Anda di halaman 1dari 37

Modul Ajar

INOVASI TEKNOLOGI

Pelatihan Perekayasa Tingkat Lanjutan

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

2018
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………… I
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1
1.1. Pengantar ……………………………………………………………………. 1
1.2. Deskripsi Singkat ……………………………………………………………. 2
1.3. Tujuan Pembelajaran ……………………………………………………….. 2
1.3.1. Hasil belajar …………………………………………………………. 2
1.3.2. Indikator Hasil Belajar ……………………………………………. 3
BAB II PENINGKATAN DAYA SAING DAN KEMANDIRIAN BANGSA ………….. 4
2.1. Definisi Daya Saing …………………………………………………………. 4
2.2. Korelasi Inovasi dan Daya Saing ………………………………………….. 5
2.3. Daya Saing dan Kemandirian Bangsa …………………………………….
BAB III FAKTOR-FAKTOR BERPENGARUH PADA PENGEMBANGAN SISTEM
INOVASI TEKNOLOGI ………………………………………………………….
3.1. Teknologi, Kreatifitas, Invensi, dan Inovasi ……………………………….
3.2. Faktor-Faktor Pendorong Inovasi ………………………………………….
3.3. Sistem Inovasi ……………………………………………………………….
3.4. Ekosistem inovasi ……………………………………………………………
BAB IV PENDEKATAN KONSEP TRL ………………………………………………….
4.1. Sejarah TRL ………………………………………………………………….
4.2. Konsep Dasar TRL …………………………………………………………..
4.3. Peraturan Perundangan …………………………………………………….
BAB V PENUTUP ………………………………………………………………………….
5.1. Rangkuman ….……………………………………………………………….
5.2. Tindak Lanjut Pengembangan ….………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pengantar

Pembangunan merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat


Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan nasional
dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan tantangan
perkembangan global (Tap. MPR No. IV/MPR/1999). (Pengertian Nasional).

Salah satu tujuan pembangunan nasional untuk mencapai suatu bangsa yang mandiri
adalah terwujudnya daya saing. Berbagai konsep tentang daya saing yang didiskusikan
dalam berbagai literatur ekonomi dan bisnis ternyata sangat banyak. Mulai dari konsep
daya saing dalam tataran ekonomi mikro sampai dengan ekonomi makro.

Dalam modul ini yang dimaksud daya saing adalah daya saing secara makro, yakni
kombinasi dari institusi, kebijakan, dan faktor yang menentukan tingkat produktivitas
suatu negara. Dimana tingkat produktivitas akan menentukan tingkat kemakmuran yang
dapat dicapai oleh suatu perekonomian. Tingkat produktivitas juga menentukan tingkat
pengembalian investasi dalam perekonomian yang pada akhirnya menjadi pendorong
fundamental dari pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, negara yang berdaya saing
akan cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat (World Economic
Forum-WEF, 2017).

Visi pembangunan nasional jangka panjang sebagaimana tercantum dalam Undang-


undang Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN)
2005-2025 adalah Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Kemandirian
adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya
sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi diri bangsanya. Oleh karena itu,
pembangunan, sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan, haruslah pula merupakan
upaya membangun kemandirian.

Di tengah era globalisasi, daya saing merupakan syarat mutlak yang sangat diperlukan
untuk tercapainya sebuah negara yang bisa mandiri dan sejahtera. Menurut indeks daya
saing global, yang dikembangkan oleh WEF, Pilar Tingkat Kesiapan Teknologi dan Pilar
Inovasi, merupakan dua di antara pilar-pilar penting yang memperngaruhi daya saing
sebuah negara.,
1.2. Deskripsi Singkat

Peranan inovasi dalam meningkatkan daya saing bangsa dengan pengembangannya


yang berbasis kesisteman, telah dituangkan dalam UU No 17/2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2005 – 2025. Visi misi maupun arah
pembangunan di dalam UU tersebut menekankan tentang pentingnya inovasi dalam
membangun daya saing. Salah satu visi RPJMN 2005 – 2025 adalah mewujudkan
“Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur” yang salah satu implementasinya di
tuangkan ke dalam Misi ke – 2 yaitu “mewujudkan Bangsa yang berdaya saing” dengan
arahan yang salah satunya adalah “…penguatan sistem inovasi dalam rangka
pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan.”.

Batasan atau definisi tentang inovasi sangatlah beragam, tetapi secara umum, yang
dimaksud dengan inovasi adalah penerapan atau implementasi dari sesuatu yang baru.
Lebih luas lagi, inovasi merupakan tindakan penerapan ide-ide baru yang menciptakan
nilai bagi organisasi bisnis, pemerintah, dan masyarakat. Bisa dikatakan bahwa inovasi
merupakan (penerapan) cara yang lebih baik dan cerdas dalam melakukan sesuatu.
Keterkaitan antara daya saing dengan inovasi telah banyak ditunjukkan oleh pengalaman
banyak negara, yang menekankan pentingnya inovasi bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakatnya.

World Economic Forum (WEF), merupakan salah satu lembaga internasional yang secara
rutin sejak tahun 1995, menampilkan kondisi sebuah negara yang mencerminkan tingkat
dayasaingnya. Salah satu faktor penting dalam meningkatkan daya saing sebuah negara
adalah inovasi, termasuk di dalamnya inovasi teknologi. Di samping itu tingkat kesiapan
teknologi juga menjadi salah satu indikator penting bagi tingkat daya saing sebuah
negara.

Instrumen penting yang dapat dibuat oleh sebuah negara agar inovasi bisa berkembang
dengan cepat dan memberikan kontribusi nyata dalam membangun daya saingnya,
adalah insentif dari pemerintah. Banyak jenis insentif yang dibuat oleh banyak negara
agar inovasi dan teknologi bisa berkembang dengan cepat.

1.3. Tujuan Pembelajaran

A. Hasil Belajar

Setelah mengikuti mata pelatihan ini peserta diharapkan mampu menjelaskan faktor-
faktor yang mendorong percepatan penguasaan inovasi teknologi.
B. Indikator Hasil Belajar

Setelah pembelajaran peserta dapat:

a. Menjelaskan tentang peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa;

b. Menjelaskan faktor-faktor berpengaruh pada pengembangan sistem inovasi teknologi;

c. Menjelaskan pendekatan konsep TRL; dan

d. Menjelaskan program insentif untuk mendorong penguasaan teknologi.


BAB II

PENINGKATAN DAYA SAING DAN KEMANDIRIAN BANGSA

2.1. Definisi Daya Saing

Berbagai konsep tentang daya saing yang didiskusikan dalam berbagai literatur ekonomi
dan bisnis ternyata maknanya lebih besar dan jauh lebih besar dari hanya sekedar
pengertian keuntungan komparatif. Faktanya, bahwa daya saing belum didefinisikan
dengan ketat seperti halnya definisi dari keunggulan komparatif.. Beberapa penulis
menggunakan konsep daya saing sebagai sinonim dari keunggulan komparatif, sedangkan
yang lainnya menganggap hal itu sebagai sebuah karakteristik yang luas dari ekonomi.

Pembuat kebijakan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan di banyak negara
maju lainnya sering menempatkan daya saing sebagai tujuan utama kebijakan ekonomi
nasional, meskipun sering banyak pertentangan tentang cara pencapaianya.

Masalah utama yang menjadi pertentangan antar kalangan yang bergelut di bidang teori
pembangunan adalah definisi daya saing yang berbeda-beda antar satu kalangan atau ahli
dengan kalangan atau ahli lainnya.

Sulitnya mendefiniskan daya saing, karena setiap tingkat kegiatan ekonomi, maknanya akan
berbeda-beda. Di samping itu, definisi daya saing juga akan banyak menyangkut dimensi
lainnya, dari mulai konsep ekonomi mikro sampai dengan ekonomi makro.

Definisi yang paling kontroversial, adalah konsep daya saing ekonomi makro dan ekonomi
mikro. Dalam konsep ekonomi makro beberapa penulis menjadikan daya saing sebagai
sebuah ciri penting dari perekonomian sebuah negara. Sedangkan dalam konsep ekonomi
mikro, daya saing berarti produktivitas yang hanya berlaku untuk satu badan usaha atau
industri.

Menurut Delgado, dkk (2012) yang disebut dengan daya saing adalah tingkat output yang
diharapkan dari setiap individu usia kerja yang merupakan pencerminan dari kualitas
keseluruhan suatu negara sebagai tempat melakukan bisnis. Kemampuan produktivitas
tenaga kerja yang bekerja maupun kemampuan untuk menyerap jumlah besar angkatan
kerja yang tersedia, keduanya akan mempengaruhi keseluruhan tingkat kesejahteraan.
Besarnya perbedaan dalam produktivitas tenaga kerja dari pegawai aktif di berbagai negara
yang dikenal secara luas, sangat terkait dengan perbedaan PDB per kapita masing-m,asing
negara.

Dalam Modul Pembelajaran ini, konsep daya saing yang akan dibahas adalah dalam
dimensi ekonomi makro. Salah satu definsi daya saing dalam konteks ekonomi makro yang
paling terkenal adalah konsep World Competitiveness Index, yang dihitung dan diterbitkan
setiap tahun oleh World Economic Forum dan Institute of Management Development
(WEF/IMD, yang terbit tahunan sejak tahun 1995).

2.2. Korelasi Inovasi dan Daya Saing

Porter (1990) membahas bahwa kemakmuran nasional diciptakan bukan diwariskan. Lebih
lanjut Porter menjelaskan bahwa daya saing bangsa tergantung pada kapasitas industri
untuk berinovasi. Teori ini juga mencatat bahwa tidak mungkin suatu negara unggul di setiap
jenis industri, namun suatu negara dapat meraih sukses di industri tertentu.

