Anda di halaman 1dari 16

MODUL 10

POTRET PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

KEGIATAN BELAJAR 1
Potret Pembelajaran di Sekolah Dasar
Dalam Kegiatan Belajar 1 ini Anda akan membahas bagaimana potret pembelajaran di Sekolah
Dasar (SD). Tujuan yang harus dicapai melalui kegiatan belajar ini adalah Anda mampu
menjelaskan berbagai persoalan yang selama ini ditemukan di SD, khususnya yang berkenaan
dengan pembelajaran di SD. Karena persoalan pembelajaran saling mengait dengan unsur yang
lain, dalam KB ini penulis menjelaskannya sebagai sebuah sistem yang juga berkaitan dengan
Sarana-Prasarana dan Keterjangkauan Wilayah serta Ketidakmerataan Jumlah Guru. Sebagai
gambaran awal, perhatikan Gambar 1 dan Gambar 2 berikut ini.

Anda berkomentar terhadap kedua gambar tersebut? Ya, Anda boleh


menafsirkan gambar yang ada dari berbagai perspektif dan sudut pandang.
Dalam Gambar 10.1, terlihat sebuah gedung sekolah yang kondisinya sangat
memprihatinkan. Kondisinya tidak hanya rusak, melainkan juga hampir
roboh sehingga tidak layak lagi digunakan sebagai sarana belajar-mengajar.
Gedung tersebut menunjukkan sebuah situasi yang sangat menyedihkan.
Dengan melihat kondisi yang demikian, bagaimana mungkin siswa tertarik
untuk belajar, sementara gambaran yang ada justru tampak seperti rumah
"hantu". Nah, bagaimana dengan Gambar 10.2? Ya, Gambar 10.2 terlihat
lebih layak dibanding dengan Gambar 10.1, tetapi sedikit lebih baik. Selain
para murid berpakaian seragam, meskipun tanpa alas kaki, tetapi terlihat ada
proses pembelajaran yang dipimpin seorang guru dengan jumlah siswa yang
cukup banyak jika dibandingkan dengan jumlah meja dan kursi yang ada.
Dalam gambar tersebut tampak juga sebuah ruang kelas yang beralas tanah
merah dengan dinding papan dan atap seadanya, tanpa ada gambar atau
media pembelajaran lain.
Dengan melihat dua gambar tersebut, apakah Anda merasa bahwa
gambar seperti itulah yang sehari-hari mengiringi tugas sebagai guru? Atau,
Anda merasa beruntung karena sarana dan prasarana yang ada di tempat
Anda jauh lebih baik. Ya, penulis mengharapkan Anda merasa bersyukur jika
tempat di mana Anda mengajar lebih baik. Yang jelas, kondisi seperti yang
ada dalam gambar hanyalah salah satu di antara banyak persoalan yang
membelit dunia pendidikan di Indonesia dan salah satu di antara banyak
persoalan tersebut dibahas dalam KB 1 Potret Pembelajaran di SD ini. Tentu
saja, pembelajaran yang dimaksud berkaitan erat dengan dua hal lainnya,
yakni sarana-prasarana dan sumber daya manusia yang ada. Oleh karena itu,
pembahasan KB ini diawali dengan gambaran tentang persoalan yang
berkaitan dengan sarana-prasarana dan keterjangkauan wilayah, metode
pembelajaran, serta ketidakmerataan jumlah guru.

A. SARANA-PRASARANA DAN KETERJANGKAUAN WILAYAH


Seperti yang telah kita ketahui bersama, selain terbatasnya tenaga guru,
kendala proses belajar-mengajar yang selama ini ditemukan adalah kurang
memadainya sarana dan prasarana penunjang yang ada. Bagi yang kebetulan
mengajar di daerah yang secara geografis terpencil, mungkin saat ini Anda
merasakan bahwa apa yang disampaikan merupakan kenyataan yang setiap
hari Anda temukan. Bagi yang kebetulan mengajar di daerah yang telah
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang, contoh berikut layak
untuk menjadi bahan renungan bagaimana proses pembelajaran yang
semestinya dilakukan. Untuk memperjelas pemahaman Anda, perhatikan
contoh-contoh berikut ini
Contoh 1.
Siswa kelas satu SD Negeri Inpres Bomomani mengikuti pelajaran
sambil duduk di lantai karena ruang kelas di desa pedalaman Distrik
Mapia, Kabupaten Nabire, Papua, itu tidak memiliki kursi. Ruangan juga
tidak dilengkapi dengan meja. Selain kekurangan meja-kursi,
perpustakaan di sekolah itu juga tidak mempunyai koleksi buku. Sekolah
juga tidak memiliki buku pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan
Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, serta kekurangan ruang
belajar dan guru.
Sumber://pendidikanpapua.blogspot.com/2007/09/buramnya-
pendidikan-di-kabupaten-nabire.html-110k- (diakses 14 November 2007)

