Anda di halaman 1dari 49

ANALISIS KERENTANAN BENCANA DAN ARAHAN PERENCANAAN

MITIGASI BENCANA DI PULAU LAE LAE

Oleh:

Muh Hasan Faharuddin (D101171005)

Ovianti Mallisa (D101171012)

Gianne Aprilia T. Koerniawan (D101171507)

Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota


Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin

Gowa
2019
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
ini dengan judul “Analisis Kerentanan Bencana Dan Arahan Perencanaan
Mitigasi Bencana Di Pulau Lae Lae guna memenuhi tugas mata kuliah Teknik
Pilihan Perencanaan Berbasis Mitigasi pada semester ini.

Penulis menyadari kelemahan serta keterbatasan yang ada sehingga dalam


menyelesaikan laporan ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak, dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih Ibu Sri Aliah Ekawati,
ST., MT., Pak Mukti Ali ST.,MT,.P.hd, serta dosen-dosen Departemen
Perencanaan Wilayah Kota lainnya, orang tua kami yang selalu mendukung kami
dalam hal apapun, teman-teman dari Departmen Perencanaan Wilayah dan Kota
angkatan 2017, kakanda-kakanda PWK, dan masih banyak lagi yang tidak bisa
kami sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan baik isi
maupun susunannya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi
penulis juga bagi para pembaca.

Gowa, 12 Desember 2012

Penulis

2
Daftar Isi

Sampul.........................................................................................................................
Kata Pengantar.........................................................................................................2
BAB I GAMBARAN UMUM..................................................................................4
1.1 Gambaran Umum.................................................................................................4
1.2 Isu-Isu Bencana Yang Terjadi Di Pulau Lae-Lae.................................................5
BAB II ANALISIS KERENTANAN.......................................................................9
2.1 Kerentanan Sosial.................................................................................................9
2.2 Kerentanan Ekonomi..........................................................................................11
2.3 Kerentanan Fisik.................................................................................................12
2.4 Kerentanan Lingkungan.....................................................................................13
BAB III ARAHAN PERENCANAAN ...................................................................8
3.1 Mitigasi Struktural..............................................................................................11
3.2 Mitigasi Non Struktural......................................................................................11
BAB IV PENUTUP................................................................................................29
Daftar Pustaka........................................................................................................30
Lampiran................................................................................................................31

3
BAB I
GAMBARAN UMUM

1.1 Gambaran Umum Pulau Lae-lae

Secara geografis Pulau Lae-Lae berada di perairan Selat Makassar pada posisi
199°23‟33,1‟‟ BT dan 05°08‟16,0” LS.Pulau seluas 6,5 hektar ini dihuni oleh
penduduk sebanyak 417 kepala keluarga dengan mata pencaharian penduduknya
sebagian besar adalah nelayan.

Pulau Lae-Lae merupakan salah satu dari 12 pulau yang termasuk dalam
kepulauan Spermonde yang secara administratif terletak di Kelurahan Lae-
Lae,Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar. Dengan mеlaluі pеnyеbrangan
Pelabuhan Dermaga Bangkoa atau Pelabuhan Paotere wіsatawan bіsa
mеnggunakan pеrahu motor untuk mеnuju kе Pulau Lae Lae dengan waktu
tеmpuh yang dіgunakan sekitar 5 menit.

Gambar 1. Peta Citra Pulau Lae-lae


Sumber: Analisis Penulis

4
Pulau Lae-lae merupakan salah satu pulau di Kota Makassar yang dihuni
oleh masyarakat. Jumlah penduduk Kelurahan Lae-lae menurut data BPS tahun
2018 berdasarkan jumlah rumah tangga, penduduk dan kepadatan penduduk tahun
2017 yaitu total jumlah penduduk yang ada di Kelurahan Lae Lae adalah 1784
jiwa dengan kepadatan 8.109 km2.

Gambar 2. Jumlah Penduduk Kecamatan Ujung Pandang


Sumber: BPS,2018

1.2 Isu-Isu Bencana Yang Terjadi Di Pulau Lae-Lae

1. Kerusakan ekosistem wilayah pesisir di sekitar dengan adanya


perubahan bentang alam dan kondisi lingkungan.

5
Salah satu Isu akibat dari adanya reklamasi pantai yang akan
terjadi di Pulau Lae-lae adalah kerusakan ekosistem laut karena adanya
reklamasi pantai tersebut, akibat adanya reklamasi akan berpengaruh
dengan kawasan pesisir di sekitar yaitu adanya perubahan bentang alam
dan kondisi lingkungan. Tidak hanya ekosistem wilayah peisisi di Pulau
Lae-lae tapi juga beberapa pulau-pulau kecil lainnya seperti Samalona dan
lain sebagainya.
2. Meningkatkan potensi bencana banjir dan kenaikan muka air laut
Dengan adanya kegiatn reklamasi yang terjadi di Makassar juga
dapat menimbulkan potensi banjir di beberapa pulau seperti pulau Lae-lae
yang disebabkan karena naiknya muka air laut akibat dari reklamasi
tersebut, sehingga mengancam terjadinya banjir.

Fenomena meteorologis global, seperti “El Nino” dan “La Nina”


sangat mempengaruhi pola iklim dan berdampak terhadap biodiversity
kelautan. Kenaikan muka air laut, banjir, kekeringan, angin kencang,
abrasi dan kenaikan suhu merupakan ancaman iklim yang paling besar
untuk Kota Makasar. Hujan akan terkonsentrasi pada musim hujan yang
lebih pendek, meningkatnya resiko banjir di kawasan yang memiliki
drainase buruk, terutama di wilayah pinggiran kota bagian timur dan
selatan. Kenaikan muka air laut akan terus terjadi dan merupakan ancaman
utama bagi masyarakat pantai Makasar. Wilayah yang paling terpapar oleh
kenaikan muka air laut adalah wilayah dataran rendah di sepanjang pesisir
pantai, serta masyarakat kepulauan lepas pantai.

