Oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan “Modul Penentuan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Kota Malang” tepat pada waktu yang telah ditentukan. Penyusunan modul ini dilakukan
untuk memenuhi tugas besar mata kuliah Sistem Informasi Perencanaan II. Selama proses
pengerjaan modul ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari pihak-pihak
tertentu. Oleh sebab itu kami selaku penulis ucapkan banyak terima kasih terutama kepada :
1. Bapak Widiyanto Hari Subagyo Widodo, ST.,M.Sc dan Ibu Annisa Hamidah Imaduddina
ST.,MSc selaku Dosen Mata Kuliah Sistem Informasi Perencanaan II yang telah
memberikan banyak pengetahuan dan masukan selama perkuliahan maupun bimbingan
asistensi.
Penyusunan modul mata kuliah Sistem Informasi Perencanaan II ini telah kami usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat
memperlancar proses pembuatan laporan ini. Kami berharap semoga laporan ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya mahasiswa Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota. Kami yakin masih banyak kekurangan dalam laporan ini karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
serta kritik dari pembaca yang berguna untuk membangun dan memotivasi diri, demi
kesempurnaan pengerjaan laporan ini dan kemajuan studi kami selanjutnya. Malang, Oktober 2020
Penulis
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Pertumbuhan penduduk di setiap wilayah terus meningkat disetiap tahunnya, entah
dari tingginya angka kelahiran, kematian hingga mobilitas penduduk dari wilayah luar
untuk bermukim di wilayah yang ingin di kunjungi maupun dikunjungi nya. Menurut
Damanhuri dan Padmi (2011) Besarnya penduduk dan keragaman aktivitas di kota-kota
besar di Indonesia mengakibatkan munculnya persoalan dalam pelayanan prasarana
perkotaan, seperti masalah sampah. Menurut definisi World Health Organization (WHO)
sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu
yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya.
Menurut Tchibanigkisus,1993) Sampah merupakan masalah yang perlu mendapat
perhatian serius, terutama bagi masyarakat yang tinggal di kota. Adanya tingkat
pertumbuhan kota yang cukup pesat dan beragam aktifitas, penduduknya selalu
meninggalkan sisa yang dianggap sudah tidak berguna lagi yaitu sampah dan limbah.
Sampah merupakan buangan berupa padat yang merupakan polutan umum yang
menyebabkan turunnya nilai estetika lingkungan, membawa berbagai jenis penyakit,
menurunkan sumber daya alam, menimbulkan polusi, menyumbat saluran air dan berbagai
akibat negative lainnya. Sampah sendiri merupakan salah satu permasalahan utama yang
terus menurus dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia. jika tidak dilaksanakan
pengelolaan sampah yang efektif oleh instansi terkait, hal ini akan menimbulkan berbagai
permasalahan terkait kebersihan dan estetika kota serta terganggunya kenyamanan warga
yang bermukim dan beraktifitas di kota tersebut. Menurut Pedoman Pemanfaatan Kawasan
TPA Sampah (2000), Di kota-kota besar masalah sampah seringkali dikaitkan dengan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang merupakan tempat terakhir untuk
menimbun sampah. Keberadaan TPA ini sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah
persampahan, mengingat kurangnya kesadaran msyarakat untuk mengolah sampah
domestiknya sendiri. Peningkatan jumlah timbulan sampah yang tidak terkendali pada
akhirnya akan membuat kapasitas dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) mencapai batas
maksimum atau overload. Menurut SNI 03-3241-1994, tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah adalah sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah
berupa tempat yang digunakan untuk mengkarantina sampah kota secara aman. TPA juga
adalah tempat atau sebuah lokasi sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaan mulai
dari sumber, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan. TPA
membutuhkan lahan yang luas untuk menampung sampah dalam waktu lama dan berlokasi
jauh dari tengah kota dan kawasan dengan kepadatan penduduk yang tinggi karena
merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman serta tidak menimbulkan
gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Menurut Budihardjo (2006) Desain TPA
merupakan hal utama dalam pengelolaan TPA di Indonesia yang umumnya bersifat Open
Dumping atau Control Landfill. Sedangkan menurut Undang-undang no.18 Tahun 2008,
seluruh TPA harus bersifat Sanitary Landfill. TPA didesain untuk menampung dan
menyimpan sampah agar tidak membahayakan manusia dan lingkungan serta menjadi
tempat pengelolaan sampah yang dapat mengolah sampah sehingga menghasilkan nilai
lebih Pada setiap wilayah tentunya memiliki permasalahan terhadap penanganan sampah
yang berdampak terhadap wilayah itu sendiri, terlebih seperti Kota Malang merupakan
salah satu Kota di Provinsi Jawa Timur dan merupakan Kota yang memiliki luas 110,06
km². Kota Malang memiliki 1 (satu) TPA yaitu TPA Supit Urang di Kecamatan Wagir.