Contoh 2.
Keadaan bersahaja dirasakan ratusan siswa SD 03 Lubuk Malintang,
Kecamatan Padang Panjang Timur, Kota Padang Panjang, Sumatera
Barat, yang masih bersekolah di tenda darurat. Akibat gempa bumi, awal
Maret lalu, banyak bagian gedung sekolah yang rusak. Renovasi gedung
SD 03 belum tuntas. Sebagian siswa serta guru juga masih takut untuk
beraktivitas di dalam kelas sehingga kegiatan mereka lakukan di dalam
tenda, meski itu membuat sejumlah guru dan siswa mengeluh sakit.
Siti Aisyah, siswa kelas lima, mengatakan bahwa jika hujan, halaman
sekolah banjir. Siswa perlu mengangkat kaki saat belajar. Air juga
menetes sehingga siswa-siswa dikumpulkan di tengah tenda.
Sumber: Kompas, Selasa, 14 Agustus 2007

Contoh 3.
Persoalan berbeda terjadi di kota Timika. Kepala SD Inpres Koprapoka
I, Marcel Orowipuku, mengeluhkan keterbatasan sekolah yang membuat
jumlah murid dalam satu rombongan belajar 60-70 orang. Akibatnya,
satu bangku belajar digunakan tiga murid sekaligus.
Di SD itu beberapa kelas yang kelebihan murid juga harus menata
sebagian bangku belajar, membelakangi dinding kiri-kanan kelas,
sehingga bangku tidak menghadap ke arah papan tulis.
Sumber://pendidikanpapua.blogspot.com/2007/08/lulusan-sd-
pedataman-buta-huruf.html (diakses 14 November 2007)
Contoh 4.
Tegizita adalah sebuah desa berpenduduk 2.000 jiwa di pedalaman Nias
(Sumatera Utara). Jaraknya dari Gunung Sitoli hanya 59 km, tetapi
dibutuhkan lima jam dengan kendaraan untuk mencapainya. Desa yang
diapit Sungai Oyo dan Siwalawa (masing-masing lebarnya 50-80 meter
dan tanpa jembatan) mempunyai tiga Sekolah Dasar dengan 700 murid,
sedangkan satu SMP, dan satu SMA masih dalam persiapan dan baru
ibuka tahun ini. Selain dari Togizita, siswa datang dari desa-desa kecil
seberang kedua sungai yang mengapit Togizita.
Meski jumlah murid tercatat hanya sekitar 700 orang, yang hadir di
sekolah setiap hari bisa hanya setengahnya. Penyebabnya bervari
hujan, hari mbale (pekan), atau pesta kawin. Jika hujan turun dan itu bisa
seminggu penduduk tidak bisa mengambil havea (getah karet) dengan
konsekuensi uang tidak ada sehingga anak-anak tak bisa pergi ke
sekolah. Di musim hujan, Sungai Oyo dan Siwalawa akan meluap dua
kali seminggu dan semua anak sekolah yang berasal dari luar Togizita
tidak bisa ke sekolah karena tak ada jembatan.
Kebanyakan anak-anak Sekolah Dasar (SD) mengalami drop-out karena
orang tua lebih suka anak-anak mereka bekerja mengumpulkan getah
karet. Akses ke sekolah menengah pertama amat kecil, terutama bagi
perempuan karena tuntutan adat: anak perempuan yang sudah remaja
(usia masuk SD rata-rata 8-10 tahun!) dilarang berjalan bersama dengan
anak lelaki sebaya sepulang sekolah karena harus melewati hutan dan
hari sudah gelap. Sebagian anak-anak yang tak bisa sekolah akan
merantau ke daratan Sumatera, seperti Sibolga, Padang, dan Pekanbaru,
dan menjadi "pekerja anak" di perkebunan kelapa sawit atau pencuci
piring di warung (Pajak Sosial Pendidikan, Mengapa Tidak? Penulis
Frietz R. Tambunan, Kompas, 5 Agustus 2004)
Berdasarkan empat contoh tersebut, tentu Anda dapat berpendapat
tentang apa dan bagaimana yang menjadi latar belakang munculnya
Contoh 1, Contoh 2, Contoh 3, dan Contoh 4. Anda dapat membedakannya?
Ya, Anda benar. Dalam contoh 1, ada dua indikator yang patut disebut
menjadi sumber terbatasnya sarana dan prasarana penunjang. Pertama, letak
geografis SD Negeri Inpres Bomomani yang memang jauh sehingga untuk
menjangkaunya diperlukan waktu dan alat transportasi yang memadai.
Akibatnya, apa yang telah ada tidak mampu untuk dirawat dan dipelihara
karena kurangnya tenaga pendidik dan kependidikan yang ada. Kedua, bolehjadi, penyebab
memprihatinkannya kondisi SD Negeri Inpres Bomomani
adalah karena kekurangsinkronan informasi antarinstansi yang terkait.
'Akibatnya, kerusakan yang terjadi dapat saja dimaknai sebagai kekurang-
pedulian pihak-pihak yang semestinya tidak boleh terjadi.
Dalam Contoh 2, terbatasnya sarana yang ada bukan diakibatkan oleh
kendala letak geografis atau perhatian instansi terkait, melainkan oleh
peristiwa bencana alam. Tentu saja, kedua situasi yang demikian. baik
Contoh 1 dan Contoh 2, akan mengorbankan semangat dan minat para murid
karena situasi belajar yang diidamkan menjadi tidak nyaman. Padahal,
sebagai suatu sistem, terbatasnya sarana dan prasarana tentu akan berdampak
pada aktivitas pembelajaran lainnya, misalnya guru tidak dapat mengelola
kelas dengan baik karena anak tidak nyaman dalam belajar.
Dalam Contoh 3, sarana yang ada ternyata tidak mampu menampung
banyaknya jumlah siswa. Akibatnya, suasana kelas menjadi tidak efektif
untuk belajar karena para siswa harus duduk berdesak-desakan. Kondisi yang
demikian menjadi salah satu penyebab guru tidak mampu mengelola kelas
dengan baik. Sementara itu, dalam Contoh 4, indikator yang ada boleh
dikatakan adalah kurangnya motivasi usia produktif untuk bersekolah karena
kombinasi keterbatasan sarana, dukungan keluarga, dan keramahan alam.
Dalam kasus seperti yang ada dalam Contoh 4 tersebut, upaya yang harus
dilakukan adalah penyelesaian secara komprehensif dengan menyadarkan
pentingnya pendidikan dengan melibatkan orang tua dan para tokoh
masyarakat. Namun demikian, dalam era teknologi informasi dan komunikasi
seperti sekarang ini, banyak pula bermunculan SD-SD yang tiap kelasnya
telah dilengkapi dengan slide, pendingin ruangan, dan jaringan komputer
yang on-line dengan internet. Bahkan, sarana olahraga, seperti kolam renang
dan gimnasium juga tersedia. Untuk membantu mencari sumber belajar,
perpustakaan tiap kelas juga ada. Tentu saja, SD semacam ini jumlahnya
sangat terbatas dan masih terbatas menjadi konsumsi kalangan atas di kota-
kota besar di Indonesia.
Sebagai contoh, di kawasan selatan Kota Jakarta, tepatnya di daerah
Parung, terdapat sebuah kompleks sekolah modern, mulai SD — SMA yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang sangat memadai. Untuk tingkat
SD, selain jumlah siswa dibatasi maksimal 25 siswa, setiap kelas juga
dilengkapi sarana seperti yang penulis ulas. Untuk mendukung kegiatan
ekstrakurikuler serta olahraga, sekolah pun menyediakan berbagai pilihan
kegiatan sesuai dengan keinginan dan bakat para siswa, mulai dari piano
sampai dengan bela diri, yang pelaksanaan kegiatannya langsung dilakukan
setelah jam pelajaran usai, bukan pada sore hari atau hari tertentu karena
sekolah ini memberlakukan sistem one-day school dan memiliki $ hari efektif
dari Senin - Jumat. Kolam renang yang dimiliki merupakan kolam renang in-
door yang bertaraf internasional. Untuk mendukung lancarnya proses belajar-
mengajar, setiap siswa memperoleh fasilitas layanan antar-jemput dari rumah
ke rumah dengan mobil yang kondisinya sangat laik jalan dan tentu saja
dilengkapi AC. Selain itu, untuk mendukung kegiatan berkesenian atau
kegiatan besar lainnya, sekolah juga memiliki ruang sidang besar.

Dengan situasi yang demikian, siswa merasa sangat nyaman dalam


belajar. Segala fasilitas telah disediakan. Para guru telah dipilih dengan
serangkaian tes yang sangat ketat, termasuk kemampuan bahasa Inggris aki
yang harus dikuasai mengingat bahasa Inggris menjadi pengantar wajib di
kelas. Bahkan, untuk urusan makan siang, sekolah juga menyediakan
katering sehingga para siswa telah belajar menerapkan kebersamaan dalam
bentuk acara makan siang bersama. Yang menjadi pertanyaan adalah: berapa
biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua agar anaknya dapat mengenyam
pendidikan di SD semacam ini? Tentu saja lumayan besar dan belum dapat
dijangkau oleh masyarakat lapisan bawah. Dengan kata lain, memang ada
semacam hukum pasar bahwa untuk memperoleh layanan pendidikan yang
baik, biaya yang harus dikeluarkan tentu sebanding dengan fasilitas yang
diperoleh. Untuk itu, pada masa mendatang. contoh semacam ini hendaknya
dapat memacu Pemerintah untuk dapat memenuhi sarana dan prasarana
pendidikan yang diperlukan bagi lancarnya proses belajar-mengajar,
khususnya di SD dengan lebih baik lagi.

B. METODE PEMBELAJARAN
Dalam hal metode pembelajaran, Anda tentu telah merasakan bahwa
Pemerintah telah berupaya keras meningkatkan profesionalitas guru melalui
berbagai penataran dan pembimbingan peningkatan kemampuan profesional
melalui pelatihan atau seminar. Namun, dalam kenyataannya, kualitas
pembelajaran yang dilakukan ternyata belum mampu menjawab cepatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ironisnya, motivasi dan
semangat untuk berkembang sebagian guru SD di tanah air juga kurang.
Tentang permasalahan ini, perhatikan contoh berikut ini.

Contoh 5.
Mengapa mata pelajaran Sains (Fisika, Biologi, Kimia) dan Matematika
umumnya di kalangan siswa daya serapnya masih rendah dan belum
optimal, di mana akar persoalannya. Perlu pengkajian yang mendalam,
sehingga kita mengetahui sebab musababnya, dan tentunya kita juga
berupaya menemukan solusinya.
Tidak kita pungkiri, bahwa sekarang masih banyak kita temukan mata
pelajaran sains dan matematika menjadi momok dan menakutkan bagi
siswa, bahkan banyak kita temukan para siswa akan bolos sekolah bila
mata pelajaran atau bidang studi tersebut diajarkan. Apalagi diajar oleh
guru-guru berwajah sangar dan berbadan besar, maka ketakutan dan rasa
stres menghantui diri para siswa.
Kita ingin mendemamkan sains, kata orang bijak bahwa “orang yang
menguasai sains, berarti dia menguasai dunia”. Sains dan Matematil
diajarkan mulai dari pendidikan dasar (SD). Oleh sebab itu, bidang studi
benar-benar harus diajarkan secara benar. Kemampuan dan motivasi
siswa untuk lebih mencintai dan menyenangi bidang studi ini dimulai
pada level ini. Karena itulah, lazimnya bidang studi ini diajarkan oleh
guru senior, terutama untuk siswa kelas satu.
pembelajaran Sains dan Matematika para siswa yang diduga berawal dari
kesalahan konsep guru SD memang tidak sepenuhnya benar. Tentu tidak adil
jika guru SD dijadikan sumber kesalahan sebagai penyebab munculnya
kendala seperti yang ada dalam Contoh 5. Namun, setidaknya ada satu sisi
yang harus diketahui bahwa karakteristik pembelajaran di SD, apa pun
rumpun bidang studinya, harus selalu menarik dan membuat siswa tidak
berpikiran verbal dengan hanya berandai-andai saja. Diperlukan
penggambaran yang konkret dan mudah diingat ketika Anda mengajar di
kelas sehingga tatkala menerangkan materi IPA, misalnya, para guru dapat
memilih metode yang tepat. Artinya, metode yang mampu memberikan
suasana kondusif dalam pembelajaran dengan tetap mengutamakan
keterserapan materi yang disampaikan, bukan membuat siswa tegang atau
takut menunggu giliran untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang
guru. Sesekali, para siswa juga dapat diajak pergi ke tempat di mana mereka
dapat memperoleh gambaran secara riil tentang topik yang dibahas dan
penulis merasa Anda termasuk orang yang telah mengetahui metode
semacam ini.

Isjoni (2007) menjelaskan bahwa ada banyak alasan mengapa banyak


guru belum kompeten. Pertama, waktu belajar atau kuliah, belum mengusai
bahan. Memang mereka lulus tetapi bukan lulus yang terbaik. Beberapa di
antara mereka hanya asal lulus dan itu pun dalam waktu lama. Mereka bukan
terbaik karena memang bukan mahasiswa yang terbaik yang masuk menjadi
calon guru. Kedua, beberapa guru mengajarkan yang bukan bidangnya.
Misalnya, seorang guru lulusan olahraga mengajarkan IPA, seorang guru
lulusan bahasa Indonesia mengajarkan matematika. Pengalaman ini biasanya
terjadi di sekolah pedalaman yang kekurangan guru sebidang. Memang
maksudnya baik dengan memaksimalkan sumber daya yang ada. Keadaan ini
tampak jelas bahwa diperlukan peningkatan kompetensi guru agar semakin
menguasai bidang mereka dan diharapkan juga semakin banyak guru yang
mengampu bidang yang sesuai dengan keahliannya.
Selain kurang menguasai bidangnya, masih banyak guru yang dalam
mengajar hanya menggunakan model yang itu-itu saja. Mereka kurang
menguasai berbagai model pembelajaran yang sesuai perkembangan anak
didik dan sesuai teori pendidikan yang baru. Banyak guru mengajar dengan
cara ceramah dan terus mengerjakan soal. Kegiatan utama anak didik
mencatat atau mendengarkan saja. Guru mengajar lebih senang dengan
caranya sendiri dan kurang memperhatikan yang disenangi anak didik.
Akibatnya, anak cenderung pasif dan akan takut untuk mengeluarkan
pendapat.
Saudara, gambaran-gambaran dan pemikiran-pemikiran yang ada telah
mendeskripsikan bahwa potret pembelajaran guru SD sangatlah kompleks.
Berdasarkan dua indikator saja, yakni sarana-prasarana dan keterjangkauan
wilayah serta metode pembelajaran, telah diperoleh sejumlah persoalan yang
harus segera dicarikan jalan keluarnya, baik secara vertikal maupun
horizontal. Memang, ada pula SD-SD modern yang telah menggunakan
pembelajaran active learning dan dalam hari-hari tertentu wajib
menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris. Namun, semua itu harus
dibayar dengan biaya yang sangat mahal. Setiap guru telah dipilih dengan
persyaratan yang sangat ketat dan diberikan kesejahteraan yang sangat
memadai. Setiap anak memperoleh perhatian yang prima dari para gurunya.

C. KETIDAKMERATAAN JUMLAH GURU


Salah satu persoalan guru di tanah air, selain kesejahteraan, adalah
ketidakmerataan jumlah mereka. Perbandingan antara guru yang mengajar di
daerah terpencil dengan guru yang mengajar di kota sangat jauh. Jadi, dari
segi kuantitas, jumlah guru sebetulnya telah memadai, tetapi tidak demikian
dengan sisi pemerataan dan kualitasnya. Untuk membantu pemahaman Anda

berikut penulis berikan sebuah contoh sosok guru di pedalaman Papua


bernama Frederick Sitaung
Contoh 6.
Frederick Sitaung, Guru Sejati di Papua
"Kitorang di sini butuh guru, bukan burung!” Demikian lelucon atau
mop yang populer di masyarakat Merauke, Papua, untuk mengolok-olok
guru yang sering kabur dari sekolah dan kelayapan ke bar atau klub
'malam yang menjamur di kota. Kisah guru yang kabur dan membiarkan
murid tanpa guru adalah gambaran lumrah di pedalaman Merauke.

Ketika guru lain memilih kabur, Frederick Sitaung (35) tetap bertahan
menjadi satu-satunya guru di Kampung Poepe, Desa Welputi, Kabupaten
Merauke, Papua. Pernah didera kelaparan sepekan, nyaris dipanah orang

tua murid, hingga gaji terlambat datang berbulan-bulan, tak membuatnya


goyah.

Tekad Frederick tak bisa dianggap sembarangan, mengingat Poepe


terletak jauh di pedalaman. Untuk mencapai kampung ini, kita harus naik
sepeda motor dari Merauke ke Distrik Okaba selama tujuh jam. Dua kali
sepeda motor mesti dinaikkan perahu untuk menyeberang Sungai Kumbe
dan Sungai Bian. Dari Okaba, perjalanan dilanjutkan menggunakan
sepeda motor selama tiga jam, ditambah dua jam mendayung.
Sejak saat itu Frederick belum pernah pindah tugas mengajar ke tempat
lain. Padahal, kebanyakan guru yang mengajar di Poepe tak bertahan
lama, rata-rata bertahan satu atau dua tahun. Sudah tujuh guru yang
meminta pindah tugas dari Poepe selama 15 tahun Frederick di sini.

Bisa dikatakan, hanya Frederick dan seniornya, Papalangi (65), yang


bertahan di Poepe. Berdua, mereka menjadi guru "tetap". Juli 2007,
Papalangi pensiun setelah mengajar 24 tahun. Dengan demikian,
Frederick kini satu-satunya guru sekaligus kepala sekolah. Ia mengajar
51 murid kelas satu hingga enam. ....dst.
Sumber:
http://www.duniaguru.com/index.php?option-com. content&task-view
&id-398&ltemid-30, Tuesday 4 September 2007 diakses 15 November
2007(beberapa bagian tulisan dihilangkan)

Anda dapat merasakan bagaimana Frederick harus menjalankan


aktivitasnya sebagai guru SD di Kampung Poepe, Desa Welputi, Kabupaten
Merauke, Papua. Apakah Anda membayangkan pula bagaimana Frederick
harus mengisi hari-harinya? Anda merasa lebih beruntung daripada
Frederick? Jika dibandingkan dengan Frederick, bersyukurlah dengan
aktivitas yang selama ini Anda lalui dalam menjalani profesi sebagai guru
SD? Ya, Frederick adalah teladan bagi kita semua. Tekad Frederick sangat
kuat: pernah kelaparan, hampir dipanah orang tua murid, dan terlambat
menerima gaji selama berbulan-bulan. Mungkin Frederick seperti tokoh
imajinatif dalam dongeng tentang guru. Padahal, Frederick adalah kenyataan.
Tentu masih banyak Frederick yang lain, tetapi ini setidaknya memberikan
gambaran kepada insan pendidikan di Indonesia bahwa salah satu
permasalahan guru di Indonesia adalah pemerataannya. Di satu sisi, banyak
daerah yang kelebihan, tetapi di sisi lain, masih banyak pula daerah yang
kekurangan guru.

Jika hal tersebut yang terjadi, maka kita tidak boleh menuntut kualitas
pembelajaran yang dilakukan. Artinya, secara matematis, proses
pembelajaran yang dilakukan Frederick sulit dilakukan, meskipun mungkin
Frederick telah menguasai teknik pembelajaran kelas rangkap. Namun,
kenyataan yang terjadi, Frederick telah mengabdi di kampung tersebut
selama 1S tahun. Dengan demikian, situasi yang ada tentu belum
memungkinkan untuk berbicara tentang mutu dan daya serap. Apalagi
penerapan kurikulum dan metode pembelajaran yang menyenangkan bagi
siswa. Yang penting adalah bagaimana memelihara semangat dan perjuangan
sang guru dan juga tekad para siswa untuk terus selalu belajar. Tentu tidak
dipungkiri juga bahwa telah banyak pula SD yang memiliki perbandingan
jumlah guru dengan siswa sangat ideal. Beberapa SD di kota besar, seperti
Jakarta (seperti yang penulis bahas di bagian awal), bahkan telah membatasi
jumlah siswa per kelas maksimal 25 orang dengan sistem paralel. Jika kelas 1
terdapat 100 siswa, berarti akan ada 4 orang guru. Jumlah yang demikian
tidak hanya memudahkan guru, tetapi juga membantu siswa menyerap
materi.

MODUL 11
EVALUASI PROGRAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR
KEGIATAN BELAJAR 1
HAKIKAT DAN POTRET EVALUASI PROGRAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
A. HAKIKAT EVALUASI PROGRAM DAN EVALUASI PROGRAM PEMBELAJARAN
Pada dasarnya evaluasi program adalah pendekatan formal yang digunakan untuk menilai
kebijakan, pekerjaan, atau satu program tertentu. Misalnya kebijakan pemerintah mengganti
bahan bakar minyak dengan gas, kebijakan yang melahirkan program asuransi kesehatan untuk
rakyat miskin, atau program wajib belajar. Contoh-contoh tersebut merupakan yang cukup besar,
sedangkan program sederhana, seperti dalam ilustrasi diatas juga memerlukan evaluasi program,
meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana. Sebagai satu pendekatan formal yang sistematis,
evaluasi program sering disebut sebagai penelitian evaluasi, yaitu penelitian yang hasilnya
digunakan untuk mengambil keputusan, misalnya untuk merancang perbaikan, melanjutkan
program, ataukah menghentikan program.
B. POTRET EVALUASI PEMBELAJARAN DI SD
Potret evaluasi program pembelajaran di SD masih remang-remang. Di tingkat kelas,
dapat diketahui bahwa dalam Rencana Pembelajaran, evaluasi program sudah direncanakan,
namun pelaksanaannya masih menjadi tanda tanya. Di samping itu, kegiatan Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) yang dapat dikatakan merupakan evaluasi program yang langsung ditindaklanjuti,
mulai tumbuh, baik yang dilakukan oleh guru sendiri maupun yang dilakukan oleh guru sendiri
maupun yang dilakukan secara kolaboratif.

KEGIATAN BELAJAR 2
LANGKAH-LANGKAH DAN TINDAK LANJUT EVALUASI PROGRAM
PEMBELAJARAN

A. LANGKAH-LANGKAH EVALUASI PROGRAM PEMBELAJARAN DI SD


1. Kapan Evaluasi Program Dilakukan
Evaluasi program pembelajaran di tingkat kelas dilakukan pada setiap akhir pelajaran, sedangkan
di tingkat sekolah, evaluasi program pembelajaran dilakukan setiap akhir semester, pada akhir
tahun ajaran, atau jika ada kebutuhan khusus untuk melakukannya.
2. Bagaimana Cara Melakukan Evaluasi Program Pembelajaran
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk
memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas
kegiatan pembelajaran. Sejalan dengan ketentuan ini maka langkah-langkah evaluasi
pembelajaran yang dilakukan oleh guru adalah
a. Menilai atau mereviu rencana pembelajaran atau yang kini disebut Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dengan menggunakan format telaah RPP.
b. Menilai pelaksanaan atau proses pembelajaran melalui refleksi dan dialog dengan siswa,
sehingga dapat ditemukanakar penyebab dari berbagai peristiwa/masalah dalam pembelajaran.
c. Menganalisis hasil belajar siswa yang kemudian dikaitkan dengan hasil penilaian proses
pembelajaran.
d. Menyimpulkan kualitas (kekuatan dan kelemahan) pembelajaran berdasarkan hasil yang didapat
dari langkah 1, 2, dan 3.
e. Menindaklanjuti temuan pada no 4 ketika merencanakan pembelajaran berikutnya.
3. Evaluasi Program Pembelajaran oleh Sekolah
Evaluasi program yang dilakukan oleh sekolah mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
a. Mengembangkan desain evaluasi program
b. Mengembangkan instrument
c. Melaksanakan penilaian atau mengumpulkan data
d. Menganalisis data
e. Menulis laporan

B. TINDAK LANJUT HASIL EVALUASI PROGRAM PEMBELAJARAN


Hasil evaluasi program pembelajaran haruslah ditindaklanjuti oleh guru untuk evaluasi program
pembelajaran yang dilakukan oleh guru, dan oleh sekolah untuk evaluasi pembelajaran yang
dilakukan oleh sekolah. Guru dapat menindaklanjuti hasil penilaiannya dengan segera ketika
merancang pembelajaran berikutnya atau dengan menerapkan langkah-langkah PTK, sedangkan
sekolah menindaklanjuti hasil evaluasi program sesuai dengan hakikat temuan.

Anda mungkin juga menyukai