World Economic Forum (WEF) mendefinisikan daya saing sebagai kombinasi dari institusi,
kebijakan, dan faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. Dimana tingkat
produktivitas akan menentukan tingkat kemakmuran yang dapat dicapai oleh suatu
perekonomian. Tingkat produktivitas juga menentukan tingkat pengembalian investasi dalam
perekonomian yang pada akhirnya menjadi pendorong fundamental dari pertumbuhan
ekonomi. Dengan kata lain, negara yang berdaya saing akan cenderung memiliki
pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat (WEF, 2017).

Indeks daya saing global (Global Competitiveness Index (GCI)) pada tahun 1979 awalnya
dibuat oleh Klaus Schwab, yang selanjutnya dikembangkan oleh Xavier Sala-Martin
bekerjasama dengan World Economic Forum (WEF) sejak tahun 2005. GCI
menggabungkan 114 indikator dengan menggunakan berbagai konsep penting untuk
produktivitas dan kemakmuran jangka panjang.

Indikator-indikator tersebut dikelompokkan ke dalam 12 pilar (Gambar 1), yakni institusi,


infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi
dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar
keuangan, tingkat kesiapan teknologi, ukuran pasar, tinggat kecanggihan bisnis dan inovasi.
Secara garis besar, indikator-indikator tersebut ditampilkan sebagaimana dalam gambar 1
berikut ini.
Gambar 1. Kerangka Indeks Daya Saing Global menurut WEF

Pilar Tingkat Kesiapan Teknologi dan Pilar Inovasi, merupakan dua di antara pilar-pilar
penting yang memperngaruhi daya saing sebuah negara. Menurut penjelasan WEF, Pilar
Kesiapan Teknologi berfungsi dalam mengukur kemampuan ekonomi dalam mengadopsi
teknologi yang ada untuk meningkatkan produktivitas industrinya, dengan lebih menekankan
kepada kapasitas industri untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
dalam kegiatan sehari-hari dan proses produksi untuk meningkatkan efisiensi dan
memungkinkan inovasi untuk daya saing. Apakah teknologi yang digunakan telah atau
belum dikembangkan secara nasional adalah tidak relevan karena kemampuannya untuk
meningkatkan produktivitas. Intinya adalah bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi
di negara tersebut perlu memiliki akses kepada produk-produk yang canggih dan
kemampuan perusahaan dalam menyerap dan menggunakannya. Di antara sumber-sumber
utama teknologi tersebut berasal dari luar negeri, asing investasi langsung (FDI) sering
memainkan peran penting, terutama untuk negara-negara kurang maju tahap
pengembangan teknologinya.

Pilar yang terakhir berfokus pada inovasi. Inovasi adalah sangat penting bagi ekonomi
karena mereka mendekati batas-batas pengetahuan, dan kemungkinan menghasilkan nilai
lebih dengan hanya mengintegrasikan dan mengadaptasi teknologi eksogen cenderung
menghilang. Dalam perekonomian ini, perusahaan harus merancang dan mengembangkan
produk-produk mutakhir dan proses untuk mempertahankan keunggulan kompetitif dan
bergerak ke arah yang lebih tinggi nilai tambah kegiatan. Perkembangan ini membutuhkan
lingkungan yang kondusif untuk kegiatan inovatif dan didukung oleh investasi publik dan
swasta. Terutama, itu berarti cukup investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D),
terutama oleh sektor swasta; kehadiran dari tinggi-kualitas lembaga-lembaga penelitian
ilmiah yang dapat menghasilkan pengetahuan dasar yang dibutuhkan untuk membangun
teknologi baru; luas kolaborasi dalam penelitian dan perkembangan teknologi antara
perguruan tinggi dan industri; dan perlindungan kekayaan intelektual.

Indeks Inovasi Global

Indeks Inovasi Global (Global Innovation Index-GII) adalah peringkat tahunan negara-
negara berdasarkan kapasitas mereka dalam inovasi. GII diterbitkan tahunan oleh Cornell
University, INSEAD, dan Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia, yang bermitra dengan
organisasi dan institusi lain. Penilaian indeks ini didasarkan pada data subjektif dan obyektif
yang berasal dari beberapa sumber, termasuk International Telecommunication Union,
World Bank dan World Economic Forum.

Global Innovation Index (GII) bertujuan untuk menangkap segi multi-dimensi dari inovasi dan
menyediakan tools yang dapat membantu dalam menyesuaikan kebijakan untuk mendorong
pertumbuhan output jangka panjang, meningkatkan produktivitas, dan pertumbuhan
lapangan pekerjaan. GII juga membantu menciptakan lingkungan di mana faktor inovasi
terus dievaluasi. Indeks ini menyediakan alat kunci dan basis data yang ukurannya
terperinci untuk ekonomi banyak negara, yang pada tahun 2018 mencakup 126 negara,
mewakili 90,8% dari populasi dunia dan 96,3% dari PDB global.

GII dihitung dengan mengambil rata-rata sederhana dari skor dalam dua sub-indeks, yakni
Indeks Input Inovasi dan Indeks Output Inovasi, yang masing-masing terdiri dari lima dan
dua pilar. Masing-masing pilar ini menggambarkan atribut inovasi, dan terdiri hingga lima
indikator, dan skor mereka dihitung dengan metode rata-rata dengan bobot tertentu. Berikut
ini adalah resume dari indikator GII.
Gambar Resume Indikator Global Innnovation Index

(Sumber: https://www.globalinnovationindex.org/about-gii)

2.3. Daya Saing dan Kemandirian Bangsa

Undang-undang nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang


Nasional (RPJPN) 2005-2025, menyatakan bahwa visi pembangunan nasional tahun 2005–
2025 adalah: INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR. Hal ini didasari
oleh berdasarkan bangsa Indonesia saat ini, tantangan yang dihadapi dalam 20 tahunan
mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan
amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan
nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi diri bangsanya. Oleh karena itu,
pembangunan, sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan, haruslah pula merupakan
upaya membangun kemandirian. Kemandirian bukanlah kemandirian dalam keterisolasian.
Kemandirian mengenal adanya kondisi saling ketergantungan yang tidak dapat dihindari
dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam suatu negara maupun bangsa. Terlebih lagi
dalam era globalisasi dan perdagangan bebas ketergantungan antarbangsa semakin kuat.
Kemandirian yang demikian adalah paham yang proaktif dan bukan reaktif atau defensif.
Kemandirian merupakan konsep yang dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan
kondisi saling ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya,
maupun nilai-nilai yang mendasari dan mempengaruhinya.

Bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat
dengan bangsa lain yang telah maju dengan mengandalkan pada kemampuan dan
kekuatan sendiri. Oleh karena itu, untuk membangun kemandirian, mutlak harus dibangun
kemajuan ekonomi. Kemampuan untuk berdaya saing menjadi kunci untuk mencapai
kemajuan sekaligus kemandirian.

Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain, pada ketersediaan sumber daya manusia
yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan
pembangunannya; kemandirian aparatur pemerintah dan aparatur penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya; ketergantungan pembiayaan pembangunan yang bersumber dari
dalam negeri yang makin kokoh sehingga ketergantungan kepada sumber dari luar negeri
menjadi kecil; dan kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Apabila karena sumber
daya alam tidak lagi memungkinkan, kelemahan itu diimbangi dengan keunggulan lain
sehingga tidak membuat ketergantungan dan kerawanan serta mempunyai daya tahan
tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia.
BAB III

FAKTOR-FAKTOR BERPENGARUH PADA PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI


TEKNOLOGI

3.1. Teknologi, Kreatifitas, Invensi, dan Inovasi

Di antara kendala yang dihadapi banyak pihak dalam mendiskusikan inovasi sehingga
sering tidak sinkron satu dengan lainnya, antara lain adanya pemahaman yang berbeda
mengenai istilah-istilah pokok yang digunakan.

Teknologi adalah cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari
penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai
bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia (UU
No. 18 tahun 2002).

Menurut UNCTAD (2011) Teknologi adalah Penerapan pengetahuan untuk menghasilkan


barang dan jasa. (knowledge applied to the production of goods or services) dalam bentuk
mesin, proses produksi, software, pengetahuan yang melekat (tacit knowledge).

Diskusi mengenai inovasi sering mengalami kesulitan, karena banyak orang yang merasa
kebingunan tentang beberapa makna yang tepat dari beberapa istilah kunci. Khususnya
kebingunan tentang perbedaan makna antara kreativitas, inovasi, dan invensi. Penggunaan
tiga istilah tersebut sering sekali dianggap sebagai suatu istilah yang maknanya sama atau
bahkan digunakan secara terbalik dan salah. (Destination Innovation, 2018).

Secara definisi, kreativitas adalah kemampuan atau tindakan mengandung sesuatu yang
orisinal atau tidak biasa (Destination Innovation, 2018). Menurut Surbhy S (2015), kreativitas
adalah karakteristik seseorang untuk menghasilkan ide-ide baru, alternative, solusi dengan
cara yang unik dan berbeda dari biasa. Kreativitas juga merupakan kemampuan untuk
memahami sesuatu yang tidak dapat diprediksi, asli dan unik.

Inovasi adalah penerapan atau implementasi dari sesuatu yang baru. Lebih luas lagi,
inovasi merupakan tindakan penerapan ide-ide baru yang menciptakan nilai bagi organisasi
bisnis, pemerintah, dan masyarakat. Bisa dikatakan bahwa inovasi merupakan (penerapan)
cara yang lebih baik dan cerdas dalam melakukan sesuatu. Menurut Taufik (2004), inovasi
adalah pembaruan (dihasilkan dari proses kreatif dan sosial) yang memberikan kemanfaatan
sosial ekonomi.

