Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PNDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari ilmu-ilmu.
Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batas-batas dan
ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai. Filsafat telah
mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga
membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu
pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah
fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya melepaskan diri
dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti
metodologinya sendiri-sendiri. Dalam perkembangan kehidupan Ilmu mengalami
kemajuan. Perkembangan ilmu ini dapat terwujud karena adanya aktivitas yang
berupa penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan.
Beberapa orang ahli filsafat diantaranya Francis Bacon (1561-1620) dan Karl Popper
dan Thomas Kuhn telah melakukan pengamatan atas aktivitas atau cara kerja ilmuwan
tersebut. Para pengamat yang bukan ilmuwan sains menyebut cara kerja ini sebagai
metode ilmiah. Banyak ilmuwan mengemukakan bahwa metode ilmiah yang
dikemukakan oleh Bacon dan Popper itu terlalu sederhana dan kurang
memadai. Mereka mengemukakan bahwa metode ilmiah terdiri atas serangkaian
kegiatan yang berupa: pengenalan dan perumusan masalah, pengumpulan informasi
yang relevan, perumusan hipotesis, pelaksanaan eksperimen dan publikasi atau
penyebaran informasi. Sebagai “Home Sapiens “manusia tidak akan pernah berhenti
berpikir selama hidupnya, terlepas dari kadar atau tingkatan masalah yang dipikirkannya.
Apakah masalah biasa (sederhana), masalah ilmiah, atau bahkan masalah filsafat.
Apakah manusia berpikir dengan menekankan kegunaannya dari pada
kebenarannya ini termasuk dalam tingkatan berpikir biasa. Apabila manusia berpikir
dengan menekankan kebenarannya dari pada kegunaanya sebagai batas pengalaman
termasuk dalam tingkatan berpikir ilmiah. Dan apabila manusia berpikir
secara komprehensif, mendasar dan spekulatif melewati batas pengalaman ini termasuk

1
tingkatan berfikir filsafat. Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk mengkaji metode
ilmiah ditinjau dari filsafat ilmu.
Hal ini penting sekali karena dalam makalah tersebut juga akan dibahas tentang
penemuan ilmiah secara logis dan kritis. Landasan ini pada pemikiran bahwa apa yang
diteliti merupakan usaha untuk memperkuat konsep atau teori yang sudah ada dan adanya
keinginan untuk menghasilkan konsep atau teori baru. Metode yang dimaksud merupakan
penjabaran konsep berpikir epistemologis dalam upaya menjawab pertanyaan yang
diajukan. Sehubungan dengan hal itu ada perbedaan pilihan metode dalam penelitian
bidang pengetahuan alam dan bidang pengtahuan sosial terkait dengan karakteristik
masalah dan jumlah variable penelitian.
Walaupun ada perbedaan namun setiap bidang ilmu memiliki kesamaan metode
keilmuan, yaitu kerangka berpikir rasional dan empiris. Karena itu adanya konsep dan
landasan teori yang kuat dengan dukungan data atau fakta empirislah kekuatan suatu
penelitian ditentukan, apapun bidang ilmunya. Salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi untuk memperoleh pengetahuan baru tersebut adalah digunakan nya ansumsi-
ansumsi yang tepat. Dalam mengenali objek empiris dalam rana keilmuan kita
memerlukan arah dan landasan analisis yang dikenal sebagai ansumsi.

1.2. Rumusan Masalah 


1. Apa yang dimaksud dari Metode Ilmiah?
2. Apa yang dimaksud Berfikir Ilmiah ?
3. Apakah Metode Penelitian dan Berfikir Ilmiah dapat digabungkan?
4. Apa Hubungan Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian?

