Anda di halaman 1dari 15

MANAJEMEN PERUBAHAN

EKM432-F

FAKTOR PENDORONG PERUBAHAN

Dosen Pengampu :

Dr. Dra. Putu Saroyini Piartrini, M.M., Ak.

Disusun Oleh :

Kelompok 7

Dico Rizky Izullhaq (2007521117)

Ni Luh Gede Kintan Pratiwi (2007521158)

Ananta Putra Pramudya (2007521170)

I Putu Jonny Wisma Prama Prasista (2007521212)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2021
1. Model Perubahan Lewin

Kurt Lewin memperkenalkan model perubahan terencana dalam 3 tahapan,


yaitu Mencairkan (Unfreeze), pergerakan (Movement) dan Membekukan kembali
(Refreeze). Menurut Lewin, langkah pertama dalam proses perubahan perilaku adalah
mencairkan situasi atau status quo yang ada. Status quo disini dianggap sebagai
keadaan keseimbangan yang berlaku. Proses mencairkan merupakan proses yang
diperlukan untuk mengatasi tekanan secara individual dan kelompok serta dilakukan
melalui 3 metode, pertama dengan meningkatkan faktor-faktor pengerak yang bisa
menjauhkan individu atau kelompok dari situasi status quo yang berlaku saat ini.
 Proses Mencairkan (Unfreezing)
Prilaku individu menurut lewin dapat menjadi penggerak ataupun penghambat
perubahan (Lewin dalam Burnes, 2004). Dalam kondisi ini memungkinkan organisasi
menghadapi karyawan yang sulit mengkonfirmasi sistem dalam tahap unfreezing
tersebut sehingga menolak perubahan (Cummings & Worley, 2005). Dengan
demikian pada tahapan ini focus utama adalah bagaimana menjaga prilaku organisasi
berada pada kondisi saat ini. Banyak organisasi mengalami kegagalan dalam
melakukan perubahan pada tahap awal karena organisasi mengabaikan pentingnya
prilaku dan kepercayaan karyawan yang menjadi sumber utama kesuksesan
perubahan organisasi (Schein, 1999).
Tahap unfreezing dianggap sebagai tahapan yang paling penting dan kritis
dalam lingkungan bisnis yang dinamis dan selalu berubah. Tahapan ini
mengindikasikan kesiapan berubah yang meliputi pemahaman akan perubahan itu
sendiri, pentingya perubahan dan mempersiapkan diri dan yang lainnya untuk keluar
dari zona nyaman dan paradigm yang dianut sebelumnya sebelum perubahan nyata
tersebut datang. Semakin sadarnya individu dalam organisasi merasakan perubahan
merupakan hal yang penting, maka perubahan tersebut perlu dilakukan. Selanjutnya
semakin mendesak perubahan tersebut harus dilakukan, individu yang ada di dalam
organisasi akan semakin termotivasi untuk melakukan perubahan.

Kecenderungan individu yang resisten untuk menerima perubahan dan


responsif hanya pada saat tenggat waktu, membuat perubahan tidak akan diterima jika
sifatnya tidak urgent atau tidak ada motif yang kuat dan spesifik. Kajian yang
dilakukan Elkjaer’s (2001) mengidentifikasi bahwa karyawan yang kurang didukung
oleh organisasinya cenderung memiliki pandangan dan kepercayaan yang negatif
serta kurang komitmen terhadap organisasinya komitmen. Yang diperlukan pada
tahap unfreezing adalah komunikasi yang terbuka antara organisasi dan karyawan.
Dengan adanya komunikasi yang baik karyawan memiliki informasi yang cukup jelas
mengenai perubahan yang terjadi termasuk didalamnya alasan-alasan logis yang
melatarbelakangi perubahan tersebut serta manfaat yang akan diterima karyawan di
masa yang akan datang.

Tahapan unfreezing dalam model ini lebih mengarah kepada mengurangi


hambatan-hambatan yang terjadi secara internal organisasi dan lebih memotivasi
karyawan untuk ikut serta dalam perubahan organisasi. Kemudian secara spesifik
proses ini lebih kepada menimbang dan mengidentifikasi pro dan kontra yang timbul
sebelum memulai perubahan. Aktivitas ini dikategorikan Kurt Lewin sebagai analisa
“Force Field”, dimana analisa ini membantu untuk membobotkan berbagai faktor
yang dapat mendorong dan menghambat dalam membuat perubahan (Cronshaw dan
McCulloch, 2008).

