Anda di halaman 1dari 273

ISBN : 978-602-51545-9-1

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 1


DR. IBNU RAWANDHY N. HULA, M.A.

QAWAID AL-IMLA’ WA AL-KHAT


_____________***_____________
Kaidah-kaidah Menulis Huruf Arab dan Seni Kaligrafi

Sultan Amai Press


IAIN Sultan Amai Gorontalo
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 2
QAWAID AL-IMLA’ WA AL-KHAT
Kaidah Menulis Huruf Arab dan Seni Kaligrafi

Penulis : Dr. Ibnu Rawandhy N. Hula, M.A.

Editor : HMJ PBA


Desain Sampul : Ibrah1978

Penerbit:
Sultan Amai Press
Jl. Sultan Amai No.1 Kel. Pone, Kec. Limboto Barat
Kab. Gorontalo

All rights reserved


Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak sebagaian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk
apapun, tanpa seizin tertulis dari penulis.

Cetakan I, : Agustus 2015


ISBN : 978-602-51545-9-1
Hlm. 265
1. Kaidah Imla’ /Khat I. Judul.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 3


PENGANTAR

Al-Hamdulillah, rencana menyusun buku menyangkut Ilmu Bahasa Arab,


khususnya yang berkaitan dengan kaidah-kaidah IMLA’ dan KHAT, akhirnya
berhasil juga diwujudkan, walaupun dalam bentuk sederhana dan pasti masih
banyak kekurangan, baik dari isi, sistematika penyajian dan runut materinya.
Tetapi kata orang bijak: ”Apa yang tidak dapat diraih seluruhnya hendaknya tidak
ditinggalkan seluruh”.

Keinginan untuk menyusun buku ajar yang membahas tentang ”Kaidah-


kaidah menulis Huruf Arab beserta Kaligrafi” telah lama penulis rencanakan, hal
ini tidak lepas dari adanya desakan dari para mahasiswa meminta materi-materi
yang terkait dengan kaidah IMLA’ yang berbahasa Indonesia, hal ini cukup
beralasan karena sebagaian besar buku-buku IMLA’ dan Kaligrafi bersumber dari
Kitab-kitab Bahasa Arab – yang kebanyakan masih sulit dipahami - (khususnya
bagi pemula).

Keberadaan isi Buku ini, banyak terinspirasi dan mengambil dari beberapa
buku-buku Bahasa Arab yang membahas tentang Qawaidul Imla’ wa al-Khat,
diantaranya, Al-Lughah al-‘Arabiyah Ara>an wa Nutqan wa Imla’ wa Kita>ban,
karya: Fakhri Muhammad Shali, Ahmad Qabbisi>, al-Imla’ al-‘Arabiy: Nasyatuhu>,
wa Qawa>iduhu>, wa mufrada>tuhu>, watamrina>tuhu>, Mahdi al-Sayyid
Mahmud,‘Allim Nafsaka al-Khuthu>t al-‘Arabiyah, Abd al-‘Ali>m Ibra>hi>m, Al-
Imla>’ wa al-Tarqi>m fi> al-Kita>bah al-‘Arabiyah, Muhammad Hasim, Qa>waid al-
Khat al-‘Arabi>, Abd al-Salam Muhammad Harun, Qawa’id al-Imla’, Umar Faru>q,
Al-Wasi>th fi> Qawa>id al-Imla>’ wa al-Insya>’, al-Thabba’. Al-Wasi>th fi> Qawa>id al-
Imla>’ wa al-Insya>’, Bila>l ‘ Abd al-Wahha>b al-Rifa>’i, Al-Khat al-‘Arabi Tarikhu wa
Hadhiruhu, al-Thahir al-Khali<fah al-Qara>dhi>, al-Us>us al-Nahwiyah al-
Imla>iyah fi> al-Lughah al-‘Arabiyah, dan Ibrahim bin Muhammad al-Daukhi,
Qawaid al-Imla’. Oleh karena isi buku ini sebagaian besar merupakan transfer dan
pengalihan bahasan dari rujukan-rujukan berbahasa Arab.
Akhirnya , semoga buku ini bermanfaat, kritik dan saran terus dinanti
untuk perbaikan dan penyempunaanya. (Pentadio Al-Gharbiyah 2015/Ibrah)

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 4


DAFTAR ISI

PENGANTAR___iii
DAFTAR ISI___iv

BAGIAN PERTAMA: KAIDAH IMLA’

KAIDAH KE-1
HIJAIYAH
A. Bentuk-bentuk Huruf Hijaiyah___4
B. Tanda Baca atau Syakal___6

KAIDAH KE-2
LAM SYAMSIYAH DAN LAM QAMARIYAH
A. Alif Lam Syamsiyah___9
B. Alif Lam Qamariyah___10

KAIDAH KE-3
TA’ MAFTUHAH DAN TA’ MARBUTHAH
A. Ta’ Maftuhah___14
B. Ta’ Marbuthah___15

KAIDAH KE-4
MENGHAPUS HAMZAH PADA ALIM LAM SYAMSIYYAH ATAU
QAMARIYYAH, JIKA MASUK PADANYA HURUF LAM JAR___18

KAIDAH KE-5
KATA-KATA YANG DIAWALI DENGAN HURUF LAM (‫) ل‬

JIKA DIDAHULUI OLEH ALIF LAM (‫ )أل‬MA’RIFAH

DAN LAM JAR (‫___ ) ل‬20

KAIDAH KE-6
HAMZAH DI AWAL KATA
A. Hamzah al-Washal___23
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 5
B. Hamzah al-Qatha’___26

KAIDAH KE-7
PENULISAN HAMZAH DI TENGAH KATA___30

KAIDAH KE-8
PENULISAN HAMZAH DI AKHIR KATA___35

KAIDAH KE-9
ALIF TANWIN NASAB___37

KAIDAH KE-10
MEMBUANG ALIF___39

KAIDAH KE-11
MENYAMBUNG (WASHAL) SEBAGIAN KATA___42

KAIDAH KE-12
TANDA-TANDA BACA/TARQIM
A. Pengertian Alamat Tarqim___44
B. Penggunaan Alamat Tarqim___46

KAIDAH KE-13
HURUF YANG DIBACA (MANTUQ) ,
TIDAK TERTULIS (MAKTUB)___56

KAIDAH KE-14
HURUF YANG TERTULIS (MAKTUB),
TIDAK DIBACA (MANTUQ) ___59

KAIDAH KE-15
HAMZAH IBNU DAN IBNAH___60

KAIDAH KE-16
ZIYADAH, IBDAL DAN HADZFU
A. Ziyadah al-Harf (Penambahan Huruf) ___62
B. Ibdal al-Harf (Penggantian Huruf) ___64
C. Hadzf al-Harf (Pembuangan Huruf) ___70
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 6
KAIDAH KE-17
IDGHAM DAN I’LAL
A. Idgham___76
B. I’lal___78

KAIDAH KE-18
EMPAT KARAKTER ALIF
A. Alif Yabisah ___85
B. Alif Layyinah___85
C. Alif Mamdudah ___88
D. Alif Maqshurah ___90

BAGIAN KEDUA:
KONSEP KHAT’ DAN KAIDANYA

KONSEP ORTOGRAFI ARAB___136

KONSEP KALIGRAFI ARAB___136

KONSEP PERKEMBANGAN DAN PERIODESASI TULISAN ARAB


DAN KALIGRAFI ISLAM___160

KONSEP KHAT, RASM, DAN KITABAH___178

KONSEP RASAM USMANI,’ ARUDI ,QIYASI, DAN ISTILAHI___187

KONSEP PENULISAN HURUF ARAB DAN TOKOH-TOKOH


KALIGRAFI___192

KHAT NASKHI DAN KAIDAH PENULISANNYA___204

KHAT TUSLUTSI DAN KAIDAH PENULISANNYA___222

KHAT RIQ’AH DAN KAIDAH PENULISANNYA___234

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 7


KHAT DIWANI DAN KAIDAH PENULISANNYA___239

KHAT FARISI DAN KAIDAH PENULISANNYA___242

KHAT KUFI DAN KAIDAH PENULISANNYA___246

KHAT IJAZAH, MAGHRIBI, DAN TUGHRAH___255

KHAT RAIHANI DAN KAIDAH PENULISANNYA___259

DAFTAR RUJUKAN___261

BIOGRAFI PENULIS___265

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 8


KAIDAH 1: HIJAIYAH
HURUF-HURUF HIJAIYYAH

Untuk mempelajari huruf hijaiyah tentu kita harus mengetahui


terlebih dahulu huruf-hurufnya. Huruf Hijaiyah terbagi menjadi 28 makhraj
(pengucapan huruf). Jika selama ini kita mengenal susunan huruf Arab dari
ALIF sampai YA (A-Ba-Ta-Tsa), itu adalah urutan huruf Arab yang
disusun dan dikelompokkan menurut kemiripan bentuknya. Namun
sebenarnya urutan huruf Arab yang sesungguhnya adalah dari ALIF sampai
GHAIN (A-Ba-Ja-Dun atau disingkat ABJAD). Huruf-huruf ini diletakkan
pada kata-kata berikut ini untuk memudahkan penghafalannya menurut
abjad: (. ‫ ضظغ‬، ‫ ثخذ‬، ‫ قرشت‬، ‫ سعفص‬، ‫ كلمن‬، ‫ حطي‬، ‫ هوز‬، ‫)أجبد‬.
Perhatikan susunan huruf hijaiyah di bawah ini.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 9


Urutan huruf Hijaiyah yang dipakai adalah Susunan Abjad atau
disebut juga dengan istilah Kaidah Abjadiyyah. Dalam kaidah Abjadiyyah
ini, setiap huruf memiliki nilai numerik (angka). Angka yang kita kenal
sekarang yaitu angka 1, 2, 3 dan seterusnya sebenarnya dikenal belum lama
oleh manusia. Sebelum ada angka-angka tersebut (1,2,3 dst) orang
melakukan penghitungan berdasarkan simbol atau karakter yang
merepresentasikan sebuah angka.
Pada awalnya dijumpai angka-angka yang diucapkan dan angka-
angka yang disimbolkan dengan jari tangan (diindikasikan oleh posisi
tangan dan jari-jari). Bahkan sampai sekarang masih ada segolongan suku
di Indonesia yang masih menggunakan metode ini, misalnya cara jual beli
sapi di Madura.
Selanjutnya untuk pencatatan secara permanen dan penghitungan
diperlukan apa yang disebut sebagai “NUMERAL” yang merupakan sebuah
simbol atau karakter yang digunakan untuk mewakili sebuah bilangan.
Misalnya, dalam sistim Romawi angka “SATU” disimbolkan (ditulis)
dengan huruf “I”. Angka “LIMA” disimbolkan “V”, Sepuluh=X,
Limapuluh=L, Seratus=C, Limaratus=D, dan Seribu=M. Bila kita
menemukan tulisan Romawi misalnya “MCMLXXV” itu maksudnya
adalah angka “1975”. Jadi Nilai numerik adalah nilai yang melekat pada
huruf-huruf atau simbol. Nilai numerik dari setiap huruf Arab dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 10


Jika kita memperhatikan sistem angka tersebut.
1) Angka-angka itu adalah 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9.
2) Maka kita perlu mengulang angka-angka itu lagi untuk menjadi 10
(puluhan), 100 (ratusan), 1000 (ribuan).
3) Misalnya, untuk membuat angka 10, kita memilih 1 dan 0 dari
deretan digit tunggal (0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9).
4) Sehingga, angka 9 adalah angka digit tunggal terakhir.
5) Sistem per-angka-an normal adalah tak terbatas. Kita seringkali
menyebut angka ratusan, ribuan, jutaan, milyaran, dan seterusnya.
Namun tidak terdapat “satu angka besar ” yang dapat disebut
sebagai angka terakhir yang setelah itu tidak ada lagi angka lain.
6) Dari sinilah angka 9 digunakan sebagai digit terakhir, tanpa
ulangan.
Sebagai contoh perkataan penyair:
‫سليم توىل امللك بعد سليمان‬
ٌ ‫ودولة ملك قلت فيها مؤرخا‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 11


Kita dapati bahwa penyair memberi tanggal dengan huruf, tahun
masa pemerintahannya (salim pertama), yaitu tahun 974 hijriah. Juga
perkataan penyair memberi tanggal kelahiran anak temannya:
‫نصٌر ِمن للاِ وفت ٌح ق ِريب‬ ‫تقول ِف ات ِر ِي ِه قد بدأ‬
Maka ungkapan (‫ )نصر من للا وفتح قريب‬adalah tahun 1413 H, yaitu
tanggal kelahiran anak itu. Dan yang perlu diperhatikan bahwa huruf yang
ganda hanya dihitung satu huruf, sedangkan alif maqshurah (‫ )ى‬dihitung
sebagai huruf Ya’. Adapun hamzah yang terpisah maka tidak memiliki
nilai.
Adapun dilihat dari aspek jumlah huruf, terjadi dua pendapat,
bahwa:
1. Jumlah huruf hijaiyyah dalam Al-Qur’an sebanyak 29 huruf selain
Lam Alif (‫ )ال‬karena huruf ini terdiri dari dua huruf yaitu Lam (‫)ل‬
dan Alif (‫)ا‬
2. Sedangkan menurut ahli bahasa jumlah huruf ada 28, yaitu tanpa
penambahan Alif (‫)ا‬.
A. Bentuk-bentuk Huruf Hijaiyyah
Berikut ini adalah bentuk-bentuk huruf hijaiyyah saat ditulis di
awal kata, pertengahan, atau akhir sebuah kata. Perhatikanlah! Sebagian
huruf dalam penulisannya tidak bersambung dengan huruf setelahnya.

