Anda di halaman 1dari 23

“FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSTU ABENAHO

KABUPATEN YALIMO TAHUN 2021”

PROPOSAL

“Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Nilai Dari Mata kuliah
Seminar Gizi”

OLEH :

CHELYA NELLY ASSO

NIM: 20180711014011

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS CENDRAWASIH

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan Rahmat
dan Karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal yang berjudul
” faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita di
wilayah pustu abenaho kabupaten yalimo Tahun 2021” . Penulis menghaturkan
terima kasih kepada kepada Bpk Samuel Piter Irab,SKM,MPH. selaku dosen mata
kuliah Seminar Gizi yang dengan penuh keikhlasan memberikan motivasi dan
bimbingan dalam proses penyusunan Proposal ini. Proses penulisan proposal ini
telah melewati perjalanan panjang dalam penyusunannya yang tentunya tidak lepas
dari bantuan moril dan materil pihak lain. Karena itu sudah sepatutnya penulis
dengan segala kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih dan Penulis
menyadari bahwa proposal ini masih terdapat kekurangan dan kekeliruan, karena
itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan. Demikian
proposal ini disusun, semoga bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jayapura,6 Desember 2021

penulis
1.1LATAR BELAKANG

Diare sampai saat ini masih menjadi masalah utama dimasyarakat yang sulit untuk
ditanggulangi. Diare adalah penyebab penyakit kematian kedua pada anak dibawah 5
tahun. Dari tahun ke tahun diare tetap menjadi salah satu penyakit yang menyebabkan
mortalitas dan malnutrisi pada anak (WHO, 2009). Penyakit diare merupakan masalah
kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut WHO dan UNICEF, terjadi sekitar 2
milyar kasus penyakit diare di seluruh dunia setiap tahun. Dari semua kematian anak
balita karena penyakit diare, 78% terjadi di Wilayah Afrika dan Asia Tenggara
(Kemenkes, 2013). Dwiantoro ( 2008 ) juga menyebutkan bahwa angka kesakitan dan
kematian akibat diare dapat diturunkan apabila ibu mengetahui tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan penanganan diare pada anak-anak balita. Dalam hal ini,
penanganan diare terkait dengan faktor pengetahuan, pendidikan dan sikap serta
kemampuan ibu dalam menangani diare.
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi
lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya
tiga kali sehari atau lebih) dalam satu hari (Depkes RI, 2011). Diare merupakan
penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan konsistensi feses selam dan frekuensi
buang air besar. Seseorang dikatakan diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau
bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar berair tapi tidak berdarah
dalam waktu 24 jam (Depkes, 2009). Diagnosis diare dapat ditegakkan berdasarkan
pengklasifikasian sesuai dengan gejala dan tanda seperti gelisah, rewel, mata cekung,
nafsu makan menurun, tinja cair, lender positif, darah terkadang ada, tinja lama
kelamaan berwarna hijau karena bercampur dengan empedu, anus lecet, dan tinja
menjadi asam (karena banyaknya asam laktat yang keluar) (Nursalam, 2008).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia pada tahun 2010 KLB diare terjadi di 11
provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 4.204 orang, jumlah kematian sebanyak
73 orang dengan CFR sebesar 1,74 % nilai CFR tersebut sama dengan CFR tahun
2009. Kecenderungan CFR diare pada periode tahun 2006-2010 adanya 4 peningkatan
CFR yang cukup signifikan pada tahun 2007-2008, dari 1,79% menjadi 2,94%. Angka
ini turun menjadi 1,74% pada tahun 2009 dan 2010. Penurunan angka Kejadian Luar
Biasa (KLB) Diare kurang signifikan yaitu target CFR saat KLB diharapkan < 1 %
(Depkes RI, 2010).
Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi pendorong
terjadinya diare yaitu faktor agent yang terdiri dari (status gizi, faktor ASI, penyakit
campak dan imunodefisiensi atau imunosupresi), faktor lingkungan yang terdiri dari
(sumber air minum, jenis pembuangan tinja dan pembuangan sampah), sedangkan
faktor perilaku terdiri dari (tidak memberikan ASI ekslusif, penggunaan botol susu
yang tercemar dan penyimpanan serta penyajian makanan terbuka). Faktor lingkungan
merupakan faktor yang paling dominan yaitu sarana penyediaan air bersih dan
pembuangan tinja, kedua faktor berinteraksi bersama dengan perilaku manusia.
Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta terakumulasi
perilaku manusia yang tidak sehat, maka penularan diare dengan mudah dapat terjadi
(Zubir et al, 2006). Kemudian faktor ASI menurut penelitian Aswita, 2006
menyebutkan bahwa resiko terjadinya diare pada bayi yang tidak mendapatkan ASI
penuh sampai umur 6 bulan mencapai 30 kali lipat lebih sering daripada bayi yang
mendapatkan ASI penuh sampai umur 6 bulan. Dan menurut Aswita (2006),
menyebutkan bahwa banyak ibu yang tidak membersihkan botol susu tersebut karena
beranggapan bahwa botol susu tersebut hanya digunakan untuk membuat susu,
padahal botol yang tidak dicuci menyebabkan kuman berkembang biak dan hal
tersebut dapat beresiko tinggi terhadap kejadian diare, kemudian tercatat 40% ibu
yang masih menyimpan makanan pada saat panas-panas ke lemari makan alasannya
karena waktu yang singkat dan harus cepat-cepat berangkat kerja. Beberapa ibu
banyak juga menyebutkan bahwa mereka menyimpan makanan pada kulkas dengan
alasan supaya makanan tersebut tidak basi dan dapat dipanasi sebelum dikonsumsi.
Dari beberapa faktor diatas kejadian diare disebabkan dari faktor agent, faktor
lingkungan dan faktor perilaku.
1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut, ” faktor-
faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita di wilayah pustu
abenaho kabupaten yalimo ?”

1.3Tujuan peneliti

1.2.1Tujuan Umum :

Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian diare
pada balita di pustu abenaho?

1.2.2Tujuan khusus :Tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain:

1. Untuk Mengetahui tentang kebiasaan mencuci tangan di wilayah kerja pustu


abenaho?

2. Untuk Mengetahui tentang kebiasaan membuang tinja di wilayah kerja pustu


abenaho?
3. Untuk Mengetahui pengetahuan ibu tentang Diare dan Tinja di wilayah pustu
abenaho?
4. Untuk Mengetahui tentang asupan gizi pada balita di wilayah kerja pustu
abenaho?
5. Untuk Mengetahui pola asuh tentang ibu balita di wilayah kerja pustu abenaho?

1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut :

1.3.1Manfaat teoritis
a.Menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi masyarakat dan peneliti khususnya
terhadap bidang ilmu gizi kesehatan masyarakat tentang kejadian diare pada balita
b.penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya para ibu
tentang diare secara dini serta memberikan informasi tentang pentingnya kesehatan
untuk pencegahan diare pada balita.
c.sebagai bahan acuan atau referensi bagi peneliti selanjutnya.
1.3.2Manfaat Praktis
Dapat diketahui bagaimana sebenarnya Diare memerlukan penanganan yang cepat
dan tepat,karena itulah pengetahuan keluarga terutama ibu mengenai diare sangat
penting.
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1Konsep Diare

Diare berasal dari kata diarrola (bahasa yunani) yang berarti mengalir terus,
merupakan suatu keadaan abnormal dari pengeluaran tinja yang terlalu frekuen.
(Smeltzer& Barre,2002). Diare adalah kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang
abnormal ( lebih dari 3 kali/hari ), serta perubahan dalam isi (lebih dari 200g/hari) dan
konsistensi atau feses cair (Smeltezer&Bare, 2002). Diare merupakan pengeluaran
feses yang sering berupa cairan abnormal dan encer. Diare dapat digolongkan menjadi
ringan sedang atau berat, akut atau kronis, meradang atau tidak meradang. Gangguan
ini merupakan manifestasi dari transportasi cairan dan elektrolit yang
abnormal(Muscari, 2005) Diare adalah tinja encer (seperti lumpur atau sangat barair)
dan lebih sering buang air besar dari pada biasanya. Kadang-kadang diare disertai
muntah, nyeri lambung, atau demam. Penyebabnya yang lebih sering terjadi adalah
dari bakteri atau parasit(bartlett, 2007).

2.1.1Klasifikasi
Secara umum diare disebabkan oleh 2 hal, yaitu gangguan pada proses
absorbsi atau sekresi. Ada beberapa pembagian diare (Subagyo B &
Nurtjahjo BS, 2010):
a. Pembegian diare menurut etiologi: 1. Infeksi 2. Non infeksi
b. Pembagian diare menurut lamanya diare: 1. Diare akut yang
berlangsung kurang dari 14 hari 2. Diare kronik yang berlangsung lebih
dari 14 hari

1)Faktor Resiko
Diare Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam 5
golongan besar, tetapi yang sering ditemukan dilapangan ataupun klinis
adalah diare yang menyebabkan keracunan(Cook, 2003
2)Faktor Infeksi
Faktor infeksi penyebab diare dapat dibagi dalam infeksi parenteral dan
enternal. Penyebab infeksi utama timbulnya diare adalah golongan virus,
bakteri, dan parasit. Rotavirus merupakan penyebab utama diare akut pada
anak.Sedangkan bakteri penyebab diare tersering antara lain ETEC,
shigella, campylobacter
3)Faktor Umur
Pengaruh uasia tampak jelas pada manifestasi diare. Komplikasi lebih
banyak terjadi pada umur di bawah 2 bulan secara bermakna, dan makin
muda usia bayi makin lama kesembuhan klinik diarenya. Kerusakan
mukosa usus yang banyak dipengaruhi dan dipertahankan oleh sistem
imunologik intestinal serta regenerasi epitel usus yang pada masa bayi
muda masih terbatas kemampuannya
4)Faktor Status gizi
Pada penderita kurang gizi serangan diare terjadi sering lebih sering,.
Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan berat diare yang
diderita. Diduga bahwa mukosa penderita malnutrisi sangat peka terhadap
infeksi karena adanya tahan tubuh yang kurang. Status gizi ini sangat
dipengaruhi oleh kemiskinan, ketidaktahuan dengan penyakit. Begitu pula
rangkaian antara pendapatan, biaya pemeliharaan kesehatan dan penyakit,
keadaan sosio ekonomi yang kurang, hygiene sanitasi jelek, kepadatan
penduduk, pendidikan tentang pengertian penyakit, cara penanggulangan
penyakit serta pemeliharaan kesehatan.
5)Faktor Lingkungan
Sebagian besar penularan penyakit diare adalah melalui dubur, kotoran dan
mulut. Dalam hal mengukur kemampuan penularan penyakit di samping
tergantung jumlah dan kekuatan penyebab penyakit, juga terganntung dari
kemampuan lingkungan untuk menghidupiya, serta mengembangkan
kuman penyebab penyakit diare. Perubahan atau perbaikan air minum dan
jamban secara fisik tidak menjamin hilangnya penyakit diare, tetapi
perubahan sikap dan tingkah laku manusia yang memanfaatkan sarana
tersebut diatas sangat menentukan keberhasilan perbaikan sanitasi dalam
mengurangi masalah diare.
6)Faktor susunan makanan
Faktor susunan makanan terhadap terjadinya diare tampak sebagai
kemampuan usus untuk mengahadapi kendala yang berupa:
1. Antigen Susunan makanan mengandung protein yang tidak homolog,
sehingga dapat berlaku sebagai antigen. Lebih-lebih pada bayi dimana
kondisi ketahanan lokal usus belum sempurna sehingga terjadi migrasi
molekul makro
2. Osmolaritas Susunan makanan yang baik berupa susu maupun makanan
padat yang memberikan osmolaritas yang tinggi sehinggga dapat
menimbulkan diare misalnya Neonatal Entero Colitis Necroticans pada
bayi.
3. Malabsorpsi Kandungan nutrien makanan yang berupa karbohidrat,
lemak maupun protein dapat menimbulkan intoleransi, malabsorpsi
maupun alergi sehingga terjadi diare pada anak atau bayi.
4. Mekanik Kandungan serat yang berlebihan dalam susunan makanan
secara mekanik dapat merusak fungsi mukosa usus sehingga timbul diare.

2.1.2Pencegahan dan Pemberantasan penyakit diare


Pencegahan yang benar dan efektif yang dapat dilakukan adalah
memberikan ASI memperbaiki makanan pendamping ASI, menggunakan
air bersih yang cukup, mencuci tangan, menggunakan jamban, membuang
tinja bayi yang benar dan memberikan imunisasi campak. Usaha kesehatan
dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu usaha peningkatan (promotif),
usaha pencegahan (preventif), usaha pengobatan (curative) dan usaha
pemulihan (rehabilitasi). Usaha ini pada dasarnya ditunjukkan terhadap
tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit sesuai dengan
pendapat John Gordon yaitu faktor penjamu (host) bibit penyakit (agent),
dan faktor lingkungan (environment).

2.1.31Faktor Resiko Penyebab Diare


Diare dapat dikatakan sebagai masalah sosial karena diare merupakan
salah satu penyakit utama yang terdapat di negara berkembang diamana
adanya faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada balita itu sendiri
yaitu diantaranya faktor penyebab (agent), penjamu (host), dan faktor
lingkungan (environment) (Suharyono, 2008). Cara penularan diare pada
umumnya melalui cara fekal-oral yaitu: (Subagyo B dan Nurtjahjo BS,
2010) a. Melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri
b. Kontak langsung dengan penderita atau barang-barang yang sudah
tercemar tinja penderita c. Tidak langsung melalui lalat.
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan diare antara lain:a.
Tidak memberikan ASI secara penuh untuk bayi 0-6 bulan pertama
kehidupan bayi b. Tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran
air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan lingkungan dan pribadi yang
buruk c. Penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan
cara penyapihan yang tidak baik. Faktor penyebab (agent) yang dapat
menyebabkan kejadian diare pada balita diantaranya karena faktor infeksi,
faktor malabsorbsi, faktoe makanan (Ngastiyah, 2005). Sedangkan dari
faktor penjamu (host) yang menyebabkan diare pada balita yaitu dari
faktor status gizi balita dan faktor perilaku hygiene yang buruk misalnya
dalam perilaku mencuci tangan, kebersihan puting susu, kebersihan botol
susu dan dot susu pada balita. Kemudian dari faktor lingkungan
(enviroinment) yang menyebabkan balita terkena diare yaitu kondisi
sanitasi lingkungan yang kurang baik, misalnya penggunaan kebersihan air
yang digunakan untuk mengolah susu dan makanan balita (Soegijanto,
2002). Menurut Notoatmodjo (2005 faktor resiko terjadinya diare dpat
dihubungkan dengan:
1)Karakteristik ibu
a.Umur
Semakin cukup umur tingkat pematangan dan kekuatan sesorang akan
lebih matang dalam berfikir, belajar, bekerja sehingga pengetahuan akan
bertambah, dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa
akan lebih dipercaya.
b.Pendidikan
Tingkat pendidikan yang terlalu rendah akan sulit memahami pesan atau
informasi yang disampaikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
semakin mudah menerima informasi sehingga banyak pula pengetahuan
yang dimilki. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga
perilaku akan pola hidup terutama dalam motivasi untuk sikap berperan
serta dalam pembangunan kesehatan.
c.Pengalaman
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu
merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan oleh
karena pengalaman yang diperoleh dapat memecahkan permasalahan yang
dihadapi pada masa lalu.
2)Perilaku Ibu Faktor penjamu
(host yang menyebabkan diare yaitu keadaan gizi dan perilaku masyarakat,
faktor penjamu yang menyebabkan terjadinya diare yaitu memberikan ASI
sampai 2 tahun, keadaan gizi yang kurang baik, anak-anak yang sedang
menderita campak dalam waktu 4 minggu yang diakibatkan dari
penurunan kekebalan tubuh penderita, umur, dan perilaku manusia yang
tidak sehat (Soegijanto, 2002)
3)Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) keluarga
Perilaku dan pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktifitas
organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya
adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri. Sedangkan perilaku itu
sendiri adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut baik dapat
diamati secara langsung atau tidak langsung (Notoatmodjo, 2007).
Sehingga perilaku hygiene merupakan salah satu sasarn terhadap perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS), dimana pengertian dari perilaku hygiene
itu sendiri adalah suatu aktifitas atau tindakan yang mempunyai tujuan
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan pribadi
dan lingkungan, yaitu mencakup beberapa kebiassaan bersih yang
merupakan salah satu upaya dalam pencegahan penyakit diare. Kebiasaan
tersebut meliputi mencuci tangan dengan memakai sabun, mengkonsumsi
makanan dan minuman yang bersih, membuang sampah pada tempatnya
serta buang air besar pada toilet. Sedangkan PHBS yang dilakukan
ditatanan rumah tangga itu sendiri adalah upaya untuk memberdayakan
anggota rumah tangga agar sadar, mau, dan mampu melakukan PHBS
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, mencegah resiko
terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta
berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Dinkes Provinsi
kalimantan Selatan, 2006.
3)Lingkungan Selanjutnya faktor lingkungan
(enviroinment) yang merupakan epidemiologi atau penyebaran diare
sebagian besar disebabkan karena faktor lingkungan yaitu sanitasi
lingkungan yang buruk dan lingkungan sosial ekonomi (irianto j, 1996).
Sanitasi lingkungan yang kurang baik merupakan faktor yang penting
terhadap terjadinya diare dimana interaksi antara penyakit, manusia, dan
faktor lingkungan yang mengakibatkan penyakit perlu diperhatikan dalam
penaggulangan diare. Peranan faktor lingkungan, enterobakteri, parasit
usus, virus, jamur dan beberapa zat kimia telah secara klasik dibuktikan
pada berbagai penyelidikan epidemiologis sebagai penyebab diare
(Wibowo D, 1993). Sedangkan lingkungan yang kurang berish bisa
menjadi pemicu munculnya bakteri-bakteri penyebab diare dalam tubuh
manusia. Sistem penyebaran diare pada manusia diantaranya melalui air
yang digunkan untuk keperluan sehari-hari, bila memiliki kebersihan air
yang minim, sehingga dapat membawa bakteri masuk dalam perut dan
berdiam di usus besar. Akibatnya bakteri pembawa diare itu dengan leluasa
menyebar ke seluruh bagian usus manusia dan menginfeksinya,
selanjutnya tanah yang kotor dapat menghantarkan bakteri E. Coli menuju
perut, sehingga selalu membiasakan mencuci bahan makanan yang akan
dimasak dengan besih sebelum dikonsumsi (Yulisa, 2008).

2.1.4Pengobatan Diare
Penyebab diare karena infeksi masih merupakan masalah yang cukup
serius di negara berkembang dan dapat berupa infeksi parenteral (infeksi
jalan napas, saluran kencing, dan infeksi sistemik), maupun infeksi enteral
(bakteri, virus, jamur, dan parasit). Upaya upaya yang dilakukan dalam
program pencegahan dan pemberantasan diare adalah sesuai dengan
pengetahuan kita tentang etiologi diare dan sesuai dengan prinsip uapaya
kesehatan masyarakat yang dituangkan kedalam kebijakan pemerintah
dalam goverment action mengikutsertakan organizzzed community
bersifat non-personal, mengutamakan upaya promotif dan prefentif,
ditunjukkan kepada kelompok masyarakat yang retang secra tertata dan
terarah. Kelompok masyarakat yang dianggap rentan terhadap penyakit
diare sebagai sasaran utama program adalah bayi dan anak balita. Upaya
dalam pemberantasan diare dibagi menjadi dua:
a. Upaya kegiatan pencegahan diare yang meliputi:
1. Pemberian ASI yang benar 2. Mmeperbaiki makanan pendamping ASI
3. Penggunaan air bersih yang cukup 4. Membudayakan kebiasaan mencuci
tangan dengan sabun sehabis buang air besar san sebelum menjamah makanan
dan minuman 5. Penggunaan jamban yang saniter oleh seluruh anggota
keluarga 6. Membuang tinja yang benar 7. Pemberian imunisasi campak
b. Penatalaksanaan penderita diare
Penatalaksanaan penderita diare dilakukan dengan baik pada institusi
kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas maupun diluar institusi
kesehatan yaitu dirumah. Prinsip penatalaksanaan diare adalah sebagai
berikut: 1. Mencegah terjadinya dehidrasi 2. Mengobati dehidrasi 3. Memberi
makanan 4. Mengobati masalah penyakit lain.

2.2Balita
2.2.1Pengertian Anak Balita
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau
lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H,
2006). Menurut Sutomo.B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah istilah
umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat
usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan
kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan
berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih
terbatas.
2.2.2Tumbuh Kembang Balita
Setiap manusia memiliki tumbuh kembang dan karakternya dan tugas
perkembangan yang menjadi ciri khas dari tiap tahapannya. Tugas
perkembangan memiliki definisi 36 sebagai sepaket keahlian dan kompetensi
yang khas untuk tiap tumbuh kembangnya dan harus dipenuhi, agar dia dapat
beraktivitas dan menjalin hubungan dengan lingkungannya (Hockenberry dan
Wilson, 2009). Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda,
namun prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni :
a)1Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah
(sefalokaudal). Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki,
anak akan berusaha menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar
menggunakan kakinya.
1.Perkembangan dimulai dari batang tubuh kearah luar. Contohnya adalah
anak akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk
menggenggam, sebelum ia mampu meraih benda dengan jemarinya.
2.2.3Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi
keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan
lain-lain. Teori pertumbuhan dan perkembangan menurut Sigmeun Freud
(perkembangan psikoseksual) :
1) Fase oral (0-1 tahun) Pusat aktivitas yang menyenangkan di dalam
mulutnya, anak mendapat kepuasan saat mendapat ASI, kepuasan
bertambah dengan aktivitas mengisap jari dan tangannya atau benda-
benda sekitarnya.
2) Fase anal (2-3 tahun) Meliputi retensi dan pengeluaran feses. Pusat
kenikmatannya pada anus saat BAB, waktu yang tepat untuk mengajarkan
disiplin dan bertanggung jawab.
3) Fase urogenital atau faliks (3-4 tahun) Tertarik pada perbedaan
anatomis laki dan perempuan, ibu menjadi tokoh sentral bila menghadapi
personal. Kedekatan anak laki-laki pada ibunya menimbulkan gairah
seksual dan perasaan cinta yang disebut oedipus kompleks.
4) Fase latent (4-5 tahun sampai pubertas) Masa tenang tetapi anak
mengalami perkembangan pesat aspek motorik dan kognitifnya. Disebut
juga fase homoseksual alamiah karena anak laki-laki pada ibunya mencari
teman sesuai jenis kelaminnya, serta mencari figure (role model) sesuai
jenis kelaminnya dari orang dewasa.
2.2.4Aspek personal, sosial dan emosional
Manusia dikenal sebagai makhluk sosial (homosociopoliticon), yang tak
mampu hidup tanpa kehadiran orang lain. Dalam menjalani kehidupan
sosialnya seseorang dituntut untuk mengembangkan kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan akan merubah persepsi, sikap dan
perilaku seseorang, sebab dengan pergaulan terjadi interaksi antar
individu yang ditandai dengan pertukaran (transfer) informasi
pengetahuan, adat istiadat, kebiasaan, budaya. Keberhasilan
menyesuaikan diri dengan lingkungan akan menyebabkan perkembangan
kepribadian yang sehat. Sebaliknya ketidak mampuan menyesuaikan diri
menyebabkan orang mengalami kehidupan terasing, rendah diri, pesimis,
apatis, cemas, takut, sehingga terjadi krisis kepribadian (personality
crisis). Terdapat 3 jenis tahap perkembangan psikososial menurut
(Erickson dalam Yuniarti, 2015) :
1) Psikososial Tahap 1 : Trust vs Mistrust (kepercayaan vs kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, pada umur 0-1 tahun atau 1,5
tahun (infancy). Bayi pada usia 0-1 tahun sepenuhnya bergantung pada
orang lain, perkembangan rasa percaya yang dibentuk oleh bayi tersebut
berdasarkan kesungguhan dan kualitas penjaga (yang merawat) bayi
tersebut. Kegagalan mengembangkan rasa percaya menyebabkan bayi
akan merasa takut dan yakin bahwa lingkungan tidak akan memberikan
kenyamanan bagi bayi tersebut, sehingga bayi akan selalu curiga pada
orang lain.
2) Psikososial Tahap 2 : Autonomy vs shame and doubt (otonomi dan
perasaan malu dan ragu-ragu) Tahap ini merupakan tahap anus-otot
(anal/mascular stages), masa ini disebut masa balita yang berlangsung
mulai usia 1-3 tahun (early childhood). Pada masa ini anak cenderung
aktif dalam segala hal, sehingga orang tua dianjurkan untuk tidak terlalu
membatasi ruang gerak serta kemandirian anak, namun tidak pula terlalu
membatasi ruang gerak serta kemandirian anak, namun tidak pula terlalu
memberikan kebebasan melakukan hal apapun yang 40 dia mau. Untuk
orang tua dalam mendidik anak pada usia ini harus seimbang antara
pemberian kebebasan dan pembatasan ruang gerak anak, karena dengan
cara itulah anak akan bisa mengembangkan sikap control diri.
3) Psikologis Tahp 3 : Intiative vs guilt (prakarsa dan rasa bersalah) Tahap
ini dialami pada anak saat usia 4-5 tahun (preschool age) anak-anak pada
usia ini mulai berinteraksi dengan lingkungan skitarnya sehingga
menimbulkan rasa ingin tahu terhadap segala hal yang dilihatnya. Sikap
berdiam diri yang mereka lakukan bertujuan untuk menghindari suatu
kesalahn-kesalahan dalam sikap maupun perbuatan.

2.3Cuci Tangan
Pengertian Menurut WHO (2009) cuci tangan adalah suatu prosedur/
tindakan membersihkan tangan dengan menggunakan sabun dan air yang
mengalir atau Hand rub dengan antiseptik (berbasis alkohol). Sedangkan
menurut James (2008), mencuci tangan merupakan teknik dasar yang
paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi. Tangan
tenaga pemberi layanan kesehatan seperti perawat merupakan sarana yang
paling lazim dalam penularan infeksi nosokomial, untuk itu salah satu
tujuan primer cuci tangan adalah mencegah terjadinya infeksi nosokomial
(Pruss, 2005) serta mengurangi transmisi mikroorganisme (Suratun,
2008).
3.3.1Tujuan
Menurut Susiati (2008), tujuan dilakukan cuci tangan yaitu untuk: a)
menghilangkan mikroorganisme yang ada di tangan, b) mencegah infeksi
silang (cross infection), c) menjaga kondisi steril, d) melindungi diri dan
pasien dari infeksi, e) memberikan perasaan segar dan bersih.
3.3.2Indikasi Cuci Tangan Indikasi
cuci tangan atau lebih dikenal dengan five moments (lima waktu) cuci
tangan menurut SPO gizi adalah: a) Sebelum masuk ke dalam area
produksi dan distribusi, b) Setelah memegang bahan mentah/ kotor, c)
Setelah memegang anggota tubuh, d) Sebelum dan setelah memporsikan
makanan di plato/ alat saji pasien, e) Setelah keluar dari kamar mandi/
toilet.
3.3.3 Cuci Tangan 6 Langkah dengan Hand wash dan Hand rub
a. Cuci Tangan Hand-Wash
Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan sabun
dan air bersih yang mengalir. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci
tangan biasa adalah setiap wastafel dilengkapi dengan peralatan cuci
tangan sesuai sesuai standar rumah sakit (misalnya kran air bertangkai
panjang untuk mengalirkan air bersih, tempat sampah injak tertutup yang
dilapisi kantung sampah medis atau kantung plastik berwarna kuning
untuk sampah yang terkontaminasi atau terinfeksi, alat pengering seperti
tisu, lap tangan (hand towel), sabun cair atau cairan pembersih tangan
yang berfungsi sebagai antiseptik, lotion tangan, serta dibawah wastafel
terdapat alas kaki dari bahan handuk. Oleh karena itu sarana serta
prasarana juga harus memadai untuk mendukung cuci tangan supaya
dapat dilakukan dengan maksimal. Prosedur Hand-wash sebagai berikut:
a) melepaskan semua benda yang melekat pada daerah tangan, seperti
cincin atau jam tangan. b) membuka kran air dan membasahi tangan. c)
menuangkan sabun cair ke telapak tangan secukupnya. d) melakukan
gerakan tangan, mulai dari meratakan sabun dengan kedua telapak
tangan. e) kedua punggung telapak tangan saling menumpuk secara
bergantian. f) bersihkan telapak tangan dan sela-sela jari seperti gerakan
menyilang. g) membersihkan ujung-ujung kuku bergantian pada telapak
tangan. h) membersihkan ibu jari secara bergantian. i) posisikan jari-jari
tangan mengerucut dan putar kedalam beralaskan telapak tangan secara
bergantian. j) bilas tangan dengan air yang mengalir. k) keringkan tangan
dengan tisu sekali pakai. l) menutup kran air menggunakan siku atau siku,
bukan dengan jari karena jari yang telah selesai kita cuci pada prinsipnya
bersih. Lakukan semua prosedur diatas selama 40 – 60 detik.
b.Cuci Tangan Hand-Rub
Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan cairan
berbasis alkohol, dilakukan sesuai lima waktu. Peralatan yang dibutuhkan
untuk mencuci tangan Hand-rub hanya cairan berbasis alkohol sebanyak 2
– 3 cc. Prosedur cuci tangan Hand-rub sebagai berikut: a) melepaskan
semua benda yang melekat pada daerah tangan, seperti cincin atau jam
tangan. b) cairan berbasis alkohol ke telapak tangan 2 – 3 cc. c) melakukan
gerakan tangan, mulai dari meratakan sabun dengan kedua telapak tangan.
d) kedua punggung telapak tangan saling menumpuk secara bergantian. e)
bersihkan telapak tangan dan sela-sela jari seperti gerakan menyilang. f)
membersihkan ujung-ujung kuku bergantian pada telapak tangan. g)
membersihkan ibu jari secara bergantian. h) posisikan jari-jari tangan
mengerucut dan putar kedalam beralaskan telapak tangan secara
bergantian. Lakukan semua prosedur diatas selama 20 – 30 detik.

2..4Jamban
4.4.1Pengertian
Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang
tinja atau kotoran manusia yang lazim disebut kakus atau wc. Pembuangan
tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan menyebabkan
kontaminasi pada air tanah. Untuk mencegah atau sekurang- kurangnya
mengurangi kontaminasi tinja dengan lingkungan, maka pembuangan
kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya harus dilakukan
di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Suatu jamban keluarga
disebut sehat apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a.Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban. b. Tidak
mengotori air permukaan di sekitarnya. c. Tidak dapat dijangkau oleh
serangga terutama lalat dan kecoa. d. Tidak menimbulkan bau. e. Mudah
digunakan dan dirawat f. Desainnya sederhana g. Murah h. Dapat diterima
oleh pemakainnya( Notoatmodjo, 1997 ).
4.4.2Tinja Sebagai Sumber Penularan Penyakit
Pembungan tinja manusia yang tidak memenuhi syarat kesehatan
seringkali berhubungan dengan kurangnya penyedian air bersih dan
fasilitas kesehatan lainnya. Hal yang demikian ini dapat menjadi sumber
berbagai penyakit yang ditularkan oleh tinja seperti : kholera, diare,
cacingan dan penyakit lainnya. Jamban yang dapat memberi pengaruh
langsung atau tidak langsung terhadap status kesehatan masyarakat.
Pengaruh langsung misalnya, dapat mengurangi insiden penyakit tertentu
seperti kholera, hepatitis dan lain- lain, sedangkan hubungan tidak
langsung berkaitan dengan komponen sanitasi lingkungan ( Koesmantoro,
1991 ) Lebih dari 50 jenis infeksi oleh virus, bakteri maupun
mikroorganisme dapat ditularkan dan diderita masyarakat seperti diare,
kholera, penyakit saluran pernapasan jika ekstreta/tinja dibuang tidak pada
tempatnya. Oleh karena itu jamban keluarga sangat dibutuhkan untuk
digunakan oleh masyarakat (Kusnoputranto, 1997) Dengan meningkatkan
pengetahuan, khususnya dalam bidang kesehatan dapat menimbulkan
berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Orang akan tahu bahwa apa
yang ada disekitar atau lingkungannya berpengaruh terhadap
kesehatannya. Lingkungan yang buruk akan merugikan kesehatan kita dan
untuk dapat mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, maka
lingkungan yang buruk harus diperbaiki. Banyak faktor yang berpengaruh
terhadap kesehatan, dan salah satu diantaranya adalah pembungan kotoran.
(Mubarak dan Chayatin, 2009).
1)Pembungan Kotoran
Pengertian dengan kotoran disini adalah feses atau najis manusia. Najis
atau feses manusia selalu dipandang sebagai benda yang berbahaya bagi
kesehatan. Berikut ini adalah pertimbangan pembuangan kotoran :
a.Tidak menjadi sumber penularan penyakit b.Tidak menjadi makanan dan
sarang vektor penyakit c.Tidak menimbulkan bau busuk d.Tidak merusak
keindahan, e.Tidak menyebabkan atau menimbulkan pencemaran kepada
sumber-sumber air minum.
2)Menentukan Letak Pembuangan Kotoran
Untuk menentukan letak pembuangan kotoran, terlebih dahulu kita harus
memperhatikan ada atau tidaknya sumber-sumber air terdekat.
Pertimbangkan jarak yang harus diambil antara tempat pembuangan
kotoran dan sumber air, serta perhatikan bagaimana keadaan tanah,
kemiringannya, permukaan air tanah, pengaruh banjir pada musim hujan
dan sebagainya. (Mubarak dan Chayatin, 2009).
4.4.3Bangunan Kakus (Latrine = water closet) Menurut Endjang (2000)
bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan adalah sebagai berikut :
a. Rumah kakus (agar pemakai terlindungi) b. Lantai kakus (sebaiknya
disemen agar mudah dibersihkan) c. Slab (tempat kaki memijak waktu si
pemakai jongkok) d. Closet (lubang tempat feses masuk) e. Pit (sumur
penampungan feses cubluk) f. Bidang resapan
4.4.5acam-macam Kakus
Menurut Endjang (2000), berdasarkan konstruksi dan cara
menggunakannya, ada bermacam-macam jenis kakus diantaranya :
a.Pit-privacy (Cubluk) Kakus ini dibangun dengan cara membuat lubang
ke dalam tanah dengan diameter 80 - 120 cm sedalam 2,5 - 8 m.
Dindingnya diperkuat dengan batu/bata, dan dapat ditembok ataupun tidak,
agar tidak mudah ambruk. Lama pemakainnya 5-15 tahun, bila permukaan
excrete sudah mencapai ± 50 cm dari permukaan tanah, dianggap cubluk
sudah penuh. Cubluk yang sudah penuh ditimbun dengan tanah, tunggu 9-
12 bulan. Isinya digali kembali untuk pupuk. Sedangkan lubangnya dapat
dipergunakan kembali. Sementara yang penuh ditimbun, dan untuk
defaecatie dibuat cubluk yang baru.

2.5Pola Asuh
5.5.1 Pengertian pola asuh
Pola asuh orang tua dalam perkembangan anak merupakan yang
digunakan dalam proses interaksi berkelanjutan antara orang tua dan anak
untuk membentuk hubungan yang hangat, dan memfasilitasi anak untuk
mengembangkan kemampuan anak yang meliputi perkembangan motorik
kasar, motorik halus, bahasa, personal sosial sesuai dengan tahap
perkembangannya (Kurniawati dkk,2011). Pola asuh adalah suatu
tindakan, perbuatan, dan interaksi orang tua untuk mendorong
pertumbuhan dan perkembangan anak agar mereka tumbuh dan
berkembang dengan baik dan benar (Surbakti, 2012). Menurut Djamarah
(2014), pola asuh orang tua adalah upaya orang tua yang konsisten dan
persisten dalam menjaga dan membimbing anak dari sejak dilahirkan
hingga remaja. Pola asuh orang tua merupakan gambaran tentang sikap
dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama
mengadakan kegiatan pengasuhan. Orang tua memiliki cara dan pola
tersendiri dalam mengasuh dan membimbing anaknya.
5.5.2Hal-hal yang mempengaruhi pola asuh
Menurut Gunarsa (2012) aspek-aspek yang mempengaruhi pola asuh orang
tua terhadap anaknya adalah:1) Karakter orang tua dan anak 2)
Kepribadian orang tua dan anak 3) Temperamen orang tua dan anak 4)
Kemauan dan kemampuan anak untuk menerima perubahan 5) Asal usul
dan latar belakang orang tua 6) Pendidikan orang tua 7) Budaya yang
diterapkan di keluarga 8) Demografi dan domisili keluarga 9) Sistem religi
yang dianut oleh keluarga 10)Tekanan dan dukungan dari keluarga dan
masyarakat 11)Pekerjaan dan karier atau jabatan orang tua 12)Kemampuan
penalaran anggota keluarga
5.5.3Tipe pola asuh orang tua Menurut Braumrind dalam Yusuf (2014)
secara garis besar pola asuh orang tua terhadap anak dapat dibedakan
menjadi tiga tipe, yaitu otoriter/otoritarian (authoritarian), autoritatif
(authoritative), dan permisif (permissive).
5.5.4Hubungan Pola Asuh dan Pekembangan
Proses tumbuh kembang anak berlangsung secara alamiah, yang dalam
prose tersebut sangat berkaitan pada hubungan dengan orang tua. Periode
penting ini dalam tumbuh kembang anak adalah balita. Masa balita
merupakan pertumbuhan dasar akan mempengaruhi dan menentukan
perkembangan anak selanjutnya. Masa balita terhadi perkembangan
kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional, dan
intelegensi berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan
berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian juga yang
dibentuk pada masa ini. Pada masa periode kritis ini, diperlukan
rangsangan atau stimulasi yang berguna agar potensinya berkembang.
Perkembangan anak akan optimal bila interaksi sesuai dengan kebutuhan
anak pada berbagai tahap perkembangannya, bahkan sejak bayi masih
dalam kandungan (Kania,2006 dalam Yulita ,2014) Untuk membantu para
professional menilai factor yang mempengaruhi perkembangan
anak,mereka telah dikelompokkan ke dalam empat bidang yaitu:1.
Environmental factors (Rumah, penghasilan, pekerjaan, pendidikan)
2. Biological factors (Jenis kelamin, kesehatan umum, kesehatan mental,
praktek kesehatan) 3. Interpersonal relatinakships (kedekatan pola asuh
orang tua, jaringan sosial). Interaksi dengan manusia lain merupakan suatu
hal yang sangat penting bagi seorang anak. Kontak mata, senyuman,
memberikan lingkungan untuk mereka agar dapat berkomunikasi lebih
lanjut, adanya pertukaran makna dalam berkomunikasi, dan keterlibatan
orang tua atau pengasuh akan membantu mengembangkan dunia mereka
dalam berkomunikasi atau berhubungan denga orang lain. (Field
dkk,2007). 4. Early environments and experiences (pengalaman dan
lingkungan sebelumnya) (shanker,Blair & Diamond, 2008)

2.6 Kerangka Teori

2.7 Kerangka Konsep


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan menggunakan rancangan studi


kasus kontrol. Rancangan studi kasus kontrol tanpa penyetaraan yaitu untuk
mempelajari hubungan faktor –faktor dengan terjadinya diare pada balita. dengan cara
membandingkan kelompok kasus (diare) dan kelompok kontrol (balita yang
berkunjung ke puskesmas pembantu tidak menderita diare di wilayah kerja puskesmas
abenaho, Kabupaten yalimo) berdasarkan status paparannya. Studi ini bersifat
retrospektif. Kelompok studi yaitu anak balita yang menderita diare yang di diagnosa
oleh perawat/dokter yang bertugas, di wilayah Puskesmas pembantu abenaho,
Kabupaten yalimo. Kelompok kontrol yaitu anak balita yang tidak menderita diare
tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan kasus.16,17,18 Penderita diare
ditentukan lebih dahulu yaitu anak balita yang mendenita diare pada bulan jan s/d Okt
2021. Kemudian kontrol yaitu anak balita yang tidak menderita Diare pada bulan jan
s/d okt 2021 dan berdomisili satu distrik/kelurahan dengan kasus.

3.2 Variabel penelitian


3.1.1Variabel bebas dalam penelitian ini:
a. Kebiasaan mencuci tangan
b. Kebiasaan membuang tinja
c. Pengetahuan ibu tentang diare
d. Asupan gizi balita
e. Pola asuh orang tua
3.1.2Variabel terikat dari penelitian ini :
Kejadian penyakit diare pada balita

3.3 Defenisi Operasional


3.2.1Kebiasaan Cuci tangan yang baik menurut WHO (2013) adalah
menggunakan sarana air bersih dan sabun pada momen penting cuci
tangan yaitu sebelum/ menyuapi makan, setelah makan, setelah
BAK/BAB/ kontak dengan tinja,atau setelah bermain.

Cara ukur: Pengukuran dilakukan dengan wawancara dengan ibu


balita, dengan kategori: 0= Selalu 1 = Kadang-kadang 2= Jarang 3=
Tidak pernah . Skala: ordinal
3.2.2Kebiasaan membuang tinja yaitu Kebiasaan ibu membuang tinja bayi
yaitu dijamban, di sungai, dipendam ditanah, sembarangan.
cara mengukur : dengan mewawancarai ibu balita dengan Kurang baik
apabila poin pertanyaan wawancara ke 25 dijawab selain “di jamban” dan poin
ke 26-27 ada salah satu dijawab “tidak” dan Baik apabila poin pertanyaan ke
25 dijawab “ dijamban” dan poin 26 - 27 semua dijawab “ya”
skala : nominal
3.2.3Pengetahuan ibu tentang diare yaitu Hal-hal yang diketahui oleh ibu
mengenai diare pada anak usia balita yang meliputi pengertian, penyebab,
tanda gejala, komplikasi, pencegahan dan penanganan, dengan skor yang di
peroleh oleh ibu dengan mengisi butir soal tentang pengetahuan diare.
Cara mengukur : mengisi butir soal (benar =1 salah =0)
Skala: Baik, jika nilainya ≥ 75% Cukup, jika nilainya 56-74% Kurang, jika
nilainya ≤ 55%
3.2.4Asupan gizi balita Rerata kecukupan asupan energi, protein, lemak ,
karbohidrat dan Vitamin A. Kecukupan asupan diukur dengan metode
wawancara konsumsi makanan 1 bulan terakhir menggunakan formulir SQ
FFQ dan dibandingkan dengan kebutuhan dalam %AKG 2013 untuk balita
dengan status gizi baik dan menggunakan perhitungan menurut BB anak balita
untuk yang berstatus gizi malnutrisi serta dinyatakan dalam bentuk kkal untuk
energi, gram untuk P, L dan KH, dan mcg untuk Vitamian A Kecukupan
asupan makanan dikategorikan menjadi: 1. cukup : 90%-119%. Skala : ordinal
3.2.5Pola asuh orang tua
Pola perilaku ibu yang diterapkan kepada balita usia 1-4 tahun dalam memberikan
makan untuk menentukan pola asuh positif dan negatif

3.4 Waktu dan Lokasi penelitian


3.3.1Waktu penelitian:
Penelitian dilaksanakan pada 1-29 November Tahun 2021
3.3.2Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di pustu Abenaho kabupaten Yalimo

3.5 Populasi dan Sampel


3.4.1Populasi
Populasi penelitian. adalah semua anak balita yang berkunjung ke puskesmas
di Wilayah kerjapustu abenaho. Populasi kasus adalah semua anak balita
berumur 1-4 tahun yang menderita diare yang datang dan berobat ke klinik,
Puskesmas Pembantu dan Puskesmas yang diklasifikasi oleh dokter, perawat,
dan bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas pembantu abenaho,
Kabupaten yalimo
3.4.2Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua
yang ada pada populasi, misalnya keterbatasan dana,tenaga dan waktu maka
peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi
(sugiono,2007).Menurut notoatmojo (2005) untuk populasi lebih atau kecil
dari 10.000 dapat menggunakan formula yang lebih sederhana lagi,yaitu:
N
N = ---------
1+n (d)^2
Keterangan: N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan (0,05)
sehingga sampel dalam penelitian ini adalah sebesar 183 ibu balita,dengan
perhitungan seperti berikut:
n = 339
_______________
1= 339(0,05)^2
n = 183,5 (183) sampel
1)Responden
Ibu-ibu dari semua anak balita berumur 1-4 tahun yang menderita diare
2)Teknik pengambilan sampel
Penelitian ini, teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel yaitu
teknik sample random sampling, yaitu pengambilan anggota sampel dari
populasi yang dilakukan secara acak tanpa meperhatiakan strata yang ada
dalam populasi tersebut. Dengan kriteria Sbb:
a)Inklusi
a. Balita yang berumur 1-4 tahun.
b. Diklasifikasikan sebagai diare oleh dokter, perawat sesuai SOP
tatalaksana kasus di Puskesmas pembantu
c. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas pembantu abenaho
kabupaten yalimo
d. Ekslusi
Ibu yang mempunyai balita di distrik abenaho tetapi tidak berada di
lokasi saat penelitian di laksanakan dan balita dengan riwayat penyakit
kronis yang menyebabkan balita yang menderita sakit jantung, TBC,
asma, batuk rejan.
3.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. H0 : tidak ada hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare
pada balita
Ha : ada hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada
balita
2. H0 : tidak ada hubungan kebiasaan membuang tinja dengan kejadian diare
pada balita
Ha : ada hubungan kebiasaan membuang tinja dengan kejadian diare
3. H0 ; tidak ada hubungan pengetahuan ibu tentang diare dengan kejadian
diare pada balita
Ha : ada hubungan pengetahuan ibu tentang diare dengan kejadian diare
pada balita
4. H0 : tidak ada hubungan asupan gizi balita dengan kejadian diare pada
balita
Ha : ada hubungan asupan gizi balita dengan kejadian diare pada balita
5. H0 : tidak ada hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian diare pada
balita
Ha : ada hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian diare pada balita

3.7 Teknik pengumpulan data


a. Data sekunder
Data yang diperoleh dari data pencatatan dan pelaporan yang ada di
tingkat Puskesmas pembantu (Penderita diare,demografi, dll) maupun
Dinas Kesehatan Kabupaten yalimo(Penderita diare, demografi, dll).

Anda mungkin juga menyukai