Selanjutnya Surbhi (2015) menyampaikan perbedaan utama antara kreativitas dan inovasi :
1. Mewujudkan suatu kualitas pemikiran atau ide-ide baru menjadi nyata adalah
kreativitas. Sedangkan tindakan mengeksekusi ide-ide kreatif ke dalam praktik
adalah inovasi;

2. Kreativitas adalah suatu proses imajinatif yang berbeda dengan inovasi sebagai
sebuah proses produktif;

3. Kretaivitas tidak pernah bisa diukur, sedangkan inovasi bisa diukur;

4. Kreativitas terkait dengan pembangkitan gagasan yang baru dan unik.


Sedangkan inovasi terkait dengan memperkenalkan sesuatu yang lebih baik ke
pasar;

5. Kreativitas sering sekali tidak memerlukan uang untuk mewujudkannya. Di sisi


lain inovasi membutuhkan uang;

6. Hampir tidak ada resiko yang terlibat dalam proses kreatif, sedangkan resiko
selalu melekat pada inovasi.

Sedangkan invensi adalah penciptaan sesuatu yang belum pernah dibuat sebelumnya dan
diakui sebagai produk dari berbagai sudut pandang. Dapat dikatakan juga, invensi
merupakan sebuah hasil dari kreativitas manusia, berupa riset.

Inovasi didefinisikan sebagai “the creation, diffusion and use of new ideas applied in the
economy; and in the latter it refers to new production process, new products, new forms of
organisation and new markets” (Lundvall dkk, 2003). Sedangkan di dalam prosesnya,
Johnson dan Lundvall (2003) melihat inovasi sebagai ‘a continious cumulative process
involving not only radical and incremental innovation but also the diffusion, absorption and
use of innovation’. Dari pengertian tersebut, inovasi merupakan proses didalam menciptakan
dan mendifusikan suatu pengetahuan sehingga memiliki nilai tambah. Pengertian nilai
tambah tersebut dapat bemacam-macam, namun penekanan utamanya adalah nilai tambah
dalam aspek ekonomi sehingga identifikasi jenis kegiatan inovasi dapat bermacam-macam.
Menurut OECD dalam Frascaty Manual (1993), kegiatan inovasi dapat di identifikasi menjadi
7 macam kegiatan, yaitu:

1. Kegiatan penelitian dan pengembangan


2. Pengembangan peralatan teknik dan rekayasa industri
3. Manufaktur dan pengembangan pra produksi
4. Pemasaran produk baru
5. Akuisisi teknologi non fisik (pengetahuan, metode, strategi dsb)
6. Akuisisi teknologi fisik (peralatan dsb)
7. Desain.
Dengam melihat 7 jenis kegiatan inovasi tersebut yang harus memiliki nilai tambah dalam
aspek ekonomi, dan dikaitkan dengan ekonomi berbasis pengetahuan, Inovasi menjadi
salah satu motor utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Pentingnya inovasi
tersebut, membuat komisi Uni Eropa menempatkanya sebagai pusat dari strategi
pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan “innovation has been placed at the heart
of the strategy”, serta inovasi dianggap sebagai jawaban dari berbagai permasalahan sosial
yang ada saat ini “best means of successfully tackling major societal challenges”. Dengan
melihat pentingnya inovasi di dalam pembangunan, maka Indonesia sebagai negara
berkembang, perlu menumbuhkan inovasi di dalam negeri untuk menjawab berbagai
persoalan dan tantangan yang dihadapi.

Inovasi merupakan proses non linier dan dalam beberapa kasus membutuhkan stimulus
untuk menumbuhkannya. Hal tersebut tidak terlepas dari beberapa fenomena penting terkait
dengan proses inovasi itu sendiri dan bagaimana inovasi dapat muncul. Menurut BPPT
(2018), fenomena penting tersebut adalah sebagai berikut :

1. Inovasi merupakan suatu proses, bukan sebuah kejadian sesaat yang muncul
dengan sendirinya

2. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan inovasi muncul, salah satunya


adalah yang diakibatkan oleh technology push atau demand pull, namun
seringkali kemunculan inovasi tidak diakibatkan oleh keduanya, namun
kombinasi dari keduanya.

3. Inovasi merupakan proses kompleks dan dinamis, dan menuntut adanya


kerjasama antar elemen yang ada

4. Inovasi merupakan proses pembelajaran sosial, dimana para inovator


ataupun pengguna sama2 belajar sehingga proses pemunculan inovasi
ataupun difusi inovasi dapat bekerja dengan baik.

5. Inovasi membutuhkan iklim yang kondusif sehingga elemen-elemen inovasi


dapat bekerja dengan baik, oleh karena itu intervensi tertentu seringkali
dipandang perlu untuk mendorong inovasi berkembang dengan menciptakan
iklim kondusif tersebut.

Dengan melihat fenomena-fenomeda tersebut, inovasi pada hakikatnya bukan suatu proses
yang bersifat individual, namun perlu aspek lain di dalam mendukungnya sehingga untuk
melihat ataupun menumbuhkembangkan suatu inovasi, pendekatan holistik dan menyeluruh
sangat diperlukan.
Menurut Taufik (2005), Dari beragam pengalaman banyak pihak, terutama negara-negara
yang dinilai “berhasil” dalam mendorong inovasi, dan diskusi-diskusi konsep di berbagai
literatur, berkembang fenomena penting tentang inovasi yang kini semakin tidak mungkin
diabaikan. Beberapa di antaranya adalah seperti berikut:

• Inovasi seringkali bukan technology push (driven) atau demand pull (driven) secara
“hitam –putih” yang tegas, namun lebih merupakan proses di antaranya dan
kombinasi keduanya.
• Walaupun inovasi muncul sebagai kejadian (event) yang mengubah sesuatu secara
signifikan, inovasi bukan merupakan kejadian sesaat dan/atau tidak terjadi/muncul
dengan sendirinya. Inovasi merupakan suatu proses ¨ Inovasi lebih merupakan
proses kompleks dan dinamis (dan adakalanya terkesan sporadis) yang sering
menunjukkan paradoks. Walaupun inovasi didorong oleh kompetisi (persaingan),
inovasi tidak berkembang tanpa kerjasama (co-operation), adakalanya bahkan
antara perusahaan yang saling bersaing. Inovasi tak lagi semata hanya bergantung
pada bagaimana perusahaan, perguruan tinggi dan para pembuat kebijakan bekerja,
namun juga pada bagaimana mereka bekerjasama.
• Inovasi merupakan proses pembelajaran sosial (social learning). Para inovator dan
adopters (pengguna) sama-sama perlu melalui proses belajar, baik menyangkut isu
teknis maupun kemanfaatan dan hal penting lain, serta membutuhkan “interaksi”
yang efektif bagi keberhasilan inovasi.
• Iklim persaingan yang sehat memberikan tekanan persaingan yang efektif dalam
mendorong kebutuhan akan inovasi dan keberhasilannya akan semakin bergantung
pada bagaimana berbagai elemen penting, baik pelaku usaha, lembaga litbang,
perguruan tinggi dan pembuat kebijakan berkolaborasi. Di sisi lain, sifat inovasi
(serupa halnya dengan kegiatan iptek atau litbang) yang mengandung “barang
publik/public goods” (setidaknya “sebagian”) berpotensi membawa kepada
“kegagalan pasar” (market failures), bahkan kegagalan sistemik (systemic failures).
Karena itu, intervensi tertentu seringkali dipandang perlu untuk mendorong perbaikan
(mengatasi persoalan demikian).

OECD (1999) mengungkapkan beberapa kecenderungan berikut:

• Inovasi merupakan suatu proses kreatif dan interaktif yang melibatkan lembaga-
lembaga pasar dan non-pasar.
• Inovasi bergantung pada kemajuan saintifik.
• Inovasi membutuhkan lebih dari sekedar litbang. SDM merupakan faktor yang
sangat kunci.
• Produksi barang dan jasa semakin ”sarat dengan pengetahuan” (knowledge-
intensive), tetapi tak selalu berarti lebih ”sarat dengan litbang” (R&D intensive).
• Perusahaan merupakan aktor utama, tetapi tidak bertindak sendiri.

Tak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan berbagai telaahan konsepsi maupun dukungan
empiris dan perkembangannya dari waktu ke waktu, inovasi pada dasarnya merupakan hasil
dari kewirausahaan, kreativitas intelektual, dan upaya kolektif.

3.2. Faktor-Faktor Pendorong Inovasi

Menurut Taufik (2005), beberapa faktor yang dinilai sebagai faktor generik penyebab
(sumber bagi) inovasi (dan biasanya juga saling terkait) antara lain adalah:

• Perkembangan/kemajuan teknologi (technical novelty).


• Perubahan kebutuhan/keinginan atau “selera” konsumen.
• Perubahan dalam segmen pasar atau kemunculan segmen pasar yang baru.
• Tekanan persaingan yang semakin ketat.
• Perubahan atas faktor produksi (kelangkaan relatif) dan faktor ekonomi tertentu
(misalnya nilai tukar mata uang).
• Peraturan/kebijakan pemerintah.

Kemampuan inovasi merupakan faktor daya saing yang sangat penting, terutama dalam
menghadapi beberapa kecenderungan sebagai berikut:

1. Tekanan persaingan global terus meningkat;

2. Produk semakin kompleks dan memiliki siklus hidup yang semakin pendek karena
cepatnya kemajuan teknologi dan perubahan tuntutan konsumen;

3. Kedua keadaan tersebut juga mengakibatkan perubahan persaingan pasar yang


semakin cepat dan kompleks.