Akhir kata Pertengahan kata Awal kata Huruf


‫ــا‬ ‫ا‬ Alif*
‫ــب‬ ‫ـب ـ ـ‬ ‫بـ ـ‬ Ba
‫ـ ــت‬ ‫ـ ـت ـ ـ‬ ‫تــ‬ Ta
‫ـ ــث‬ ‫ـ ـث ـ ـ‬ ‫ثــ‬ Tsa
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 12
‫ـ ــج‬ ‫ـ ـج ـ ـ‬ ‫جــ‬ ‫‪Jim‬‬
‫ـ ــح‬ ‫ـ ـح ـ ـ‬ ‫حــ‬ ‫‪Ha‬‬
‫ـ ــخ‬ ‫ـ ـخ ـ ـ‬ ‫خــ‬ ‫‪Kha‬‬
‫ـ ــد‬ ‫د‬ ‫*‪Dal‬‬
‫ـ ــذ‬ ‫ذ‬ ‫*‪Dzal‬‬
‫ـ ــر‬ ‫ر‬ ‫*‪Ra‬‬
‫ـ ــز‬ ‫ز‬ ‫*‪Zai‬‬
‫ـ ــس‬ ‫ـ ـس ـ ـ‬ ‫ســ‬ ‫‪Sin‬‬
‫ـ ــش‬ ‫ـ ـش ـ ـ‬ ‫شــ‬ ‫‪Syin‬‬
‫ـ ــص‬ ‫ـ ـص ـ ـ‬ ‫صــ‬ ‫‪Shad‬‬
‫ـ ــض‬ ‫ـ ـض ـ ـ‬ ‫ضــ‬ ‫‪Dhad‬‬
‫ـ ــط‬ ‫ـ ـط ـ ـ‬ ‫طــ‬ ‫’‪Tha‬‬
‫ـ ــظ‬ ‫ـ ـظ ـ ـ‬ ‫ظــ‬ ‫’‪Zha‬‬
‫ـ ــع‬ ‫ـ ـع ـ ـ‬ ‫عــ‬ ‫‪‘Ain‬‬
‫ـ ــغ‬ ‫ـ ـغ ـ ـ‬ ‫غــ‬ ‫‪Ghain‬‬
‫ـ ــف‬ ‫ـ ـف ـ ـ‬ ‫فــ‬ ‫’‪Fa‬‬
‫ـ ــق‬ ‫ـ ـق ـ ـ‬ ‫قــ‬ ‫‪Qaf‬‬
‫ـ ــك‬ ‫ـ ـك ـ ـ‬ ‫كــ‬ ‫‪Kaf‬‬
‫ـ ــل‬ ‫ـ ـل ـ ـ‬ ‫لــ‬ ‫‪Lam‬‬
‫ــم‬ ‫ـم ـ ـ‬ ‫مـ ـ‬ ‫‪Mim‬‬
‫ـ ــن‬ ‫ـ ـن ـ ـ‬ ‫نــ‬ ‫‪Nun‬‬
‫ـ ــو‬ ‫و‬ ‫*‪Waw‬‬
‫ـ ــه‬ ‫ـ ـه ـ ـ‬ ‫هــ‬ ‫’‪Ha‬‬
‫ــأ ‪ ،‬ــإ ‪ ،‬ــئ ‪ ،‬ــؤ ‪،‬‬
‫أ‪،‬إ‬ ‫*‪Hamzah‬‬
‫ء‬
‫‪Qawaid al-Imla’ wa al-Khat‬‬ ‫‪13‬‬
‫ــي‬ ‫ـي ـ ـ‬ ‫يـ‬ Ya’
Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa ada huruf yang bisa
disambung dengan huruf lain sesudahnya, adapula yang tidak. Adapun
huruf-huruf yang tidak bersambung dengan huruf setelahnya sebanyak
tujuh huruf, yakni: (‫ز‬ ، ‫ ر‬، ‫ ذ‬، ‫ د‬، ‫ و‬، ‫ ء‬، ‫)ا‬ ketujuh huruf ini disebut
dengan huruf infishal (dipisah) lawan dari huruf ittishal (disambung).
B.Tanda Baca/Syakal (‫ك ل‬ َّ )
ْ ‫الش‬
Pada hakekatnya semua huruf Arab adalah konsonan, termasuk alif,
wawu dan ya (sering disebut huruf illat), akan tetapi huruf-huruf ini tidak
akan berbunyi kecuali diberi tanda baca. Tanda-tanda itu adalah fathah,
kasrah, dhummah, tanwin, sukun, dan tasydid. Tanda baca fathah, kasrah,
dan dhumah sering juga disebut sebagai harakat (tanda baca vokal).
1. Fathah ( _َ )
Fathah ditulis di atas huruf ( َ_ ) dan menandakan bunyi “a”. Fathah
secara bahasa berarti “membuka”, hal ini karena posisi syakal fathah dari
segi bentuknya terbuka, pendapat lain mengatakan bahwa fathah, secara
istilah, terbukanya mulut seseorang saat mengucapkan fonem (a). Ketika
suatu huruf diberi harakat fathah, maka huruf tersebut akan berbunyi (-a),
contonya huruf lam (‫ ) ل‬diberi harakat fathah menjadi “la” (َ‫) ل‬. Cara
melafazkannya ujung lidah menempel pada dinding mulut. Adapun bila
menggunakan keyboard Arab, syakal fathah dimunculkan dengan cara
menekan huruf shift + Q.
2. Kasrah (َ_َِِِ ِ_)
Kasrah ditulis di bawah huruf (‫ )ــــٍـ‬dan menandakan bunyi “i”.
Secara bahasa berarti “rusak,patah atau rusak”, Adapula yang memaknai
secara harfiah, kasrah bermakna “melanggar”. secara istilah, dinamakan
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 14
kasrah karena posisinya terletak di bawah huruf, namun demkian bila
menggunakan keyboard Arab kasrah terkadang berada di atas bila
ِ ), bila
bersamaan dengan penggunaan syakal tasydid, Contoh : (‫رب‬
menemukan demikian, maka tetap dibaca kasrah (i), karena syakal kasrah
berada di bawah tasydid. Adapun pada keyboard Arab untuk memunculkan
syakal ini dengan cara menekan Shift + S secara bersamaan.
3. Dhummah ( َ _ )
Dhummah ditulis di atas huruf ( _ ) dan menandakan bunyi “u”.
Secara harfiah bermakna “bergumul atau berkumpul/himpun” artinya
ketika seseorang mengucapkan dengan syakal dhummah, posisi makharijul
huruf dalam keadaan bergumul dan bibir sedikit monyong.
4. Tanwin )_ٌَ_ًَ_)
Tanwin adalah bunyi nun sukun (“n”) pada akhir kata. Dalam
istilah lain tanwin disebut dengan “diakritik”, adalah harakat pada tulisan
Arab untuk menyatakan bahwa huruf pada akhir kata tersebut diucapkan
layaknya bertemu dengan huruf nun mati. Tanwin ini ada tiga macam
sebagaimana harakat di atas. Yaitu fathah tanwin (ً_), kasrah tanwin (ٍ_),
dan dhummah tanwin (ٌ_ ). Contoh (‫تاب‬ِ ‫)كِتابن‬.
ٌ ‫=ك‬
5. Sukun ( ‫) ه‬
Sukun ( ‫ )ه‬adalah tanda mati yang ditulis di atas huruf yang
dimatikan. Secara bahasa sukun berarti “Diam”, hal ini karena ketika
seseorang membaca suara yang dihasilkan tidak memunculkn fokal tertentu
yang lebih jelas.
6. Tasydid ( _َ )
Tasydid adalah tanda huruf rangkap yang ditulis di atas huruf yang
dirangkap atau dobel. Secara bahasa tasydid berarti “menguatkan” hal ini
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 15
karena cara pembacaan ketika bertemu dengan tasydid, hendaknya lebih
dikuatkan sehingga mengeluarkan suara konsonan ganda. Contoh: ‫َّم‬
َ ‫قَد‬
asalnya ‫قَد َد َم‬ qod-da-ma, ‫علَّم‬
َ asalnya ‫َعللَ َم‬
َ ‘al-la-ma
7. Mad (bunyi panjang)
Mad merupakan sebutan untuk menunjukkan suara vokal yang
dibaca panjang. Huruf mad ada tiga yaitu (‫ي‬ ,‫ ا‬,‫و‬ ). Untuk membuat
bunyi panjang, kita tinggal meletakkannya sesudah huruf lain. Dengan
ketentuan:
a. Untuk memanjangkan bunyi “a”, alif diletakkan setelah huruf
yang berharakat fathah )‫(اى‬. Contoh: ‫ب‬
ٌ ‫ ََب‬dibaca baa-bun. Akan
tetapi, khusus untuk huruf alif tanda madnya adalah (~) yang
diletakkan di atasnya. Contoh: ‫اآل َن‬ dibaca al-aa-na, ‫القرآن‬
dibaca al-qur-aa-nu.
b. Untuk memanjangkan bunyi “u”, wawu sukun diletakkan
setelah huruf yang berharakat dhummah )‫(ى و‬, Contoh: ‫ن وٌر‬
dibaca nuu-run
c. Untuk memanjangkan bunyi “i”, ya’ sukun diletakkan setelah
huruf yang berharakat kasrah ( ‫)ىِي‬. Contoh: dibaca ‫‘ َعلِي ٌم‬a-lii-
mun.
8. Diftong
Diftong adalah dua vokal berurutan yang diucapkan dalam satu
kesatuan waktu. Dua deret vokal yang diucapkan dengan serentak itu
menyebabkan terjadinya perubahan pada kualitas bunyinya. Misalnya au
menjadi o, ai menjadi e, oi menjadi oe, Dalam bahasa Arab, biasanya
terjadi pada huruf wawu sukun yang terletak setelah harakat fathah
menandakan diftong “au”, sedangkan huruf ya’ sukun yang terletak setelah
harakat fathah menandakan diftong “ai”. Contoh: ‫كب‬
َ‫ َكو‬, ‫لَو ٌح‬ ‫ت‬
ٌ ‫لَي لَةٌ بَي‬
ٌ
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 16
KAIDAH KE-2
LAM SYAMSIYAH DAN LAM QAMARIYAH

A. Alif Lam Syamsiyah

Alif lam syamsiyah adalah alif lam (‫ )ال‬yang dirangkai dengan


salah satu huruf syamsiyah, yakni 14 huruf dari huruf Hijaiyah. Kata
Syamsiyah secara bahasa berarti “matahari” lawan dari “qamariyah”, hal
ini dinisbatkan kepada tulisan (‫ )الشمس‬yang keberadaan huruf alif dan
lamnya tidak dibaca.
‫ و تكتب وال ت قرأ‬,‫ ِهي ال ِِت تدغم ِِف احلرف الذي بعدها‬:‫الالم الشمسية‬
Dari definisi di atas, menunjukkan bahwa lam syamsiyah adalah
huruf lam yang dilebur dengan huruf sesudahnya, ia ditulis namun tidak
dibaca. Adapun huruf syamsiyah itu adalah: ( ‫تثدذرزسشصض‬
‫)ط ظ ل ن‬.
Cara membaca dan penulisannya akan berbeda, oleh karena itu
harus dikuasai jumlah dan penyebutan huruf syamsiyahnya. Adapun cara
membacanya adalah:
a. Suara lam tidak dibaca dan tidak diberi harakat, tetapi dileburkan
(di-idgham-kan) ke dalam huruf syamsiyah yang ada di
belakangnya. Contoh: ‫ال شَّم ِسيَة‬ tulisannya al-Syamsiyah, tetapi

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 17


dibaca asysyamsiyah: Sebab, huruf lamnya tidak diberi harakat
sehingga lam tidak dibaca.
b. Karena huruf lam dileburkan, maka huruf syamsiyah yang ada di
belakang huruf lam tersebut diberi harakat tasydid ( ‫) ــّـ‬.
‫ ال شَّم ِسيَة‬huruf syamsiyahnya syin dan diberi harakat tasydid: Pada
dasarnya huruf alif yang mengikuti huruf lam tidak berharakat.
Namun, jika di awal kalimat (ibtida’), huruf alif tersebut diberi
harakat atas, tetapi jika di tengah kalimat, huruf alif-nya tidak
ِ‫الر‬
diberi harakat. Contoh: ‫حي ِم‬َّ ‫اَ َّلرْح ِن‬
c. Alif lam pertama, berada di awal maka alif tersebut diberi harakat
atas. Sedangkan alif lam kedua berada di tengah kalimat dan alif-
nya tidak diberi harakat.
B. Alif Lam Qamariyah
Alif lam qamariyah adalah alif lam (‫ )ال‬yang dirangkai dengan salah
satu huruf qamariyah, yang berjumlah 14 huruf dari huruf Hijaiyah.
‫ و هي تكتب و تقرأ‬,‫ هي الِت ال تدغم ِف احلرف الذي بعدها‬:‫الالم القمرية‬
Dari Defenisi di atas, menunjukkan bahwa lam qamariyah adalah
huruf yang dilebur terhadap huruf yang sesudahnya, dia tetap ditulis dan
dibaca. Adapun Huruf qamariyah itu adalah: ( ‫ابجحخعغفكق‬
‫)م و ه ي‬
Cara membaca adalah :
a. Huruf lam diberi harakat sukun, sehingga suara lam jelas (izhar).
‫ اَل َق َم ِريَة‬dibaca alqamariyatu:
b. Huruf qamariyah yang terdapat sesudah huruf alif lam tidak
diberi tanda tasydid ‫اَل َق َم ِريَة‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 18
c. Seperti halnya alif lam syamsiyah, jika di awal kalimat (ibtida’)
huruf alif-nya diberi harakat atas, tetapi jika di tengah kalimat,
ِ ‫اَل حمد ّللِ ر‬
‫ب‬
huruf alif-nya tidak diberi harakat. Contoh:
َ َ
‫ي‬ ِ
َ ‫ال َعالَم‬
d. Bila alif lam pertama, berada di awal maka alif tersebut diberi
harakat atas. Sedangkan alif lam kedua berada di tengah
kalimat dan alif-nya tidak diberi harakat.
Dari penjelasan di atas, maka perbedaan alif lam (‫ )ال‬syamsiyah
dengan alif lam (‫ )ال‬qamariyah, adalah :
1. Lam tidak berharakat # Lam berharakat sukun
2. Lam tidak dibaca # Lam dibaca jelas
3. Lam dileburkan ke dalam huruf syamsiyah yang ada sesudahnya
sehingga huruf syamsiyah tersebut diberi tasydid. Karena lam
berharakat sukun, maka huruf qamariyah yang ada sesudahnya
tidak diberi tasydid.
Contoh Latihan:
‫ وكنت‬،‫ أحب اللغة العربية ألهنا لغة القرآن الكرمي‬،‫أان مسلم إندونيسي‬
‫أن ف بعض‬ َّ ‫ وقد علمت من األصدقاء‬.‫أمتىن أن أتعلم تلك اللغة ألفهم القرآن‬
.‫ وأهنا تقدم ِمنَ ًحا دراسية‬،‫البالد العربية معاهد تعلم اللغة العربية ألبناء املسلمي‬
‫ وبعد أن‬.‫فذهبت إىل إحدى السفارات العربية أطلب اإللتحاق أبحد املعاهد‬
.‫ سافرت وتعلمت‬،‫أكملت اإلجراءات وجاءتين املوافقة على التعلم هناك‬

Perhatikanlah kata yang bergaris bahwa dua dalam teks: (‫)اللغة‬,


(‫)السفارات‬, akan didapati bahwa lam pada kata-kata tersebut tidak
terucapkan, lam ini disebut dengan lam syamsiyyah, karena ia sama
seperti huruf lam yang terdapat pada kata (‫)الشمس‬.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 19
Latihan 1
Tambahkanlah Lam (Syamsiyyah atau Qamariyyah) dengan
menampakkan harakatnya, dan harakat huruf pertama dari kata berikut ini!
، ‫ ظامل‬، ‫ طاحل‬، ‫ مجيل‬، ‫ كرمي‬، ‫ تذكار‬، ‫ جلام‬، ‫ رمل‬، ‫ بركة‬،‫ غريق‬،‫ منرب‬،‫ساعة‬
.‫ علم‬، ‫ شم‬، ‫ سجي‬، ‫ أسري‬، ‫ ثور‬، ‫ يوم‬، ‫ ذروة‬، ‫ حكيم‬، ‫ نور‬، ‫ ثالجة‬، ‫صمد‬
Latihan 2
Letakkan kata-kata yang Lam -nya adalah Lam Syamsiyyah
dalam tabel, serta kata yang Lam -nya adalah Lam Qamariyyah dalam
tabel yang lain!
‫ الطبيعة‬، ‫ العاشر‬، ‫ الضالون‬، ‫ اهلزمية‬، ‫ املعمل‬، ‫ الزميل‬، ‫ اجلزار‬، ‫ اخلمار‬، ‫التجارة‬
. ‫ السجية‬،

Kolom Syamsiyyah Kolom Qamariyyah


‫الالزم‬ - ‫امليدان‬ -

Latihan 3
Tulislah kata berikut ke dalam kolom dan sesuaikan dengan
Kaidah Syamsiyah atau Qamariyyah.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 20


Kata Kolom Syamsiyyah Kolom Qamariyyah
al-Lail
al-Mustayfa>
al-Naum
al-Thabi>b
al-Alam
al-Burdu
al-Ladzi>
al-Taka>tsur
al-Na>s
al-Tsalla>jah
al-Sari>r
al-Dawa>’
al-Ra>hah
al-Ta>m
al-Tafsir
al-Syamsu
al-Bayyinah
al-Zhuluma>t
al-Zaitu>n
al-Rab
al- Humazah
al-Ma>un
al-Wa>jiba>t
al-Dha>li>n

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 21


KAIDAH KE-3
TA’ MAFTUHAH ( ‫ )ت‬DAN TA’ MARBUTHAH (‫)ة‬

A. TA’ MAFTUHAH ( ‫)ت‬


Ta’ Maftuhah adalah ta’ terbuka (‫ )ت‬yang dibaca ‘ta’ dengan
kalimat setelahnya baik ketika bersambung (washal) ataupun ketika berhenti
(waqaf), ta’ ini disebut dengan ta’ asli ( ‫ النبااتت‬- ‫ السكوت‬- ‫)البيت‬, yang
terletak di akhir suatu kata, baik pada kata kerja maupun kata benda.
‫ َاتء األصلِيَّة الِت ف آخر‬: ‫التاء املفتوحة تنتق َاتءً ف الوصل و ف الوقف و هي‬
.‫الكلمة سواء أكانت فِع َال أم امسَا‬
Contoh:
ِ ‫س َذائَِقة المو‬
ٍ ‫ك ُّل نَف‬ ً‫نت تَِقيا‬ َ ‫قَالَت إِِّن أَعوذ َِب َّلرْحَن ِم‬
‫ت‬ َ َ ‫نك إِن ك‬

Kaidah Ta’ Maftuhah biasanya ditulis pada beberapa kategori:


ِ ‫) ِجئت ِجئت ِجئ‬
1. Ta Dhami>r Mutakallim (‫ت‬ َ
2. Ta Ta’nits/ Ta yang menunjukkan perempuan (‫)قالت‬
3. Ta Jamak Muannats Salim (‫)القانتلت الصاحلات‬
4. Ta Asli yang merupakan unsur utama pada sebuah kata ( ‫َبت – ثبت‬
‫ مات‬- ‫)– الت‬
Ta marbuthah adalah Ta yang bentuk tulisannya terikat/melingkat
(‫)ة‬, dibaca seperti ta maftuhah ketika washal (sambung), dan dibaca ha

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 22


ketika waqaf (berhenti). Pada bentuk tulisannya, harus diberi dua titik,
hal ini untuk membedakan dengan ha asli ( ‫)ه‬

B. TA’ MARBUTHAH ( ) ‫ة‬


Ta’ Marbuthah, adalah ta’ yang dibaca seperti ta’ maftuhah, Ta’
ini dibaca Ha> ketika diwaqaf (berhenti), namun jiga diwashal maka tetap
dibaca ta seperti ta maftuhah, dari segi bentuknya ta marbuthah harus
dibubuhi dua titik, hal ini untuk membedakannya dengan huruf ha> asli.
ِ ِ ِ
ً‫ضا أَن تَنط َق َها هاء‬
ً ‫التاء امل ربوطة و ه َي ت نطق َاتءً مثل التَاء املفتوحة و ميكن أي‬
.‫و ت ن ِطق َها َاتءً عند وصلِ ِها ِبِِا بَع َد َها ِعن َد الوقف َعلَ َيها‬
‫س َِبهلَاء األصلىية‬ ِ‫ي فَوقَ َها َكي َال تَلتَب‬ِ َ‫وَال ب َّد ِمن وض ِع الن قطَت‬
َ َ َ
Kaidah Ta’ Marbuthah biasanya ditulis pada beberapa kategori:
1. Nama Perempuan (Muannats Hakiki) (‫)فاطمة‬
ِ )
2. Isim Muannat Maja>zi> (‫اآلخرة‬
َ
3. Isim Muannats Lafdzi, tapi hakikatnya Mudzakkar (‫ْح َزة‬
َ)
4. Jamak Taksir (Jamak tak beraturan) (‫ضاة‬
َ ‫)ق‬
Contoh
Umar Ibnul Khattab

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 23


Pada wacana di atas, perhatikanlah kata yang bergaris bawah satu
dalam teks: (‫ )فتحت‬dan (‫)بيت‬, terdapat huruf ta>’ yang ditulis seperti ini
(‫) ت‬, dan ta’ ini disebut ta’ maftuhah.
Perhatikan pula kata yang bergaris bawah dua dalam teks: (‫)اهلجرة‬
atau (‫)اخلالفة‬, terdapat huruf ta>’ yang ditulis seperti ini (‫)ة ة‬, dan ta’ ini
disebut dengan Ta’ Marbuthah. Kaidah imla> yang kita harus perhatikan
pada contoh wacana di atas, adalah tentang perbedaan, antara penulisan
huruf ta>’ marbu>thah (huruf ta yang bentuknya tertutup) dan ta,’ maftuhah
(huruf ta’ yang bentuknya terbuka). Karena kedua bentuk ta’ ini bila
diimla’ atau dilafalkan berbunyi sama, kecuali ketika mengucapkannya
dengan kaidah waqaf (berhenti), maka ta marbuthah terdengar bunyi ha
seperti kata:
(‫ = )الصالة‬shala>h dan bukan shala>t
(‫ = )الصلوات‬shalawa>t dan bukan shalawa>h
Latihan 1
Sebutkanlah 5 kata yang berakhiran huruf Ta’ Marbuthah dan 5
kata berakhiran huruf Ta’ Maftuhah, dengan memperhatikan kategori.

Ta Maftu>hah Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4

‫ت‬
Ta Maftu>hah Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4

‫ة‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 24
Latihan 2

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 25


KAIDAH KE-4
MENGHAPUS HAMZAH PADA ALIM LAM SYAMSIYYAH ATAU
QAMARIYYAH, JIKA MASUK PADANYA HURUF LAM JAR

Kaidah: Hamzah Washal (sambung) dihapus dari Alif Lam


syamsiyyah atau qamariyyah, jika masuk padanya Lam Jar (‫) ِل‬,
sebagaimana berikut ini:
‫ الطالب = للطالب‬+ ‫ ِل‬، ‫ املعلم = للمعلم‬+ ‫ِل‬
‫ التلميذ = للتالميذ‬+ ‫ ل‬، ‫ األستاذ = لألستاذ‬+ ‫ِل‬
Contoh:
‫يسجد املصلي للخالق ال للمخلوق‬ .1
11 ‫"للذكر مثل حظ األنثيي" النساء‬ .2
‫أعد للا اجلنة للمؤمني‬ .3
26 ‫"واخلبيثون للخبيثات والطيبات للطيبي" النور‬ .4
Latihan 1
Tambahkanlah huruf Lam di awal setiap kata-kata berikut ini:

Kosa Kata Setelah Ditambah huruf Lam


‫الشجرة‬
‫امليدان‬
.‫الكلب‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 26
‫املسجد‬
‫البئر‬
‫املِت َحف‬
‫املِكتَب‬
‫السيارة‬
‫اإلبل‬
‫اهلِرة‬
‫اجلالس‬
‫البستاّن‬
‫املؤذن‬
‫العامل‬

Latihan 2
Buatlah kalimat yang sempurnah dengan menggunakan Lam Jar
yang masuk pada huruf syamsiyah dan qamariyyah
Kalimat Sempurnah Kalimat Sempurnah

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 27


KAIDAH KE-5
KATA-KATA YANG DIAWALI DENGAN HURUF LAM (‫ ) ل‬JIKA
DIDAHULUI OLEH ALIF LAM (‫ )أل‬MA’RIFAH DAN LAM JAR (‫) ل‬

Kaidah: Jika sebuah kata diawali dengan huruf lam , kemudian


dimasukkan padanya (‫ )أل‬ma’rifah, maka kata tersebut menjadi dua Lam ,
yaitu Lam Ta’rif dan Lam Asli. Dua lam ini ditulis bersamaan tanpa
menghapusnya, seperti:
‫ لنب = اللنب‬+ ‫ أل‬، ‫ لغة = اللغة‬+ ‫ال‬
Kemudian jika masuk padanya Lam Jar (‫) ِل‬, maka terkumpul tiga
Lam , yaitu lam jar, Lam ta’rif, dan lam asli.
Untuk menghindari hal ini, dimasukkan (digabungkan) huruf lam
ta’rif ke dalam huruf lam asli, dan digantikan dengan tanda tasydid ( )
yang diletakkan di atas huruf lam kedua (lam asli), dan dihapus Hamzah
Washal nya dari alim dan lam ‫ أل‬sebagaimana pelajaran kita yang telah
berlalu. Contoh:
‫ حلم = لِلح ِم‬+ ‫ أل‬+ ‫ ِل‬/ ‫ لنب = لِلنب‬+ ‫ أل‬+ ‫ِل‬
Misalnya:
‫أال إن هلل ما ف السماوات واألرض‬ .1
‫اجلسم‬ ِ ِ
َ ‫لليمون فوائد كثريةٌ تفيد‬ .2
‫ض ِة الشرطة‬
َ ‫ص طرق للتخلص من قَب‬ ِ ِ‫لِل‬ .3
‫لليل أمل وللنهار عمل‬ .4
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 28
Latihan 1
Berilah tanda () di depan kata yang benar penulisannya, dan beri
tanda (X) di depan kata yang salah kemudian koreksilah.
) ( ‫لِلبِْتوِل‬ ) ( ‫ِاللمبة‬ .1
) ( ‫اللبواب‬ ) ( ‫لِلرجال‬ .2
) ( ‫للمهندس‬ ) ( ‫ِالالبس‬ .3
) ( ‫للمدير‬ ) ( ‫اللغرفة‬ .4
Latihan 2
Tambahkanlah huruf Lam di setiap awal kata dari kata-kata
berikut ini, kemudian buatlah dalam kalimat yang sempurna.
. ‫ الليلة‬، ‫ الالعب‬، ‫ اللسان‬، ‫ اللباس‬، ‫اللئيم‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 29


KAIDAH KE-6
HAMZAH DI AWAL KATA

Hamzah adalah huruf hijaiyah yang tidak mempunyai bentuk


sendiri dalam tulisan Arab seperti halnya huruf-huruf hijaiyah lainnya:
(‫)ب‬, sin (‫)س‬, lam (‫)ل‬, dan lainnya. Karena itu huruf hijaiyah hanya
berjumlah 28 sebab tidak memasukkan Hamzah di dalamnya. Ra’sul ‘ain
atau kepala ‘ain yang biasanya dilambangkan dengan bentuk ‘‫ ’ ء‬bukan
bentuk asli Hamzah. Tanda ini hanya dipergunakan untuk menandai
Hamzah qath’ dan membedakannya dengan Hamzah washal.
Hamzah adalah huruf hijaiyah yang menerima vokal (harakat).
Berbeda dengan alif. Alif tidak menerima harakat dan selamanya
menyandang sukun. Hamzah terletak di awal, di tengah atau di akhir
kalimat. Sedangkan alif hanya berada di tengah dan di akhir kalimat. Alif
hanya mempunyai satu bentuk, yaitu bentuknya sendiri ( ‫) ا‬. Sedangkan
Hamzah karena dia tidak mempunyai bentuk sendiri maka terkadang ditulis
dalam bentuk alif, wawu, atau ya, demikian pula istilah hamzah
mempunyai banyak corak, di antaranya:
a. Hamzah Ashal (asli), adalah Hamzah yang merupakan organ asli
ٍ )
dari sebuah kata, seperti (‫أب‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 30
b. Hamzah istifha>m, adalah hamzah yang terletak di depan yang
digunakan untuk menanyakan sesuatu, seperti: ( ‫أتكون من‬
‫)الفائزين‬
c. Hamzah bukhbir ‘’an nafsihi, adalah hamzah yang bermakna
memberitahukan dirinya sendiri, terletak di awal fi’il mudhari’
yang menunjukan orang pertama (mutakallim), seperti: (‫)أكتب‬
d. Hamzah Nida>’ adalah hamzah yang terletak di depan, yang
digunakan untuk memanggil, seprti (ِ‫للا‬ ‫)اَعبد‬
Huruf Hamzah di awal kata, ditulis di atas alif jika berharakat
fathah, atau dhummah contohnya )‫أكتب‬ -‫ (أحد‬dan ditulis di bawa alif
jika itu berharakat kasrah, contohnya : )‫ إجلس‬- ‫(إمساعيل‬. Hamzah di awal
kata, terbagi kepada dua jenis, yakni 1) Hamzah Washal dan 2) Hamzah
qath’i.
A. Kaidah Hamzah Washal (‫الوص ِل‬ ‫) ََهَزة‬,
Hamzah Washal adalah: Hamzah yang terletak diawal kalimat
(kata-kata) yang dimulai dengan harf sa>kin (huruf yang tidak
berharakat/mati) dengan tujuan agar harf sa>kin tersebut dapat terbaca, dan
sifat Hamzah Washal ini adalah sebagai harf ziya>dah (huruf tambahan).
Contohnya : huruf Hamzah pada kalimat berikut ini : ( – ‫اِستَ غ َفَر – اِستَ غ ِفر‬
‫)اِستِغ َف ٌار‬
Tujuan Hamzah Washal untuk menghindarkan dimulainya
pengucapan kalimah (kata) dengan harf sa>kin (huruf yang tidak berharakat,
atau biasa disebut sebagian orang dengan huruf mati), karena semua
kalimah di dalam bahasa ‘Arab pengucapannya tidak bisa dimulai dengan
harf sa>kin.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 31


Penulisan Hamzah Washal , ditulis dalam bentuk huruf Alif ( ‫ ) ا‬dan
tidak boleh meletakkan tanda Qatha’ (‫ ) ء‬baik di atas maupun di bawah
huruf alif tersebut.
Perhatikan kedua contoh di bawah ini!
- ‫ >—اِستِغ َف ٌار‬benar
- ‫ >—إستِغ َف ٌار‬salah
Cara melafalakan Hamzah Washal dari sisi Nuthq
(pembunyiannya) ada dua macam:
1. Tertulis (dalam bentuk huruf alif) dan berbunyi à ini berlaku jika
Hamzah Washal tidak didahului oleh kalimah lain, contohnya :
‫اِستَ غ َفَر – اِستَ غ ِفر – اِستِغ َف ٌار‬ Dibaca : istaghfara – istaghfir –
istighfa>run.
2. Tertulis (dalam bentuk huruf alif) tapi tidak berbunyi à ini berlaku
jika Hamzah Washal didahului oleh kalimah lain, contohnya:
‫َو استَ غ َفَر – َو استَ غ ِفر – َو استِغ َف ٌار‬
Jadi yang berbunyi disini adalah : harakat kalimah sebelum
Hamzah, yaitu kata : ‫( و‬waw), Sehingga dibaca : wastaghfara –
َ
wastaghfir – wastighfarun, dan tidak dibaca : wa istaghfara – wa
istaghfir – wa istighfa>run.
Tempat-tempat Hamzah Washal berada pada beberapa tempat :
1. Sebagian Isim tertentu, yaitu : – ٌ‫اسم – اب ٌن – اب نَةٌ – امرٌؤ – امَرأَة‬
ِ َ‫ان – اث نَ ت‬
‫ان‬ ِ َ‫اث ن‬. Untuk harakat Hamzah Washal , maka : jika
kalimah-kalimah tersebut tidak didahului oleh kalimah lain, maka
Hamzah Washal berbunyi kasrah.
2. Satu jenis huruf , yaitu : ‫( ال‬Alif Lam Ta’ri>f), contoh: Hamzah pada
kalimah : ‫ال ِكتَاب‬. Untuk harakat Hamzah Washal , maka: jika
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 32
kalimah tersebut tidak didahului oleh kalimah lain, maka Hamzah
ِ ‫ ال‬dibaca : al-Kita>bu.
Washal berbunyi fathah, jadi ‫كتَاب‬
3. Setiap Fi’il berikut:
a) Fi’il Amr : Tsula>tsi> (‫ )اجلِس‬, Khuma>si> ‫) اجتَ ِمع‬, Suda>si> (‫)استَ غ ِفر‬.
b) Fi’il Ma>dhi> : Khuma>si> (‫)اجتَمع‬, Suda>si> (‫ )استَ غ َفر‬.
ََ َ
4. Setiap Isim Mashdar yang yang berasal dari fi’il-fi’il : Khuma>si>
(ٌ‫)اجتِماع‬, Suda>si> (‫ار‬ ِ
َ ٌ ‫ )استغ َف‬.
Catatan : Pada point ke-3 dan ke-4 : Untuk harakat Hamzah
Washal, maka : jika kalimah-kalimah tersebut ini tidak didahului oleh
kalimah lain, maka hamzah washal berbunyi kasrah.
Berikut tabel hamzah washal

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 33


B. Kaidah Hamzah Qatha’(‫ال َقط ِع‬ ‫) ََهَزة‬
Hamzah Qatha’adalah : Hamzah yang terletak diawal kata, tertulis
dan selalu berbunyi (baik jika kalimah yang berHamzah Qatha’tersebut
tidak didahului oleh kalimah lain, maupun jika ia didahului oleh kalimah
lain), contohnya : ٌ ‫أَخَر َج – أَخرِج – إِخَر‬
‫اج‬
Hamzah Qatha’ini merupakan huruf ziyadah (huruf tambahan) jika
ia berada pada fi’il-fi’il berikut ini :
1. Fi’il Madhi Ruba’iy Mazid, contoh : ‫أَخرج‬
ََ
2. Fi’il Amr Ruba’iy Mazid, contoh : ‫أَخرِج‬
3. Mashdar yang berasal dari : Fi’il Madhi Ruba’iy Mazid, contoh :

ٌ ‫إِخَر‬
‫اج‬
Penulisan Hamzah Qatha’, ditulis dengan meletakkan tanda Qatha’
(‫)ء‬. Adapun cara melafalkannya dari sisi Nuthq (pembunyiannya) adalah:
dibunyikan sesuai dengan harakatnya, baik jika: a) Hamzah Qatha’tidak
‫ب‬ ِ ِ َّ ‫إِخراج‬
didahului oleh kalimah lain, contoh :
ٌ ‫الزَكاة َواج‬ َ dibaca: ikhra>juz
zaka>ti wa>jibun, b) ataupun Hamzah Qatha’didahului oleh kalimah lain,
‫ب‬ ِ ِ َّ ‫و إِخراج‬
contoh :
ٌ ‫الزَكاة َواج‬ َ َ dibaca : wa ikhra>juz zaka>ti wa>jibun (tidak
boleh dibaca : wakhra>huz zaka>ti wa>jibun!!!).
Tempat-tempat Hamzah Qatha’berada pada beberapa tempat :
1. Semua isim yang berawalan Hamzah , kecuali : tujuh buah isim
yang berawalan Hamzah Washal , yang telah disinggung pada
pembahasan Hamzah Washal . Contoh isim yang berawalan
Hamzah Qatha’: ‫امة‬ ِ
َ ‫أ َس‬ – ‫َس ٌد‬
َ ‫إن َسا ٌن – أ‬
2. Semua huruf yang berawalan Hamzah, kecuali : huruf ‫ ال‬yang biasa
masuk kesebuah isim, contoh huruf yang berawalan Hamzah
َّ ِ‫إ‬
Qatha’: ‫ن‬ – ‫إِ َىل – أَن‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 34
3. Semua fi’il yang berawalan Hamzah, kecuali : fi’il-fi’il yang pernah
disinggung pada pembahasan tentang Hamzah Washal , yaitu : fi’il-
fi’il amr tsula>tsiy, khuma>siy, suda>siy, dan fi’il-fi’il ma>dhi khuma>siy
dan suda>siy, contoh fi’il yang Ber-hamzah qatha’: ‫أَخرِج‬ – ‫أَخَر َج‬
4. Semua isim mashdar yang berawalan hamzah, yang berasal dari fi’il
ruba>’iy, maka hamzahnya tersebut adalah hamzah qatha’, contoh

ٌ ‫ إِخر‬.
mashdar yang berawalan Hamzah Qatha’: ‫اج‬
َ
Jadi ini berbeda dengan mashdar yang diawali huruf hamzah yang
terdapat pada fi’il khuma>si> seperti ٌ‫اجتِ َماع‬ atau suda>si> seperti ‫استِغ َف ٌار‬,
sebagai mana yang telah disinggung pada pembahasan tentang hamzah
washal .
Dari keterangan dia tas, dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Hamzah Washal berupa Hamzah secara pengucapan dan berupa
Alif secara tulisan. Diucapkan ketika menjadi permulaan saja. dan
gugur ketika berada pada tengah-tengah penuturan kalimat,
sekiranya didahului oleh satu huruf atau satu kalimah.
2. Hamzah washal adalah hamzah za>idah berfungsi sebagai perantara
atau penyambung kepada pengucapan huruf mati atau sukun yang
berada setelahnya. Hamzah washal terdapat pada kalimah fi’il,
kalimah isim maupun kalimah huruf.
3. Hamzah Qatha’berupa hamzah yang selalu diucapkan dengan ber-
harkah fathah, dhummah atau kasrah. Tidak gugur pengucapannya
baik di awal permulaan kalimat atau ditengah-tengah kalimat. Dan
tidak gugur sekalipun berada di antara dua kalimah yang
tersambung. tertulis di atas Alif bilamana berharakat fathah atau
dhummah, dan di bawah alif bilamana berharkah kasrah. Bentuknya
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 35
seperti bentuk kepala Ain (‫)ء‬. Hamzah qatha’terdapat pada selain
kategori kalimat-kalimat yang telah disebutkan diatas sebagai
hamzah washal . baik pada kalimah fi’il, kalimah isim dan kalimah
huruf.
Latihan 1
Tulislah fi’il amar dari kata-kata berikut ini.

Kosa kata Fi’il Amar


Memukul
Mendapat
Mengetahui
Menyiapkan
Membaca
Meminta ampun
Menjauh
Bersungguh-sungguh
Menyebut
Latihan 2
Tentukan kata-kata yang memiliki Hamzah pada redaksi berikut ini:
)‫(أ‬
( ) . ‫ العصر‬2 } ‫ { إن اإلنسان لفي خسر‬: ‫قال تعاىل‬ .1
( ) . ‫أكرم حممد ضيفه‬ .2
( ) . ‫احلياء شعبة من اإلميان‬ .3
( ) . ‫أحسن إىل الفقراء‬ .4
( ) . ‫أعمل واجيب َبنتظام‬ .5
( ) . ‫أكل اجلائع الطعام‬ .6
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 36
‫(ب)‬
‫(‬ ‫)‬ ‫انتصر املسلمون ف معركة بدر ‪.‬‬ ‫‪.1‬‬
‫(‬ ‫)‬ ‫كان انتصارهم تعزيزا لوحدة املسلمي ‪.‬‬ ‫‪.2‬‬
‫(‬ ‫)‬ ‫سر على الرصيف وانتبه حلركة السيارات ‪.‬‬ ‫‪.3‬‬
‫(‬ ‫)‬ ‫استعمل يوسف فرشاة األسنان ‪.‬‬ ‫‪.4‬‬
‫(‬ ‫)‬ ‫ينصح األطباء َبستعمال السواك ‪.‬‬ ‫‪.5‬‬
‫(‬ ‫)‬ ‫استفد من جتارب اآلخرين ‪.‬‬ ‫‪.6‬‬
‫(‬ ‫)‬ ‫اقرأ دروسك واعمل واجباتك أوالً فأوالً ‪.‬‬ ‫‪.7‬‬
‫(‬ ‫يعد امرؤ القيس أول طبقات الشعراء ف العصر اجلاهلي)‬ ‫‪.8‬‬

‫‪Qawaid al-Imla’ wa al-Khat‬‬ ‫‪37‬‬


KAIDAH KE-7
PENULISAN HAMZAH DI TENGAH KATA

Penulisan hamzah di tengah kata, dibagi ke dalam beberapa


bagian, yakni :
1) Hamzah di Atas Nabroh Ya’ ) ‫ئ‬ ,‫)ئ‬
2) Hamzah di Atas Waw (‫)ؤ‬
3) Hamzah Munfaridah (sendirian)
Adapun Hamzah di atas nabroh ya, dapat dilihat dari contoh
berikut:
‫ يتجه املسلمون أبفئدهتم إىل الكعبة املشرفة‬.1
‫ املعاملة احلسنة جتعل ال ِوائم يسود بي األفراد األسرة‬.2
‫ هيئة األمم املتحدة من أكرب اهليئات املتحدة‬.3
Bila diperhatikan ketiga contoh kata yang bergaris bawah di atas,
maka nampak bahwa huruf Hamzah juga terletak di tengah kata yang
berbarengan dengan huruf ya, (bila menggunakan computer aplikasi Arab
kata tersebut terdapat pada posisi huruf Z).
Kaidah: penulisan hamzah tersebut, terjadi pada beberapa hal,
yakni:
1. Kata tersebut berharakat kasrah (‫)أفئِدة‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 38


2. Kata tersebut berharakat fathah atau dhummah, namun sebelum
huruf Hamzah berharakat kasrah (‫)ال ِوائم‬
3. Kata tersebut berbaris kasrah, namun sebelumnya berharakat
sukun (‫)هيئة‬
Adapun Hamzah di Atas waw, dapat dilihat pada contoh berikut:
‫ يؤم الناس ِف الصالة أقرؤهم لكتاب للا‬.1
‫ قل للمؤمني يغضوا من أبصارهم‬.2
‫ إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤوال‬.3
Bila diperhatikan ketiga contoh kata yang bergaris bawah di atas,
maka nampak bahwa huruf Hamzah juga terletak di tengah kata yang
berada di atas huru waw, (bila menggunakan computer aplikasi Arab kata
tersebut terdapat pada posisi huruf C).
Kaidah: Hamzah yang terletak di tengah-tengah kata (‫ )الكلمة‬dan
ditulis di atas huruf waw (‫ )و‬jika:
1. Jika berharakat dhummah dan huruf sebelumnya berharakat
fathah. Misal: ‫أق رؤهم‬
َ
2. Jika berharakat dhummah dan huruf sebelumnya sukun. Misal:
‫َمسؤول‬
3. Jika berharakat sukun dan huruf sebelumnya berharakat
dhummah. Misal: ‫املؤِمنِي‬
4. Jika berharakat fathah dan huruf sebelumnya berharakat
dhummah. Misal: ‫اد‬
ٌ ‫ف َؤ‬
Adapun Hamzah Munfaridah atau berdiri sendiri, dapat dilihat pada
contoh berikut:
‫ عم يتساءلون‬.1
ً‫ أحسن الناس خلقا أكثرهم مروءة‬.2
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 39
‫ رحم للا امرءًا عرف قدر نفسه‬.3
Bila diperhatikan ketiga contoh kata yang bergaris bawah di atas,
maka nampak bahwa huruf Hamzah juga dapat berdiri sendiri, (bila
menggunakan computer aplikasi Arab kata tersebut terdapat pada posisi
huruf X).
Kaidah: Hamzah terletak di tengah-tengah kata dan ditulis sendirian
jika:
1. Jika ia berharakat fathah dan terletak setelah huruf alif sukun.
Misal: ‫ي تَساءلون‬
ََ َ
2. Jika ia berharakat fathah dan terletas setelah huruf wawu
sukum. Misal: ٌ‫مروِءة‬
3. Jika setelahnya alif tanwin-nashob dan huruf sebelumnya bukan
huruf ya’ sukun. Misal: ً‫امرءا‬
َ
Kaidah lain menjelaskan bahwa hamzah di tengah kata memiliki
lima keadaan, yakni:
Keadaan Pertama
Ditulis dalam bentuk alif pada dua tempat, yaitu:
1. Bila disukunkan atau difathahkan (sekalipun dengan tasydid)
setelah harakat fathah (sekalipun ditasydidkan) contoh: ,‫ََيمر‬
‫َمل َجا ٌن‬
2. Bila difathahkan sesudah huruf shahih yang disukunkan, sedang
sesudahnya tidak ada alif tatsniyah atau alif mubdalah
ِ ‫جزأَي‬
(pergantian) dari tanwin, contoh: ‫ن‬ ،ٌ‫َمسأَلَة‬
Keadaan Kedua
Ditulis dalam bentuk wau pada tiga tempat, yaitu:

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 40


1. Apabila hamzah menyandang harakat dhummah sesudah sukun
selain wau atau ya dan sesudah hamzah, tidak ada wau mad
(wau bacaan panjang). Contoh, ‫أَرؤس‬ ,‫س‬
ٌ ٌ ‫أَف ؤ‬
2. Apabila hamzah didhummahkan sesudah harakat fathah selain
yang terletak di antara kedua wau dalam kalimat dan tidak
terletak sebelum wau jamak. Huruf hamzah itu sendiri
mutatharrif di atas alif. Contoh: ‫َميلَؤه‬ ,‫يَرَزؤه‬
3. Apabila huruf yang sebelumnya di-dhummah-kan meskipun
huruf itu bukan wau tasydid. Dengan syarat hendaknya hamzah
itu sendiri tidak di-kasrah-kan, seperti dalam contoh: ،‫لؤل َؤ ِان‬
‫جؤج َؤ ِان‬
Keadaan Ketiga
Hamzah ditulis dalam bentuk ya pada empat tempat berikut:
1. Apabila menyandang huruf kasrah sesudah huruf berharakat
‫س‬ ِ ِ
seperti;
ٌ ‫ بَئي‬,‫َسئ َم‬
2. Apabila hamzah menyandang harakat kasrah dan huruf yang
sebelumnya disukunkan kasrah, contoh; ٌ‫ أَسئِلَة‬،‫صائٌِم‬
َ
3. Apabila hamzah disukunkan sedang huruf yang sebelumnya
menyandang harakat kasrah, seperti dalam contoh; ‫ب ِرئت‬ ,‫ب ِرئت‬
4. Apabila hamzah menyandang harakat selain harakat kasrah,
padahal huruf sebelumnya dikasrahkan seperti dalam contoh;

ٌ‫ ِرئَة‬,ٌ‫َسيِئَة‬
Keadaan Keempat
1. Hamzah ditulis secara terpisah bila: pada empat tempat, yaitu:
2. Menyandang harakat fathah dan terletak sesudah alif.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 41


3. Menyandang harakat fathah atau dhummah dan jatuh sesudah
wau sukun atau sesudah wau yang ditasydiddhummahkan.
4. Terletak sesudah huruf sahih yang disukunkan dan mengandung
harakat fathah juga apabila ia terletak sebelum alif tanwin atau
alif tatsniyah.
5. Menyandang harakat dhummah dan terletak sebelum wau mad.
Keadaan Kelima
Hamzah ditulis di atas nabhah apabila didahului oleh ya sukun,
contoh; ‫جي ئَل‬
َ ،‫يَي ئَس‬

KAIDAH KE-8
PENULISAN HAMZAH DI AKHIR KATA

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 42


Maksud dengan hamzah di akhir kata, biasanya tanpa tanwin
mansub, yakni hamzah yang terletak di akhir kalimat dan tidak berharakat
fathatain (dua fathah, artinya bisa berharakat dhummah dan dhummatain
atau kasrah dan kasratain atau fathah saja.
Hamzah yang terletak di akhir kalimat mempunyai dua keadaan,
yaitu:
1. Huruf sebelumnya disukunkan atau huruf sebelumnya berupa
wau yang ditasydidkan dengan harakat dhummah. Dalam
keadaan seperti ini, hamzah ditulis menyendiri atau terpisah,
contoh ‫جزء‬.
ٌ
2. Apabila huruf sebelumnya menyandang harakat, tetapi bukan
wau yang ditasydid dhummahkan, maka huruf alif penopang
hamzah ditulis dalam bentuk huruf yang sesuai bunyinya dengan
harakat yang sebelumnya, contoh; ‫ إِمرٌؤ‬،‫لؤل ٌؤ‬

Penulisan Hamzah di akhir kata, disebut juga Hamzah


mutatharrifah. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada beberapa contoh
berikut:
‫ قرأ ابن كتاَب انفعا‬.1
‫ وقفت على شاطىء البحر‬.2
‫ الزكاة حتقق التكافؤ بي الناس‬.3
‫ قلبه و لسانه‬:‫ املرء َبصغريه‬.4
‫ جزاء ِبا كسب نكاال‬.5
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 43
Kaidah: Hamzah pada saat di akhir kata, sebagai berikut:
1. Hamzah di akhir kalimat, ditulis diatas Alif (‫ )ا‬jika ia didahului
huruf yang berharakat fathah. Misal: َ‫قَرأ‬
َ
2. Hamzah di akhir kalimat ditulis diatas huruf ya’ jika didahului
ِ ‫َش‬
huruf yang berharakat kasroh. Misal: ‫اطئ‬
3. Hamzah di akhir kalimat ditulis diatas huruf waw jika didahului
huruf yang berharakat dhummah. Misal: ‫التَّكافؤ‬
4. Hamzah di akhir kalimat ditulis sendirian jika didahului huruf yang
berharakat sukun. Misal: ‫شيء‬
َ ,‫ وضوء‬,‫ َجَزاء‬,‫املرء‬
َ
Latihan :
Carilah dalam kamus, masing-masing lima (5) mufradat yang
memiliki Hamzah di atas nabrah ya’, di atas huruf waw, munfaridah dan
Hamzah di akhir kata/mutatharrifah.

KAIDAH KE-9
ALIF TANWIN NASAB

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 44


Alif tanwin nashab, merupakan salah satu kaidah yang terkait
ً
dengan pemberian harakat fathah tain ( ) pada sebuah kata yang
berkedudukan sebagai mansub, sehingga bila ditambahkan alif, maka
disebut dengan alif tanwin nasab, contoh (‫ات‬
ً ‫موقو‬
‫كتاَب‬
ً -‫مذكورا‬
ً ‫ )شيئًا‬namun
demikian di banyak tempat terkadang tidak ditambahkan alif, contoh (‫)جزاء‬
ً
Kaidah: Kata yang tidak ditambahkannya alif tanwin nasab, berlaku
pada beberapa hal:
1. Isim yang berakhiran ta’ marbutha )‫(ة‬, contoh (ً‫شجاعة‬ - ً‫)مكتبة‬
2. Isim yang berakhiran dengan alif maqshura )‫(ى‬, contoh: (‫فت‬ً)
Isim yang berakhiran dengan Hamzah sebelum alif, contoh: ( - ‫ماء‬
3.
ً
ً‫)بناء‬
4. Isim yang berakhiran dengan Hamzah di atas alif, contoh: (ً‫)نبأ‬
Kaidah: Kata yang ditambahkannya alif tanwin nasab, berlaku pada
beberapa hal:
1. Sebagian besar pada Isim, (Selain kata-kata yang telah
disebutkan sebelumnya), contoh (‫رزا‬
ً ,‫)مل ًكا‬
2. Isim yang diakhiri dengan hamzah, yang sebelumnya huruf
sukun, contoh (‫)جزءا‬
ً
Adapun cara penulisan tanwin nasab yang benar adalah harus tepat
pada kata sebelum alif, dan bukan sesudahnya atau di atas alif, karena
tanwin berfungsi sebagai alamat nasab pada pokok kata, bukan pada
alifnya.
Latihan 1
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 45
‫;‪Berilah Syakal/harakat pada kalimat berikut ini‬‬
‫‪ .1‬ضرب اجلندي عدوا‬
‫‪ .2‬حفظ على جزءا واحدا من القرآن‬
‫‪ْ .3‬حل الطالب كراسة‬
‫‪ .4‬رأيت وردة مجبلة ِف احلديقة‬
‫‪ .5‬حنتاج بلدة طيبة و رَب غفورا‬
‫‪Latihan 2‬‬
‫‪Isilah titik-titik kalimat di bawah ini, dengan kosa kata yang sesuai.‬‬

‫‪Kosa Kata‬‬ ‫‪Kalimat‬‬


‫عارفا‬ ‫‪.1‬جاء الطالب يركب‪..............‬‬
‫سيارة‬ ‫‪.2‬رأيت ‪..............‬تطري ِف اهلواء‬
‫جمرما‬ ‫‪.3‬حكم القاصي‪َ...............‬بلسجن‬
‫انرا‬ ‫‪.4‬أعد للا للكافرين ‪...........‬تكون ‪.........‬ألعماهلم‬
‫ذهبا‬ ‫‪.5‬ليس كل من يلمع ذهبا‬
‫جزاء‬ ‫‪.6‬جرب والحظ تكن عارفا‬
‫طيورا‬

‫‪KAIDAH KE-10‬‬
‫‪MEMBUANG ALIF‬‬

‫‪Qawaid al-Imla’ wa al-Khat‬‬ ‫‪46‬‬


Huruf alif dibuang atau dihilangkan dalam sebuah kata, yang
disebabkan oleh beberapa hal. Adapun kaidah tenteng hal ini adalah
sebagai berikut.
Kaidah:
1. Alif dibuang/dihilangkan pada huruf ma istifhamiyah (‫)ما‬
yakni ma yang berfungsi untuk bertanya, apabila masuk
padanya huruf-huruf jar . perhatikan contoh berikut:

CONTOH KAIDAH
‫ِِب تكتب ؟‬ ‫ ما = ِب‬+ ‫ب‬
‫أخي؟‬ ِ ‫فِيم ت‬
ِ ‫فكر اي‬ ‫ ما = فيم‬+ ‫ف‬
‫تكي‬ِ ‫ِمم تش‬ ‫ ما = مم‬+ ‫من‬
‫إِالم تنظر‬ ‫ ما = إالم‬+ ‫إىل‬
ِ ‫عالم‬
‫تسري‬ ‫ ما = عالما‬+ ‫على‬
‫عم يتساءلون‬ ‫ ما = عم‬+ ‫عن‬
‫مل تب ِكي‬ ‫ ما = مل‬+ ‫ل‬
ِ ‫حتام تن‬
‫تظر‬ ‫ ما‬+ ‫حت‬

2. Alif dibuang/dihilangkan pada huruf ha tanbih (‫ )ما‬yakni - ha


yang berfungsi untuk mengingatkan, - setelah adanya isim
isyarah, atau setelah dhamir yang diawali dengan hamzah.
perhatikan contoh berikut:

ASLINYA SETELAH DIBUANG


‫هاذا‬ ‫هذا‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 47
‫هاؤالء‬ ‫هؤالء‬
‫هاكذا‬ ‫هكذا‬
‫ها هنا‬ ‫ههنا‬
‫ها أان ذا‬ ‫هأانذا‬
3. Alif dibuang/dihilangkan pada huruf dza isyarah (‫ )ذا‬yakni -
dza yang berfungsi untuk menunjuk, - jika bersamaan dengan
huruf lam bu’di (lam menunjukkan jauh), seperti pada kata ( -
‫ ذلكن‬- ‫ ذلكم‬-‫)ذلك‬, maka huruf dza pada ini tetap dibaca
mad/panjang, meskipun alif telah dibuang/hilang, akan tetapi
bila huruf lam dibuang/hilang, maka huruf alif tetap
ada/tertulis, seperti (‫ذاكن‬ - ‫ ذاكم‬-‫ ذاك‬- ). Adapun unsur-
unsur kata dzalika, sebagai berikut

‫ذلك‬

‫ك = اخلظاب‬ ‫ل = للبعد‬ ‫ذ= إشارة‬

4. Alif dibuang/dihilangkan pada kata pengecualian (‫لكن‬ - ‫)لكن‬


Latihan 1
Tentukanlah kata yang didalamnya huruf alif dibuang, dan jelaskan
apa penyebabnya.
‫ هذا مدرس اللغة العربية‬.1
‫ مم ختاف و حتزن اي أخي‬.2
‫ ف ذلك الفصل طالبة مجيلة‬.3
‫ هؤالء الطالب يكرمون أساتذهتم‬.4
‫ عم يتقاتلون؟‬.5
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 48
Latihan 2
Isilah kata-kata yang kosong dengan huruf jar yang sesuai
‫ __ما تذهب إىل القرية؟‬.1
‫ __ما تتكلم اي أخي؟‬.2
‫ __ما ختزن ؟‬.3
‫ __ما أتكل؟‬.4
‫ __ما يسري القطار ؟‬.5

KAIDAH KE-11
MENYAMBUNG (WASHAL) SEBAGIAN KATA

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 49


Asal dan hakekat pulisan kata-kata bahasa Arab, adalah
terpisahnya satu kata dengan yang lain, karena setiap kata mengandung
makna yang berbeda dengan lainnya, kecuali pada beberapa keadaan
tertentu, yang mengharuskan penyambungan antara satu kata dengan yang
lainnya.
Kaidah :
1. Penyambungan pada kata ratus (‫)مائة‬, dengan bilangan satuan
ٍ ‫مخس ِم‬
tiga (3) s/d Sembilan (9). Seperti: (‫ائة‬ = ‫ مائة‬+ ‫)مخس‬
Contoh:
‫اشْتيت هذا القلم خبمسمائة روبية‬
‫ولدت سنة ألف وتسعمائة وتسعي ميالدية‬
2. Penyambungan pada kata idzin (‫ )إِ ٍذ‬yang ditanwin, bersama
zharaf (‫ يوم‬,‫ وقت‬,‫عند‬ ِ ,‫) ِحي‬, seperti : (‫ يومئِ ٍذ‬- ‫) ِحينئِ ٍذ‬. Contoh:
‫إذا جاءت الساعة ال ينفع حينئذ توبة اآلمثي و ال بكاء املذنبي‬
‫والوزن يومئِ ٍذ احلق‬
3. Penyambungan pada kata habba (‫ )حب‬dengan huruf isyarah
(‫ )ذا‬seperti : (‫)حبذا‬, hal ini terjadi karena kata habba (‫)حب‬
tidak sempurnah maknanya kecuali disambung dengan huruf
isyarah (‫)ذا‬, contoh:
‫أنت ماهر ِف قراءة القرآن وحبذا أن حتفظه وتتقنه‬
‫مدية غورنتالو مدينة مجيلة وحبذا الرحلة إليها‬
4. Penyambungan pada huruf la Nafiyah (‫)ال‬, pada beberapa
tempat.
a. In Syartiyah (‫إال‬ = ‫ ال‬+ ‫)إِن‬, contoh: (‫ب‬
ِ ‫)إِال تتعلم ترس‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 50


b. Kay La (‫= كيال‬ ‫ ال‬+ ‫)كي‬, contoh: ( ‫إرِجع كيال يغضب عليك‬
‫)والِدك‬, boleh juga ditambah dengan li, contoh: ( ‫إجت ِهد لِكيال‬
‫)ترسب‬.
c. An Nashab (‫ ال = أال‬+ ‫)أن‬, contoh: ( ‫أرجوك أال تتأخر مرًة‬
‫)أخرى‬, boleh juga ditambah dengan li, contoh: ( ‫اجت ِهد لِئال‬
‫)ترسب‬, pada kondisi ini boleh dipisah (‫ )أن ال‬dan (‫)لِئن ال‬.
Latihan 1:
Jadikan dua huruf ini, menjadi satu kata kemudian letakkan pada
kalimat sempurnah :
______________= ‫ ال‬+‫أن‬
______________= ‫ذا‬+‫حب‬
______________= ‫ال‬+‫كي‬
______________= ‫مائة‬+‫تسع‬
______________= ‫ال‬+‫أن‬
Latihan 2:
Isilah yang kosong seperti contoh (‫ثالمثائة‬ = 3..)
______= 5.. ______= 4..
______= 7.. ______= 6..
______= 9.. ______= 8..
KAIDAH KE-12
TANDA-TANDA BACA/TARQIM

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 51


Alamat Tarqim: Simbol dan Istilah
A. Pengertian Alamat al-Tarqim;
Alamat al-Tarqim; adalah tanda-tanda yang diletakkan di tengah-
tengah tulisan dimaksudkan untuk memudahkan untuk memahami teks
bagi seorang pembaca. Serta pengetahuan tentang apa-apa yang penulis
inginkan dari makna-makna dan pikiran-pikiran. Dalam bahasa Arab Tanda
baca, memiliki istilah tersendiri, seperti: koma (‫)فاصلة‬, titik (‫)نقطة‬, titik
dua (‫)نقطتان‬, titik koma, (‫فاصلة‬ ‫)منقوطة‬, dalam kurung, (‫)بي القوسي‬, tanda
Tanya ? (‫)عالمةاإلستفهام‬, tanda seru ! (‫)عالمةالتاثر‬, dll.
Alamat al-Tarqim merupakan salah satu pokok bahasan
keterampilan menulis (mahrat al-kitabah). Mahmud Sulaiman Yaqut
misalnya memasukkan pembahasan ‘alamat al-tarqim dalam karyanya, Fan
al-Kitabah al-Shahihah (Seni menulis yang benar). Dalam bahasa Arab
modern tanda baca Arab mulai diposisikan sangat penting, karena terkait
erat dengan teknik penulisan Arab berbasis media computer.
‘Alamat al-Tarqim )‫الْتقيم‬ ‫(عالمات‬ terdiri dari dua kata; alamat
yang artinya tanda atau mark dan tarqim yang berarti numerasi dan
pungtuasi. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Punctuation
Marks, sedangkan dalam Bahasa Indonesia istilah ini disebut dengan tanda
baca Alamat al-Tarqim didefinisikan sebagai simbol-simbol yang
digunakan oleh penulis dalam tulisannya sebagai tanda memulai,
mengakhiri, menghubungkan satu kalimat dengan lainnya, dan membuat
variasi intonasi sesuai tujuan atau isi kalimat yang ditekankan. Tanda baca

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 52


biasanya diletakan disela-sela kata dalam kalimat atau diakhir kalimat dan
alinea.
Tanda baca dalam bahasa Arab baru digunakan dalam abad modern,
terutama setelah adanya alat-alat tulis dan cetak. Di masa lampau, tanda
baca dalam bahasa Arab tidak dikenal. Bahkan tanda baca yang sekarang
dipakai dalam berbagai karya berbahasa Arab bukanlah ciptaan atau berasal
dari orang/bangsa Arab sendiri.
Orang yang pertama kali meciptakan tanda baca ini adalah
Aristovan, berkebangsaan Yunani, pada abad ke-2 sebelum masehi. Pada
saat itu ia menciptakan tiga tanda baca, yaitu (1) titk [.] yang diletakan
diatas huruf terakhir suatu kata sebagai tanda berakhirnya suatu ide,
kalimat, atau berhenti total; (2) titik [.] di bawah huruf terakhir suatu kata
sebagai tanda bahwa kalimat masih bersambung dengan kalimat berikut-
nya, hal mana pembaca dapat berhenti sejenak untuk mengambil napas; (3)
titik [.] di tengah huruf terakhi suatu kata sebagai tanda berhenti sejenak
tanpa harus mengambil nafas. Dari ketiga tanda inilah kemudian
berkembang menjadi beberapa tanda atau simbol, seperti; koma [,], titik
koma [;], titik dua [:], tanda tanya [?], tanda seru [!] dan sebagainya sesuai
dengan yang kita kenal dewasa ini. Sedangkan orang Arab pertama yang
mengadaptasi tanda baca ke dalam Bahasa Arab adalah Ahmad Zaki Pasya.
Karyanya, al-Tarqim wa ‘Alamatuhu fi al-Lughah al-Arabiyyah, terbit
tahun 1912, merupakan buku berbahasa Arab pertama yang membahas
mengenai tanda baca dalam bahasa Arab.
Dalam khasanah intelektual Arab dan Islam memang dijumpai
gagasan yang menunjukan dasar-dasar tanda baca yang berlaku deasa ini,
seperti penggunaan tanda waqf (berhenti) pada ayat Al-quran yang
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 53
dimaksudkan agar pembaca berhenti saat melihat tanda baca itu.
Pembahasan mengenai hal ini banyak dilakukan oleh ahli qiraat dab bahasa,
namun sejauh ini tidak sampai menghasilkan tanda baca seperti yang ada
sekarang. Jadi tanda baca yang digunakan dalam literatuArab sekarang
merupakan adaptasi dari tanda baca yang digunakan oleh bahasa lain,
seperti inggris dan perancis. Karena itu titik koma, tanda tanya dan
seterusnya tidak dijumpai dalam karya-karya bahasa Arab klasik dan dalam
“kitab kuning” pada umumnya.
Tanda baca dalam bahasa Arab yang digunakan sekarang
adalah sebagai berikut :
B. Penggunaan ‘Alamat al-Tarqim
Menurut Qasim Nabwa, Yaqut, dan al-Syuwairif letak dan konteks
penggunaan masing-masing tanda baca Arab tersebut adalah sebagai
berikut :
No Nama Tanda Baca Simbol
1 Al-Nuqthah al-Waqfah /./
)‫ الوقفة‬,‫)النقطة‬
2 Al-Fashlah al Fa>shilah atau al-Syaulah /,/
)‫(الفصلة أو الفاصلة أو الشولة‬
3 Al-Fashlah/al-Fa>shilah al-Manqu>thah atau al-Qa>thi’ah /;/
) ‫(الفصلة املنقوطة أو القاطعة‬
4 Al-Nuqthatan atau Al-Nuqtatha>n al-Amudiyyata>n /:/
) ‫(النقطتان أوالنقطنت العموديتان‬
Ala>mat al-Istifha>m )‫اإلستفهام‬ ‫(عالمة‬
5 / ‫؟‬/

Al-Syarthah/al-Washlah )‫الوصلة‬ ‫(الشرطة أو‬


6 /-/

Alama>t al-Tasa>w>i )‫التساوي‬ ‫(عالمة‬


7 /=/

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 54


8 Al-Syarthatan atau al-Khatha>n /--/
) ‫(الشرطتان أو اخلطان‬
Alama>t al-Muma>tsalah )‫املماثلة‬ ‫(عالمة‬
9 /“/

10 Alama>t al-Ta’jjub/al-Ta’atsur/al-Infia>l /!/


)‫(عالمة التعجب أو التأثر أو اإلنفعال‬
11 Alamat Ma>ilah atau al-Syarthah al-Ma>ilah ///
)‫(عالمة املائلة أو شرطة مائلة‬
12 Al-Nuqthata>ni al-Ufuqiyyata>n /../
)‫(النقطت ان االفقيتان‬
13 Al-Qausa>n al-Hilala>n atau Nishfa al-Da>irah /()/
) ‫(القوسان أو اهلالالن أو نصفا الدائرة‬
14 Alamat al-Tanshi>sh al-Tadhbi>b atau al-Qausan / “ “/
al-Muzdawija>n
)‫(عالمتا التنصيص أوالتضبيب أو القوسان املزدوجان‬
15 Alamat al-Hadzf atau Tsalatsah Niqath /…/
)‫(عالمة احلذف أوثالث نقط‬
16 Al-Qaus al-Mustaqi>m/al-Ma’qu>f atau Nishfa al- /[]/
Mustathi>l
) ‫(القوس املستقيم املعقوف أونصفا املستطيل‬
17 Al-Qausa>n al-Muzakhrafa>n al-Muzahhara>n atau al- /()/
Qausa>n al-Aziziyya>n
) ‫(القوسان املزخرفان أو املزهران أوالقوسان العزيزاين‬
18 Al-Niqa>th al-Tsala>ts al-Mahshu>rah bi Qausain /(…)/
) ‫(النقاط الثالث احملصورة بقوسي‬
Kaidah: Alamat al-Tarqim, dalam beberapa teori imla, kurang
lebihnya terdir dari delapan belas macam, yakni:
1. al-Nuqthah atau al-waqfah, digunakan atau diletakan pada akhir
alinea atau akhir kalimat sempurna yang tidak terkait dengan

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 55


kalimat berikutnya dari segi I’rab (infleksi atau perubahan bunyi
akhir suatu kata dalam struktur kalimat) dan makna. Contoh adalah:
‫ لن يصلح آخر هذه األمة إال ِبا صلح به أوهل ا‬.‫احللكمة ضالة املؤمن‬
2. al-Fashlah, al-Fashilah atau al-Syaulah, digunakan atau diletakan di
antara:
a. Beberapa kalimat yang berkaitan makna, atau subyek dan
predikatnya pararel, agar masing-masing kalimat dapat
dibedakan dan pembaca dapat mengambil napas sejenak pada
setiap kalimat. Contohnya adalah:
‫ وأجاب عن‬,‫ ودخل االمتحان‬,‫إن الطالب خالد قد شفي من مرضه‬
.‫ وله أمل كبري ف النبحاح‬,‫األسئلة إجابة صحيحة‬
Contoh lainnya adalah :
‫ وذروة سنامه اجلهاد‬,‫ وعموده الصالة‬,‫رأس األمر اإلسالم‬
b. Rincian seuatu dari kata tertentu yang masih global atau umum
seperti :
. ‫ ومكروه‬,‫ ومباح ومندوب‬,‫ وحرام‬,‫اجب‬
ٌ ‫األحكام الشرعية مخسة و‬
c. Kalimat persyaratan (kondisional) dan jawabnya atau antara
qasam (sumpah) dan jawabnya, jika kalimatnya panjang seperti :
.‫ فهو أْحق‬,‫لئن أنكر املرء من غريه ماال ينكره من نفسه‬
d. Beberapa kalimat pendek yang berkonjungsi (al-Jumal al-
Mathu>fah), mekipun setiap kalimat mempunyai tujuan
tersendiri, seperti :
.‫ واألزهار ضاحكة‬,‫ والطيور مغردة‬,‫ والنسيم غليل‬,‫الشمس طالعة‬
e. Setelah yang dipanggil (munada), seperti
!‫ اتق للا حيثما كنت‬,‫ايأْحد‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 56
3. Al-Fashlah/al-Fashilah al-Manquthah atau al-Qathiah, digunakan
atau diletakan :
a. Dua kalimat, dimana kalimat pertama menjadi akibat dari
kalimat kedua.
‫جنح عمر وحصل على أعلى التقديرات; ألنه مل يتهاون ِف حضور‬
.‫احملاضرات‬
b. Dua kalimat dimana kalimat kedua merupakan sebab bagi yang
pertama, seperti:
‫يبذل حممد جهدا كبريا ف عمله; فال غرابة أن حيظي اي عجاب رئيسه‬
c. Beberapa kalimat panjang yang masing-masing terdiri dari
kalimat sempurna, tujuannya adalah agar pembaca dapat
mengambil napas diantara kalimat dan menghindari bias di
antara kalimat itu, contoh:
‫إن الناس ال ينظرون إىل الزمن الذي عمل فيه العمل; وإمنا ينظرون إىل‬
‫مقدار جودته وإتقانه‬
4. Al-Nuqthatan, digunakan atau diletakkan pada:
a. Diantara yang menyatakan dan yang dinyatakan
.‫ الدعاء مخ العبادة‬:‫قال رسول للا صلى للا عليه وسلم‬
b. Ketika ada perincian pengklasifikasian atau pembagian
.‫ و حرف‬,‫ و فعل‬,‫ اسم‬:‫الكلمة ثالثة أقسام‬
c. Untuk menjelaskan bahwa kata-kata sesudah tanda ini
merupakan penjelasan terhadap kata atau kalimat sebelumnya
.‫ وجتدد النشاط‬,‫ وتقاوم األمراض‬,‫ تقوي اجلسم‬,‫للرايضة فوائد كثرية‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 57
5. Alamat al-Istifham, digunakan atau diletakan setelah kalimat
pertanyaan meskipun tidak diawali dengan kata tanya.
‫ما امسك؟ من أنت؟ ماذا تقرأ؟ انتهيت من الكتابة؟ صليت املغرب؟‬
6. Al-Syarthah/al-Washlah, digunakan atau diletakkan:
a. Diantara kata bilangan dan kata bendanya dan yang menunjukan
urutan jika diletakan di awal baris
:‫أنواع اخلرب ف اللغة العر بية ثالثة‬
.‫ الشمس طالعة‬:‫ حنو‬,‫ مفرد‬-‫أوال‬
.‫ وخالد يكتب الرسالة‬,‫ الطالب خلقه حسن‬:‫ حنو‬,‫ مجلة‬-‫اثنيا‬
‫ و العصفور فوق الشجرة‬,‫ الطالبة ف املكتبة‬:‫ حنو‬,‫ شبه مجلة‬-‫اثلثا‬
b. Setelah angka atau subbab tertentu
.‫يتلخص مما سبق أمور تتعلق َبلنية هي ما َييت‬
‫ حقيقتها‬-‫أ‬
‫ حكمها‬-‫ب‬
‫ املقصودهبا‬-‫ج‬
‫ شرطها‬-‫د‬
‫ حملها‬-‫ه‬
‫ صفتها‬-‫و‬
c. Sebagai kata ganti (‫ )قال‬dalam suatu dialog, seperti:
‫ كيف حالك؟‬:‫ وقال له‬,‫التقى هشام بصديقه خالد‬
.‫ خبري واحلمد هلل‬-
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 58
‫ مت عدت منسفرك؟‬-
7. Alamat al-Tasawi, digunakan atau diletakan di antara kata yang
bersinonim
‫جاسر = جوع و بكاء‬
8. Al-Syarthatan, digunakan atau diletakan diantara kalimat sisipan
‫ تعويض الطلبة‬- ‫قررت جلنة االمتحاانت بناء على ما ختوله هلا الالئحة‬
.‫بدرجتي فقط ف مادتي‬
9. Alamat al-Mumatsalah, digunakan untuk mengisaratkan adanya
kesamaan kata dengan kata-kata yang ada pada baris di atasnya.
‫ عرف بشعر الفروسية‬, ,‫ شاعر عباسي‬,‫ أبو فراس احلمداّن‬-
" " " " " " " " " ,‫ املتنيب‬-
10. Alamat al-Ta’jjub/al-Ta’atsur/al-Infi’al, digunakan atau diletakan
setelah kalimat yang mengandung arti seruan, kekaguman,
keheranan, kegelisahan, larangan, peringatan, dan do’a.
! ‫ما أحسن خلق حممدا‬
11. Alamat Mailah/al-syarthah al-mailah digunakan atau diletakan
a. Setelah penulisan gelar, sebutan, jabatan atau kedudukan
seseorang
‫ ابن رواندي‬/.‫د‬.‫أ‬.‫حممد أْحد سليم‬/‫األستاذ الدكتور‬
b. Diantara penyebutan tanggal bulan dan tahun dalam bentuk
angka
78/06/06 ,‫جاكرات‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 59


12. Al-Nuqthatan al-Ufuquyatan, digunakan untuk menunjukan adanya
sejenak baik dalam prosa maupun puisi
‫فقد قررن ا أن خنوض التجرب ة‬..‫وملا كان هذا ممكنا‬
13. Al-Qausan digunakan atau diletakan untuk:
a. Mengapit penulisan angka
‫) يكتب مئة أو مائة‬100( ‫الر قم‬
b. Mengapit huruf yang dipungsikan seperti angka dan berada
ditengah kalimat
‫) من‬41( ‫حكم القاضي على املتهم َبلسجن طبقا للفقرة (ج) من املادة‬
‫القانون‬
c. Memberikan keterangan atau tafsir yang ada ditengah kalimat
.‫اجلبار (بصيغة املبالغة) ه و املتكرب الع ايل‬
d. Mengapit penyebutan tahun lahir/dan atau meninggal
."‫ ه ) صاحب كتاب "طبقات فحول الشعراء‬231 ‫ابن سالم (ت‬
e. Menyebut istilah atau ungkapan lain yang seperti atau sama-
sama dipakai
.‫الفصلة (أو الفصلة أو الشولة) عالمة ترقيم شائعة‬
f. Menyebut sesuatu yang ditekankan
.‫املبتدأ (وهو نكرة هنا) أتخر عن اخلرب شبه اجلملة‬
g. Mengapit perawi
)‫(رواه أبو داود وابن ماحة‬
14. Alamat al-Tanshish al-Tadhbib atau al-Qausan al-Muzdawijan
digunakan atau diletakan
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 60
a. Diantara kutipan langsung seuai dengan teks aslinya tanpa ada
perubahan
‫يرى طه حسي أن "الكثرة املطلقة مما نسميه أدَب جاهليا ليس من اجلاهلية‬
"‫ف شيئ‬
b. Untuk mengapit judul buku atau kata tertentu, seperti:
"‫هذا القول منقول بنصه من كتاب "ف األدب اجلاهلي‬
15. Alamat al-Hadzf atau Tsalats niqath digunakan atau diletakan
untuk:
a. Untuk menunjukan adanya kata atau kalimat yang dibuang dari
teks yang dikutip
‫إخل خارج‬...‫ تلغراف‬,‫ تليفون‬:‫فمنذ زمن غري بعيد كانت كلمات مثل‬
،‫دائرة املستوى الصوايب‬
b. Untuk menyatakan sesuatu yang masih berlanjut terutama di
akhir bait puisi bebas
........‫ف ضوء الفجر األخضر‬
c. Untuk isian kalimat pertanyaan yang perlu dilengkapi atau diisi
.‫ للا املنزل على حممد صلى للا عليه وسلم‬....‫القرآن‬
16. Al-Qaus al-Mustaqim/al-Ma’quf atau Nishfa al-mustathi digunakan
atau diletakan diantar kata atau kalimat yang ditambahkan kepada
teks yang dikutip, seperti:
‫ "هذا جناه أيب علي [مع أن اجلناة كثرون] وما‬:‫قال أبو العالء املعري‬
"‫جنيت على أحد‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 61


17. Al-Qausan al-Muzakhrafan atau al-Qausan al-Aziziyan digunakan
atau diletakan :
a. Diantara nama surat dan ayat Al-Qur’an yang dikutip
.‫ ومل يكن له كفوا أحد‬.‫ مل يلد و مل يولد‬.‫ للا الصمد‬.‫قل هو للا أحد‬
)4-1 :‫(سوره اإلخالص‬
b. Untuk mengapit ayat yang dikutip dan diletakan dalam teks
‫ (إن للا جيب التوابي وحيب‬:‫ فقال‬،‫وقد امتدح للا تعاىل املتطهرين‬
)‫املتطهرين‬
18. Al-Niqath al-Tsalats al-Mahshurah bi Qausain digunakan untuk
menunjukan bahwa ada sebagian kata dalam kalimat yang dikutip
itu dibuang atau hilang (tidak jelas, misalnya dalam karya suntingan
atau tahqiq sebuah manuskrip kuno) dengan alasan bahwa penulis
tidak memandang penting penyebutan bagian yang hilang atau
dihilangkan.
‫ اي زجاجة‬:"‫ وكتب معها‬،‫"وأهدي إليها مرة زجاجة من العطر الثمي‬
‫ وها‬،‫ وكوىن رسالة قليب لديها‬،‫ وتعطري ِبس يديها‬،‫ اذهيب إليها‬،‫العطر‬
)...( ‫أنذا أنثر القبالت على جوانبك‬
Penggunaan 18 tanda tersebut dalam literatur jurnal-jurnal dan
koran-koran berbahasa Arab tampaknya masih terjadi perbedaan diantara
negara Arab atau para pengguna bahasa Arab itu sendiri. Dengan kata lain
pembakuan penggunaan 18 tanda baca tersebut belum mutlak baku dan
masih dijumpai adanya inkosistensi di beberapa koran majalah jurnal atau
buku-buku ilmiah. Namun demikian upaya untuk mensosialisasikan tanda
baca tersebut terutama seiring dengan komputerisasi dalam berbagai
bidang memperoleh momentum yang tepat.
Latihan 1
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 62
Buatlah soal untuk setiap jawaban dari jawaban berikut ini !
kemudian letakkan alamah al-istifham/tanda tanya setelah soal :
‫حممود ِف املسجد‬ ____________________.1
‫نصلى الصبح حي يطلع الفجر‬ ____________________.2
‫جئت من مكة املكرمة‬ ____________________.3
‫سيبدأ اإلمتحان ِف يوم اخلميس القادم‬ ____________________.4
‫ أكلت السمك ثلثه‬,‫نعم‬ ____________________.5
Latihan 2
Rubahlah fi’il madhi ke fi’il amar, kemudian letakkan tanda seru
setelah kata perintah :
_____ ,‫ دخل خالد الفصل‬.1
_____ ,‫ أكل املدير الفواكه‬.2
_____ ‫ سافر الصحفي إىل مصر‬.3
_____ ‫ استيقظ الولد من نومه‬.4
_____ ٍ ‫ ال تقل هلما‬.5
‫أف‬

KAIDAH KE-13
HURUF YANG DIBACA (MANTUQ) ,TIDAK TERTULIS (MAKTUB)

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 63


Dalam kaidah imla’, ada beberapa huruf yang sering dibaca atau
dilafadzkan, namun tidak tertulis. Sebagaimana pada contoh kata berikut.
(‫هذا‬ – ‫)لكن‬, kata lakin huruf lam pada hakekatnya dibaca panjang,
demikian pula pada kata ha, semestinya tulisannya (‫هاذا‬ – ‫)الكن‬, akan
tetapi tidak ditulis demikian, namun tetap dibaca panjang.
Kaidah: Penulisan membaca panjang huruf yang tidak tertulis
terjadi pada beberapa huruf.
1. Huruf waw (‫)و‬, seperti pada kata (‫)داود‬, bukan ditulis (‫)داوود‬,
namun dibaca panjang pada huruf waw (‫)و‬. Kata (‫ )طاوس‬bukan
ditulis (‫)طاووس‬, namun dibaca panjang pada huruf kata waw (‫)و‬.
2. Huruf alif (‫)ا‬, seperti pada kata (‫)لكن‬, bukan ditulis (‫)الكن‬,
namun dibaca panjang pada huruf kata lam (‫)ال‬. Kata (‫)ذلك‬
bukan ditulis (‫)ذالك‬, namun dibaca panjang pada huruf kata dza
(‫)ذ‬. Huruf Alif yang tidak dibaca terdapat pada beberapa hal.
a. Alif pada Lafdzul Jalalah (‫) للا‬
b. Alif pada huruf lam (‫أولئك‬ ,‫)إله‬
c. Alif pada huruf mim (‫ السموات‬,‫)الرْحن‬
d. Alif pada huruf ha (,‫ هرون‬,‫)إسحق‬
e. Alif pada isim isyarah/kata tunjuk ( ‫ هكذا‬,‫ هؤالء‬,‫ هذه‬,‫هذا‬
‫ هأانذا‬,‫)ذلك‬
Latihan 1
Carilah masing-masing lima ayat dalam al-Quran yang didalamnya
terdapat kata yang dibaca, namun tidak ditulis, baik huruf waw maupun
alif.
Latihan 2