TPA Supit Urang dinilai sudah tidak layak dan diproyeksikan kapasitasnya sudah tidak
mencukupi dalam menampung volume sampah, serta letaknya yang sangat dekat dengan
permukiman tentu sangat megganggu kenyamanan masyarakat sekitar serta TPA yang
berada di Kecamatan Wagir. Dengan pertumbuhan penduduk di Kota Malang sebesar
1,58% per 5 tahunnya, konsumsi pun bertambah dan produksi sampah semakin besar.
Kabupaten Malang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, rawan longsor, rawan gempa,
Bukan daerah rawan geologis yaitu daerah dengan kondisi kedalaman air
tanah kurang dari 3 meter, jenis tanah mudah meresapkan air, dekat dengan
Berdasarkan fungsi dari fasilitas-fasilitas yang ada pada TPA tersebut menandakan bahwa
TPA merupakan tempat sampah yang telah direncanakan dengan baik dengan meninjau segala
dampak dan manfaat bagi lingkungan sekitar TPA.
2.3 TEORI PENENTUAN LOKASI TPA
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah merupakan tempat sampah mencapai tahap
akhir dalam pengelolaannya. Menurut Sularmo, Buchari, Jaya, dan Tugiyono (2010), dalam
pengelolaan sampah dapat digunakan berbagai metode dari yang sederhana hingga tingkat
teknologi tinggi. Metode pembuangan akhir yang banyak dikenal adalah :
Open dumping, yaitu cara pembuangan akhir yang sederhana karena sampah hanya
ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus.
Control landfill, merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary
landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Setelah timbunan sampah
penuh, dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan
dipadatkan.
Control landfill, merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary
landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Setelah timbunan sampah
penuh, dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan
dipadatkan.
Sumber dan komposisi sampah kota yaitu dari pemukiman dan pasar tradisional. Sampah
pasar pada umumnya mengandung sampah organik yang terdiri dari sampah sayuran, buah, dan
sejenisnya yang seragam sehingga memudahkan dalam pengelompokan. Sedangkan sampah
pemukiman cukup beragam dimana beberapa komposisi mengandung sampah organik dan sampah
anorganik.
2.4 KRITERIA LOKASI VARIABEL
Kriteria lokasi (faktor lokasi) dari fasilitas persampahan menentukan wilayah-wilayah
yang memenuhi syarat dan kelayakan sebagai lokasi pembuangan sampah. Lokasi pembuangan
sampah sebaiknya memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut (SNI 03-3241- 1994 tentang tata
cara penentuan lokasi pembuangan akhir sampah):
Beberapa faktor lain yang mendukung suatu lokasi dijadikan tempat pembuangan sampah
(SNI 03-3241-1994 tentang tata cara penentuan lokasi pembuangan akhir sampah) adalah :
Tempat pembuangan akhir sampah adalah sarana fisik berupa tempat yang digunakan
untuk mengkarantinakan sampah kota secara aman. Kriteria lokasi TPA harus memenuhi
persyaratan/ketentuan hukum, pengelolaan lingkungan hidup dengan AMDAL, serta tata ruang
yang ada. Kelayakan lokasi TPA ditentukan berdasarkan:
Kriteria regional digunakan untuk menentukan kelayakan zone meliputi kondisi
geologi, hidrogeologi, kemiringan tanah, jarak dari lapangan terbang, cagar alam
banjir dengan periode 25 tahun.
Kriteria penyisih digunakan untuk memilih lokasi terbaik sebagai tambahan
meliputi iklim, utilitas, lingkungan biologis, kondisi tanah , demografi, batas
administrasi, kebisingan, bau, estetika dan ekonomi.
Kriteria penetapan digunakan oleh instansi berwenang untuk menyetujui dan
menetapkan lokasi terpilih sesuai kebijakan setempat. Cara pengerjaan yaitu
dengan melakukan analisis terhadap data sekunder, berupa peta topografi, geologi
lingkungan, hidrogeologi, bencana alam. peta administrasi, kepemilikan lahan, tata
guna lahan dan iklim, peta lahan pangan pertanian berkelanjutan (LP2B) data
primer berdasarkan kriteria, pembuatan peta skala 1: 25.000 atau 1:50.000 dan
identifikasi lokasi potensial.
Kriteria ini dipilih untuk menanggulangi dampak pemcemaran yang akan terjadi pada
lokasi TPA sampah yang baru. Penentuan jarak TPA terhadap sungai ditetapkan 500 meter sebagai
buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi untuk mencegah pencemaran air, gangguan bau, lalat, dan
bising yang ditimbulkan dari TPA sampah.. Penentuan jarak terhadap perumahan terdekat ini
berdasarkan atas tata cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SNI 03-3241-
1994) dan standart Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SKSNI-7-
11-1991-03) yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum. 2. Jarak Dari Badan Air
Kriteria ini dipilih untuk menanggulangi dampak pemcemaran yang akan terjadi pada lokasi TPA
sampah yang baru. Penentuan jarak TPA terhadap sungai ditetapkan 100 meter sebagai buffer tidak
layak. Buffer ini berfungsi sebagai sempadan untuk pengelolahan sungai dan sungai yang
dimaksud adalah sungai permanen. Penentuan jarak terhadap badan air ini berdasarkan atas tata
cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SNI 03-3241-1994) dan standart Tata
Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SKSNI7-11-1991-03) yang
dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Kepadatan Penduduk
Kriteria ini dipilih berdasarkan atas kondisi wilayah Kabupaten Sidoarjo yang cenderung
memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Kepadatan penduduk ini berpengaruh pada penerimaan
lokasi TPA sampah disekitar masyarakat dan masalah penanggulangan pencemarannya.
Kepadatan penduduk lebih rendah dinilai makin baik guna mengurangi resiko konflik sosila dan
dampak penemarannya, sehingga kepadatan penduduk ini perlu dimasukan dalam kriteria
penentuan lokasi TPA sampah. Penentuan kriteria kepadatan penduduk ini berdasarkan atas Tata
Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SNI 03-3241-1994) dan Tata Cara
Teknik Operasional Pengelolaan Sampah (SNI 19- 2454-2002)
Kemiringan/Kelerengan Tanah
Variabel kondisi tanah ini berpengaruh pada aliran air lindi sehingga kriteria kemiringan
tanah ini penting dimasukan dalam kriteria penentuan lokasi TPAsampah. Selain itu kemiringan
lereng berkaitan erat dengan kemudahan pekerjaan konstruksi dan operasional TPA sampah.
Semakin terjal suatu daerah semakin sulit perkerjaan konstruksi dan pengoperasiannya. Daerah
dengan kemiringan lereng lebih dan 20% dianggap tidak layak untuk menjadi TPA sampah.
