Anda di halaman 1dari 19

HUBUNGAN SELF EFFICACY DENGAN TINGKAT BURNOUT

PADA MAHASISWA KEPERAWATAN TINGKAT AKHIR

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai


Gelar Sarjana Keperawatan (S-1)
SUNARTI SRI HANDAYANI

NIM : 1020183060

Pembimbing :

1. Dewi Hartinah,S.Kep.,Ns.,M.Si.Med
2. Sukesih,S.Kep.,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Mahasiswa
1. Pengertian
Menurut UU Pendidikan Nasional no:2/2003, pengertian mahasiswa adalah
siswa atau peserta didik pada perguruan tinggi atau pendidikan tinggi. Daldiyono
(dalam Shaleh, 2013) menjelaskan ada 3 karakteristik mahasiswa, yaitu:
a. Lulusan dari Sekolah Menengah Atas
b. Telah menjalani pendidikan selama 12 tahun
c. Umur mahasiswa berkisar 18-25 tahun

Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseoarang karena


hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan dapat menjadi calon-calon
intelektual. Mahasiswa adalah orang yang menuntut ilmu atau belajar di perguruan
tinggi, Seorang mahasiswa dikategorikan pada tahap perkembangan yang usianya
1825 tahun. Tahap ini dapat digolongkan masa remaja akhir sampai masa dewasa
awal dan dilihat dari segi perkembangan, tuga perkembangan pada usia mahasiswa
ini ialah pemantapan pendirian hidup (dalam Handayani, 2011).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa ialah seorang


peserta didik berusia 18-25 tahun yang terdaftar dan menjalani pendidikan di
perguruan tinggi baik dari institute, akademik, politeknik, sekolah tinggi dan
universitas yang diharapkan dapat menjadi calon-calon intelek di masa yang akan
datang.

2. Perkembangan Usia Mahasiswa

Usia ini memiliki ciri khas serta perkembangan yang menonjol, yaitu
perkembangan kognitif berada pada puncaknya atau mengalami perkembangan
yang besar dari usia sebelumnya. Pada masa transisi dewasa awal ini mahasiswa
mulai menguji ide-ide mengenai diri dan dunia disekitarnya secara umum. Clarke-
Stewart dan Friedman mengemukakan bahwa perubahan kognitif yang terjadi pada
mahasiswa yaitu mulai mampu untuk berpikir secara abstrak danmulai melepaskan
diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya
yang baru sebagai orang dewasa. Pada tahap dewasa muda, individu mulai
membentuk kemandirian dalam hal personal dan ekonomi. Melanjutkan pendidikan
ke tingkat perguruan tinggi atau akademi, mengembangkan karir, serta membentuk
hubungan sosial secara kelompok maupun yang mengarah pada perkawinan adalah
tugas perkembangan yang menonjol pada tahap ini.

Dari perkembangan di atas dapat dibagi dua segi transisi yang dialami oleh
mahasiswa yang berkaitan dengan stres dalam menyusun tugas akhir yaitu:
a. Perkembangan kognitif

Menurut Keating dalam Hendriati, individu pada masa ini kemampuan


berpikirnya telah memiliki kemampuan yang lebih baik dari anak dalam berfikir
mengenai situasi secara hipotetis, memikirkan sesuatu yang belum terjadi tetapi
akan terjadi. Ia pun telah mampu berfikir tentang konsep-konsep yang abstrak
seperti pertemanan, demokrasi, moral. Individu pun telah mampu berfikir secara
logis tentang kehidupannya seperti: kehidupan apa yang akan ia tempuh
dikemudian hari, tentang hubungannya dengan teman dan keluarga, tentang
politik, kepercayaan, dan filsafat.

Menurut Mussen, Conger, dan Kagan dalam Hendriati, di masa ini juga
merupakan suatu periode kehidupan di mana kapasitas untuk memperoleh dan
menggunakan pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya. Hal ini adalah
karena selama periode, proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan.
Sistem saraf yang berfungsi memproses informasi berkembang dengan cepat. Di
samping itu, pada masa ini juga terjadi reorganisasi lingkaran saraf prontal lobe
(belahan otak bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral).
Sedangkan Carol dan David, berpendapat bahwa prontal lobe ini berfungsi
dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti kemampuan merumuskan
perencanaa strategis atau kemampuan mengambil keputusan.

