Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN TUGAS BESAR

DAMAGE TOLERANCE

Load Spectrum dan Analisis Damage Tolerance pada


Komponen Lug and Fitting Pesawat CN-235

Oleh :

Alvian Iqbal Hanif Nasrullah 13614013

PROGRAM STUDI TEKNIK DIRGANTARA

FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Beberapa sistem struktur dirancang untuk mentransfer beban seperti komponen pin
loaded lug. Selama beroperasi, pin bearing yang berfungsi untuk mentransfer beban antara
komponen pin atau bolt dan lubang lug dapat membahayakan kekuatan struktur lug akibat
pembebanan siklik. Karena kegagalan komponen lug kemungkinan besar terjadi akibat
pembebanan siklik, diperlukan analisis untuk memprediksi keandalan struktur.
Keandalan struktur pada beban siklik didapat dengan menghitung beberapa parameter.
Parameter tersebut adalah pembebanan, panjang retak, dan residual strength. Dengan
mengetahui parameter tersebut, proses inspeksi struktur dapat dioptimumkan. Sehingga
kegagalan katastropik yang berakibat pada keselamatan penumpang pesawat terbang dapat
diantisipasi.

1.2 Tujuan
Laporan ini bertujuan untuk :
a. Menentukan besar beban siklik akibat manuver dan gust
b. Menentukan panjang retak akibat pembebanan
c. Membuat grafik residual strength
d. Menentukan waktu inspeksi retakan pada komponen lug

1.3 Asumsi
Asumsi yang digunakan :
a. Analisis retak dimulai pada retak awal sebesar 0.005 inchi atau 1.27 mm
b. Hanya pembebanan akibat manuver dan gust yang mempengaruhi perambatan retak
c. Nilai limit load didapat dari load factor maximum pesawat
d. Mengabaikan beban bending dan shear
e. Tidak ada cacat lain pada struktur
f. Beban terjadi pada center of gravity
1.4 Ruang lingkup kajian
a. Besar beban siklik pesawat
b. Panjang retak akibat pembebanan
c. Residual strength dari struktur yang ditinjau
d. Waktu inspeksi
BAB II
GEOMETRI DAN DIMENSI

2.1 Geometri

Data geometri komponen pesawat didapat dari kasus yang diberikan. Berdasarkan kasus
tersebut, komponen yang dianalisis adalah komponen lug and fitting. Komponen tersebut
berguna untuk menyambungkan komponen wingbox dengan komponen fuselage. Struktur ini
berperan penting dalam transfer beban pada komponen-komponen tersebut.

Struktur lug and fitting merupakan komponen yang menggunakan tipe damage tolerance.
Struktur ini diperbolehkan mengalami kegagalan namun pada batas toleransi tertentu. Pada
pesawat, komponen yang memiliki sifat damage tolerance digunakan pada elemen yang jika
gagal, dapat menyebabkan kondisi katastropik. Hal ini penting untuk dianalisis karena dapat
membahayakan keselamatan penumpang.

Bentuk dan dimensi geometri dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 2.1 Geometri lug and fitting


Gambar 2.2 Dimensi lug and fitting

Tabel 2.1 Data dimensi komponen lug and fitting


Panjang (mm) 60
Lebar (mm) 10
Diameter (mm) 20
Area (mm2) 600

Pemodelan beban fatigue dan dimensi lug dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.3 Model geometri dan dimensi


Dengan : ΔS= Pembebanan fatigue

D = Diameter lubang (20 mm)

w = Lebar lug (60 mm)

a = panjang retak (mm)

t = tebal lug (10 mm)

Struktur lug and fitting terletak pada sekitar sambungan antara sayap dan badan. Untuk lebih
jelas, posisi disajikan pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.3 Posisi komponen lug and fitting pada pesawat

2.2 Pembebanan

Beban siklik terjadi tegak lurus pada gambar dimensi. Untuk mengubah besaran load
factor menjadi tegangan, dibutuhkan konversi sesuai dengan keadaan nyata. Perhitungan nilai
tegangan pada load factor tertentu dapat menggunakan pendekatan numerik, analitik, maupun
eksperimen. Pada umumnya, data yang digunakan berdasar pada perhitungan numerik dengan
menggunakan metode elemen hingga. Pembebanan yang terjadi hanya tegangan arah axial.
Perhitungan ini memiliki asumsi yaitu besar tegangan berbanding linear dengan besar
nilai load factor. Dengan pendekatan interpolasi dan ekstrapolasi bentuk linear, maka dibutuhkan
minimal dua data nilai load factor dan tegangan.

Tabel. 2.2 Data load factor dan tegangan


Load Factor Gaya (daN) Tegangan (daN/mm2 atau 10 MPa))
1 3000 5.5
1.5 4600 7.6
3.2 (n maximum) 14.74 (Limit load)

Konversi Load Factor Menjadi Tegangan


8

6
Stress (daN/mm2)

4
Stress = 1.3556*(nz) + 0.1444
3

0
0 1 2 3 4 5 6
Load Factor (nz)

Gambar 2.4 Konversi load factor menjadi tegangan

2.3 Material
Material yang digunakan pada komponen lug and fitting merupakan Aluminium 2024 T3
plate. Data material yang digunakan diambil dari MIL-HDBK-5J dan dari
http://asm.matweb.com. Berikut merupakan data material yang digunakan :
Tabel 2.3 Data properti material komponen
Density (kg/mm3) 2780

Ultimate Tensile Strength (MPa) 483

Tensiile Yield Strength (MPa) 345

Modulus Elasticity (Gpa) 73.1

Fatigue Strength (MPa) 138

Fracture Toughness (MPa √𝑚) 34

Shear Strength (MPa) 283


BAB III
SPECTRUM DAN DAMAGE TOLERANCE ANALISIS

Perhitungan load spectrum menggunakan pendekatan dari data MIL-Handbook A 8844B.