Analisis force fields sangat membantu organisasi dalam menghadapi


perubahan sebagai akibat lingkungan bisnis sangat dinamis. Gagasan di balik Force
Field Analysis adalah bahwa situasi dipertahankan oleh keseimbangan antara
kekuatan yang mendorong perubahan dan yang lain yang menolak perubahan, seperti
yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Agar perubahan terjadi, kekuatan
pendorong harus diperkuat atau kekuatan yang melawan melemah. Jika faktor
pendukung atau pro kepada perubahan lebih besar dibandingkan yang menolak atau
menghambat, maka perubahan akan di lakukan. Jika hasilnya adalah sebaliknya, maka
terdapat motivasi yang rendah di kalangan individu dalam organisasi dan proses
unfreezing tidak perlu dilakukan.

 Tahap Perubahan (Movement)

Model Lewin lebih menekankan perubahan sebagai proses transisi dan bukan
aktivitas. Tahap kedua pada model ini terjadi pada saat organisasi melakukkan
perubahan atau transisi. Pola pikir individu-individu organisasi dalam tahap ini sudah
berubah dari pola pikir yang lama dan sudah memiliki motivasi serta siap untuk
perubahan yang berlaku. Dalam tahap ini penting bagi organisasi untuk dapat
mengurangi rasa takut, kekhawatiran serta ketidakyakinan individu didalamnya akan
perubahan yang akan dilakukan. Karena tidak mudah dan bukan waktu yang tepat
bagi anggota organisasi untuk mempelajari dan memahami perubahan sehingga perlu
diberikan waktu untuk mengerti, memahami dan berdiri bersama-sama anggota
organisasi menghadapi perubahan.

Dalam tahap movement, intervensi organisasi sangat diperlukan. Campur


tangan organisasi pada tahap ini meliputi struktur dan budaya organisasi. Wetzel dan
Buch (2000) berpendapat bahwa intervensi organisasi harus sejalan dengan struktur
perusahaan. Dukungan organisasi pada tahapan ini berbentuk pelatihan, mentoring
dan mengidentifikasi bersama-sama bahwa kesalahan yang terjadi merupakan sebuah
proses perubahan kearah yang lebih baik.

Salah satu contoh sukses perusahaan yang berhasil mengaplikasikan Model


Lewin dalam transformasi organisasinya adalah British Airways (BA) (Goodstein dan
Burke, 1991). Proses implementasi model Lewin pada BA mencapai 5 tahun, dari
tahun 1982 sampai dengan tahun 1987 yang dilatarbelakangi perubahan status BA
dari perusahaan milik swasta berganti menjadi perusahaan swasta. Pada tahapan
movement, BA menyelenggarakan pelatihan untuk manajemen tingkat menengah dan
atas (middle and senior manager). Pelatihan-pelatihan tersebut dibuat untuk
meningkatkan pemahaman konsep pelayanan yang prima sebagai suatu perubahan BA
dari organisasi yang berwawasan birokrasi menjdi organisasi yang berwawasan
pelayanan konsumen. Selain pelatihan-pelatihan, pada tahapan in BA
menyelenggarakan diskusi serta pertemuan-pertemuan untuk “sharing session” yang
bertujuan untuk berbagi pengetahuan mengenai pembagian tugas, kinerja, pelayanan
konsumen serta serta strategi BA kedepannya.

Adanya keteladanan, kepemimpinan, dan memungkinkan orang untuk


mengembangkan solusi mereka sendiri akan membantu proses perubahan. Dengan
kata lain tahapan ini memfokuskan pada kepemimpinan untuk memotivasi perubahan.
Kajian yang dilakukan oleh Cummings dan Worley (2003) mempresentasikan lima
aktivitas kunci dari kepemimpinan dalam proses perubahan, yaitu memotivasi
perubahan, membuat visi, mengembangkan dukungan politik, mengelola setiap
tahapan perubahan dan menjaga keberlangsungan perubahan serta membakukan
perubahan yang sudah tetap.