1.3. Tujuan Pembelajaran


1. Menjelaskan gabungan antara metode ilmiah dan berfikir ilmiah
2. Dapat mengetahui apa saja proses penelitian, dan sarana berfikir ilmiah.
3. Menjelaskan gabungan antara hubungan filsafat ilmu dan metodologi penelitian.
4. Apa saja paradigma pengembangan ilmu.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Metode Penelitian dan Berfikir Ilmiah


Sebagian besar tugas filsafat ilmu adalah melandasi manusia agar dapat melakukan
pengembangan metode ilmiah. Metode ilmiah dapat diraih melalui penelitian. Metode
penelitian merupakan jalan mencapai derajat ilmiah. Penelitian ilmiah didahului dengan
berpikir ilmiah, yakni secara sistematis. Dengan berfikir sistematis, tertata, dan koheren,
manusia akan memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui proses
berfikir teratur dan sistematis dikenal sebagai produk kegiatan penelitian ilmiah atau
penelitian yang memenuhi syarat keilmuan.
Filsafat ilmu merupakan wahana meneropong kegiatan penelitian ilmiah agar
manusia mampu mewujudkan cita-cita hidupnya. Banyak gejala di sekitar manusia yang
tidak terstruktur, maka menjadi tugas peneliti melakukan pendayagunaan. Akal budi itu
yang akan memuluskan proses berfikir ilmiah, hingga mampu mengelola gejala
kehidupan andal. Sebuah gejala dimuka bumi, sebagai sebuah fakta, terjadi secara
beraturan dan tidak terjadi secara kebetulan kareana dapat dijeaskan dalam kerangka
konsep keilmuan. Siklus hidrologi merupakan contoh gejala alam yang berlangsung
secara teratur dan sistematis. Namun, jika gejala ini tidak di teliti secara ilmiah tidak akan
bermanfaat bagi kehidupan.
Dalam kontek kegiatan penelitian, mengenali sebuah fakta, merumuskan masalah,
menyusun hipotensis, melakukan analisis dan menarik kesimpulan merupakan contoh
proses berpikir teratur dan sistematis. Menurut Sandy (1973) hal tersebut adalah ciri
sebuah ilmu. Ilmu diperoleh melalui proses logis, tentu akan membantu keselamatan
hidup. Sebuah kesimpulan penelitian mencerminkan” pengetahuan” yang dihasilakan dari
“rasa ingin tahu” (curiousity) yang diungkap dalam dalam kalimat pertanyaan penelitian
(research question). Kaingintahuan manusia akan hadir terus-menerus ketika
menyaksikan fakta kehidupan.
Para peneliti, pada sebuah instansi umumnya menghadapi persoalan bagaimana
merumuskan pertanyaan penelitian yang benar agar memperoleh pengetahuan baru yang

3
bermakna. Sebagian besar waktu (hampir 50%) dihabiskan untuk merumuskan masalah,
selebihnya untuk mengumpulkan data, melakukan analais dan menarik kesimpulan. Hal
yang sama jika dikaitkan dengan kebenaran data yang digunakan dalam penelitian
(garbage in garbage out). Dalam proses semacam ini, akurasi data yang dikelola dari
fakta amat dibutuhkan. Data menjadi wahana penting untuk mewujudkan jawaban atas
rumusan masalah. Dalam upaya menjawab masalah, ada tiga pilihan metode yang
digunakan, yaitu:
a. Metode deduktif, yaitu upaya menjawab masalah dari hal-hal umum, general, dan
universal menuju ke hal ihwal yang khusus,
b. Metode Induktif, yaitu upaya menemukan jawaban dari persoalan khusus, kecil,
terbatas menuju ke hal-hal yang umum, dan
c. Gabungan metode deduktif dan induktif. Saat gabungan kedua metode deduktif dan
induktif menjadi pilihan banyak peneliti dalam menetapkan metode penelitiannya.

Landasan ini pada pemikiran bahwa apa yang diteliti merupakan usaha untuk
memperkuat konsep atau teori yang sudah ada dan adanya keinginan untuk menghasilkan
konsep atau teori baru. Metode yang dimaksud merupakan penjabaran konsep berpikir
epistemologis dalam upaya menjawab pertanyaan yang diajukan. Sehubungan dengan hal
itu ada perbedaan pilihan metode dalam penelitian bidang pengetahuan alam dan bidang
pengtahuan sosial terkait dengan karakteristik masalah dan jumlah variable penelitian.
Walaupun ada perbedaan namun setiap bidang ilmu memiliki kesamaan metode
keilmuan, yaitu kerangka berpikir rasional dan empiris. Karena itu adanya konsep dan
landasan teori yang kuat dengan dukungan data atau fakta empirislah kekuatan suatu
penelitian ditentukan, apapun bidang ilmunya. Salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi untuk memperoleh pengetahuan baru tersebut adalah digunakan nya ansumsi-
ansumsi yang tepat. Dalam mengenali objek empiris dalam rana keilmuan kita
memerlukan arah dan landasan analisis yang dikenal sebagai ansumsi.
Suryasumantri (1983:8) mengatakan bahwa ada 3 asumsi dasar agar pengetahuan
baru yang dihasilkan diakui kebenarannya, yaitu:
a. Bahwa objek tertentu memiliki keserupaan satu sama lain,
b. Bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, dan

4
c. Bahwa tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan.

Tiga asumsi tersebut menjadi dasar pola pemikiran metode penelitian. Asumsi
pertama berkaitan dengan metode keilmuan yang paling sederhana, yaitu penerapan
konsep klarifikasi. Asumsi kedua berkaitan dengan konsep kelestarian yang bersifat
relative artinya suatu benda akan berubah dalam waktu singkat dan ada yang berubah
dalam jangka waktu panjang. Asumsi ketiga berkaitan dengan konsep determinisme
artinya setiap gejala memiliki pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian
yang sama. Ansumsi yang dilandasi oleh fakta-fakta awal dalam sebuah rangkaian
penelitian. Asumsi adalah jawaban awal yang dilandasi oleh pemahaman peneliti,
sebelum memasuki medan penelitian. Melalui asumsi proses berpikir ilmiah semakin
mudah, serta terarah untuk menghasilkan kebenaran.

2.2. Sarana Berfikir Ilmiah


Penguasa sarana berfikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperati bagi
seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat
dilakukan. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah
dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Dalam proses penelitian, sarana
berfikir ilmiah adalah bidang studi tersendiri. Dalam hal ini kita harus memperhatikan
dua hal yaitu:
a. Sarana ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu, dalam pengertian bahwa sarana
ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode
ilmiah.
b. Tujuan mempelajari sarana berfikir ilmiah adalah untuk memungkinkan menelah ilmu
secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan
pengetahuan yang memungkinkan kita dapat memecahkan masalah hidup sehari-hari.
Dalam hal ini maka sarana berfikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang ilmu
untuk mengembangkan materi pengetahannya berdasarkan metode ilmiah.

5
Dilihat dari pola berfikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berfikir deduktif
dan induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri pada sarana berfikir,
yaitu:
a. Proses logika dengan deduktif, dan
b. Proses logika induktif.

Matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif sedangkan statistik


mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif. Implikasi proses deduktif dan
induktif menggunakan logika ilmiah. Logika ilmiah merupakan sarana berfikir ilmiah
yang paling penting. Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah menghauskan kita
menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakikatnya merupakan pengumpulan
fakta untuk menolak atau menerima hipotesis yang diajukan. Kemampuan berfikir ilmiah
yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berfikir dengan baik. Salah satu
langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing
sarana berfikir dalam keseluruhan proses berfikir ilmiah.
Setiap jalur ilmu membutuhkan sarana berfikir ilmiah bila kita sekedar meneliti
sebuah kasus, tentu kita tidak akan menggunakan sarana berfikir deduktif, melainkan
menggunakan induktif yang tidak murni. Disebut induktif tidak murni Karena, yang
dipentingkan dalam penelitian kasus, bukanlah generalisasi, melainkan gejala apa adanya.
Gejala yang digali secara natural, mungkin digali secara induktif, tanpa teori, dan tanpa
berfikir apriori. Data yang terkumpul dijadikan landasan untuk menemukan sebuah
kebenaran yang terbatas, tetapi mendalam.

2.3. Hubungan Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian


Metode penelitian merupakan jalur andal bagi filsafat ilmu untuk menemukan
kebenaran. Menurut Bahtiar (2007), filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam
tentang dasar-dasar ilmu. Ilmu tidak akan lepas dari sebuah metode penelitian. Metode
penelitian merupakan upaya untuk pengembangan ilmu. Metode penelitian berarti ilmu
tentang metode.
Sedangkan penelitian adalah kegiatan mencari dan mengumpulkan data kemudian
mengolah, menganalisis, mengkaji data yang dilakukan secara sistematis dan objektif.

6
Jadi metodologi penelitian ilmu yang mempelajari, menelusuri, mencari dan
mengumpulkan data kemudian mengelola dan mengkaji data yang dilakukan secara
sistematis supaya diperoleh suatu kebenaran yang objektif. Secara terminologi,
metodologi penelitian atau metodologi riset (science research atau method), metodologi
berasal dari kata methodology, maknanya ilmu yang menerangkan metode-metode atau
cara-cara. Metodologi penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-
langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenan dengan masalah
tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara
pemecahannya. Data data tersebut digali dan disintesiskan menggunakan prinsip-prinsip
filsafat. Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, jika kebenaran
yang sebenarnya disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika
filsafat itu biasanya terbagi atas tiga cabang besar filsafat, yaitu:
a. Teori pengetahuan,
b. Teori hakikat dan, dan
c. Teori nilai.

Itulah sebuah penelitian perlu memperhatikan ketiga cabang berpikir filsafat itu
untuk menentukan sebuah kebenaran. Jadi filsafat sebagai suatu proses berpikir bebas,
sistematis, radikal, dan mencapai dataran makna yang mempunyai cabang otologi,
epitemologi, dan aksiologi. Cabang-cabang ini apabila diikuti oleh langkah metodologi
penelitian, tentu aka menghasilkan kebenaran sejati. Setiap cabang penelitian, pasti
terkait dengan persoalan apa yang sedang diteliti.
Dari mana asal usul sesuatu yang diteliti. Didalam otologi membahas dua bidang, yaitu:
a. Kosmologi membicarakan hakikat asal, hakikat susunan, hakikat berada, juga hakikat
tujuan, kosmos.
b. Metafisika atau Antorpologi secara etimologi berarti dibalik atau dibelakang fisika
artinya ia ingin mengerti atau mengetahui apa yang ada dibalik dari ala mini atau
suatu yang tidak tampak.

Jadi kosmologi adalah cabang filsafat yang meyelidiki hakikat asal, susunan, tujuan
alam besar, yang dibicarakan di dalam cabang ini misal hakikat kosmos, bagaimana

7
caranya ia menjadi (how does it come to being) dan lain-lain. Epistemologi
membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan atau
suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas dan validitas da
hakikat pengetahuan. sistematika dan logika sangat berperan dalam epistemologi
demikian pula metode-metode berpikir seperti deduktif dan induktif.
Epistemologis disimpulkan bahwa bila otologi memahami sesuatu adalah tunggal
maka cara memperoleh kebenarannya dengan menggunakan jenis penelitian kuantatif,
akan tetapi bila otologi nya memahami sesuatu secara jamak, maka digunakan jenis
penelitian kualitatif. Jadi, keterkaitan antara epistemology, ontologi, dan metode
penelitian tidak dapat dipisahkan.
Aksiologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki nilai-nilai (value), tindakan moral
melahirkan nilai etika, ekspresi keindahan yang melahirkan nilai estetika dan kehidupan
social yang menjelaskan apa yang di anggap baik dalam tingkah laku manusia, apa yang
dimaksud indah dalam seni. Demikian pula apakah yang benar dan di inginkan di dalam
organisasi sosial kemasyarakatan dan kenegaraan. Dalam aksiologi ini dipengaruhi oleh
ontologi yang digunakan, ontologi yang memahami sesuatu itu tunggal, penelitiannya
jenis kuantitatif, maka ilmu yang dibentuknya disebut nomotetik dan bebas nilai,
sedangkan ontologi yang memahami sesuatu itu jamak dan penelitiannya jenis kualitatif.
Maka ilmu yang dihasilkan disebut ideografik dan bermuatan nilai.
Menurut Suriasumantri (1983) filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu dan pengetahuan
ilmiah. Sedangkan menurut tim Dosen filsafat ilmu UGM, filsafat ilmu secara sistematis
merupakan cabang dari rumpun kajian epistemologi. Epistemologi sendiri mempunyai
dua cabang yaitu Filsafat pengetahauan (theory of knowledge) dan Filsafat ilmu (theory
of science) objek material filsafat pengetahuaan, yaitu gejala pengetahuan, sedang objek
material filsafat, yaitu mempelajari gejala-gejala ilmu menurut sebab secara pokok.
Metodologi penelitian adalah seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah
sistematis dan logis tentang pencarian data, pengelolan data, analisis data, pengambilan
kesimpulan dan cara pemecahaan.
Menurut Suriasumantri (1983) metodologi ilmiah merupakan pengksjisn dari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Mtode ini secara filsafat

8
termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan
mengenai bagaimana kita mendapat pengetahuan, apakah sumber-sumber pengetahuan?
Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia. Dari sini dapat kita ketahui bahwa
metode ilmiah merupakan bagian dari metodologi ilmiah. Jadi cukup jelas bahwa filsafat
ilmu dan metodologi penelitian mempunyai kedudukan yang sama dalam cabang filsafat,
yaitu masuk dalam golongan epistemologi. Menurut Bahtiar (2009) tujuan filsafat ilmu
adalah:
a. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat
memahami sumber hakikatdan tujuan ilmu,
b. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di berbagai
bidang, sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontenporer secara historis.

Metodologi bisa juga diartikan ilmu yang membahas konsep berbagai metode,
tentang apa kelebihaan dan kekurangan, dan bagaimana seseorang bertujuan menghimpun
data yang akurat dan kemudaian diproses sehingga menemukan kebenaran atau teori atau
ilmu dan mungkin pula mengembangkan kebenaraan terdahulu atau menguji kebenaran
tersebut.
Jadi metode ilmiah untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang benar diperlukan cara-
cara yang benar pula. Menurut para pakar, mencarai kebenaran, cara-cara memperoleh
kebenaran ilmiah disebut metode ilmiah, ayang terdiri dari proses
a. Mencari masalah,
b. Menentukan hipotesis,
c. Menghimpun data,
d. Menguji hipotesis, dan
e. Prinsip ini berlaku untuk semua sains operasionalisasi metode ilmiah itu dilakukan
pada bidang studi metodologi penelitian.

Dari sini tampak dengan jelas jelas hubungan antara filsafat ilmu dengan metodologi
penelitian. Kalau begitu cukup jelas keterkaitan antara filsafat ilmu dan metode
penelitian. Keduannya sama-sama hendak menemukan kebenaran ilmiah. Filsafat ilmu

9
menjadi landasan berfikir, sedangkan metode penelitian sedabai realisasi berfikir ilmiah.
Adapun metodelogi merupakan hal yang yang mengkaji langkah-langkah yang dietempuh
supaya pengetahuan yang ilmiah. Untuk memahami prinsip-prinsip metode filsafat perlu
dibahas pengertian metodelogi, unsur-unsur metodelogi, dan beberapa pandangan tentang
prinsip metodelogi bagi para filsuf. Metodelogi dapat diartikan sebagai ilmu yang
membicarakan tentang metode-metode. Metode ialah cara bertindak menurut aturan
tertentu.

Dalam metode ilmiah biasanya membicarakan masalah-masalah:


a. Interprestasi (menafsirkan)
b. Induksi dan deduksi
c. Koherensi intern
d. Holistis
e. Kesinambungan historis,
f. Idealisme
g. Komparasi
h. Heuristika, dan
i. Deskipsi.

Unsur-unsur metodelogi ini juga bukan hal yang paten. Unsur metodelogi selalu
berkembang, sesuai dengan zaman.

2.4. Paradigma Pengembangan Ilmu


2.4.1. Konsep Paradigma
Paradigma adalah kerangka berpikir ilmiah. Ilmu membutuhkan kerangka berpikir
yang tajam. Metode penelitian juga membutuhkan paradigma berpikir, agar tidak timpang
tindih satu sama lain.
Menurut Muslih (2007:88-99) dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan
memegang peranan yang penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka,
mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Dalam beberapa
literatur ia sering di samakan dengan keragka teori (tlreoretical framework). Sebenarnya

10
paradigma lebih umur dan lebih abstrak, karena ia merupakan kerangka logis dari teori.
Sehingga satu paradigma bisa melingkupi beberapa teori. Meski demikian, paradigma
ilmu lahir dari akumulasi teori-teori yang saling mendukung dansaling menyempurnakan,
sehingga menjadi satu kebulatan dan sebuah konsistensi yang ’utuh’, sebaliknya dari
suatu paradigma ilmu dapat dilahirkan teori-teori baru, berdasarkan temu-temuan dari
para ilmuwan.
Secara umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan
dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehri-hari. Ada yang
menyatakan bahwa paradigma merupakan suatu citra yang fundamental dari pokok
permasalahan dari suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang harus dipelajari,
pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan kadah-kaidah apa yang
seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya.
Paradigma adalah ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat
orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (world-view). Menurut Thomas
Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memadu tindakan-
tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah. Selanjutnya
ia mengartikannya sebagai
a. A set off assumption and
b. Beliefs concerning. Yaitu asumsi yang “dianggap” benar (secara given).

Untuk sampai pada asumsi itu harus ada perlakuan empirik (melalui pengamatan)
yang tidak terbantahkan: accepted assume to be true (Bhaskar dalam Muslih, 2007:89).
Dengan demikian paradigma dapat diartikan sebagai a mental window, tempat terdapat
“frame” yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya karena masyarakat pendukung
paradigma telah memiliki kepercayaan atasnya.
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat
keyakinan dasar yangmereka gunakandalam mengungkapkan hakikat ilmu yang
sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi pengungkapan ilmu ini
telah ada sejak adanya mnusia, namun secara sistematis dimulai sejak abad ke-17, ketika
Descartes (1596-1650) dan para penerusnya mengembangkan cara pandang positivisme,
yang memperoleh sukses besar sebagaimana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan

11
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pardigma ilmu padar dasarnya berisi jawban atas
pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakini bagaimana, apa dan untuk apa.
Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, yaitu:
a. Dimensi ontologi,
Pertanyaan yanga harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya
hakikat dari sesuatu yang dapat deketahui (knowable), atau apa sebenarnya hkikat
dari suatu realitas (reality).dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hl
yang nyata,
b. Dimensi epistemologis,
Pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya
kakikat hubungan antara pencari ilmu dan objek yang ditemukan (know atau
knowable)?
c. Dimensi aksiologis,
Yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitan.
d. Dimensi reotik,
Yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.
e. Dimensi metodologis,
Seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan; bagaimana cara atau metodelogi yang
dipakai seseorang dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan?

Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma
ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan di kembangkan seseorang dalam
kegiatan keilmuan. Sejak abad pencerahaan sampai era globalisasi ini, ada empat
paradigma ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuwan dalam menemukan atau ilmu
pengetahuan yang berkembang. Paradigma ilmu itu adalah: Positivisme, Postpositivisme
(keduanya kemudian dikenal sebagai Classical Paradigma atau Conventionalism
Paradigm), Critical Theory dan Contructivism (Guba, Egon, 1990:18-27). Perbedaan
keempat paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka dalam memandang realitas dan
melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan ditinjau dari tiga aspek pertanyaan:
ontologis, epistemologis, metodologis. Namun demikian beberapa paradigma bisa saja

12
mempunyai cara pandang yang sama terhadap salah satu dari ketiga aspek pengembangan
ilmu pengetahuan tersebut.
Jika, demikian, dapat dipahami bahwa paradigma merupakan bentuk sketsa
keilmuan. Paradigma merupakan gambaran abstrak dari sebuah proses panjang.
Paradigma pengembangan ilmu, akan memperjelas metode yang digunakan sampai
tingkat analisisnya. Kematangan menguasai paradigma, secara otomatis skan
mempermudah dalam proses penelitian. Orang yang tahu paradigma pengembangan ilmu,
tentu temuan yang akan dihasilkan tidak akan salah arah.

2.4.2. Macam-macam Paradigma


a) Positivisme
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul
dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham
ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang
berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian, dalm hal ini
adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas
tersebut senyatanya berjalan.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte,
dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid. Buku ini secara garis besar
prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak digunakan. John Struart
Mill dari Inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte dalam
sebuah karya yang cukup monumental berjudul “A Comte” dalam sebuah karyanya
yang terdiri dari enam jilid. Buku ini secara garis besar prinsip-prinsip positivisme
yang hingga kini masih banyak digunakan. John Struart Mill dari Inggria (1843)
memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte dalm sebuah karya yang cukup
monumental berjudul ”A System of Logic”. Sedangkan Emile Durkheim (Sosiolug
Prancis) kemudian menguraikannya dalam Rules of the Sosiological Method (1895),
yang kemudian menjadi rujukan bagi para peneliti ilmu sosial yang beraliran
positivisme.

13
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial
(sosial-fact):”.... any way of acting, whether fixed or not, capable of exerting over
the individual an external constraint: or something which in general over the whole
of a given society whilst having an existanee of its individual ntanifestation. “Fakta
sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan
lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar dari luar kesadaran individu, tetapi
dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh peneliti
kepada individual yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran
ini, maka seorang pencari kebenaran (peneliti) hrus menanyakan langsung kepada
objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawabn langsung kepada peneliti
yang bersangkutan.
Hubungan epistemologi ini, harus menepatkan sih peneli di belakang layar untuk
mengobservasi hakikat realitas apa adanya untuk menjaga objektivitas temuan.
Karena itu secara metodologis, seorang peneliti menggunakan metodologi
eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif
dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang
tinggi, pengukuran yang akurat dan penlitian objektif, juga mereka menguji hipotesis
dengan jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari
pengukuran.
Dibawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu
pengetahuan -pernyatan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition)
haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinge, 1973), sebagai berikut:
a. Dapat dicermati dapat di/terulang (rupentabel),
b. Dapat di/terukur (measurable),
c. Dapat di/teruji (testable), dan
d. Dapat di/teramalkan (predicttable).

Syarat tersebut pada bagian a sampai c merupakan syarat-syarat yang


diberlakukan atas objek ilmu penegtahuan, sedangkan dua syarat terakhir
diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah karena syarat-syarat inilah, maka
paradigma positivisme ini sangat bersifat behavioral, operasional dan kuantitatif.

14
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk
mengungkapkan kebenaran realitas. Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang
cukup lama(+400 tahun), kemudian berkembang sejumlah ‘aliran’ paradigma baru
yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbadai bidang kehidupan.

b) Postpositivisme
Paradigma ini merupakan baliran yang ingin memperbaiki kelemahan-
kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical
realisme yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat
secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan
eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode
triangulation, yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti,
dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat dan peneliti dengan objek atau
realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang di usulkan oleh aliran
positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau
melihat kebenaran apabila pengamat berdiri dibelakang layar tanpa ikut terlibat
dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan
objek harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi
secara mininal.

c) Konstruktivitas
Konstruktivitas, menyatakan bahwa positivisme dan potpositivisme merupakan
paham yang keliru dalam mengungkap realitas dunia. Karena itu, kerangka berpikir
kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat
konstruktif. Paradigma ini muncul melalui proses yang cukup lama setelah sekian
generasi ilmuan berpegang teguh pada paradigma positivisme. Konstruktivisme
muncul setelah sejumlah ilmuan menolak tiga prinsip dasar positivisme:
a. Ilmu merupakan upaya mngungkap realitas

15
b. Hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan
c. Hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu
dan tempat yang berbeda.

Pada perkembangannya, paradigma ini mengembangkan sejumlah indikator


sebagai pijakan dalm melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu. Beberapa
indikator itu antara lain:
a. Penggunaan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data dan kegiatan
analisis data.
b. Mencari relevansi indikator kualitas untuk mencari data-data lapangan.
c. Teori-teori yang dikembangkan harus lebih bersifat membumi (grounded theory)
d. Kegiatan ilmu harus bersifat natural dalamm pengamatan dan menghindarkan diri
dengan kegiatan penelitian yang telah di atur dan bersifat berorientasi
laboratorium
e. Pola-pola yang diteliti dan berisi kategori-kategori jawaban menjadi unit analisis
dari variabel-variabel penelitian yang steril.
f. Penelitian lebih bersifat partisipasif dari pada mengontrol sumber-sumber
informasi dan lain-lainnya.

Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa relitas bersifat sosial dan
karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari
masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan
secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat
bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan realektis.
Karena itu, paham ini menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu
fenomena alam atau sosial. Jika tujuan penemuan ilmu dalam positivisme adalah
untuk menbuat generalisasi terhadap fenomena alam lainnya, maka konstruktivisme
lebih cenderung menciptakan ilmu yang diekspresikan dalam bentuk pola-pola teori,
jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis lain, bahwa realitas itu
merupakan konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan
spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Karena itu suatu realitas

16
yang diamati seseorang tidak bisa di generalisasikan kepada semua orang seperti
yang biasa dilakukan kalangan posotivisme atau postpositivis.
Secara filsuf, hubungan epistemologis antara penagamatan dan objek, menurut
aliran ini bersifat suatu kesatuan subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi
di antara keduanya. Sementara secara metodologis, paham ini secara jelas
menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan diluar laboratorium, yaitu di alam apa
adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau
pihak peneliti. Dengan setting natural ini, maka metode yang paling banyak
digunakan adalah metode kualitatif dari pada metode kuantitatif.
Untuk itu pengumpulan data dilakukan metode hermeneutik dan dialektik yang
difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Metode
pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari
orang per-orang, sedangkan metode kedua mencoba untuk membandingkan dan
menyilangkan pendapat dari orang per-orang yang diperoleh melalui metode pertama
untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama.
Dengan ditemukannya paradigma konstruktivisne ini, dapat memberikan
alternatif paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus
menandai terjadinya pergeseran model rasionalitas praktis yang menekankan peranan
contoh dan interpretasi mental.
Konstruktivisme dapat melihat warna da corak yang berbeda dalam berbagai
disiplin ilmu, khusunya disiplin ilmu-ilmu sosial, yang memerlukan intensitas
interaksi antara peneliti dan objek yang dicermati, sehingga akan berpengaruh pada
nilai-nilai yang dianut, akumulasi pengetahuan, etika dan diskusi ilmiah.

d) Critical Theory
Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih
tepat disebut ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang
terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu.
Ideologi ini meliputi:
a. Neo-marxisme,
b. Materialisme,

17
c. Feminisme,
d. Freireisme,
e. Partisipatory inquiry, dan
f. Paham-paham yang setara.

Critical theory merupakan suatu aliran pengembangan keilmuan yang didasarkan


pada suatu konsepsi kritis terhadap berbagai pemikiran dan pandangan yang
sebelumnya ditemukan sebagai paham keilmuan lainnya. Dilihat dari segi ontologis,
paradigma ini sama dengan postpositivisme yang menilai objek atau realitas secara
(critical theory), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia.
Karena itu untuk mengatasi masalah, secara metodologis paham ini menganjukan
metode dialog dan komunikasi dengan transformasi untuk menemukan kebenaran
realitas hakiki.
Bab III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Filsafat ilmu perlu didekati secara historis-kronologis untuk menangkap struktur
prosesialnya dan secara sistematik-filosofis untuk menangkap struktur esensialnya.
Metode penelitian menurut metode ilmiah sebagai prosedur atau langkah-langkah
teratur yang sistematis dalam menghimpun pengetahuan untuk dijadikan ilmu yang
meliputi masalah, kerangka pemikiran, hipotesis, uji hipotesis, pembahasan dan
kesimpulan.
Paradigma ilmu pengetahuan adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar
yang menentukan seseorang dalam melakukan tindakan, dari berbagai sudut pandang untuk
mendapatkan kebenaran atau validitas. Aspek pengembangan paradigma ilmu
yaitu ontologis, epistemologis dan aksiologis. Jenis paradigma ilmu diantaranya,
positivisme, postpositivisme, konstruktivisme dan crical theory.

18
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum.. 2015. FILSAFAT ILMU (EDISI REVISI). Yogyakarta:
CAPS (Center for Academic Publishing Service).
http://ansharbrengos-balter-jaya.blogspot.co.id/2015/02/paradigma-ilmu-pengetahuan.html
http://dokumen.tips/documents/filsafat-ilmu-dalam-pengembangan-metode-ilmiah.html
http://muh-amiruddin-salem.blogspot.co.id/2015/01/hubungan-filsafat-ilmu-dan-penelitian.html

19

Anda mungkin juga menyukai