Perhitungan beban siklik meliputi load spectrum dari beban manuver dan gust. Pesawat ini
memiliki gust load factor yang lebih dominan daripada load factor manuver. Asumsi yang
digunakan dalam perhitungan load spectrum ini adalah perhitungan beban ground, climb,
descent, dan loiter diabaikan.
Total operasi pesawat ini mencapai 30.000 penerbangan (take-off landing). Spektrum
yang akan dihitung memiliki rasio 10% dari total penerbangan. Jumlah penerbangan yang akan
dihitung adalah 3.000 penerbangan. Pesawat ini memiliki tiga buah misi, yaitu jarak pendek,
jarak medium, dan jarak panjang. Semua kondisi terbang dihitung dalam standard atmosferik
ISA+15. Detail misi ada pada tabel berikut :

Tabel 3.1 Data Misi Short Range


No Flight Stage D (km) Ketinggian(m) Massa (kg) Kecepatan (m/s) Flaps Cl
1 Taxi out 0.09 0.00 6516 5.14 0.00 3.95
2 Cruise 231 3047.99 6447 81.07 0.00 4.21
3 Taxi in 0.00 0.00 6268 5.14 0.00 3.95
Waktu terbang 47.5 menit
Misi 600 penerbangan (20%)

Tabel 3.2 Data Misi Medium Range


No Flight Stage D (km) Ketinggian(m) Massa (kg) Kecepatan (m/s) Flaps Cl
1 Taxi out 0.09 0.00 6723 5.14 0.00 3.95
2 Cruise 704.06 3047.99 6652 81.29 0.00 4.21
3 Taxi in 0.00 0.00 6268 5.14 0.00 3.95
Waktu terbang 145 menit
Misi 1800 penerbangan (60%)
Tabel 3.3 Data Misi Long Range
No Flight Stage D (km) Ketinggian(m) Massa (kg) Kecepatan (m/s) Flaps Cl
1 Taxi out 0.09 0.00 7005 5.14 0.00 3.95
2 Cruise 806 3047.99 6931 81.59 0.00 4.21
3 Taxi in 0.00 0.00 6268 5.14 0.00 3.95
Waktu terbang 275 menit
Misi 600 penerbangan (20%)

3.1 Perhitungan Beban Gust

Perhitungan data gust load spectrum dapat dicari dengan menggunakan pendekatan PSD dengan
1 derajat kebebasan. Pendekatan kontinu ini dapat menggambarkan bentukan gust lebih akurat
dibandingkan perhitungan gust secara discrete. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.

Gambar 3.1 Model Bentukan Gust discrete dan continue

Rumus-rumus untuk perhitungan gust dengan pendekatan PSD terlampir di bawah ini:
Dimana : T = Jarak penerbangan di dalam miles

Δg = Increment load factor

P’s dan B’s = Proporsi waktu atau peluang akibat intensitas turbulen (didapat dari
data)

A = Ratio RMS dari Δg menjadi RMS kecepatan gust

Ve = Kepecatan pesawat , knots

m = Clα

S = Area sayap , ft2

W = Berat pesawat, lbs

Kσu = Gust alleviation. Dapat dilihat dari kurva di bawah ini


Tabel 3.4 Data nilai proporsi akibat turbulensi

Dengan menggunakan data di atas, didapat grafik load factor dan exceedance untuk tiap-tiap
misi. Untuk memudahkan perhitungan selanjutnya dibuat partisi atau segmen dengan range
tertentu lalu mengkonversikan dari data exceedance atau kumulatif occurent menjadi occurent
pada range Δnz tertentu. Berikut merupakan grafik dan data dari setiap misi pesawat
2,5

1,5

0,5

0
01 10 100 1.000 10.000 100.000

-0,5

-1

-1,5

-2

-2,5

Gambar 3.2 Gust pada misi short range

Tabel 3.5 Data Δnz dan occurance misi short range

Δnz exceedance occurance


1.8 11 11.0
1.4 52 41.0
1.05 300 248.0
0.76 1700 1400.0
0.47 10300 8600.0
0.2 45969 35669.0
5

0
00 00 01 10 100 1.000 10.000 100.000 1.000.000

-1

-2

-3

-4

-5

Gambar 3.3 Gust pada misi medium range

Tabel 3.6 Data Δnz dan occurance misi medium range

Δnz exceedance occurance


2.55 4 4.0
2.05 20 16.0
1.47 400 380.0
0.71 7000 6600.0
0.47 40000 33000.0
0.2 134837 94837.0
5

0
00 00 01 10 100 1.000 10.000 100.000 1.000.000

-1

-2

-3

-4

-5

Gambar 3.4 Gust pada misi long range

Tabel 3.7 Data Δnz dan occurance misi long range

Δnz exceedance occurance


2.6 20 20.0
1.76 110 90.0
1.24 950 840.0
0.79 8500 7550.0
0.5 150000 141500.0
0.2 439815 289815.0
3.2 Perhitungan Beban Manuver

Perhitungan data manuver menggunakan referensi dari MIL-HANDBOOK tipe MIL-A 844B.
Jenis pesawat yang digunakan tergolong dalam pesawat transport kelas kargo. Data pada 1.000
kali jam terbang adalah sebagai berikut.