Kemampuan inovasi yang rendah akan memaksa perusahaan atau suatu industri bersaing
pada segmen pasar yang umumnya “konvensional,” pasar masa (mass market) yang sudah
“jenuh” dan cenderung menurun (melampaui growing & maturity period dan memasuki
declining period dalam siklus bisnis), lebih mengandalkan pada persaingan harga, dan
biasanya bernilai tambah relative rendah.

Telah menjadi kecenderungan fenomena umum dalam banyak industri, bahwa pasar dan
teknologi berubah sangat cepat, tekanan atas biaya cenderung meningkat, pelanggan
semakin menuntut, dan siklus produk serta time-to-market cenderung semakin pendek.
Tantangan utama bagi perusahaan di tengah suatu lingkungan bisnis yang kompleks dan
kecenderungan persaingan global yang semakin ketat, seperti ditegaskan dalam EISDISR
(2001), adalah mengembangkan dan mempertahankan keunggulan daya saing. Salah satu
faktor penting yang mempengaruhi berklembangnya inovasi adalah kebijakan pemerintah.

Menurut Bogani and Jonash, Pemerintah dapat mendorong inovasi melalui empat cara
dasar: yakni dengan belanja inovasi, mengurangi risiko inovasi, kolaborasi litbang, dan
dengan menggunakan standar atau peraturan untuk mendorong inovasi.

Belanja Inovasi

Banyak sekali contoh, pemerintah memegang peran kunci dalam mendorong inovasi adalah
sebagai pengguna utama inovasi itu sendiri. Pemerintah sendiri memerlukan sistem
pengadaan barang dan jasa, umumnya melalui suatu prosedur pengadaan dengan
persaingan bebas. Sebagai pembeli yang memiliki kesempatan belanja dengan jumlah
yang sangat besar, sehingga pemerintah memiliki kesempatan besar dalam
mempromosikan suatu inovasi. Misalnya, di Amerika dan Perancis, dalam rangka
memenuhi kebutuhan alutsista dan kebutuhan energy, mereka membeli produk-prosuk hasil
inovasi lembaga penelitian bidang pertahanan maupun bidang enegri.

Contoh lainnya di Kanada, Departemen kesehatan dan rumah sakit di sana juga mempunyai
peran dalam mendorong berkembangnya inovasi di bidang kesehatan. Ada dua tujuan yang
ingin dicapai, yakni menurunkan bisaya perawatan kesehatan mandiri bagi para lansia, dan
mendorong inovasi di bidang kesehatan dan perawatan.

Pengurangan Resiko Inovasi

Pemerintah juga dapat membantu mengurangi resiko inovasi baik secara teknik, komersial,
maupun financial berkaitan dengan industri inovasi. Pengurangan resiko teknis, misalnya
terhadap masalah-masalah yang sulit dipecahkan, pemerintah dapat memberikan anggaran
penelitian dan anggaran untuk proyek-proyek percontohan.

Banyak contoh yang dilakukan negara maju memeberikan pembiayaan riset untuk
pengembangan teknologi maju. Di bawah sebuah proyek yang disebut PATH, University of
California, pemerintah federal dan pemerintah negara bagian yang menyediakan pendanaan
untuk pengembangan lanjutan sistem kontrol kendaraan sebagai bagian dari program IVHS.
Demikian pula, pemerintah menyediakan dana penelitian untuk pengembangan sistem
transportasi maglev (magnetic levitation), di Jepang, Eropa, Amrerika Serikat. Dalam hal ini
Departemen Perhubungan Amerika (DOT) melakukan survei untuk menentukan apakah
sektor swasta akan bersedia untuk membiayai pembangunan sistem maglev di Amerika
untuk dapat bersaing dengan sistem Jepang dan Jerman Ketika respon dari swasta
negative, maka anggaran pemerintah dikeluarkan untuk pembiayaan kegiatan tersebut

Pemerintah juga mendanai proyek-proyek percontohan yang dapat membantu mengurangi,


bukan hanya resiko teknis melainkan juga resiko komersial. Selain itu, melalui peroyek-
proyek percontohan tersebut pihak swasta juga akan dapat memiliki ide-ide yang lebih baik
serta potensi permintaan inovasi yang lebih banyak.

Cara lainnya, pemerintah dalam membantu mengurangi resiko financial antara lain
mewajibkan mengikuti asuransi inovasi. Di Amerika yang memilii kesadaran hukum yang
tinggi, tidak akan ada komersialisasi inovasi sebelum disediakan beberapa kewajiban yang
disiapkan oleh pemerintah untuk menanggulangi resiko yang akan muncul.

Kolaborasi Litbang untuk Mendukung Inovasi

Pemerintah memfasilitasi inovasi dengan berkolaborasi pada litbang lanjutan dan


pengembangan produk, biasanya di tahap prakompetitif tetapi pada tahap kompetitif juga.
Seringkali instansi pemerintah berkoordinasi dalam pelaksanaan litbang atau aplikasi
teknologi inovatif.

Misalnya, dalam pengembangan sistem transportasi di Amerika, yang terlibat dalam


kolaborasi adalah Departemen Perhubungan (DOT) dan Badan Penelitian Transportasi
(TRB), yakni suatu unit penelitian di bawah Dewan Riset Nasional Amerika.

Pemerintah Amerika juga menyiapkan dana dan dukungan untuk upaya konsosrsium riset,
misalnya SEMATECH (disiapkan anggaran sebesar 100 juta dollar yang dapat digunakan
oleh pihak swasta). Hal yang sama diselenggarakan di Jepang (MIT), atau Eropa (EC).
Kesepakatan Kerjasama litbang (CRADA’s), merupakan sautu perangka baru yang sangat
agresif mempercepat inovasi melalui kolaborasi antara laboratorium penelitian lembaga
pemerintah dengan konsorsium industri di AS.

Di Indonesia, kebijakan pemerintah dalam mendorong inovasi melalui kolaborasi litbang


yang melibatkan lembaga pemerintah, misalnya Program pendanaan Inovasi. Program
pendanaan inovasi merupakan instrumen kebijakan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2002
tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan
Dan Teknologi dan melalui Peraturan Menteri Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi No. 341 Tahun 2015 tentang Program Insentif Pemanfaatan Teknologi Yang
Dimanfaatkan Di Industri, dimana tujuannya adalah untuk mendorong kapasitas industri
dalam memanfaatkan hasil litbang perguruan tinggi, lembaga litbang dan industri dalam
negeri serta sasarannya meningkatkan jumlah produk teknologi yang dihasilkan lembaga
litbang, perguruan tinggi dan industri yang dimanfaatkan di industri. Program pendanaan
inovasi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) telah
dilaksanakan sejak tahun 2015.

Dalam pelaksanaannya, program ini untuk tahun 2015 (tahun pertama pelaksanaan PPTI)
terdapat 92 pengajuan proposal dan yang terpilih menjadi 4 peserta. Sedangkan untuk
tahun 2016 (tahun kedua pelaksanaan PPTI) terdapat 103 pengajuan proposal dan yang
terpilih menjadi peserta sebanyak 48 proposal, pada tahun 2017 dari pengajuan sebanyak
246 proposal didanai sebanyak 86 proposal, pada tahun 2018 proposal yang didanai
meningkat menjadi 102 yang meliputi 8 bidang fokus yaitu: 1) Bidang Teknologi Energi; 2)
Bidang Teknologi Transportasi; 3) Bidang Teknologi TIK; 4) Bidang Teknologi Hankam; 5)
Bidang Teknologi Pangan; 6) Bidang Teknologi Material Maju; 7) Bidang Teknologi Bahan
Baku; dan 8) Bidang Teknologi Kesehatan dan Obat.

Program Pengembangan Teknologi Industri (PPTI) ini merupakan sebuah instrument


Kebijakan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan tujuan
meningkatkan relevansi dan produktivitas litbang untuk memenuhi kebutuhan teknologi di
industri melalui:

1. Pengembangan teknologi yang berujung pada produk baru yang memiliki daya
ungkit ekonomi signifikan;

2. Peningkatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN);

3. Peningkatan daya saing industri dalam negeri yang akan menunjang ekonomi
nasional melalui proses alih teknologi dalam bentuk kerjasama dan komunikasi antar
anggota konsorsium;

4. Peningkatan rantai penambahan nilai dalam proses produksi melalui penerapan


teknologi hasil pengembangan bersama.

Program ini mengadopsi mekanisme pengadaan penelitian yang bersifat kompetisi, dengan

tetap membuka ruang pengadaan penelitian dengan mekanisme penugasan sesuai dengan

peraturan dan perundangan yang berlaku. (Sumber : BUKU PANDUAN Program


Pengembangan Teknologi Industri (PPTI) Tahun Anggaran 2019, Direktorat Pengembangan
Teknologi Industri, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi).
Penggunaan Standar dan Regulasi

Peraturan pemerintah dan standar berfungsi sebagai penghalang (barrier) penting dan
sebagai insentif untuk inovasi.

Misalnya, dalam upaya mempercepat kemampuan inovasi telekomunikasi broadband dan


layanan jaringan cerdas di Amerika Serikat dan Eropa dapat didorong atau ditunda,
tergantung kepada kebijakan pemerintah, yakni melalui pengaturan tentang tarif dan
investasi. Kebijakan paten dan peraturan perawatan kesehatan mendorong berkembangnya
inovasi farmasi dan inovasi peralatan medis di sebagian besar negara.

