Anda di halaman 1dari 10

Isu Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Adrianto
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Padang
e-mail : riantoad95gmail.com

ABSTRAK
Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan pendidikan di Indonesia.
Dengan diketahuinya permasalahan pendidikan yang ada, diharapkan dapat digagas suatu
kebijakan yang sesuai untuk menanggulangi permasalahan yang ada, serta meningkatkan
mutu dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan sebagai suatu sistem terbuka tidak lepas dari
yang namanya masalah, baik masalah mikro maupun masalah makro. Masalah mikro yaitu
masalah yang timbul dalam komponen yang terdapat pada pendidikan itu sendiri sebagai
suatu sistem, seperti masalah kurikulum, administrasi pendidikan dan sebagainya. Masalah
makro yaitu masalah yang muncul dalam pendidikan itu sebagai suatu sistem dengan sistem-
sistem lainnya yang lebih luas, seperti kurang meratanya pendidikan, rendahnya mutu
pendidikan, masalah efisiensi, relevansi dan lain lain. Dengan mengidentifikasi permasalahan
pendidikan kita mengetahui letak permasalahan yang sebenarnya dan berusaha untuk
memberikan solusi dari permasalahan tersebut.

Kata kunci: Permasalahan, pendidikan, identifikasi

1. Pendahuluan

Tujuan dari pendidikan adalah untuk mewujudkan manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan,
berkemauan, dan mampu berkarya, mampu memenuhi kebutuhannya secara wajar,
mampu mengendalikan hawa nafsunya, berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.
Pendidikan sebagai suatu sistem terbuka tidak lepas dari yang namanya masalah, baik
masalah mikro maupun masalah makro. Masalah mikro yaitu masalah yang timbul dalam
komponen yang terdapat pada pendidikan itu sendiri sebagai suatu sistem, seperti masalah
kurikulum, administrasi pendidikan dan sebagainya. Masalah makro yaitu masalah yang
muncul dalam pendidikan itu sebagai suatu sistem dengan sistem-sistem lainnya yang
lebih luas, seperti kurang meratanya pendidikan, rendahnya mutu pendidikan, masalah
efisiensi, relevansi dan lain lain. Berkaitan dengan permasalahan yang sering terjadi di
Indonesia, semestinya kita mengidentifikasikan permasalahan tersebut, sehingga dengan
mengidentifikasi permasalahan pendidikan kita mengetahui letak permasalahan yang
sebenarnya dan berusaha untuk memberikan solusi dari permaslahan tersebut. Masalah
pendidikan di Indonesia apabila ditinjau dari sisi kualitas Sumber daya Manusia masihlah
jauh bila dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data World Education Ranking
yang diterbitkan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD,
2015), di posisi mana suatu negara maju dalam segi pendidikan. Organisasi ini
menentukan peringkat negara mana yang terbaik dari segi membaca, matematika, dan
ilmu pengetahuan. Indonesia menempati urutan ke 69 dari total 75 negara. Berdasarkan
laporan OECD, posisi tertinggi diraih oleh Singapura kedua Hongkong, ketiga Korea
Selatan dan ke empat jepang. Sementara untuk Indonesia mendapatkan nilai membaca
402, matematika 371, dan ilmu pengetahuan alam 383. Pemeringkatan pendidikan dunia
tersebut berhubungan dengan Program for International Student Assessment (PISA). Pisa
sendiri adalah program yang cukup disegani di seluruh dunia. Dengan kondisi peringkat
pendidikan Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia, banyak faktor yang
menentukan keberhasilan dari peserta didik, mulai dari sarana dan prasarana sekolah,
kondisi ekonomi orang tua, Peran Pendidik, lingkungan belajar, lingkungan keluarga,
faktor psikis dari peserta didik dan masih banyak faktor yang lainnya.

