PROPOSAL SKRIPSI
NIM : 1020183060
Pembimbing :
1. Dewi Hartinah,S.Kep.,Ns.,M.Si.Med
2. Sukesih,S.Kep.,Ns.,M.Kep
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Mahasiswa
1. Pengertian
Menurut UU Pendidikan Nasional no:2/2003, pengertian mahasiswa adalah
siswa atau peserta didik pada perguruan tinggi atau pendidikan tinggi. Daldiyono
(dalam Shaleh, 2013) menjelaskan ada 3 karakteristik mahasiswa, yaitu:
a. Lulusan dari Sekolah Menengah Atas
b. Telah menjalani pendidikan selama 12 tahun
c. Umur mahasiswa berkisar 18-25 tahun
Usia ini memiliki ciri khas serta perkembangan yang menonjol, yaitu
perkembangan kognitif berada pada puncaknya atau mengalami perkembangan
yang besar dari usia sebelumnya. Pada masa transisi dewasa awal ini mahasiswa
mulai menguji ide-ide mengenai diri dan dunia disekitarnya secara umum. Clarke-
Stewart dan Friedman mengemukakan bahwa perubahan kognitif yang terjadi pada
mahasiswa yaitu mulai mampu untuk berpikir secara abstrak danmulai melepaskan
diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya
yang baru sebagai orang dewasa. Pada tahap dewasa muda, individu mulai
membentuk kemandirian dalam hal personal dan ekonomi. Melanjutkan pendidikan
ke tingkat perguruan tinggi atau akademi, mengembangkan karir, serta membentuk
hubungan sosial secara kelompok maupun yang mengarah pada perkawinan adalah
tugas perkembangan yang menonjol pada tahap ini.
Dari perkembangan di atas dapat dibagi dua segi transisi yang dialami oleh
mahasiswa yang berkaitan dengan stres dalam menyusun tugas akhir yaitu:
a. Perkembangan kognitif
Menurut Mussen, Conger, dan Kagan dalam Hendriati, di masa ini juga
merupakan suatu periode kehidupan di mana kapasitas untuk memperoleh dan
menggunakan pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya. Hal ini adalah
karena selama periode, proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan.
Sistem saraf yang berfungsi memproses informasi berkembang dengan cepat. Di
samping itu, pada masa ini juga terjadi reorganisasi lingkaran saraf prontal lobe
(belahan otak bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral).
Sedangkan Carol dan David, berpendapat bahwa prontal lobe ini berfungsi
dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti kemampuan merumuskan
perencanaa strategis atau kemampuan mengambil keputusan.
b. Perkembangan Integritas
Burnout merupakan kondisi emosional seseorang merasa jenuh dan lelah secara
mental ataupun fisik sebagai tuntutan pekerjaan yang meningkat. Timbulnya
kelelahan ini karena mereka bekerja keras, merasa bersalah, merasa tidak
berdaya, merasa tidak ada harapan, merasa terjebak, merasa kesedihan yang
mendalam dan secara terus menerus membentuk lingkaran dan menghasilkan
perasaan lelah serta tidak nyaman yang pada dilirannya meningkatkan rasa kesal,
dan lingkaran terus berlanjut sehingga menimbulkan kelelahan fisik, mental dan
emosional (Indie Khamaruz, 2015).
Burnout adalah kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosional yang muncul
sebagai konsekuensi dari ketidaksesuaian antara kondisi karyawan dengan
pekerjaannya (lingkungan dan desain pekerjaan). Sejauh ini fenomena burnout
masih belum mendapat perhatian serius dari pihak manajemen organisasi,
meskipun sudah banyak hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa burnout
menurunkan efektivitas organisasi. Kelompok karyawan yang dipandang rentan
terhadap burnout antara lain adalah karyawan senior. Oleh karena itu, diperlukan
strategi tertentu untuk menangani fenomena tersebut dengan mempertimbangkan
karakteristik karyawan senior dan kemampuan organisasi untuk melakukan
tindakan preventif maupun kuratif (Mc Cormack & Cotter, 2013).