Tabel 3.8 Data perhitungan beban manuver pesawat transport


Perhitungan beban manuver pada fase cruise dapat dilihat pada grafik setiap misi di bawah ini

2,5

1,5

0,5

0
00 00 01 10 100 1.000

Gambar 3.5 Manuver cruise pada misi short range

0,8

0,6

0,4

0,2

0
01 10 100 1.000 10.000
-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

Gambar 3.6 Manuver cruiise pada misi medium range


1

0,8

0,6

0,4

0,2
Series1
0
01 10 100 1.000 10.000
-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

Gambar 3.7 Manuver cruise pada misi long range

Pada umumnya beban manuver pada load factor negatif lebih rendah daripada beban
manuver positif. Untuk mempermudah perhitungan di MATLAB nantinya, pendekatan yang
digunakan pada beban manuver adalah simetrik. Dengan pendekatan ini, perhitungan lebih
konservatif dan mempermudah perhitungan. Beban pada load factor negatif merupakan
cerminan beban dari load factor positif terhadap sumbu exceedance.

3.3 Perhitungan Beban Total

Pada fase cruise, beban siklik terjadi akibat beban manuver dan beban gust. Total beban
didapat dengan superposisi antara manuver cruise dan gust. Hasil superposisi tersebut dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini

Tabel 3.9 Nilai Occurance Total Pada Fase Cruise Short Range

gust maneuver Stres


nz total occurance
exceedance exceedance (daN/mm2)
2.6 20 0 20.0 20.0 5.02456
1.76 110 6 116.0 96.0 3.885856
1.24 950 248.0 1198.0 1082.0 3.180944
0.79 8500 6807.0 15307.0 14109.0 2.570924
0.5 150000 6807.0 156807.0 141500.0 2.1778
0.2 439815 6807.0 446622.0 289815.0 1.77112
Tabel 3.10 Nilai Occurance Total Pada Fase Cruise Medium Range

gust maneuver Stress


Δnz total occurance
exceedance exc (daN/mm2)
2.55 4 0 4.0 4.0 4.96033
2.05 20 2.0 22.0 18.0 4.28203
1.47 400 5.0 405.0 383.0 3.495202
0.71 7000 1197.0 8197.0 7792.0 2.464186
0.47 40000 1197.0 41197.0 33000.0 2.138602
0.2 134837 1197.0 136034.0 94837.0 1.77232

Tabel 3.11 Nilai Occurance Total Pada Fase Cruise Long Range

gust maneuver Stress


Δnz total occurance
exceedance exceedance (daN/mm2)
2.6 20 0 20.0 20.0 5.02456
1.76 110 6 116.0 96.0 3.885856
1.24 950 248.0 1198.0 1082.0 3.180944
0.79 8500 6807.0 15307.0 14109.0 2.570924
0.5 150000 6807.0 156807.0 141500.0 2.1778
0.2 439815 6807.0 446622.0 289815.0 1.77112

3.4 Hasil Konversi Menjadi Tegangan

Data exceedance dan Δnz yang didapat kemudian dikonversikan menjadi selisih
tegangan. Variabel nz adalah load factor yang diterima pada pesawat. Asumsi yang bekerja
adalah tidak ada beban asimetrik yang bekerja. Beban diasumsikan berada pada titik pusat
gravitasi sehingga tidak ada akselerasi beban arah pitch, roll, dan yaw dan tidak ada load factor
tambahan akibat akselerasi tersebut. Nilai load factor yang digunakan adalah penambahan dari
delta load factor (penambahan load factor) dan 1 (load factor dalam posisi steady flight,
lift=weight).

𝑛𝑧 = 1 + 𝛥𝑛𝑧

Exceedance merupakan jumlah pembebanan yang melebihi terjadinya beban load factor yang
ditinjau. Occurance adalah jumlah pembebanan terjadinya beban load factor yang ditinjau.
Selisih exceedance pada load factor yang berurutan merupakan occurance dari load factor rata-
rata data yang ditinjau.

Data selisih tegangan didapat dengan cara coding menggunakan aplikasi MATLAB. Source code
terlampir pada BAB LAMPIRAN. Proses coding secara garis besar dapat dilihat pada flow chart
di bawah ini.

Gambar 3.8 Flow Chart coding untuk mendapat delta sigma

Pembagian load spectrum tiap penerbangan dilakukan secara random. Metode random tidak
dapat mencerminkan kondisi pesawat secara aktual. Untuk meninjau pesawat secara aktual,
dilakukan pembagian load spectrum menggunakan metode semirandom. Semirandom adalah
metode yang mengelompokkan beban sesuai dengan level tegangan. Beban yang besar
cenderung terjadi secara berulang dalam satu penerbangan akibat kondisi penerbangan yang
mengalami severe sebagai contoh adalah cuaca yang sangat ekstrem.