2. Pembahasan

Permasalahan Pendidikan di Indonesia

A. Efisiensi Pengajaran

Efisiensi yaitu bagaimana agar menghasilkan efektivitas dari suatu tujuan dengan proses
yang lebih ‘mudah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita
memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula.
Hal itu jugalah yang kurang jika di lihat dari pendidikan yang ada di Indonesia. Kita kurang
mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah
disepakati. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di di Indonesia adalah mahalnya biaya
pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal
lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik. Jika
berbicara tentang biaya pendidikan, tidak hanya berbicara tentang biaya sekolah, training,
kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga
berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi
yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pendidikan yang kita pilih. Di sekolah dasar
negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta
didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam
dan lain sebagainya yang dapat kita lihat hal itu diwajibkan oleh pendidik yang bersangkutan.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu
pengajaran. Dapat dilihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relatif lebih lama jika
dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada
sekolah yang jadwal pengajarannya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai
pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika di amati lagi, peserta didik yang
mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak
peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa,
dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif
juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi
pendidikan formal yang dinilai kurang. Mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang
mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan
di bidang bahasa, namun ia mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan
kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika melihat kondisi pendidikan di lapangan
yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran
dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik. Dalam beberapa
tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004,
kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan
aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara
pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga
menambah biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti
kurikulum yang dianggap kurang efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang
dinilai lebih efektif. Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat
dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relatif tetap, atau jika masukan yang
sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal.
B. Keprofesionalan dan Kesejahteraan Guru

Sosok guru bisa dibilang ujung tombak dalam proses pendidikan. Berhasil atau tidaknya
suatu proses pendidikan serta tinggi rendahnya kualitas suatu pendidikan ditentukan salah
satu faktornya adalah guru. Pentingnya peranan seorang guru tentunya mengarah pada suatu
tanggung jawab untuk menjalankan profesi tersebut dengan suatu sikap profesionalisme yang
tinggi. Dan dalam menjalankan profesinya, seorang guru tidak hanya dituntut untuk mampu
memberikan pengetahuan kepada anak didiknya, akan tetapi juga harus mampu menanamkan
suatu nilai – nilai pendidikan dengan guru sebagai contohnya. Dalam menjalankan
profesinya, seorang guru harus melakukan dua fungsi sekaligus yaitu; fungsinya secara moral
yang mana ia diharuskan membimbing anak didiknya tidak hanya dengan kecerdasannya
akan tetapi juga dengan rasa cinta, dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Dan juga
menjalankan fungsi kedinasannya yaitu mendidik dan membimbing para anak didiknya agar
menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Oleh karena itu, Guru harus berperan secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai
tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti
khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk
membawa para siswanya pada kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Guru tidak semata
sebagai pengajar yang melakukan transfer of knowledge, akan tetapi juga sebagai “pendidik”
yang melakukan transfer of values dan sekaligus sebagai “pembimbing” yang memberikan
pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar. Berkenaan dengan peranan seorang Guru,
maka keprofesionalan seorang guru sangatlah penting untuk memenuhi tuntutan masyarakat.
Namun demikian, membahas masalah profesionalnya seorang guru tidak dapat lepas dari
persyaratan atau kualifikasi yang harus dipenuhi. Dalam hal ini berkaitan dengan kualitas
intelektual dan mentalnya untuk menjalankan fungsinya sebagai seorang pendidik dan
pembimbing. Memaknai “profesionalisme” seorang pendidik lebih kepada aspek seorang
pendidik, dimana seorang pendidik yang tidak profesional tak lebih hanya sebagai seorang
“pekerja” yang hanya memberikan kewajibannya saja untuk mengajar dan menuntut haknya
yaitu “uang” semata, tanpa memikirkan aspek psikologis para murid dan tanggung jawabnya
sebagai pendidik. Sekarang ini jarang sekali kita temui seorang pendidik yang benar-benar
berdedikasi secara luhur dan berdasarkan panggilan hati nuraninya sebagai seorang “Guru”.
Faktor lain yang menjadi masalah dalam perkembangan Pendidikan adalah kesejahteraan
guru. Hal ini sangat berimplikasi terhadap rendahnya kinerja seorang Guru. Dalam menyikapi
masalah ini, banyak pro dan kontra terhadap masalah “kesejahteraan” yang selama ini telah
menjadi permasalahan dan belum diketahui ujung pangkalnya. Sebagian orang beranggapan
bahwa sangat kurangnya kompensasi dari pemerintah terhadap kinerja guru mengakibatkan
kurang profesionalnya para guru di negara kita selama ini. Akan tetapi, ada juga yang
beranggapan bahwa “kesejahteraan” itu tidak dapat sepenuhnya menjamin keprofesionalan
seorang Guru dalam bekerja. Kesejahteraan itu muncul apabila seorang Guru dapat bekerja
secara profesional dan bersungguh – sungguh menjalankan tugasnya dengan penuh
keikhlasan dan dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan. Seandainya “kesejahteraan” yang
diberikan terlebih dahulu kepada yang lebih layak menerimanya adalah para pendidik yang
berada dipedalaman – pedalaman yang sudah tentu dedikasinya terhadap pendidikan sangat
baik. Sebagai contoh seorang “Butet” yang pendidikan terakhirnya S2, dengan penuh
dedikasi mengabdikan dirinya pada pendidikan anak-anak disuku Anak Dalam, dipedalaman
Jambi dan sekarang dia berada dipedalam Papua. Kita patut mencontoh terhadap
perjuangannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa memikirkan kesejahteraan
dan kenikmatan dunia semata. Orang semacam ini yang seharusnya mendapatkan
“kesejahteraan” yang selama ini dielu-elukan oleh para pendidik di negara kita, dan
seharusnya kita malu.
Permasalahan-permasalahan yang ada di dunia pendidikan sudah harus kita sikapi dari
sekarang, kita harus memperbaiki kesalahan – kesalahan yang telah kita lakukan terutamanya
terhadap LPTK di negara kita untuk lebih selektif dalam penerimaan mahasiswanya.
Sehingga jurusan – jurusan keguruan dan kependidikan kita sekarang berisikan tidak hanya
orang-orang “yang terpaksa” dalam memilih jurusan dan bukan karena panggilan hati
nuraninya sebagai pendidik. Hendaknya dilakukan seleksi yang ketat dan profesional, tidak
hanya secara intelektual saja akan tetapi juga harus diberikan tes bakat dan minat terhadap
calon tenaga pendidik tersebut, sehingga kita dapat menciptakan tenaga pendidik yang
mantap secara intelektual dan dedikasinya terhadap dunia pendidikan. Apalagi di era
pengetahuan seperti sekarang ini, apabila permasalahan-permasalahan dalam dunia
pendidikan belum juga dapat ditanggulangi dengan segera, maka dunia pendidikan kita akan
semakin tertinggal jauh, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Yang dikhawatirkan
adalah kecenderungan orang-orang untuk menjadi seorang pendidik hanya beralasan pada
masalah “kesejahteraan” semata, tanpa adanya panggilan hati nuraninya sebagai pendidik.
Apabila ini dibiarkan maka akan semakin membuat terperosoknya kualitas pendidikan di
negara ini, khususnya terhadap kualitas pendidik dinegara ini.

