Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN
A. Penerapan etika profesi amil dan nadzir dalam menjaga kepercayaan
muzakki dan donatur
Seorang amil zakat mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin
dan amanah melebihi yang disyaratkan oleh hukum.Prinsip etika profesi
dalam Kode Etik Profesi Amil Zakat Indonesia menyatakan pengakuan
profesi akan tanggung jawabnya kepada publik, yaitu muzakki atau
donatur, mustahik, mitra kerja dan masyarakat luas.
Prinsip ini memandu Amil Zakat dalam memenuhi tanggung jawab
profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku
profesionalnya. Prinsip ini menuntut komitmen amil untuk berperilaku
terhormat, bahkan dengan mengorbankan kepentingan pribadi maupun
golongan.Berikut ini adalah prinsip etika profesi amil zakat:
1. Tanggung jawab profesi
Seorang amil harus menggunakan pertimbangan syariah, moral dan
profesional dalam semua kegiatan yang dilakukan, sebagai
wujudtanggung jawabnya. Amilmempunyai peran yang penting dalam
masyarakat, amil juga memiliki tanggung jawab kepada semua
stakeholder. Amil juga harus bekerjasama dengan amil lainnyauntuk
mengembangkan profesiamil zakat, menjagakepercayaan
masyarakatdan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur
diri dan lembaganya sendiri.
2. Kepentingan publik
Publik dari profesi amil zakat terdiri dari muzakki, mustahik, mitra
kerja, pemerintah dan masyarakat umum. Publik ini secara umum
bergantung pada objektivitas dan integritas amil zakat dalam
menjalankanfungsi pengelolaan dana masyarakat. Ketergantungan ini
menyebabkan sikap dan tingkah laku amil zakat dalam menjalankan
programnya dapat memengaruhi kesejahteraan masyarakat dan negara,
baik di bidang ekonomi maupun non ekonomi.Mengingat kepentingan

1
tersebut, amil zakat diharuskanmemberi pelayanan dan program yang
berkualitas dengan tingkat profesionalisme yang konsisten.
3. Integritas
Integritas merupakan suatu karakter yang mendasari timbulnya
pengakuan profesional. Integritasmengharuskan seorang amil zakat
untuk bersikap jujur dan obyektif tanpa mengorbankan rahasia muzakki
atau mustahik. Integritas dapat menerima perbedaan pendapat yang
jujur dan kesalahan yang tidak disengaja, tetapi tidak dapat menerima
kecurangan dan peniadaan prinsipetika profesi ini.
4. Netral dan Obyektif
Seorang amil zakat harus mampu bersikap netraldan obyektifs,agar
terbebasdari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban
profesinya. Prinsip netralitas dan obyektivitas mengharuskan amil
bersikap adil, tidak memihak, jujur, tidak berprasangka atau bias, serta
bebas dari kepentingan atau pengaruh pihak lain. Amil bekerja dalam
berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan netralitas dan
obyektivitas mereka dalam berbagai situasi.
5. Kompetensi dan Kehati-hatian
Setiap amil harus melaksanakan tugasnya dengan kehati-hatian
syariah dan kehati-hatian profesional. Amil juga harus melaksanakan
tugasnya berdasarkan kompetensi dan ketekunan, dan berkewajiban
untuk mempertahankan pengetahuan serta keterampilan profesional
pada tingkat yag diperlukan.
6. Kerahasiaan
Amil harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh
selama melakukan pelayanan atau jasa profesional,dan tidak boleh
menggunakan atau mengungkapan informasi tersebut tanpa persetujuan,
kecuali bila ada hak dan kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya.
7. Perilaku profesional

2
Setiap amil harus berperilaku secara konsisten dengan reputasi
profesinya yang baik, serta menjauhkan diri dari tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesiamil. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku
yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebgai
perwujudan tanggung jawabnya kepada muzakki, mustahik, mitra,
sesama amil dan masyarakat lainnya. 1
B. Penerapan etika profesi amil dalam pendistribusian zakat
Profesionalitas pengelola dana zakat (amil) perlu mendapatkan
perhatian yang serius. Hasil penelitian menunjukan bahwa masih banyak
amil zakat yang belum kompeten. Kompetensi amil ini penting agar dana
zakat bisa disalurkan lebih efektif lagi. Ada empat hal yang bisa dilakukan
dalam meningkatkan profesionalisme amail zakat, yaitu: Memberikan jam
kerja secara penuh waktu (full time) kepada amil. Bekerja sama dengan
perguruan tinggi dengan cara memberika On the job Training (OJT) atau
magang di BAZNAS kepada mahasiswa terbaik. Mahasiswa tersebut
dipilih dan diminta langsung oleh BAZNAS, bukan mahasiswa tersebut
yang mendaftar.
Adapun pemilihan mahasiswa tersebut dilaksanakan secara tertutup
dan dengan seleksi yang ketat dari pihak internal BAZNAS. Pemerintah
dapat menghimbau kepada perguruan tinggi untuk membuka program
studi zakat dan wakaf guna menciptakan SDM yang mempuni di bidang
zakat, menginisiasi terbentuknya Asosiasi Amil Zakat atau profesi amil
zakat. Dengan demikian, good zakat governance dapat terwujud untuk
penyaluran zakat. Upaya entitas dalam menuju good zakat governance
tentunya harus didasari oleh konsep akuntabilitas yang terutang dalam
sharia enterprise theory yaitu menjalin hubungan yang baik kepada Allah
SWT, kepada sesama insan manusia, dan kepada alam semesta.2
C. Penerapan etika profesi nazir dalam pemberdayaan wakaf

1
Siti Eka Dewi Secowati : “Budaya Dan Etika Kerja Islami Dalam Membangun Islamic Branding
Pada Yayasan Dana Sosial Al-Falah Sidoarjo” (Surabaya UIN Sunan Ampel, 2017), 39-42
2
Dewi Susilowati “Efektivitas Tata Kelola Dana Zakat”. jurnal Akuntansi Multiparadigma,
Volume 9, Nomor 2, Agustus 2018, Hlm 361

3
Untuk mencapai pengelola wakaf yang profesional diperlukan
pembinaan agar mereka dapat menjalankan tugas-tugas dengan profesional
pula. Pembinaan dilakukan dengan menggunakan standar manajemen yang
kekinian, pendidikan formal dan non formal, pelatihan, atau bimbinagan
sehingga mampu menghasilkan pengelola dan pengembang harta benda
wakaf. Manajemen profesional yang baik dalam lembaga kenazhiran dapat
dilihat dari tiga aspek, yaitu :
1. Transparansi
Transparansi adalah apsek yang penting yang tak terpisahkan
dalam rangkaian kepemimpinan yang diajarkan oleh nilai-nilai Islam.
Transparansi merupakan hal terpenting dalam pengelolaan dana umat
seperti harta benda wakaf, maka harus lebih terbuka dalam pengelolaan.
Pengelolaan dan pemberdayaan harta wakaf serta pemanfaatan hasilnya
memerlukan transparansi, karena sejalan dengan ajaran Islam
khususnya dalam pertanggungjawabannya. Untuk mengetahui sejauh
mana
praktek pertanggungjawaban tersebut dilapangan, maka bentuk
pertanggunjawaban nazhir wakaf dapat kita lihat beberapa jenis
pengawasan diantaranya pengawasan Manajerial.
2. Pertanggung jawaban umum
Pertanggung jawaban umum merupakan wujud dari pelaksanaan
sifat amanah (kepercayaan) dan siddiq (kejujuran). Karena kepercayaan
dan kejujuran memang harus bertanggungjawaban oleh pelakunya baik
di dunia maupun di akhirat. Pertanggungjawaban terhadap pengelolaan
wakaf dan pemberdayaan wakaf menjadi penting terutama dalam
memanfaatkan hasil yang diperoleh dari harta benda wakaf produktif
dan memilki potensi. Tanpa adanya rasa tanggung jawab dari nazhir
wakaf maka harta yang dipercayakan kepadanya akan terbengkalai dan
tidak terurus. Oleh karena itu, setiap orang yang dipercaya menduduki
lembaga kenazhiran harus dipastikan bahwa orang tersebut memiliki
tanggung jawab moral, sehingga dikemudian hari tidak akan terjadi

4
kesewenangan, penyimpangan dan atau ketidakmampuan manajemen
dalam pengelolaan wakaf.
3. Standar Operasional
Standar operasional pengelolaan wakaf adalah batasan atau garis
kebijakan dalam mengelola wakaf agar menghasilkan sesuatu yang
lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat banyak. Menurut istilah
manajemen dikatakan dikatakan bahwa yang disebut dengan
pengelolaan operasional adalah proses-proses pengambilan keputusan
berkenaan dengan fungsi operasional. Dalam istilah manajeman
dikatakan bahwa yang disebut dengan pengelolaan operasional adalah
proses-proses pengambilan keputusan berkenaan dengan fungsi operasi.
Pengelolaan operasional ini terasa sangat penting dan menentukan
berhasil tidaknya manajemen pengelolaan secara umum. Adapun
standar
operasional itu meliputi seluruh rangkaian program kerja yang dapat
sebuah produk (barang atau jasa).
4. Efesien
Merupakan salah satu dari inti pengelolaan organisasi atau
kelebangaan adalah efesiensi, tanpa efesiensi lembaga kenazhiran tidak
akan optimal dalam pengelolaan dan pemberdayaan wakaf. Efesiensi
terkait dengan penggunaan biaya administrasi dan kegiatan yang terkait
dengan aspek pembiayaan dalam pengelolaan harta wakaf, sehingga
dengan pola yang efesien, maka akan tercipta lembaga yang
professional.3
D. Kejujuran dalam membuat laporan keuangan
Dalam mengelola harta wakaf produktif, perlu ada
manajemen yang mengelola aset wakaf secara transparan
dan akuntabel, model manajemen ini bisa dijabarkan dalam
beberapa hal berikut (Mundzir Qahaf, 2006 : 167-168): pertama,
kepengurusan wakaf terdiri dari nadzir dan dewan pengurus
3
Musyfikah Ilyas“Profesional Nazhir Wakaf dalam Pemberdayaan Ekonomi”. Al-QadauVolume
4 Nomor 1 Juni 2017, Hlm 77-85

5
yang pembentukannya sesuai kondisi. Kedua, wakif
hendaknyamenentukan nadzir dan honor atas kerjanya. Ia juga bisa
memilih dirinya sebagai nadzir sepanjang hidupnya kalau mau.
Ia juga bisa menetapkan cara-cara memilih nadzir, sebagaimana
ia berhak untuk menggantinya, sekalipun itu tidak tertulis dalam ikrar
wakaf. Ketiga, kepengurusan wakaf memerlukan dewan pengurus dalam
kondisi apabila wakif belum menentukan nadzir dan cara pemilihannya
atau apabila telah berlalu seratus tahun dari pembentukan wakaf, apapun
bentuknya.
Dalam menentukan dewan pengurus wakaf, harus dibentuk
struktur yang terdiri dari ketua dan anggotanya dengan masa
pengabdiannya.4

4
Abdurrahman kasdi “Peran Nadzir dalam Pengembangan Wakaf”. Ziswaf, vol. 1, no. 2,
desember 2014, hal 215-216

Anda mungkin juga menyukai