Untuk membuat pembebanan menjadi lebih konservatif, digunakan beban GAG pada setiap akhir
penerbangan. Beban GAG (Ground Air Ground) merupakan selisih beban terendah dan tertinggi
di setiap kali penerbangan. Beban terendah merupakan beban pada saat pesawat berada pada
ground (kondisi taxi,take off, maupun landing). Beban terbesar terdapat kondisi cruise akibat
kombinasi beban manuver maupun gust.

Berikut adalah visualisasi load spectrum dengan pembagian berdasarkan misi secara random.

Gambar 3.9 Visualisasi load spectrum untuk setiap misi

Setelah 3.000 penerbangan, load spectrum dibagi secara acak

Gambar 3.10 Visualisasi load spectrum untuk 3000 kali penerbangan


BAB VI

ANALISIS DAMAGE TOLERANCE

Damage tolerance adalah kondisi dimana kerusakan parsial masih dapat ditoleransi
sebelum terdeteksi oleh proses inspeksi. Kecacatan bisa terjadi akibat ketidaksempurnaan proses
manufaktur atau cacat material berupa porositas, partikel penyusun, terjebaknya material asing,
cacat akibat proses forging dan casting, ketidaktepatan perlakuan panas atau mekanik pada
material.

4.1 Flow-Chart

Mekanisme pembuatan panjang retakan, residual strength, dan waktu inspeksi dapat dilihat pada
flowchart di bawah ini. Source code pada MATLAB terlampir pada lembar lampiran.

Gambar 3.8 Flow chart singkat proses coding


4.2 Crack Growth Analysis

Analisis panjang retak berfungsi untuk mengetahui panjang retakan akibat adanya
pembebanan secara siklik. Analisis ini bergantung pada beberapa parameter seperti panjang retak
awal, geometri struktur, material struktur, dan skenario terjadinya retakan. Sebelum memulai
perhitungan, diperlukan skenario retakan untuk memodelkan panjang retak lebih lanjut.

4.2.1 Skenario retakan

Panjang retakan dapat dianalisis dengan menentukan skenario retak terlebih dahulu. Skenario
retakan pada komponen ini dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 4.1 Skenario retakan 1

Gambar 4.2 Skenario retakan 2


Retakan awal dimulai pada tengah struktur dimana diinisiasi pada lokasi lubang
sambungan berdiameter 20 mm. Retakan merambat menuju ujung kiri dan kanan secara simultan
dengan panjang awal yang berbeda. Retakan ini ditampilkan dengan skenario 1. Retakan pada
sisi kiri lubang memiliki panjang awal retakan sebesar 1.25 mm. Sedangkan retakan di sisi kanan
lubang adalah sebesar 10% dari panjang retakan kiri atau 0.125 mm menuju kiri. Besar variabel
faktor intensitas tegangan sama antara retakan kanan dan kiri namun memiliki panjang retakan
awal yang berbeda.

Selanjutnya ketika retakan telah mencapai ujung sisi kiri struktur, struktur tersebut
menjadi lebih tidak stabil. Nilai faktor intensitas tegangan berbeda dengan dua kasus
sebelumnya. Skenario ini dapat dimodelkan dengan retakan sisi (edge crack). Retakan ini
memiliki panjang retak awal dengan menjumlahkan panjang sisi kiri, diameter lubang, dan
retakan yang telah dibentuk dari skenario 1 sisi sebelah kanan dengan waktu yang sama ketika
retakan kiri mencapai ujung sisi kiri struktur. Arah retakan ini menuju sisi sebelah kanan struktur
hingga struktur tersebut mengalami fracture. Namun, nilai panjang kritis membatasi perambatan
retak tersebut.Panjang kritis retak pada kasus ini kurang dari panjang geometri. Sehingga, retak
kritis yang kurang dari panjang sisi kanan geometri menyebabkan struktur dapat hancur sebelum
retak menjalar penuh sampai sisi kanan struktur.

4.2.1.1 Skenario retak 1

Retakan ini diinisiasi dengan panjang retakan 1.27 mm atau sebesar 0.05 inch pada
sebelah kiri dan 10% dari panjang retak tersebut untuk struktur sebelah kanan lubang. Panjang
retak awal ini merupakan panjang retak standard minimum yang dapat dideteksi menggunakan
pengecekan NDT (Non Destructive Test). Dengan selisih pembebanan siklik yang telah didapat
pada analisis load spectrum dengan bantuan Excel dan Matlab, panjang retakan setiap kali
pembebanan akan meningkat. Berikut merupakan flow chart untuk mendapat nilai panjang retak
dengan input berupa panjang retak awal, nilai delta tegangan, fungsi beta, delta K, dan
pertambahan retak.
Gambar 4.3 Iterasi untuk mendapat panjang retak 1

Pada kasus skenario 1, panjang retakan pada sisi kanan dan kiri dapat dicari dengan
iterasi secara simultan. Iterasi berhenti ketika nilai panjang retakan pada sisi kiri mencapai ujung
daripada sisi kiri struktur atau sekitar 20 mm. Banyaknya siklus pembebanan hingga struktur kiri
tersebut rusak dapat disimpan. Kemudian dengan banyaknya siklus pembebanan yang didapat,
nilai delta tegangan setiap siklus juga diaplikasikan pada sisi kiri lubang retakan. Dengan
demikian, panjang retak akhir pada sisi kanan lubang dapat diperoleh. Panjang retakan di sisi
kanan ini berpengaruh pada panjang inisiasi awal retak untuk skenario selanjutnya.

Parameter variabel skenario 1 didapat dengan memodelkan kasus menjadi lug dengan ukuran
tertentu. Referensi rumus beta didapat dari paper “Fatigue Life Evaluation of Damaged Aircraft
Lugs”.
Gambar 4.4 Model geometri retak

Dengan : ΔS= Besar selisih tegangan (MPa) , didapat dari perhitungan MATLAB dan Excel

D = Diameter lubang (20 mm)

w = Lebar lug (60 mm)

a = Panjang retak (mm)

t = Tebal lug (10 mm)

Pada umumnya, komponen struktur dikenai beban berulang dengan level yang berbeda.
Perambatan retak dapat dievaluasi jika parameter beban mencukupi. Untuk mengekspresikan
parameter tersebut, digunakan hubungan tegangan, geometri dan panjang retak.
𝛥𝐾 = 𝛥𝜎 𝛽 √𝜋𝑎

Kegagalan pada beban siklik dapat secara teoretikal dianalisis dengan hubungan crack growth
rate. Hubungan ini diperkenalkan oleh P.C. Paris pada tahun 1961.

𝑑𝑎
= 𝐶 (𝛥𝐾 𝑚 )
𝑑𝑁

Dimana a adalah panjang retak, N merupakan banyak siklus yang terjadi, C dan m merupakan
properti material pada struktur. Dengan material Al2024 T3, didapat nilai C adalah sebesar
2.86*10-12 dan m adalah 3.59 dalam satuan MPa dan meter.

Pada laju perambatan retak, geometri struktur retak dan kondisi pembebanan didapat dari stress
intensity factor. Beban pin pada lug merupakan salah satu dari struktur komponen yang paling
kritis dengan adanya fatigue. Newman dan Raju merupakan peneliti yang menginvestigasi cacat
pada lug dan mengemukakan beberapa persamaan untuk menghitung stress intesity factor
maksimum.

𝐾 = 𝜎 𝛽 √𝜋𝑎

1
β = 𝑓𝑤1 ∗ 𝑓1 ∗ 𝐺1 ∗ √
𝜋𝐷
cos(2𝑤 )

Interaksi antara pin dan lubang lug dapat dihitung dengan parameter berikut :

1 𝑤 𝐷
𝐺1 = + √
2 𝜋 (𝐷 + 𝑎) 𝐷 + 2𝑎

Agar menjadi konfigurasi single crack lug, digunakan faktor koreksi Bowie

𝑓1 = 0.707 − 0.18𝜆 + 6.55𝜆2 − 10.54 𝜆3 + 6.85𝜆4

Dimana

1
𝜆=
2𝑎
1+ 𝐷
Kemudian, efek dari lebar finite lug pada fatigue didapat dari persamaan stress intensity factor
dan factor koreksi berikut

1
𝑓𝑤1 =
√ 𝜋(𝐷 + 𝑎)
cos( )
2 (𝑤 − 𝑎)

Setelah dihitung menggunakan program MATLAB dengan source code terlampir, didapat
panjang retak dan banyak pembebanan adalah sebagai berikut

Tabel 4.1 Panjang retak pada skenario 1

Sisi kiri Panjang retak 20 mm


Cycle 253131 siklus pembebanan
Flight 600 flights
Sisi kanan Panjang retak 0.1307 mm
Cycle 253136 siklus pembebanan
Flight 600 flights

Gambar 4.5 Ilustrasi retakan skenario 1


4.2.1.2 Skenario retak 2

Retakan pada skenario 2 dapat dimodelkan menjadi retakan sisi (edge crack). Retakan
sisi ini memiliki panjang awal retak sebesar penjumlahan dari sisi sebelah kiri, diameter lubang,
dan panjang sisi sebelah kanan lubang yang terjadi secara simultan pada skenario retak 1.
Berikut merupakan flow chart untuk mendapat panjang retak dan banyak pembebanan.

Gambar 4.6 Iterasi untuk mendapat panjang retak 2

Gambar 4.7 Panjang inisiasi retakan skenario 2


𝑎0 = 𝑎 𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 + 𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝐿𝑢𝑏𝑎𝑛𝑔 + 𝑎 𝑘𝑖𝑟𝑖

𝑎0 = 20 + 20 + 0.1307

𝑎0 = 40.1307 𝑚𝑚

Parameter variabel skenario 2 didapat dengan memodelkan kasus menjadi edge crack
dengan ukuran tertentu. Asumsi yang digunakan adalah tidak ada bending dan beban yang
bekerja bersifat uniaxial. Selain itu, data yang tertera pada garfik dapat dilakukan ekstrapolasi
untuk nilai yang berada di luar grafik. Grafik diperoleh dari penelitian Bowie dan Neal dan
kemudian disempurnakan oleh Brown dan Srawley. Grafik a/b vs beta dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 4.8 Grafik beta untuk rectangular sheet uniaxial tensile stress
Dengan menggunakan curve fitting, hubungan nilai beta dan a/b dapat dimodelkan menggunakan
polinomial orde 4.
𝑎 𝑎 2 𝑎 3 𝑎 4
𝑏𝑒𝑡𝑎 = 1.12 − 0.23 ( ) + 10.6 ( ) − 21.7 ( ) + 30.4 ( )
𝑏 𝑏 𝑏 𝑏
Hubungan antara geometri, tegangan dan panjang retak dapat menggunakan rumus
𝛥𝐾 = 𝛥𝜎 𝛽 √𝜋𝑎
Dan untuk crack growth rate dapat menggunakan persamaan Paris
𝑑𝑎
= 𝐶 (𝛥𝐾 𝑚 )
𝑑𝑁
Setelah dihitung menggunakan program MATLAB dengan source code terlampir, didapat
panjang retak dan banyak pembebanan adalah sebagai berikut
Panjang retak total 60 mm
Cycle 253138 siklus pembebanan
Flight 600 flights