6
Gambar 3. Tingkat
Keterpaparan per Kecamatan di Makassar

3. Kerentanan terjadi abrasi


Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
dalam situs resmi inarisk.bnpb.go.id, indeks kerentanan terjadi abrasi cukup
tinggi. Dalam peta kerentanan gelombang ekstrim dan abrasi, Pulau lae-lae
terindikasi berwarna kuning dalam legenda. Dimana, berdsarkan tingkat
kerentanan, warna merah menandakan sangat rentan (high), warna kuning
menandakan rentan (medium), dan warna hijau menandakan cukup rentan
(low). Angin kencang dan abrasi oleh ombak merupakan ancaman utama bagi
masyarakat di wilayah pesisir pantai berdataran rendah.
Pemerintah Kota Makassar oleh Badan Penanggulangan Bencana
Daerah, pada kegiatan bidang rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
telah melakukan identifikasi dan verifikasi terhadap tingginya tingkat abrasi di
pulau pulau yang masuk wilayah Kota Makassar dan melalui rencana
rehabilitas dan rekonstruksi yang telah disusun, yang menjadi prioritas dalam
penanganannya adalah Pulau Lae lae. Abrasi yang terjadi sudah mengganggu
sendi kehidupan masyarakat, kedua pulau ini banyak menerima limpasan
gelombang baik berupa gelombang karena angin, gelombang karena kenaikan
muka air laut dan arus yang menyusur pantai dan mengakibatkan adanya

7
perubahan garis pantai. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh Pemerintah
Kota Makassar melalui Dinas Pekerjaan Umum maupun secara swadaya oleh
warga, namun tidak efektif oleh besarnya daya rusak air. Hal ini dijelaskan
dalam latar belakang laporan Perencanaan Teknis Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Bangunan Pengaman Pantai Pulau Lae lae.

4. Kerentanan terjadi tsunami


Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
dalam situs resmi inarisk.bnpb.go.id, indeks kerentanan terjadi tsunami di
Pulau Lae-Lae cukup tinggi. Dalam peta kerentanan tsunami, Pulau lae-lae
terindikasi berwarna abu-abu muda dalam legenda. Dimana, berdsarkan
tingkat kerentanan, warna abu-abu muda menandakan sangat rentan
(high), warna abu-abu tua menandakan rentan (medium), dan warna hitam
menandakan cukup rentan (low)

Gambar 3. Tingkat Keterpaparan per Kecamatan di Makassar

Berdasarkan gambar diatas, dapat dilihat bahwa Pulau Lae-Lae diindikasi


dengan warna jingga yang menandakan berada pada level high sensitivity
rating yang diukur dari berbagai aspek salah satunya permukiman miskin
pesisir.

8
BAB II
ANALISIS KERENTANAN

2.1 Kerentanan Sosial


Tabel 1. Parameter Kerentanan Sosial

Kelas
Paramater Bobot Skor
Rendah Sedang Tinggi
<500 500-100 > 1000
Kepadatan Penduduk 60 jiwa/km2 jiwa/km2 jiwa/km2
Rasio Jenis Kelamin
(10%) Kelas/Nilai
Rasio Kemiskinan (10%) Max Kelas
40 <20% 20-40 % > 40%
Rasio Orang Cacat (10 %)
Rasio Kelompok Umur
(10%)

Kerentana
n Sosial: ¿

Tabel 2. Indeks Kerentanan


Kelas Indeks Nilai
Rendah 0,00-0,33
Sedang 0,34-0,66
Tinggi 0,67-1,00

Tabel 3. Parameter Kerentanan Sosial Pulau Lae-Lae

Parameter Bobot Data Kelas Skor

9
Jumlah Penduduk 60 1.784 Tinggi 1
Rasio Jenis Kelamin (10%) 53% Tinggi 1
Rasio Kemiskinan (10%) 79% Tinggi 1
40 0,333
2% rendah
Rasio Orang Cacat (10%) 3
Rasio Kelompok Umur (10%) 64% Tinggi 1

Kerentanan Sosial Pulau Lae


Lae

Kerentana
n Sosial: ¿

( 0,6∗2
4 )
+ ( 0,1∗1 )+ ( 0,1∗1 ) + ( 0,1∗0,3333 ) + ( 0,1∗1 )

Berdasarkan tabel parameter kerentanan sosial Pulau Lae-Lae di peroleh


beberapa data yaitu jumlah penduduk Lae-Lae 1784 jiwa yang menunjukan >1000
jiwa/km2 yang artinya masuk dalam kelas tinggi parameter kerentanan, rasio jenis
kelamin di Pulau Lae-Lae menunjukan 53% dan termasuk kelas tinggi parameter
kerentanan juga rasio kemiskinan Pulau Lae-Lae mencapai 79% yang masuk
dalam katergori kelas tinggi parameter kerentanan, dan untuk rasio orang cacat
mencapai 2% sehingga masuk dalam kelas rendah rasio kerentanan sedangkan
untuk kelompok umur mencapai 64% yang masuk dalam kelas tinggi kerentanan.
Dari data tersebut hasil analisis kuantitatif yang diperoleh mengenai tingkat
kerentanan sosial di Pulau Lae-lae memperoleh hasil 0,633 jika dihubungkan
dengan Indeks Kerentanan Sosial menyatakan bahwa Kerentanan sosial di Pulau
Lae-Lae memiliki tingkat kelas sedang.

10
2.2 Kerentanan Ekonomi

Tabel 4. Parameter Kerentanan Ekonomi

Parameter Bobot(%) Kelas


Rendah Sedang Tinggi
Lahan 60 < 50 juta 50.200juta >200 juta
Produktif
PDRB 40 < 100 Juta 100.300Juta >300 Juta

Kerentana
n

Tabel 5. Indeks Kerentanan


Kelas Indeks Nilai
Rendah 0,00-0,33
Sedang 0,34-0,66
Tinggi 0,67-1,00

Tabel 6. Klasifikasi Penduduk Miskin


Tidak Tergolong
Variabel Tergolong Miskin
Miskin Tabel 7.
0- Rp 50.000,- > Rp.50.000,-
Pendapata
(Rata-rata 1 hari (Rata-rata 1 hari
n
kerja) kerja)

Parameter Kerentanan Ekonomi Pulau Lae-lae

11
Parameter Bobot Data Kelas Skor

Lahan Produktif 60 0 Rendah 0


417 kk x 1.500.000 =
PDRB 40 625.500.000 Tinggi 1

Kerentanan Ekonomi Pulau Lae-Lae:


IKE= (0,6 *0)+(0,4 * 1)
IKE = 0,4

Berdasarkan tabel Parameter kerentanan Pulau Lae-Lae diperoleh data bahwa


tidak terdapat lahan produktif di Pulau Lae-Lae sedangkan PDRB Pulau Lae-Lae
diperoleh Rp 625.500.000,- yang termasuk dalam parameter kelas tinggi
kerentanan, dari data lahan produktif dan PDRB diperoleh Indeks Kerentanan
Ekonomi (IKE) Pulau Lae-Lae yaitu 0,4 yang artinya Indek Kerentanan
Ekonominya sedang.

2.3 Kerentanan Fisik


Tabel 8. Parameter Kerentanan Fisik

Parameter Bobot(10%) Kelas


Rendah Sedang Tinggi
Rumah 40 <400 juta 400-800 >800juta
juta
Fasilitas 30 <500 juta 500 juta- 1 >1M
Umum M
Fasilitas Kritis 30 <500 juta 500 juta-1 >1M
M

Kerentana
n Fisik:

Tabel 9. Indeks Kerentanan


Kelas Indeks Nilai
Rendah 0,00-0,33
Sedang 0,34-0,66
Tinggi 0,67-1,00

12
Tabel 10. Parameter Kerentanan Fisik Pulau Lae-Lae

Sko
Parameter Bobot Data Kelas
r

354 rumah (>800


Rumah 40 juta) Tinggi 1
Fasilitas Umum 30 2.573.000.000 Tinggi 1
Fasilitas Kritis 30 1.785.000.000 Tinggi 1

Kerentanan Fisik Pulau


Lae-Lae
IKF= (0,4 * 1)+(0,3 * 1)+(0,3 * 1)
IKF=1

Berdasarkan tabel kerentanan fisik Pulau Lae-Lae diperoleh data jumlah


rumah di Pulau Lae-Lae yaitu 354 rumah (>800 juta) masuk dalam kelas tinggi
kerentanan, Fasilias umum di pulau Lae-Lae yaitu 2.573.000.000 masuk dalam
kelas tinggi kerentanan, sedangkan fasilitas kritis di Pulau Lae-Lae yaitu
1.785.000.000 juga termasuk kelas tinggi kerentanan. Dari data tersebut diperoleh
Indeks Kerentanan Fisik (IKF) Pulau Lae-Lae 1 yang artinya masuk dalam kelas
tinggi kerentanan fisik.

2.4 Kerentanan Lingkungan


a. Banjir
Tabel 11. Parameter Kerentanan Lingkungan

Kelas
Paramater Bobot Skor
Rendah Sedang Tinggi
Hutan Lindung 30 <20 ha 20-50 ha >50 Ha Kelas/Nila
Hutan Alam 30 <25 ha 25-75 ha > 75 Ha i Max
Hutan 10 <10 ha 10-30 ha >30 ha
Kelas
Bakau/Manggrov

13
e
Semak Belukar 10 <10 ha 10-30 ha >30 ha
Rawa 20 <5 ha 5-20 ha >20 ha

Kerentanan Lingkungan: (0,3* skor hutan Lindung) + (0,3*skor hutan alam) +


(0,1*skor hutan bakau/manggrove)+ (0,1* Semak Belukar)+(0,2 *Skor rawa)

Tabel 12. Indeks Kerentanan


Kelas Indeks Nilai
Rendah 0,00-0,33
Sedang 0,34-0,66
Tinggi 0,67-1,00

Tabel 13. Parameter Kerentanan Fisik Pulau Lae-Lae (banjir)

Parameter Bobot Data Kelas Skor

Hutan Lindung 30 0 1 0
Hutan Alam 30 0 1 0
Kerentanan
Hutan Banjir Pulau Lae-Lae:
IKL=Bakau/Mangrove
(0,3 * ))+(0,3*0)+(0,1*0)+(0,1
10 *0)+(0,2*0)
0 1 0
IKLSemak
BanjirBelukar
LAE LAE =0 10 0 1 0
Rawa 20 0 1 0

Berdasarkan tabel kerentanan Lingkungan (banjir) di Pulau Lae-Lae


diperoleh bahwa tidak terdapat hutan lindung, hutan alam, hutan bakau/mangrove,
semak belukar ataupun rawa. Dari data tersebut dapat diperoleh Indeks
Kerentanan Lingkungan (IKL) Banjir di Pulau Lae-Lae adalah 0 yang artinya
rendah

b. Tsunami

Tabel 14. Parameter Kerentanan Lingkungan (Gelombang


Ekstrim dan abrasi)

14
Kelas
Paramater Bobot Skor
Rendah Sedang Tinggi
Hutan Lindung 30 <20 ha 20-50 ha >50 Ha
Hutan Alam 30 <25 ha 25-75 ha > 75 Ha Kelas/Nilai
Hutan Max Kelas
40 <10 ha 10-30 ha >30 ha
Bakau/Manggrove

Kerentanan Lingkungan: (0,3* skor hutan Lindung) + (0,3*skor hutan alam) +


(0,4*skor hutan bakau/manggrove)

Tabel 15. Indeks Kerentanan


Kelas Indeks Nilai
Rendah 0,00-0,33
Sedang 0,34-0,66
Tinggi 0,67-1,00

Tabel 16. Kerentanan Lingkungan (Tsunami) Pulau Lae-Lae

Parameter Bobot Data Kelas Skor

Hutan Lindung 30 0 1 0
Hutan Alam 30 0 1 0
Hutan
Bakau/Mangrove 40 0 1 0

Kerentanan Tsunami Pulau Lae-Lae:


IKL= (0,3 * 0)+(0,3*0)+(0,4*0)
IKL Tsunami Lae Lae = 0

Berdasarkan tabel kerentanan lingkungan (Tsunami) Pulau Lae-Lae diperoleh


data bahwa hutan lindung, hutan alam dan hutan bakau/mangrove tidak ada di
Pulau Lae-Lae. Dari data tersebut diperoleh Indeks Kerentanan Lingkungan (ILK)
Pulau Lae-Lae adalah 0 yang artinya rendah.

c. Gelombang Ekstrim dan Abrasi

15
Tabel 17. Kerentanan Lingkungan (Gelombang Ekstrim dan
abrasi)

Kelas
Paramater Bobot Skor
Rendah Sedang Tinggi
Hutan Lindung 10 <20 ha 20-50 ha >50 Ha
Hutan Alam 30 <25 ha 25-75 ha > 75 Ha
Hutan Kelas/Nilai Max
40 <10 ha 10-30 ha >30 ha
Bakau/Manggrove Kelas
Semak Belukar 10 <10 ha 10-30 ha >30 ha
Rawa 10
Tabel 18.<5 ha Kerentanan
Indeks 5-20 ha >20 ha
Kelas Indeks Nilai
Kerentanan Lingkungan: (0,1*Rendah 0,00-0,33
skor hutan Lindung) + (0,3*skor hutan alam) +
Sedang 0,34-0,66
(0,4*skor hutan bakau/manggrove)+ (0,1* Semak Belukar)+(0,1 *Skor rawa)
Tinggi 0,67-1,00

Tabel 19. Kerentanan Lingkungan (Gelombang Ekstrim dan abrasi) Pulau


Lae-Lae

Parameter Bobot Data Kelas Skor

Hutan Lindung
Kerentanan 10 dan0Abrasi Pulau
Gelombang Ekstrim 1 0
Lae-Lae:
Hutan Alam 30 0 1 0
IKL=Hutan
(0,3 * 0)+(0,3*0)+(0,1*0)+(0,1 *0)+(0,2*0)
IKL Gelombang Ekstrim dan
Bakau/Mangrove 40Abrasi 0Pulau Lae1 Lae: 0 0
Semak Belukar 10 0 1 0
Rawa 10 0 1 0
Berdasarkan tabel kerentanan Lingkungan (banjir) di Pulau Lae-Lae diperoleh
bahwa tidak terdapat hutan lindung, hutan alam, hutan bakau/mangrove, semak
belukar ataupun rawa. Dari data tersebut dapat diperoleh Indeks Kerentanan
Lingkungan (IKL) gelombang ekstrim dan abrasi di Pulau Lae-Lae adalah 0 yang
artinya rendah.

Indeks Kerentanan Lingkungan:

16
Tsunami : IKT= (IKS x 0,4) + (IKF x 0,25) + (IKE x 0,25) +
(IKL x 0,1)

Banjir : IKB= (IKS x 0,4) + (IKF x 0,25) + (IKE x 0,25) +


(IKL x 0,1)

Gel.Ekstrim & Abrasi : IKGEA= (IKS x 0,4) + (IKF x 0,25) + (IKE x


0,25) + (IKL x 0,1)

Tabel 20. Indeks Kerentanan


Kelas Indeks Nilai
Rendah 0,00-0,33
Sedang 0,34-0,66
Tinggi 0,67-1,00

Tsunami : IKT= (0,633 x 0,4) + (1 x 0,25) + (0,4 x 0,25) + (0 x 0,1) = 0,6032

Banjir : IKB= (0,633 x 0,4) + (1 x 0,25) + (0,4 x 0,25) + (0 x 0,1) = 0,6032

G. Ekstrim: IKGEA= (0,633 x 0,4) + (1 x 0,25) + (0,4 x 0,25) + (0 x 0,1) =


0,6032

Tabel 21. Hasil Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau Lae-Lae

Indeks Kerentanan SKOR Kelas


Tsunami 0,6032 Sedang
Banjir 0,6032 Sedang
Gelombang Ekstrim dan Abrasi 0,6032 Sedang

Keterangan:

IKT: Indeks Kerentanan Tsunami

IKB: Indeks Kerentanan Banjir

17
IKGEA: Indeks Kerentanan Gelombang Ekstrim dan Abrasi

IKS: Indeks Kerentanan Sosial

IKF: Indeks Kerentanan Fisik

IKE: Indeks Kerentanan Ekonomi

IKL: Indeks Kerentanan Lingkungan

Berdasarkan Tabel Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau Lae-Lae dapat di


peroleh bahwa Tingkat terjadinya bencana alam seperti Tsunami, Banjir,
Gelombang Ekstream dan Abrasi memiliki tingkat kerentanan bencana sedang
maka dari itu perlu adanya perencanaan mitigasi bencana sebelum terjadi
sehingga dapat mengurangi dampak yang akan terjadi apa bila bencana tersebut
terjadi di Pulau Lae-Lae.

18
BAB III
ARAHAN PERENCANAAN

3.1 Mitigasi Struktural

A. Tsunami

a. Penanaman Magrove sebagai Green Belt

Mitigasi bencana yang bersifat soft protection berupa pembuatan hutan


pantai atau sabuk pantai (green belt). Sabuk yang menjadi benteng pertahanan
wilayah pesisir darigelombang pasang, tsunami, atau ancaman lain dari arah iaut.
Peran sabuk pantai tersebut dalam upaya untuk mereduksi energi tsunami adalah
sebagai berikut (shuto, 1987; tanaka & sasaki , 2007; samarakoon, 20
0;diposantono, 20 i i):
I. Sebagai perangkap, yaitu untuk menghentikan kayu yang hanyut, reruntuhan
dan puing lainnya;
2. Sebagai peredam energi tsunami, yaitu efek untuk mengurangi kecepatan aliran
air, tekanan aliran, dan kedalaman genangan air;
3. Sebagai pegangan, yaitu untuk menjadi sarana penyelamatan diri bagi orang-
orang yang tersapu oleh tsunami dengan cara berpengangan pada cabang-cabang
pohon;
4. Sebagai sarana melarikan diri, dengan cara memanjat pohon dari tanah atau dari
suatu bangunan;
5. Sebagai pembentuk gumuk pasir, yaitu untuk mengumpulkan pasir yang tertiup
angin dan membentuk gumuk atau bukit, yang bertindak sebagai penghalang
alami terhadap tsunami

19
Mangrove merupakan salah satu jenis vegetasi di kawasan pesisir, yang
peranannya dapat digunakan sebagai sabuk pantai. Sabuk pantai dianjurkan untuk
ditanami dengan kombinasi jenis pohon yang berbeda (Tanaka eta!., 2007,2008,
2009), seperti Pandan Duri (Pandanus tectorius), Pohon Kelapa (Cocos nucifera),
dan Cemara Laut (Casuarina equisetifolia (Gambar 4). Secara vertikal, lapisan
vegetasi antara P odoratissimus dan C. equisetifolia menunjukkan potensi yang
kuat untuk mengurangi kerusakan (Tanaka et at., 2007), namun kombinasi dari P
odoratissimus dan C. nucifera memiliki pengaruh yang kecil karena secra vertikal
mereka memiliki perbedaan yang Iebar (Tanaka, 20 II).

B. Abrasi dan Banjir Rob


a. Penanaman Magrove sebagai Green Belt

Selain mencegah tsunami, magrove dapat mencegah terjadinya abrasi atau


sebagai penahan abrasi, penahan intruksi (peresapan ) air laut ke daratan atau
masuk dan naiknya gelombang pasang air laut ke permukaan atau daratan dimana
dalam hal ini mencegah terjadinya banjir rob/sea level rise. Keuntungan dari
mitigasi struktural alami dapat mencegah dari risiko abrasi tanpa harus merusak
ekosistem alami yang ada di pantai.

Gambar 4. Magrove di pesisir

Sumber : Google.com

b. Pembuatan Rumah Huni Sementara dan Jalur Evakuasinya

20
Rumah Huni Sementara dibangun dengan tujuan sebagai tempat evakuasi
bagi para korban bencana banjir sampai keadaan lingkungan kembali normal dan
terbebas dari banjir. Hal ini juga mencegah terjadinya wabah penyakit, korban
meninggal maupun warga yang terisolasi akibat banjir. Rumah huni sementara
dibangun dengan material yang tahan banjir dan berada pada mdpl tertinggi di
Pulau Lae Lae. Ketinggian bangunan diukur berdasarkan evaluasi bencana yang
terjadi sebelumnya dengan mengukur titik pasang tertinggi, capaian genangan
tertinggi, dan hempasan gelombang laut tertinggi. Untuk memudahkan warga,
diperlukan jalur evakuasi yang tepat agar warga sampai dengan aman dan selamat.

21
22
3.2 Mitigasi Non Struktural

a. Tsunami

 Mengedukasi dan melakukan Sosialiasi kepada masyarakat dalam upaya


mitigasi bencana tsunami seperti penambahan wawasan mengenai tanda-
tanda jika akan terjadi tsunami, hal-hal yang dilakukan jika terjadi
bencana, cara mengevakuasi diri dari bencana, sistem peringatan dini
bencana tsunami dan lain-lain.
 Evakuasi yang dilakukan jika trjadi tsunami adalah mengerahkan sebuah
kapal KRI milik TNI untuk menampung dan membawa penduduk pulau
untuk mencari tempat aman dan menjauh dari pulau. Hal ini pernah
dilakukan oleh tim penanggulangan bencana yang mengerahkan KRI TNI
untuk mengevakuasi warga Pulau Sebesi ketika tejadi tsunami akibat
letusan Gunung Anak Karakatau (cnnindonesia.com)
Tahap-Tahap Evakuasi:
1. Peka terhadap tanda tanda alam jika akan terjadi tsunami seperti terjadi
gempa bumi, air laut yang surut tidak seperti biasanya, ikan ikan
terdampar di tepi pantai, dan hewan hewan lainnya seperti nampak panik
melihat situasi. Selain tanda-tanda alam, pihak BMKG menyiarkan berita
peringatan dini jika akan terjadi tsunami ke berbagai media elektronik.
2. Pihak BNPB ataupun tim penanggulangan bencana lainnya segera
mengirimkan kapal untuk menyelamatkan wrga dari Pulau. Untuk sampai
ke daratan Kota Makassar dibutuhkan waktu sekitar 5 menit dengan
estimasi naik turun penumpang sekitar 20 menit..
3. Warga tetap tenang dan segera menuju ke dermaga untuk naik kapal dan
menjauh dari pulau.
4. Setelah sampai di Kota Makassar, tim penanggulangan segera
mengevakuasi warga ke tempat yang lebih tinggi dan aman. Warga
menjauh dari pesisir kota karena kemungkinan besar juga akan terdampak
tsunami.

23
b. Abrasi

Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam hal ini mitigasi non struktural bencana
abrasi dan banjir sebagai berikut.

