Anda di halaman 1dari 37

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai “ suatu

keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap dan semata-mata

bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan” (Smeltzer & Bare, 2002).

Sakit merupakan keadaan tidak seimbang antar bio-psiko-sosio-

spiritual, sebagai respon tubuh terhadap interaksinya dengan lingkungan, baik

lingkungan eksternal maupun internal. Respon ini menyebabkan terganggunya

individu respon tubuh berfungsi optimal dalam pemenuhan kebutuhan dasar

sesuai dengan tingkat tumbuh kembang. Respon yang tidak adekuat

disebabkan karena ketidaktahuan, ketidakmauan, dan ketidakmampuan

(Kusnanto, 2004).

Keperawatan pada dasarnya adalah membantu individu (sakit atau

sehat) dengan serangkaian aktivitas-aktivitas yang menunjang untuk sehat dan

pemulihannya (atau membantu pada kematian dengan tenang) yang mereka

lakukan tanpa bantuan bila mereka mempunyai kekuatan, kemauan atau

pengetahuan yang diperlukan; keperawatan juga membantu individu

melaksanakan terapi yang ditentukan dan menjadi mandiri sesegera mungkin

(Carpenito, 2000).
2

Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

pasal 24, perawat diartikan sebagai seseorang yang mempunyai dasar ilmu

keperawatan yang kokoh diperoleh melalui pendidikan formal, menggunakan

proses berfikir ilmiah, melaksanakan peran dan tanggung jawab berdasarkan

pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan, melakukan tindakan pemenuhan

kebutuhan klien dan pelayanan kesehatan untuk mengatasi berbagai macam

penyakit seperti halnya penyakit efusi pleura.

Efusi pleura adalah istilah yang digunakan untuk penimbunan cairan

dalam rongga pleura (Price dan Wilson, 2006). Hingga saat ini penyakit efusi

pleura merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan dan perlu

mendapatkan penanganan yang optimal. Kasus tersebut berbeda dengan kasus

pernafasan lainnya.

Menurut WHO, efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang

dapat mengancam jiwa penderitanya. Secara geografis penyakit ini terdapat

diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara yang

sedang berkembang termasuk Indonesia. Di negara-negara industri,

diperkirakan terdapat 320 kasus efusi pleura per 100.000 orang. Amerika

Serikat melaporkan 1,3 juta orang setiap tahunnya menderita efusi pleura

terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif dan pneumonia bakteri

(Yunita Manurung, 2013).

Menurut Departemen Kesehatan, di Indonesia tuberkolosis paru adalah

penyebab utama efusi pleura, disusul oleh keganasan. Distribusi berdasarkan


jenis kelamin, efusi pleura didapatkan lebih banyak pada wanita dari pada

pria. Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberculosis paru lebih banyak

dijumpai pada pria dari pada wanita. Umur terbanyak untuk efusi pleura

karena tuberculosis adalah 21-30 tahun. (Umar Fahmi Achmadi, 2010).

Berdasarkan data yang penulis temukan di RSUD Tarakan bagian

Medical Record diperoleh data pada tahun 2011 terdapat 35 penderita efusi

pleura. Sebagian penderita yang masih hidup 33 orang (94%) dan meninggal 2

orang (6%). Pada tahun 2012 mulai pada Januari – Desember sebanyak 8

orang penderita efusi pleura.

Berdasarkan data-data tersebut diatas, penulis tertarik untuk membuat

karya tulis ilmiah dengan kasus efusi pleura di Ruang Perawatan Non Bedah

Dahlia RSUD Tarakan sebagai bahan studi Jurusan Keperawatan Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Borneo Tarakan dengan judul “Asuhan

Keperawatan pada Tn. M dengan diagnosa medis Efusi Pleura, ruang

Perawatan Non Bedah Dahlia RSUD Tarakan”.

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk memperoleh gambaran nyata tentang pelaksanaan asuhan

keperawatan pada penderita penyakit gangguan pernafasan dengan

diagnosa Efusi Pleura yang rawat inap di Ruang Perawatan Non Bedah

Dahlia RSUD Tarakan dengan menggunakan pendekatan melalui proses

keperawatan secara holistik dan komprehensif.


2. Tujuan khusus

a. Melakukan proses asuhan keperawatan kepada Tn. M dengan diagnosa

efusi pleura.

b. Membandingkan antara teori dan kasus yang nyata dalam

melaksanakan asuhan keperawatan pada klien Tn. M dengan diagnosa

efusi pleura.

c. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam

melaksanakan proses asuhan keperawatan pada klien Tn. M dengan

diagnosa efusi pleura.

d. Mengidentifikasi pemecahan masalah dalam proses asuhan

keperawatan pada klien Tn. M dengan diagnosa efusi pleura.

C. Manfaat

1. Bagi penulis

Memperoleh dan memperluas wawasan untuk mengaplikasikan asuhan

keperawatan pada pasien dengan Efusi Pleura, sehingga dapat dijadikan

sumber ilmu dan wawasan penulis.

2. Bagi pendidikan

Sebagai bahan referensi tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan

Efusi Pleura, sehingga dapat digunakan bagi praktek mahasiswa

keperawatan.
3. Bagi profesi keperawatan

Manfaat penulisan ini dimaksudkan memberikan kontribusi laporan kasus

dengan Efusi Pleura bagi pengembangan praktik keperawatan dan

pemecahan masalah khususnya dalam bidang/profesi keperawatan.

4. Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dan evaluasi yang diperlukan dalam pelaksanaan

asuhan keperawatan secara komprehensif khususnya pada pasien dengan

Efusi Pleura.

D. Ruang Lingkup

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka ruang lingkup

pada penulisan karya tulis ilmiah ini adalah Asuhan Keperawatan pada Tn. M

dengan diagnosa Efusi Pleura di Ruang Perawatan Non Bedah Dahlia RSUD

Tarakan, selama tiga hari mulai tanggal 4 Juli 2013 sampai dengan 6 Juli

2013.

E. Metode Penulisan

Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan metode

deskriptif dengan studi kasus melalui asuhan keperawatan sedangkan teknik

pengumpulan data didapatkan melalui :

1. Wawancara

Menanyakan atau membuat tanya jawab yang berkaitan dengan

masalah yang dihadapi oleh klien biasa juga disebut dengan anamnesa.

Tujuannya untuk memperoleh data tentang masalah kesehatan dan


masalah keperawatan klien, serta untuk menjalin hubungan antara perawat

dengan klien

2. Pengamatan/observasi

Mengamati perilaku dan keadaan klien untuk memperoleh data tentang

masalah kesehatan dan keperawatan klien.

3. Pemeriksaan fisik

Pengumpulan data dengan melakukan pemeriksaan fisik secara

keseluruhan melalui empat tahap yaitu inspeksi, palpasi, perkusi dan

auskultasi.

4. Studi dokumentasi

Perolehan data dari dokumentasi yang terdapat pada catatan perawatan

klien, catatan medis, catatan perawat dan catatan tim kesehatan lainnya

yang berhubungan langsung dengan kasus klien.

5. Studi kepustakaan

Penggunaan kepustakaan yang dilakukan dengan cara mempelajari

literatur yang berkaitan dengan penulisan karya tulis ilmiah ini.

F. Sistematika Penulisan

Sitematika penulisan yang digunakan dalam penulisan laporan ini

terdiri atas lima (5) BAB yaitu :

Bab satu yaitu pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan

penulisan, ruang lingkup, metode penulisan dan sistematika penulisan.


Bab dua yaitu landasan teori yang berisi tentang konsep dasar yang

meliputi pengertian, anatomi dan fisiologi system pernafasan, etiologi, tanda

dan gejala, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, pencegahan dan

penatalaksanaan. Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa

keperawatan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan penyimpangan KDM.

Bab tiga tinjauan kasus yang menjelaskan tentang penatalaksanaan

asuhan keperawatan pada klien efusi pleura yang meliputi pengkajian,

diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan

pennyimpangan KDM.

Bab empat yaitu pembahasan yang menguraikan kesenjangan antara

teori dan fakta secara sistematis yang terdapat dalam pengkajian, perumusan

atau penegakkan diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan,

implementasi dan evaluasi keperawatan.

Bab lima yaitu penutup yang menguaraikan tentang kesimpulan dan

saran yang disesuaikan dengan hal-hal yang telah diuraikan.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar Medis

1. Pengertian

Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang

terletak diantara permukaan viseral dan parietal, adalah proses penyakit

primer yang jarang terjadi tetapi biasanya meruapakan penyakit sekunder

terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleura mengandung sejumlah

kecil cairan (5-15 ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan

permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer & Bare, 2002).

Efusi pleura adalah istilah yang digunakan untuk penimbunan cairan

dalam rongga pleura (Price & Wilson, 2006).

Efusi pleura adalah pengumpuan cairan dalam ruang pleura, proses

penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat

penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan

transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman C Diane,

2000 dalam buku Padila, 2012).

Dari beberapa definisi diatas penulis menyimpulkan efusi pleura

merupakan pengumpulan cairan yang abnormal dalam rongga pleura yang

terletak diantara permukaan viseral dan parietal.


9
10

1) Rongga hidung dan nasal

Hidung eksternal berbentuk piramid disertai dengan suatu akar

dan dasar. Bagian ini tersusun dari kerangka kerja tulang, kartilago

hialin, dan jaringan fibroareolar.

a) Septum nasal membagi hidung menjadi sisi kiri dan sisi kanan

rongga nasal. Bagian anterior septum adalah kartilago.

b) Naris (nostril) eksternal dibatasi oleh kartilago nasal, kartilago

nasal lateral terletak di bawah jembatan hidung, ala besar dan

ala kecil kartilago nasal mengelilingi nostril.

c) Tulang hidung terdiri dari tulang nasal yang membentuk

jembatan dan bagian superior kedua sisi hidung, vomer dan

lempeng perpendikular tulang etmoid membentuk bagian

posterior septum nasal, lantai rongga nasal adalah palatum

keras yang terbentuk dari tulang maksila dan palatinum.

Langit-langit rongga nasal pada sisi medial terbentuk dari

lempeng kribriform tulang etmoid, pada sisi anterior dari

tulang frontal dan nasal, dan pada sisi posterior dari tulang

sfenoid. Konka (turbinatum) nasalis superior, tengah dan

inferior menonjol pada sisi medial dinding lateral rongga nasal.

Setiap konka dilapisi membrane mukosa (epitel kolumnar

bertingkat dan bersilia) yang berisi kelenjar pembuat mucus

dan banyak mengandung pembuluh darah. Meatus superior,


medial dan inferior merupakan jalan udara rongga nasal yang

terletak dibawah konka.

d) Empat pasang sinus paranasal (frontal,etmoid, maksilar, dan

sfenoid) adalah kantong tertutup pada bagian frontal etmoid,

maksilar, dan sfenoid. Sinus berfungsi untuk meringankan

tulang kranial, memberi area permukaan tambahan pada

saluran nasal untuk menghangatkan dan melembabkan udara

yang masuk, memberi produksi mukus, dan memberi efek

resonansi dalam produksi wicara. Sinus paranasal mengalirkan

cairannya ke meatus rongga nasal melalui duktus kecil yang

terletak di area tubuh yang lebih tinggi dari area lantai sinus,

duktus nasolakrimal dari kelenjar air mata membuka kea rah

meatus inferior.

2) Faring

Faring adalah tabung muskular berukuran 12,5 cm yang

merentang dari bagian dasar tulang tengkorak sampai esophagus.

Faring terbagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring.

a) Nasofaring adalah bagian posterior rongga nasal yang

membuka kearah rongga nasal melalui dua naris internal

(koana), dua tuba eustachius (auditorik) menghubungkan

nasofaring dengan telinga tengah dan berfungsi untuk

menyetarakan tekanan udara pada kedua sisi gendang telinga,


amandel (adenoid) faring adalah penumpukan jaringan limfatik

yang terletak didekat naris internal, pembesaran adenoid dapat

menghambat aliran udara.

b) Orofaring dipisahkan dari nasofaring oleh palatum lunak

muskular, suatu perpanjangan palatum keras tulang. Uvula

(“anggur kecil”) adalah prosesus kerucut (conical) kecil yang

menjulur ke bawah dari bagian tengah tepi bawah palatum

lunak, amandel palatinum terletak pada kedua sisi orofaring

posterior.

c) Laringofaring mengelilingi mulut esofagus dan laring yang

merupakan gerbang untuk sistem respiratorik selanjutnya.

3) Laring

Laring (kotak suara) menghubungkan faring dengan trakea.

Laring adalah tabung pendek berbentuk seperti kotak triangular

dan di topang oleh sembilan kartilago yang terdiri dari tiga

berpasangan dan tiga tidak berpasangan.

a) Kartilago tidak berpasangan yaitu kartilago tiroid (jakun)

terletak dibagian proksimal kelenjar tiroid, biasanya berukuran

lebih besar dan lebih menonjol pada laki-laki akibat hormon

yang disekresi saat pubertas, kartilago krikoid adalah cincin

anterior yang lebih kecil dan lebih tebal terletak dibawah

kartilago tiroid, epiglottis adalah katup kartilago elastis yang


melekat pada tepian anterior kartilago tiroid. Saat menelan,

epiglotis secara otomatis secara otomatis menutupi mulut

laring untuk mencegah masuknya makanan dan cairan.

b) Kartilago berpasangan terdiri dari kartilago aritenoid terletak

diatas dan sisi kedua kartilago krikoid, kartilago ini melekat

pada pita suara sejati yaitu lipatan berpasangan dari epitelium

skuamosa bertingkat, kartilago kornikulata melekat pada

bagian ujung kartilago aritenoid, kartilago kuneform berupa

batang-batang kecil yang membantu menopang jaringan lunak.

c) Dua pasang lipatan lateral membagi rongga laring yaitu

pasangan bagian atas adalah lipatan ventrikular (pita suara

semu) yang tidak berfungsi saat produksi suara, pasangan

bagian bawah adalah pita suara sejati yang melekat pada

kartilago tiroid dan pada kartialgo aritenoid serta kartilago

krikoid.