Dalam menyikapi profesionalisme tenaga pendidik dan usaha untuk meningkatkan mutu
pendidik sekaligus juga mutu peserta didik di Indoensia, salah satunya melalui kebijakan
mengenai sertifikasi guru yang sekarang ini sedang marak diperbincangkan. Pada dasarnya
sertifikasi adalah upaya untuk meningkatkan profesi seorang pendidik agar setara dengan
profesi – profesi yang sudah ada, seperti; dokter, pengacara, psikolog, dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya profesi adalah suatu pernyataan atau janji seseorang yang mengabdikan
dirinya pada suatu jabatan atau layanan karena orang tersebut merasa terpanggil menjabat
pekerjaan itu. Sedangkan sertifikasi pada hakikatnya adalah pemberian sertifikat kompetensi
atau surat keterangan sebagai pengakuan terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan
suatu pekerjaan setelah lulus uji kompetensi. Apabila dihubungkan dengan profesi guru,
maka sertifikasi dapat diartikan sebagai surat bukti kemampuan mengajar dalam mata
pelajaran, jenjang dan bentuk pendidikan tertentu.

C. Pemerataan Pendidikan

Hal ini berkaitan dengan sistem pendidikan yang mana seharusnya menyiapkan peluang
besar bagi seluruh masyarakat agar dapat mengakses pendidikan, agar mampu menjadi
tempat bagi keberlanjutan peningkatan SDM di Indonesia. Menurut Wayan (1992)
pemerataan pendidikan yang berkaitan dengan mutu proses dan hasil pendidikan belumlah
merata di Indonesia. Masih banyak terdapat gap yang cukup besar pada penyelenggaraan
pembelajaran pendidikan baik di kota maupun di desa, lebih khusus lagi bila dibandingkan
daerah Jawa dan daerah Timur Indonesia. Apabila diamati lebih saksama dalam kurun waktu
10 tahun terakhir masih dirasa belum berhasil pendidikan secara keseluruhan untuk
meningkatkan kualitas hasil belajar sebagaimana pendapat Idris (1992:61-62) yang mana
banyak peserta didik mempunyai kemampuan sedang/kurang dalam hasil belajar.
Berdasarkan UU No.4 tahun 1950 sebagai landasan pendidikan dan pengajaran disekolah bab
XI, Pasal 17 : Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016 “Tiap-
tiap warga negara RI mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah
jika syarat syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah tersebut
terpenuhi”. Kemudian berkaitan dengan wajib belajar bab VI, pasal 10 ayat 1: “semua anak
yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di
sekolah sedikitnya 6 tahun lamanya”. Pasal 10 Ayat 2 : “belajar di sekolah beragama yang
telah mendapatkan pengakuan dari menteri agama dianggap telah memenuhi kewajiban
belajar”. Urgensi pemerataan pendidikan menjadi isu yang menarik, karena apabila anak-
anak yang seharusnya mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar, maka siswa tersebut
mempunyai kemampuan berupa membaca, menulis dan berhitung. Dengan demikian ia
mampu mengikuti dan tidak akan tertinggal dengan perkembangan zaman, mereka menjadi
mandiri dan tidak menjadi penghambat pembangunan Indonesia. Pada tingkat pendidikan
dasar, kebijakan yang berkaitan dengan tersedianya akses pendidikan yang
mempertimbangkan aspek kuantitatif, sebab seluruh masyarakat perlu diberikan materi
pemahaman yang seimbang. Jika dilihat dengan saksama untuk jenjang pendidikan menengah
sampai dengan jenjang pendidikan tinggi, kebijakan pemerintah berkaitan dengan
pembangunan kualitatif dan relevansi, yang berhubungan dengan minat dan bakat siswa,
dimana kebutuhan lapangan kerja dan untuk pengembangan kebudayaan, dan teknologi
terbaru. Namun, dalam perkembangan yang terjadi pada dewasa ini terjadi
ketidakseimbangan antara jumlah lembaga pendidikan dengan peserta didiknya, antara
sekolah umum dan sekolah kejuruan pada masing masing tingkat satuan pendidikan, padahal
sekolah kejuruan seharusnya lebih banyak daripada sekolah umum karena pembangunan
membutuhkan kader-kader yang cerdas dan terampil, hal ini dapat ditangani melalui
pendidikan kejuruan, dan ketidakseimbangan juga terlihat pada adanya perbandingan jumlah
yang mencolok antara SD, SMP dan SMA. Lembaga SD jauh lebih besar dibandingkan
dengan jumlah lembaga SMP dan SMA. Di sisi lain adanya upaya untuk pemerataan
pendidikan melalui pendidikan luar kelas berkembang cukup pesat, dalam hal ini ada dua
faktor yang menjadi pemicu hal tersebut. Pertama, perkembangan IPTEK yang memberikan
alternatif bagi masyarakat dan kedua konsep pendidikan sepanjang hayat yang tidak
membatasi usia dari peserta didik dan tidak terbatas pada dinding ruangan kelas yang mana
hal ini dapat memberi akses yang luas bagi masyarakat dalam menikmati kesempatan belajar.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah pemerataan
pendidikan. Mulai dari cara konvensional sampai dengan cara inovatif. Adapun untuk cara
tradisonal pemerintah dapat melakukan: Pertama, dengan membangun gedung sekolah dan
ruang belajar dan kedua memanfaatakan sekolah dengan sistem double sift (siswa dibagi
kelas pagi dan sore). Adapun cara kedua yaitu cara inovatif dengan membangun sistem
pamong (pendidikan bekerjasama dengan masyarakat), membangun sekolah di daerah
terpencil dan mengirimkan guru-guru untuk mendidik didaerah tersebut (pola SM3T), pola
pendekatan rumah (guru mendatangi rumah siswa), Program Kejar Paket, dan Pembelajaran
jarak jauh. Berkenaan dengan solusi di atas yang lebih penting dan utama adalah bagaimana
menumbuhkan dan membangkitkan kemauan belajar dari peserta didik, baik masyarakat
maupun keluarga yang kurang mampu supaya semangat dan terus terpacu untuk membuat
anak-anak mereka agar tetap bisa sekolah.

D. Sarana dan Prasarana yang Kurang Mendukung

Terkait hal peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, juga harus ditunjang dengan
sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Tapi sayangnya hingga sekarang, sarana dan
prasarana pendidikan yang dimiliki sebagian besar sekolah di Indonesia masih kurang
memadai seperti fasilitas laboratorium dan sebagainya. Sarana dan prasarana ini padahal
sangat vital dalam kegiatan proses belajar dan mengajar. Sebagian besar alat peraga di
sekolah-sekolah masih kurang terkontrol baik dari segi mutu, harga dan sikap pribadi para
pengusaha sarana pendidikan. Padahal setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana
yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang
tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi,
ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain,
tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Tanpa ada sarana dan prasarana yang
mendukung proses pendidikan, pendidikan di Indonesia akan sulit mengalami kemajuan.
Dengan terpenuhinya sarana dan prasarana akan sangat menunjang atas tercapainya suatu
tujuan dari pendidikan, sebagai seorang personal pendidikan kita dituntut untuk menguasi dan
memahami administrasi sarana dan prasarana, untuk meningkatkan daya kerja yang efektif
dan efisien serta mampu menghargai etika kerja sesama personal pendidikan, sehingga akan
tercipta keserasian, kenyamanan yang dapat menimbulkan kebanggaan dan rasa memiliki,
baik dari warga sekolah maupun warga masyarakat sekitarnya. Lingkungan pendidikan akan
bersifat positif atau negatif itu tergantung pada pemeliharaan sarana dan prasarana itu sendiri.

3. Penutup

Pada zaman sekarang, dibutuhkan sebuah lembaga yang membantu pemerintah untuk
meningkatkan mutu pendidikan, menjalin kerjasama untuk memeroleh dana pendidikan, dan
menggalang dukungan untuk pendidikan agar menjadi lebih baik. Lembaga tersebut tak
hanya bekerjasama dengan pemerintah, namun juga pihak swasta dan kelompok masyarakat
untuk bersama-sama memberbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Dalam meningkatkan
mutu pendidikan, lembaga tersebut melakukan pendampingan kepada guru-guru di Indonesia
dan pemberian apresiasi lebih kepada guru-guru kreatif dan memunculkan inovasi dalam
dunia pendidikan. Pendampingan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
profesionalitas, kreativitas, dan kompetensi guru, seperti pendampingan berupa seminar,
lokakarya, konsultasi, pelatihan dan praktek.

Untuk lembaga tersebut, juga melakukan mediasi kepada masyarakat, pendidik, dan pihak
terkait lainnya untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah dalam memperbaiki
pendidikan. Diharapkan dengan adanya lembaga ini, ide-ide kreatif untuk memperbaiki
pendidikan dapat tertampung dan pemerintah dapat mempertimbangkan ide masyarakat untuk
kebijakan yang dibuat. Dalam meningkatkan kemampuan kepemimpinan guru, kepala
sekolah, dan pengelola sekolah, lembaga tersebut melakukan pendampingan demi
mewujudkan manajemen sekolah yang baik. Proses yang dilakukan berupa konsultasi,
lokakarya, dan pelatihan ditunjukan kepada guru, staf dan pimpinan sekolah. Pihak
manajemen sekolah diharapkan mampu untuk membawa sekolah yang dipimpinnya menjadi
berkembang dan meraih prestasi yang diharapkan. Lembaga tersebut juga berperan
membantu manajemen sekolah untuk mengembangkan kerjasama dengan instansi-instansi
terkait guna memeroleh dana pengembangan infrastruktur sekolah. Tidak hanya itu, lembaga
tersebut juga dapat menggalang dana dari sponsor untuk perbaikan bangunan sekolah yang
hampir rusak di wilayah terpencil. Dukungan masyarakat, lembaga sosial, dan lembaga pers
memiliki fungsi dalam meningkatkan pemahaman pentingnya pendidikan melalui penyebaran
informasi. Oleh karena itu, lembaga tersebut mempunyai tugas untuk meningkatkan
dukungan tersebut dengan cara bekerja sama dengan pihak masyarakat, lembaga sosial, dan
pers. Dengan demikian informasi seputar perbaikan mutu pendidikan di Indonesia dapat
tersalurkan dengan mudah.
Daftar Pustaka

Annisatul Inayah. 2019. Permasalahan Pokok Pendidikan. Academia.


https://www.academia.edu/32008797/PERMASALAHAN_POKOK_PENDIDIKAN. 19
Desember 2019.

Giyats Shifa Nugraha. 2014. Artikel Permasalahan Pendidikan di Indonesia.


https://www.kompasiana.com/giyatsshifa/54f9951da33311a13d8b582c/artikel-permasalahan-
pendidikan-di-indonesia. 15 Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai