Anda di halaman 1dari 24

INTRAMURAL HEWAN BESAR

LAPORAN PENGAMATAN TERNAK SAPI

TEACHING FARM SAPI POTONG FAKULTAS PETERNAKAN UNPAD

Disusun oleh:

Madhani Pradiptha Nugroho 130212210005

Dahlia Setiawan 130210170019

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2021
ABSTRAK

Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebagai diagnosa penunjang dilakukan pada sapi betina

dengan breed Cross local di Teaching Farm Fakultas Peternakan UNPAD. Dari hasil anamnesa

diketahui bahwa sapi jenis kelamin betina berumur 6 tahun dengan berat badan 250 Kg belum pernah

ada riwayat sakit dan nafsu makan serta minumnya baik. Dari pengamatan gejala klinis terlihat sapi

bertubuh kurus dan terdapat ektoparasit berupa kutu dan lalat. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik sapi

normal tidak ditemukan adanya kelainan. Dari hasil pemeriksaan laboratorium dari sampel darah,

feses, urin terdapat kelainan. Pada pemeriksaan darah hasil uji menunjukkan adanya makrositosis dan

hipokromia. Pada sampel urin ditemukan kenaikan pada beberapa komponen urin. Pada sampel feses

ditemukan adanya larva dan telur cacing Fasciola sp. Upaya penanggulangan adalah pemberian

vitamin diikuti dengan pemberian obat anti cacing dan anti kutu serta menerapkan manajemen

kebersihan kandang dengan baik.

PENDAHULUAN

Sapi potong merupakan ternak yang tujuan pemeliharaannya adalah untuk menghasilkan

daging sebagai produk utama. Pemeliharaan sapi potong dilakukan dengan mengandangkan sapi secara

terus menerus selama periode yang telah ditentukan. Tujuan mengandangkan adalah untuk

meningkatkan berat badan sehingga menghasilkan produksi daging yang tinggi dan bermutu baik.

Manajemen produksi sapi potong menjadi salah satu kunci utama dalam pemeliharaan ternak

sapi potong. Manajemen produksi meliputi pemilihan bibit, manajemen pakan, manajemen

pemeliharaan, manajemen perkandangan, manajemen higiene sanitas, dan pengendalian serta

pencegahan penyakit. Penerapan manajemen produksi sapi yang baik akan mampu menghasilkan

produksi yang baik dan bermutu tinggi.

Hal yang perlu diperhatikan dalam beternak sapi adalah kesehatan serta penyakit pada sapi.

Penyakit merupakan salah satu faktor penting yang dapat menghambat produksi maupun reproduksi

ternak sapi. Penyakit yang dapat menular menjadi perhatian serius yang pengenalan serta
penanganannya dilakukan secara tepat dan cepat. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik dan diagnosa

laboratorium untuk menunjang diagnosa penyakit menjadi hal yang penting dilakukan karena dapat

mengenali dan mencegah atau mengobati suatu penyakit dengan tepat.

GAMBARAN KLINIS

Anamnesa

Dari keterangan penjaga kandang, sapi berumur 6 tahun dengan berat badan kurang lebih 250

kg, sapi belum pernah mengalami sakit, nafsu makan dan minum baik, tidak terdapat gejala

menunjukkan sapi sakit.

Gejala Klinis

Gejala klinis yang tampak pada sapi yaitu tubuh kurus, bcs 2,5, dan terdapat ektoparasit pada

ekor serta vektor berupa lalat yang menghinggapi tubuh sapi.

Gambar 1. Sapi Betina breed Local cross di Teaching Farm Sapi potong Fakultas Peternakan

Universitas Padjajaran berumur 6 tahun dengan berat badan 250 kg

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada sapi yaitu dengan melakukan palpasi, inspeksi, perkusi,
dan auskultasi yang meliputi signalement hewan, keadaan umum, status fisiologis, kondisi kulit dan
rambut, kepala dan leher, sistem pernafasan, sistem peredaran darah, abdomen dan organ pencernaan
yang berkaitan, alat perkemihan dan kelamin (urogenitalis), serta sistem anggota gerak. Hasil
pemeriksaan fisik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Fisik

Spesies : Sapi
Sex : Betina
Umur : 6 Tahun
Signalement Breed : Local Cross
Warna Bulu dan Kulit : Hitam
Berat Badan : 250 Kg
Tanda Khusus : Tanduk terpotong pada kedua sisi
Habitus Tulang : Lurus
Punggung
Tingkah Laku : Jinak
Keadaan Umum Status Gizi : Kurang
Pertumbuhan Badan : BCS 2
Sikap Berdiri : Tegak Pada Empat Kaki
Hidrasi : Baik
Suhu Tubuh : 38,4 ℃
Status Fisiologis Frekuensi Nadi : 64 x /Menit
Frekuensi Napas : 20 x /Menit
Kulit dan Rambut : Bersih
Ekspresi Wajah : Waspada
Pertulangan Kepala : Simetris
Kepala dan Leher
Posisi Tegak Telinga : Tegak Keduanya
Posisi Kepala : Tegak
Konjunktiva : Berwarna Pink Rose, Tidak Ada
Perlukaan
Membrana Nictitans : Tersembunyi
Sklera : Putih Bening
Cornea : Bening
Mata Dan Bola Mata
Iris : Coklat