Perkembangan prontal lobe tersebut sangat berpengaruh terhadap


kemampuan kognitif mahasiswa, sehingga mereka dapat mengembangkan
kemampuan penalaran yang memberinya suatu tingkat pertimbangan moral dan
kesadaran sosial yang baru. Menurut Myers, ketika kemampuan kognitif mereka
mencapai kematangan, kebanyakan diusia ini mulai memikirkan tentang apa
yang diharapkan dan melakukan kritik terhadap masyarakat mereka, orang tua
mereka, dan bahkan terhadap kekurangan mereka sendiri.
Namun disamping perkembangan kognitif yang pesat, ada anggapan
kemampuan kognitif di usia dewasa sedikit demi sedikit mengalami penurunan.
Pada umumnya orang percaya bahwa kemampuan kognitif di usia dewasa akan
mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya umur. Studi lintas budaya
yang dilakukan oleh B.I. Levy dan E. Langer menunjukkkan bahwa orang
tuadalam kultur yang memberikan penghargaan tinggi terhadap orang tua,
seperti kultur Cina daratan, kecil kemungkinan mengalami kemerosotan memori
dibanding dengan orang tua yang hidup dalam kultur yang mengira bahwa
kemunduran memori adalah sesuatu yang memungkinkan terjadi. Lebih dari itu,
Fieldman mengatakan ketika orang tua memperlihatkan kemunduran memori,
kemunduran tersebut pun cenderung sebatas pada keterbatasan tipe-tipe
memori tertentu. Misalnya, kemunduran cenderung pada keterbatasan memori
episodik (episodic memories) atau memori yang berhubungan dengan
pengalaman pengalaman tertentu di sekitar kehidupan kita. Sementara tipe-tipe
memori lain, seperti memori semantik (semantic memories) atau memori yang
berhubungan dengan fakta-fakta umum, dan memori implisit (implicit memories)
atau memori bawah sadar kita, secara umum tidak mengalami kemunduran
karena pengaruh ketuaan.

b. Perkembangan Integritas

Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai


seseorang setelah memelihara benda-benda, orang-orang, produk-produk, dan
ide-ide, serta setelah berhasil melakukan penyesuaian diri dengan berbagai
keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupannya. Lawan dari integritas adalah
keputusasaan tertentu dalam menghadapi perubahan-perubahan siklus
kehidupan

individu, terhadap kondisi-kondisi sosial dan historis, ditambah dengan


kefanaan hidup menjelang kematian. Kondisi ini dapat memperburuk perasaan
bahwa kehidupan ini tidak berarti, bahwa ajal sudah dekat, dan ketakutan akan
kematian. Seseorang yang berhasil menangani masalah yang timbul pada setiap
tahap kehidupan sebelumnya, maka dia akan mendapatkan perasaan yang utuh
atau integritas. Sebaliknya, seorang yang berusia tua melakukan peninjauan
kembali terhadap kehidupannya yang silam dengan penuh penyesalan, menilai
kehidupannya sebagai suatu rangkaian hilangnya kesempatan dan kegagalan,
maka pada tahun-tahun akhir kehidupan ini akan merupakan tahun-tahun yang
penuh dengan keputusasaan.Menurut Hall dan Linzey dalam Desmita,
pertemuan antara integritas dan keputusasaan yang terjadi pada tahap
kehidupan yang terakhir ini menghasilkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang
sederhana akan menjaga dan memberikan integritas pada pengalaman-
pengalaman yang diperoleh pada tahun-tahun silam. Mereka yang berada pada
tahap kebijaksanaan dapat menyajikan kepada generasi-generasi yang lebih
muda suatu gaya hidup yang bercirikan suatu perasaan tentang keutuhan dan
keparipurnaan. Perasaan keutuhan ini dapat meniadakan perasaan putus asa
dan muak, serta perasaan berakhir ketika situas-situasi kehidupan kini berlalu.
Perasaan tentang keutuhan juga akan mengurangi perasaan tak berdaya dan
ketergantungan yang biasa menandai akhir kehidupan.Dari penjelasan di atas
ada banyak faktor yang mempengaruhi mahasiswa dalam melakukan tugas
perkembangannya. Faktor kognisi akan mempengaruhi mahasiswa dalam
menyelesaikannya. Faktor pengalaman masa lalu juga menjadi penentu dalam
bersikap. Beberapa faktor di atas menjadi bahan pertimbangan dalam membuat
keputusan dan hasil yang didapatkan. Di masa awal ketika menjadi mahasiswa
tentu akan mengalami penyesuaian, baik berpikir maupun penyesuaian kondisi
akademik di perguruan tinggi. sense of personal identity akan membantu
mahasiswa untuk menyesuaikan diri dan diterima dalam kelompok, teman
sebaya, dan orang dewasa. Mahasiswa di usia ini mulai mengembangkan
kemampuan penalaran yang memberinya suatu tingkat pertimbangan moral dan
kesadaran sosial yang baru sehingga dapat membuat perencaan strategis atau
kemampuan dalam membuat keputusan. Mahasiswa yang memiliki integritas
yang baik akan menilai secara utuh sehingga dapat menerima konsekuensi
apapun meskipun konsekuensi tersebut buruk bagi dirinya.

B. Konsep Dasar Burnout


1. Pengertian

Burnout merupakan kondisi emosional seseorang merasa jenuh dan lelah secara
mental ataupun fisik sebagai tuntutan pekerjaan yang meningkat. Timbulnya
kelelahan ini karena mereka bekerja keras, merasa bersalah, merasa tidak
berdaya, merasa tidak ada harapan, merasa terjebak, merasa kesedihan yang
mendalam dan secara terus menerus membentuk lingkaran dan menghasilkan
perasaan lelah serta tidak nyaman yang pada dilirannya meningkatkan rasa kesal,
dan lingkaran terus berlanjut sehingga menimbulkan kelelahan fisik, mental dan
emosional (Indie Khamaruz, 2015).

Burnout adalah kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosional yang muncul
sebagai konsekuensi dari ketidaksesuaian antara kondisi karyawan dengan
pekerjaannya (lingkungan dan desain pekerjaan). Sejauh ini fenomena burnout
masih belum mendapat perhatian serius dari pihak manajemen organisasi,
meskipun sudah banyak hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa burnout
menurunkan efektivitas organisasi. Kelompok karyawan yang dipandang rentan
terhadap burnout antara lain adalah karyawan senior. Oleh karena itu, diperlukan
strategi tertentu untuk menangani fenomena tersebut dengan mempertimbangkan
karakteristik karyawan senior dan kemampuan organisasi untuk melakukan
tindakan preventif maupun kuratif (Mc Cormack & Cotter, 2013).
2. Aspek-aspek Burnout

Maslach dan Leiter (2000) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi yang
merupakan aspek dari burnout :

a. Exhaustion (Kelelahan)
Exhaustion adalah reaksi pertama terhadap stres dari tuntutan
pekerjaan atau perubahan besar. Dalam dimensi ini seseorang merasakan
kelelahan yang mengacu pada perasaan menjadi terlalu berat dan kehabisan
sumber daya emosional dan fisik. Pekerja merasa dikuras dan tanpa sumber
pengisian ulang. Mereka kekurangan energi untuk menghadapi hari lain atau
orang lain yang membutuhkan. Komponen kelelahan mewakili dimensi stres
individu dasar.

b. Cynicism (sinisme)
Sinisme mengacu pada respons negatif seperti bermusuhan atau
bersikap dingin dan berjarak terhadap pekerjaan dan orang-orang
disekitarnya sehingga sering kali kehilangan idealisme. Biasanya
berkembang sebagai respons terhadap kelelahan emosional yang berlebihan
dan pada awalnya sinisme merupakan upaya untuk melindungi diri dari
kelelahan dan kekecewaan. Tetapi risikonya adalah dapat menghancurkan
kesejahteraan dan kapasitas seseorang untuk bekerja secara efektif.

c. Ineffectiveness (Ketidakefektifan)

Ketidakefisienan mengacu pada penurunan perasaan kompetensi dan


produktivitas di tempat kerja. Individu akan merasa segala pekerjaannya
terasa sangat berat dan tidak akan dapat melakukan pekerjaannya dengan
baik. Orang – orang demikian akan mudah merasa putus asa karena
menganggap semua upaya sia-sia dan tidak dapat membuat suatu
kemajuan.

3. Academic burnout

Burnout yang dialami pelajar dikenal dengan istilah academic burnout yang
berdampak pada menurunnya academic performance, memunculkan sikap negatif
terhadap universitas, dan munculnya perasaan tidak efisien. Kondisi academic
burnout memberikan dampak yang buruk terhadap performa akademik (Lin &
Huang, 2014).

Khusumawati (2014) menambahkan bahwa siswa yang mengalami


academic burnout mengalami gejala-gejala seperti siswa merasa kelelahan pada
seluruh bagian indera dan kurang bersemangat dalam mengikuti kegiatan belajar
mengajar, timbul rasa bosan, kurang termotivasi, kurang perhatian, tidak ada minat,
serta tidak mendatangkan hasil. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Jafari &
Khazaei (2014) yang mengatakan bahwa academic burnout adalah kelelahan
kronis yang dialami siswa/mahasiswa yang disebabkan oleh bekerja lebih dalam
mengerjakan tugas sekolah. Selain itu adanya perasaan pesimis dan
ketidapedulian terhadap tugas-tugas sekolah dan memiliki perasaan kompetensi
yang tidak memadai, serta hilangnya keberhasilan dalam tugas-tugas akademik.