2. Aspek-aspek Burnout
Maslach dan Leiter (2000) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi yang
merupakan aspek dari burnout :
a. Exhaustion (Kelelahan)
Exhaustion adalah reaksi pertama terhadap stres dari tuntutan
pekerjaan atau perubahan besar. Dalam dimensi ini seseorang merasakan
kelelahan yang mengacu pada perasaan menjadi terlalu berat dan kehabisan
sumber daya emosional dan fisik. Pekerja merasa dikuras dan tanpa sumber
pengisian ulang. Mereka kekurangan energi untuk menghadapi hari lain atau
orang lain yang membutuhkan. Komponen kelelahan mewakili dimensi stres
individu dasar.
b. Cynicism (sinisme)
Sinisme mengacu pada respons negatif seperti bermusuhan atau
bersikap dingin dan berjarak terhadap pekerjaan dan orang-orang
disekitarnya sehingga sering kali kehilangan idealisme. Biasanya
berkembang sebagai respons terhadap kelelahan emosional yang berlebihan
dan pada awalnya sinisme merupakan upaya untuk melindungi diri dari
kelelahan dan kekecewaan. Tetapi risikonya adalah dapat menghancurkan
kesejahteraan dan kapasitas seseorang untuk bekerja secara efektif.
c. Ineffectiveness (Ketidakefektifan)
3. Academic burnout
Burnout yang dialami pelajar dikenal dengan istilah academic burnout yang
berdampak pada menurunnya academic performance, memunculkan sikap negatif
terhadap universitas, dan munculnya perasaan tidak efisien. Kondisi academic
burnout memberikan dampak yang buruk terhadap performa akademik (Lin &
Huang, 2014).
a. Karakteristik Individu
1) Faktor Demografi
b. Lingkungan Kerja
Masalah beban kerja yang berlebih adalah salah satu faktor dari
pekerjaan yang berdampak pada timbulnya burnout. Beban kerja yang
berlebihan bisa meliputi jam kerja, jumlah individu yang harus dilayani (jumlah
antrian yang padat misalnya), tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan
yang rutin dan yang bukan rutin, dan pekerjaan administrasi lainnya yang
melampaui kapasitas dan kemampuan individu. Di samping itu, beban kerja
yang berlebihan dapat mencangkup segi kuantitatif yang berupa jumlah
pekerjaan dan kualitatif yaitu tingkat kesulitan pekerjaan tersebut yang harus
ditangani. Beban kerja yang berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan
merasakan adanya ketegangan emosional saat melayani klien sehingga dapat
mengarahkan perilaku pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis
dan menghindari diri untuk terlibat dengan klien.
5. Klasifikasi Burnout
Golistek (2011 : 72) menyusun burnout menjadi 3 tahapan :
Bandura (1997) dalam Ghufron (2014: 80), efikasi diri tiap individu berbeda
satu sama lain, hal ini berdasarkan tiga dimensi self efficacy, antara lain:
c. Persuasi Sosial
(Aprilia Putri, 2011) proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan
dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasi, afeksi dan proses
pemilihan/seleksi.
1. Proses kognitif
3. Proses Afektif
Secara garis besar, self-efficacyterdiri atas dua bentuk yaitu self efficacy
tinggi dan self-efficacy rendah.
a. Self-Efficacy Tinggi
b. Self-Efficacy Rendah
Individu yang ragu akan kemampuan mereka atau self efficacy yang
rendah akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dipandang
sebagai ancaman bagi mereka. Individu yang seperti ini memiliki aspirasi yang
rendah serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih
atau mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka
sibuk memikirkan kekurangan-kekurangan diri mereka, gangguan gangguan
yang mereka hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Dalam
mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self-efficacy rendah
cenderung menghindari tugas tersebut (Mellisyah arriyanti, 2018).
Mahasiswa
Sumber : Isnia Prijayanti (2015), Golistek (2011 : 72), Mellisyah Ariyanti (2017).
Keterangan : : Diteliti
: Tidak Diteliti