4.2.1.3 Panjang Retakan

Panjang crack yang terjadi dapat di-plot dengan sumbu cycles vs crack length.

Gambar 4.9 Crack growth analysis


Panjang kritikal retakan dapat dihitung menggunakan rumus

𝐾𝑖𝑐 2
𝑎𝑐 = 2
𝛽 𝜋 𝜎2

Dengan : ac= Panjang kritis

Kic = Fracture toughness (1170 MPa √𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟)

Beta = faktor intensitas tegangan pada retak awal (0.652)

Didapat nilai panjang retakan sebesar 47.187 mm. Nilai ini kurang dari panjang geometri
yang telah ditentukan. Sehingga nantinya di dalam iterasi perlu diberi batasan iterasi berdasarkan
panjang retak kritis.

4.3 Residual Strength

Residual strength adalah beban maksimum pada objek yang mengalami kerusakan tetapi
dapat menahan struktur tanpa terjadinya kerusakan katastropik. Nilai residual strength
dipengaruhi oleh ukuran retak, geometri struktur, dan juga orientasi pembebanan. Untuk
mencegah terjadinya kegagalan katastropik, diperlukan analisis residual strength. Selain itu,
analisis ini digunakan untuk menentukan panjang retak maksimum yang diperbolehkan pada
struktur cacat dan waktu interval inspeksi sebelum struktur mengalami kegagalan katastropik.

Perhitungan pada analisis residual strength menggunakan rumus

𝐾𝑖𝑐
𝜎=
𝛽 √𝜋 𝑎

Dengan Kic = Fracture toughness (1170 MPa √𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟)

Beta = Faktor intensitas tegangan, fungsi dari panjang retak

a = Panjang retak

Panjang kritis merupakan panjang maksimum yang diperbolehkan sebelum struktur


mengalami kegagalan katastropik. Panjang kritis dibatasi oleh beban limit. Beban limit
merupakan beban maksimum yang diperbolehkan terjadi pada pesawat terbang. Meski peluang
terjadinya beban limit sangat kecil, tetapi tetap perlu diantisipasi. Jika kondisi pesawat
mengalami beban limit, dan pada saat yang bersamaan panjang crack adalah sebesar panjang
kritis ataupun melebihinya, pesawat akan mengalami kegagalan katastropik.

Panjang kritis telah dihitung pada subbab sebelumnya. Dengan memakai load factor
pesawat sebesar 3.2 atau tegangan limit sebesar 147.4 MPa, retakan maksimum yang terjadi
adalah 47.187 mm. Panjang ini kurang dari panjang geometri struktur. Sehingga panjang kritis
ini perlu dijadikan batasan di dalam perhitungan.

Dengan menggunakan data panjang retak dan intensitas tegangan yang didapat dari perhitungan
sebelumnya, grafik residual strength dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 4.10 Kurva residual strength

4.4 Interval Inspeksi

Inspeksi dapat dilakukan sejak retakan mulai terdeteksi sampai panjang retakan mencapai
katastropik atau kritis. Untuk struktur dengan pendistribusian beban tipe single load path,
inspeksi dilakukan sebanyak tiga kali sejak mulai terdeteksinya panjang retak. Inspeksi
dilakukan berdasarkan siklus take-off landing pesawat terbang.
Pada perhitungan crack growth rate, didapat nilai retakan awal dan akhir sebagai berikut

Initial Crack Panjang awal 1.27 mm


Cycle 0
Flight 0
Detectable Crack Panjang minimum deteksi NDT 3 mm
Cycle 207129 siklus pembebanan
Flight 491 take-off landing
Critical crack Panjang akhir 47.187 mm
Cycle 253136 siklus pembebanan
Flight 600 take-off landing

Dengan data tersebut, interval inspeksi dapat dihitung

𝐹𝑙𝑖𝑔ℎ𝑡 @ 𝑎 𝑐𝑟𝑖𝑡𝑖𝑐𝑎𝑙 − 𝐹𝑙𝑖𝑔ℎ𝑡 @ 𝑎 𝑑𝑒𝑡𝑒𝑐𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒


𝐼𝑛𝑠𝑝𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
3

600 − 491
𝐼𝑛𝑠𝑝𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 = = 36 𝑓𝑙𝑖𝑔ℎ𝑡𝑠
3

Inspeksi interval pada struktur lug and fitting harus dilakukan setiap 36 kali penerbangan
pesawat.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.1.1 Load Spectrum

Berikut merupakan load spectrum akibat beban manuver dan gust.

Gambar 5.1 Load Spectrum pada 3000 kali penerbangan

5.1.2 Crack Growth Rate Analysis

Retakan awal bergerak ke kiri sebesar 1.27 mm dan 0.127 mm ke kanan lubang. Setelah sisi
sebelah kiri fracture pada 20 mm, retak sisi kanan merambat menjadi 0.1307 mm. Kemudian
pada skenario selanjutnya, retakan merambat dengan inisiasi retak sebesar 40.1307 mm dan
berakhir sampai panjang kritis yaitu 47.187 mm. Dalam perhitungan, didapat waktu total
fracture pada sisi kanan struktur sebesar 600 kali penerbangan.
Gambar 5.2 Crack Growth Analysis pada semua skenario retakan

5.1.3 Residual Strength Curve

Beban limit dari pesawat adalah sebesar 147.4 MPa. Panjang kritis adalah sebesar 47.187 mm.

Gambar 5.3 Kurva Residual Strength


5.1.4 Interval Inspection

Waktu inspeksi untuk struktur jenis single load path adalah tiga kali pengecekan. Dengan
rentang waktu tersebut, inspeksi dilakukan selama 36 kali pesawat melakukan takeoff-landing.

5.2 Saran
1. Pembebanan pada Load Spectrum tiap flight diacak dengan menggunakan metode
semirandom agar lebih akurat.
2. Beban ground dan beban manuver asimetrik dapat diperhitungkan supaya pembebanan
dalam kondisi aktual.
3. Perbandingan perhitungan analitik dan numerik menggunakan finite element perlu dilakukan
untuk memberi keyakinan perhitungan.
DAFTAR PUSTAKA

Murakami,Y. , “Stress Intensity Factor and Limit Load Handbook”.

Slobodenka, Maksimovic, Carpinteri (2013) , “Fatigue Life Evaluation of Damaged Aircraft


Lugs”, Project No. OI 174001, Mathematical Institute of the Serbian Academy of Science and
Arts and the Ministry of Science and Technological Development of Serbia.

MIL-HDBK-5J, (2003) (Data Properti Material), Department of Defense Handbook, US.

Boljanović, Maksimović, “Fatigue crack growth modeling of attachment lugs”, International


Journal of Fatigue, 2014, Vol.58, No.1, pp.66-74.

http://asm.matweb.com (Data Properti Material), diakses pada tanggal 29 November 2017 pukul
15:00 WIB.

MIL-Handbook A 8844B, (2003) (Data Beban Manuver), Department of Defense Handbook,


US.
LAMPIRAN

Source Code pada MATLAB untuk seluruh langkah kerja

clc
clear all
close all

total=3000;
short=0.2;
medium=0.2;
long=0.6;

nzs=[1.8;1.4;1.05;0.76;0.47;0.2];
ocs=[12;42;638;1400;8600;35669];

nzm=[2.55;2.05;1.47;0.71;0.47;0.2];
ocm=[4;18;383;7792;33000;94837];

nzl=[2.6;1.76;1.24;0.79;0.5;.2];
ocl=[20;96;1082;14109;141500;289815];

z=[nzs ocs nzm ocm nzl ocl];


[x,y]=size(z);

short=total*short;
medium=total*medium;
long=total*long;

figure

for j=1:y/2
i=0;
for n=1:x
for t=1:z(n,2*j)
a(i+1,1)=z(n,2*j-1);
i=i+1;
end
end
n=length(a);
s=RandStream('mrg32k3a');
RandStream.setGlobalStream(s);
savedState=s.State;
a(randperm(n))=a;

for i=1:n
b(2*i-1,1)=a(i);
end
for i=1:n
b(2*i)=-a(i);
end
b=ones(length(b),1)+b;
t=[0.25:0.5:length(b)/2]';
%Lug and Fitting
%sigma 1 = 5.5 daN/mm2
%sigma 1.5 = 7.6 daN/mm2
%sigma=4.2*nz+1.3
b=b.*4.2+1.3; %10 MPa
limit=10*(3.2*4.2+1.3); %MPa
subplot(2,2,j)
plot(t,b)
axis([0 inf -10 20])
if j==1
title('Short Range')
m1=[b,t];
elseif j==2
title('Medium Range')
m2=[b,t];
else
title('Long Range')
m3=[b,t];
end
xlabel('Cycles')
ylabel('Stress (daN/mm2)')
end

%partisi flight sequence : SR 20% flight


for n=1:short
ns=floor(length(m1)/short);
sr(2:ns+1,n)=m1(ns*(n-1)+1:n*ns,1);
sr(ns+2,n)=0;
sr(ns+3,n)=max(sr(:,n));
t1=m1(1:ns+3,2);
end

%partisi flight sequence : MR 20% flight


for n=1:medium
nm=floor(length(m2)/medium);
mr(2:nm+1,n)=m2(nm*(n-1)+1:n*nm,1);
mr(nm+2,n)=0;
mr(nm+3,n)=max(mr(:,n));
t2=m2(1:nm+3,2);
end

%partisi flight sequence : LR 60% flight


for n=1:long
nl=floor(length(m3)/long);
lr(2:nl+1,n)=m3(nl*(n-1)+1:n*nl,1);
lr(nl+2,n)=0;
lr(nl+3,n)=max(lr(:,n));
t3=m3(1:nl+3,2);
end
zz=max([length(sr) length(mr) length(lr)]);
d=zeros(zz,total);

for i=1:short
[ss,sss]=size(sr);
for p=1:ss;
d(p,i)=sr(p,i);
end
end
for i=(short+1):(short+medium)
[mm,mmm]=size(mr);
for q=1:mm;
d(q,i)=mr(q,i-short);
end
end
for i=(short+medium+1):(total)
[ll,lll]=size(lr);
for r=1:ll;
d(r,i)=lr(r,i-(short+medium));
end
end
c=d(:,randperm(total));

p=1:p;
q=1:q;
r=1:r;

%plot all
figure
hold on

e=[];
for i=1:total
if c(ss+1,i)==0
for j=1:ss
ss1(j)=c(j,i);
end
plot(p,ss1)

e0=length(e);
for k=e0+1:e0+length(p)
e(k)=ss1(k-e0);
end

elseif c(mm+1,i)==0
for j=1:mm
mm1(j)=c(j,i);
end
plot(q,mm1)

e0=length(e);
for k=e0+1:e0+length(q)
e(k)=mm1(k-e0);
end

else
for j=1:ll
ll1(j)=c(j,i);
end
plot(r,ll1)
e0=length(e);
for k=e0+1:e0+length(r)
e(k)=ll1(k-e0);
end
end
end
xlabel('Cycles')
ylabel('Stress (daN/mm2)')
%delta s
for kk=2:length(e)
h(kk-1)=e(kk)-e(kk-1);
end

figure
ts=1:length(e);
plot(ts,e)
xlabel('Cycles')
ylabel('Stress (daN/mm2)')
title('Sequence')
axis([0 inf -9 20])

for i=1:length(h)
if h(i)<0
h(i)=h(i+1);
end
end
for i=1:length(h)
if h(i)<0
h(i)=h(i+1);
end
end

%Panjang Crack
ds=h;

%ds dalam 10 MPa


clear a
clear x
C=2.86*10^(-12);
n=3.59;
b0=20;

saikel=length(ds)/total;
a(1)=1.27;
ak(1)=0.127;
D=20;
w=60;
h1=sqrt(abs(1/(cos(pi*D/(2*w)))));

%ke kiri
for v=1:length(ds)
lamda(v)=1/(1+2*a(v)/D);
fw1(v)=sqrt(abs(1/(cos(pi*(D+a(v)/(2*(w-a(v))))))));
f1(v)=0.707-0.18*lamda(v)+6.55*(lamda(v)).^2-
10.54*(lamda(v)).^3+6.85*(lamda(v)).^4;
g1(v)=0.5+w/(pi*(D+a(v)))*sqrt(abs(D/(D+2*a(v))));
beta(v)=h1*g1(v)*f1(v)*fw1(v);
dk(v)=ds(v)*10*beta(v)*sqrt(abs(pi*a(v)));
da(v)=C.*(dk(v).^n);
a(v+1)=a(v)+da(v);

%kanan gerak

lamda2(v)=1/(1+2*ak(v)/D);
fw2(v)=sqrt(abs(1/(cos(pi*(D+ak(v)/(2*(w-ak(v))))))));
f2(v)=0.707-0.18*lamda2(v)+6.55*(lamda2(v)).^2-
10.54*(lamda2(v)).^3+6.85*(lamda2(v)).^4;
g2(v)=0.5+w/(pi*(D+ak(v)))*sqrt(abs(D/(D+2*ak(v))));
beta2(v)=h1*g2(v)*f2(v)*fw2(v);
dk2(v)=ds(v)*10*beta2(v)*sqrt(abs(pi*ak(v)));
da2(v)=C.*(dk2(v).^n);
ak(v+1)=ak(v)+da2(v);

if a(v+1)>20
kiri=v;
disp('Banyak cycle ketika kiri fracture')
disp(kiri)
ak(v+1)=[];
break
end

end
%x=1:length(a);
%plot(x,a)
%break
a(kiri+1)=40+ak(end);
b0=60;

%ke kanan
for v=kiri+1:length(ds)
ab(v)=a(v)/b0;
beta(v)=1.12-0.23.*ab(v)+10.6.*ab(v).^2-21.7.*ab(v).^3+30.4.*ab(v).^4;
dk(v)=ds(v)*10*beta(v)*sqrt(abs(pi*a(v)));
da(v)=C.*(dk(v).^n);
a(v+1)=a(v)+da(v);
if a(v+1)>60
kanan=v;
nkanan=ceil(kanan/saikel);
disp('Banyak cycle ketika kanan fracture')
disp(kanan)
disp(nkanan)
disp('flights')
break
end
end
x=1:length(a);
figure
plot(x,a);
title('Crack Growth Analysis')
xlabel('Cycles')
ylabel('Crack Length(mm)')

kic=32;
liml=322;

for i=1:length(a)
rs(i)=kic/(1.137*sqrt(pi*a(i)*10^-3));
if rs(i)<limit
rs(end)=[];
break
end
end

x=1:length(rs);
figure
plot(x,rs,'r')
xlabel('Crack Length (mm)')
ylabel('Residual Strength(MPa)')
title('Residual Strength Curve')
hold on

po=polyfit(x,rs,7);
aa=polyval(po,x);
plot(x,aa,'b')
legend('asli','curve fitting')

Anda mungkin juga menyukai