Anda di halaman 1dari 31

TIPE-TIPE DAN KESULITAN BELAJAR

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Psikologi Pendidikan
Yang dibina oleh Moch. Rio Pambudi, M.Pd.

Oleh

Migy Hadi Setyawan (2186206074)


Dian Novitasari (2186206073)
Mohammad Khamdan Yuwafi (2186206034)
.Haniatun Nikmah (2186206028)
.Yusuf Bakhtiyar ( 2186206172)

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA BLITAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN SOSIAL
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
NOVEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT. Yang mana telah


memberikan rahmat dan karuniaNya pada penulis. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Tipe-Tipe Dan Kesulitan Belajar”, untuk
memenuhi tugas matakuliah kuliah Psikologi Pendidikan.

Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada.

1. Moch. Rio Pambudi, M.Pd. selaku dosen pembina matakuliah Psikologi


Pendidikan.
2. Teman-teman PGSD kelas D21 angkatan 2021 atas kerjasamanya.
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu
demi terselesaikannya makalah ini dengan lancar. Semoga Allah SWT
membalas semua kebaikan kalian, amin.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan yang terdapat di dalamnya, untuk itu penulis sangat mengharapkan
adanya kritikan dan masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan
laporan ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini berguna dan
bermanfaat bagi para pembaca dan makalah selanjutnya.

Blitar, November 2021

Penulis

II
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ I

KATA PENGANTAR ........................................................................................... II

DAFTAR ISI ......................................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1

1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 1

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2

2.1 Tipe - Tipe Belajar ................................................................................... 2

2.2 Kesulitan Belajar .................................................................................... 10

2.3 Perihal Anak Bermasalah ....................................................................... 21

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 26

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 26

3.2 Saran ....................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28

III
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Makalah ini merupakan pemenuhan tugas Psikologi Pendidikan yang
memang harus terpenuhi. Disamping itu, makalah ini sangat bermanfaat bagi
pembaca karena pada makalah ini sedikit/banyaknya terdapat ilmu yang dapat
diambil sebagai pengetahuan atau wawasan.
Tipe-tipe belajar yaitu suatu sifat khas yang dimiliki setiap individu yang
membedakan dengan individu lainnya dalam proses perubahan tingkah laku
sehingga seseorang memiliki kemampuan dalam hidupnya seperti kecakapan
intelektual, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. kesulitan belajar disebabkan
oleh adanya disfungsi neurologis. Dengan belajar tipe-tipe dan kesulitan belajar
kita di harapkan mampu memanami dari materi tipe-tipe dan kesulitan belajar itu
sendiri yang mungkin bermanfaat dalam kehidupan kita.
Dengan izin Allah dalam makalah ini kami akan menjelaskan dan membahas
tentang tipe-tipe dan kesulitan belajar.

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Apa tipe-tipe belajar ?
1.2.2 Apakah kesulitan belajar itu ?
1.2.3 Apakah anak bermasalah itu ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui tipe-tipe belajar.
1.3.2 Untuk mengetahui kesulitan belajar.
1.3.3 Untuk mengetahui perihal anak bermasalah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tipe - Tipe Belajar

A. Tipe Belajar
Tipe adalah sesuatu yang dibedakan menurut sifat-sifat seperti arah, minat,
perhatian, dan perilaku yang menunjukkan pola-pola kelompok atau jenis-jenis.
Selain itu, tipe juga merupakan suatu khas individu yang dikelompokkan menjadi
satu disebabkan mereka memiliki beberapa sifat-sifat kepribadian.
Belajar didefinisikan sebagai usaha memperoleh kepandaian atau ilmu,
berupa tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.Belajar
juga adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses kegiatan yang
menimbulkan kelakuan baru atau merubah kelakuan lama, sehingga seseorang
lebih mampu memecahkan masalah dan menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi
yang dihadapi dalam hidupnya. Sedangkan pengertian tipe-tipe belajar yaitu suatu
sifat khas yang dimiliki setiap individu yang membedakan dengan individu
lainnya dalam proses perubahan tingkah laku sehingga seseorang memiliki
kemampuan dalam hidupnya seperti kecakapan intelektual, pengetahuan, sikap,
dan keterampilan. Karena setiap individu memiliki tipe atau sifat yang berbeda
beda, maka sudah merupakan suatu kepastian bahwa dalam belajar setiap siswa
tentu memiliki tipe-tipe yang berbeda pula. Misalnya, setiap individu atau siswa
berbeda satu sama lain dalam tingkat kecerdasannya, minat, emosinya, serta
pemikiran. Demikian pula dalam belajarnya, ada yang lamban dan ada yang cepat,
ada yang mampu belajar sendiri dan ada pula yang berkelompok dan sebagainya,
sehingga para ahli berpendapat bahwa setiap jenis belajar merupakan suatu proses
belajar tersendiri yang kekhususannya sendiri, yang membedakan dari jenis
belajar lain. Namun, semua jenis belajar itu merupakan suatu proses belajar yang
menunjukkan gejala-gejala yang terdapat pada semua proses belajar.

2
B. Macam-macam Tipe-tipe Belajar

Setiap siswa memiliki tipe belajar yang berbeda satu sama lainnya.
Dengan demikian, sudah merupakan suatu kepastian bahwa tipe-tipe belajar itu
bermacam-macam pula, para ahli kebanyakan dari psikolog, membagi tipe-tipe
belajar itu kedalam berbagai macam tipe :
- Tipe mendengarkan (auditif)

- Tipe penglihatan (visual)

- Tipe merasakan dan


- Tipe motorik.
Keempat tipe-tipe di atas dapat diketahui bahwa; tipe mendengarkan adalah
tipe seorang siswa yang hanya dapat menerima informasi dengan baik apabila ia
mendengarkan secara langsung; kemudian tipe penglihatan adalah tipe seorang
siswa yang dalam menerima pelajaran dengan baik bila ia melihat secara
langsung; tipe merasakan adalah tipe seorang siswa yang dapat menerima
informasi dengan baik bila ia melakukan sendiri secara langsung serta tipe
motorika adalah tipe seorang yang hanya dapat menerima informasi dengan baik
bila ia melakukan sendiri secara langsung.
Selain itu tipe belajar juga dapat dibagi kedalam enam tipe sebagai berikut :
1. Tipe siswa yang visual

2. Tipe yang auditif

3. Tipe siswa yang taktil

4. Tipe siswa yang olpaktoris

5. Tipe siswa yang gustatif, dan

6. Tipe siswa yang campuran (combinative).

1. Tipe siswa yang visual (lebih mudah belajar melalui penglihatan)


Tipe belajar siswa yang visual ini adalah mereka yang mengandalkan
aktivitas belajarnya kepada materi pelajaran yang dilihatnya. Jadi yang menjadi
peranan penting dalam cara belajarnya adalah mata atau penglihatan. Dikatakan

3
demikian karena satu-satunya alat indera yang aktif dan dominan adalah mata.
Oleh sebab itu baginya alat peraga adalah sangat penting artinya untuk
membantunya dalam penyerapan materi yang disampaikan padanya. Untuk siswa
yang bertipe visual ini, cara belajarnya adalah dengan memakai stabilan untuk
mencoret-coret kata yang dianggap penting agar ia cepat melihatnya bahwa ini
adalah untuk dimengerti.

2. Tipe siswa yang auditif (lebih mudah belajar melalui pendengaran)


Siswa yang bertipe auditif ini mengandalkan kesuksesan belajarnya pada
alat pendengarannya yaitu telinga. Bagi siswa yang bertipe begini materi pelajaran
yang disampaikan kepadanya lebih cepat atau mudah diserapnya apabila materi
disajikan secara lisan. Siswa yang bertipe auditif ini, seorang guru harus bersuara
besar dan intonasinya tepat sehingga materi yang disajikan dapat berhasil dengan
baik. Pendidik dalam menghadapi siswa yang bertipe seperti ini dituntut untuk
bertindak bijaksana agar dapat melihat siswa yang pendengarannya agak kurang
baik untuk diperhatikan lebih dari teman sekelasnya. Siswa yang bertipe auditif,
cara belajarnya adalah apabila ia membaca harus dengan suara yang keras sebab
alat indera yang dominant dalam belajarnya adalah telinga.

3. Tipe siswa yang taktil (lebih mudah belajar melalui perabaan)


Taktil berarti perabaan atau sentuhan. Siswa yang bertipe taktil adalah
siswa yang mengandalkan penyerapan hasil pendidikan/pengajaran melalui alat
peraba yaitu tangan dan kulit atau bagian luar tubuh. Siswa yang bertipe ini
dengan melalui alat perabanya ia sangat cekatan mempraktekkan hasil
pendidikan/pengajaran yang diterimanya seperti ia disuruh mengatur ruang
ibadah, menentukan buah-buahan yang sudah busuk, walaupun ia tidak
melihatnya, dengan sentuhan tangannya ia segera mengetahui benda yang
dirabanya. Cara belajar siswa yang bertipe seperti ini adalah mempraktekkan
secara langsung dengan tangannya karena dengan sentuhan tangannya ia dapat
mengetahui benda yang dirabanya.

4
4. Tipe siswa yang olfaktoris (lebih mudah belajar melalui penciuman)
Siswa yang bertipe olfaktoris yaitu siswa yang mudah mengikuti pelajaran
dengan menggunakan alat inderanya yaitu alat penciuman. Apabila ada materi
pelajaran yang menggunakan penciuman seperti bau air atau cairan ia sangat
bereaksi disbanding dengan teman-temannya yang tidak bertipe demikian.
Siswa yang bertipe olfaktoris ini akan lebih cepat menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Siswa yang demikian lebih mudah belajar dengan hal-hal yang
berhubungan dengan bau-bauan seperti mengetahui makanan yang sudah basi dan
sebagainya. Cara belajar siswa yang bertipe seperti ini adalah mencium
segalasesuatu yang ada disekitarnya walaupun tidak melihat secara langsung
karena alat inderanya yang paling berfungsi adalah hidung.

5. Tipe siswa yang gustative (lebih mudah belajar melalui kemampuan


mencicipi)
Siswa yang bertipe gustative (kemampuan mencicipi) adalah siswa yang
dalam belajarnya mengandalkan kecakapan lidahnya. Siswa yang bertipe ini akan
lebih cepat memahami apa yang dipelajarinya melalui indera kecapnya untuk
mengetahui berbagai rasa asam, manis, pahit, dan sebagainya. Dalam berwudhu
misalnya, siswa yang bertipe ini akan mengetahui kalau air sudah berubah rasa
sehingga diragukan kesuciannya. Cara belajar siswa yang bertipe seperti ini
adalah dengan mencicipi karena alat inderanya yang paling berfungsi dalam
belajarnya adalah lidahnya.

6. Tipe belajar campuran (combinative)


Peserta didik yang mempunyai tipe campuran ini mengakuti pelajaran
dengan menggunakan inderanya lebih dari satu. Siswa seperti ini dapat
mendengarkan radio sambil membaca buku. Untuk siswa yang bertipe campuran
ini diperlukan keterampilan bagi seorang guru untuk memilih media atau alat
peraga yang sesuai dalam menyampaikan materi pelajaran. Untuk siswa yang
sesuai dalam menyampaikan materi pelajaran. Untuk siswa yang bertipe
kombinatif ini cara belajarnya adalah bisa mengeraskan kalau ia membaca dan

5
mencoret-coret kata yang dianggap perlu karena alat indera yang berfungsi dalam
belajarnya lebih dari satu.
Disamping keenam tipe belajar di atas, ada pula tipe belajar lainnya yaitu
bertipe belajar kelompok dan bertipe belajar sendiri. Siswa tergolong bertipe
belajar sendiri, apabila ia mengulangi kembali apa yang telah ia pelajari di sekolah
setelah tiba di rumah atau di ruangan khusus yang jauh dari tempat-tempat
keributan. Sedangkan siswa yang bertipe belajar kelompok akan lebih berhasil
bila dibantu dengan suasana berkelompok dengan sejumlah teman-temannya.
Dengan cara berkelompok, siswa juga dapat tolong-menolong seperti yang pandai
menolong yang kurang pandai, yang kurang bersemangat dapat dibantu oleh
temannya yang lain.

Tipe belajar dapat dibagi juga ke dalam delapan macam tipe yang dipandang
sebagai tahap-tahap yang saling mendasari mulai dari tahap yang di bawah.
Namun, tidak dapat dipastikan, bahwa tipe I menjadi landasan bagi tipe II sampai
dengan tipe VIII; karena itu urutan hirarkis baru dimulai pada tipe II ke atas.
Urutan secara hirarkis adalah bahwa tipe-tipe belajar itu saling mendasari yakni
tipe belajar yang dibawah menjadi landasan bagi tipe belajar tipe diatasnya.
Artinya, siswa yang tidak mengenai tipe belajar keempat, misalnya akan
mengalami kesulitan dalam tipe kelima sampai tipe kedelapan. Delapan tipe
belajar yang dimaksud adalah :
a. Belajar sinyal (Conditioning ala Paviov)

b. Belajar perangsang-reaksi, dengan mendapat penguatan/peneguhan

(Conditioning ala Skinner)

c. Belajar membentuk rangkaian gerak-gerak (Chaining Motorik)

d. Belajar asosiasi verbal (Chaining Verbal)

e. Belajar diskriminasi yang jamak (Multiple discrimination)

f. Belajar konsep (Concept learning)

g. Belajar kaidah (Rule learning)

6
h. Belajar memecahkan masalah (Problem solving).11

a. Tipe belajar sinyal (signal)


Nama tipe belajar tipe ini diberikan oleh penemunya yaitu Ivan Paplov.
Belajar dalam hal ini adalah sesuatu menjadi tanda bagi hal yang lain untuk
menimbulkan reaksi. Yang menjadi pokok dalam belajar adalah stimulus dan
respon. Lama-kelamaan stimulus itu menimbulkan reaksi misalnya, anak kecil
belajar untuk tidak memanjat pohon, bukan karena anak itu pernah jatuh dari
pohon, akan tetapi setiap kali ia memanjat ibunya selalu memukulnya atau paling
tidak ibunya berkata keras jangan padanya. Dengan sendirinya anak merasa takut
apabila ia dekat-dekat dengan pohon sehingga lama-kelamaan terbentuklah
hubungan antara memanjat pohon dan tindakan ibu. Dengan demikian, memanjat
pohon tanda (signal) bagi anak tersebut akan menyusul hukuman ibu. Akhirnya,
anak itu tidak akan pernah lagi memanjat pohon meskipun ibunya tidak ada
didekatnya.

b. Tipe belajar perangsang-reaksi dengan mendapat penguatan


Tipe belajar ini diselidiki oleh Skinner dimana unsur pokok dalam tipe belajar
ini adalah peneguhan dan penguatan. Yang dimaksud dengan penguatan atau
peneguhan dalam tipe belajar ini adalah perbuatan atau reaksi yang salah tidak
mendapat peneguhan. Misalnya seorang anak yang baru saja belajar bahasa asing
diberi peneguhan setiap kali ia berbuat yang tepat atau menjawab dengan benar
supaya lain kali ia melakukan sesuatu yang sama. Bentuk penguatan dapat berupa
pemberian hadiah seperti buku tulis, pujian, dengan kata-kata atau izin untuk
melakukan sesuatu yang disenangi anak.

c. Tipe belajar membentuk rangkaian gerak-gerak (motorik)


Dalam belajar semacam ini, terdapat sejumlah langkah atau gerakan sebagai
mata rantai dalam keseluruhan rangkaian gerakan yang dilakukan secara
berurutan. Dengan demikian, seorang anak atau siswa harus mampu melakukan
suatu gerakan menyusul gerakan seperti main bola volley di sekolah, dalam mata

7
pelajaran olahraga, beberapa gerakan harus dilakukannya, mulai dari cara
memegang bola sampai dengan cara memukul dengan tepat.

d. Tipe belajar asosiasi verbal atau belajar menghubungkan


Suatu kata dengan suatu objek yang berupa benda, orang atau kejadian dan
merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang tepat. Misalnya, kalau kita
perlihatkan ayat-ayat kepada anak memberikan nama (cap verbal) pada objek itu
adalah Al-Qur’an. Belajar asosiasi verbal yang lain misalnya anak belajar
merangkaikan kata-kata dalam sejumlah kalimat seperti menghafal lagu qasidah.
Demikian pula dengan membentuk rangkaian kata menggunakan cara menghafal
yang mudah seperti dalam singkatan, misalnya: MUI adalah singkatan dari
Majelis Ulama Indonesia, pangkopkamtib adalah singkatan dari Panglima
Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban dan lain sebagainya.

e. Tipe belajar diskriminasi yang jamak atau belajar berdasarkan


diskriminasi
Dalam belajar seperti ini, adalah tipe belajar berdasarkan diskriminasi.
Belajar berdasarkan diskriminasi banyak terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
Kita dapat membedakan bentuk, warna, lokasi, luas, nada, huruf, nama-nama,
wajah orang, peristiwa, rasa minuman dan makanan, suhu, dan sebagainya.Cara
belajar diskriminasi ini sangat berfungsi kalau siswa belajar mengaji atau dalam
mata pelajaran Qur’an dan Hadits yaitu siswa harus membedakan huruf-huruf
hijaiyah dengan tepat agar tidak menimbulkan salah arti, misalnya bunyi “kaf’”
berbeda dengan bunyi “Qaf”, dan lain sebagainya.

f. Tipe belajar konsep (concept learning)


Konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah obyek yang memiliki
ciri-ciri yang sama.13 Dengan konsep, sesuatu kita ketahui mempunyai sifat yang
terdapat dalam suatu benda yaitu apakah dinyatakan dengan nama, bentuk,
ukuran, maupun warna. Konsep atau pengertian terdapat benda yang konkrit
(nyata) dapat diperoleh lewat pengamatan sedangkan terhadap benda non konkrit
(abstrak) dapat diketahui dengan definisi. Namun, kalau siswa tidak mempunyai

8
pengertian tentang suatu benda sebelumnya, sulitlah bagi siswa tersebut untuk
menggolong-golongkan benda itu mana yang termasuk kacang, padi, dan wortel.
Siswa-siswa Tsanawiah sudah memiliki sejumlah konsep sewaktu memasuki
sekolah. Mereka telah mengenal konsep seperti meja, air, Al-Qur’an, sembahyang
dan sebagainya. Akan tetapi masih banyak konsep yang harus dipelajari yang baru
bagi mereka misalnya: konsep tauhid, sejarah, akhlak, dan sebagainya.

g. Tipe belajar kaidah (rule learning)


Pada tipe belajar di atas (tipe keenam) siswa telah mengetahui konsep-konsep
suatu benda. Konsep tersebut dihubungkan atau dikombinasikan satu sama lain
sehingga lahirlah sesuatu yang disebut kaidah. Misalnya: ketika siswa belajar
matematika yakni konsep tiga kali konsep empat sama dengan 12 (3 x 4 = 12).
Belajar kaidah ini sangat banyak di jumpai dalam mata pelajaran di tingkat
Tsanawiah dan Aliyah seperti mata pelajaran Bahasa Arab (Nahu), Bahasa Inggris
(Grammar) atau kaidah Ushul Fiqih.

h. Tipe belajar memecahkan masalah (problem)


Mempelajari kaidah seperti pada tipe tujuh di atas memegang peranan
penting terutama dalam tipe belajar ini, yakni memecahkan masalah. Masalah
yang dihadapi dapat dipecahkan dengan cara menghubungkan-hubungkan
beberapa kaida sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu pelajaran baru
karena dengan memecahkan masalah siswa harus berpikir dengan menggunakan
kaidah-kaidah yang sudah di ketahui sebelumnya. Dalam hal ini, penguasaan
aturan-aturan seperti prasyarat untuk memecahkan masalah.
Langkah-langkah dalam memecahkan masalah sebagai berikut :
a. Menyadari adanya masalah;

b. Melihat hakekat masalah dengan jelas;

c. Berpegang teguh pada pokok-pokok masalah, selama kita

menyelidikinya;

d. Mengajukan hipotesis;

9
e. Mengumpulkan data atau informasi;

f. Analisis dan sintesis data;

g. Mengambil keputusan / kesimpulan;

h. Mencoba dan melaksanakan kesimpulan, dan

i. Menilai kembali keseluruhan pemecahan masalah.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka pendidik mampu melakukan


proses pembelajaran dengan baik dan hasilnya sesuai apa yang sudah
dicantumkan dalam rencana pembelajaran.

2.2 Kesulitan Belajar

A. Pengertian Kesulitan Belajar


Menurut The Board of the Association for Children and Adulth with Learning
Disabilities (ACALD) kesulitan belajar disebabkan oleh adanya disfungsi
neurologis.Disfungsi neurologis adalah kondisi dimana adanya gangguan fungsi
neurologis (urat saraf) atau adanya kelainan pada fungsi neurologis. Gangguan
atau kelainan pada neurologis tersebut pada akhirnya menghambat perkembangan,
integrasi dan kemampuan verbal atau nonverbal. Kesulitan belajar dapat berwujud
sebagai suatu kekurangan dalam satu atau lebih bidang akademik, baik dalam
mata pelajaran yang spesifik seperti membaca, menulis, matematika, dan mengeja
atau dalam berbagai keterampilan yang bersifat lebih umum seperti
mendengarkan, berbicara, dan berfikir. Hal ini senada dengan pendapat Rifa
Hidayah bahwa kesulitan belajar adalah kondisi seseorang yang secara praktis dan
neurologis mengalami kesulitan dalam bidang akademik.
Menurut pendapat lain, The National Joint Committee for Learnning
Disabilities (NJCLD) mengemukakan bahwa kesulitan belajar terjadi bersamaan
dengan kondisi lain yang mengganggu. Kondisi yang dimaksudkan disini adalah
gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan sosial dan emosiaonal atau berbagai
pengaruh lingkungan seperti perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat,
faktor-faktor psikogenetik. Jadi kesulitan belajar tidak hanya terjadi pada satu

10
kondisi saja tapi bisa terjadi bersamaan kondisi-kondisi yang lain. Hal ini juga
sependapat dengan Noer Rohmah bahwa “pesera didik yang mengalami kesulitan
belajar adalah pesera didik yang tidak dapat belajar dengan wajar, disebabkan
adanya ancaman, hambatan, ataupun gangguan dalam belajar.
Dalam buku Nini Subini dijelaskan bahwa kesulitan belajar adalah suatu
gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar. Kesulitan belajar
merupakan suatu gangguan yang mempengaruhi proses belajar seseorang menjadi
terganggu, yang mencangkup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau
tulisan. Gangguan tersebut mungkin akan bermacam-macam bentuk misalnya
kesulitan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau
berhitung. Kondisi ini menyebabkan peserta didik mengalami kesulitan dalam
menyerap materi-materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Kesulitan inilah
yang menjadi salah satu penyebab peserta didik menjadi malas dalam belajar.
Selain itu kesulitan belajar akan menghambat kemampuan atau preastasi yang
ingin dicapai peserta didik.
Sedangkan menurut Derek Wood dalam bukunya dijelaskah bahwa kesulitan
belajar mempengaruhi banyak aspek kehidupan, dapat menghinggapi seseorang
dalam kurun waktu yang lama. Kesulitan belajar dialami seseorang dalam kurun
waktu yang lama maupun kurun waktu pendek, tergantung pada jenis kesulitan
yang dialaminya. Karena setiap individu tidak akan sama kesulitan belajar yang
dialaminya meskipun faktor penyebabnya bisa saja sama tapi akan tetap berbeda
satu sama lain. Kesulitan belajar memengaruhi banyak aspek kehidupan seseorang
baik itu disekolah, pekerjaan, rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, atau
bahkan terkadang dalam hubungan persahabatan dan bermain.
Berbeda dengan pendapat Muhibbin Syah, dalam bukunya ia menjelaskan
bahwa kesulitan belajar tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja,
tetapi juga dialami oleh siswa yang berkemampuan tinggi dan berkemampuan
rata-rata (normal).18 Dengan demikian kesulitan belajar dapat terjadi kepada
siswa mana saja bisa siswa yang berkemampuan rendah, rata-rata bahkan
berkemampuan tinggi. Hal itu dapat terjadi oleh berbagai faktor tertentu yang
menghambat tercapainya kinerja akademik.

11
Dari pengertian di atas, dapat di simpulkan bahwa kesulitan belajar adalah
ketidakmampuan peserta didik dalam menyerap materi atau mengikuti proses
pembelajaran. Sehingga peserta didik mengalami hambatan dalam
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Kesulitan belajar terjadi
karena disfungsi neurologis dan juga mungkin terjadi bersamaan dengan kondisi-
kondisi lain yang mengganggu bisa dalam kurun waktu lama maupun kurun
waktu pendek terganggung jenis kesulitannya. Kesulitan belajar juga bisa terjadi
kepada siswa mana saja, baik yang berkemampuan rendah, rata-rata, bahkan yang
berkemampuan tinggi.
Terdapat gejala-gejala yang timbul pada diri peserta didik yang mengalami
kesulitan dalam belajar. Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono dalam
gejala-gejala tersebut meliputi; 1) Menunjukkan prestasi yang rendah atau berada
dibawah rata-rata yang dicapai oleh peserta didik, 2) Hasil belajar atau prestasi
yang diperoleh tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan, 3) Peserta didik
lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar, 4) Peserta didik menunjukkan sikap
kurang wajar dalam proses pembelajarn, 3) Menunjukkan perilaku menyimpang.
Misalnya, suka membolos, tidak mengerjakan tugas-tugas, tidak mau bekerja
sama dengan temannya, terisolasi, dan sebagainya, 4) Emosional. Misalnya
mudah tersinggung, mudah marah, pemurung, rendah diri, dan sebagainya.
Selain itu Burton mengidentifikasikan pesera didik dapat dipandang atau
dapat diduga mengalami kesulitan belajar kalau yang bersangkutan menunjukan
kegagalan (failure) tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya.20
Kegagalan belajar didefinisikan oleh Burton sebagai berikut; 1) Pesera didik
dikatakan gagal apabila dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak
mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan (level of mastery)
minimal dalam pelajaran tertentu, seperti yang telah ditetapkan oleh orang dewasa
atau guru (criterion referenced), 2) Pesera didik dikatakan gagal apabila yang
bersangkutan tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya, 3)
Pesera didik dikatakan gagal kalau yang bersangkutan tidak dapat mewujudkan
tugas-tugas perkembangan, termasuk penyesuaian sosial sesuai dengan pola
organismiknya (his organismic pattern) pada fase perkembangan tertentu, seperti
yang berlaku bagi kelompok sosial dan usia yang bersangkutan, 4) Peserta didik

12
dikatakan gagal kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai tingkat
penguasaan (level of mastery) yang diperlukan sebagai prasyarat (prerequisite)
bagi kelanjutan (continuity) pada tingkat pelajaran berikutnya.
Dari keempat definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa seorang siswa
diduga mengalami kesulitan belajar kalau yang bersangkutan tidak berhasil
mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu (berdasarkan ukuran kriteria
keberhasilan seperti yang dinyatakan dalam TIK atau ukuran tingkat kapasitas
atau kemampuan dalam program pelajaran time allowed dan atau tingkat
perkembangannya).
Oleh karena itulah anak yang mengalami kesulitan belajar, akan sukar dalam
menyerap materi-materi pelajaran yang disampaikan oleh guru sehingga ia akan
malas dalam belajar. Selain itu anak tidak dapat menguasai materi, bahkan
menghindari pelajaran, mengabaikan tugas-tugas yang diberikan guru, sehingga
terjadi penurunan nilai belajar dan prestasi belajar menjadi rendah.

B. Jenis - Jenis Kesulitan Belajar


Kesulitan belajar ini tidak selalu di sebabkan karena faktor inteligensi yang
rendah (kelainan mental), akan tetapi dapat juga di sebabkan
oleh faktor-faktor non inteligensi. Sehingga, IQ yang tinggi belum tentu menjamin
keberhasilan belajar. Karena itu, dalam rangka memberikan bimbingan yang tepat
kepada setiap peserta didik, maka para pendidik perlu memahami masalah-
masalah yang berhubungan dengan kesulitan belajar.
Dalyono menjelaskan macam-macam kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan
menjadi empat macam:
a. Di lihat dari jenis kesulitan belajar yaitu ada yang berat dan ada yang
sedang.
b. Dilihat dari bidang studi yang dipelajari yaitu ada yang sebagian bidang
studi dan ada yang keseluruhan bidang studi
c. Dilihat dari sifat kesulitanya yaitu ada yang sifatnya permanen atau
menetap dan ada yang sifatnya hanya sementara
d. Dilihat dari segi faktor penyebabnya yaitu ada yang karena faktor
inteligensi dan ada yang karena faktor non intelingensi.

13
Menurut Derek Wood kesulitan belajar dapat di bagi menjadi tiga kategori
besar yaitu; kesulitan dalam berbicara dan bahasa, gangguan akademik, dan
kesulitan lainnya. Berikut ini penjelasan mengenai jenis-jenis kesulitan belajar,
adalah sebagai berikut; 1) Kesulitan dalam berbicara dan bahasa, ciri-ciri dari
spesifik dari kesulitan belajar dalam berbicara dan berbahasa seperti
keterlambatan dalam hal pengucapan bunyi bahasa, keterlambatan dalam hal
mengekpresikan pikiran atau gagasan melalui bahasa yang baik dan benar,
keterlambatan dalam hal pemahaman bahasa, 2) Gangguan akademik, seseorang
dapat di diagnosis mengalami gangguan ini, bila mengalami keterlambatan dalam
hal membaca, keterlambatan dalam hal menulis, keterlambatan dalam hal
berhitung, dan 3) Kesulitan lainya, yang mencangkup kesulitan dalam
mengoordinasi gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum di
kategori di atas, yaitu; kesulitan dalam memusatkan perhatian, lupa dalam
belajar(forgetting), peristiwa jenuh dalam belajar.
Sedangkan menurut Mulyono secara garis besar kesulitan belajar
diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu kesulitan belajar yang berhubungan
dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan kesulitan belajar
akademik (academic learning disabilities).23 Kesulitan belajar yang berhubungan
dengan perkembangan mencangkup gangguan motoric dan persepsi, kesulitan
belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku
sosial. Sedangkan kesulitan belajar akademik menunjukan pada adanya
kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas
yang diharapkan. Kegagalan tersebut mencangkup penguasaan ketrampilan dalam
membaca, menulis, dan berhutung.
Demikian jenis-jenis kesulitan belajar menurut beberapa pendapat diatas. Ada
perbedaan pendapat menurut masing-masing ahli, ini membuktikan bahwa
membuat klasifikasi jenis kesulitan belajar tidaklah mudah karena kesulitan
belajar merupakan kelompok kesulitan yang heterogen. Kesulitan belajar memiliki
banyak tipe yang masing-masing memerlukan diagnosis dan remediasi yang
berbeda. Meskipun begitu pengklasifikasian jenis kesulitan belajar memang perlu
dilakukan karena bermanfaat untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat.

14
Berdasarkan berbagai pendapat dari para ahli terkait pengelompokan jenis
kesulitan belajar, pada penelitian ini peneliti sependapat dengan Derek Wood
bahwa jenis kesulitan belajar dikelompokan menjadi tiga yaitu kesulitan dalam
berbicara dan bahasa, gangguan akademik, dan kesulitan lainnya. Kesulitan
lainnya meliputi; kesulitan dalam memusatkan perhatian, lupa dalam belajar, dan
peristiwa jenuh dalam belajar.

C. Faktor-faktor Penyebab Kesulitan Belajar


Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari
menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar
juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) peserta
didik, seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman,
berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering keluar dari sekolah. “Guru
menduga bahwa kesulitan pembelajaran siswa mungkin berasal dari
penyimpangan fisik, emosional, atau mental.” Tapi sebaiknya guru berkonsultasi
dengan spesialis atau guru yang dilatih khusus seperti guru BK (bimbingan
konseling) atau psikolog untuk mendiagnosa masalah yang dihadapi siswa, yang
akan meluas pada keputusan detail mengenai solusi pembelajaran terkait metode
yang lebih cocok digunakan.
Secara garis besar, menurut pendapat Dalyono faktor-faktor penyebab
kesulitan belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan yaitu faktor internal
dan eksternal. Berikut penjelasan terkait faktor-faktor penyebab kesulitan belajar
menurut Dalyono:
1) Faktor intern
Yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa
sendiri. Faktor intern peserta didik ini meliputi gangguan atau kekurangan
kemampuan psiko-fisik peserta didik, yakni:
a) Faktor Biologis
Faktor Biologis ialah faktor yang berhubungan dengan jasmani peserta didik.26
Faktor ini misalnya:
(1) Kesehatan

15
Kesehatan adalah faktor penting di dalam belajar. Karena keadaan
peserta didik akan sangat berpengaruh terhadap efektifitas belajar, baik
keadaan atau kebugaran jasmani. Dengan demikian keadaan jasmani peserta
didik yang tidak memungkinkan untuk menerima pelajaran yang disebabkan
karena sakit atau kurang sehat akan menghambat dalam belajar, karena
orang yang sakit akan mengalami kelemahan fisiknya. Demikian halnya
peserta didik yang kurang sehat akan mengalami kesulitan belajar karena ia
mudah capek, mengantuk, daya konsentrasi hilang dan kurang semangat.
(2) Cacat Badan
Dapat juga menghambat belajar. Termasuk cacat badan misalnya:
setengah buta, setengah tuli, gangguan bicara, dan lain-lainnya. Siswa yang
kurang pendengarannya atau setengah tuli meskipun ditolong dengan alat-
alat khusus, maka tetap saja akan berbeda hasilnya dibanding denagn anak-
anak yang normal.
Dengan demikian, seseorang yang belajar selain membutuhkan kondisi jasmani
yang sehat juga sangat membutuhkan keadaan indera yang normal. Karena
keadaan keduanya ini sangat berpengaruh dalam proses belajarnya.
b) Faktor Psikologis
Faktor psikologis adalah faktor yang berhubungan dengan rohaniah. Termasuk
dalam faktor ini ialah: Intelligensi, Bakat, Minat, Motivasi, Kesehatan Mental
dan Emosi.
(1) Kurangnya kemampuan dasar intelegensi siswa Intelegensi
menunjukkan kepada bagaimana cara individu bertingkah laku, cara
individu bertindak yaitu cepat atau lambatnya individu di dalam
memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, peserta didik didik
yang mempunyai tingkat kecerdasan diatas rata-rata akan lebih mudah
berhasil dalam kegiatan belajar, dan sebaliknya jika peserta memiliki tingkat
kecerdasan di bawah rata-rata maka ia akan banyak mengalami kesulitan
dalam belajarnya, karena ia akan selalu tertinggal dengan teman-temannya.
(2) Tidak ada bakat dalam belajar
Bakat adalah potensi/kecakapan dasar yang dibawa sejak lahir. Setiap
individu mempunyai bakat yang berbeda-beda. Seseorang yang berbakat

16
musik mungkin dibanding bidang lain ketinggalan. Seorang yang berbakat
di bidang tekhnik tetapi dibidang olah raga lemah.29 Jadi apabila seorang
peserta didik harus mempelajari bahan yang lain dari bakatnya maka peserta
didik tersebut akan mengalami kesulitan belajar, misalnya: cepat bosan,
mudah putus asa, tidak senang dan lain-lain. Begitu juga sebaliknya jika
seorang peserta didik mempelajari suatu bahan yang disenangi dan sesuai
dengan bakatnya maka peserta didik tersebut akan mengalami kemudahan
dalam belajar.
(3) Kurangnya minat terhadap situasi belajar
Belajar dengan minat akan lebih baik daripada belajar tanpa minat, minat
timbul apabila individu tertarik kepada sesuatu karena sesuai dengan
kebutuhannya atau merasakan bahwa sesuatu yang akan dipelajari dirasa
bermakna bagi dirinya.30 Adanya minat yang dianggap menentukan sukses
tidaknya peserta didik dalam proses belajar mengajar, karena dengan adanya
minat peserta didik dapat meningkatkan semangat dan membawa rasa
senang peserta didik pada suatu mata pelajaran. Dan sebaliknya dengan
kurangnya minat peserta didik dalam pelajaran akan menyebabkan
kurangnya perhatian dan usaha belajar, sehingga menghambat proses belajar
atau peserta didik akan mengalami kesulitan dalam belajarnya.
(4) Kurangnya motivasi dalam belajar
Motivasi merupakan pemberian dorongan atau semangat sehingga dapat
menimbulkan minat, perhatian dan kemauan peserta didik dalam belajar.
Menurut Woodworth dan Marques, motivasi adalah suatu tujuan jiwa yang
mendorong individu untuk aktifitas-aktifitas tertentu dan untuk tujuan-
tujuan tertentu terhadap situasi disekitarnya. Maka peserta didik yang
memiliki motivasi belajar yang tingi, akan mempermudahnya dalam proses
belajar mengajar. Sebaliknya peserta didik yang tanpa adanya motivasi
dalam belajar, maka akan banyak mengalami kesulitan dalam belajarnya
karena motivasi merupakan faktor pendorong dalam belajar.
(5) Faktor kesehatan mental dan emosi
Kesehatan mental dan ketenangan emosi akan menimbulkan hasil belajar
yang baik.32 Dengan demikian, adanya mental dan emosi yang kurang sehat

17
akan mempengaruhi hasil belajar peserta didik, karena hubungan antara
kesehatan mental belajar adalah timbal balik, yang mana kesehatan mental
dan emosi akan menimbulkan hasil belajar yang baik.
2) Faktor ekstern siswa
Yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri peserta didik.
Faktor ekstern siswa ini meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar
yang tidak mendukung aktivitas belajar peserta didik. Faktor lingkungan ini
meliputi:
a) Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama, tetapi dapat juga
sebagai faktor penyebab kesulitan belajar.
Adapun yang termasuk faktor ini antara lain:
(1) Faktor orang tua
Faktor orang tua merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap
kemajuan belajar anak. Orang tua yang dapat mendidik anak-anaknya
dengan cara memberikan pendidikan yang baik tentuakan sukses dalam
belajarnya. Sebaliknya orang tua yang tidak mengindahkan pendidikan
anak-anaknya, acuh tak acuh, bahkan tidak memperhatikan sama sekali
tentu tidak akan berhasil dalam belajarnya. Karena dalam belajar anak selalu
memerlukan bimbingan dari orang tua, agar sikap dewasa dan tanggung
jawab belajar tumbuh pada diri anak.
(2) Suasana rumah atau keluarga
Suasana rumah yang sangat gaduh tidak memungkinkan anak dapat belajar
dengan baik, karena akan selalu terganggu konsentrasinya, sehingga sukar
untuk belajar. Demikian suasana rumah yang selalu tegang, selalu cekcok
diantara anggota keluarga akan melahirkan anak-anak yang tidak sehat
mentalnya.Ketika suasana rumah menjadi tidak nyaman untuk tempat
belajar maka anak akan cenderung bermanin atau keluar rumah karena
merasa tidak betah, jadi sebisa mungkin di rumah itu diciptakan suasana
yang baik dan nyaman untuk anak belajar.
b) Lingkungan masyarakat

18
Termasuk lingkungan masyarakat yang dapat menghambat kemajuan belajar
peserta didik adalah:
(1) Mass-media, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan sebagainya.
Semua ini akan menjadi sebab kesulitan belajar apabila seorang anak terlalu
banyak mempergunakan waktunya untuk hal tersebut sehingga lupa akan
tugas belajarnya
(2) Teman bergaul, bila seorang anak salah dalam memilih teman bergaul, maka
ia akan malas belajar. Kewajiban orang tua mengawasi mereka dan
mencegahnya agar mengurangi pergaulan mereka.
(3) Lingkungan tetangga yang kurang baik, misalnya penjudi, peminum,
pengangguran, akan berpengaruh terhadap proses belajarnya. Karena
lingkungannya tidak ada yang memberikan motivasi/dukungan pada anak
untuk belajar.
c) Lingkungan sekolah
(1) Guru dapat menjadi kesulitan belajar bila:
(a) Cara penyajian belajar yang kurang baik. Dalam hal ini misalnya karena
guru kurang persiapan atau kurang menguasai buku-buku pelajaran.
Sehingga dalam menerangkannya pada anak kurang baik dan sukar
dimengerti oleh anak. Begitu pula metode dan sikap guru yang kurang baik
dapat membosankan anak.
(b) Hubungan guru dan peserta didik yang kurang baik. Biasanya bila anak
itu menyukai gurunya, akan suka pula pada pelajaran yang diberikannya.
Sebaliknya bila anak membenci kepada gurunya atau ada hubungan yang
kurang baik, maka dia akan sukar pula menerima pelajaran yang
diberikannya. Anak tidak dapat maju sebab segan mempelajari pelajaran
yang diberikan oleh guru tersebut.
(2) Peserta didik
Hubungan antara peserta didik dengan anak kurang menyenangkan. Hal ini terjadi
pada anak yang diasingkan/dibenci oleh teman-temannya. Anak yang dibenci ini
atau mengalami tekanan batin yang menghambat kemauan belajar. Ia sering tidak
masuk sekolah dan kadang-kadang mengalami perlakuan-perlakuan yang kurang
menyenangkan.

19
(3) Faktor alat
Alat pelajaran yang kurang lengkap membuat penyajian pelajaran tidak baik,
terutama pelajaran yang bersifat praktikum, karena tiadanya alat-alat itu guru
cenderung menggunakan metode ceramah yang menimbulkan kepasifan bagi
peserta didik, sehingga tidak mustahil bila timbul kesulitan belajar pada siswa.
Maka seharusnya alat penunjang praktikum itu ada pada mata pelajaran yang
membutuhkan alat, untuk menghindari peserta didik menjadi kesulitan belajar.
Menurut J. Tombokan Runtukahu, dalam bukunya dijelaskan bahwa faktor
penyebab kesulitan belajar meliputi; keturunan, otak tidak berfungsi, lingkungan
dan malnutrisi (kurang gizi), dan ketidak seimbangan biokimia. Faktor keturunan
ternyata dapat menyebabkan kesulitan belajar meskipun tidak semua pakar
berpendapat demikian, sama halnya otak yang tidak bersfungsi juga dapat
menyebabkan kesulitan belajar karena terdapat kelainanpada otak sehingga tidak
berfungsi dengan baik. Tekanan lingkungan dan malnutrisi dapat menyebabkan
kesulitan belajar karena lingkungan dan kebutuhan gizi sangat mempengaruhi
belajar dan perkembangan anak. Ketidak seimbangan biokimia lebih dikhususkan
pada darah pada anak yang tidak dapat mempertahankan jumlah vitamin dalam
tubuhnya sehingga mempengaruhi belajar anak.
Sedangkan menurut Muhibbin Syah, dalam bukunya dijelaskan bahwa faktor-
faktor penyebab kesulitan belajar timbul terdiri atas dua macam yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi gangguan atau kekurangmampuan
psikofisik siswa, yakni yang bersifat kognitif (ranah cipta) antara lain seperti
rendahnya kapasitas intelektual/intelegensi, yang bersifat afektif (ranah rasa)
antara lain seperti labilnya emosi dan sikap, yang bersikap psikomotor (ranah
karsa) antara lain seperti terganggunya alat-alat indera penglihat dan pendengar
(mata dan telinga). Faktor eksternal meliputi semua situasi dan kondisi
lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktifitas belajar siswa, antara lain
lingkungan keluarga, lingkungan perkampungan/masyarakat, dan lingkungan
sekolah.
Menurut pendapat lain, Mulyono Abdurrahman dalam bukunya menjelaskan
bahwa faktor penyebab kesulitan belajar dipengaruhi oleh duafaktor meliputi
internal dan eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar (learning disabilities)

20
adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis.
Sedangkan penyebab utama problem belajar (learning problem) adalah faktor
eksternal, yang meliputi strategi pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan
belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan
penguatan (reinforcement) yang tidak tepat.
Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi
juga dapat menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor
yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis dan pada akhirnya menyebabkan
kesulitan belajar antara lain adalah; 1) faktor genetik, 2) luka pada otak karena
trauma fisik atau karena kekurangan oksigen, 3) biokimia yang hilang (misalnya
biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat), 4) biokimia yang
dapat merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan), 5) pencemaran
lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam), 6) gizi yang tidak memadai, dan
7) pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak
(deprivasi lingkungan).

2.3 Perihal Anak Bermasalah

A. Defenisi Anak Bermasalah


Seorang siswa dikategorikan sebagai anak bermasalah apabila ia
menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari perilaku yang lazim dilakukan
oleh anak-anak pada umumnya.
Penyimpangan perilaku ada yang sederhana ada juga yang ekstrim.
Penyimpangan perilaku yang sederhana semisal : mengantuk, suka menyendiri,
kadang terlambat datang, sedangkan ekstrim ialah semisal : sering membolos,
memeras teman-temannya, ataupun tidak sopan kepada orang lain juga kepada
gurunya.

B. Sebab-Sebab Bermasalah
Banyak orang yang berpandangan bahwa apa yang ada adalah merupakan
suatu aksi yang akan menimbulkan reaksi. Bahwa apa yang terjadi pada para

21
siswa adalah semata-mata perilaku mereka sendiri yanglepas dari latar belakang
yang menyebabkannya.
Seorang anak atau siswa yang mengantuk di dalam kelas misalnya, hal ini
sering diterima sebagai kemalasan murid yang terpuji. Padahal pada hakikatnya
tidaklah selamanya demikian. Seorang murid terpaksa mengantuk dalam kelas
bisa jadi kareka kelelahan dari semalam bekerja membantu orang tuanya.
Secara garis besar pangkal soal masalah-masalah siswa dapat dikelompokkan
menjadi dua : Internal dan Eksternal
a. Internal
Sebab-sebab internal ialah sebab-sebab yang berpangkal dari kondisi si murid
itu sendiri. Hal ini bisa bermula dari adanya kelainan fisik maupun kelainan
psikis.
a) Kelainan fisik
Anak-anak yang menderita kelainan fisik akan merasa tertolak untuk hadir
ditengah-tengah temannya yang normal. Sebagai contoh si Udin yang terlalu
gemuk akan jadi bahan ejekan teman-temannya. Hal ini membuatnya merasa
tak aman untuk hadir ditengah-tengah temannya.
Kelainan fisik amatlah banyak bentuknya. Diantaranya ialah buta, bermata
satu, bisu tuli, kaki kecil satu atau bahkan lumpuh total.
Agar mereka tidak tersisihkan diantara teman-temannya yang normal, maka
demi masa depannya negara menyelenggarakan pendidikan yang khusus buat
mereka.
b) Kelainan psikis
Yang dimaksud dengan kelainan psikis ialah kelainan yang terjadi pada
kemampuan brpikir (kecerdasan) seorang anak. Kelainan ini baik secara
inferior (lemah) maupun suferior(kuat).
Tak dapat dipungkiri bahwa anak-anak memang memiliki taraf kecerdasan
(IQ) yang berbeda-beda. Kelainan inferior dalam kecerdasan meliputi : ideot,
embisil, debil, border line, dan bodoh. Anak-anak seperti ini akan sangat
tersiksa bila dikumpulkan dalam suatu kelas dengan anak-anak yang superior.
Begitu juga sebaliknya, orang genius akan merasa tertekan apabila disatu
ruangkan dengan anak-anak yang inferior.

22
Alternatif terbaik untuk mereka adalah dengan mengumpulkan mereka pada
satu kelas tersendiri bahkan satu sekolah khusus yang mendidik mereka.[3]
Kelainan psikis lainnya :
a) Anak-anak yang tegang
Sering kita melihat anak-anak yang tingkah lakunya mengimplikasikan
penyaluran ketegangan jiwanya atau usaha pengendoran dari ketegangan.
Gejala-gejala yang sering tampak biasanya berwujud tingkah laku tidak tenang,
gerak-gerik yang tidak lancar, pandangan mata yang menunjukkan ketidak
bahagiaan (kesedihan), menggigit-gigit pensil, menghisap ibu jari dan
menggigit kuku.
Guru atau orang tua perlu meluangkan waktunya khusus untuk
mengetahui mengapa anak tersebut melakukan yang demikian. Apakah ada
kemungkinan anak itu mempunyai masalah yang terpecahkan ? Apakah ada
kekecewaan yang dialami anak, baik ditinjau dari segi pemenuhan kebutuhan
jasmaniah atau kejiwaan. Bahaya atau sebabnya masih baru diketemukan, dan
untuk mendorongnya maka masalahnya perlu dihadapi oleh anak maupun
pendidik. Agar dapat dicari jalan keluar sebaik-baiknya.
b) Anak yang agresif
Anak yang selalu mengganggu di kelas tentu mempunyai masalah
sendiri. Sebelum kita dapat mengadakan langkah-langkah pertolongan terhadap
anak tersebut, sebaiknya diketahui sebab-sebab mengapa anak itu bersifat
agresif ? Sifat agresif sering disebabkan oleh : perlakuan orang tua, kompetisi,
iri antara kakak beradik, kondisi di dalam rumah atau sekolah. Dan sebagai
faktor yang lebih dasar ialah adanya kebutuhan pokok anak, yaitu kebutuhan
akan kasih sayang, penghargaan, pengakuan yang tidak terpenuhi dengan
semestinya.
Tindakan menolong perlu dilatar belakangi pemahaman tentang
keadaan dan kebutuhan kejiwaan anak, dilaksanakan dengan hati-hati, dengan
sikap dan tindakan yang dipikirkan secara masak dengan mempertimbangkan
persoalan dan tujuan yang ingin dicapai maupun akibat dari pertolongan ini.
c) Anak yang pemalu dan menyendiri
Sebab-sebab anak berperangai demikian ialah :

23
- Sebab-sebab jasmaniah : kekurangan daya tahan, penglihatan atau
pendengaran kurang baik.
- Perwujudan bentuk tubuh atau roman muka kurang menarik, pakaian tidak
dapat menyamai atau mengikuti teman lain atau mode, dan lain-lain.
- Kemampuan dan keterampilan intelegensi (kecerdasan) ketinggalan atau tidak
dapat menyamai teman-teman sekelasnya.
- Kegagalan yang terus-menerus, tidak disertai dengan keberhasilan.
- Tidak memiliki keterampilan-keterampilan tertentu yang dapat menarik
penghargaan teman-teman sebayanya.
- Guru yang keras dan meminta atau menuntut terlalu banyak.
- Mempunyai kakak laki-laki atau perempuan yang diperlakukan berbeda
dengan kita.
Sebab-sebab eksternal ialah sebab-sebab yang hadir dari luar si
murid, terdiri dari :
a) Keluarga
Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama kali oleh anak.
Di dalam keluarga anak mulai tumbuh sejak lahir. Pada waktu kecil inilah
adanya apa yang disebut Media Montessori sebagai masa peka, sedangkan Dr.
Zakiah Darodjat memberikan istilah adanya persepsi dasar.
Orang tua yang otoriter akan memperlakukan anak-anaknya secara
otoriter. Perlakuan ini akan berkesan dalam jiwa anak sebagai persepsi dasar.
Sebagai kelanjutannya ialah bahwa anak tersebut akan tumbuh dan
berkembang sebagai anak yang otoriter dan keras kepala.
b) Pergaulan
Lingkungan kedua yang dikenal oleh anak adalah lingkungan
masyarakat atau lingkungan pergaulan anak-anak yang telah didik baik oleh
orang tuanya.
Seorang anak yang dididik untuk jujur akan merasa jengkel jika
ternyata teman-temannya suka berbohong. Dia dihadapkan pada dua pilihan,
jujur sesuai dengan dididikan orang tua tapi tak diterima oleh kelompok atau
ikut berbohong agar diterima oleh kelompok meskipun bertentangan dengan
batinnya.

24
Lingkungan pergaulan juga mempunyai andil yang sangat berarti bagi
perkembangan psikis anak. Jika lingkungan baik anak cenderung menjadi baik.
Jika, lingkungan jelek anakpun ada kecenderungan ikut jelek.
c) Pengalaman hidup
Pepatah mengatakan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Pepatah
ini mengajarkan bahwa, pengalaman-pengalaman masa lalu tak akan pernah
hilang. Semuanya tersimpan rapi dalam ruang ingatan.
Anak-anak yang bodoh sering tak diperhatikan oleh gurunya. Suatu saat
dia membuat keonaran dan ternyata dengan cara itu ia diperhatikan oleh
gurunya. Tetapi, hakikatnya dia juga tak menyukai keonaran itu tapi apa boleh
buat. Karena hanya itulah satu-satunya cara yang ia tempuh untuk menarik
perhatian gurunya.[5]

C. Bentuk-Bentuk Masalah
Bentuk-bentuk masalah yang dihadirkan siswa dapat dibagi menjadi dua
sifat. Regresif dan agresif. Bentuk-bentuk yang bersifat regresif antara lain : suka
menyendiri, pemalu, penakut, mengantuk, tak mau masuk sekolah. Sedangkan
yang bersifat agresif antara lain ialah : berbohong, membuat onar, memeras
temannya, beringas, dan perilaku-perilaku lain yang bisa menarik perhatian orang.
Perilaku yang bersifat regresif biasanya ditunjukkan oleh anak dengan
kepribadian introvert, sedangkan yang bersifat agresif biasanya ditunjukkan oleh
anak-anak dengan kepribadian yang extrovert.

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Tipe belajar yang dimiliki siswa berbeda-beda, ada yang bertipe visual,
auditif dan kombinatif, tipe-tipe belajar yang paling banyak dimiliki siswa adalah
tipe kombinatif (campuran). Pendidik harus mampu memahami tipe-tipe belajar
siswa secara mendalam, sehingga proses pembelajaran berjalan dengan baik dan
hasilnya sesuai dengan apa yang diharapkan. pendidik akan di anggap memiliki
kualifikasi kemampuan mengetahui tipe-tipe belajar dalam proses pembelajaran,
apabila guru mampu menjawab mengapa, apa, dan bagaimana tipe-tipe
pembelajaran itu, memahaminya sehingga dalam melakukan kegiatan proses
pembelajaran tidak menemui hambatan.
Faktor penyebab kesulitan belajar meliputi faktor internal dan eksternal.
Hanya saja menurut Mulyono faktor kesulitan belajar lebih ditekankan pada faktor
disfungsi yang berkaitan dengan urat saraf (neurologis), sehingga mengalami
gangguan belajar yang ditandai dengan kesulitan yang nyata dalam tugas-tugas
akademik. Tapi hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa kesulitan belajar
bisa disebabkan oleh faktor lain, karena setiap anak belum tentu mengalami faktor
kesulitan belajar yang sama meskipun kesulitan belajar yang mereka alami sama.
Berdasarkan berbagai pendapat dari paraahli terkait faktor penyebab kesulitan
belajar, pada penelitian ini peneliti sependapat dengan Dalyono bahwa faktor
penyebab kesulitan belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan yaitu faktor
internal/faktor dari dalam diri manusia (faktor biologis dan psikis) dan
eksternal/faktor dari luar manusia (faktor lingkungan sosial dan nonsosial).
Bahwa siswa dikategorikan sebagai anak yang bermasalah apabila ia
menunjukkan gejala-gejala penyimpangan dari perilaku yang lazim dilakukan
oleh anak-anak pada umumnya. Secara garis besar sebab-sebab masalah siswa
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : Internal (Sebab internal bermula dari
adanya kelainan fisik maupun psikis) dan Sebab-sebab eksternal ini bermula dari
keluarga, pergaulan, pengalaman hidup. Bentuk-bentuk masalah yang dihadirkan
siswa dapat dibagi menjadi dua sifat yakni Regresif dan Agresif.

26
3.2 Saran

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah


ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan
sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.

27
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin Rasyad. Materi Pokok Media Pengajaran., Cet II; (Jakarta: Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, 1993)
Abdurrahan, H. Pengelolaan pengajaran (Ujung Pandang: Bintang Selatan, 1994)
Arifin, Zainal. Evaluasi instruksional, Prinsip-prinsip tehnik Prosedur, Cet I;
(Jakarta: CV Rajawali Karya, 1998)
Abimanyu, Soli. Dianostik Kesulitan Belajar (Ujung Pandang: FP. IKIP, 1980)
Ali, Mahmud. Guru dalam proses belajar mengajar (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 1996)
Ahmadi, Abu dkk. Psikologi Belajar, Cet V; (Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada,2005)
Departemen Pendidikan Agama Islam, Permenag, (Jakarta, 2008),.
https://andasayabisa.blogspot.com/2012/06/perihal-anak-bermasalah-
perkembangan.html diakses November 21 pukul 00 : 18

Anda mungkin juga menyukai