4) Trakea

Trakea (pipa udara) adalah tuba dengan panjang 10 cm sampai

12 cm dan diameter 12,5 cm serta terletak diatas permukaan

anterior esofagus, tuba ini merentang dari laring pada area vertebra

serviks keenam sampai area vertebra toraks kelima tempatnya

membelah menjadi dua bronkus utama.


a) Trakea dapat tetap terbuka karena adanya 16 sampai 20 cincin

kartilago berbentuk-C, ujung posterior mulut cincin

dihubungkan oleh jaringan ikat dan otot sehingga

memungkinkan ekspansi esofagus.

b) Trakea dilapisi epitelium respiratorik (kolumnar bertingkat dan

bersilia) yang mengandung banyak sel goblet.

5) Percabangan bronkus

a) Bronkus primer (utama) kanan berukuran lebih pendek, lebih

tebal, dan lebih lurus dibandingkan bronkus primer kiri karena

arkus aorta membelokkan trakea bawah kekanan, objek asing

yang masuk kedalam trakea kemungkinan ditempatkan dalam

bronkus kanan.

b) Setiap bronkus primer bercabang 9 sampai 12 kali untuk

membentuk bronki sekunder dan tersier dengan diameter yang

semakin kecil, saat tuba semakin menyempit batang atau

lempeng kartialago mengganti cincin kartilago.

c) Bronki disebut ekstrapulmonar sampai memasuki paru-paru,

setelah itu disebut intrapulmonar.

d) Struktur mendasar dari kedua paru-paru adalah percabangan

bronkhial yang selanjutnya : bronki, bronkiolus terminal,

bronkiolus respiratorik, duktus alveolar, dan alveoli. Tidak ada


kartilago dalam bronkiolus, silia tetap ada sampai bronkiolus

terkecil.

6) Paru – paru

a) Paru-paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan

berisi udara terletak dalam rongga toraks. Paru kanan memiliki

tiga lobus dan paru kiri memiliki dua lobus. Setiap paru

memiliki sebuah apeks yang mencapai bagian atas iga pertama,

sebuah permukaan diafragmatika (bagian dasar) terletak diatas

diafragma, sebuah permukaan mediastinal (medial) yang

terpisah dari paru lain oleh mediastinum dan permukaan kostal

terletak diatas kerangka iga. Permukaan mediastinal memiliki

hilus (akar), tempat masuk dan keluarnya pembuluh darah

bronki, pulmonar dan bronchial dari paru.

b) Pleura adalah membran penutup yang membungkus setiap

paru. Pleura parietal melapisi rongga toraks (kerangka iga,

diafragma, mediastinum), pleura viseral melapisi paru dan

bersambungan dengan pleura parietal di bagian bawah paru,

rongga pleura (ruang intrapleural) adalah ruang potensial

antara pleura parietal dan viseral yang mengandung lapisan

tipis cairan pelumas. Cairan ini diskresi oleh sel-sel pleura

sehingga paru-paru dapat mengembang tanpa melakukan friksi,

tekanan cairan (tekanan intrapleura) agak negatif dibandingkan


tekanan atmosfer. Resesus pleura adalah area rongga pleura

yang tidak berisi jaringan paru, area ini muncul saat pleura

parietal bersilangan dari satu permukaan kepermukaan lain.

Saat bernapas, paru-paru bergerak keluar masuk area ini.

Resesus pleura kostomediastinal terletak di tepi anterior kedua

sisi pleura, tempat pleura parietal berbelok dari kerangka iga

kepermukaan lateral mediastinum. Resesus pleura

kostodiafragmatik terletak di tepi posterior kedua sisi pleura

diantara diafragma dan permukaan kostal internal toraks

(Sloane, 2004).

b. Fisiologi pernafasan

Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari

udara kedalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan keudara

ekspirasi, dapat dibagi menjadi tiga stadium seperti yang dilukiskan

dalam stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran

gas-gas kedalam dan keluar paru. Stadium kedua, transportasi, yang

harus ditinjau dari beberapa aspek :

1) Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna)

dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan.

2) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya

dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus.

3) Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah.


Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir

respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan

CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan

dikeluarkan oleh paru (Price & Wilson, 2006).

3. Etiologi

a. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya

bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor

mediastinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena

kava superior.

b. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis,

pneumonia, virus), bronkiektaksis, abses amuba subfrenik yang

menembus kerongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan

berdarah karena trauma ( Padila, 2012).

4. Patofisiologi

Di dalam rongga pleura terdapat ± 5 ml cairan yang cukup untuk

membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis.

Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan

hodrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastik. Sebagian cairan ini

diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil

lainnya (10-20%) mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga pasase

cairan disini mencapai 1 liter seharinya.


Terkumpulnya cairan dirongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi

bila keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada

hyperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotik

(hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal jantung). Atas dasar

kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat pleura.

Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena

disertai penuingkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatik karena

tekanan osmotik koloid menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain

oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga

kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung

banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah

sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.

Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit

neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan

oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar:

a) Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik

b) Penurunan tekanan osmotic koloid darah

c) Peningkatan tekanan negative intrapleural

d) Adanya inflamasi atau neoplastik pleura

( Padila, 2012).
5. Manisfestasi Klinis

Biasanya manisfestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit

dasar, seperti demam, menggigil, nyeri dada pleuritis, sementara efusi

malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Efusi pleura yang luas

akan menyebabkan sesak nafas (Smeltzer & Bare, 2002).

Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena

pergesekan, bila cairan banyak penderita akan sesak napas. Deviasi trakea

menjauhi tempat yang sakit. Bagian yang sakit akan kurang bergerak

dalam pernafasan (Padila, 2012).

6. Pemeriksaan Diagnostik

Keberadaan cairan dikuatkan dengan rontgen dada, ultra sound,

pemeriksaan fisik dan torakosintesis. Cairan pleural dianalisis dengan

kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam ( untuk tuberculosis),

hitung sel darah merah dan putih. Biopsy pleura mungkin juga dilakukan

(Smeltzer & Bare, 2002).

7. Penatalaksanaan

a. Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk

mencegah penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan

ketidaknyamanan serta dispneu. Pengobatan spesifik ditunjukkan pada

penyebab dasar (gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis).

b. Torakosintesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapat

speismen guna keperluan amalisis dan untuk menghilangkan dispneu.


20

c. Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam

beberapa hari atau minggu, totasentesis berulang mengakibatkan nyeri,

penipisan protein dan elektrolit dan kadang pneumothorax. Dalam

keadaan ini kadang dilatasi dihubungkan ke sistem drainase water-seal

atau penghisapan untuk mengevaluasi ruang pleural dan

pengembangan paru.

d. Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti terasiklin dimasukkan

kedalam ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan

mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.

e. Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi

dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretik.

(Padila, 2012).

8. Komplikasi

Efusi pleura mungkin merupakan komplikasi gagal jantung kongestif,

tuberculosis, pneumonia, infeksi paru (terutama virus), sindrom nefrotik,

penyakit jaringan ikat, dan tumor neoplastik. Karsinoma bronkogenik

adalah malignansi yang paling umum berkaitan dengan efusi pleura dapat

juga tampak pada sirosis hepatis, embolisme paru dan infeksi parasitic

(Smeltzer & Bare 2002).


9. Water Seal Drainase (WSD)

a. Pengertian

Water Seal Drainase (WSD) adalah suatu unit yang bekerja

sebagai drain untuk mengeluarkan udara dan cairan melalui selang

dada.

b. Indikasi

Pemasangan WSD dilakukan pada pasien pneumothoraks

karena ruptur bleb, luka tusuk tembus, hemothoraks karena robekan

pleura, kelebihan anti koagulan, pasca bedah toraks, torakotomi, efusi

pleura, empiema karena penyakit paru serius dan kondisi inflamasi.

c. Tujuan

Pemasangan WSD bertujuan untuk mengeluarkan udara, cairan

atau darah dari rongga pleura, untuk mengembalikan tekanan negative

pada rongga pleura, mengembangkan kembali paru yang kolap dan

kolap sebagian, untuk mencegah refluks drainase kembali ke rongga

dada.

d. Tempat pemasangan

1) Apikal

Letak selang pada interkosta III mid klavikula, dimasukkan secara

antero lateral, fungsi untuk mengeluarkan udara dari rongga

pleura.
2) Basal

Letak selang pada interkostal V-VI atau interkostal VIII-IX mid

axila, untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura.

e. Jenis WSD

1) Sistem satu botol

Sistem drainase ini paling sederhana dan sering digunakan pada

pasien dengan simple pneumotoraks.

2) Sistem dua botol

Pada sistem ini, botol pertama mengumpulkan cairan/drainase dan

botol kedua adalah botol water seal.

3) Sistem tiga botol

Botol penghisap kontrol ditambahkan ke sistem dua botol, sistem

tiga botol ini paling aman untuk mengatur jumlah penghisapan

(Padila, 2012).

B. Konsep Dasar Keperawatan

Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival pasien dan

dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif keperawatan

kesehatan (Doengoes 2000).

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan pengumpulan data yang sengaja dilakukan

secara sistematis untuk menentukan keadaan keadaan kesehatan klien


sekarang dan masa lalu dan untuk mengevaluasi pola koping klien

sekarang dan masa lalu (Carpenito, 2000).