 Sosialiasi upaya mitigasi bencana gelombang ektrim dan banjir seperti


penambahan wawasan mengenai tanda-tanda jika akan terjadi gelombang
ekstrim dan banjir, hal-hal yang dilakukan jika terjadi bencana, cara
mengevakuasi diri dari bencana, sistem peringatan dini bencana dan lain-
lain.
 Mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam penanaman sabuk
pantai/magrove
 Pemasangan papan informasi bahaya bencana banjir, gelombang ekstrim
dan abrasi
 Melakukan program-program dengan partisipasi masyarakat untuk
menggugah masyarakat tentang bahaya banjir seperti mendorong
perorangan untuk memperbaiki daya tahan bagunan
 Pemerintah kota makassar dalam hal ini badan penanggulangan bencana
kota Makassar dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk
melakukan kajian-kajian kebencanaan

24
25
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan yaitu Pulau Lae-lae
sebagai studi kasus dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara geografis Pulau Lae-Lae berada di perairan Selat Makassar
pada posisi 199°23‟33,1‟‟ BT dan 05°08‟16,0” LS.Pulau seluas 6,5
hektar ini dihuni oleh penduduk sebanyak 417 kepala keluarga dengan
mata pencaharian penduduknya sebagian besar adalah nelayan. Pulau
Lae-Lae merupakan salah satu dari 12 pulau yang termasuk dalam
kepulauan Spermonde yang secara administratif terletak di Kelurahan
Lae-Lae,Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar.
2. Terdapat beberapa Isu bencana yang terjadi di Pulau Lae-Lae
diantaranya yaitu kerusakan ekosistem wilayah pesisir di sekitar
dengan adanya perubahan bentang alam dan kondisi lingkungan,
meningkatnya potensi bencana banjir dan kenaikan muka air laut,
kerentanan terjadinya abrasi, dan kerentanan terjadinya Tsunami.
3. Berdasarkan analisis kerentanan yaitu analisis kerentanan Sosial
menunjukan Pulau Lae-lae memiliki Indeks Kerentanan Sosial di
tingkat kelas sedang, analisis kerentanan ekonomi menunjukan Pulau
Lae-lae memiliki Indeks Kerentana Ekonomi di tingkat kelas sedang,
analisis kerentanan fisik menunjukan Pulau Lae-lae memiliki Indeks
Kerentanan Fisik di tingkat kelas tinggi, sedangkan analisis
kerentanan lingkungan yang terdiri dari analisis kerentanan banjir,
tsunami dan gelombang ekstrim menunjukan Pulau Lae-lae memiliki
Indeks Kerentanan Lingkungan di tingkat kelas sedang.
4. Arahan perencanaan yang dapat dilakukan untuk mitigasi bencana
yang ada di Pulau Lae-Lae yaitu dengan mitigasi struktural seperti
penanaman Magrove sebagai Green Belt untuk mitigasi bencana
tsunami, abrasi dan banjir rob, serta pembuatan rumah huni sementara
dan jalur evakuasinya. Sedangakan mitigasi non struktural yaitu

26
dengan mengedukasi dan melakukan sosialisasi terkait bencana
tsunami, abrasi juga dengan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi
dalam mitigasi bencana serta pemasangan papan informasi bencana
bahaya banjir dan lain-lain.

4.2 Saran
Berdasarkan penelitian penulis memberikan sasaran:
1. Untuk peneliti selanjutnya agar melengkapi data agar data hasil
analisis yang dilakukan terkait penelitian lebih akurat dan sesuai
dengan hasil yang ingin dicapai
2. Untuk pemerintah agar dalam melakukan program terkait mitigasi
bencana seperti yang ada di Pulau Lae-lae membutuhkan kerjasama
dari berbagai pihak dan mempertimbangkan beberapa faktor yang
perlu diperhatikan dalam pelaksanaan mitigasi bencana.

27
Daftar Pustaka

Kerangka Acuan Kerja Perencanaan Teknis Rehabilitasi Dan Rekonstruksi


Pasca Bencana Pengaman Pantai Pulau Lae Lae. diakses pada 23
Oktober 2019. https://www.scribd.com/document/229683573/KAK-
Perc-Teknis-Rehab-Dan-Rekons-Pengaman-Pantai-Pulau-Lae-Lae
Nugroho, Septriano,dkk.2015. Tinjauan Tentang Mitigasi Bahaya Tsunami Di
Pesisir Pantai Dan Pulau-Pulau Kecil. Jurnal Oseana, Volume XL,
Nomor 1, Tahun 2015 : 41-52

Taylor,John.2013.Kajian Kerentanan Perubahan Iklim.Makassar:United


Nations Human Settlements Programme (UN-HABITAT), United Nations
Development Programme (UNDP), United Nations Environment Programme

Makassar Dalam Angka 2018, Badan Pusat Statistika

Makassar Dalam Angka 2019, Badan Pusat Statistika

Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 4 Tahun 2015 Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Makassar Tahun 2015-20134

Peraturan Kepala badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012


Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana

Suharno,dkk. 2016. Keadilan Dan Demokrasi Tahun 2016 Negara Balik Badan
(Online)Http://Lbhmakassar.Org/Wp-Content/Uploads/2017/02/CATAHU-
LBH-MAKASSAR-2016.Web_.Pdf

CnnIndonesia.2018. Evakuasi Warga Sebesi, TNI AL Kerahkan KRI Teluk


Cirebon
Diakses pada 13 November 2019,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181227195110-20-
356872/evakuasi-warga-sebesi-tni-al-kerahkan-kri-teluk-cirebon

28
29
30
LAMPIRAN

31
32
33
34
35
36
37
38
39
Regulasi Pendukung Terkait Wilayah Rawan Bencana

PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR


NOMOR 4 TAHUN 2015
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MAKASSAR
2015 – 2034

Pasal 12
(1) Strategi pemulihan, peningkatan dan pemeliharaan fungsi pelestarian sistem
ekologi
wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a meliputi :
a. menetapkan kawasan terumbu karang di pesisir dan pulau-pulau dalam wilayah
Kota sebagai kawasan lindung; dan
b. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun
akibat pengembangan kegiatan budidaya, dalam rangka mewujudkan dan
memelihara
keseimbangan ekosistem wilayah.
(2) Strategi penguatan kegiatan mitigasi dan adaptasi lingkungan di kawasan
pesisir dan
sungai-sungai dalam kota sebagaimana dimaksud Pasal 11 huruf b meliputi :
a. membentuk kembali pantai bagian barat dan bagian utara kota menjadi bentuk
baru
garis pantai melalui kegiatan pengembangan kawasan pesisir yang terencana,
terukur,
terkendali, dan terbatas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagai usaha mitigasi dan adaptasi pesisir dari ancaman bencana;
b. menetapkan standar ketinggian kawasan pesisir dengan membangun
“benchmark
mitigasi” pada semua kawasan koridor pantai barat dan utara kota serta sepanjang
sungai sebagai upaya dari mitigasi, adaptasi gelombang pasang dan banjir;

40
c. mengembangkan sistem jaringan prasarana drainase tangkap di sepanjang
kawasan
pesisir pantai bagian Barat dan Utara kota serta sungai dalam wilayah kota dari
mitigasi
pencemaran; dan
d. mengembangkan ruang-ruang muka tepian air dalam bentuk kota tepian sungai
dan
kota tepian pantai yang terpadu dengan ruang terbuka hijau yang mengkonservasi
daerah aliran sungai dan konservasi mangrove yang produktif dan turistik.

Pasal 40
(1) Jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
huruf e,
bertujuan sebagai penyediaan jalur dan ruang yang dapat digunakan untuk tempat
keselamatan dan tempat berlindung jika terjadi bencana;
(2) Jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam
skala kota, skala kawasan, dan skala lingkungan berupa jalur evakuasi bencana
(escape
way) dan ruang evakuasi bencana (melting point);
(3) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. jalan lingkungan menuju lapangan pada skala kelurahan dan/atau kecamatan;
dan
b. jalan lingkungan menuju gedung pertemuan pada tiap kecamatan.
(4) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) direncanakan
mengikuti
dan/atau menggunakan jaringan jalan dengan rute terdekat ke ruang evakuasi dan
merupakan jaringan jalan paling aman dari ancaman berbagai bencana, serta
merupakan
tempat-tempat yang lebih tinggi dari daerah bencana;
(5) ruang evakuasi bencana (Melting point ) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi :

41
a. pembangunan posko terpadu yang melayani wilayah Kota ditetapkan di
Kecamatan
Biringkanaya, Kecamatan Tamalanrea, Kecamatan Manggala, Kecamatan Ujung
Tanah,
Kecamatan Rappocini, dan Kecamatan Tamalate;
b. lapangan pada tiap kelurahan dan/atau kecamatan; dan
c. bangunan gedung yang dapat dimanfaatkan di tiap kelurahan dan/atau
kecamatan.

Pasal 42
(1) Manajemen proteksi kebakaran perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 huruf g,
ditetapkan dalam rangka mewujudkan kesiapan, kesigapan, dan keberdayaan
masyarakat,
pengelola bangunan gedung, serta pemerintah daerah dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran;
(2) Penanggulangan bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. pembangunan pos pemadam kebakaran yang melayani wilayah Kota ditetapkan
di
Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tamalanrea, Kecamatan Manggala,
Kecamatan
Panakkukang, Kecamatan Tallo, Kecamatan Ujung Tanah, Kecamatan Wajo,
Kecamatan
Bontoala, Kecamatan Makassar, Kecamatan Rappocini, Kecamatan Ujung
Pandang,
Kecamatan Mamajang, Kecamatan Mariso, Kecamatan Tamalate, dan Kecamatan
Kepulauan Sangkarrang;
b. membangun hidran air yang tersebar secara merata di wilayah kota; dan
c. memanfaatkan laut, sungai, danau/waduk, dan Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) sebagai sumber air dalam penanganan bencana kebakaran;
(3) Pelaksanaan ketentuan manajemen proteksi kebakaran perkotaan sebagaimana
dimaksud

42
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
(4) Penyelenggaraan manajemen proteksi kebakaran perkotaan sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran
Kota
yang ditetapkan dengan Peraturan Walikota.

Pasal 51
(1) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a,
ditetapkan
di sebagian Kecamatan Wajo, sebagian Kecamatan Biringkanaya, sebagian
Kecamatan
Tamalanrea, sebagian Kecamatan Tallo, Kecamatan Bontoala, sebagian
Kecamatan
Manggala, sebagian Kecamatan Tamalate, sebagian Kecamatan Panakkukang,
sebagian
Kecamatan Rappocini, dan sebagian Kecamatan Ujung Tanah;
(2) Kawasan rawan angin puting beliung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2)
huruf b, ditetapkan pada daerah pesisir Kota Makassar di sebagian Kecamatan
Kepulauan
Sangkarrang, sebagian Kecamatan Tamalanrea, dan sebagian Kecamatan
Biringkanaya;
dan
(3) Kawasan rawan bencana kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) huruf
c, ditetapkan di sebagian wilayah Kecamatan Biringkanaya, sebagian wilayah
Kecamatan
Tamalanrea, sebagian wilayah Kecamatan Manggala, sebagian wilayah
Kecamatan
Panakkukang, sebagian wilayah Kecamatan Tallo, sebagian wilayah Kecamatan
Ujung

43
Tanah, sebagian wilayah Kecamatan Wajo, sebagian wilayah Kecamatan
Bontoala,
sebagian wilayah Kecamatan Makassar, sebagian wilayah Kecamatan Rappocini,
sebagian
wilayah Kecamatan Ujung Pandang, sebagian wilayah Kecamatan Mamajang,
sebagian
wilayah Kecamatan Mariso, sebagian wilayah Kecamatan Tamalate, dan sebagian
wilayah
Kecamatan Kepulauan Sangkarrang.

Paragraf 8
Kawasan Ruang Evakuasi Bencana
Pasal 64
(1) Rencana kawasan peruntukan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 56 huruf h adalah ruang yang dipersiapkan sebagai tempat sementara
evakuasi para
korban bencana, yang direncanakan memiliki kapasitas ruang dengan tingkat
keamanan
terjamin, serta mempunyai akses yang cukup baik/terJangkau oleh bala bantuan
kemanusiaan.
(2) Peruntukan ruang evakuasi bencana berupa jalur dan tempat untuk berlindung
dari
kejadian bencana alam.
(3) Peruntukan ruang evakuasi bencana diupayakan dengan memanfaatkan
optimalisasi RTH
dan RTNH dalam kota sebagai ruang-ruang evakuasi bencana.
(4) Rencana kawasan peruntukan ruang evakuasi bencana meliputi :
a. ruang evakuasi bencana banjir menempati semua lapangan-lapangan terbuka
dalam
kota yang diperlengkapi dengan fasilitas penampungan yang baik dan memadai
yang
tersebar di seluruh kecamatan; dan

44
b. ruang evakuasi bencana gelombang pasang dan tsunami menempati dan
memanfaatkan bangunan-bangunan tinggi berupa hotel dan sarana pendidikan,
juga
memanfaatkan lapangan-lapangan terbuka di seluruh kecamatan.

Pasal 102
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2) huruf d meliputi :
a. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan banjir;
b. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan angin puting beliung; dan
c. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan kebakaran.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan banjir sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi :
81
a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi : kegiatan penghijauan, reboisasi,
pendirian
bangunan tanggul, drainase, pintu air, sumur resapan dan lubang biopori, serta
penyediaan lokasi dan jalur evakuasi bencana;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi : kegiatan selain kegiatan
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang tidak berpotensi menyebabkan
terjadinya
bencana banjir;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi : kegiatan mengubah aliran sungai
antara
lain memindahkan, mempersempit, dan menutup aliran sungai, kegiatan
menghalangi
dan/atau menutup lokasi dan jalur evakuasi bencana, serta kegiatan yang
berpotensi
menyebabkan terjadinya bencana banjir; dan d. penyediaan prasarana dan sarana
minimum meliputi :
1. penyediaan saluran drainase yang memperhatikan kemiringan dasar saluran dan

45
sistem/sub sistem daerah pengaliran;
2. penanganan sedimentasi di muara saluran/sungai yang bermuara di laut melalui
proses pengerukan; dan
3. penyediaan lokasi dan jalur evakuasi bencana.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan angin puting beliung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi : kegiatan penyediaan lokasi dan jalur
evakuasi
bencana, dan kegiatan lain dalam rangka memperkecil kerugian akibat bencana
angin
puting beliung;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi : kegiatan selain
sebagaimana
dimaksud pada huruf a yang mempunyai resiko kerugian kecil akibat bencana
angin
puting beliung;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi : kegiatan yang menghalangi
dan/atau
menutup lokasi dan jalur evakuasi bencana; dan
d. penyediaan prasarana dan sarana minimum meliputi : penyediaan lokasi dan
jalur
evakuasi bencana.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan kebakaran
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi :
a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi : kegiatan penyediaan lokasi dan jalur
evakuasi
bencana, dan kegiatan lain dalam rangka memperkecil kerugian akibat bencana
kebakaran;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi : kegiatan selain
sebagaimana
dimaksud pada huruf a yang mempunyai resiko kerugian kecil akibat bencana

46
kebakaran;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi : kegiatan yang menghalangi
dan/atau
menutup lokasi dan jalur evakuasi bencana; dan
d. penyediaan prasarana dan sarana minimum meliputi : penyediaan lokasi dan
jalur
evakuasi bencana.

Pasal 103
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung geologi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) huruf e meliputi :
a. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan abrasi; dan
b. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan tsunami.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan abrasi sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi : kegiatan pendirian bangunan
pengamanan
pantai, penanaman tanaman pantai seperti kelapa, nipah, dan bakau, kegiatan
pencegahan abrasi pantai, penyediaan lokasi dan jalur evakuasi bencana, serta
kegiatan
pendirian bangunan untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi : kegiatan selain kegiatan
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang tidak berpotensi menyebabkan dan/atau
menimbulkan terjadinya abrasi;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi : kegiatan yang menimbulkan
kerusakan
hutan bakau dan/atau terumbu karang dan kegiatan yang berpotensi dan/atau
menimbulkan terjadinya abrasi; dan
d. penyediaan prasarana dan sarana minimum meliputi : penyediaan lokasi dan
jalur
evakuasi bencana.

47
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan tsunami sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi : kegiatan penanaman bakau dan terumbu
karang, pendirian bangunan pengamanan pantai, penyediaan lokasi dan pendirian
bangunan penyelamatan serta jalur evakuasi bencana, dan kegiatan pendirian
bangunan untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana;
b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi : kegiatan selain
sebagaimana
dimaksud pada huruf a dengan menggunakan rekayasa teknologi yang sesuai
dengan
kondisi, jenis, dan ancaman bencana;
c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi : kegiatan yang menimbulkan
kerusakan
hutan bakau atau terumbu karang, serta kegiatan yang menghalangi dan/atau
menutup jalur evakuasi bencana, dan merusak atau mengganggu sistem peringatan
dini bencana; dan d. penyediaan prasarana dan sarana minimum meliputi :
1. penyediaan lokasi dan jalur evakuasi bencana;
2. pembangunan bangunan penyelamatan; dan
3. pemasangan peralatan pemantauan dan peringatan tsunami.

48
49

Anda mungkin juga menyukai