Sedangkan kegiatan diskusi dan pertemuan-pertemuan “sharing session”


merupakan ajang berbagi pengetahuan antar individu organisasi. Dalam tahapan
movemen, kegiatan berbagi pengetahuan ini meliputi penugasan, pelayanan
konsumen, kinerja hasil, aliran informasi antar level manajerial, membuat
perencanaan bisnis, kondisi persaingan saat ini, peralatan teknologi baru, metode
pekerjaan, ide-ide untuk perkembangan organisasi, berbagi keterampilan dan
keahlian, pembagian program pengembangan dan ikut berkontribusi dalam
pemecahan maalah serta kelangsungan operasi bisnis (Cummings dan Worley, 2003).

Dengan demikian, kegiatan berbagi pengetahuan dapat dikatakan sebagai hal


yang penting dan krusial bagi setiap individu dalam organisasi (Wenger, McDermott,
dan Snyder, 2002). Hakanson (1993) kemudian Foss dan Pedersen (2002), juga
mengidentifikasi bahwa aktivitas ini penting bagi organisasi untuk menjaga stabilitas
dan keberlangsungan orgnisasi itu sendiri. Sehingga dalam tahapan movement
organisasi diharapkan tidak saja bergantung kepada pelatihan dan sistem pengelolaan
saja namun juga pada kemampuan individu dalam membagikan pengetahuan,
keterampilan, kompetensi serta kemampuan.

 Tahap Membekukan Kembali (Refreezing)

Tahapan ini lebih kepada membangun stabilitas begitu perubahan telah


sepenuhnya ditegakkan dan tertanam dalam individu-individu di organisasi. Disini
perubahan telah diterima secara sepenuhnya dan menjadi norma serta status quo yang
baru untuk dijadikan standar kerja. Individu-individu pada kondisi ini membentuk
hubungan baru dan sudah merasa nyaman dengan rutinitas baru mereka. Model Lewin
pada tahap ini mengindikasikan bahwa organisasi harus distabilisasi dan
dilembagakan dalam bentuk yang baru setelah tahap pergerakan atau “movement”.
Status quo yang baru dalam kondisi ini harus diperkuat secara institusional serta
proses institusionalisasi perubahan inilah yang merupakan langkah akhir yang
menentukan keberhasilan keberlanjutan perubahan (Kotter, 1995).

Poin utama dari tahapan refreezing ini adalah pada kondisi tertentu, perilaku
harus kongruen dengan keseluruhan lingkungan, perilaku, dan personal dari individu,
karena jika tidak perubahan yang terjadi tidak dapat dikonfirmasi (Schein, 1996).
Dalam melakukan institusionalisasi perubahan-perubahan yang telah tetap tersebut,
membutuhkan pemimpin yang menerbitkan berbagai program-program perubahan
sehingga perubahan tersebut menjadi suatu kebiasaan yang harus dilakukan (Kotter,
2007).
Diperlukan upaya yang cukup besar dalam memastikan perubahan tersebut
diaplikasikan, tidak hilang serta dijaga keberlangsungannya. Salah satu usaha yang
perlu dilakukan adalah dengan memperkuat dan menanam perubahan dalam buadaya
organisasi dan diaplikasikan dalam cara berfikir dan bertindak baik bagi individu atau
organisasi. Untuk menjga keberlangsungan, penghargaan yang positif serta pengakuan
dilakukan untuk memperkuat status quo yang baru karena dipercaya bahwa
memperkuat prilaku akan terus diulangi.

Dalam hal ini peran pimpinan organisasi diperlukan untuk membuat koneksi
antara program yang sebelumnya diujicobakan yang dikategorikan sebagai “single
loop” dan menginterkoneksi perubahan sistem-sistem yang ada untuk menjadi
“double loop”. Contohnya adalah perubahan pada tingkat bawah organisasi akan
berdampak pada perbaikan sistem-sistem yang ada. Pada intinya, tahapan ini
memerlukan pimpinan yang memiliki kemampuan dalam memahami bagaimana
sistem bekerja dan harus merubah tradisi mental yang selama ini pada organisasi
(Senge, 2006).

2. Model Perubahan Tyagi


Menurut Tyagi, model perubahan pada suatu perusahaan merupakan model
perubahan sistem yang lebih menekankan pada agent of change (agen perubahan) atau
yang disebut fasilitator dalam mengelola perubahan; sedangkan dalam tahap
implementasi, model perubahan ini menekankan pentingnya transition management.