Teknologi kendaraan listrik dan teknologi mesin mobil sedang didorong oleh peraturan
CAFE dan ZEV di Amerika Serikat sebagai daerah yang mengakui manfaat ganda dari
peningkatan lingkungan dan ekonomi pengembangan. Demikian pula, peraturan mengenai
lingkungan, kesehatan, dan keselamatan akan mendorong banyak inovasi dalam
pembangkit listrik, mobil, pembersihan lingkungan, dan proses daur ulang.

Peran Pemerintah yang Semakin Luas

Suka atau tidak, percaya atau tidak, instansi pemerintah di semua tingkatan dan di seluruh
dunia sedang memperluas peranan mereka dan memperluas upaya mereka untuk
mendorong inovasi dan meningkatkan daya saing industri.

Menurut Price Water House Cooper (2010), berdasarkan hasil penelitian di berbagai negara
di Eropa, Amerika, dan negara- negara Asia, peran pemerintah yang bisa mendorong
berkembangnya inovasi melalui berbagai insentif yang bisa diberikan, antara lain adalah :

1. Kebijakan Pajak
a. Pajak Investasi Litbang
b. Tax Holidays
c. Bantuan Pajak Kekayaan Intelektual
d. Pajak Tidak Langsung
e. Inisatif Pajak Oleh Negara
2. Lingkungan Hukum
a. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
b. Sistem Paten
3. Lingkungan Fiscal
a. Hibah Untuk Perguruan Tinggi
b. Hibah untuk Riset Dasar
c. Investasi Asing Langsung (FDI)
d. Hibah dan Pinjaman untuk Investasi

Tabel di bawah ini menunjukkan beragam fiskal dan legal strategi masing-masing
negara. Seperti halnya dengan inisiatif pajak, beberapa generalisasi relevan di sini,
kecuali untuk mengatakan bahwa setiap negara memiliki perbedaan keadaan dan
memilih strateginya untuk menyesuaikannya.

Cetakan
kurang
tajam/fokus

Sumber : Price Water House Cooper (2010)

3.3. Sistem Inovasi

Buku Referensi lengkap tentang teori Sistem Inovasi yang ada di Indonesia, sampai saat ini
masih sangat langka. Salah satu buku yang dapat dijadikan sebagai rujukan mengenai
berbagai aspek sistem inovasi adalah Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif
Kebijakan yang ditulis oleh Dr. Tatang Akhmad Taufik tahun 2005. Dalam Modul ini
penjelasan mengenai Sistem Inovasi akan menggunakan bahan tersebut.
Kompleksitas dan dinamika inovasi mendorong perkembangan kebutuhan akan cara
pandang yang lebih holistik dan terintegrasi. Pendekatan kesisteman tentang inovasi,
walaupun mulai intensif diangkat di pertengahan tahun 1980an kini semakin luas
didiskusikan. Walaupun begitu, konsep sistem inovasi nasional atau sistem nasional inovasi
secara historis sebenarnya telah mulai diangkat oleh Friedrich List (di pertengahan abad
19), yang mengkritik apa yang disebutnya pendekatan “kosmopolitan” Adam Smith (melalui
bukunya The National System of Political Economy) yang menurutnya terlampau berfokus
pada persaingan dan alokasi sumber daya yang mengabaikan pengembangan kekuatan-
kekuatan produktif. Analisis sistem nasional yang dikembangkannya mencakup sehimpunan
luas tentang kelembagaan nasional termasuk yang terlibat dalam pendidikan dan pelatihan,
serta infrastruktur seperti jaringan transportasi untuk orang dan komoditas. Menurut List,
keadaan negara merupakan hasil dari akumulasi seluruh temuan, invensi, perbaikan
penyempurnaan dan upaya keras seluruh generasi yang telah hidup sebelumnya yang
membentuk modal intelektual dalam keadaan persaingan saat kini. Setiap negara akan
produktif pada bagian yang dikuasainya dari generasi sebelumnya dan dapat
dimanfaatkannya serta meningkatkannya berdasarkan kebutuhannya.

Banyak pakar berpendapat bahwa pandangan List ini mempengaruhi bagaimana Jerman
mengembangkan dan memiliki salah satu sistem pendidikan dan pelatihan teknis terbaik di
dunia hingga kini. List juga saat itu telah mengenali interdependensi antara impor teknologi
asing dan pengembangan teknologi dalam negeri, atau yang kini dikenal sebagai
“alih/transfer teknologi.” Dalam pandangan List, suatu negara tidak saja perlu memperoleh
kemajuan-kemajuan teknologi dari negara lain yang lebih maju tetapi juga meningkatkan
teknologinya sendiri. Pandangan List ini dinilai sebagai salah satu di antara pemikiran yang
mengawali pandangan tentang sistem inovasi yang kini berkembang.

Menurut Lundvall dan Christensen (1999), terdapat 3 perspektif/cara dalam mendefinisikan

sistem inovasi, yaitu:

1. Sistem inovasi yang berdasarkan sistem litbang.


2. Sistem inovasi yang berdasarkan sistem produksi.
3. Sistem inovasi yang berdasarkan sistem produksi dan pengembangan sumber
daya manusia.

Untuk mengawali bahasan tentang sistem inovasi, berikut adalah beberapa definisi yang
berkembang tentang sistem inovasi dari beragam sudut pandang.

Freeman (1987): sistem inovasi adalah jaringan lembaga di sektor publik dan swasta yang
interaksinya memprakarsai, mengimpor (mendatangkan), memodifikasi dan mendifusikan
teknologi-teknologi baru.
Lundvall (1992): sistem inovasi merupakan elemen dan hubungan-hubungan yang
berinteraksi dalam menghasilkan, mendifusikan dan menggunakan pengetahuan yang baru
dan bermanfaat secara ekonomi . . . . suatu sistem nasional yang mencakup elemen-elemen
dan hubungan hubungan bertempat atau berakar di dalam suatu batas negara. Pada bagian
lain ia juga menyampaikan bahwa sistem inovasi merupakan suatu sistem sosial di mana
pembelajaran (learning), pencarian (searching), dan penggalian/eksplorasi (exploring)
merupakan aktivitas sentral, yang melibatkan interaksi antara orang/masyarakat dan
reproduksi dari pengetahuan individual ataupun kolektif melalui pengingatan (remembering).

Nelson dan Rosenberg (1993): Sistem inovasi merupakan sehimpunan aktor yang secara
bersama memainkan peran penting dalam mempengaruhi kinerja inovatif (innovative
performance).

Metcalfe (1995): Sistem inovasi merupakan sistem yang menghimpun institusi-institusi


berbeda yang berkontribusi, secara bersama maupun individu, dalam pengembangan dan
difusi teknologi-teknologi baru dan menyediakan kerangka kerja (framework) di mana
pemerintah membentuk dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan untuk
mempengaruhi proses inovasi. Dengan demikian, sistem inovasi merupakan suatu sistem
dari lembaga-lembaga yang saling berkaitan untuk menciptakan, menyimpan, dan
mengalihkan (mentransfer) pengetahuan, keterampilan dan artifacts yang menentukan
teknologi baru. ¨

OECD (1999): sistem inovasi merupakan himpunan lembaga-lembaga pasar dan non-pasar
di suatu negara yang mempengaruhi arah dan kecepatan inovasi dan difusi teknologi.

Edquist (2001): Sistem inovasi merupakan keseluruhan faktor ekonomi, sosial, politik,
organisasional dan faktor lainnya yang mempengaruhi pengembangan, difusi dan
penggunaan inovasi. Jadi, sistem inovasi pada dasarnya menyangkut determinan dari
inovasi.¨

Arnold, et al. (2001) dan Arnold, et al. (2003) menggunakan istilah ”sistem riset dan inovasi
nasional” (national research and innovation system), yaitu keseluruhan aktor dan aktivitas
dalam ekonomi yang diperlukan bagi terjadinya inovasi industri dan komersial dan
membawa kepada pembangunan ekonomi.

Taufik (2005) merangkum dan menyimpulkan, berdasarkan pendapat banyak ahli, bahwa
sistem inovasi adalah:

Pendekatan sistem inovasi menekankan pentingnya proses pembelajaran (Johnson, Edquist


dan Lundvall, 2003), seperti proses ‘learning by doing’ atau saling belajar satu sama lain
melalui proses pertukaran pengetahuan yang melibatkan berbagai aktor seperti perusahaan,
konsumen, universitas dan lembaga pemerintah. Hall dkk (2003) memandang sistem inovasi
sebagai sesuatu yang sistemik, interaktif dan evolusioner, dimana produk dan proses baru di
bawa kedalam penggunaan ekonomi dan sosial melalui kegiatan – kegiatan jejaring
organisasi yang dimediasi oleh berbagai kelembagaan dan kebijakan. Oleh karena itu,
pendekatan sistem inovasi tersebut merupakan pendekatan yang paling banyak diminati di
dalam mendeskripsikan, menganalisis dan memahami proses inovasi dalam berbagai level,
dan bagaimana proses tersebut dipengaruhi oleh policy measures (Schempf, B., Kaplan, D.,
Schroeder, D, 2013).