Penentuan kriteria kemiringan/kelerengan tanah ini berdasarkan atas Tata Cara Pemilihan Lokasi
Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SKSNI-7-11-1991-03) yang dikeluarkan oleh Departemen
Pekerjaan Umum.
Kriteria ini dipilih berdasarkan atas kondisi wilayah Kabupaten Sidoarjo yang memiliki
penetapan kawasan rawan bencana yang telah diatur dalam Rencana Tata Ruang Kabupaten
Sidoarjo. Zona bahaya geologi merupakan daerah yang rentan terhadap gerakan tanah yang
merupakan daerah yang tidak layak bagi lokasi TPA, karena akan menimbulkan bencana baik
terhadap insfrastrukturnya sendiri maupun memicu terjadinya penyebaran pencemaran dan
membahayakan opoerasinya. Penentuan kriteria tidak berada pada zona bahaya geologi ini
berdasarkan atas tata cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SNI 03-3241-
1994) dan standart Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SKSNI-7-
11-1991-03) yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Kriteria ini dipilih berdasarkan atas kondisi wilayah Kabupaten Sidoarjo yang memiliki
penetapan kawasan lindung maupun kawasan bududaya yang telah diatur dalam Rencana Tata
Ruang Kabupaten Sidoarjo. Adapun fungsi dari kawasan lindung adalah kawasan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber
daya buatan, sehingga tidak cocok untuk digunakan sebagai lokasi TPA. Daerah lindung seperti
hutan lindung, cagar alam, cagar budaya dan sebagainya yang ditetapkan sebagai kawasan lindung
oleh peraturan perundangundangan dinyatakan sebagi daerah yang tidak layak untuk menjadi TPA
sampah. Penentuan kriteria tidak dalam wilayah lindung ini berdasarkan atas tata cara Pemilihan
Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SNI 03-3241- 1994) dan standart Tata Cara
Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SKSNI-7-11-1991-03) yang dikeluarkan
oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Kelulusan/Permeabilitas Tanah
Kriteria ini dipilih untuk menanggulangi dampak pencemaran yang akan terjadi pada lokasi
TPA sampah yang baru. Kelulusan tanah/permebeabilitas tanah ini berhubungan dengan material
batuan berbutir halus seperti batu lempung dan napal mempunyai daya peredaman yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan materialbesar atau kristalin. Batu gamping dianggap tidak layak
untuk menjadi TPA sampah karena batuan ini umumnya berongga. Jenis batuan ini sangat
berperan dalam mencegah atau mengurangi pencemaran air tanah dan air permukaan secara alami
yang berasal dari air lindi. Karena keterbatasan data tentang permabilitas tanah pada wilayah studi
maka data diganti dengan peta jenis tanah. Dimana jenis tanah juga berpengaruh dalam proses
penyerapan air permukaan. Penentuan kriteria kelulusan / permeabilitas tanah ini berdasarkan atas
tata cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SNI 03-3241- 1994) dan standart
Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SKSNI-7-11-1991-03) yang
dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Kriteria ini dipilih berdasarkan atas kemudahan akses menuju lokasi TPA sampah yang
penting sebagai penunjang proses pengelolahan sampah. Dimana akses menuju lokasi TPA dinilai
berdasarkan atas, semakin dekat jarak dengan ruas jalan lokal menuju lokasi TPA dan kondisi
prasarananya bagus, semakin bagus pula lokasi TPA tersebut. Penentuan kriteria lokasi mudah
diakses ini berdasarkan atas tata cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (SNI
03-3241- 1994).
Kriteria ini dipilih berdasarkan atas kondisi wilayah Kabupaten Sidoarjo yang terdiri dari
jalan arteri. Penetapan lokasi TPA sampah diharuskan jauh dari jalan arteri, hal ini untuk
menghindari polusi udara dan kondisi macet. Penetapan jarak TPA sampah terhadap jalan raya
ditetapkan 150 meter sebagai buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi sebagai daerah penyangga
terhadap estetika. Jalan yang diberi buffer adalah jalan utama.
Kriteria ini dipilih untuk mengetahui wilayah yang belum terbangun yang akan diginakan
sebagai lokasi TPA sampah yang baru. Lahan kosong ini harus memiliki luas lebih dari 10Ha yang
tidak ada kegiatan apapun didalamnya yang merupakan lahan pertanian dan perkebunan.
Penentuan wilayah yang belum terbangun ini berdasarkan atas tata cara Pemilihan Lokasi Tempat
Pembuangan Akhir Sampah (SNI 03-3241-1994).
BAB III
PEMBAHASAN
2. Lalu klik ArcToolbox >> Conversion Tools >> To Raster >> Polygon To Raster.
3. Lalu pada Input Feature isi dengan shp kebencanaan >> pada Value Field pilih LAYER
>> lalu Cellsize ubah menjadi 10 >> Simpan di folder yang di inginkan.
6. Lalu pada Input Raster isi dengan hasil ruster shp bencana >> isi new value sesuai skor
>> pilih tempat penyimpanan yang di inginkan >> Ok
7. Hasilnya seperti di bawah ini
8. Setelah itu klik kanan pada hasil Reclass >> Properties >> Unique Values >> pada Value
Field ubah menjadi Value >> atur warna >> Ok
9. Hasilnya seperti di bawah ini
12. Pada Input Features masukan Shp kepadatan penduduk >> pada Value Field ubah menjadi
Skor >> ubah Cellsize menjadi 10 >> simpan di tempatvyang di inginkan >> Ok
13. Lalu klik kanan pada hasil raster kepadatan penduduk >> Properties >> Symbology >>
Unique Value >> ubah warna sesai dengan yang di inginkan >> Ok
14. Selanjutnya masukan Shp Sungai dan admin kecamatan kota malang
15. Klik ArcToolbox >> Conversion Tools >> To Raster >> Polyline To Raster
16. Pada input Features isi dengan shp sungai >> pada Value Field pilih Layer >> ubah cellsize
manjadi 10 >> pilih tempat penyimpanan >> Ok.
17. Lalu klik ArcToolbox >> Spatial Analyst Tools >> Distanca >> Euclidian Distance
18. Pada input Raster masukan hasil ruster sungai >> pada maximum distance isi 200 >> ubah
cellsize menjadi 10 >> Environments >> Processing Extent >> Ubah menjadi Same as
Layer Kecamatan_malang >> Ok >> Ok.
19. Setelah itu ArcToolbox >> Spatial Analyst Tools >> Reclass >> Reclassify
20. Pada input raster isi dengan hasil Euclidian Distance >> Classify >> ubah Classes menjadi
3 >> pada Method ubah menjadi manual >> ubah break values menjadi 100, 150, 200 >>
pilih tempat penyimpanan yang di inginkan >> Ok.
21. Lalu klik kanan pada hasil Reclass >> Properties >> Symbology >> Unique Value >> ubah
warna sesuai dengan yang di inginkan >> Ok
22. Selanjutnya masukan Shp permukiman dan admin kecamatan
23. Klik ArcToolbox >> Conversion Tools >> To Raster >> Polygon To Raster
24. Pada input features masukan shp permukiman >> pada value field pilih keterangan >>
Ubah Cellsize menjadi 10 >> simpan di folder yang di inginkan >> Ok
25. Lalu klik ArcToolbox >> Spatial Analyst Tools >> Distance >> Euclidean Distance
23. Pada input Raster masukan hasil ruster permukiman>> pada maximum distance isi
1100 >> ubah cellsize menjadi 10 >> Environments >> Processing Extent >> Ubah
menjadi Same as Layer Kecamatan_malang >> Ok >> Ok.
24. Klik ArcToolbox >> Spatial Abalyst Tools >> Reclass >> Reclassify
25. Pada input features masukan hasil Euclidian Distance >> Classify >> ubah Classes
menjadi 3 >> lalu ubah break values menjadi 500, 1000, 1100 >> pilih tempat
penyimpanan >> Ok
26. Lalu klik kanan pada pada hasil Reclass >> properties >> simbology >> Unique Value
>> ubah warna sesuai dengan yang di inginkan >> Ok.
27. Selanjutnya masukan Shp jalan utama dan admin kecamatan
28. Klik ArcToolbox >> Conversion Tools >> To Raster >> Polyline To Ruster
29. Pada input features masukan shp jalan utama >> pada value field ubah menjadi
Keterangan >> Ubah Celsize menjadi 10 >> simpan di folder yang di inginkan >> Ok.
30. Klik ArcToolbox >> Spatial Analyst Tools >> Distance >> Euclidean Distance
31. Pada input Raster masukan hasil ruster Jalan Utama>> pada maximum distance isi 350
>> ubah cellsize menjadi 10 >> Environments >> Processing Extent >> Ubah menjadi
Same as Layer Kecamatan_malang >> Ok >> Ok.
32. Klik ArcToolbox >> Spatial Analyst Tools >> Reclass >> Reclassify
33. Pada input raster masukkan raster ED_Jalan_Utama.tif > Classify > Pada Classes pilih
3 > Pada Break Values isi dengan 150, 300 dan 350 > Pilih penyimpanan yang
diinginkan (Reclass_Jalan_Utama.tif) > OK
34. Lalu klik kanan pada hasil Reclass >> properties >> Simbology >> Unique value >>
ubah warna sesuai dengan yang di inginkan >> Ok.
35. Selanjutnya masukan shp jalan lokal dan admin kecamatan
36. Klik ArcToolbox >> Conversion Tools >> To Raster >> Polyline to raster
37. Pada input features masukan shp jalan lokal >> pada value field pilih keterangan >>
ubah Cellsize menjadi 10 >> simpan di folder yang di inginkan >> Ok.
38. Klik ArcToolbox >> Spatial Analyst Tools >> Distance >> Euclidean Distance
39. Pada input raster masukkan raster jalan lokal (Jalan_Lokal.tif) > Pilih penyimpanan
yang diinginkan (ED_Jalan_Lokal.tif) > Maximum distance isi dengan 350 > Output
cell size isi 10 > Environments > Procesing Extent pilih same ay layer Kecamatan
Malang > OK > OK
40. Lalu Klik ArcToolbox >> Spatial Analyst Tools >> Reclass >> Reclassify
41. Pada input raster masukkan raster ED_Jalan_Lokal.tif > Classify > Pada Classes pilih
3 > Pada Break Values isi dengan 150, 300 dan 350 > Pilih penyimpanan yang
diinginkan (Reclass_Jalan_Lokal.tif) > OK
42. Setelag itu klik kanan pada hasil reclass >> Properties >> simbology >> ubah warna
sesuai dengan yang di inginkan >> Ok
43. Selanjutnya masukan Shp peruntukan kawasan dan admin kecamatan
44. Klik ArcToolbox >> Concersion Tools >> To raster >> polygon to ruster
45. Pada input features masukan shp peruntukan kawasan >> pada value field pilih
keterangan >> ubah cellsize menjadi 10 >> simpan di folder yang di inginkan >> Ok.
46. Klik ArcToolbox >> Spatial Analyst Tools >> Reclass >> Reclassify
47. Pada input raster masukkan raster Peruntukan_Kawasan.tif > Classify > Pada Classes
pilih 1 > Pilih penyimpanan yang diinginkan (Reclass_Peruntukan_Kawasan.tif) > OK
48. Lalu klik kanan pada hasil reclass >> properties >> simbology >> ubah warna sesuai
denganyang di inginkan >> Ok
49. Selanjutnya masukan shp landuse dan admin kecamatan
50. Klik ArcToolbox >> conversion tools >> to raster >> polygon to raster
51. Pada input features masukan shp landuse >> pada value field pilih keterngan >> ubah
cellsize menjadi 10 >> simpan di tempat yang di inginkan >> Ok.
52. Lalu klik ArcToolbox >> Spatial Analyst Tools >> Reclass >> Reclassify
53. Pada input raster masukan hasil raster landuse >> pilih tempat penyimpanan >> Ok.
54. Setelah itu klik kanan pada hasil reclass >> properties >> simbology >> unique value
>> ubah warna sesuai dengan yang di inginkan >> Ok.
3.3 PENDETAILAN ANALISA AKL & TEKNIS
Tahapan Selanjutnya adalah tahapan overlay. Tahapan ini digunakan untuk mendetailkan
daerah mana yang paling cocok dengan lokasi sesuai dari penilaian AKL dan Penilaian teknis
dengan menggunakan tool weighted overlay.
2. Klik ArcToolbox >> Spatial Analyst Tools >> Overlay >> Weighted Overlay
3. Masukan satu persatu dari semua raster dengan cara Add raster row > kemudian pada input
raster,pilih raster yang akan dimasukan.
4. Jika sudah selesai, maka klik set equal influence > pilih evaluation scale 1 to 3 by 1 > pilih
tempat penyimpanan > OK.
Hasilnya Seperti Di Bawah Ini :
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tempat pembuangan akhir (TPA) adalah tempat untuk menimbun sampah dan
merupakan bentuk tertua perlakuan sampah. Perumusan lokasi TPA yang sesuai dan dapat
lebih produktif namun tetap dapat menaggulangi dampak negatif dari aktivitas pengolahan
sampah yang akan ditimbulkan yaitu pencemaran lingkungan setempat seperti pencemaran
air tanah oleh kebocoran dan pencemaran tanah sisa selama pemakaian TPA, pelepasan
gas metana yang disebabkan oleh pembusukan sampah organik (metana adalah gas rumah
kaca yang berkali-kali dapat membahayakan penduduk suatu tempat) serta gangguan lain
misalnya, debu, bau busuk, kutu, lalat, tikus atau polusi suara. Di Indonesia, penentuan
lokasi TPA dilakukan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994 yang
membagi kriteria pemilihan lokasi TPA menjadi tiga, yaitu :
Kelayakan regional untuk menentukan zone layak atau zone tidak layak
Kelayakan penyisih untuk menentukan tingkat kesesuaian dari beberapa
alternatiflokasi yang telah diperoleh pada penilaian tahap pertama
Kelayakan rekomendasi untuk menetapkan lokasi terbaik dari beberapa alternative
lokasi yang telah diperoleh pada penilaian sebelumnya
Dari hasil analisis yang sudah dilakukan maka ditemukan dua kategori lokasi
alternatif pembuatan TPA baru Kota Malang. Luas Kesesuaian lahan lokasi alternatif Kota
Malang terbagi menjadi 2 yaitu kesesuaian lahan sedang dengan luas 397,842 Ha dan
kesesuaian lahan tinggi dengan luas 1303,308 Ha. Maka lokasi yang tepat untuk alternatif
TPA baru Kota Malang yaitu yang memiliki kesesuain lahan tinggi untuk lokasi alternatif
TPA yaitu 1303,308 Ha. Lokasi alternatif TPA baru Kota Malang ini telah di sesuaikan
dengan ketentuan fisik lingkungan serta ketentuan teknis,adapun dari hasil yang didapat
lokasi alternatif ini memiliki kelebihan dari segi fisik lingkungan serta dari segi teknis yang
memiliki jarak yang jauh dari sungai, memiliki kedalaman yang jauh antara muka air
dengan dasar lahan dan memiliki kondisi tanah dan batuan yang bagus. Tetapi hal ini pun
tak lepas dari kekurangannya yaitu lokasinya berada di tengah kota yang padat penduduk
sehingga keamanan dan kenyamanan penduduk terganggu dan dapat menurunkan nilai
lahan, serta berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar.