Anda di halaman 1dari 14

Terapi Non-bedah pada gigi dan implan- Kapan dan mengapa

Disadur dari:
Lang NP, Salvi GE, Sculean A. Nonsurgical therapy for teeth and implants—When
and why? Periodontol 2000. 2019;00:1–7

Kata Kunci: hasil klinis, implan, terapi laser, debridement mekanis, non-bedah,
periodontologi, gigi, terapi

1. PERSPEKTIF SEJARAH
Pada akhir abad ke-19, telah diterima bahwa perawatan periodontitis harus
ditangani dengan cara pembedahan.1 Paradigma etiologi dan patogenesis penyakit
periodontal adalah infeksi yang telah menyebar ke tulang alveolar dan jaringan yang
terinfeksi. harus dieliminasi dengan cara pembedahan untuk memperoleh
kesembuhan. Oleh karena itu, pertama-tama diawali dengan tindakan gingivektomi
"radikal" dan, kemudian, dianjurkan dengan tindakan prosedur bedah flap.
Bedah flap periodontal dimulai sekitar tahun 1910 dan berhubungan dengan
Neuman di Berlin,2 Cieszynski di Lviv,3 dan Widman di Stockholm.4 Namun,
terdapat kesulitan untuk mengetahui alasan dan teknik asli yang diterapkan oleh
penulis yang berbeda-beda dan karenanya tidak ada dokter tunggal yang dapat disebut
sebagai "penemu" flap periodontal.
Antara dekade kedua dan kesembilan abad ke-20, prosedur bedah periodontal
dikembangkan tergantung alasan patogenesis yang diyakini oleh masing-masing
dokter. Setelah era pertama bedah flap yang dianjurkan oleh Neuman2 dan Widman4
yang mengarah pada tulang alveolar yang terinfeksi, ditunjukkan bahwa lesi tulang
alveolar tidak terinfeksi, melainkan menunjukkan pola resorpsi tulang. 5 Yang pada
akhirnya, gingivektomi diminati oleh sebuah renaisans dan sebagian menggantikan
bedah flap.
Selanjutnya, pada tahun 1949, Schluger6 mempublikasikan pandangannya
tentang bedah periodontal, termasuk prinsip reseksi tulang yang menentukan garis
luar jaringan lunak di masa yang akan datang. 6 Sebagai konsekuensinya, bedah flap
dipertegas lagi untuk tahun-tahun mendatang.
Pada tahun 1974, Ramfjord7 akhirnya menjelaskan teknik barunya tentang
modifikasi flap Widman. Sebagai pengganti poket dengan cara reseksi osseus, ia
menganut alasan perawatan yang sama sekali berbeda, menerapkan pengurangan
poket atau penutupan poket dengan perbaikan setelah debridement menyeluruh pada
permukaan akar. Permukaan akar harus dibuat “secara biologis dapat diterima” untuk
memulai respon penyembuhan yang ditandai dengan penutupan poket, dengan atau
tanpa adanya epitel junctional yang panjang.
Tak satu pun dari berbagai modalitas bedah yang divalidasi untuk waktu yang
lama, dan pendapat dokter yang mengatakan satu teknik atau lainnya menentukan
terapi periodontal di berbagai belahan dunia.
Hal ini berubah secara dramatis setelah dimulainya studi longitudinal pada
terapi periodontal, pertama kali yang dipelopori oleh kelompok Michigan, 8 dan
kemudian oleh kelompok Gothenburg9 dan kelompok Nebraska.10 Namun, studi ini
sebagian besar membandingkan hasil klinis dari berbagai perawatan bedah seperti
gingivektomi, terapi eleminasi poket dengan reseksi tulang, pembedahan reparatif
yang mengarah pada penutupan poket, dan kuretase subgingiva.
Pada saat itu, tidak terdapat perbandingan dengan hasil pendekatan terapi non-
bedah.

2. KEHADIRAN KONSEP TERAPI NON-BEDAH


Sampai pertengahan 1980-an, terapi periodontal selalu mencakup bedah
periodontal dari satu desain atau lainnya. Terapi non-bedah saja tidak pernah
dilakukan, dan bahkan dianggap sebagai malpraktik untuk membuat pasien
periodontal tidak dapat menerima bedah periodontal. Terapi non-bedah dianggap
sebagai tindakan persiapan yang merupakan terapi tidak lengkap.
Akhirnya, pada tahun 1981 dan 1983, kelompok Minnesota melaporkan uji
klinis terkontrol secara acak11,12 di mana terapi periodontal termasuk scaling dan root
planing ditambah debridement flap terbuka dibandingkan dengan scaling dan root
planing saja. Tujuh belas subjek dengan periodontitis sedang hingga lanjut menerima
scaling dan root planing menyeluruh, serta instruksi kebersihan mulut. Flap Widman
yang dimodifikasi kemudian dilakukan secara acak untuk setengah dari setiap gigi
subjek. Kontrol profilaksis dan kebersihan mulut diberikan selama 6 setengah tahun
setelah selesainya terapi. Hal ini merupakan perbandingan langsung yang pertama
dari pendekatan terapi bedah dengan pendekatan terapi non-bedah. Karena hasil
jangka panjang (mengenai pengurangan poket dan pemeliharaan tingkat perlekatan)
tidak berbeda secara signifikan untuk lesi dengan kedalaman probing awal 6 mm,
terapi non-bedah menjadi pilihan perawatan yang diterima tanpa stigma malpraktik.
Hanya pada bagian periodontal dengan kedalaman probing awal 7 mm,
terdapat pengurangan poket secara signifikan lebih besar ketika scalling dan yang
diikuti dengan debridement flap terbuka. Namun, tingkat perlekatan dipertahankan,
dengan atau tanpa penambahan flap periodontal, bahkan pada bagian yang dalam.11
Studi Minnesota11,12 mulai menggeser paradigma dalam terapi periodontal
menuju pendekatan non bedah.
Hal ini lebih lanjut dibuktikan oleh penelitian yang mulai menilai hasil fase
persiapan non-bedah dari terapi periodontal sebelum intervensi bedah.13,14 Pengukuran
rata-rata untuk kedalaman poket 1-3, 4-6, dan 7 mm sebelum perawatan dibandingkan
dengan skor pasca perawatan. Kedalaman poket menurun secara signifikan untuk
kedalaman poket sebesar 4 mm secara apikal ke margin gingiva bebas. Dengan
mengejutkan, sebagian besar pengurangan kedalaman probing dan peningkatan
tingkat perlekatan klinis dapat dihubungkan dengan perawatan periodontal nonbedah
(fase higienis) daripada prosedur bedah yang dilakukan setelah fase higienis. 14 Pada
kedalaman probing 4-6 mm, terdapat perbedaan rata-rata kedalaman poket sebesar
0,96 ± 0,47 mm (P <.0001) antara pengamatan pra-perawatan dan pasca-perawatan,
sedangkan untuk kedalaman probing 7 mm, terdapat perbedaan rata-rata sebesar 2,22
± 1,35 mm (P < . 0001). Tingkat perlekatan kembali yang diperoleh sekitar 50% dari
perubahan kedalaman probing.
Studi ini dengan jelas menunjukkan bahwa keparahan klinis periodontitis
berkurang secara signifikan 1 bulan setelah fase higienis terapi periodontal dan oleh
karena itu kebutuhan akan perawatan poket bedah hanya dapat dinilai dengan benar
setelah selesainya perawatan periodontal non-bedah. Oleh karena itu, terapi
periodontal non-bedah harus dipertimbangkan sebagai prasyarat dan dasar untuk
semua jenis terapi periodontal.

3. TERAPI PERIODONTAL NON-BEDAH VS BEDAH


Studi longitudinal yang dilakukan selama tahun 1980-an oleh beberapa
kelompok dokter semua memasukkan kelompok terapi periodontal non-bedah sebagai
kontrol dibandingkan dengan berbagai teknik bedah tambahan. Oleh karena itu,
database dibuat yang memungkinkan untuk membandingkan hasil terapi non-bedah
saja dengan terapi non-bedah yang diikuti dengan intervensi bedah.
Dalam Lokakarya Eropa tentang Periodontology pada tahun 2002, konsep
terapi periodontal dibahas berdasarkan tinjauan sistematis. Untuk terapi non-bedah,
pertanyaan yang terfokus berikut ini harus dijawab berdasarkan uji klinis terkontrol
acak dengan durasi minimal 12 bulan: “Apakah terdapat perbedaan antara Open Flap
Debridement (OFD, debridement bedah) atau Scaling dan Root planing saja ( SRP,
debridement non-bedah) dalam hal hasil perawatan?”.15
Karena parameter evaluasi yang paling relevan untuk hasil terapi periodontal
adalah kehilangan gigi dan memerlukan periode tindak lanjut yang sangat lama,
kriteria titik akhir pengganti dipilih untuk penilaian. Hal ini termasuk resolusi
gingivitis (perdarahan saat probing), pengurangan kedalaman probing, dan perubahan
tingkat perlekatan klinis.
Dari 589 abstrak yang mungkin dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan
yang terfokus, hanya 6 uji coba terkontrol secara acak yang memenuhi kriteria inklusi
dari pertanyaan terfokus yang diidentifikasi (Tabel 1). Hanya perubahan berdasarkan
pasien, 12 bulan setelah terapi, yang dipertimbangkan. Dilakukan analisi pada 235
subjek.15
Meta-analisis dari studi ini menunjukkan bahwa, pada poket yang dangkal
dengan kedalaman 1-3 mm, 12 bulan setelah perawatan, terapi non-bedah
menghasilkan 0,5 mm lebih sedikit kehilangan perlekatan (perbedaan rata-rata
tertimbang = -0,51 mm; 95% CI: -0,74 hingga 0,29) daripada terapi bedah.
Pada poket dengan kedalaman probing awal 4-6 mm, scaling dan root planing
menghasilkan perlekatan kembali 0,4 mm lebih banyak (perbedaan rata-rata
tertimbang = -0,37 mm; 95% CI: -0,49 hingga -0,26) dan pengurangan kedalaman
probing 0,4 mm lebih sedikit ( perbedaan rata-rata tertimbang = 0,35 mm; 95% CI:
0,23-0,47) dibandingkan terapi bedah.
Namun, pada lesi yang dalam dengan kedalaman probing >6 mm,
pengurangan kedalaman poket 0,6 mm lebih banyak (perbedaan rata-rata tertimbang
= 0,58 mm; 95% CI: 0,38-0,79), dan peningkatan tingkat perlekatan klinis 0,2 mm
lebih banyak (perbedaan rata-rata tertimbang = 0,19 mm; 95% CI: 0,04-0,35) dari
terapi bedah setelah terapi non-bedah awal dibandingkan dengan terapi non-bedah
saja.15 Meta-analisis untuk bagian dengan kedalaman probing awal >6 mm disajikan
pada Gambar 1. Dalam kategori lesi lanjut (≥7 mm), debridement flap terbuka
memiliki efek yang jauh lebih besar dalam merangsang peningkatan tingkat
perlekatan klinis daripada scaling dan root planing saja.
Hal ini menjelaskan bahwa pembedahan periodontal hanya dapat
berkontribusi untuk mencapai hasil terapeutik yang lebih baik pada lesi yang dalam,
sedangkan pada lesi hingga 6 mm, terapi non-bedah mungkin sama efektifnya dalam
mengurangi kedalaman probing dan mendapatkan tingkat perlekatan. Oleh karena itu,
dapat diasumsikan bahwa terapi non-bedah jauh lebih efektif daripada yang diakui
sampai sekarang. Di sisi lain, jelas bahwa terapi periodontal non-bedah sebagai terapi
awal dari terapi bedah tambahan.

Tabel 1. Analisis RCT


Subjek n,
Studi dan tahun Metode rentang umur Durasi, tahun Hasil
(tahun)
Lindhe dkk RCT, SM 15, 32-37 2-5 PPD, CAL,
(1982)59 GI, PII
Lindhe dkk RCT, SM 15, 42-59 5 PPD, CAL,
(1984)60 BoP, PII
Polhstrom dkk RCT, SM 17, 22-59 6.5 PPD, CAL,
(1983)12 GI, PII
Isidor & Karring RCT, SM 16, 28-52 5 PPD, CAL,
(1986)61 BoP, PII
Ramfjord dkk RCT, SM 90, 24-68 5 PPD, CAL
(1987)8
Kaldahl dkk RCT, SM 82, 43.5 7 PPD, CAL
(1988)10
BoP, perdarahan saat probing; CAL, level perlekatan klinis; GI, indeks gingiva; PI,
indeks plak; PPD, kedalaman probing peridontal; RCT, randomized clinical trial;
SM, split month

Gambar 1. Meta-analisis, pada tinjauan sistematis, perawatan dengan terapi


periodontal non-bedah, baik sendiri atau dengan terapi periodontal bedah.32
Keunggulan terapi bedah tambahan pada peningkatan tingkat perlekatan
diindikasikan (rata-rata tertimbang = 0,2 mm). Hasil pada kedalaman probing awal >
6 mm. Perubahan berbasis pada pasien setelah setidaknya 12 bulan dilaporkan. CAL,
tingkat perlekatan klinis; OFD, debridement flap terbuka; PPD, kedalaman probing
periodontal.

4. KONSEP “KEDALAMAN PROBING”


Untuk pemeliharaan jangka panjang dari hasil terapeutik, tingkat perlekatan
klinis yang dipertahankan selama bertahun-tahun mungkin merupakan variabel
pengganti yang dinilai paling relevan secara klinis.16 Karena studi longitudinal telah
mendokumentasikan tidak ada perbedaan besar dalam pemeliharaan longitudinal
tingkat perlekatan klinis antara daerah yang dirawat secara non-bedah dan yang
dirawat secara pembedahan, klinisi mungkin tertarik untuk mengetahui kapan harus
merawat secara non-bedah dan kapan harus menambahkan intervensi bedah untuk
mendapatkan hasil terapi terbaik.
Dalam proses pengambilan keputusan klinis ini, konsep "kedalaman probing
kritis"16 dapat membantu untuk evaluasi praterapi pada kasus tunggal. Harus disadari,
bagaimanapun, bahwa analisis regresi ini menggunakan data yang dihasilkan sebagai
skor rata-rata dari percobaan yang membandingkan intervensi bedah dan non-bedah
tambahan untuk debridement akar. Oleh karena itu, konsep ini dapat menjadi alat
pengambilan keputusan yang berharga yang menunjukkan tren hasil terapeutik.
"Kedalaman pemeriksaan kritis", dalam kaitannya dengan perubahan tingkat
perlekatan klinis, telah dihitung untuk berbagai pendekatan terapeutik, termasuk
modalitas bedah dan non-bedah tambahan. Perubahan tingkat perlekatan klinis diplot
terhadap kedalaman probing awal (praterapeutik). Selanjutnya, garis regresi dihitung.
Titik di mana garis regresi memotong sumbu horizontal (kedalaman probing awal)
didefinisikan sebagai kedalaman probing kritis. Hal ini menunjukkan bahwa
kedalaman probing kritis pada kedalaman poket probing sebelum terapi berada
dibawah dimana perlekatan klinis akan hilang sebagai akibat dari prosedur masing-
masing perawatan. Di sisi lain, di atas kedalaman probing kritis, prosedur terapeutik
akan menghasilkan keuntungan perlekatan klinis.
Sebagai contoh, Gambar 2 menyajikan analisis regresi untuk perawatan
periodontal non-bedah dan bedah tambahan sesuai dengan hasil uji klinis terkontrol
secara acak. Kedalaman probing kritis secara konsisten ditemukan lebih besar untuk
pendekatan bedah tambahan daripada untuk terapi non-bedah . Garis regresi untuk
terapi non-bedah (root planing saja) melintasi sumbu horizontal pada kedalaman
probing kritis 2,9 mm. Hal ini, menunjukkan bahwa terapi non-bedah mengakibatkan
hilangnya perlekatan ketika kedalaman probing klinis rata-rata 2,9 mm. Di atas nilai
tersebut, terapi non-bedah tampaknya menghasilkan peningkatan perlekatan klinis.
Untuk pendekatan bedah tambahan (modified Widman flap), kedalaman
probing kritis ditemukan 4,2 mm, menunjukkan bahwa intervensi bedah hanya akan
bermanfaat untuk mencapai keuntungan perlekatan klinis jika lesi dengan kedalaman
probing minimal 4,2 mm.
Perbandingan kedua garis regresi (yaitu, untuk terapi non-bedah, baik terapi
non-bedah saja atau dengan terapi bedah) menunjukkan bahwa garis bersilang pada
kedalaman probing kritis 5,4 mm. Sekali lagi, hal ini menujukkan bahwa hanya lesi di
atas kedalaman probing sekitar 5,5 mm yang akan mendapat manfaat dari terapi
bedah tambahan, sementara lokasi dengan kedalaman probing yang lebih dangkal
jelas hanya memerlukan terapi non-bedah.
Kesimpulannya, dapat dinyatakan bahwa lesi periodontal pada umumnya
dapat dirawat dengan sukses dengan terapi non-bedah dan intervensi bedah tambahan
hanya boleh dipertimbangkan di atas kedalaman probing kritis 6 mm. Prosedur bedah
periodontal pada lesi lanjut memiliki keterbatasan, setelah fase higienis berhasil,
masih menghasilkan kedalaman probing minimal 6 mm.

Gambar 2. Kedalaman probing kritis.16 Analisis regresi setelah terapi non-bedah


(scaling dan root planing [RPL]) dan setelah terapi bedah tambahan (Modified
Widman Flap [MWF]). Kedalaman probing kritis untuk RPL adalah 2,9 mm dan
untuk MWF adalah 4,2 mm. Namun, keuntungan dari bedah tambahan pertama
terlihat jelas pada gigi dengan kedalaman probing >5.4 mm

5. SKOR RATA-RATA VS LOKASI TUNGGAL


Jelas bahwasannya dokter menghadapi fakta bahwa keputusan pra-
terapeutiknya juga berkaitan dengan lokasi tunggal, sedangkan konsep yang
disebutkan di atas berdasarkan pada skor rata-rata dari studi yang dilakukan. Juga,
terbukti bahwa hasil terapeutik dari terapi periodontal mungkin atau mungkin tidak
dipertahankan dari waktu ke waktu, tergantung pada kerja sama pasien, termasuk
standar kebersihan mulut pribadi, dan perawatan suportif yang diberikan. kepada
pasien.
Studi kohort pada pemeliharaan jangka panjang (14 tahun) telah menunjukkan
bahwa, sebagian besar lokasi periodontal sementara tetap stabil selama bertahun-
tahun, proporsi yang sangat kecil dari lokasi ini (<1%) di sekitar 25% (15 dari 61)
dari pasien yang dirawat yang mengalami infeksi ulang dan kehilangan perlekatan
lebih lanjut meskipun telah diberikan perawatan suportif yang memadai. 17 Infeksi
ulang ini terjadi terlepas dari durasi sejak terapi periodontal aktif atau kategori
kedalaman probing dari lokasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa reinfeksi pada
pasien periodontal yang dirawat dan dirawat dengan baik jarang terjadi dan sama
sekali tidak dapat diprediksi. Hanya sepertiga dari lokasi yang terinfeksi ulang (n =
15) terjadi di poket yang lebih dalam; dua pertiga sisanya tercatat di poket yang lebih
dangkal (n = 28). Oleh karena itu, tidak dapat diantisipasi bahwa terapi bedah non-
bedah atau terapi bedah tambahan dapat memberikan hasil prognostik jangka panjang
yang lebih baik.
Sebuah studi kohort yang lebih baru, pada perawatan jangka panjang (11
tahun) pasien dengan periodontitis lanjut yang dirawat,18 menunjukkan hasil yang
serupa. Sementara itu sebagian besar pasien benar-benar stabil, sekitar 40% pasien
mengalami infeksi ulang pada lokasi tunggal. Dalam penelitian tersebut, lokasi yang
dirawat dengan sisa kedalaman probing 6 mm memiliki risiko kehilangan gigi yang
signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kedalaman probing <6 mm. Hal ini
menunjukkan bahwa terapi harus bertujuan untuk mencegah adanya sisa poket
periodontal 6 mm. Jika tujuan ini tercapai dengan terapi non-bedah, bedah tambahan
mungkin tidak dilakukan. Demikian juga, bedah tambahan harus dipertimbangkan di
lokasi dengan kedalaman probing residual 6 mm dengan tujuan menghilangkan poket
tersebut.

6. TERAPI NON-BEDAH PADA PENYAKIT PERIIMPLAN


6.1 Mukositis periimplan
Penyakit peri-implan didefinisikan sebagai (i) lesi inflamasi di sekitar implan
tanpa kehilangan tulang pendukung (yaitu, mukositis peri-implan); dan (ii) mukositis
peri-implan dengan kehilangan tulang pendukung (yaitu, peri-implantitis).19
Tanda-tanda klinis peradangan mukosa mungkin termasuk perdarahan saat
probing, eritema, pembengkakan, dan nanah. Onset penyakit periimplant ditandai
dengan adanya faktor etiologi yang serupa yang berhubungan dengan etiologi
penyakit periodontal.20
Hubungan sebab-akibat antara akumulasi eksperimental biofilm oral di sekitar
implan gigi dan perkembangan mukositis peri-implan eksperimental telah
ditunjukkan pada manusia.21-24 Oleh karena itu, kontrol mekanis biofilm oral di sekitar
implan gigi harus dipertimbangkan sebagai standar perawatan dalam pengelolaan
mukositis peri-implan yang diberikan baik oleh pasien25 atau oleh penyedia layanan
kesehatan mulut.26
Mukositis peri-implan dianggap sebagai prekursor periimplantitis. Mukositis
peri-implan umunya dilaporkan terjadi di antara pasien yang tidak mengikuti
perawatan suportif rutin, di mana prevalensi 48% dilaporkan selama periode
pengamatan 9-14 tahun.27-29 Pada studi longitudinal dengan pasien dengan diagnosis
mukositis implan yang tidak mematuhi perawatan suportif menunjukan insiden
periimplantitis sebesar 43,9% setelah 5 tahun dibandingkan dengan 18% pada pasien
yang mengikuti perawatan.30 Analisis regresi logistik mengungkapkan bahwa
kurangnya kepatuhan terhadap perawatan suportif dalam keseluruhan pasien sampel
secara signifikan berhubungan dengan timbulnya periimplantitis (rasio odds = 5,92).30
Selanjutnya, hasil uji klinis prospektif menunjukkan bahwa implan yang ditempatkan
pada pasien yang dirawat secara periodontal yang mengikuti program perawatan
pemeliharaan suportif menghasilkan 20% insiden peri-implan mukositis selama 5
tahun tindak lanjut.31 Semua implan kecuali satu berhasil dirawat pada mukosit peri-
implan sesuai dengan protokol antiinfeksi interseptif kumulatif.32
Hasil dari uji klinis acak terkontrol plasebo selama 3 bulan menunjukkan
bahwa debridement mekanis dalam hubungannya dengan kontrol biofilm yang
dilakukan sendiri secara optimal, dengan atau tanpa aplikasi tambahan gel
klorheksidin, menghasilkan resolusi lengkap pada perdarahan saat probing di sekitar
38% dari implan yang didiagnosis dengan mukositis peri-implan. 33 Selain itu, implan
dengan margin restorasi supramukosa menghasilkan pengurangan kedalaman poket
yang jauh lebih besar secara signifikan setelah perawatan mukositis peri-implan
dibandingkan dengan pasien yang memiliki margin restorasi submukosa.33
Temuan dari uji klinis terkontrol plasebo acak gagal menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara kelompok debridement mekanis, yang berhubungan dengan
azitromisin sistemik, yang diberikan untuk perawatan mucositis peri-implan.
Peningkatan klinis 6 bulan diamati pada kelompok azitromisin adalah berhubungan
dengan peningkatan skor plak dan sifat antiinflamasi dari antibiotik sistemik. 34
Namun demikian, hasil penelitian ini tidak membenarkan pemberian tambahan
antibiotik sistemik untuk manajemen mukositis peri-implan.34
Oleh karena itu, berdasarkan temuan ini, mukositis peri-implan harus
dianggap sebagai indikator risiko perkembangan peri-implantitis, dan pengelolaan
peri-implantitis harus fokus pada debridement mekanis yang berhubungan dengan
eleminasi biofilm oral yang dilakukan sendiri secara optimal.35

6.2 Peri-implantitis
Konsep klasik perawatan periodontal non-bedah meliputi debridemen
permukaan akar menggunakan instrumen mekanis, kontrol plak yang dilakukan
sendiri secara optimal, dan terapi periodontal suportif secara teratur. Berdasarkan
fakta bahwa penyakit periodontal dan peri-implan memiliki faktor etiologi yang
sama,20 konsep ini juga harus diterapkan pada perawatan peri-implantitis non-bedah.
Terapi non-bedah mekanik peri-implantitis tanpa tindakan tambahan,
bagaimanapun, hanya menunjukkan perbaikan sederhana dan prediktabilitas terbatas
dalam resolusi peradangan mukosa.36-39 Untuk mencapai resolusi peradangan dan
mencegah kehilangan tulang lebih lanjut, dekontaminasi permukaan implan sangat
penting. Namun, dekontaminasi permukaan implan jauh lebih menantang daripada
dekontaminasi permukaan gigi.
Temuan dari serangkaian kasus, di mana debridemen mekanis dalam
hubungannya dengan irigasi poket peri-implan dengan klorheksidin 0,5% dan
pemberian ornidazole sistemik tambahan selama 10 hari dilakukan, menghasilkan
hasil klinis dan mikrobiologis yang positif setelah pengobatan peri-implantitis non-
bedah hingga 12 bulan.40 Efek klinis dan mikrobiologis yang menguntungkan setelah
terapi peri-implantitis non-bedah juga dilaporkan ketika pemberian klorheksidin atau
antibiotik lokal ditambahkan ke debridement mekanis.41-44
Hasil dari uji klinis acak menunjukkan bahwa pada pasien dengan kontrol
plak yang dilakukan sendiri secara optimal, debridemen mekanis dengan pemberian
tambahan terapi fotodinamik atau antibiotik lokal menghasilkan perbaikan yang
sebanding dalam perawatan periimplantitis awal sehubungan dengan parameter klinis,
mikrobiologis, dan turunan host. setelah 6 dan 12 bulan.45,46 Penatalaksanaan lengkap
pada peradangan mukosa, bagaimanapun, tidak secara rutin dicapai dengan terapi
fotodinamik tambahan atau pemberian antibiotik lokal.
Perbaikan parameter klinis setelah perawatan peri-implantitis non-bedah juga
dilaporkan setelah dekontaminasi permukaan implan tambahan menggunakan air
abrasive device47 dan laser diode48 atau erbium,26,49.
Secara kolektif, bagaimanapun, hasil yang terbatas dan tidak dapat diprediksi
harus diharapkan setelah dekontaminasi mekanis non-bedah dari permukaan implan,
dengan atau tanpa tindakan tambahan. Oleh karena itu, dalam kasus peri-implantitis
sedang hingga lanjut, terapi non-bedah saja mungkin tidak menghasilkan
keberhasilan yang diharapkan, dan diindikasikan pendekatan bedah untuk defek peri-
implantitis.

7. PENGGUNAAN TERAPI FOTODINAMIK PADA PERAWATAN


PERIODONTAL DAN INFEKSI PERI-IMPLAN
Terapi fotodinamik, juga disebut terapi fotodinamik antimikroba, terapi
fotoradiasi, fototerapi, fotokemoterapi, desinfeksi yang diaktifkan foto, atau
desinfeksi yang diaktifkan dengan cahaya, pertama kali diperkenalkan dalam terapi
medis pada tahun 1904 sebagai inaktivasi sel, mikroorganisme, atau molekul yang
diinduksi cahaya. Terapi fotodinamik mencakup penggunaan cahaya tampak,
biasanya dengan menggunakan laser dioda dan fotosensitizer (zat yang mampu
menyerap cahaya dengan panjang gelombang tertentu dan mengubahnya menjadi
energi yang berguna). Berbagai komponen terapi fotodinamik tidak berbahaya bila
digunakan sendiri-sendiri, tetapi dalam kombinasi mereka menyebabkan produksi
agen sitotoksik mematikan yang dapat menghancurkan sel secara selektif.50
Dalam dekade terakhir, terapi fotodinamik telah diusulkan sebagai alternatif
potensial untuk merawat infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme. 51,52
Mekanismenya didasarkan pada iluminasi fotosensitizer yang diubah dari keadaan
dasar ke keadaan triplet, sehingga menghasilkan spesies sitotoksik, biasanya oksigen
singlet (1O2), yang berinteraksi dengan molekul dan sel di sekitarnya. Karena
oksigen tunggal tidak dapat bermigrasi lebih jauh dari 0,02 m, ia hanya memiliki efek
lokal dan tidak merusak sel atau organ yang jauh.53
Beberapa penelitian in vitro telah mengungkapkan bahwa cahaya dari
berbagai jenis laser, termasuk laser helium/neon atau gallium-aluminium-arsenide,
dalam kombinasi dengan fotosensitizer yang sesuai, dapat menyebabkan penurunan
yang signifikan dalam jumlah dan viabilitas bakteri aerob dan anaerob dan
peradangan.54-56
Hasil dari studi klinis menunjukkan bahwa pada pasien dengan periodontitis
kronis, penerapan terapi fotodinamik setelah scaling subgingiva dan root planing
dapat menghasilkan perbaikan klinis jangka pendek yang lebih tinggi secara statistik,
dibuktikan dengan berkurangnya kedalaman probing dan/atau perdarahan saat
probing, dibandingkan dengan scaling. dan root planing saja.57 Namun, pada pasien
dengan periodontitis agresif, aplikasi tambahan terapi fotodinamik menghasilkan
perbaikan klinis yang lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian sistemik
amoksisilin dan metronidazol.58 Saat ini, tidak ada data yang membandingkan
penerapan terapi fotodinamik dengan penggunaan antibiotik sistemik tersedia untuk
pasien dengan periodontitis kronis. Hasil dari satu studi klinis terkontrol secara acak
menunjukkan bahwa terapi fotodinamik dapat mewakili alternatif yang mungkin
untuk antibiotik lokal pada pasien dengan peri-implantitis yang baru terjadi.45,46
Bukti yang tersedia menunjukkan bahwa terapi fotodinamik dapat
direkomendasikan dalam perawatan periodontal atau terapi peri-implan dan harus
digunakan hanya dalam hubungannya dengan debridemen mekanik subgingiva.
Namun, saat ini, penggunaan terapi fotodinamik tidak dapat direkomendasikan
sebagai alternatif antibiotik sistemik untuk pengobatan periodontitis agresif atau
periodontitis kronis yang parah.

Anda mungkin juga menyukai