Sistem Inovasi Nasional (SINas), yang menekankan pada interaksi antar aktor yang terlibat
di dalam inovasi dan menganalisis bagaimana interaksi tersebut dibentuk oleh faktor sosial,
institusional dan politik (Fagerberg dan Verspagen, 2009) di dalam lingkup nasional atau
negara(Lundvall, 1992). Pendekatan tersebut relatif sukses dan digunakan dalam lingkup
akademis dan pengambilan kebijakan (Teixeira, 2013) serta digunakan sebagai kerangka
analisis untuk mempelajari perbedaan sistem inovasi antar negara (Alvarez dan marin,
2010). Namun demikian, pendekatan SIN mengasumsikan homogenitas di dalam suatu
Negara dan hal tersebut justru menjadi salah satu subjek kritikan terhadap pendekatan SIN
(Liu dan White, 2001). Di dalam banyak indikator seperti indikator kinerja perekonomian,
kemiskinan, investasi R&D dsb di berbagai daerah dalam suatu negara (level sub-nasional)
menunjukan berbagai perbedaan yang tidak mengarah kepada suatu kehomogenitasan,
sehingga kinerja inovasi di level sub-nasional berbeda-beda (Fritsch, 2002). Dengan adanya
hal tersebut, diperlukan suatu pendekatan sistem inovasi yang relatif berbeda dalam hal
lingkup analisis, sehingga pendekatan yang dikembangkan adalah melalui pendekatan
sistem inovasi berbasis kedaerahan atau yang disebut sebagai Sistem Inovasi Daerah
(SIDa) (Schempt, B et al, 2013).

Pendekatan SIDa memfokuskan kepada dimensi regional dari produksi dan eksploitasi
pengetahuan baru, sehingga membantu di dalam menjelaskan perbedaan kapasitas inovasi
dan kekuatan ekonomi di suatu daerah (Schempt, B et al, 2013). Menurut Doloereux & Parto
(2005) SIDa sendiri dapat dirunut berdasarkan 2 bidan utama keilmuan, yaitu sistem inovasi
dan regional study (studi kedaerahan). Seperti yang telah disebutkan pada bagian
sebelumnya, sistem inovasi mengkonsepkan tentang proses inovasi, yang berfokus pada
elemen utama yang berhubungan dengan proses inovasi tersebut dan bagaimana kinerja
dari proses inovasi tersebut dapat ditingkatkan. Sedangkan Regional study menekankan
pada konteks sosial d ari inovasi dimana aktor dan faktor dari konteks sosial dapat
mempengaruhi proses invoasi, yang tidak hanya melihat sumberdaya lokal saja, namun
bagaimana proses inovasi tersebut dibentuk oleh nilai yang terinstitusionalkan dan prosedur
yang ada dalam tataran daerah (Ruan, X., Saad, M.ed dan Kumar, V , 2014). Disamping itu,
proximity (kedekatan) dari aktor di suatu daerah, seperti perusahaan dan institusi riset,
merupakan aspek yang penting di dalam proses pembelajaran kolektif, pertukaran
pengetahuan dan proses dalam berinovasi, yang dari hasil pengamatan empriris proses ini
sangatlah terlokalisasi (Maskell & Malmberg, 1999).

Looy et al (2003) berpedapat bahwa faktor penting untuk suksesnya SIDa adalah akses ke
pusat pengetahuan dimana pengetahuan untuk berinovasi dihasilkan. Hasil studi empiris
menyatakan bahwa, terdapat korelasi yang jelas antara keberadaan suatu pusat
pengetahuan, seperti universitas dan lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang), di
suatu daerah dan output teknologi di dalam sistem inovasi di suatu daerah (Blind and Grupp,
1999 dalam Ruan, et al 2014). Fungsi utama pusat pengetahuan tersebut adalah untuk
melakukan kegiatan penciptaan pengetahuan dan pendeseminasian, yang menempatkan
pusat pengetahuan tersebut pada tempat utama dan mengambil peranan penting dalam
sistem inovasi di suatu daerah (Leey et al, 2003).

SIDa di negara berkembang dikonseptualisasikan sebagai pusat khusus dalam inovasi


global dan jejaring produksi (Asheim et al, 2007). Industri di negara berkembang, termasuk
Indonesia, umumnya berperan dalam aktivitas low added value, jika dibandingkan dengan
industri dari negara maju yang menghasilkan produk bernilai tambah tinggi. Kondisi inilah
yang disasar oleh konsep sistem inovasi regional di negara berkembang, yaitu proses
transisi peningkatan kompetensi dan upgrading fungsi industri di negara berkembang.
Dalam proses transisi inilah muncul kebutuhan akan kebijakan yang mendukung sistem
inovasi regional. Pengaruh kebijakan terutama mendukung kemunculan dan pengembangan
sistem inovasi regional terutama dalam proses transisi dan upgrading industri (Cristina &
Jang, 2008). Proses transisi industri dalam sistem inovasi regional juga memunculkan
konsep pembelajaran interaktif (interactive learning). Pembelajaran interaktif merupakan
akuisisi knowledge dan kompetensi melalui kolaborasi interaktif antara industri dengan
penghasil knowledge (Lundvall et al, 2006). Literatur menunjukkan bahwa konsep sistem
inovasi regional dengan pembelajaran interaktif baru ditemukan di negara maju, namun
jarang ditemui di negara berkembang (D’Costa, 2006).

Di Indonesia, Kebijakan pemerintah terkait SIDa telah tertuang di dalam UU No 18/2002


tentang sistem Nasional Penelitian yang diturunkan secara lebih mendetail pada Peraturan
bersama Menristek dan Mendagri tentang Penguatan Sistem Invoasi Daerah yang
dikeluarkan tahun 2012. Di dalam peraturan bersama tersebut, SIDa di definisikan sebagai
“Keseluruhan proses dalam satu sistem untuk menumbuhkembangkan inovasi yang
dilakukan antar institusi pemerintah, pemerintah daerah, lembaga kelitbangan, lembaga
pendidikan, lembaga penunjang inovasi, dunia usaha dan masyarakat daerah”. Di dalam
peraturan bersama tersebut disebutkan bahwa pada dasarnya setiap daerah harus
melakukan aksi penguatan SIDa yang termasuk didalamnya adalah membentuk TIM
koordinasi dan penyusunan Roadmap SIDa, penataan kelembagaan dan sumberdaya yang
mendukung SIDa, pengembangan SIDa berdasarkan Potensi lokal dan melakukan
koordinasi dan pelaporan SIDa ke pemerintah pusat. Tujuan SIDa berfokus kepada
Meningkatkan daya ungkit bagi pembangunan daerah; Fokus pada transfer pengetahuan
dan Teknologi; Membantu UMKM mencapai skala ekonomi yang baik; menciptakan
lingkungan yang kreatif untuk mendorong tumbuhnya inovasi dan kerjasama dan
mendorong sinergitas para pemangku kepentingan sebagai pendamping SIDa (Tim SIDa
Balitbang Provinsi Jawa Tengah, 2015). Tujuan tersebut selaras dengan Prioritas Nasional
Pembangunan Wilayah yaitu Kegiatan Prioritas Pengembangan Ekonomi Kawasan yang di
dalamnya memuat penerapan teknologi dan inovasi untuk meningkatkan nilai tambah dan
daya saing.

3.4. Ekosistem inovasi

Menurut Jackson (2015) Terdapat satu analogi konseptual antara ekosistem inovasi dan
ekosistem biologis yang diamati di alam. Ekosistem biologis adalah sistem yang mencakup
semua organisme hidup (faktor biotik) di suatu area serta lingkungan fisiknya (faktor abiotik)
yang berfungsi bersama sebagai satu unit. Ini dicirikan oleh satu atau lebih keadaan
ekuilibrium, di mana satu kondisi yang relatif stabil ada untuk mempertahankan populasi
atau pertukaran makanan pada tingkat yang diinginkan. Ekosistem memiliki karakteristik
fungsional tertentu yang secara khusus mengatur perubahan atau mempertahankan
stabilitas keadaan ekuilibrium yang diinginkan.

Dalam sistem biologi, keadaan kesetimbangan dijelaskan dengan memodelkan dinamika


energi dari operasi ekosistem 1 Dalam konteks ini, energi hanyalah cara hubungan
pemangsa-pemangsa dan tanaman mentransfer energi; kalori yang dibakar memakan
mangsa, sehingga mentransfer energi mangsa ke predator dan ketika tanaman mati dan
terurai, energi mereka ditransfer ke tanah di mana ia diambil lagi oleh tanaman lain. Karena
dinamika energi merupakan fungsi yang kompleks, ekosistem hanya dapat dianggap
sebagai keseluruhan, bukan sedikit demi sedikit, karena setiap bagian dari ekosistem
memiliki efek fungsional pada yang lain.

Singkatnya, ekosistem biologis adalah serangkaian hubungan yang kompleks di antara


sumber daya hidup, habitat, dan penduduk suatu daerah, yang tujuan fungsionalnya adalah
untuk mempertahankan negara yang mempertahankan ekuilibrium.

Ekosistem inovasi memodelkan ekonomi daripada dinamika energi dari suatu hubungan
kompleks yang terbentuk antara aktor atau entitas yang tujuan fungsionalnya adalah untuk
pengembangan teknologi dan inovasi. Dalam konteks ini, para pelaku akan mencakup
sumber daya material (dana, peralatan, fasilitas, dll.) Dan modal manusia (mahasiswa,
dosen, staf, peneliti industri, perwakilan industri, dll.) Yang membentuk entitas institusional
yang berpartisipasi dalam ekosistem (misalnya universitas, akademi teknik, sekolah bisnis,
perusahaan bisnis, pemodal ventura (VC), lembaga penelitian-industri-universitas, Pusat
Keunggulan yang didukung oleh pemerintah atau industri, dan negara dan /atau
pengembangan ekonomi lokal dan organisasi bantuan bisnis, pendanaan lembaga, pembuat
kebijakan, dll.).