Limbus : Datar
Refleks : Pupil Normal
Vasa Injection : Tidak Ada
Palpabre : Membuka Sempurna
Cilia : Keluar Sempurna
Hidung dan Sinus- : Simetris, lubang hidung meluas, aliran udara bebas, tidak ada
perlukaan
Sinus
Mulut dan Rongga : Mulut tidak ada perlukaan, mukosa mulut berwarna pucat
Lidah pucat, basah, dan tidak ada perlukaan
Mulut
Telinga : Posisi tegak, tidak ada bau, pemukaan licin-halus, tidak ada
krepitasi, ada refleks panggilan
Leher : Perototan rata, trachea dan esofagus teraba
Sistem Pernapasan : Tipe pernapasan abdominalis, ritme teratur, tidak ada respon
sakit dan tidak terdengar suara abnormal pada daerah thorax
Sistem Peredaran : Sistole dan diastole dapat dibedakan dengan ritme yang jelas
dan teratur, pulsus dan jantung sinkron
Darah
Abdomen dan Organ : Bentuk simetris, tidak ada kelainan ukuran abdomen, isi
Pencernaan perut tegang, frekuensi gerakan rumen 1x/2 menit, daerah
anus dan perineal bersih, refleks sphincter ani ada
Alat Perkemihan Mukosa Vagina : Tidak Ada Discharge
Dan Kelamin Kelenjar Mammae
Besar : Tidak Ada Perubahan
Letak : Sesuai
Bentuk : Tidak Ada Perubahan
Kesimetrisan : Simetris
Konsistensi : Kenyal
Sistem Anggota : Dapat berdiri dan berjalan secara baik dengan keempat kaki,
Gerak struktur pertulangan simetris, perototan kaki tidak ada kelainan,
tidak ada spasmus maupun tremor, tidak ada respon sakit ketika
palpasi
Mulut dan Rongga : Mulut tidak ada perlukaan, mukosa mulut berwarna pucat
Lidah pucat, basah, dan tidak ada perlukaan
Mulut
Telinga : Posisi tegak, tidak ada bau, pemukaan licin-halus, tidak ada
krepitasi, ada refleks panggilan
Leher : Perototan rata, trachea dan esofagus teraba
Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah pada praktikum yang telah dilakukan menggunakan dua metode
pemeriksaan yaitu uji hematologi dengan mesin Veterinary Hematology Analyzer dan metode ulas
darah dengan pewarnaan giemsa. Hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukan terjadinya
penurunan pada beberapa parameter hematologi yang meliputi Eosinofil , RBC (red blood cells),
dan MCHC (mean corpuscular hemoglobin concentration). Dan juga terjadinya peningkatan MCV
(mean corpuscular volume) dan MCH (mean corpuscular hemoglobin). Berikut ini merupakan
tabel hasil pemeriksaan uji hematologi:

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Uji Hematologi Darah.


Hematology
Parameter Hasil Standar Normal
Analyzer
WBC 6,65 x 103/μL Normal 4-12 x 103/μL
Limfosit 5,17 x 103/μL Normal 2,5-7,5 x 103/μL
Monosit 0,14 x 103/μL Normal 0-0,84 x 103/μL
Neutrofil 1,27 x 103/μL Normal 0,6-6,7 x 103/μL
Eosinofil 0,05 x 103/μL Rendah 0,1-1 x 103/μL
Basofil 0,01 x 103/μL Normal 0,0-100 x 103/μL
Limfosit% 77,8% Normal 0,0-100%
Monosit% 2,1 % Normal 0,0-100%
Neutrofil% 19,1 % Normal 0,0-100%
Eosinofil% 0,8 % Normal 0,0-100%
Basofil% 0,2 % Normal 0,0-100%
RBC 4,40 x 106/μL Rendah 5-10 X 106/ μL
Hemoglobin 9,2 g/dL Normal 8-15 g/dL
Hematokrit 33,80 % Normal 24-46%
MCV 77 + fL Tinggi 40-60 fL
MCH 21,0 pg Tinggi 11-17 pg
MCHC 27,3 g/dL Rendah 30-36 g/dL
RDW-C 19,9 % Normal 14-19 %
RDW-S 56,2 fL Normal 35-56 fL
Platelet 183 x 103/μL Normal 120-820 X 103 / μL
MPV 8,1 fl Normal 3,8-7 fL
PCT 0,15 % Normal 0,1-0,5 %
PDW-C 31,4 % Normal 10-18 %

Hasil pemeriksaan menunjukan adanya kelainan morfologi darah pada sapi tersebut,
terlihat abnormalitas ukuran eritrosit didapati makrositosis, selain itu berdasarkan warna, didapati

kelainan hypochromia. Selain uji hematologi, dilakukan pemeriksaan ulas darah dengan
menggunakan pewarnaan giemsa untuk mengidentifikasi morfologi darah.

Gambar 2. Hasil pemeriksaan ulas darah perbesaran 100x (Macrocytic


hypochromic)

Gambar 3. Hasil pemeriksaan ulas darah perbesaran 100x (Macrocytic hypochromic)


Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses dilakukan dengan uji natif. Dari hasil pemeriksaan sampel feses dengan uji
natif ditemukan adanya telur dan larva cacing.

Gambar 4. Hasil Pemeriksaan Feses. 1) Telur cacing (panah biru), 2) Larva cacing
(panah hitam).
Pemeriksaan Urin

Gambar 5. Hasil Pemeriksaan Urin.

Urin diuji dengan menggunakan dua metode yaitu Urine Analyzer dan uji dipstik, hasil
menunjukkan beberapa perbedaan dari kedua metode, pH dan keton dengan menggunakan uji dipstik
memiliki hasil yang lebih tinggi, sementara protein memiliki hasil yang lebih besar pada Urine
Analyzer. Nilai leukosit, uribilinogen, bilirubin, glukosa, berat jenis, dan darah memiliki hasil yang
sama pada kedua metode. Hasil pemeriksaan lengkap urinalisis menggunakan urine analyzer
menunjukkan adanya abnormalitas pada nilai Vc, LEU, MA, CR, PRO (+2), dan PCR (+2).
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Urin
Urine Analyzer Uji Dipstik
Ascorbic Acid (-) (0 mmol/L)
Nitrite (+)

Leukocytes 0 cell/µL 0 cell/µL


Microalbumin 150 mg/L
Creatinine > 26,4 mmol/L
Ketone 0 mmol/L 0 mmol/L
Urobilinogen Normal Normal
Bilirubin (-) (0 mmol/L) (-) (0
mmol/L)
Glucose (-) (0 mmol/L) (-) (0
mmol/L)
Protein +2 (1,0 g/L) (0,15 g/L)
Specific Gravity 1.015 1.015
pH 7,0 7,0
Blood (-) (0 mmol/L) (-) (0
mmol/L)
Calcium 2,5 mmol/L
Calibration Pad
PCR/UPC +2 (33,9
mg/mmol)
Pemeriksaan Ektoparasit

Pemeriksaan ektoparasit dilakukan dengan cara mengamati ektoparasit yang ditemukan berupa
kutu dan lalat dibawah mikroskop

Gambar 6. Ektoparasit pada sapi


PEMBAHASAN

Pemeriksaan Darah

Analisis hematologi tidak hanya relevan untuk mendiagnosis kelainan sistem hematologi
tetapi juga membantu dalam mendiagnosis banyak penyakit organ dan sistemik. walaupun
diagnosis suatu penyakit hanya kadang-kadang dapat didasarkan semata-mata pada jumlah sel
darah lengkap (CBC), hemogram mungkin memberikan kontribusi informasi yang berharga dalam
diagnosis, surveilans, dan perumusan prognosis mengenai masa depan perkembangan penyakit
pada individu. Tujuan dari tinjauan saat ini adalah untuk menyediakan dokter dan laboratorium
sapi teknisi dengan gambaran umum tentang proses pengumpulan sampel, rentang referensi sapi,
sifat spesifik ternak dari sel darah, dan penyakit yang berhubungan dengan kelainan pada profil
hematologi ternak. Karena sel otomatis penghitung telah menjadi semakin populer di kedokteran
hewan praktek, fokus dari tinjauan ini adalah pada kelainan terdeteksi oleh penghitung sel otomatis
(yaitu, kelainan pada jumlah, volume, dan konsentrasi hemoglobin darah sel daripada morfologi
abnormal). Namun, jika ditemukan hasil patologis atau tidak teratur, atau abnormal diduga adanya
gangguan morfologi atau fungsi sel darah, evaluasi apusan darah mikroskopis tambahan sangat
diperlukan/direkomendasikan. Pembuluh darah yang paling mudah diakses dan paling umum
digunakan pada sapi adalah vena jugularis eksternal dan pembuluh darah coccygeal. Jika
memungkinkan, hewan harus tenang untuk menghindari perubahan hemogram yang berhubungan
dengan stres (Kay AB, 1985) (Schwendenwein,2009).

Dalam analisis hematologi pengumpulan sampel harus dikumpulkan dalam tabung yang
dilapisi dengan zat anti koagulan, lebih disukai kalium-etilendiamin asam tetra-asetat (EDTA/K3)
dengan konsentrasi 1,27 mg EDTA/K3 per ml darah, atau disodium–ethylenediamine asam tetra-
asetat (EDTA/Na2 ) dengan konsentrasi 1,5 mg EDTA/Na2 per ml darah. Heparin tidak dianjurkan
untuk penggunaan hematologi umum pada sapi karena mengakibatkan penyimpangan jumlah
leukosit (Falconer et al, 197). Pencampuran harus dilakukan dengan hati-hati membalik tabung
beberapa kali. Jumlah darah yang benar harus dikumpulkan dalam tabung sampel, karena rasio
sampel darah terhadap antikoagulan yang tidak tepat dapat menyebabkan hasil yang salah untuk
parameter dan indeks sel darah merah. Sampel dapat disimpan hingga 24 jam pada suhu 4°C.
Jumlah trombosit harus dilakukan dalam waktu 4 jam setelah pungsi vena (Jones,2007)
(Schwendenwein,2009).

Dari hasil hematologi yang didapat menunjukan adanya penurunan jumlah eosinofil yaitu
dengan nilai 0,05 x 103/μL yang seharusnya nilai normalnya yaitu 0,1-1 x 103/μL. Penurunan
jumlah eosinofil diduga disebabkan oleh tidak ada reaksi tanggap tubuh khususnya eosinofil
terhadap parasite (Allison dan Meinkoth, 2010). Hasil pemeriksaan feses menunjukan adanya
infestasi dari telur cacing Fasciola sp. Jika terinfeksi cacing Fasciola sp. maka akan terjadi respon
tubuh yang manifestasinya terhadap peningkatan kadar eosinofil (eosinofilia), karena eosinofil
merupakan substansi darah putih yang berperan pada respon imun terhadap patogen spesifik
seperti parasit (Ganguly et al., 2016) Beberapa faktor yang menentukan naik turunya kadar
eosinofil diantaranya adalah banyak sedikitnya jumlah cacing yang menginfeksi dan yang ada
dalam duktus biliverus akan mempengaruhi tingkat infeksi, ada atau tidaknya infeksi
ulang/sekunder dan waktu terjadinya infeksi. Menurut Wiedosari et al., (2006) jika terjadi infeksi
ulang, tanggap kebal sapi terjadi lebih cepat (5 minggu setelah infeksi), dan tingkat antibody
tertingginya juga lebih tinggi dibandingkan dengan setelah infeksi pertama (11 minggu setelah
infeksi). Hasil eosinofil pada penelitian ini sesuai dengan pendapat Chauvin et al., (1995) dan
Zhang et al., (2006) bahwa patogenesis dari Fasciola sp. akan menyebabkan eosinofilia pada
minggu ke 3-13 post infeksi primer, setelah itu tidak ada eosinofilia. Infestasi cacing Fasciola sp.
sudah kronis dan berlangsung lama, atau belum sampai minggu ke 3, lebih dari 13 minggu setelah
infeksi primer, atau pada saat dilakukan pemeriksaan jumlah cacing yang sedikit.

Hasil yang ditemukan selanjutnya yaitu adanya penurunan RBC dan MCHC disertai
dengan peningkatan MCV dan MCH. Penurunan RBC biasanya akan menyebabkan penurunan
hemoglobin. Namun, pada pengamatan kali ini kadar hemoglobin masih dalam batas normal
walupun mendekati ambang batas minimal hal ini terjadi karena kadar Hb berbanding lurus dengan
kadar RBC (Ganguly et al., 2016). Kadar Hb berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan oksigen
dalam darah, jika oksigen dalam eritrosit berkurang akan menyebabkan kadar Hb dalam eritorsit
menurun (Lotfollahzadeh et al., 2008).

Pada pengamatan ini didapat hasil bahwa sapi menderita anemia makrositik hipokromik
atau anemia dengan bentuk ukuran sel eritosit yang lebih besar dari normalnya dan kandungan Hb
dalam eritositnya menurun. Hasil ini sesuai dengan pendapat Egbu et al.,(2013) bahwa kadar MCV
dan MCHC merupakan indikator bentuk anemia yang dialami oleh individu dengan fasciolosis
subklinis. Penurunan kadar RBC, Hb, dan HTC, kenaikan MCV, dan penurunan MCHC pada
beberapa ekor sapi diduga disebabkan oleh adanya aktivitas dan migrasi cacing Fasciola sp. dari
usus melalui duktus biliverus menuju parenkim hati sehingga menyebabkan rupturnya jaringan
dan terjadi kehilangan sejumlah darah (Egbu et al., 2013). Cacing dewasa menghisap darah 0,2-
0,5 ml/hari (Wiedosari et al., 2006) juga menghasilkan substansi excretotry secretory produk yang
akan menekan hematopoetik sehingga menyebabkan total produksi eritrosit, dan Hb, HTC/PCV
menurun. Infestasi cacing Fasciola sp. menyebabkan kehilangan sejumlah nutrisi seperti protein,
abnormalitas metabolisme zat besi (Fe), defisiensi vitamin B12, asam folat dan cobalt sehingga
dapat menyebabkan adanya anemia (Ganguly et al., 2016 dan George et al., 2010). Anemia dapat
terjadi pada 10-12 minggu setelah infeksi pada saat cacing Fasciola sp. sudah berada di dalam
duktus biliverus (Ganguly et al., 2016). Akan tetapi menurut Wiedosari et al.(2006) tingkat
keparahan anemia tergantung dari jumlah cacing dalam hati dan lama infeksinya. Dalam
pengamatan ini mungkin jumlah cacing sedikit sehingga pendarahan dan efeknya pada system
eritropoisis tidak terlalu berat.

Pemeriksaan Feses

Berdasarkan uji natif yang dilakukan diketahui bahwa terdapat telur dan larva dari
endoparasit. Uji natif merupakan metode yang digunakan untuk mengidentifikasi parasit cacing
pada saluran pencernaan. Metode ini dapat dilakukan secara langsung tanpa pewarnaan atau
dengan pewarnaan eosin. Metode ini cepat dan efektif untuk pemeriksaan pada infeksi cacing
berat. Pada pemeriksaan feses hanya dilarutkan dengan air atau NaCl untuk melarutkan dan
memisahkan partikel-partikel pada feses. Pemeriksaan ini bertujuan ntuk mengetahui keberadaan
cacing, telur ataupun larva cacing.

Dari hasil pemeriksaan ditemukan larva dan telur cacing Fasciola. Telur cacing Fasciola
sp berbentuk oval dengan kerabang tipis didalamnya terdapat embrio dan terdapat operkulum di
salah satu kutubnya. Parasit ini merupakan cacing trematoda filum platyhelmintes dan genus
Faciola. Cacing ini akan menyebabkan penyakit yang dinamakan faciolosis yang bersifat
zoonosis. Cacing ini akan migrasi dalam parenkim hati kemudian berkembang dan menetap dalam
saluran empedu. Kerusakan yang diakibatkan oleh infestasi cacing ini adalah anemia, fibrosis
hepatis, peradangan kronis pada saluran empedu sehingga terjadi gangguan pertumbuhan,
penurunan berat badan, dan produksi yang menurun. Infeksi terjadi karena sapi menelan larva
infektif fasciola hepatica yaitu metaserkaria yang terdapat pada hijauan. Siklus cacing trematoda
cukup panjang dimulai dari telur cacing yang keluar bersama feses menetas menjadi larva bersilia
disebut mirasidium kemudian larva mirasidium akan bergerak masuk ke dalam tubuh siput dan
berkembang dalam tubuh siput menjadi sporokista, redia, dan serkaria. Serkaria akan keluar dari
tubuh siput dan bergerak di air. Setelah itu, serkaria berkembang menjadi metaserkaria.
Metaserkaria merupakan larva infektif tidak berflagel yang biasanya ditemukan pada rumput atau
tumbuhan air. Telur fasciola dapat bertahan hingga 2-3 bulan dalam keadaan lingkungan yang
lembab. Larva cacing dapat bertahan selama 10-18 bulan dalam tubuh siput, sedangkan larva
infektif atau metaserkaria dapat bertahan 3-6 bulan di tempat teduh dengan lingkungan yang
lembab. Larva infektif akan cepat mati di lingkungan yang panas dan kering. Sehingga pemberian
hijauan yang telah di jemur 2-3 hari menjadi usaha pencegahan penyakit yang disebabkan Fasciola.

Gejala klinis yang timbul pada penyakit ini tergantung stadium infetasi cacing yang dapat
bersifat akut maupun kronis. Stadium akut menyebabkan keruskan hati, lesu, nafas cepat dan
pendek, perut membesar dan terasa sakit. Stadium kronis gejala yang timbul adalah anemia, lesu,
lemah, nafsu makan berkurang, diare, ikterus, membran mukosa pucat hingga ikterus, dan dapat
menyebabkan kematian.

Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian nitroxinil dengan dosis 10mg/kg BB.
Pengobatan dengan nitroxinil perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama. Selain itu,
obat lain yang dapat digunakan adalah mebendazol, rafoxinide. Pengobatan diberikan 2 kali dalam
1 tahun. Sementara pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian pakan hijauan yang telah
dikeringkan 2-3 hari serta menjaga sanitas sekitar kandang. Pemberantasan inang sementara yaitu
siput air dengan menggunakan copper sulfat atau dengan melepaskan bebek/itik.

Pemeriksaan Urin

Berdasarkan uji dipstick diketahui bahwa dalam urin sapi tidak terdapat kandungan nitrit.
Artinya, tidak terdapat infeksi bakteri pada saluran urinaria. Nitrit yang ditemukan terkait dengan
kontaminasi bakteri sehingga hasil positif palsu dapat terjadi, oleh sebab itu hasil positif dari
pengujian nitrit pada urine hewan lebih mengacu pada masalah keberadaan mikrob kontaminan
penghasil nitrit, sedangkan mikrob patogen pada saluran urinaria hewan jarang menghasilkan
nitrit. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bush (1991) yang disitasi Chandri, (2008), bahwa nitrit
merupakan hasil reduksi nitrat oleh bakteri. Menurut Free (1991) disitasi Rotoro (1992)
pengukuran nilai dari nitrit yang abnormal bisa diindikasikan karena adanya gangguan atau infeksi
traktus urinarius, infeksi bakteri Escherichia coli, Salmonella, Citrobatter, Proteus, dan
Klebsiella.

Protein dalam urine secara umum berhubungan dengan demam, kerja otot ringan, dan
hal-hal yang menyebabkan protein lolos dari filtrasi glomerulus sa, 2005). Keadaan kehamilan
atau latihan berat juga akan menambah produksi protein dalam tubuh akibat dari reruntuhan
sel-sel traktus urinarius. Hal tersebut sesuai dengan keadaan saat penelitian, aktivitas sapi
lebih aktif pada saat pengambilan sampel urine sehingga menyebabkan sapi lebih banyak
bergerak dan adanya sapi yang sedang bunting sehingga pada saat pengukuran menggunakan
dipstick urine terdapat adanya protein. Protein dalam urine pada kondisi abnormal dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu gangguan ginjal baik ringan, sedang-parah, gagal ginjal
kronis dan gangguan primer glomerular. Faktor di luar ginjal yang memengaruhi peningkatan
protein urine adalah peradangan pada saluran genital, hematuria, hemoglobinemia, mio-
globinemia dan hiperproteinemia (Bush, 1991 yang disitasi Chandri, 2008).

Abnormalitas lain yang ditemukan adalah jumlah protein dalam urin sapi terdeteksi
sebanyak 1,0 g/L. Jumlah ini terbilang tinggi dengan indikator semi-kuantitatif menunjukkan
simbol +2. Kondisi urin mengandung protein dalam jumlah yang tinggi dinamakan
proteinuria/albuminuria. Proteinuria dapat mengindikasikan adanya gangguan kerusakan ginjal.
Hal ini disebabkan protein dapat keluar bersama dengan urin bila ginjal tidak bekerja dengan baik.
Protein yang seharusnya melalui tahap filtrasi menjadi langsung menuju urin. Umumnya
proteinuria disebabkan kondisi medis sementara dan non-cancerous/benign. Diantaranya adalah
dehidrasi, inflamasi, dan tekanan darah rendah. Aktivitas yang berat dan stres juga dapat menjadi
pemicu dari proteinuria. Pada hasil paling bawah menunjukkan kadar Protein Creatinine Ratio
(PCR) yang cukup tinggi dengan nilai 33,9 g/mmol. Jumlah PCR yang tinggi menandakan
keberadaan protein dalam urin. Peningkatan kadar protein dan kreatinin dalam urin dapat
mengindikasikan gangguan pada ginjal seperti amiloidosis, chronic kidney disease, dan dapat pula
disebabkan penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid. Berdasarkan hasil urinalisis didapatkan
hipotesis yaitu adanya gangguan fungsi/kerusakan pada ginjal.
Mikroalbumin merupakan protein penting yang diproduksi di dalam hati. Mikroalbumin
umumnya ditemukan dalam darah. Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai adanya ekskresi
albumin dalam jumlah kecil (30-300 mg/d) di dalam urin. Berdasarkan uji urinalisis yang
dilakukan didapat kadar mikroalbumin/MA sebesar 150 mg/L. Jumlah albumin yang berlebihan
di dalam air seni bisa menjadi indicator terjadinya kerusakan ginjal. Kreatinin merupakan produk
sisa yang normalnya ditemukan dalam urin. Perbandingan rasio antara mikroalbumin dan kreatinin
(ACR) seringkali digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan pada ginjal. Jumlah albumin
pada urin dapat bervariasi sepanjang hari, namun kreatinin cenderung keluar dalam jumlah yang
tetap. Kadar kreatinin yang tinggi ≥26,4 mmol/L mengindikasikan adanya gangguan
fungsi/penyakit pada ginjal, diabetes, dan tonus otot tinggi. Pada percobaan ini didapatkan
kreatinin sebesar 26,4 mmol/L. Tidak ditemukan adanya keton, bilirubin, dan glukosa dalam urin
sapi (0 mmol/L) serta urobilinogen yang normal.

Nilai BJ masih dalam kondisi normal yaitu masih dalam nilai 1,000-1,050. Variasi nilai BJ
mengarah pada kondisi hewan yang mengalami dehidrasi, sehingga asupan cairan ke dalam tubuh
memengaruhi berat jenis baik dari minum ataupun makanan. Menurut Todd dan Sanford (1974)
berat jenis dipengaruhi oleh suhu lingkungan, BJ akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu
tubuh. Berat jenis urin menunjukkan kemampuan tubulus ginjal untuk filtrasi glomerulus.
Umumnya, saat volume urin meningkat, berat jenis menurun karena pengenceran, dan ketika
volume berkurang, nilai berat jenis meningkat karena konsentrasi urin (Constable et al., 2017).
Volume urin yang tinggi dan berat jenis yang rendah pernah dilaporkan, tetapi tidak selalu
diindikasikan sebagai penyakit ginjal. Penurunan konsumsi air minum pada ternak dapat
menyebabkan penurunan berat jenis urin (Constable et al., 2017). Kreatinin darah berasal dari
katabolisme kreatin yang terdapat pada jaringan otot tubuh, sebagai simpanan energi dalam otot
(sebagai fosfokreatin). Komponen ini tidak digunakan lagi oleh tubuh, dan satu satunya
pengeluaran substansi tersebut adalah melalui ginjal. Dalam ginjal akan disaring oleh glomerulus
tanpa mengalami reabsorbsi. Kreatinin lebih mudah diekskresi bila dibandingkan dengan BUN
(Blood Urea Nitrogen), sehingga peningkatan kadar kreatinin dalam darah tidak tampak pada
stadium awal kelainan fungsi ginjal.

Nilai pH masih berada dalam kategori normal yaitu berada pada kondisi basa. Kondisi
makanan sapi yang diberikan umumnya berasal dari hijauan ditambah konsentrat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Coles (1986), hewan yang mengonsumsi makanan yang berasal dari tumbuhan
mempunyai kecenderungan membentuk urine alkalis sampai netral. Nilai pH basa dapat
disebabkan oleh kondisi respiratori alkalosis sehingga dapat menyebabkan peningkatan ventilasi

paru-paru pada gangguan respirasi maka terjadi pengeluaran karbondioksida yang berlebihan.
Kreatinin merupakan produk akhir metabolisme kreatin-fosfat yang terjadi di dalam otot.
Kreatinin yang terbentuk akan dilepaskan ke dalam sirkulasi darah, kemudian dialirkan melalui
sirkulasi darah menuju ke organ ginjal. Kreatinin difiltrasi oleh glomerulus di dalam ginjal. Jika
terdapat gangguan pada fungsi filtrasi ginjal maka kadar kreatinin dalam darah akan meningkat,
dan kenaikan ini dapat digunakan sebagai indikator adanya gangguan fungsi ginjal. Tinggi atau
rendahnya kadar kreatinin dalam darah juga dapat digunakan sebagai gambaran berat ringannya
gangguan fungsi ginjal (Meyer & Harvey, 2004).
Kelebihan jumlah protein yang ada dalam urin disebut proteinuria. Glomeruli mencegah
partikel protein seperti albumin agar tidak dikeluarkan dalam urin, jenis stres pada hewan baik
fisik maupun emosional dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus yang pada
akhirnya mengakibatkan proteinuria (Jacob, 2020). Protein dalam urin dapat dideteksi dengan
menggunakan dipstik untuk menilai kadar albumin dalam urin (Jacob, 2020). Metode diagnosis
proteinuria dapat dilakukan dengan menentukan rasio protein:kreatinin (UPC/PCR). PCR
merupakan pembagian protein urin dalam mg/dL oleh kreatinin urin dalam mg/dL (Chew &
Emeritus, 2020). PCR diukur menggunakan benchtop analyzer sebagai gold standard, tetapi PCR
dapat diperkirakan pada dipstik urin (Chew & Emeritus, 2020). Dipstik yang berisi bantalan untuk
mengukur konsentrasi kreatinin urin memungkinkan PCR untuk dihitung. PCR dapat meningkat
ketika ekskresi kreatinin urin menurun. Peningkatan nilai PCR biasanya memiliki nilai MA
(Microalbumin) positif pada saat yang bersamaan (Chew & Emeritus, 2020). MA memiliki hasil
positif terlebih dahulu, diikuti oleh PCR, dan kemudian nilai protein pada dipstrip menunjukkan
hasil positif untuk penyakit dengan cedera glomerulus progresif (Chew & Emeritus, 2020). Deteksi
MA dapat menunjukkan adanya kerusakan glomerulus dini yang tidak terdeteksi oleh metode lain.
Albuminuria yang persisten merupakan indikator klinis awal penyakit glomerulus (Chew &
Emeritus, 2020).

Urin normal hanya mengandung sedikit jumlah protein yang tidak cukup untuk dideteksi
menggunakan tes dipstik standar. Pada herbivora nilai protein menghasilkan reaksi positif palsu
pada tes dipstik urin (Constable et al., 2017). Hasil positif uji dipstik terhadap protein harus
dipertimbangkan Kembali, pH urin alkali dari ternak dapat mengehasilkan positif palsu pada
protein, oleh karena itu pengukuran kuantitatif proteinuria direkomendasikan (Herman et al.,
2019). Sensitivitas dan spesifisitas yang rendah pada uji dipstik menyebabkan perlu ada uji lebih
lanjut apabila hasil dipstik mengalami proteinuria (Mauliddina, 2010). Asam sulfosalisilat 20%
dianggap sensitif dalam mendeteksi proteinuria disamping harganya lebih murah dan dapat
dilakukan dengan cepat (Mauliddina, 2010). Metode ini dapat menggunakan urin sewaktu dan
hanya memerlukan 3 ml urin serta 8 tetes asam sulfosalisilat 20% kemudian dinilai berdasarkan
kekeruhan urin dan dicatat berdasarkan inspeksi manual. Tes ini juga lebih akurat dibandingkan
dengan metode dipstik (Mauliddina, 2010).

Pemeriksaan Ektoparasit

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya ektoparasit pada ekor sapi berupa
kutu dan lalat yang menghinggapi tubuh sapi. Kutu yang di temukan adalah Haematopinus sp.
kutu ini termasuk filum arthropoda, kelas mallophagorida, ordo mallophaga, famili
mallophagaidae, genus haematopinus. Kutu ini merupakan ektoparasit yang sering menginfestasi
sapi. Seluruh siklus hidup kutu ini bergantung pada induk semang dan hanya dapat bertahan hidup
beberapa jam di luar tubuh inang (Guimaraes et al., 2001).

Haematopinus sp. merupakan kutu yang sering ada di hewan domestik dengan warna
kuning ke abu-abu coklatan dengan garis hitam pada masing-masing tepi, tidak memiliki mata,
memiliki tiga pasa kaki yang lebar dan pipih (Urquhart et al., 1987). Kutu ini memiliki mulut yang
terdiri dari probosis halus dan kecil yang disebut haustelum dengan bagian dalamnya terdapat gigi-
gigi kecil yang mengarah keluar untuk ditancapkan pada kulit inangnya. Kutu ini juga memiliki
organ penusuk seperti jarum yang terdiri dari 3 buah disebut stilet untuk menghisap darah dan
menyuntikan kelenjar ludah ke dalam tubuh induk semang (Hadi dan Soviana, 2000). Ektoparasit
ini dapat menyebabkan anemia hingga kematian jika kasus parah. Gejala klinis yang tampak
adalah gatal, tidak nyaman, dan lesu.

Ektoparasit selanjutnya yang ditemukan adalah lalat. Jenis lalat yang ditemukan yaitu
Musca domestica. Lalat ini sering juga disebut lalat rumah yang termasuk ke dalam famili
Muscidae yang penyebarannya di seluruh dunia merupakan serangga yang keberadaannya dekat
dengan hewan ataupun manusia. Lalat jantan biasanya lebih kecil daripada betina. Ciri khas dari
lalat ini memiliki empat garis longitudinal di dorsal dengan mulut yang tumpul dan ujung labela
melebar yang berfungsi untuk menyerap makanan (Hadi dan Soviana, 2000). Abdomen pada
betina memiliki pola yang khas yaitu berwarna abu-abu dan hitam bergantian pada bagian dorsal
midline dan kekuningan pada bagian pinggirnya (Moon, 2002). Lalat ini dapat berperan sebagai
vektor penyakit pink eye pada sapi selain itu dapat menjadi vektor antraks, tifoid, dan beberapa
bentuk konjungtivitis (Borror et al., 1996). Pengendalian dan pencegahan mejadi upaya penting
dalam kasus ini. Pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan menggunakan insektisida baik
kimia maupun alami seperti minyak essensial monoterpen dari ektrak pohon sejenis pinus dan juga
menjaga kebersihan serta sanitasi kandang.

SARAN
Temuan dari pemeriksaan hematologi darah yang mengindikasikan bahwa ternak

mengalami makrositik hipokromik anemia dapat diberikan tindakan pengobatan berupa


pemberian sediaan zat besi baik dalam bentuk oral ataupun parenteral untuk membantu proses

pemulihan seperti B12 dan Asam Folat. Dan temuan dari hasil uji urinalisis yang

mengindikasikan bahwa ternak mengalami gangguan fungsi atau kerusakan pada ginjal yaitu

yang paling utama berupa memperbaiki status hidrasi ternak serta penggunaan pakan yang

disesuaikan dengan kebutuhan yang menunjang pemulihan gangguan fungsi atau kerusakan
pada ginjal ternak sapi, menjaga sanitasi dan kebersihan kandang serta pemberian vitamin dan

mineral yang rutin perlu dilakukan untuk menunjang kesehatan dan kenyamanan ternak. Selain

itu pemberian obat cacing berupa nitroxinil atau sediaan lainnya dan pemberian obat kutu berupa

ivermectin penting dilakukan untuk menghindari adanya infeksi diakibatkan oleh endoparasit

dan ektoparasit. Pencegahan berupa pengendalian vektor dengan insektisida dan menjaga
higiene sanitasi kandang menjadi hal penting dalam manajemen kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Allison RW, Meinkoth JH: 2010, Anemia caused by rickettsia, mycoplasma, and protozoa. In:
Schalm’s veterinary hematology, ed. Weiss DJ, Wardrop KJ, 6th ed., pp. 199–210.
Wiley, Ames, IA.

Borror, D.J., C.A, Triplehorn, N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Chandri, B. 2008. Studi Kandungan Urine Anjing Kampung (Canis familiaris) Umur 3 Bulan dan
6 Bulan dengan Menggunakan Reagen Strip Test. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor. Bogor

Chauvin, A., G. Bouvet, C. Boulard. 1995. Humoral And Cellular Immune Responses To Fasciola
Hepatica Experimental Primary And Secondary Infection In Sheep.Int J Parasitol.
25(10):1227- 41.

Chew, D. J., and Emeritus. (2020). How to Interpret Proteinuria Results. Zoetis Services LLC,
VetScan.

Coles, E.H. 1986. Veterinary Clinical Phatology. 4th ed. WB. Saunders. Co. Philadelphia. Free,
A.H. 1991. The Methodology of Current-Day Routine Urynalisis. Diagnostic Division
Miles Inc. Elkhart, USA

Constable, P.D., K. W. Hinchcliff, S. H. Done, and W. Grünberg. (2017). Chapter 13 - Diseases


of the Urinary System, Veterinary Medicine (Eleventh Edition). W.B. Saunders.
https://doi.org/10.1016/B978-0-7020-5246-0.00013-9.
Egbu,M.I.Florence., O.P. Ubachukwu, C.I. Okoye. 2013.Haematological Changes Due to Bovine
Fascioliasis. Afr. J. Biotechnol., 12 (15):1828- 1835.

Flynn R J, Irwin J A, Olivier M, Sekiya M, Dalton P J, Mulcahy G. Alternative activation


of ruminant macrophages by Fasciola hepatica.Veterinary Immunology and
Immunopathology. 2007;120 (1-2): 31-40
Falconer GJ, Chapman PN: 1977, An evaluation of five commonly used anticoagulants, in
relation to the accuracy of haematological tests for bovine, ovine, equine and canine
blood. N Z Vet J 25:86–89.

Ganguly,A., R.S. Bisla, S.S. Chaudhri. 2016. Haematological And Biochemical Change In Ovine
Fasciolosis. Haryana vet, 55: 27-30.

George, J.W., J. Snipes, V.M. Lane. 2010. Comparison Of Bovine Hematology Reference
Intervals From 1957 to 2006. Vet Clin Pathol 39: 138- 148

Hadi, U. K. dan S. Soviana 2000. Ektoparasit. Pengenalan Diagnosis dan pengendaliannya.


Laboratorium Entomologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Herman, N., Abella, N. B., Braun, J. P., Ancel, C., Schelcher, F., Trumel, C. (2019). Urinalysis
and determination of the urine protein-to-creatinine ratio reference interval in healthy
cows. J Vet Intern Med. 2019;1–10.
Jones ML, Allison RW: 2007, Evaluation of the ruminant complete blood cell count. Vet Clin
North Am Food Anim Pract 23:377–402, v

Kardena IM, Elyda IBOW, Adhiwinata IDM. Gambaran histopatologi selaput lendir
kantung empedu sapi Bali yang terinfeksi cacing Fasciolagigantica. Jurnal Veteriner.
2016;17(1):16-21.

Kay AB: 1985, Eosinophils as effector cells in immunity and hypersensitivity disorders. Clin Exp
Immunol 62:1–12.

Lotfollahzadeh, S., M. Mohri, ShR. Bahadori, M.R. Dezfouly, P. Tajik. 2008.The Relationship
Between Normocytic, Hypochromic Anaemia And Iron Concentration Together With
Hepatic Enzyme Activities In Cattle Infected With Fasciola Hepatica.J. Helminthol. (1)
:85-88.

Mauliddina, J. (2010). Uji diagnostic proteinuria menggunakan asam sulfosalisilat 20%


dibandingkan dengan spektofotometer. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Meyer, D. J. and Harvey, J. W. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and
Diagnosis. 3rd ed. Elsevier. USA. 225 – 231.

Moon, M.J. 2002. The Evolution of EGovemment among Municipalities: Rhetoric or Reality?
dalam Public Administration Review. Blackwell Publishing on behalf of the American
Society for Public Admmistration. Vol. 62 (4): 424- 433.
Rotoro, S.R. 1992. Tinjauan Beberapa Manfaat Klinik dari Analisa Urine Anjing Melalui
Pemahaman Proses Pembentukan Urine dan Penetapan Nilai Urine Sehat. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Santosa, C.M. 2005. Bahan Ajar Analisis Urine Veteriner. Bagian Patologi Klinik. Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

Schwendenwein I: 2009, Untersuchung des Blutes [Examination of blood]. In: Klinische


Propädeutik der Hausund Heimtiere [Clinical propaedeutics of domestic animals], ed.
Baumgartner W, 7th ed., pp. 432–461. Parey, Stuttgart, Germany. In German

Todd, J.C. and A.H. Sanford. 1974. Clinical Diagnosis by Laboratory Methods. 15th ed. W.B.
Saunders Company, United Stated of America.

Urquhart, G. M., J. Armour., J. L. Duncan, A. M. Dunn, F. W. Jennings. 1987. Veterinary


Parasitology. Departement of Veterinary Parasitology, Faculty of Veterinary Medicine.
University of Glasgow. Hal : 164-69

Wiedosari. E., H. Hayakawa, B. Copeman. 2006. Host differences in response to trickle infection
with Fasciola gigantica in buffalo, Ongole and Bali calves. Trop. Anim. Health Prod.
38:43-53.

Zhang,W.Y., M. Moreau,B.Z. Yang, Z. Q.Li, J.C. C. Hope, J. Howard, Y. W.Huang.2006.


Humoral And Cellular Immune Responses To Fasciola Gigantica Experimental Infection
In Buffaloes. Research In Vet. Sc80: 299-307.

Anda mungkin juga menyukai