Transition management merupakan suatu proses yang sistematis yang meliputi


perencanaan, pengorganisasian, dan implementasi perubahan dari kondisi sekarang
menuju perubahan yang diharapkan.

Komponen perubahan yang dikemukakan oleh Tyagi meliputi:

 Adanya kekuasaan untuk melakukan perubahan.


 Mengenal dan mendefinisikan masalah.
 Proses penyelesaian masalah.
 Mengimplimentasikan perubahan.
 Mengukur, mengevaluasi, dan mengontrol hasil.
Proses perubahannya dapat digambarkan dalam skema berikut ini

3. Model Perubahan Knicki


Model perubahan yang dikemukakan oleh Kreitner dan Kinicki adalah model
perubahan dengan pendekatan sistem. Dalam model perubahan ini ditawarkan kerangka kerja
untuk menggambarkan kompleksitas perubahan organisasional.
Pendekatan sistem yang dikemukakan oleh Kreitner dan Kinicki meliputi komponen
yang terdiri atas input, unsur-unsur yang hendak dirubah (target element of change) dan
output.
Berikut adalah Pendekatan sistem Kreitner dan Kinicki (2001) yang merupakan kerangka
kerja perubahan organisasional, yaitu:
a)      Inputs
Merupakan masukan dan sebagai pendorong bagi terjadinya proses perubahan. Semua
perubahan organisasional harus konsisten dengan visi, misi, dan rencana strategis. Di
dalamnya terkandung unsur masukan internal dan masukan eksternal yang keduanya
memiliki kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan. Kondisi masukan ini sangat
mempengaruhi jalannya proses perubahan.
b)      Target element of change
Mencerminkan elemen di dalam organisasi yang dalam proses perubahan. Sasaran
perubahan diarahkan pada pengaturan organisasi, penetapan tujuan, faktor sosial, metode,
desain kerja dan teknologi, dan aspek manusia.
c)      Outputs
Merupakan hasil akhir yang diinginkan dari suatu perubahan. Hasil akhir ini harus
konsisten dengan rencana strategik. Hasil perubahan dapat diukur pada beberapa tujuan baik
pada tingkat organisasional, tingkat kelompok maupun tingkat individual.

Perlu diketahui bahwa unsur yang hendak dirubah dalam model ini meliputi aturan
organiasasi, fakor sosial, metode, desain kerja dan teknologi dan asek manusia. Adapun yang
menjadi output dan hasil akhir dalam model perubahan ini adalah perubahan di semua level
organisasi, perubahan di semua level kelompok atau departemen, dan perubahan individual.

4. Model Perubahan Burnes


Burnes pada Wibowo (2006) mengemukakan tiga macam model perubahan organisasional
yang dikelompokkan berdasarkan frekuensi dan besaran perubahan, yaitu:
a. The increamental model of change
Model ini berpandangan bahwa perubahan merupakan suatu proses yang berlangsung secara
bertahap. Perubahan dapat terjadi secara bergantian pada masing-masing bagian dalam
organisasi secara terpisah. Pada saat merespons suatu kondisi lingkungan internal dan
eksternal, maka pada saat itu pula terjadi perubahan.
b. The punchtuated equilibrium model
Model keseimbangan terpotong terjadi bila aktivitas organisasi menunjukkan stabilitas dalam
jangka panjang sehingga disebut periode equilibrium. Situasi tersebut kemudian terpotong
oleh gonjangan perubahan fundamental relatif jangka pendek, disebut sebagai periode
revolusioner.
c. The continuous transformation model
Model transformasi berkelanjutan merupakan model perubahan yang bertujuan untuk
menjaga organisasi agar tetap survive dengan mengembangkan kemampuan untuk mengubah
dirinya secara berkelanjutan. Rasionalisasi model ini adalah di mana lingkungan telah
berubah dan akan terus berubah dengan cepat, radikal dan tidak dapat diprediksi.

