peneliti berdasarkan teori regulasi emosi dari Gross &
Thompson (2007). Skala kepuasan pernikahan disusun peneliti dengan
mensintesakan teori kepuasan pernikahan dari Saxton (1986) dan teori
kepuasan pernikahan dari Fowers & Olson (1993).

ASIPP akan digunakan untuk mengukur tingkat kepercayaan diri


maternal, regulasi emosi, dan kepuasan pernikahan wanita pasca
melahirkan. Penelitian ini berfokus pada pengembangan ASIPP
menggunakan pemodelan Rasch. Pemodelan Rasch dipilih karena
dipandang memiliki beberapa keunggulan disbandingkan teori tes klasik,
yakni

1) lebih mampu menggunakan data sesuai kondisi alamiahnya karena


data skor mentah dikonversi menjadi unit logit sebagai manifestasi
probabilitas responden dalam merespons item,

2) suatu respons yang bersifat ordinal dapat ditransformasikan ke


dalam bentuk interval yang memiliki tingkat akurasi lebih tinggi
dengan mengacu pada prinsip probabilitas,

3) mampu melakukan prediksi terhadap data hilang (missing data)


yang didasarkan pada pola respons yang sistematis sehingga hasil
analisisnya lebih akurat,
4) kalibrasi dilakukan dalam tiga hal, yaitu skala pengukuran,
responden (person), dan butir soal (item) sehingga data yang
dihasilkan lebih valid (Sumintono & Widhiarso, 2014; Wibisono,
2016).

Berdasarkan hal ini, maka penelitian ini pun menggunakan pemodelan Rasch
dalam analisis datanya. Di Indonesia, sudah ada beberapa riset tentang
penggunaan pemodelan Rasch untuk pengembangan alat ukur psikologis, antara
lain: pengujian alat ukur kesehatan mental di tempat kerja (Aziz, 2015),
pengembangan skala efikasi diri dalam pengambilan keputusan karier siswa
(Ardiyanti, 2016), pengembangan instrumen pengukuran fundamentalisme agama
(Wibisono, 2016), dan pengembangan instrumen deteksi dini postpartum
depression (Ardiyanti & Dinni, 2018). Hasil penelusuran peneliti menunjukkan
bahwa belum ada riset terkait aplikasi pemodelan Rasch untuk pengembangan
skala regulasi emosi, skala kepercayaan diri maternal, dan skala kepuasan
pernikahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan ASIPP yang
merupakan instrumen pendukung deteksi dini PPD menggunakan pemodelan
Rasch. Luaran yang diharapkan dari penelitian adalah adanya alat ukur
pendukung deteksi dini PPD yang berkualitas dari segi psikometri sehingga dapat
digunakan sebagai alat asesmen kondisi psikologis wanita pasca melahirkan
terkait tingkat kepercayaan diri maternal, regulasi emosi, dan kepuasan
pernikahannya.

Dengan adanya informasi ini, ke depannya interpretasi terhadap


kondisi psikologis ibu pasca melahirkan dapat diketahui secara lebih
menyeluruh dan deteksi ada tidaknya potensi mengalami PPD dapat
dilakukan lebih dini serta tidak hanya didasarkan pada skor PPD saja
(yang dihasilkan instrumen deteksi dini postpartum depression) namun
juga dari indikator-indikator lain sehingga dalam mengambil kesimpulan
akan lebih komprehensif.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan pemodelan Rasch,
diketahui bahwa ditinjau dari sisi item, responden, dan instrumen secara
keseluruhan, ketiga skala dalam ASIPP ini yakni, skala kepercayaan diri
maternal, skala regulasi emosi, dan skala kepuasan pernikahan memiliki
properti psikometris yang memadai. Koefisien reliabilitas skala
kepercayaan diri maternal dan skala regulasi emosi adalah sama yakni
sebesar 0,82 dan koefisien reliabilitas skala kepuasan pernikahan sebesar
0,91. Artinya, reliabilitas yang diperoleh ketiga alat ukur ini tergolong
sangat baik. Masing-masing skala terbukti mampu mengungkap konstrak
psikologi sesuai tujuan ukurnya (unidimensi).
Skala kepercayaan diri maternal berisi 15 item dengan tingkat
kesesuaian butir-model sesuai kriteria, skala regulasi emosi berisi 12
item dengan tingkat kesesuaian butir-model sesuai kriteria, dan skala
kepuasan pernikahan berisi 27 item dengan tingkat kesesuaian butir-
model sesuai kriteria. Sebagai instrumen yang dirancang sebagai alat
asesmen pendukung deteksi dini PPD, ASIPP mampu memberikan
informasi yang optimal pada level kepercayaan diri, regulasi emosi, dan
kepuasan pernikahan yang rendah hingga sedang sehingga individu
dengan kondisi demikian akan dapat terdeteksi lebih dini berisiko atau
tidak mengalami PPD ke depannya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa ASIPP dapat digunakan sebagai alat asesmen untuk
memperoleh informasi yang akurat tentang kondisi psikologis wanita
pasca melahirkan, yakni terkait tingkat kepercayaan diri maternal,
regulasi emosi, dan kepuasan pernikahannya.

C. Jurnal 3
Brooke Levis, Zelalem Negeri, Ying Sun, Andrea Benedetti, Brett D
Thombs. (2020). Accuracy of the Edinburgh Postnatal
Depression Scale (EPDS) for screening to detect major
depression among pregnant and postpartum women: systematic
review and meta-analysis of individual participant data.
Research The BMJ

3. Depresi sering terjadi pada ibu hamil dan pasca melahirkanwanita dan
dikaitkan dengan hasil yang merugikan untuk ibu, anak yang sedang
berkembang, ibu-bayi, dan hubungan pasangan .Skrining depresi berpotensi
meningkatkan deteksi dan manajemen depresi perinatal. Skrining depresi
melibatkan penggunaan laporan dirikuesioner gejala depresi untuk
mengidentifikasiwanita di atas nilai batas yang telah ditentukan sebelumnya
untukevaluasi lebih lanjut untuk menentukan apakah depresi hadir. Di
Inggris, National Pedoman Institute for Health and Care Excellence
menyarankan agar penyedia layanan kesehatan mempertimbangkan untuk
bertanya wanita hamil atau postpartum dua Whooley pertanyaan, dan
mengelola Edinburgh Skala Depresi Pascanatal (EPDS) atau Kesehatan
Pasien Kuesioner penyaringan kuesioner sebagai bagian penilaian penuh jika
depresi dicurigai.Pedoman tidak merekomendasikan pemberianalat skrining
untuk semua wanita. Nasional InggrisKomite Pemutaran dan Gugus Tugas
Kanada tentang Perawatan Kesehatan Pencegahan merekomendasikan untuk
tidak melakukan skrining. 10 item EPDS adalah yang paling umum
digunakan alat skrining depresi dalam perawatan perinatal; memotong nilai
10 atau lebih tinggi dan 13 atau lebih tinggi adalah yang palingsering
digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang mungkindepresi. USPSTF
merekomendasikan skrining wanita hamil dan postpartum dengan
EPDS,tetapi tidak menentukan nilai batas yang sistematis tinjauan dilakukan
untuk mendukung pedoman USPSTF melaporkan kisaran perkiraan akurasi
untuk EPDS nilai batas 10 atau lebih tinggi (1 studi) dan 13 atau 13lebih
tinggi (17 studi) di 23 studi utama, tetapi tidaktermasuk meta-analisis.
Temuan utama dalam penelitian ini adalah : bahwa sensitivitas dan
spesifisitas gabungan dimaksimalkan pada nilai batas 11 atau lebih tinggi di
seluruh standar referensi lain. Untuk wawancara semi-terstruktur, yang
dirancang untuk meniru diagnosis klinis oleh profesional kesehatan mental,
sensitivitas dan spesifisitas menghasilkan 81% dan 88% untuk nilai batas 11
atau lebih tinggi. Pada nilai batas 10 yang biasanya digunakan untuk skrining
depresi, sensitivitas dan spesifisitas masing-masing menghasilkan 85% dan
84%. Akurasi serupa di seluruh standar referensi sama di antara wanita hamil
dan postpartum, dan sesuai berdasarkan studi lain dan karakteristik peserta.
Singkatnya, penelitian (Brooke,dkk. 2020) menemukan bahwa
sensitivitas gabungan dan spesifisitas untuk EPDS dimaksimalkan pada nilai
batas 11 atau lebih tinggi. Selain itu, akurasi tidak tidak berbeda secara
signifikan berdasarkan standar referensi atau karakteristik peserta, termasuk
apakah EPDS diberikan selama kehamilan atau pada periode postpartum.
Klinisi mempertimbangkan skrining untuk depresi dengan EPDS dapat
merujuk pada alat online peneliti (depressionscreening100.com/epds) untuk
mengidentifikasi nilai batas alternatif yang memaksimalkan parameter
lainnya. Uji coba yang dilakukan dengan baik diperlukan untuk menentukan
apakah skrining dengan EPDS dapat meningkatkan hasil kesehatan mental
dan meminimalkan bahaya dan penggunaan sumber daya khususnya pada ibu
nifas.
BAB III
Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil literatur review jurnal yang telah kelompok kami dapatkan
sebagian besar alat / risk assesment tools pada masa nifas umumnya yang paling
sering di jumpai adalah alat untuk mengurangi angka kematian ibu yang terkena
depresi postpartum , karena pada dasarnya kejadian depresi postpartum ini banyak
dialami terutama oleh para wanita yang baru melahirkan pertama kali (primipara
mother) antara lain : model rasch , EPDS , ASIPP yang sudah teruji efektif untuk
digunakan dalam mendeteksi adanya kejadian depresi postpartum. Adapun alat
yang di pergunakan sebagai alat pendeteksi endometritis yaitu laparoskopi . Cara
mengkonfirmasi diagnosis endometritis di ambil dari sampel histologi yang
direkomendasikan dengan pengambilan melalui biopsi.

2. Saran
Peran kami sebagai bidan harus mampu melakukan deteksi dan
pencegahan depresi postpartum di masyarakat terutama pada ibu di masa
nifas , karena sebagian besar kejadian depresi postpartum ini menambah
angka kematian ibu di indonesia.
Daftar Rujukan/Pustaka
Difa Ardiyanti, Siti Muthia Dinni. (2018). Aplikasi Model Rasch dalam
Pengembangan Instrumen Deteksi Dini Postpartum Depression. Jurnal Psikologi
Volume 45, Nomor 2. Universitas Ahmad Dahlan

Difa Ardiyanti, Siti Muthia Dinni. (2019). Pengembangan Asipp (Alat Asesmen
Ibu Postpartum) Menggunakan Pemodelan Rasch. Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 2.
Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta, Indonesia

Brooke Levis, Zelalem Negeri, Ying Sun, Andrea Benedetti, Brett D Thombs.
(2020). Accuracy of the Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) for
screening to detect major depression among pregnant and postpartum women:
systematic review and meta-analysis of individual participant data. Research The
BMJ

Anda mungkin juga menyukai