Pengkajian klien dengan penyakit hemathorak/pneumotoraks adalah

sebagai berikut :

a. Aktivitas / istirahat

Gejala : Dispnea dengan aktivitas maupun istirahat

Tanda : Takardi, frekuensi pernafasan tak teratur/distrimia, S3

atau S4/ irama jantung gallop (gagal jantung sekunder

terhadap efusi), nadi apical berpindah oleh adanya

penyimpangan mediastinal (dengan tegangan

pneumothoraks), tanda homman (bunyi renyah

sehubungan dengan denyut jantung, menunjukkan

udara dalam mediastrium), tekanan darah

hipertensi/hipotensi.

b. Integritas ego

Tanda : Ketakutan dan gelisah

c. Makanan/cairan

Tanda : Adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan

d. Nyeri/kenyamanan

Gejala : Nyeri dada unilateral, meningkat karena pernafasan,

batuk, timbul tiba-tiba sementara batuk atau regangan

(pneumothorak spontan), tajam dan nyeri, menusuk


yang diperberat oleh nafas dalam, kemungkinan

menyebar keleher, bahu, abdomen (Efusi Pleura).

Tanda : Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,

mengkerutkan wajah.

e. Pernafasan

Gejala : Kesulitan bernafas, lapar nafas, batuk (kemungkinan

gejala yang ada), riwayat bedah dada/trauma :

penyakit paru kronis, inflamasi/infeksi paru

(empiema/efusi), penyakit intertisial menyebar

(sarkoidosis), keganasan (misalnya obstruksi tumor),

pneumotorak spontan sebelumnya : rupture

empisematous bula spontan, bleb (lepuh yang besar,

bulla, vesicle) subpreural (PPOM).

Tanda : Pada pernafasan terjadi peningkatan

frekuensi/takipnea, peningkatan kerja nafas,

penggunaan otot aksesori pernafasan pada dada. Pada

leher terjadi retraksi interkostal, ekspirasi abdominal

kuat, bunyi nafas menurun atau tidak ada (sisi yang

terlibat), fremitus menurun (sisi yang terlibat).

Perkusi dada terjadi hipersonoran di atas daerah terisi

udara (pneumotorak), bunyi pekak diatas area yang

terisi cairan (paradoksik) bila trauma atau kemps,


penurunan pengembangan toraks (area yang sakit),

kulit pucat sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan

(udara pada jaringan dengan palpasi, mental, ansietas,

gelisah, bingung, pingsan) penggunaan ventilasi

mekanik tekanan positif.

f. Keamanan

Gejala : Adanya trauma dada, radiasi/kemoterapi untuk

keganasan.

g. Penyuluhan dan pembelajaran

Gejala : Riwayat faktor resiko keluarga : tuberculosis, kanker,

adanya bedah interatorakal/biopsy paru, bukti

kegagalan membaik (Doengoes 2000).


2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan cara mengidentifikasi,

memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respons

terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Doengoes, 2000).

Tipe diagnosa keperawatan dibagi menjadi lima antara lain:

a. Diagnosa keperawatan aktual (aktual nursing diagnosa)

Diagnosa keperawatan aktual adalah diagnosa yang

menyajikan keadaan klinis yang telah divalidasikan melalui batasan

karakteristik yang diidentifikasi.

b. Diagnosa keperawatan resiko dan resiko tinggi (risk and high-risk

nursing diagnosis).

Diagnosa keperawatan resiko adalah keputusan klinis tentang

individu, keluatga atau komunitas yang sangat rentan untuk

mengalami masalah dibanding individu atau kelompok lain pada

situasi yang sama atau hampir sama.

c. Diagnosa keperawatan sejahtera (wellness nursing diagnoses)

Diagnosa keperawatan sejahtera adalah penilaian klinis

mengenai individu, kelompok atau komunitas dalam transisi dari

tingkat kesehatan khusus/tertentu ketingkat kesehatan/kesejahteraan

yang lebih baik.


d. Diagnosa keperawatan sindroma (syndrome nursing diagnoses)

Diagnosa keperawatan sindrom merupakan diagnosis

keperawatan yang terdiri dari sekelompok diagnosis keperawatan

actual atau resiko, yang diduga akan muncul karena suatu kejadian

atas situasi tertentu.

e. Diagnosa keperawatan kemungkinan ( possible nursing diagnoses)

Merupakan pernyataan tentang masalah yang diduga masih

memerlukan data tambahan dengan harapan masih memerlukan data

tambahan dengan harapan masih diperlukan untuk memastikan adanya

tanda dan gejala adanya faktor resiko.(Padila, 2012).

Menurut Doengoes (2000), bahwa diagnnosa yang dapat muncul

pada teori diantaranya :

1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi

paru (akumulasi udara/cairan).

2) Resiko tinggi terhadap trauma/penghentian nafas berhubungan

dengan penyakit saat ini/proses cedera, tergantung pada alat dari

luar (sistem drainase dada).

3) Kurang pengetahuan tentang kondisi dan tindakan berhubungan

dengan kurang terpajannya informasi.


3. Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan adalah tahap ketiga dari proses

keperawatan dimana perawat menetapkan tujuan dan hasil yang

diharapkan bagi pasien ditentukan dan merencanakan intervensi

keperawatan (Padila, 2012).

Diagnosa keperawatan tujuan, criteria, dan intervensi pada klien

dengan efusi pleura menurut Doengoes adalah :

a. Pola nafas tak efektif

Dapat dihubungankan dengan :

1) penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan).

2) Gangguan muskuloskeletal.

3) Nyeri/ansietas.

4) Proses inflamasi.

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1) Dispneu takipnea

2) Perubahan kedalaman/kesamaan pernafasan.

3) Penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal.

4) Gangguan pengembangan dada.

5) Sianosis, GDA tak normal.


30

Hasil yang diharapakan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Menunjukkan pola pernafasan normal/efektif dengan GDA dalam

rentang normal.

2) Bebas sianosis dan tanda/gejala hipoksia.

Tindakan/Intervensi :

1) Mengidentifikasi etiologi/faktor pencetus, contoh kolpas spontan,

trauma, keganasan, infeksi, komplikasi ventilasi mekanik.

Rasional : Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk

pemasangan selang dada yang tepat dan memilih

tindakan terapeutik lain.

2) Evaluasi fungsi pernafasan, catat kecepatan/pernafasan serak,

dispnea, keluhan “lapar udara,” terjadinya sianosis, perubahan

tanda vital.

Rasional : Distress pernafasan dan perubahan pada tanda vital

dapat terjadi sebagai akibat stress fisologi dan nyeri

atau dapat menunjukkan terjadinya syok

sehubungan dengan hipoksia/perdarahan.


3) Awasi kesesuaian pola pernafasan bila menggunakan ventilasi

mekanik.

Rasional : Kesulitan bernafas dengan ventilator dan

peningkatan jalan nafas diduga memburuknya

kondisi.

4) Evaluasi fungsi pernafasan, catat kecepatan/pernafasan serak,

dispnea.

Rasional : Distres pernafasan dan perubahan pada tanda vital

dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan

nyeri/dapat menunjukkan terjadinya syok.

5) Auskultasi bunyi nafas

Rasional : Bunyi nafas dapat menurunkan/ tak ada pada lobus,

segmen paru/ seluruh area paru.

6) Catat pengembangan dada dan posisi trakea.

Rasional : Pengembangan dada sama dengan ekspansi paru.

Deviasi trakea dari area sisi yang sakit pada

tegangan pneumothorax.

7) Kaji fremitus

Rasional : Suara dan taktil fremitus (fibrasi) menurun pada

jaringan yang terisi cairan/konsolidasi.

8) Kaji pasien adanya area nyeri tekan bila batuk, nafas dalam.
Rasional : Sokongan terhadap dada dan otot abdominal

membuat batuk lebih efektif/mengurangi trauma.

9) Pertahankan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala

tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong pasien untuk duduk

sebanyak mungkin.

Rasional : Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan

ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang sakit.

10) Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk “kontrol diri”

dengan menggunakan pernafasan lebih lambat/dalam.

Rasional : Membantu pasien mengalami efek fisiologi hipoksia,

yang dapat dimanisfestasikan sebagai ansietas

dan/atau takut.

11) Berikan oksigen tambahan melalui kanula/masker sesuai indikasi.

Rasional : Alat dalam menurunkan kerja nafas, meningkatkan

penghilangan distress respirasi.

b. Resiko tinggi terhadap trauma/penghentian nafas

Faktor resiko meliputi :

1) Penyakit saat ini/proses cedera

2) Tergantung pada alat dari luar (system drainase dada).

3) Kurang pendidikan keamanan/pencegahan.


Kemungkinan dibuktikan oleh :

(tidak diterapkan: adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat

diagnosa aktual).

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Mengenal kebutuhan/ mencari bantuan untuk mencegah komplikasi.

2) Pemberian perawatan akan; memperbaiki atau menghindari

lingkungan dan bahaya fisik.

Tindakan/intervensi :

1) Kaji dengan pasien tujuan/fungsi unit drainase dada,catat gambaran

kemanan.

Rasional : Informasi tentang bagaimana system bekerja

memberikan keyakinan, menurunkan ansietas pasien.

2) Pasangkan kateter toraks kedinding dada dan berikan panjang selang

ekstra sebelum memindahkan atau mengubah posisi pasien.

Rasional : Mencegah terlepasnya kateter dada atau selang

terlipat dan menurunkan nyeri/ketidaknyaman

sehubungan dengan penarikan atau menggerakkan

selang.

3) Amankan unit drainase pada tempat tidur pasien atau pada

sangkutan/tempat tertentu pada area dengan lalu lintas rendah.


Rasional : Mempertahankan posisi duduk tinggi dan

menurunkan resiko kecelakaan jatuh/unit pecah.

4) Berikan transportasi aman bila pasien dikirim keluar unit untuk

tujuan diagnostik.

Rasional : Meningkatkan kontinuitas evakuasi optimal

cairan/udara selama pemindahan.

5) Awasi sisi lubang pemasangan selang, catat kondisi kulit,

adanya/karakterisitik drainase dari sekitar kateter. Ganti/ pasang

ulang kasa penutup steril sesuai kebutuhan.

Rasional : Memberikan pengenalan dini dan mengobati adanya

erosi/infeksi kulit.

6) Anjurkan pasien untuk menghindari berbaring/menarik selang.

Rasional : Menurunkan resiko obstruksi drainase/terlepasnya

selang.

7) Identifikasi perubahan/situasi yang harus dilaporkan pada perawat,

contoh perubahan bunyi gelembung.

Rasional : Intervensi tepat waktu dapat mencegah komplikasi

serius.

c. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, aturan

pengobatan

Dapat dihubungkan dengan :

Kurang terpajan pada informasi


Kemungkinan dibuktikan oleh :

Mengekspresikan masalah, meminta informasi, berulangnya masalah.

Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi pasien akan :

1) Menyatakan pemahaman penyebab masalah (bila tahu)

2) Mengidentifikasi tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik.

3) Mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola

hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.

Tindakan/intervensi :

1) Kaji patologi masalah individu

Rasional : Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan.

Memberikan pengetahuan dasar untuk pemahaman

kondisi dinamik dan pentingnya intervensi

terapeutik.

2) Identifikasi kemungkinan kambuh/komplikasi jangka panjang.

Rasional : Insidensi kambuh 10%-50%.

3) Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medic cepat,

contoh nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distress pernafasan lanjut.

Rasional : Berulangnya pneumothorax/hemothorax

memerlukan intervensi medik untuk

mencegah/menurunkan potensial komplikasi.

4) Berikan infomasi mengenai pembatasan aktivitas dan aktivitas

pilihan dengan periode istirahat.


Rasional : Dapat mendorong pasien dalam membuat

keputusan untuk memaksimalkan tingkat aktivitas.

4. Implementasi

Tindakan keperawatan (implementasi) adalah preskripsi untuk

perilaku positif yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus

dilakukan oleh perawat sesuai dengan apa yang direncanakan (Doengoes,

2000).

Komponen tahap implementasi :

a. Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa pesanan dokter

Tindakan keperawatan mandiri dilakukan oleh perawat. Misalnya

mencipakan lingkungan yang tenang, nyaman, mengurangi kebisingan

lingkungan dan membatasi jumlah pengunjung serta lamanya waktu

yang dirawat.

b. Tindakan keperawatan kolaboratif

Tindakan keperawatan oleh perawat bila perawat bekerja dengan

anggota perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan

bersama untuk mengatasi masalah klien.

c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap

tindakan keperawatan.

Dokumentasi merupakan pernyataan kejadian atau aktivitas yang

otentik dengan mempertahankan catatan yang tertulis, dimana dokumen


dapat memberikan bukti respon klien terhadap tindakan keperawatan dan

perubahan-perubahan pada klien (Carpenito, 2000).

5. Evaluasi

Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan

keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan

dengan respon prilaku klien (Craven dab Hirnle, 2000 dalam buku

Dermawan, 2012).

Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi:

a. Masalah teratasi

Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan dan kriteria

hasil yang telah di tetapkan.

b. Masalah sebagian teratasi

Jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari kriteria hasil yang

telah ditetapkan.

c. Masalah tidak teratasi

Jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama skali

yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang ditetapkan dan atau

bahkan timbul masalah/diagnosa keperawatan baru (Dermawan,

2012).
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi Fahmi Umar.(2010). Prevalensi Efusi Pleura di Indonesia. Diambil tanggal


22 Juli 2013 dari www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN.

Bare. G Brenda, Smeltzer. C Suzanne. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah. Edisi. VIII Vol. 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Bare. G Brenda, Smeltzer. C Suzanne. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah. Edisi. VIII Vol. 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Carpenito. (2000). Diaognosa Keperawatan : Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi IV.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dermawan Deden. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep & Kerangka


Kerja. Yogakarta: Goysen Publishing.

Doenges. E Marilynn, Moorhouse. F M, Geissler. C A. (2000). Rencana Asuhan


Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan
Paisen. Edisi. III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Erb & Kozier.(2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Kusnanto.(2004).Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Manurung Yunita.(2013). Epidemiologi Efusi Pleura. Diambil tanggal 22 Juli 2013 dari
www.scribd.com/doc/Lapkas-efusi-pleura.

Padila. (2012). Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika. Price.

A Sylvia, Wilson. M Lorraine. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


proses Penyakit. Edisi. IV Vol. 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rab Tabrani.(2007). Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Jilid 1. Bandung: Penerbit
P.T. Alumni.

Ruhyanuddin Faqih. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Ganggguan


Sistem Kardiovaskuler. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.

Anda mungkin juga menyukai