Pendapat lain dikemukakan oleh Muna (2013) yang mengatakan bahwa


academic burnout atau kejenuhan belajar adalah suatu kondisimental dimana
seorang siswa atau mahasiswa mengalami kebosanan yang amat sangat untuk
melakukan aktivitas belajar, dan kebosanan tersebut membuat motivasi belajar
mereka menurun, timbulnya rasa malas yang berar, dan menurunnya prestasi
belajar.Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa academic burnout
adalah suatu kondisi dimana seorang mahasiswa mengalami suatu kelelahan
secara fisik maupun emosional, yang menyebabkan suatu sikap sinis atau
ketidakpedulian terhadap tugas-tugas akademik sehingga berdampak kepada
menurunnya keinginan untuk berprestasi. Kelelahan tersebut disebabkan oleh
banyaknya aktivitas dan kegiatan di lingkungan akademik, serta banyaknya
tuntutan-tuntutan dalam tugas akademik.

4. Faktor-faktor Terjadinya Burnout

Timbulnya burnout disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya yaitu


(Isnia Prijayanti, 2015 ) :

a. Karakteristik Individu

Sumber dari dalam individu merupakan salah satu penyebab timbulnya


burnout. Sumber tersebut dapat digolongkan atas dua faktor yaitu :

1) Faktor Demografi

Mengacu pada perbedaan jenis kelamin antara wanita dan pria.


Pria rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita.

2) Faktor Perfeksionis, yaitu individu yang selalu berusaha

Melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna sehingga akan


sangat mudah merasakan frustasi bila kebutuhan untuk tampil sempurna
tidak tercapai.

b. Lingkungan Kerja

Masalah beban kerja yang berlebih adalah salah satu faktor dari
pekerjaan yang berdampak pada timbulnya burnout. Beban kerja yang
berlebihan bisa meliputi jam kerja, jumlah individu yang harus dilayani (jumlah
antrian yang padat misalnya), tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan
yang rutin dan yang bukan rutin, dan pekerjaan administrasi lainnya yang
melampaui kapasitas dan kemampuan individu. Di samping itu, beban kerja
yang berlebihan dapat mencangkup segi kuantitatif yang berupa jumlah
pekerjaan dan kualitatif yaitu tingkat kesulitan pekerjaan tersebut yang harus
ditangani. Beban kerja yang berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan
merasakan adanya ketegangan emosional saat melayani klien sehingga dapat
mengarahkan perilaku pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis
dan menghindari diri untuk terlibat dengan klien.

Dukungan sosial turut berpotensi dalam menyebabkan burnout. Sisi


positif yang dapat diambil bila memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja
yaitu mereka merupakan sumber emosional bagi individu saat mengalami
masalah dengan klien. Individu yang memiliki persepsi adanya dukungan sosial
akan merasa nyaman, diperhatikan dihargai atau tterbantu oleh orang lain. Sisi
negatif dari rekan kerja yang dapat menimbulkan burnout adalah terjadinya
hubungan antar rekan kerja buruk. Hal tersebut bisa terjadi apabila hubungan
antar mereka diwarnai dengan konflik, saling tidak percaya, dan saling
bermusuhan. Ketidakpekaan pemimpin perusahaan, kurangnya apresiasi
masyarakat dengan pekerjaan mereka (penghargaan), kritik masyarakat, pindah
kerja yang tidak dikehendaki, jumlah pelayanan yang banyak, kertas kerja yang
berlebihan, bangunan fisik yang tidak menarik dan tidak nyaman, kotor dan
berantakan, hilangnya otonomi, dan gaji tidak memadai merupakan beberapa
faktor lingkungan sosial yang turut berperan menimbulkan burnout.

c. Keterlibatan emosional dengan penerimaan pelayanan atau

klien. Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena


harus bersikap sabarb dan memahami orang lain dalam keadaan krisis, frustasi,
ketakutan dan kesakitan. Pemberi dan penerima layanan turut membentuk dan
mengarahkan terjadinya hubungan yang mengakibatkan emosional karena
keterlibatan antar mereka dapat memberikan penguatan positif atau kepuasan
bagi kedua belah pihak atau sebaliknya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa


faktor-faktor penyebab burnout yaitu, karakteristik individu meliputi demografi
dan perfeksionis, lingkungan pekerjaan, keterlibatan emosional dengan
penerimaan pelayan atau pelanggan.

5. Klasifikasi Burnout
Golistek (2011 : 72) menyusun burnout menjadi 3 tahapan :

a. Tahap 1. Memiliki harapan dan idealism tinggi. Adapun gejalanya adalah


sebagai berikut
1) Antusias terhadap pekerjaan
2) Menunujukkan dedikasi dan komitmen pada pekerjaan
3) Menunjukkan energi yang tinggi dan berprestasi
4) Bersikap positif dan konstruktif
5) Berpandangan baik
b. Tahap 2. Menjadi pesimis dan mulai tidak puas terhadap pekerjaan. Adapun
gejalanya adalah sebagai berikut
1) Mengalami kelelahan fisik dan mental
2) Menjadi frustasi dan dipenuhi khayalan yang tidak baik
3) Semangat kerja menurun
4) Mengalami kebosanan
5) Menunjukkan gejala stress awal
c. Tahap 3. Menarik diri dan mengucilkan diri. Adapun gejalanya adalah sebagai
berikut
1) Menghindari kontak dengan rekan kerja
2) Merasa marah dan tidak bersahabat
3) Berpandangan sangat negative
4) Mengalami depresi dan tekanan emosi lainnya
5) Menjadi tiidak mampu berfikir dan berkonsentrasi
6) Mengalami kelelahan fisik dan mental yang ekstrem
6. Karakteristik Burnout

Karakteristik burnout menurut Baron dan Greenberg, yaitu : Kelelahan


fisikyang ditandai dengan serangan sakit kepala, mual, susah tidur, dan kurangnya
nafsu makan. Kelelahan emosional ditandai dengan depresi, perasaan tidak
berdaya, merasa terperangkap dalam pekerjaannya, mudah marah serta cepat
tersinggung. Kelelahan mental ditandai dengan bersikap sinis terhadap orang lain,
bersikap negative terhadap orang lain, cenderung merugikan diri sendiri, pekerjaan,
organisasi dan kehidupan pada umumnya. Rendahnya penghargaan terhadap diri
sendiri, ditandai dnegan tidak pernah puas terhadap hasil kerja sendiri, merasa
tidak pernah melakukan sesuatu yang memuaskan. Menurut Ayala Pines dan Elliot
Aronso, penderita merasa tidak tertarik lagi akan kegiatan yang dikerjakannya, yaitu
: Kelelahan fisik dicirikan seperti sakit kepala, ddemam, sakit punggung, tegnag
pada otot leher dan bahu, sering flu, susah tidur, rasa letih yang kronis. Kelelahan
emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, suka marah,
gelisah, putus asa, sedih, tertekan, tidak berdaya. Kelelahan mental dicirikan
seperti acuh pada lingkungan, sikap negatif terhadap orang lain, konsep diri yang
rendah, putus asa dengan jalan hidup, merasa tidak berharga. (Rahman, 2011)

C. Konsep Dasar Self Efficacy


1. Pengertian

Self-efficacy merupakan keyakinan dalam diri seseorang terhadap


kemampuan yang dimiliki bahwa ia mampu untuk melakukan sesuatu atau
mengatasi suatu situasi bahwa ia akan berhasil dalam melakukannya.
Sebagaimana Bandura mengemukakan bahwa self efficacy merupakan keyakinan
orang tentang kemampuan mereka untuk menghasilkan tingkat kinerja serta
menguasai situasi yang mempengaruhi kehidupan mereka, kemudian self-efficacy
juga akan menentukan bagaimana orang merasa, berpikir, memotivasi diri dan
berperilaku. Sesuai dengan pendapat Jeanne Ellis Ormrod, self-efficacy adalah
keyakinan seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk menjalankan perilaku
tertentu atau mencapai tujuan tertentu. Kemudian Bandura dalam Howard (2008)
juga menambahkan bahwa self-efficacy memiliki dampak yang penting, bahkan
bersifat sebagai motivator utama terhadap keberhasilan seseorang. Orang lebih
mungkin mengerjakan aktivitas yang yakin dapat mereka lakukan daripada
melakukan pekerjaan yang mereka rasa tidak bisa (gusriko Hardianto, 2014)

Selain itu, Baron dan Byrne juga mengartikanself efficacysebagai keyakinan


seseorang akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang
diberikan, mencapai tujuan, atau mengatasi sebuah hambatan. Sedangkan efikasi
menurut Alwisol ialah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik
atau buruk, benar atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang
dipersyaratkan (Rizki Syahfitri, 2017)

Self Efficacy bukanlah ekspektasi terhadap hasil tindakan kita. Bandura


(1986,1977) membedakan antara ekspektasi-kemampuan-mempengaruhi-hasil
(efficacy expectation) dan ekspektasi hasil (outcome expectation). ekspektasi-
kemampuan-mempengaruhi-hasil (efficacy expectation) mengacu pada keyakinan
manusia bahwa mereka memiliki kesanggupan untuk melakukan perilaku tertentu,
sementara ekspektasi hasil (outcome expectation) mengacu kepada prediksi
terhadap konsekuensi dari perilaku yang diinginkan. Ekspektasi hasil tidak boleh
dicampuradukkan dengan keberhasilan pencapaian suatu tindakan karena
ekspektasi hasil lebih mengacu pada konsekuensi yang mungkin muncul dari
perilaku, bukan pemenuhan tindakan tersebut. Bandura menyebut keyakinan atau
harapan sebagai efikasi diri dan harapan hasilnya sebagai ekspektasi efikasi atau
ekspektasi hasil.

2. Aspek-aspek Self Efficacy

Bandura (1997) dalam Ghufron (2014: 80), efikasi diri tiap individu berbeda
satu sama lain, hal ini berdasarkan tiga dimensi self efficacy, antara lain:

a. Dimensi Tingkat (Level)


Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu
merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada
tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka efikasi diri
individu mungkin akan terbatas pada tugas yang mudah, sedang, bahkan
paling sulit sesuai dengan batas kemampuannya untuk memenuhi tuntutan
perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki
implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang akan dicoba atau dihindari.
Individu akan mencoba tingkahlaku yang dirasa mampu dilakukannya dan
menghindari tingkah laku yang berada diluar batas kemampuan yang
dirasakannya
b. Dimensi Kekuatan (Strength)
Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah
mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.
Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan
dalam usahanya meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang
menunjang. Dimensi ini berkaitan langsung dengan dimensi level yaitu
semakin tinggi taraf kesulitasn tugas, semakin lemah keyakinan yang
dirasakan untuk menyelesaikannya.

c. Dimensi Generalisasi (Generality)


Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku dimana
individu merasa yakin akan kemampuannya dan bagaimana seseorang
mampu menggeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya ketika
menghadapi suatu tugas atau pekerjaan, misalnya apakah ia dapat
menjadikan pengalaman sebagai hambatan atau sebagai kegagalan.

3. Academic Self Efficacy

Keyakinan dalam kemampuan diri oleh Bandura disebut sebagai self-


efficacy atau efikasi diri (Rustika, 2016). Self-efficacy pada dasarnya bersifat
spesifik, dalam penelitian ini self-efficacy yang dimaksud adalah academic self-
efficacy. Peneliti memilih faktor academic self-efficacy untuk dijadikan sebagai
variabel bebas dalam penelitian ini karena mahasiswa dengan self-efficacy yang
tinggi memiliki fleksibilitas dalam mencari solusi terkait masalah perkuliahan yang
mahasiswa hadapi, menetapkan aspirasi yang lebih tinggi pada pencapaian
akademiknya, dan memiliki performa yang lebih baik dibanding mahasiswa dengan
self-efficacy rendah.

4. Factor Terjadinya Self Efficacy

Menurut Bandura (dalam Jess Feist, 2012:213-215) :

a. Pengalaman Menguasai Sesuatu

Pengalaman menguasai sesuatu yaitu performa masa lalu. Secara umum


performa yang berhasil akan menaikan Self Efficacy individu, sedangkan
pengalaman pada kegagalan akan menurunkan. Setelah self efficacy kuat dan
berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak negatif dari kegagalan-
kegagalan yang umum akan terkurangi secara sendirinya.
b. Modeling Sosial

Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan


yang sebanding dalam mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan self
efficacy individu dalam mengerjakan tugas yang sama.

c. Persuasi Sosial

Individu diarahkan berdasarkan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga


dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang
dimiliki dapat membantu tercapainya tujuan yang diinginkan.

d. Kondisi Fisik dan Emosional


Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa, saat seseorang
mengalami ketkutan yang kuat, kecemasan akut, atau tingkat stress yang tinggi,
kemungkinan akan mempunyai ekspektasi efikasi yang rendah.

5. Proses Terjadinya Self Efficacy

(Aprilia Putri, 2011) proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan
dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasi, afeksi dan proses
pemilihan/seleksi.

1. Proses kognitif

Proses kognitif merupakan proses berfikir, didalamya termasuk


pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan
tindakan manusia bermula dari sesuau yang difikirkan terlebih dahulu. Individu
yang memiliki self-efficacy yang tinggi lebih senang membayangkan tentang
kesuksesan. Sebaliknya individu yang self-efficacy nya rendah lebih banyak
membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya
kesuksesan. Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan
kemampuandiri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka
individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannnya
dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya.
2. Proses Motivasi

Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu


memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan
tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan
kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni
menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang
dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitan kesulitan dan
ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan.

3. Proses Afektif

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi


emosional. Menurut Bandura keyakinan individu akan coping mereka turut
mempengaruhi level stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi
situasi yang sulit. Persepsi self efficacy tentang kemampuannya mengontrol
sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasan. Individu
yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak
memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu
mengontrol situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi, selalu
memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh
dengan ancaman, membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada
hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi.

6. Klasifikasi Self Efficacy

Secara garis besar, self-efficacyterdiri atas dua bentuk yaitu self efficacy
tinggi dan self-efficacy rendah.

a. Self-Efficacy Tinggi

Dalam mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self efficacy


yang tinggi akan cenderung memilih terlibat langsung. Individu yang memiliki
self-efficacy yang tinggi cenderung mengerjakan tugas tertentu, sekalipun
tugas tersebut adalah tugas yang sulit. Mereka tidak memandang tugas
sebagai suatu ancaman yang harus mereka hindari. Selain itu, mereka
mengembangkan minat instrinsik dan ketertarikan yang mendalam terhadap
suatu aktivitas, mengembangkan tujuan, dan berkomitmen dalam mencapai
tujuan tersebut. Mereka juga meningkatkan usaha mereka dalam mencegah
kegagalan yang mungkin timbul. Mereka yang gagal dalam melaksanakan
sesuatu, biasanya cepat mendapatkan kembali self-efficacy mereka setelah
mengalami kegagalan tersebut (Mellisyah Ariyanti,2017).

b. Self-Efficacy Rendah

Individu yang ragu akan kemampuan mereka atau self efficacy yang
rendah akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dipandang
sebagai ancaman bagi mereka. Individu yang seperti ini memiliki aspirasi yang
rendah serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih
atau mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka
sibuk memikirkan kekurangan-kekurangan diri mereka, gangguan gangguan
yang mereka hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Dalam
mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self-efficacy rendah
cenderung menghindari tugas tersebut (Mellisyah arriyanti, 2018).

Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah tidak memikirkan


tentang bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit.
Bahkan ketika menghadapi tugas yang sulit, mereka juga lamban untuk
mendapatkan kembali self-efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan. Di
dalam melaksanakan berbagai tugas, mereka yang memiliki self-efficacy
rendah untuk mencoba pun tidak bisa, tidak peduli bahwa sesungguhnya
mereka memiliki kemampuan yang baik. Rasa percaya dirinya untuk
berprestasi menurun ketika keraguan datang. Individu yang memiliki self-
efficacy yang rendah memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Mellisyah Arriyanti, 2018)
:

1) Lamban dalam membenahi atau mendapatkan kembali self


efficacynyaketika menghadapi kegagalan
2) Tidak yakin bisa menghadapi masalahnya
3) Menghindari masalah yang sulit (ancaman dipandang sebagai sesuatu
yang harus dihindari)
4) Mengurangi usaha dan cepat menyerah ketika menghadapi masalah
5) Ragu pada kemampuan diri yang dimilikinya
6) Tidak suka mencari situasi yang baru
7) Aspirasi dan komitmen pada tugas lemah

D. HUBUNGAN SELF EFFICACY DENGAN TINGKAT BURNOUT

Hubungan self efficacy dan burnout pada mahasiswa keperawatan dibahas


dalam lima studi (Kim, Lee and Park, 2015; Yılmaz, 2016; Cupak et al., 2018;
Yasmin et al., 2018; Miguel et al., 2020). Penelitian yang dilakukan Kim, Lee and Park,
(2015) mengungkapkan bahwa self efficacy memiliki hubungan positif dengan disposisi
berpikir kritis dan burnout memiliki hubungan dengan disposisi berpikir kritis dan self
efficacy. Menurut American Philosophical Association, (1990) disposisi berpikir kritis
didefinisikan kecenderungan perilaku intelektual dalam upaya mengidentifikasi sifat
dari pola pikir kritis dengan tujuan, penilaian pengaturan diri yang menghasilkan
interpretasi, analisis, evaluasi dan inferensi serta penjelasan dari pertimbangan
konseptual, metodologis, kriteriologis atau kontekstual bukti yang menjadi dasar
penilaian itu. Kemampuan berpikir kritis harus ditekankan kepada mahasiswa
keperawatan untuk meningkatkan kompetensi keperawatan. Self efficacy membantu
mahasiswa percaya dengan kemampuan mereka sehingga menghasilkan tingkat
kinerja yang memiliki pengaruh terhadap suatu peristiwa. Self efficacy yang tinggi pada
mahasiswa akan meningkatkan kemampuan berpikir ktitis yang dapat meningkatkan
kompetensi keperawatan mahasiswa. Dengan meningkatnya kompetensi
keperawatan, mahasiswa dapat mengatasi segala stressor yang terjadi sehingga
tingkat burnout yang dirasakan mahasiswa menurun.

Penelitian yang dilakukan Yılmaz (2016) juga mengungkapkan mahasiswa


memiliki tingkat burnout yang sedang. Sebagian besar mahasiswa mengatasi burnout
akademik dan klinis dengan meningkatkan self efficacy. Burnout membuat mahasiswa
keperawatan menjadi tertekan, kecewa dan mengalami kurangnya motivasi dan
kelelahan yang dapat mempengaruhi motivasi mereka untuk belajar. Dukungan dan
sikap staf keperawatan dapat meningkatkan motivasi dan tingkat keyakinan mahasiswa
dalam mengatasi segala stressor selama menjalani praktik klinik. Hal ini didukung
dengan penelitian yang dilakukan. Miguel et al (2020) dan Yasmin et al (2018) yang
menjelaskan bahwa self efficacy yang tinggi akan meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam menyelesaikan segala tugas dan mengatasi tekanan akademik yang
melekat sehingga mengurangi resiko terjadinya burnout.
Terdapat lima studi yang menyatakan bahwa hubungan beban kerja akademik
dan burnout memiliki hubungan yang positif (Liu et al., 2015; Rodrigues etal., 2016;
Ahmed and Mohammed, 2019; Fonseca et al., 2019; Latif and Nor, 2019). Penelitian
yang dilakukan oleh Latif and Nor (2019), Rodrigues et al (2016) dan Liu et al (2015)
mengungkapkan tugas klinis dan beban kerja akademik adalah stressor terbesar yang
dialami oleh mahasiswa keperawatan. Sumber stres terkait akademik seperti beban
kerja, ujian, kurangnya pengetahuan. Beban kerja yang berat termasuk pembelajaran
klinis, refleksi klinis, laporan studi kasus, pengawasan klinis dan pengawasan dosen
menyebabkan stres akademik bagi mahasiswa. Tugas yang berlebihan menyebabkan
mahasiswa merasa tertekan dan kelelahan. Pengawasan klinis dari pembimbing
mengurangi kepercayaan diri mahasiswa sehingga mahasiswa merasa takut membuat
kesalahan karna dapat mempengaruhi nilai. Perasaan tertekan dan kelelahan yang
dialami mahasiswa dapat menyebabkan stres akademik.

Penelitian yang dilakukan oleh Fonseca et al (2019) menunjukkan bahwa


intensitas stres yang lebih tinggi dikaitkan dengan kinerja akademik individu yang lebih
tinggi. Intensitas stres tinggiterjadi saat mahasiswa menjalani praktik klinik. Tanggung
jawab dengan kehadiran kelas per semester, tes dan tugas diidentifikasi sebagai
pemicu stres yang dialami mahasiswa praktik klinik. Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Ahmed and Mohammed (2019) yang menjelaskan bahwastres
yang dialami mahasiswa berkaitan dengan tugas dan kapasitas kerja dalam praktik
klinis terutama yang berkaitan dengan kualitas pekerjaan yang diharapkan untuk
dicapai dan pedoman rumah sakit yang harus diikuti. Selain itu, mahasiswa juga
merasa tertekan dengan evaluasi dosen dalam menghadapi kasus-kasus yang tidak
dikenal.
A. KERANGKA TEORI

Mahasiswa

Faktor-faktor terjadinya Klasifikasi burnout


burnout
1. Tahap 1 : memiliki
Burnout
1. Karakteristik
KarakteristikIndividu
individu harapan dan idealism
2. Lingkungan kerja 2. Tahap 2 : menjadi
3. Keterlibatan emosi pesimis dan mulai tidak
dengan penerimaan puas terhadap
pelayanan pekerjaan
3. Tahap 3 : menarik diri
dan mengucilkan diri

1. Self efficacy rendah


Self Efficacy
Menjauhi tugas tugas yang sulit
karena tugas tersebut dipandang
sebagai ancaman bagi mereka
2. Self efficacy tinggi
Cenderung mengerjakan tugas
tertentu, sekalipun tugas tersebut
adalah tugas yang sulit

Sumber : Isnia Prijayanti (2015), Golistek (2011 : 72), Mellisyah Ariyanti (2017).
Keterangan : : Diteliti

: Tidak Diteliti

Anda mungkin juga menyukai