Ekosistem inovasi terdiri dari dua ekonomi yang berbeda, tetapi sebagian besar terpisah,
ekonomi penelitian, yang didorong oleh penelitian secara mendasar, dan ekonomi
komersial, yang didorong oleh pasar. Secara desain, kedua ekonomi itu digabungkan secara
lemah karena sumber daya yang diinvestasikan dalam ekonomi riset harus berasal dari
sektor komersial. Definisi ini termasuk penelitian dan pengembangan pemerintah (R & D)
investasi yang pada akhirnya berasal dari pendapatan pajak. Untuk mendorong penyelidikan
kebetulan yang penting bagi penemuan inovatif, penting juga bahwa insentif yang
mendorong ekonomi penelitian dipisahkan dari insentif keuangan yang mendorong ekonomi
komersial.

Dua cara untuk meningkatkan output ekonomi dalam suatu ekonomi adalah (i)
meningkatkan jumlah input dalam proses produktif, atau (ii) mencari cara-cara baru untuk
mendapatkan lebih banyak output dari jumlah inputan yang sama. Yang terakhir adalah inti
dari apa yang secara luas dimaksudkan oleh konsep inovasi dari Schumpeter, yang
didefinisikan sebagai "pengenalan produk baru atau yang meningkat secara signifikan
(barang atau jasa), proses, metode organisasi, dan metode pemasaran dalam praktik bisnis
internal atau pasar ". Inovasi diyakini menjadi sumber fundamental dari generasi kekayaan
yang signifikan dalam suatu perekonomian. Keyakinan ini adalah dasar dari strategi
pemerintahan saat ini untuk pemulihan ekonomi dan melandasi upaya National Science
Foundation untuk menyuburkan ekosistem inovasi bangsa.
BAB IV

PENDEKATAN KONSEP TRL

4.1. Sejarah TRL

Pengembangan teknologi adalah proses mengembangkan dan mendemonstrasikan


teknologi baru atau teknologi yang belum terbukti berhasil (unproven), aplikasi teknologi
yang ada untuk penggunaan baru atau berbeda, atau kombinasi teknologi yang ada dan
terbukti untuk mencapai tujuan tertentu. Pengembangan teknologi yang terkait dengan
proyek akuisisi tertentu harus diidentifikasi pada awal siklus hidup proyek dan tingkat
kematangannya harus telah berevolusi ke tingkat kepercayaan yang memungkinkan proyek
untuk menetapkan ruang lingkup, jadwal dan biaya dasar teknis yang kredibel.

Skala Tingkat Kesiapan Teknologi (TRL) dikembangkan selama 1970-1980-an. The National
Aeronautics and Space Administration (NASA) memperkenalkan skala sebagai "sosok
program merit yang independen dan disiplin (FOM) untuk memungkinkan penilaian yang
lebih efektif, dan komunikasi mengenai kematangan teknologi baru". Pada tahun 1974, Stan
Sadin mengembangkan sampai skala level 7, disempurnakan lebih lanjut selama tahun
1990-an ke skala level 9 yang telah mendapatkan penerimaan luas di seluruh industri dan
pemerintah. Di pertengahan dekade pertama tahun 2000, skala ini secara luas diadopsi
sebagai sistem untuk menentukan kesiapan teknologi di seluruh komunitas pengembangan
ruang angkasa internasional.

Skala Tingkat Kesiapan Teknologi (TRL) dikembangkan selama 1970-1980-an. The National
Aeronautics and Space Administration (NASA) memperkenalkan skala sebagai "sosok
program merit yang independen dan disiplin (FOM) untuk memungkinkan penilaian yang
lebih efektif, dan komunikasi mengenai kematangan teknologi baru" 1. Pada tahun 1974,
Stan Sadin mengembangkan skala 7 tingkat pertama, yang disempurnakan lebih lanjut
selama tahun 1990-an ke skala 9 tingkat yang telah mendapatkan penerimaan luas di
seluruh industri dan pemerintah. Di pertengahan dekade pertama setelah tahun 2000, skala
ini secara luas diadopsi sebagai sistem untuk menentukan kesiapan teknologi di seluruh
komunitas pengembangan ruang angkasa internasional.

Di Indonesia, kajian internal TRL dimulai sekitar tahun 2004 oleh Kedeputian Bidang PKT
BPPT. Tahun 2005, diterbitkan secara terbatas sebuah panduan pengukuran TRL yang
disusun oleh Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi BPPT.

Menurut Permenristekdikti No 42 tahun 2016 tentang Pengukuran dan Penetapan Tingkat


Kesiapan Teknologi, yang dimaksud dengan Tingkat Kesiapterapan Teknologi (Technology
Readiness Level) yang selanjutnya disingkat dengan TKT adalah tingkat kondisi
kematangan atau kesiapterapan suatu hasil penelitian dan pengembangan teknologi tertentu
yang diukur secara sistematis dengan tujuan untuk dapat diadopsi oleh pengguna, baik oleh
pemerintah, industri maupun masyarakat. TKT merupakan ukuran yang menunjukkan
tahapan atau tingkat kematangan atau kesiapan teknologi pada skala 1–9, yang mana
antara satu tingkat dengan tingkat yang lain saling terkait dan menjadi landasan bagi
tingkatan berikutnya.

4.2. Konsep Dasar TRL

Secara sederhana Tingkat Kesiapan Teknologi (technology readiness level) dapat


didefinisilkan sebagai seberapa siap/matang suatu teknologi untuk bisa diterapkan.
Pengertian kesiapan menunjukkan adanya kemungkinan perbedaan antara “siap”, “tidak
siap” dan “belum siap”-nya suatu teknologi” atau perbedaan “tingkatan kesiapan teknologi”
untuk dimanfaatkan atau diterapkan sesuai kegunaannya (BPPT, 20005).

Skala TRL dikembangkan untuk memungkinkan penilaian kematangan teknologi tertentu


dan perbandingan kematangan yang konsisten antara berbagai jenis teknologi. Meskipun
berbagai alat manajemen lain sudah tersedia untuk kesiapan bisnis yang lebih berorientasi,
tidak ada alat yang tersedia untuk menilai tahap pengembangan teknologi yang mana. Hal
ini terbukti menjadi masalah untuk merencanakan pengembangan dan konstruksi, misalnya,
Antariksa Luar Angkasa . Ketika, pada tahun 1981, Prakarsa Eksplorasi Ruang Angkasa
diumumkan, ada kebutuhan yang lebih besar untuk pendekatan sistematis untuk
mengkomunikasikan kesiapan teknologi dan meramalkan implementasi antara penelitian
teknologi dan komunitas perencanaan misi. Ratusan orang berpartisipasi dalam penelitian,
pengembangan, pembuatan dan penggunaan teknologi ruang angkasa, dan mode
komunikasi yang jelas diperlukan untuk mengelola kegiatan berorientasi teknologi ini.

Skala TRL digunakan sebagai evaluasi dan mekanisme perencanaan untuk menilai
kematangan obat dan memungkinkan komunikasi tentang status obat tertentu. Meskipun
skala TRL diadopsi untuk menilai kesiapan Produk Penanggulangan Medis, adaptasi dibuat
untuk memenuhi kebutuhan organisasi. Jelas bahwa pengkalimatan dan definisi tingkat
individu berbeda, tetapi skala 9 tingkat TRL dasar digunakan. Beberapa contoh lain dari
adaptasi biomedis ini dapat ditemukan, misal: oleh NATO dan Departemen Pertahanan
Amerika Serika (USA-DOD).
Gambar 1. Skala TRL dari NASA (Sumber: EARTO, 2014)

Saat ini jelas bahwa fokusnya lebih pada komersialisasi hasil penelitian. Oleh karena itu alat
untuk membantu mengevaluasi proses ini jelas diperlukan. Hal ini mendorong penggunaan
dan adaptasi lebih lanjut dari skala TRL oleh komunitas selain komunitas teknologi ruang
angkasa. Sebagai contoh, skala TRL digunakan oleh berbagai organisasi, dari departemen
pemerintah seperti AS-DOD, US-DOE, ESA hingga perusahaan besar seperti Boeing dan
Lockheed Martin. Memang, ini adalah elemen kunci dari banyak metode Penilaian Kesiapan
Teknologi (TRA). Organisasi-organisasi ini biasanya menggunakan definisi AS-DOD sebagai
dasar, tetapi menyesuaikan definisi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Sebagaimana dijelaskan, skala TRL pada awalnya berasal dari pengamatan bahwa kegiatan
litbang, operasional, dan komunitas perencanaan sistem ruang angkasa selama
pengembangan teknologi, dihadapkan dengan masalah komunikasi dan sinkronisasi skala
teknologi. Pengembangan sistem teknologi berteknologi tinggi biasanya bergantung pada
keberhasilan dari pengembangan sinkronisasi antar individu teknologi yang dibutuhkan. Jika
sinkronisasi ini tidak dapat optimal, ini akan memiliki konsekwensi terhadap kinerja,
penjadwalan, dan anggaran. Keberhasilan pengembangan sistem yang inovatif sangat
tergantung pada keberhasilan pengelolaan keselarasan antar masing-masing teknologi.

Penilaian kesiapan suatu teknologi secara individu akan memungkinkan pengurangan risiko
dalam anggaran dan perencanaan. Pengamatan ini adalah titik awal untuk pengembangan
skala TRL dan merupakan salah satu penggerak untuk terus digunakan dalam
komersialisasi teknologi dan perencanaan litbang.

Skala TRL menggunakan pendekatan linear untuk penelitian, pengembangan dan


penerapannya, yang merupakan suatu pandangan umum terhadap inovasi di awal 1970-an.
Tujuan utama dari pengembangan adalah sebuah teknologi tunggal (berupa komponen)
yang dikembangkan dan diintegrasikan dengan teknologi lain dalam bentuk produk yang
lebih canggih, berteknologi tinggi, dan kompleks. Aspek lainnya adalah konsekuensi alami
dari fakta bahwa skala TRL berasal dari lingkungan pengembangan sistem ruang angkasa.

Meskipun masih memiliki kekurangan, skala TRL secara luas telah banyak digunakan; tetapi
sering disesuaikan dengan kebutuhan spesifik suatu organisasi. Contoh dari adaptasi
pendekatan TRL untuk kebutuhan spesifik organisasi dapat ditemukan di Departemen
Kesehatan dan Layanan Manusia AS, lihat Gambar 2.

Gambar 2. Skala TRL Digunakan oleh Departemen Kesehatan AS

(Sumber: EARTO, 2014)

Jenis adaptasi kedua dapat ditemukan dalam "Panduan untuk TRL" yang diterbitkan oleh
Departemen Energi Amerika Serikat. Dalam panduan ini, lebih banyak aspek berbasis
bioteknologi dan energi dimasukkan. Meskipun 9 level masih terlihat, deskripsi untuk setiap
level sedikit berbeda, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Contohnya adalah TRL6:
"Rekayasa/pilot-skala, serupa (prototipikal) validasi sistem di lingkungan yang relevan". US-
DoE menggunakan TRL6 sebagai "tingkat relatif pengembangan teknologi", menggunakan
berbagai jenis R & D yang terjadi selama TRL, yaitu:
Basic technology Resarch to Improve Technology Technology System commisioning System
research feseability study development demonstration operation

Gambar 3. Adaptasi skala TRL oleh Departemen Energi AS

(Sumber: EATRO, 2014)

Tingkat kesiapan teknologi sering dikelompokkan untuk menghasilkan skala yang lebih
ringkas. Pendekatan ini dengan mengintegrasikan beberapa level TRL yang juga telah
digunakan oleh beberapa organisasi. OECD membedakan 4 tingkat penelitian: Penelitian
dasar (TRL1-3), Pengembangan (TRL3-5), Demonstrasi/Percontohan (TRL 6-7), dan
Penerapan Awal (TRL8-9). Bank Investasi Eropa (EIB), membedakan hanya antara
Penelitian (TRL1-3), Pengembangan (TRL 3-6), Inovasi (TRL6-8) dan dukungan Produksi
(TRL9).

Penilaian kematangan teknologi dalam instrumen UE menggunakan beberapa cara yang


berbeda. Program kerja Horizon 2020 (mis., Rancangan program kerja 2014 - 2015 NMP)
sekarang menggunakan skala TRL untuk membuatnya keputusan tentang jenis proyek yang
akan didanai dengan tingkat TRL yang diusulkan diberikan dalam deskripsi panggilan dan
(berpotensi) untuk digunakan dalam evaluasi. Skala yang digunakan termasuk dalam tabel
berikut.

Tabel 1. TRL yang Digunakan Horizon 2020


Pada tahap ini, meskipun inklusi, tidak ada definisi suara tingkat individu belum sepenuhnya
dijelaskan dan dicontohkan. Jelas bahwa adaptasi memberi sedikit perhatian pada
tantangan manufaktur, meskipun dalam TRL9 elemen "Manufaktur Kompetitif" telah
dimasukkan. Komisi Eropa adaptasi masih secara implisit berfokus pada teknologi tunggal.
Itu aspek solusi penelitian yang membutuhkan berbagai teknologi tidak dibahas dan
kegiatan semacam itu tidak dijelaskan. Sebagai pengganti definisi dan contoh yang
memadai, skema terbuka interpretasi dan dapat menghambat komunikasi daripada fasilitasi
itu.

Kelemahan dari TRL adalah apabila kita menghadapi kondisi sebuah teknologi yang telah
matang, tetapi memerlukan proses pengkajian atau penelitian ulang. Berlawanan dengan
karakter linear implisit dari skala TRL, model umpan balik ini menunjukkan bahwa penelitian
diperlukan bahkan pada level TRL yang lebih tinggi, yaitu bahwa peningkatan kematangan
juga membutuhkan penelitian tambahan. Sehingga, teknologi dalam tahap produksi
percontohan juga dapat dilemparkan kembali sesaat ke tahap kelayakan teknologi (dan
memerlukan penelitian), karena kekurangan dalam desain produk muncul karena masalah
dalam daya manufaktur.

Keterbatasan ini terkait dengan karakteristik inti lain dari skala TRL, yaitu fokusnya pada
teknologi tunggal. Karena penggunaan utama skala TRL adalah untuk menyelaraskan
perkembangan teknologi yang berbeda melalui komunikasi, tingkat yang lebih rendah
menyangkut satu teknologi tunggal menurut definisi. Namun, tingkat TRL yang lebih tinggi
(misalnya TRL8: Sistem selesai dan memenuhi syarat), adalah tentang mengintegrasikan
berbagai teknologi individual, dengan kematangan yang berbeda menjadi produk yang
kompleks. Ini berarti skala TRL asli tidak digunakan untuk menilai kematangan sistem
(misalnya Space Shuttle), tetapi difokuskan pada salah satu komponennya (mis. Cermin di
Space Shuttle). Ini mempersulit penerapan TRL yang lebih tinggi untuk proyek-proyek yang
biasanya tentang solusi kompleks daripada pengembangan komponen.

4.3. Peraturan Perundangan

Tahun 2012 dikeluarkan Peraturan Kepala BPPT Nomor 001 tahun 2012 tentang Panduan
Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi / TKT (TRL / Technology Readiness Level).
Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi ini adalah pedoman yang berisikan
petunjuk untuk mengukur tingkat kesiapan teknologi (TRL, Technology Readiness Level)
dari hasil penelitian dan pengembanghan yang dilakukan lembaga litbang dan perguruan
tinggi. Tujuan ditetapkannya Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi (TRL,
Technology Readiness Level) adalah untuk memberikan pemahaman tentang kesiapan
teknologi dan metoda pengukuran tingkat kesiapan teknologi kepada lembaga litbang,
perguruan tinggi dan pemangku kepentingan yang memiliki aktivitas penelitian dan
pengembangan dalam meningkatkan daya dukung Iptek dalam penguatan sistem inovasi.

Tahun 2016 kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)


mengeluarkan Permen no 42 tahun 2016 tentang tentang Pengukuran dan Penetapan
Tingkat Kesiapterapan Teknologi (Technology Readiness Level). Tujuan Permen ini untuk:

1. Mengetahui status Kesiapterapan Teknologi,

2. Membantu pemetaan kesiapterapan teknologi,

3. Mengevaluasi pelaksanaan program atau kegiatan riset dan pengembangan;

4. Mengurangi risiko kegagalan dalam pemanfaatan teknologi; dan

5. Meningkatkan pemanfaatan hasil riset dan pengembangan.

Konsep TRL menuurt Permenristekdikti No 42 tahun 2016 adalah sebagai berikut:


Gambar 4. Tingkatan TKT dari Hard Engineering (Sumber: Kemenristekdikti)

Menurut Permen tersebut, hasil pengukuran TKT digunakan oleh:

1. pengambil kebijakan dalam merumuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi program


riset dan pengembangan;

2. pelaku kegiatan dalam menentukan tingkat kesiapterapan teknologi untuk dimanfaatkan


dan diadopsi; dan

3. pengguna dalam memanfaatkan hasil riset dan pengembangan.

Penanggungjawab Pengukuran dan Penetapan TKT terdiri atas tingkat nasional dan tingkat
wilayah kerja. Misalnya, untuk tingkat nasional penanggunjawabnya adalah Direktur
Jenderal Penguatan RISBANG. Sedangkan untuk perguruan tinggi pemimpin perguruan
tinggi, penangungjawab untuk LPNK adalah Kepala LPNK, penanggungjawab jawab untuk
badan/unit kelitbangan pada kementerian adalah Kepala Badan/unit kelitbangan pada
kementerian, dan penanggungjawab untuk badan/perangkat daerah terkait riset dan
pengembangan adalah kepala badan/SKPD terkait. Selanjutnya Penanggung jawab harus
membentuk dan menetapkan Tim Penilai dan sekretariat pelaksana TKT.

Kegiatan yang diukur TRLnya adalah kegiatan penelitian dan pengembangan yang
telah/akan dilakukan menggunakan dana APBN, APBD, dan dana dari pemerintah RI
lainnya, seperti LPDP, DIPI dan lain-lain, dan juga kegiatan riset dan pengembangan yang
dilaksanakan di instansi pemerintah dengan dana lainnya.

Hasil Pengukuran berupa output dan outcome, yakni berupa (output):

• Peta kondisi Tingkat Kesiapterapan Teknologi pada lembaga-lembaga riset dan


pengembangan di Indonesia dari hulu hingga hilir
• Peta penggunaan anggaran untuk riset dan pengembangan
• Peta kekuatan riset dan pengembangan lembaga di Indonesia
Hasil berupa Outcome, yakni:

• Program-program terarah menuju hilirisasi


• Program-program insentive lebih focus
• Kepastian hilirisasi.
DAFTAR PUSTAKA

EARTO. (2014). The trl scale as a research & innovation policy tool. EARTO
Recommendations.
Jackson Deborah. (2012). What is an innovation ecosystem? national science
foundation. Arlington, VA
Klaus Schwab. (2017). The global competitiveness report 2017–2018, word economic
forum. Columbia University. USA
Mercedes Delgado, et al. (2012). The determinants of national competitiveness, working
paper 18249. National Bureau Of Economic Research 1050 Massachusetts
Avenue Cambridge, MA 02138
Ristekdikti. (2016). Peraturan Menristekdikti nomor 42 tahun 2016 tentang pengukuran
dan penetapan tingkat kesiapterapan teknologi. Jakarta.
Taufik. (2005). Pengembangan sistem inovasi daerah: Perspektif kebijakan. P2KT
PUDPKM, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai