Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

MANEJEMEN TERNAK PERAH


Oleh:

Nama : Farashyella Lumintang Ragazasusilo


NIM : D1A019162
Kelas :B
Asisten : Nur Kholis

LABORATORIUM PRODUKSI TERNAK PERAH


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERALSOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
MANEJEMEN TERNAK PERAH

Oleh:
Farashyella Lumintang Ragazasusilo
D1A019162

Diterima dan Disetujui


Pada Tanggal: ...................................

Koordinator Asisten Asisten Praktikum

Hafiidh Muhammad Nur Kholis


D1B021014 D1A018152
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberhasilan usaha sapi perah bergantung pada program pemeliharaan sebagai
replacement stock untuk dapat meningkatkan produksi susu. Usaha peternakan sapi
perah dalam pemeliharaannya memerlukan perhatian dan ketelitian yang tinggi
dibanding dengan pemeliharaan sapi masa lainnya. Sapi perah membutuhkan nutrisi yang
cukup untuk keberlangsungan hidupnya dan keberhasilan kualitas produksi yang
dihasilkan. Kesalahan dalam pemeliharaan sapi perah, dapat menyebabkan pertumbuhan
pertumbuhan sapi perah terhambat dan tidak maksimal. Penanganan sapi perah mulai
dari awal sangat diperlukan agar nantinya bisa mendapatkan sapi yang mempunyai
produktivitas tinggi untuk menggantikan sapi yang sudah tidak berproduksi lagi.
Pemeliharaan sapi perah juga meliputi pada bagian perkandangan. Kandang
merupakan rumah atau tempat tinggal bagi menghabiskan waktu untuk tumbuh,
berkembang secara wajar, normal dan sehat serta untuk melindungi dari berbagai
gangguan yang datang dari luar seperti hujan, angin, terik matahari, binatang buas dan
lain-lain, kandang juga dibutuhkan untuk memudahkan peternak dalam melakukan
pengelolaan ternaknya. Kandang yang baik harus memenuhi syarat kesehatan, keamanan
dan kenyamanan. Hal tersebut bertujuan agar ternak dapat mencapai produksi yang
optimal. Indonesia adalah negara tropis sehingga kandang sapi perah memerlukan atap
yang bisa memberikan perlindungan dari teriknya sinar matahari dan curahan air hujan
yang lebat sehingga diperlukan atap dan dinding pelindung yang memadai serta aman
dari tiupan angin kencang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah selain pemeliharaan
diantaranya adalah umur, tingkat laktasi, dan BCS atau Body Condition Score. BCS dapat
digunakan dalam pendugaan status nutrisi dan mengetahui status produksi sapi. BCS ini
telah digunakan sebagai alat yang praktis dan penting dalam menilai kondisi tubuh ternak
karena BCS merupakan indikator sederhana yang terbaik untuk melihat cadangan lemak
yang tersedia dan dapat digunakan untuk menilai ternak dalam apapun periodenya.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui tujuan dari pemeliharaan.
2. Untuk mengetahui tujuan dari handling.
3. Untuk mengetahui tujuan dari pemotongan kuku.
4. Untuk mengetahui fungsi kandang.
5. Untuk mengetahui mengenai pembangunan kandang.
6. Untuk mengetahui tipe tipe kandang.
7. Untuk mengetahui mengenai biosecurity dan sanitasi.
8. Untuk mengetahui mengenai pemerahan.
9. Untuk mengetahui mengenai BCS
10. Untuk mengetahui komponen dari evaluasi kecukupan pakan.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum mata kuliah Manajemen Ternak Perah acara 1 “Pemeliharaan,
Handling, dan Perawatan Ternak Perah” dilakukan pada tanggal 02 September 2021 pukul
14.50-selesai, acara 2 “Perkandangan, Sanitasi, dan Pemerahan” dilakukan pada tanggal
09 September 2021 pukul 14.50-selesai, acara 3 “BCS dan Evaluasi Kecukupan Pakan”
dilakukan pada tanggal 16 September 2021 pukul 14.50-selesai melalui whatsapp group
dan google meet di rumah masing-masing. Praktikum mandiri mata kuliah Manajemen
Ternak Perah meliputi acara 1, acara 2, dan acara 3 dilakukan pada tanggal 27-29
September 2021 pada pukul 02.00-selesai di Experimental Farm Fakultas Peternakan
Unsoed.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pemeliharaan
Prinsip dari kegiatan pemeliharaan pada ternak perah adalah apabila dilaksanakan
tata laksana pemeliharaan yang baik maka akan sangat menentukan kualitas ataupun
kuantitas produksi ternak. Pemeliharaan ternak perah perlu dilaksanakan dengan rutin
dan konsisten, baik berkaitan dengan kebersihan, pemberian pakan, dan perawatan
ternak. Sesuai dengan pernyataan Pinardi et al. (2019), yang menjelaskan bahwa sistem
pemeliharaan ternak sapi yang baik akan memberikan hasil produksi yang optimal, seperti
dijelaskan Matondang dan Rusdiana (2013) bahwa produktivitas sapi lokal yang masih
rendah disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang belum efisien.
Pemeliharaan ternak perah meliputi kegiatan pemberian makan dan minum,
pemandian ternak perah, pembersihan kandang, dan mencampur konsentrat. Beberapa
kegiatan tersebut juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kualitas dari
produksi ternak perah. Sesuai dengan pernyataan Pinardi et al. (2019), yang menjelaskan
bahwa pemeliharaan ternak dinilai baik apabila prinsip dasar kesejahteraan ternak
(animal welfare) terpenuhi, diantaranya adalah: (1) Bebas dari rasa lapar dan haus, cukup
tersedia pakan dan air yang mampu memenuhi kebutuhan ternak; (2) Bebas dari rasa
tidak nyaman, temperatur dan kelembaban sesuai, dan terlindung; (3) Bebas dari rasa
sakit, luka, dan penyakit; pencegahan penyakit, pengamatan dini perilaku tidak normal,
dan diagnosis yang cepat dalam usaha mengatasi cedera dan sakit. (4). Bebas dari rasa
takut dan stres, cekaman dan ketakutan yang menimbulkan penderitaan psikologis. (5).
Bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alamiah dan perilaku normal sebagai wujud
kenyamanan hidup.
Pemberian pakan pada ternak bisa dilakukan dengan 3 cara, yaitu total mix ratio,
free choice, dan komponen feeding. Pakan yang diberikan pada ternak berupa konsentrat
dan hijauan. Berbagai macam cara pemberian pakan memiliki teknisnya masing-masing,
seperti pada komponen feeding lebih baik konsentrasi terlebih dahulu yang diberikan
kepada ternak daripada hijauan, hal tersebut dikarenakan oleh sifat dari konsentrat yang
lebih mudah dicerna oleh ternak. hal tersebut sesuai dengan Siregar (2003) dalam Astuti
dan Sentosa (2015), yang menyatakan bahwa pemberian konsentrat 2 jam sebelum
hijauan akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum, yang
akan meningkatkan konsumsi bahan kering ransum.
Selain terdapat pemberian pakan, pada ternak juga terdapat pemberian minum
yang dilakukan secara ad libitum atau terus menerus. Pemberian minum secara ad
libitum bertujuan agar hewan ternak dapat minum sesuai dengan kebutuhan dari
tubuhnya. Sesuai dengan pendapat Sari et al. (2017), yang menjelaskan bahwa pemberian
air minum sebaiknya dilakukan secara adlibitum untuk mencukupi kebutuhan minum
ternak sapi, air berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai
kontrol suhu tubuh sehingga ketersediaan air harus selalu ada. Dijelaskan lebih lanjut oleh
air adalah komponen nutrien penting yang harus terpenuhi, kekurangan air akan
mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan produksi ternak (Pfost dan Fulhage, 2001).
Air juga diperlukan untuk menjaga cairan tubuh, keseimbangan ion, menjaga suhu tubuh,
membantu mencerna dan metabolisme nutrien (Looper dan Walder, 2007).
2.2 Handling
Handling adalah salah satu teknik perawatan ternak perah yang digunakan oleh
peternak untuk mengendalikan ternak agar memudahkan selama pemeliharaan. Sesuai
dengan Qayyum dan Sudirman (2020), bahwa karena ukuran dan tenaga yang sangat
kuat, serta keberadaan tanduk pada sapi disertai sifat temperamen yang liar,
membutuhkan suatu teknik atau keterampilan khusus dalam penanganan (handling)
ternak sapi terutama ketika akan dilakukan perlakuan khusus sehingga ternak dibawa
keluar kandang. Yulianto dan Saparinto (2014) bahwa mengikat sapi adalah menjaga agar
sapi tidak lepas dan tidak pergi kemana-mana.
Penanganan atau handling pada ternak ruminansia seperti sapi perah
menggunakan tali. Tali yang digunakan diikat dengan dua metode yaitu bisa dengan
dimasukkan ke dalam lubang hidung atau dilingkarkan saja di area kepala ternak. Sejalan
dengan pendapat Mufidah dan Adi (2018), yang menyatakan bahwa halter adalah tali
pengikat sapi agar sapi menjadi jinak. Tujuan dari pembuatan tali pengikat sapi ini
(contohnya tali patis dan tali brangus) adalah agar ternak mudah dipindahkan dan mudah
dikendalikan.
Pengikatan leher perlu dipelajari dan diperhatikan dengan seksama. Pengikatan
ujung tali sebaiknya tidak mudah lepas atau tidak membahayakan sapi yang diikat.
Pengikatan ujung tali yang tidak benar akan mengakibatkan leher sapi tercekik. Sesuai
dengan Ilmi et al. (2012), bahwa pengikatan leher harus longgar, ujungnya harus terikat
ketat tetapi harus mudah dilepaskan kembali. Setelah leher sapi diikat, tali diputar untuk
mengikat bangus (bagian mulut dan hidung). Sapi dengan erat. Tali diputarkan dan
diikatkan tepat di atas hidung sapi, kemudian dilingkarkan ke bagian dagu. Dengan
demikian, apabila sapi dituntun atau ditarik, tali tersebut akan mengikat dengan erat.
2.3 Perawatan Ternak
Perawatan kuku pada sapi perah sangat perlu dilakukan terutama pada sapi yang
terus menerus dipelihara di dalam kandang. Kuku sapi akan terus mengalami
pertumbuhan dan pada waktu tertentu akan membuat sapi merasakan sakit karena kuku
yang terus bertambah panjang. Sesuai dengan Anggraeni et al. (2018), yang menjelaskan
bahwa pemotongan dan perawatan kuku dilaksanakan sebelum kuku sapi terlalu panjang
agar tidak terjadi kelainan dan kerusakan pada kuku induk sapi. Peternak memeriksa kuku
pada saat pemerahan pagi.
Pemotongan kuku sapi bertujuan untuk menjaga kuku agar tidak kotor, kuat
dalam erjalan, dan memmpermudah sapi dalam menopang badan. Kuku yang tidak
dipelihara dapat menyebabkan sapi menjadi pincang dan mudah terkena penyakit
footroot dan pink. Sesuai dengan Sudono (2003), menyatakan kegiatan pemotongan kuku
pada sapi bertujuan untuk mengembalikan posisi normal kuku, membersihkan kotoran
pada celah kuku, menghindari pincang, mempermudah deteksi dini laminitis dan
kemungkinan terjadinya infeksi pada kuku. Nickerson (2013), menyatakan bahwa
pemotongan kuku sapi perah dilakukan secara rutin yaitu dua kali dalam setahun dibantu
oleh petugas keswan menggunakan alat khusus, namun ada beberapa peternak yang
hanya memotong kuku sapi perah satu kali dalam setahun dan menggunakan gergaji.
Hiharno et al. (2018), menyatakan bahwa pemotongan kuku pada sapi berpengaruh pada
kejadian footrot, jika kuku sapi tidak pernah dipotong maka kejadian footrot akan
semakin besar.
Kuku sapi yang dipotong mengikuti sudut 45°. Kuku dipotong dengan alat pemahat
dari belahan kuku depan mengarah ke belakang. Pemotongan tidak boleh melewati garis
putih. Hal tersebut sependapat dengan Marta et al. (2016), bahwa kuku normal sapi
perah membentuk sudut ± 45˚ terhadap lantai (tempat pijakan). Ukuran sudut sapi
normal perlu diperhatikan agar bisa mendukung sempurnanya fungsi kuku tersebut.
Pemotongan kuku pada sapi tidak akan mengubah sudut kaki dikarenakan yang
mempengaruhi sudut kuku sapi adalah bagian dari alas kaki sapi tersebut kedalaman
tumit.
2.4 Perkandangan
Kandang merupakan tempat ternak melakukan aktivitas produksi, sehingga
kenyamanan dan bentuk kandang perlu diperhatikan agar ternak merasakan kenyamanan
dan keamanan secara penuh. Sesuai dengan pengertian diatas, maka kandang memiliki
beberapa fungsi, diantaranya sebagai pelindung bagi ternak dari berbagai macam cuaca,
memudahkan dalam penanganan dan pembersihan ternak, serta sebagai tempat istirahat
bagi ternak. Sesuai dengan Nurdin (2011), yang menyatakan bahwa kandang adalah
bangunan sebagai tempat tinggal ternak, yang ditujukan untuk melindungi ternak
terhadap gangguan dari luar yang merugikan seperti terik matahari, hujan, angin,
gangguan binatang buas, serta untuk memudahkan dalam pengelolaan. Sukmawati et al.
(2010) yang menyatakan bahwa fungsi kandang antara lain untuk menjaga keamanan
ternak dari pencurian, memudahkan pengelolaan ternak dalam proses produksi seperti
pemberian pakan, minum, pembersihan kandang dan nyaman, serta menjaga keamanan
ternak dari pencurian.
Pembangunan kandang yang dilakukan harus memperhatikan aspek lokasi dan
bangunan. Syarat lokasi perkandangan jauh dari pemukiman ±1 km, berada di tempat
tinggi, dan dekat dengan sumber air bersih ± 10 meter. Selain itu juga ada syarat
bangunan, diantaranya dinding kandang terbuat dari bahan yang kokoh, atap terbuat dari
bahan yang ringan dan padat namun tidak terlalu keras, mampu melindungi sapi, serta
sistem ventilasi yang baik dan terang. Hal tersebut sesuai dengan Simamora et al.k (2015),
bahwa mengatakan pemilihan lokasi kandang harus memperhatikan beberapa
pertimbangan antara lain ketersediaan sumber air, lokasi dekat dengan sumber pakan,
memiliki areal perluasan, ketersediaan akses transportasi, jarak kandang dengan
perumahan minimal 10 m. Kontruksi kandang dibuat sekokoh mungkin sehingga mampu
menahan beban dan benturan serta dorongan dari ternak. Kontruksi kandang dirancang
sesuai agroklimat wilayah, tujuan pemeliharaan dan status fisiologis ternak. Bahan
kandang disesuaikan dengan tujuan usaha dan kemampuan ekonomi minimal tahan
digunakan untuk jangka waktu 5-10 tahun. Tingkat kemiringan lantai tidak boleh lebih
dari 5%. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Zaenal dan Khairil (2020), yang
menyatakan bahwa kandang yang baik yaitu jauh dari pemukiman penduduk, ventilasi
dan suhu udara kandang yang baik, efisien dalam pengelolaan, kuat dan tahan lama, tidak
berdampak pada lingkungan sekitar serta memudahkan petugas dalam proses produksi
seperti pemberian pakan, pembersihan kandang, penanganan kesehatan. Tatalaksana
pemeliharaan diatas dapat ditemukan di lokasi peternakan secara komersial maupun
pada peternakan rakyat. Model kandang yang baik, persyaratan kandang yang baik, dapat
lebih memperhatikan manajemen perkandangan untuk menunjang berdirinya suatu
usaha peternakan dan mencegah timbulnya berbagai penyakit yang dapat merugikan
masyarakat.
Kandang yang digunakan untuk sapi perah terdapat dalam beberapa tipe. Macam-
macam bentuk kandang tersebut dibagi berdasarkan kandang konvensional dan kandang
modern. Pada kandang konvensional terdapat tipe kandang tunggal dan kandang ganda,
sedangkan pada kandang modern terdapat tipe loose housing dan free stall. Masing-
masing kandang tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya, seperti pada tipe
kandang ganda dan free stall lebih memudahkan peternak untuk penanganan dan
pembersihan ternak. Sesuai dengan Hanafi (2016), menjelaskan bahwa kandang koloni
(komunal) atau kandang kelompok merupakan model kandang dalam suatu ruangan
kandang yang didalamnya ditempatkan beberapa ekor ternak, secara bebas tanpa diikat,
berfungsi sebagai tempat perkawinan dan pembesaran anak sampai disapih atau
digunakan sebagai kandang pembesaran maupun penggemukan. Perkandangan model
kelompok atau koloni diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan reproduksi dan
efisiensi penggunaan tenaga kerja.
Kontruksi bangunan dalam perkandangan sapi perah perlu diperhatikan agar
tujuan didirikannya kandang tersebut sesuai dengan fungsinya bagi ternak perah. Atap,
lantai, lorong, tempat pakan dan minum, serta selokan kandang memiliki fungsi dan
peranannya masing masing dalam perkandangan. Kandang yang berada pada daerah
dataran rendah memerlukan atap dengan ketinggian 3,5-4,5meter sedangkan pada
daerah dataran tinggi memerlukan atap dengan ketinggian 2,5-3,5 meter. Selain
ketinggian, kemiringan atap juga perlu diperhatikan. Hal tersebut didukung oleh Zuroida
dan Azizah (2018), bagian lain pada konstruksi bangunan kandang yaitu ventilasi dan
tempat pakan atau minum serta parit atau drainase. Ventilasi pada kandang sapi perah
harus cukup sehingga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya peningkatan
konsentrasi gas di dalam kandang seperti gas amonia dan karbondioksida. Selain itu,
ventilasi juga digunakan sebagai proses pertukaran udara di dalam dan di luar kandang,
menghilangkan panas dan mencegah terjadinya polusi udara dalam kandang.
2.5 Biosecurity dan Sanitasi
Biosecurity adalah pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan
dengan cara mencegah semua kontak penularan dengan peternakan yang tertular serta
mencegah penyebaran suatu bibit penyakit. Sesuai dengan Pinardi et al. (2019),
menyatakan bahwa biosecurity merupakan salah satu tindakan penting dan strategis guna
mencegah masuk atau keluarnya suatu penyakit dalam kawasan peternakan. Elemen
dasar biosecurity antara lain isolasi, pembersihan, desinfeksi, dan pengaturan lalu lintas di
kawasan. Aspek kesehatan hewan, antara lain: pengetahuan mengenai penyakit agar
ternak menjadi resisten, pencegahan penyakit ke dalam peternakan dan pengobatan
penyakit dengan penggunaan obat-obatan serta bahan kimia secara aman.
Sanitasi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah masuknya
penyakit ke lingkungan peternakan. Sanitasi meliputi sanitasi kandang, sanitasi ternak,
sanitasi peralatan, dan sanitasi peternak. Kebersihan kandang merupakan salah satu hal
yang sangat penting dalam menjaga sanitasi. Hal tersebut sesuai dengan Zuroida dan
Azizah (2018), yang menjelaskan bahwa dalam menjamin kondisi kebersihan kandang
maka diperlukan kebijakan dan prosedur untuk melakukan pembersihan kandang. Pada
peternak sapi perah, salah satu kebijakan atau prosedur pembersihan kandang yaitu
melakukan pembersihan kotoran ternak secara rutin setiap harinya. Frekuensi dalam
melakukan pembersihan kandang tergantung pada peternak masing-masing. Nuraini et
al. (2020), penerapan higienitas dan sanitasi kandang terdiri dari pembersihan kandang
teratur menggunakan desinfektan minimal 2 minggu sekali, menjaga kebersihan peternak
baik saat akan masuk maupun keluar kandang, serta menjaga kebersihan hewan ternak
dengan mencegah adanya lalat ataupun kotoran yang menumpuk di sekitarnya.
Sanitasi ternak dilakukan dengan cara memandikan ternak pada waktu pagi dan
sore hari. Bagian luar tubuh ternak merupakan salah satu komponen dalam pemandian
ternak. Hal tersebut sesuai dengan Simamora et al. (2015), menyarankan sebelum sapi di
perah bagian badan sapi sekitar lipat paha dan bagian belakang harus dibersihkan untuk
mencegah kotoran yang menempel pada bagian tersebut jatuh kedalam susu pada waktu
sapi di perah. Salah satu bentuk pelaksanaan sanitasi pada sapi perah adalah teat
dipping. Bahan yang digunakan dalam larutan teat dipping bersifat menekan masuknya
bakteri ke dalam ambing agar tidak terjadi penyakit pada sapi. Sesuai dengan Pisestyani
et al. (2017), yang menjelaskan bahwa tindakan celup putting dengan menggunakan
antiseptik bertujuan untuk mencegah masuknya bakteri ke dalam ambang melalui lubang
puting. Larutan yang umum digunakan yaitu Iodine, Chlorhexidine, Chlorin 4% dan alkohol
70%.
2.6 Pemerahan
Pemerahan adalah tindakan mengeluarkan susu dari ambing yang bertujuan untuk
mendapatkan produksi susu yang maksimal. Sebelum dilakukan pemerahan, terdapat
kegiatan yang harus dilakukan pada ternak, yaitu memandikan dan mengelap bagian
ambing hingga putting dengan lap hangat. Sesuai dengan Sasongko et al. (2012), yang
menyatakan bahwa pemerahan adalah tindakan mengeluarkan susu dari ambing.
Pemerahan bertujuan untuk mendapatkan produksi susu yang maksimal. Pemerahan
dibagi menjadi tiga tahapan yaitu pra pemerahan, pelaksanaan pemerahan dan pasca
pemerahan.
Setelah dilakukan pemerahan maka dilakukan teat dipping. Teat dipping
merupakan kegiatan mencelupkan putting ke antiseptik untuk meminimalisir mikroba
masuk ke dalam putting setelah pemerahan. Hal tersebut sependapat dengan Wahyuni et
al. (2021), bahwa teat dipping merupakan tindakan preventif dengan mencelupkan puting
ternak ke dalam larutan antiseptik setelah pelaksanaan pemerahan. Antiseptik yang
sering digunakan adalah larutan iodine. Hidayat et al. (2002), menjelaskan bahwa
perlakuan dipping dengan menggunakan desinfektan akan menutup saluran puting
sehingga bakteri yang ada di luar tidak dapat masuk meskipun lubang puting terbuka,
karena terhalang oleh lapisan desinfektan, dengan kondisi tersebut kerusakan susu akibat
bakteri yang dapat menurunkan kualitas dan mastitis dapat terhindarkan.
Metode pemerahan terbagi menjadi metode konvensional dan modern.
Kelemahan dari metode konvensional adalah membutuhkan sumber daya manusia yang
banyak karena memerlukan tenaga dalam pemerahan. Sehingga seiring dengan
berjalannya kecanggihan teknologi, terciptalah mesin yang dapat melakukan pemerahan
secara cepat dan praktis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Syarif dan Harianto (2011),
selain pemerahan secara alami menggunakan tangan, pemerahan juga dapat dilakukan
dengan menggunakan mesin pemerah susu. Mesin perah akan mengurangi kontak
manusia dan lingkungan kendang. Karena itu, susu hasil pemerahan lebih bersih dan
higienis. Volume susu yang diperah juga lebih tinggi.
Teknik pemerahan secara manual dapat dilakukan dengan menggunakan 3 cara,
yaitu whole hand, knevelen, dan strippen. Metode pemerahan whole hand merupakan
cara yang sering digunakan karena puting tidak akan menjadi panjang. Teknik ini
dilakukan dengan cara menggunakan seluruh tangan penuh. Sedangkan knevelen
menggunakan seluruh tangan namun terdapat perbedaan pada posisi ibu jari dan metode
strippen hanya menggunakan ibu jari dan jari telunjuk lalu ambing sedikit ditarik. Hal
tersebut sesuai dengan Choifin dan Lestariningsih (2019), bahwa para peternak
menggunakan metode manual dalam proses pemerahan susu sapi yaitu dengan cara
peternak memerah susu dengan menggunakan tangan untuk memijat kantung susu guna
mendapatkan susu dan susu ditampung dalam bak penampung.
2.7 BCS atau Body Condition Score
Body Condition Score adalah suatu metode untuk memberi skor kondisi tubuh
ternak baik secara visual maupun dengan perabaan terhadap lemak tubuh bagian
tertentu tubuh ternak. Hal tersebut sesuai dengan Pryce et al., (2001) dalam Anwar et al.,
(2017), yang menyatakan bahwa Body Condition Score merupakan suatu metode subjektif
untuk menilai kondisi tubuh domba, sapi potong dan sapi perah. Hal tersebut juga
didukung oleh pendapat Aziz et al., (2019), bahwa Body Condition Score (BCS) adalah
salah satu tolak ukur tinggi rendahnya kandungan lemak dalam tubuh. Semakin tinggi
angka BCS, maka semakin banyak pula kandungan lemak dalam tubuh seekor ternak,
begitu pula dengan sebaliknya.
Tujuan dari adanya BCS adalah sebagai penduga status nutrisi baik dari segi
kualitas dan kuantitas, untuk mengetahui status reproduksi sapi, sebagai indikasi penyakit
kronis tertentu, dan sebagai indikasi investasi endoparasit. Sesuai dengan Siska dan
Anggrayni (2020), yang menyatakan bahwa BCS dapat digunakan untuk pendugaan status
nutrisi, mengetahui status produksi sapi. BCS ini telah digunakan sebagai alat yang praktis
dan penting dalam menilai kondisi tubuh ternak karena BCS merupakan indikator
sederhana yang terbaik untuk melihat cadangan lemak yang tersedia dan dapat
digunakan untuk menilai ternak dalam apapun periodenya.
Terdapat 5 level skala nilai BCS, dari BCS 1 sampai BCS 5 dengan kenaikan 0,25.
Skala 1 menunjukkan bahwa sapi sangat kurus dan skala 5 sapi sangat gemuk. Skala 3
menunjukkan bahwa perlemakan dengan nilai normal. Sesuai dengan Soares dan Dryden
(2011), bahwa nilai BCS ternak diukur secara visual dan teknik penilaian BCS
menggunakan skala 1-5.
Nilai normal BCS pada skala 3 dapat dilihat melalui pengukuran visual maupun
perabaan dengan ciri ciri tulang pinggul sedikit terlihat, rusuk secara umum tidak terlihat,
daerah tail-head agak terlihat, dan garis skolotal tubuh membulat. Hal tersebut didukung
oleh pernyataan Soares dan Dryden (2011), yang menjelaskan bahwa ternak yang
disampling memiliki nilai BCS 3 di mana penampakan bagian belakangnya rata hingga ke
bahu. Terdapat jaringan lunak yang menutup keseluruhan di area bahu juga pada bagian
leher. Pangkal ekor nampak datar dengan cekungan yang sangat sedikit. Nampak tulang
belakang tertutupi oleh jaringan lunak begitu pun kondisi tulang rusuk. Sedangkan nilai
BCS 4 ditandai oleh penampakan area belakang agak datar atau sedikit bulat dengan
pundak tertutupi oleh jaringan lunak. Tulang belakang akan nampak jika diperhatikan
dalam jarak yang sangat dekat. Tulang rusuk tetap nampak meskipun tertutupi oleh
jaringan lunak. Daerah gelambir di daerah lipatan leher sudah mulai terlihat. Karakteristik
BCS 5 ditandai dengan adanya lipatan lemak di daerah kaki ternak, kaki belakang yang
lebih bulat dan penuh. Daerah pundak dan leher tertutup penuh oleh jaringan lunak juga
pada bagian pangkal ekor sudah mulai ditutupi oleh jaringan lunak. Tulang rusuk sudah
tidak nampak secara jelas disertai lipatan kulit bagian leher yang semakin besar hingga
mencapai daerah brisket. Area tulang pinggul masih agak nampak meskipun ditutupi oleh
jaringan lunak.
Pada umunya, sapi perah memiliki nilai BCS pada skala 3. Apabila sapi perah
memiliki nilai BCS diatas 3 dapat menyebabkan beberapa permasalahan pada kesehatan
tubuhnya, selain itu juga kaki sapi tersebut tidak kuat untuk menopang bobot badan.
Hubungan proses partus dengan nilai BCS adalah nilai BCS menjadi acuan, apabila BCS
tinggi terjadi ketosis. Sesuai dengan Susanto (2018), yang menyatakan bahwa sapi-sapi
yang terlalu gemuk (nilai BCS lebih besar dari 4.0) khususnya saat beranak akan
berpotensi mengalami masalah seperti distokia, plasenta tertinggal, milk fever dan
ketosis.

2.8 Evaluasi Kecukupan Pakan


Pakan merupakan makanan atau asupan yang diberikan kepada hewan ternak
dalam bentuk hijauan dan konsentrat. Pemberian pakan dilakukan bertujuan untuk
menyediakan kebutuhan gizi yang baik bagi ternak agar diperoleh produksi yang
maksimal. Sesuai dengan Syam et al. (2017), yang menjelaskan bahwa berdasarkan
Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan RI No 18 tahun 2009, pakan adalah
bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang
diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi dan berkembang biak.
Pakan ternak ruminansia terdiri dari pakan hijauan dan pakan penguat (konsentrat).
Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman ataupun tumbuhan
berupa daundaunan, terkadang termasuk batang, ranting dan bunga.
Pakan yang diberikan pada sapi perah harus memperhatikan kandungan nutrient.
Kecukupan nutrient pada pakan sapi perah sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan
produksi sapi tersebut. Pada evaluasi kecukupan pakan ada 3 komponen yang menjadi hal
utama, yaitu bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan Total Digestible Nutrient (TDN).
Sesuai dengan pendapat Rinaldi (2017), yang menyatakan bahwa nutrien utama yang
dibutuhkan oleh sapi perah laktasi adalah bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan Total
Digestible Nutrient (TDN). Ketiga nutrien tersebut perlu diketahui untuk menentukan
kecukupan nutrien sapi perah.
Pemberian BK, TDN, dan PK berhubungan dengan produksi susu dan energi yang
digunakan oleh sapi perah. Pemberian kebutuhan BK pada awal laktasi dapat
meningkatkan produksi susu. Konsumsi BK yang maksimal diharapkan dapat
meminimalkan negative energy balance pada sapi perah awal laktasi. Menghitung
konsumsi bahan kering (BK) dilakukan dengan cara persentase BK dikalikan dengan bahan
pakan yang dikonsumsi. Sesuai dengan McDonald et al., (2002), menjelaskan bahwa
peningkatan produksi susu dapat dilihat dari peningkatan konsumsi pakan dalam bentuk
bahan kering, TDN dan protein yang terkandung di dalam bahan pakan yang disintesa
menjadi zat-zat nutrient dalam darah dan terjadi penyerapan yang dapat meningkatkan
produksi susu dan kadar protein serta lemak dalam susu Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Periambawe dan Sutrisna (2016), bahwa menghitung konsumsi bahan kering
(BK) dengan cara persentase BK dikalikan dengan bahan pakan yang dikonsumsi.
Terjadinya kelebihan atau kekurangan dalam pemberian BK, TDN, dan PK dapat
menyebabkan produksi susu kurang optimal. Sesuai dengan Bilal et al., (2016), bahwa
kebutuhan nutrisi sapi perah awal laktasi harus tercukupi dengan konsumsi pakan yang
dapat dilihat dalam jumlah bahan kering pakan. BK pakan mengandung beberapa nutrisi
seperti lemak, protein, kalsium, fosfor, vitamin dan energi pakan yang dapat dikur dalam
total digestible nutrient (TDN). Abdillah et al., (2015), protein dan TDN pakan dapat
mempengaruhi produksi dan kualitas susu yang akan dihasilkan, sehingga apabila asupan
nutrisi yang belum cukup untuk proses sintesis susu akan merombak cadangan makanan
dalam tubuh hingga menyebabkan penurunan bobot badan. Jika kebutuhan nutrisi sapi
laktasi tidak tercukupi dari jumlah konsumsi pakan maka akan membuat produksi susu
sapi awal laktasi menjadi kurang optimal.
III. KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. Pemeliharaan hewan bertujuan untuk membantu hewan ternak dalam
menghasilkan produksi dengan kualitas yang baik.
2. Penanganan atau handling ternak dilakukan dengan menggunakan tali yang dibuat
menggunakan simpul agar lebih mudah dalam menangani ternak yang berada di
luar area kandang.
3. Pemotongan kuku pada sapi dilakukan dengan mengikuti arah sudut 45° dan
pemotongan bertujuan agar sapi terhindar dari penyakit atau selalu terjaga dari
sisi kesehatan.
4. Fungsi kandang diantaranya melindungi ternak terhadap gangguan dari luar yang
merugikan, menjaga keamanan ternak dari pencurian, memudahkan pengelolaan
ternak dalam proses produksi seperti pemberian pakan, minum, pembersihan
kandang dan nyaman, serta menjaga keamanan ternak dari pencurian.
5. Pembangunan kandang harus memperhatikan beberapa pertimbangan terutama
dalam aspek lokasi (pemukiman warga dan sumber air) dan bangunan (ventilasi,
atap, lantai, tempat pakan dan minum).
6. Kandang dibagi menjadi kandang konvensional dan kandang modern dengan tipe
kandang tunggal dan kandang ganda untuk kandang konvensional dan loose
housing dan free stall untuk kandang modern.
7. Biosecurity dan sanitasi pada ternak meliputi sanitasi ternak, sanitasi alat, sanitasi
kandang, dan sanitasi peternak. Pelaksanaan sanitasi dapat berupa penggunaan
desinfektan pada pembersihan kandang dan teat dipping.
8. Pemerahan dibagi menjadi tiga tahapan yaitu pra pemerahan, pelaksanaan
pemerahan dan pasca pemerahan. Teknik pemerahan terbagi menjadi metode
whole hand, metode knevelen, dan metode strippen.
9. BCS atau Body Condition Score bertujuan untuk menilai kondisi tubuh ternak
karena BCS merupakan indikator sederhana yang terbaik untuk melihat cadangan
lemak yang tersedia. Nilai BCS yang baik untuk sapi perah adalah dalam skala BCS
3.
10. Komponen penting dalam evaluasi kecukupan pakan adalah bahan kering (BK),
protein kasar (PK), dan total digestible nutrient (TDN).
3.2 Saran
1. Materi yang disampaikan sudah bagus, sebaiknya tetap dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, F., M. Hartono, Dan Siswanto. 2015. Conception Rate Pada Sapi Perah Laktasi Di
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden
Purwokerto Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 3(1):98-105.
Anggraeni, H. E., Bari, F., Suwandi, A., dan Setiawan, I. 2018. Tata Laksana Pemotongan
Kuku Pada Sapi Perah. Arshi Veterinary Letters, 2(1):11-12.
Anwar, M. A. M., Mulyani, P. M. P., Riyanto, A. R. A., Winoto, H. W. H., dan Mardiyono, M.
2017. Pendampingan Penguatan Pakan Induk Sapi Potong Di Kabupaten
Magelang. Info. 18(2):71-79.
Astuti, A., dan Santosa, P. E. 2015. Pengaruh Cara Pemberian Konsentrat-Hijauan
Terhadap Respon Fisiologis Dan Performa Sapi Peranakan Simmental. Jurnal Ilmiah
Peternakan Terpadu, 3(4):201-207
Aziz, C. N., Purwantini, D. D., dan Astuti, T. Y. 2019. Hubungan Antara Kemiringan Rusuk,
Sudut Dan Lebar Panggul Terhadap Body Condition Score (BCS) Pada Sapi Perah
Friesian Holstein Di Bbptu Hpt Baturraden. Angon: Journal Of Animal Science And
Technology. 1(1):65-74.
Bilal, G., R. I. Cue, And J. F. Hayes. 2016. Genetic And Phenotypic Associations Of Type
Traits And Body Condition Score With Dry Matter Intake, Milk Yield, And Number
Of Breedings In First Lactation Canadian Holstein Cows. J. Can. J. Anim. Sci.
96(1):434–447.
Choifin, M., dan Lestariningsih, W. 2019. Sistem Kendali Otomatis Pada Pemerah Susu
Sapi Dengan Menggunakan Sensor Light Dependent Resistor (Ldr). Teknika:
Engineering And Sains Journal. 3(1):45-50.
Hanafi, H. 2016. Peran Kandang Sistem Komunal Ternak Sapi Potong Terintegrasi Limbah
Pertanian Dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Di Yogyakarta. Jurnal Agros.
18(2):126-131.
Hidayat, A. P., A. Effendi, A. Fuad, Y. Patyadi, K. Taguchi Dan T. Sugiwaka. 2002. Buku
Petunjuk Untuk Peternak Sapi Perah Tentang Manajemen Kesehatan Pemerahan.
Dairy Technology Improvement Project In Indonesia, Bandung.
Hinarno, Anggraeni H E, Bari F, Suwandi A, Setiawan I dan Rukmana. 2018. Tatalaksana
Pemotongan Kuku pada Sapi Perah. Jurnal IPB. 2(1):11-12.
Ilmi, F. F., Batan, I. W., dan Soma, I. G. 2012. Karakteristik Simpul Tali Telusuk Sapi Bali
Dan Tali Keluh Sapi. Fakultas Kedoteran Hewan, Universitas Udayana.
Looper, M. L. dan Walder, D. N. 2007. Water for Dairy Cattle. College of Agriculture and
Home Economics. New Mexico State University.
Marta, A. W., Widyastuti, S. K., dan Utama, I. H. 2016. Pengukuran Besar Sudut Kuku Sapi
Bali. 5(1):38-46.
Matondang, R. H., Rusdiana, S. 2013. Langkahlangkah Strategis Dalam Mencapai
Swasembada Daging Sapi Atau Kerbau 2014. J. Litbang Pertanian 32:131-139.
Mcdonald, P., Edwards, R.A., Greenhalgh, J.F.D., Morgan, C.A. 2002. Animal Nutrition 6th
Edition. London (GB) : Pearson Education.
Mufidah, A. D., dan Adi, I. R. 2018. Pemberdayaan Masyarakat Oleh Pt Nestle Indonesia
Melalui Kelompok Sapi Perah Budi Luhur. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial.
19(2):109-131.
Nickerson, S. 2013. Choosing The Best Teat Dip For Mastitis Control And Milk Quality. Hill
Farm Research Station. Louisiana State University Agricultural Center. Homer,
Loisiana.
Nuraini, D. M., Sunarto, S., Widyas, N., Pramono, A., dan Prastowo, S. 2020. Peningkatan
Kapasitas Tata Laksana Kesehatan Ternak Sapi Potong Di Pelemrejo, Andong,
Boyolali. Prima: Journal Of Community Empowering And Services. 4(2):102-108.
Nurdin E. 2011. Manajemen Sapi Perah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Periambawe, D. K. A., dan Sutrisna, R. 2016. Status Nutrien Sapi Peranakan Ongole Di
Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Ilmiah Peternakan
Terpadu. 4(1).
Pfost, D. L. dan Fulhage, C. D. 2001. Livestock Drinking Water Quality. Agricultural
Enginering Extension. Missouri.
Pinardi, D., Gunarto, A., dan Santoso, S. 2019. Perencanaan Lanskap Kawasan Penerapan
Inovasi Teknologi Peternakan Prumpung Berbasis Ramah Lingkungan. Jurnal Ilmiah
Peternakan Terpadu, 7(2):251-262.
Pinardi, D., Gunarto, A., dan Santoso, S. 2019. Perencanaan Lanskap Kawasan Penerapan
Inovasi Teknologi Peternakan Prumpung Berbasis Ramah Lingkungan. Jurnal Ilmiah
Peternakan Terpadu. 7(2):251-262.
Pisestyani, H., Sudarnika, E., Ramadhanita, R., Ilyas, A. Z., Wicaksono, A., Basri, C., dan
Sudarwanto, M. B. 2017. Perlakuan Celup Puting Setelah Pemerahan Terhadap
Keberadaan Bakteri Patogen, Staphylococcus Aureus, Streptococcus Agalactiae,
Dan E. Coli Pada Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis Di Peternakan Kunak
Bogor. J. Sain Vet. 35(1):63-70.
Pryce, J. E., Coffey, M. P., dan Simm, G. 2001. The Relationship Between Body Condition
Score And Reproductive Performance. Journal Of Dairy Science. 84(6):1508-1515.
Qayyum, A., dan Sudirman, B. 2020. Studi Temperamen Sapi Bali Bertanduk Dan Tidak
Bertanduk (Study On The Temperament Of Polled And Horned Bali Cattle). Jurnal
Ilmu Dan Teknologi Peternakan, 8(1):22-28.
Rinaldi, R. 2017. Evaluasi Kecukupan Nutrien Pada Sapi Perah Laktasi Produksi Sedang
Milik Anggota Koperasi Di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (Kpbs)
Pangalengan. Students E-Journal. 6(1):1-7.
Sari, E. C., Hartono, M., dan Suharyati, S. 2017. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Service
Per Conception Sapi Perah Pada Peternakan Rakyat Di Provinsi Lampung. Jurnal
Ilmiah Peternakan Terpadu, 4(4):313-318.
Sasongko, D. A., Suprayogi, T. H., dan Suyuthi, S. M. 2012. Pengaruh Berbagai Konsentrasi
Larutan Kaporit (CaHoCl) Untuk Dipping Puting Susu Kambing Perah Terhadap Total
Bakteri dan Ph Susu. Animal Agriculture Journal. 1(2):93-99.
Simamora, T., Fuah, A. M., Atabany, A., dan Burhanuddin, B. 2015. Evaluasi Aspek Teknis
Peternakan Sapi Perah Rakyat Di Kabupaten Karo Sumatera Utara Evaluation Of
Technical Aspects On Smallholder Dairy Farm In Karo Regency Of North
Sumatera. Jurnal Ilmu Produksi Dan Teknologi Hasil Peternakan. 3(1):52-58.
Siregar, S.B. 2003. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siska, I., dan Anggrayni, Y. L. 2020. Body Condition Score (BCS), Tingkat Laktasi Dan
Hubungannya Dengan Produksi Susu Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein
(Pfh). Jurnal Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran. 20(2):115-125.
Soares, F.S., Dryden, G.M. 2011. A Body Condition Scoring System For Bali Cattle. Asian-
Australas. J Anim Sci 24:1587–1594.
Sukmawati, F. dan M. Kaharudin. 2010. Perkandangan Sapi Potong. Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian.
Susanto, A. 2018. Kajian Non-Genetis Karakteristik Body Condition Score Sapi Perah:
Pengaruh Classifier Dan Umur Pasca Beranak. Prosiding, 8(1):1-9.
Syam, J. S. J., Tolleng, A. L., dan Umar, U. 2017. Pengaruh Pemberian Pakan Konsentrat
Dan Urea Molases Blok (UMB) Terhadap Hematokrit Sapi Potong. Jurnal Ilmu Dan
Industri Peternakan. 2(3):1-6.
Syarif, E. K., dan Harianto, B. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Sapi Perah.
Agromedia Pustaka: Jakarta.
Wahyuni, S., Kentjonowaty, I., dan Humaidah, N. 2021. Efektivitas Teat Dipping Herbal
Sebagai Pencegahan Mastitis Sub Klinis Article Review. Dinamika
Rekasatwa. 4(1):75-82.
Zaenal, H. M., dan Khairil, M. 2020. Sistem Manajemen Kandang Pada Peternakan Sapi
Bali Di Cv Enhal Farm. Jurnal Peternakan Lokal. 2(1):15-19.
Zuroida, R., dan Azizah, R. 2018. Sanitasi Kandang Dan Keluhan Kesehatan Pada Peternak
Sapi Perah Di Desa Murukan Kabupaten Jombang. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
10(4):434.
Lampiran:

1. Logbook
2. Lembar kerja
3. Dokumentasi praktikum

Anda mungkin juga menyukai