5. Model Perubahan Conner


Model perubahan ini digambarkan dengan struktur sebagai hubungan antara resilience (daya
tahan) sebagai pusat dengan pola pendukung yang berfungsi sebagai penguat pola utama.
a. Resilience (Daya Tahan)
Dengan daya tahan dan ketabahan sebagai titik referensi, kita dapat memengaruhi situasi
sekelilling kita.
b. The Nature Of Change (Sifat Perubahan)
Sifat perubahan adalah pola pendukung pertama.
c. The Process of Change (Proses Perubahan)
Menggambarkan mekanisme transisi manusia.
d. The Roles of Change (Peran Perubahan)
Terdapat empat peran dalam perubahan yaitu sponsor (mempunyai kekuasaan memberi
persetujuan), agent (individu atau kelompok yang mempunyai tanggung jawab untuk
membuat perubahan), target (individu atau kelompok yang harus berubah), advocate
(individu atau kelompok yang ingin mencapai perubahan).
e. Resistance to Change (Resistensi terhadap Perubahan)
Merupakan reaksi alamiah terhadap sesuatu yang menyebabkan gangguan dan hilangnya
ekuilibrium.
f. Commiting to Change (Komitmen terhadap Perubahan)
Proses komitmen diperoleh melalui tiga fase yaitu: preparation (persiapan), acceptance
(penerimaan), commitment (janji).
g. Culture and Change
Sifat budaya organisasi harus konsisten dengan apa yang perlu untuk mendorong keputusan
baru, apabila tidak sehingga keputusan tersebut mungkin tidak berhasil diimplementasikan.

6. Model Perubahan Victor Tan


Victor Tan (2002) mengemukakan bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam proses
perubahan organisasi, pemimpin harus dapat menenangkan pikiran dan hati orang. Victor Tan
mengintroduksi empat tahapan yang harus dilalui dalam proses perubahan, yaitu sebagai
berikut:
1) Open Mind (Membuka Pikiran)
Sering kali, pemimpin berusaha mengubah pikiran orang lain dengan cara memaksa. Mereka
berusaha agar orang berubah dengan memberi perintah dan bahkan dengan cara membentak
dan fokusnya adalah agar mereka mau mendengarkan apa yang dikatakan. Tindakan
demikian tidak akan memberikan hasil yang diharapkan. Akan tetapi, orang hanya dapat
mendengarkan apa yang dikatakan, tidak menyimak karena pikirannya tetap tertutup. Tugas
penting pemimpin pertama kali adalah membuka pikiran orang sebelum menawarkan mereka
berita perubahan, untuk membuka pikiran orang, pemimpin harus terlebih dahulu
memecahkan tingkat perasaan puas mereka dengan mengkomunikasikan pesan tanpa
memaksa untuk perubahan. Mereka dapat melakukan dengan bench marking dan
membandingkan tingkat kinerja organisasi mereka dengan pesaingnya. Pemimpin dapat
menjelaskan kelemahan organisasi dan tantangan yang dihadapi. Pemimpin dapat
mengurangi tingkat kepuasan diri individu dengan membawa mereka melihat keluar daripada
ke dalam.

2) Winning Heart (Menenangkan Hati)


Apabila membuka pikiran adalah berkenaan dengan alasan, maka memenangkan hati adalah
emosi. Kebutuhan bawahan untuk dihargai merupakan motivasi yang kuat untuk perubahan.
Cara menghargai orang adalah dengan mengenal arti pentingnya kepedulian mereka atas
lingkungan sekitarnya.
3) Enabling Action (Memungkinkan Tindakan)
Ada empat alasan mengapa orang tidak mau berubah. Pertama, karena mereka tidak tahu apa
yang harus dilakukan. Kedua, mereka tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Ketiga
mereka tidak tahu mengapa mereka harus melakukannya. Keempat, terdapat hambatan yang
berada di luar kontrol mereka.
Peran pemimpin adalah mengatasi setiap alasan agar memungkinkan orang membuat
perubahan terjadi. Peran pemimpin adalah memastikan bahwa komunikasi berjalan efektif
sehingga bawahan lebih memahami arti pentingnya perubahan bagi organisasi dan dirinya.
4) Rewarding Achievement (Menghargai Prestasi)
Menghargai orang dan mengenal kontribusinya akan memotivasi kenginan orang untuk
berubah.

7. Model Perubahan Bridges & Mitchell


Bridges dan Mitchell berpendapat, bahwa perubahan memerlukan tahapan transisi reorientasi
psikologis yang berlangsung lambat dengan melalui tiga proses, sebagai berikut:
1) Saying goodbye
Mengucapkan selamat tinggal pada cara lama. Di atas kertas adalah logis bergeser ke arah
self-managed team, tetapi hal ini mengakibatkan orang tidak percaya lagi pada supervisor
untuk membuat keputusan.
2) Shifting into neutral
Merupakan tahap yang sulit, penuh ketidakpastian dan kebingungan. Tahap sulit selama ini
merupakan tahap yang sulit, terutama pada saat merger dan akuisisi, dimana keputusan karier
kebijakan dan aturan main ditinggalkan, sedangkan dua kepemimpinan mengerjakan masalah
kekuasaan dan pengambilan keputusan.
3) Moving forward
Merupakan tindakan bergeser ke depan dan berprilaku dengan cara baru. Fase ini
memerlukan orang yang memulai berprilaku baru, meletakkan kompetensi dan nilai risiko.

8. Tahapan Perubahan Kotter


Seorang Profesor “Kepemimpinan dan Manajemen Perubahan” di Harvard Business School
yang bernama John Kotter memperkenalkan sebuah model perubahan yang diuraikan menjadi
8 langkah kunci pada tahun 1995 dalam bukunya yang berjudul “Leading Change” atau
“Memimpin Perubahan”. John Kotter memperkenalkan 8 Langkah Perubahan ini untuk
meningkatkan kemampuan organisasi untuk berubah dan untuk meningkatkan peluang
keberhasilannya. Dengan mengikuti 8 Langkah Perubahan ini, organisasi dapat menghindari
kegagalan dan meningkatkan keberhasilan dalam menerapkan perubahan. Tidak semua
karyawan atau anggota organisasi nyaman dengan perubahan, bahkan ada yang menganggap
perubahan sebagai sesuatu yang memberatkan dan berpikiran negatif terhadap perubahan
yang akan diterapkan oleh manajemen. Namun, perubahan merupakan sebuah tahapan yang
penting agar organisasi atau perusahaan dapat eksis dan memenangi persaingan bisnisnya.
Mengikuti 8 Langkah Perubahan Model Kotter ini akan membantu organisasi berhasil untuk
menerapkan perubahan. Delapan langkah perubahan model Kotter adalah sebagai berikut:
1. Menumbuhkan Rasa Urgensi (Create a sense of urgency)
Langkah pertama dalam Kotter’s 8 Step Change Model ini adalah menciptakan kebutuhan
mendesak atau menumbuhkan rasa urgensi atas perlunya suatu perubahan. Apabila kita dapat
menciptakan lingkungan dimana setiap individu didalam organisasi menyadari masalah yang
ada dan dapat melihat solusi yang dapat memecahkan permasalahan yang terjadi, maka
dukungan untuk perubahan akan meningkat. Ini juga akan memicu motivasi awal untuk
membuat semua individu dalam organisasi bergerak mendukung perubahan.
Menurut Kotter, langkah ini adalah langkah persiapan dan sekitar 75% manajemen
perusahaan harus terlibat dalam perubahan ini agar tingkat keberhasilan perubahan ini
menjadi lebih tinggi. Ini menekankan bahwa penting untuk mempersiapkan diri sebelum
terjun ke proses perubahan. Langkah ini menciptakan ‘kebutuhan’ untuk perubahan, bukan
hanya ‘keinginan’ untuk berubah. Hal ini sangat penting ketika menyangkut dukungan dan
kesuksesan perubahan yang mungkin terjadi.
2. Membentuk Koalisi yang kuat (Build a guiding coalition)
Setelah menciptakan rasa urgensi dan kebutuhan untuk perubahan, kita perlu meyakinkan
orang lain untuk bersama-sama melakukan perubahan. Oleh karena itu, kita perlu
membangun koalisi untuk membantu kita mengarahkan orang lain untuk melakukan
perubahan. Ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan dukungan nyata dari orang-orang
kunci (key person) dalam organisasi kita. Koalisi yang kita bangun harus terdiri dari berbagai
keterampilan, pengalaman, pengetahuan, keahlian, unit kerja, jabatan atau bahkan orang-
orang yang berasal dari bidang bisnis yang lain untuk memaksimalkan efektivitasnya. Koalisi
dapat membantu kita menyebarkan pesan ke seluruh organisasi, mendelegasikan tugas dan
memastikan adanya dukungan untuk perubahan di seluruh organisasi. Anggota tim yang
berkolaborasi, saling melengkapi dan dapat mendorong satu sama lainnya untuk bekerja lebih
keras sehingga tingkat keberhasilan akan perubahan ini lebih tinggi.
3. Menciptakan Visi Perubahan (Create a Vision for Change)
Inisiatif Perubahan mungkin sangat rumit dan sering sulit untuk dimengerti atau dipahami
oleh semua anggota organisasi terutama anggota-anggota organisasi yang berada di hirarki
paling bawah organisasi. Oleh karena itu, menciptakan suatu Visi yang mudah dipahami dan
merangkum keseluruhan tujuan akan perubahan adalah cara yang sangat bermanfaat untuk
mendapatkan dukungan dari seluruh organisasi. Selain harus mudah dimengerti dan
sederhana, Visi juga harus dapat menjadi inspirasi agar efek yang diinginkannya tersebut
mencapai tingkat yang paling maksimum.
4. Meng-Komunikasikan Visi Perubahan (Communicating the Vision)
Visi Perubahan yang telah diciptakan harus dikomunikasikan ke seluruh organisasi agar bisa
mendapatkan dukungan dari semua anggota organisasi. Visi Perubahan ini tidak hanya
dikomunikasikan saat adanya pertemuan saja, tetapi harus dibicarakan setiap kali ada
kesempatan. Gunakan Visi ini setiap hari untuk membuat keputusan dan pemecahan masalah.
5. Menghapus Rintangan (Removing Obstacles)
Empat langkah pertama sangat penting dalam membangun kekuatan inisiatif suatu perubahan
yang akan kita lakukan. Langkah selanjutnya adalah mencari dan mengetahui rintangan atau
hambatan apa yang kemungkinan akan menghalangi perubahan kita. Rintangan atau
hambatan tersebut dapat datang dari pribadi anggota organisasi, perundang-undangan dan
tradisi. Identifikasikan sedini mungkin dan gunakan sumber daya yang tersedia untuk
memecahnya tanpa harus menganggu kegiatan-kegiatan lainnya dalam organisasi kita.
6. Ciptakan Sasaran Jangka Pendek (Creating Short-Term Wins)
Perubahan memerlukan proses dan waktu untuk mendapatkan hasilnya sehingga akan
mengakibatkan hilangnya dukungan atau menurunkan semangat untuk merubah apabila
proses perubahan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dikarenakan
sebagian anggota organisasi akan menganggap usaha yang telah mereka lakukan tersebut
adalah sia-sia apabila tidak dapat melihat keberhasilan atau kemenangan akan suatu
perubahan dalam waktu yang cepat. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan semangat dan
mempertahankan dukungan akan perubahan ini, kita harus menunjukan keuntungan dan
menciptakan sasaran keberhasilan untuk jangka waktu pendek. Sasaran jangka pendek juga
merupakan alat yang berguna untuk memotivasi dan sebagai arahan terhadap kegiatan
perubahan kita. Keberhasilan atau kemenangan jangka pendek ini dapat digunakan untuk
menilai investasi yang telah kita keluarkan dan untuk membantu memotivasi kembali
anggota organisasi atau karyawan perusahaan untuk terus mendukung perubahan.
7. Terus Membina Perubahan yang telah diciptakan (Build on the Change)
Banyak proses perubahan yang berakhir gagal karena rasa puas diri dan kesuksesan yang
dinyatakan terlalu dini. Oleh karena itu, Kotter berpendapat bahwa sangat penting untuk
mempertahankan dan memperkuat terus perubahan tersebut meskipun telah mencapai suatu
perubahan yang diinginkan. Tetaplah menetapkan tujuan dan menganalis apa yang dapat
dilakukan dengan lebih baik untuk peningkatan yang berkelanjutan.
8. Kukuhkan Perubahan ke dalam Budaya (Anchor the Changes in Corporate Culture)
Hanya mengubah proses dan kebiasaan saja tidak cukup untuk menanamkan budaya
perubahan ke seluruh organisasi. Perubahan harus menjadi bagian dari inti organisasi agar
perubahan dapat memberikan efek manfaat yang lama. Mempertahankan para senior dalam
perubahan dan mendorong karyawan baru untuk mengadopsi perubahan akan membantu
mempromosikan perubahan hingga ke seluruh organisasi.

9. Proses Perubahan Pasmore


Proses perubahan menurut Pasmore (Sucipto dan Siswanto,2008:109-111) berlangsung dalam
delapan tahap. Kedelapan tahap perubahan organisasi tersebut meliputi:
1. Tahap persiapan (preperation). Tahap ini dimulai dengan mengumpulkan sejumlah
pengetahuan tentang perlunya organisasi bersangkutan untuk segera melakukan perubahan.
Mengumpulkan informasi ini dapat dilakukan oleh internal perusahaan, namun tidak sedikit
organisasi mendatangkan outsider untuk memotret dan menyosialisasikan perlunya dilakukan
perubahan. Dalam tahap ini juga mempersiapkan dan meyakinkan para stakeholder agar mau
dan mendukung perubahan.
2. Tahap analisis kekuatan dan kelemahan. Setelah dilakukan persiapan matang, aktivitas
selanjutnya adalah melakukan analisis kondisi internal dan eksternal terkait kekkuatan dan
kelemahan yang dimilki oleh organisasi. Dalam tahap ini juga penting untuk menganalisis
lingkungan khusus dan umum yang dapat mempengaruhi perfomance organisasi dimasa
mendatang.
3. Tahap mendesain sub unit organisasi baru. Perubahan secara umum bertujuan agar
organisasi semakin adaptif terhadap perubahan. Guna mendukung tujuan tersebut diperlukan
sub unit organisasi yang memiliki fleksibilitas dalam menghadapi perubahan lingkungan.
4. Tahap mendesain proyek. Tahap selanjutnya adalah mendesain proyek. Proyek dalam hal
ini adalah perubahan yang menyeluruh dan integratif. agar perubahan yang terjadi
terintegrasi, maka seluruh anggota organisasi disertakan agar dapat memahami dan memilki
rasa memilki perubahan yang sedang terjadi.
5. Tahap mendesain sistem kerja. Tahap selanjutnya adalah mendesain sistem kerja.Sistem
kerja ini adalah bagian penting untuk memformalisasikan pekerjaan terutama yang bersifat
rutin. Sistem kerja yang didesain akan memudahkan evaluasi dan standardisasi pekerjaan.
6. Tahap mendesain sistem pendukung . Agar proses perubahan dapat terintegrasi dan terjadi
proses pembelajaran yang berjangka panjang, maka perlu didesain sistem yang mendukung
tujuan tersebut. Sistem pendukung ini merupakan sarana untuk melanggengkan perubahan
yang sedang dan akan dilakukan.
7. Tahap mendesain mekanisme integratif. Mendesain mekanisme integratif merupakan
proses untuk menjadikan sistem kerja dapat berkoordinasi secara baik dan
berkesinambungan. Guna mencapai keinginan tersebut harus didukung adanya usaha untuk
mengumpulkan dan menyebarkan informasi. Dengan adanya pengumpulan informasi, maka
sebuah masalah tidak diselesaikan secara persial. Selanjutnya mekanisme tersebut dikontrol
oleh legitimasi kekuasaan agar mekanisme tersebut dapat berjalan.
8. Tahap implementasi perubahan. Tahap terakhir dari model perubahan dari Pasmore adalah
tahap implementassi perubahan dengan didukung semua pihak dan dipimpin oleh decision
maker organisasi
DAFTAR PUSTAKA

Mellita, Dina. Elpanso, Efan. (2020). Model Lewin Dalam Manajemen Perubahan:

Teori Klasik Menghadapi Disrupsi Dalam Lingkungan Bisnis.

Tersedia pada https://journal.binadarma.ac.id//index.php/mbia/article/download/989/561/

Muh. Zulfikar Ali, Khamdani (2018) Model Manajemen Perubahan dalam Pengembangan
Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo. Masters thesis, IAIN
PONOROGO.

Wirotama, Samahita. (2019). TEORI CHANGE MANAGEMENT.

Tersedia pada https://samahitawirotama.com/teori-change-management/

Anda mungkin juga menyukai