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 64


‫‪Carilah kata-kata pada wacara berikut, yang memiliki huruf yang‬‬
‫‪dibaca tetapi tidak ditulis.‬‬
‫تطيع أن أحتدث مع أص ِدقائِي‬ ‫طاّني نفسه ذات يوٍم‪ ,‬هل أس ِ‬ ‫شاب ب ِري ِ‬
‫سأل ٌ‬
‫عين؟ ففكر كثِريا إِىل أن صنع صندوقا ربطه ِخبي ٍط مع صندو ٍق آخر‪,‬‬ ‫و هم بعِي ٌد ِ‬
‫قي ث ذهب إِىل غر ٍفة ق ِري ٍبة ِمن غر ِفة‬‫الصندو ِ‬‫اح ًدا ِمن ُّ‬ ‫وأعطى أحد أص ِدقائِِه و ِ‬
‫اجلديد‪ .‬واآلن تغري الصندوق و اخليط‬ ‫صدي ِق ِه‪ ,‬وحتدث معه‪ ,‬فف ِرح ِهلذا اإلخِْت ِاع ِ‬ ‫ِ‬
‫اب الخِْت ِاع اهلاتِ ِ‬
‫ف‪.‬‬ ‫وبقيت فِكرة الش ِ‬ ‫ِ‬

‫‪KAIDAH KE-14‬‬
‫)‪HURUF YANG TERTULIS (MAKTUB), TIDAK DIBACA (MANTUQ‬‬

‫‪Qawaid al-Imla’ wa al-Khat‬‬ ‫‪65‬‬


Selain kata yang dibaca tetapi tidak tertulis, adapula kata yang
tertulis namun tidak dibaca. Adapun Kaidah tentang hal ini adalah sebagai
berikut:
Kaidah: Huruf yang tidak ditulis tetapi tidak dibaca terjadi pada
huruf alif dan waw.
1. Alif setelah waw jama’ (‫ق ولوا‬ ,‫ لم يقولوا‬,‫)قالوا‬
2. Alif pada dhamir mutakallim, seperti dalam kata : (‫ )أان‬dibaca
(‫ن‬
َ ‫)ا‬.
3. Alif pada kata ratus (‫ )مائة‬yang benar dibaca (‫) ِمئة‬
4. Waw pada kata umar, (‫)عمرو‬. Waw pada kata ini untuk
ٌ
membedakan dengan kata (‫)عمر‬, waw pada kata ini dihilangkan,
jika dalam posisi mansub bertanwin (‫)رأيت عمرا‬
5. Waw pada isim isyarah jamak (‫)أولئِك‬
6. Waw pada kata (‫ أوِيل‬- ‫“ )أولو‬yang memiliki” dibaca (‫ أِيل‬- ‫)ألو‬
7. Waw pada kata (‫ )أوالت‬dibaca (‫)أالت‬

Latihan 1
Carilah masing-masing lima ayat dalam al-Quran yang didalamnya
terdapat kata yang ditulis, namun tidak dibaca, baik huruf waw maupun
alif.

Latihan 2
Letakkanlah kata-kata berikut pada titik-titik di bawah ini.
ِ ‫ا‬.............‫ هن‬.1
................‫خلري يتصدقن على‬
ِ .2
‫العِلم‬........... ‫الذين يشون للا هم‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 66
‫الكتاب ِمن‪.............‬‬
‫‪ .3‬أخذت هذا ِ‬
‫‪ .4‬أيُّها الطُّالب‪...........‬الفصل م ِ‬
‫بكرا وال‪..........‬‬
‫‪ِ .5‬سعر هذا ال ِك ِ‬
‫تاب ‪..........‬ألف روبية‬

‫‪PELAJARAN 15‬‬
‫‪HAMZAH IBNU DAN IBNAH‬‬

‫‪Qawaid al-Imla’ wa al-Khat‬‬ ‫‪67‬‬


Kata ibnu dan Ibnah, merupakan dua kata yang mempunyai
kaidah penulisan tersendiri, adapun kaidah-kaidanya sebagai berikut.
Kaidah: Penulisan Ibnu - Ibnah (‫ابنة‬ - ‫)ابن‬
1. Dihapus Hamzah pada kata ibnu (‫ )ابن‬apabila terdapat diantara
dua isim alam, Contoh : ( ‫أيب سلمى‬ ِ ‫)زهري بن‬, akan tetapi hamzah
pada kata ibnu (‫ )ابن‬tidak dihapus bila tidak didahului oleh isim
alam, seperti (‫)كان ابن عمر صحابيا جليال‬, demikian pula bila
kata ibnu (‫ )ابن‬berkedudukan sebagai khabar pada isim yang
munawwan (bertanwin), seperti (‫)حممد ابن عبد للا رسول‬, atau
berada di awal kata (‫)ابن عباس من أصحاب الرسول‬.
2. Dihapus Hamzah pada kata ibnu (‫ )ابن‬jika didahului oleh huruf
nida (Panggilan), contoh (‫)ايبن املدير! و ايبنة املدير‬
3. Dihapus Hamzah pada kata ibnu (‫ )ابن‬jika didahului oleh
hamzah istifham (huruf hamzah untuk bertanya), contoh ( ‫أبن‬
ِ ‫تاذ‬
‫هذهِ؟‬ ِ ‫تاذ هذا؟ أبنة األس‬
ِ ‫)األس‬

Latihan 1
Berilah tanda silang (X) bila salah, dan () bila Benar
( ) ‫صعد بن حممود على املنرب فخطب‬ .1
) ( ‫خالد ابن الوليد قائد اجليش املؤمني‬ .2
) ( ‫ايبن رواندي ! ساعدّن‬ .3
) ( ‫أابن خالد من الفصل؟‬ .4
) ( ‫جاء ابن أْحد إىل اجلامعة‬ .5
) ( ‫كان بن مسعود صحابيا جليال‬ .6
Latihan 2
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 68
‫بن( ‪Isilah kata-kata yang kosong dengan kata‬‬ ‫! ‪), dengan benar‬ابن ‪-‬‬
‫ل ِقب عمر ‪ .......‬اخلط ِ‬
‫اب َبلفاروق‬ ‫‪.1‬‬
‫حممد‪........‬عب ِد للاِ ‪..........‬عب ِد المطل ِ‬
‫ب‬ ‫‪.2‬‬
‫و‪......‬العمي ِد‬
‫ِ‬ ‫هذا ِ‬
‫صاحِيب‪ ,‬امسه زي ٌد‪ ,‬ه‬ ‫‪.3‬‬
‫‪......‬حممود كان جيلِس معِي ِِف اإلدارةِ أم ِ‬
‫س‬ ‫ٌ‬ ‫‪.4‬‬
‫ِ‬
‫‪.........‬أيب طال ٍ‬
‫ب‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫سيِدان احلسن هو‪.......‬علي‬ ‫‪.5‬‬
‫كان بن مسعود صحابيا جليال‬ ‫‪.6‬‬

‫‪KAIDAH KE-16‬‬
‫‪ZIYADAH, IBDAL DAN HADZFU‬‬

‫)‪A. Ziyadah al-Harf (Penambahan Huruf‬‬

‫‪Qawaid al-Imla’ wa al-Khat‬‬ ‫‪69‬‬


Kata al-Ziyadah (‫ )زايدة‬secara etimologi berakar dari huruf ‫د‬-‫ي‬-‫ز‬
yang berarti tambahan, kelebihan. Secara terminologi, ulama berbeda
pendapat tentang definisi al-Ziyadah yang satu sama lain saling berkaitan,
meskipun ada perbedaan yang signifikan. Perbedaan itu disebabkan tujuan
mereka menggunakan al-Ziyadah. Di antara ulama tersebut adalah:
1) Ulama Nahwu mengatakan bahwa al-Ziyadah adalah lafaz yang
tidak memiliki posisi dalam i’rab. Artinya al-Ziyadah bagi mereka
bukan terletak pada makna, akan tetapi terletak pada lafaz-lafaz
tersebut. Begitupun yang dimaksud oleh ulama tashrif.
2) Ulama Bahasa berpendapat bahwa al-Ziyadah adalah penambahan
huruf atau lafaz yang tidak mempenyai arti dan faedah sama
sekali, hanya sebagai penghias kata.
3) Ulama Tafsir cenderung berpendapat sama dengan ulama nahwu,
terlebih lagi bahwa al-Ziyadah tidak mungkin terjadi dalam al-
Quran jika yang dimaksud al-Ziyadah adalah penambahan huruf
atau lafaz yang tidak berfaiedah atau sia-sia. Hanya ulama tafsir
memperingatkan agar waspada menggunakan istilah al-Ziyadah
karena dapat menimbulkan kesalahpahaman dan kebimbangan
dalam masyarakat awam.
Berdasarkan penjelasan tersebut, yang dimaksud dengan al-Ziyadah
adalah penambahan huruf atau lafaz yang mempunyai tujuan dan faedah
tertentu yang tidak didapatkan ketika lafaz tersebut dibuang. Namun jika
lafaz tersebut dibuang, maka makna dasarnya tidak rusak atau berubah.
Pada bagian ini ziyadah huruf terbagi menjadi 3 permasalahan:
1. Ziyadah Alif
Pada bagian ini akan menghadapi 4 masalah pokok:
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 70
a. Ziyadah alif sesudah waw jama’ contoh:
(‫)والتفسدوا( )فاسعوا( )اعدلوا‬
b. Ziyadah alif sesudah waw jama’ mufrad contoh:
(‫)اشكوابثى( )ماتتلوا( )لن تدعوا‬
c. Ziyadah alif yang tidak terletak sesudah waw jama’ atau waw
mufrad contoh:
(‫مائتي‬ ‫)والوضعوا( )الاذحبنة( )مائة‬
2. Ziyadah Ya’
Pembahasan ini memiliki beberapa karakter:
a. Sebelum ya ziyadah, hamzah yang berharakat kasrah dan tidak
didahului Alif contoh
(‫)افائي()ومالئه()من نباءى‬
b. Sebelum ya ziyadah, hamzah yang berharakat kasrah dan
didahului alif contoh:
(‫)اانءى اليل()وايتاءى ذاىلقرىب()من تل قاءى‬

3. Ziadah Waw
Para ulama perawi rasm usamani empat kalimat berikut ada ziyadah
waw:, contoh: (‫)اوالء( )اولت( )الو ا( )اويل‬
B. Ibdal al-Harf (Penggantian Huruf)
Al–Ibdal )‫ (اإلبدال‬adalah membuang suatu huruf dan menempatkan
huruf lain di tempatnya.
Al-Ibdal itu sama seperti i’lal. Hanya saja dalam i’lal yang menjadi
sasaran adalah huruf illat (huruf berpenyakit), artinya huruf illat yang satu
mengganti tempatnya huruf illat yang lain. Sedangkan dalam Ibdal yang
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 71
menjadi objeknya adalah huruf illat maupun huruf shahih. Artinya
menempatkan huruf shahih di tempat huruf shahih yang lain.
1. Beberapa kaidah Ibdal
a) Kaidah 1
Huruf waw dan ya’ diganti hamzah apabila berada di akhir kata dan
sesudah alif zayidah ( tambahan ).
Contoh:
Arti lafal
Lafal Asal Asalnya asal
fi’il

ٌ‫د َعاء‬ ‫د َع ٌاو‬ ‫ يَدعو‬-‫َد َعا‬


Doa/permohonan

‫بناء‬ ‫بناى‬
ٌ
Bangunan
‫ يَب ِىن‬-‫بَ َىن‬
Begitu pula alif yang berada di akhir dan sesudah alif zaidah juga
diganti hamzah.
Contoh:
Lafal Asal Arti lafal Wazan
‫ْحراء‬ ‫ْحرى‬ Yang
merah
‫سكَرى‬
b) Kaidah 2
Huruf waw dan ya’ diganti hamzah ketika ‘ainnya isim fa’il dan dii’lal
pada fi’ilnya.
Contoh:
Arti
Isim fa’il Asal Fi’ilnya Asal
‫قَائِ ٌل‬ ‫قَا ِوٌل‬ Yang
berkata
‫قَ َال‬ ‫قَ َوَل‬
‫َبئِ ًع‬ ‫ََبيِ ًع‬ Yang
menjual
‫ع‬
َ ‫ََب‬ ‫بَيَ َع‬
c) Kaidah 3

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 72


Huruf mad zaidah yang berada isim shahih akhir dan sebagai huruf
ketiga itu harus diganti hamzah apabila isim tersebut mengikuti wazan
ِ ‫م َف‬. Baik huruf mad tadi berupa alif, waw atau ya’.
‫اعل‬
Contoh:
Huruf mad Mufrad Jamak Arti
Alif ‫قالدة‬ ‫قالئد‬ Kalung

Wawu ‫عجائز‬ ‫عجو‬ Perempuan


yang tua

Ya’ ‫صحائف‬ ‫صحيفة‬ Muka

d) Kaidah 4
ِ ‫م َف‬
‫اعل‬
Apabila alifnya jamak yang mengikuti wazan
َ itu berada di
antara dua huruf illat pada isim shahihul akhir, maka huruf illat yang kedua
diganti hamzah.
Contoh:
Mufrad Jamak Asal Arti
‫اََّوَل‬ ‫اََوائِ َل‬ ‫اََوا ِول‬ Yang
awal,pertama
‫َسيِ ٍد‬ ‫َسيَائِ َد‬ ‫َسيَا ِود‬ Pemimpin,
ketua
ٍ ِ‫نَي‬
‫ف‬ ‫ف‬ ِ ‫نَيَا ِوف‬
َ ‫نَيَائ‬
Anugerah

e) Kaidah 5
Apabila ada waw yang berharakat dhummah dan berada sesudah huruf
yang sukun atau sesudah huruf yang dibaca dhummah pula, maka waw
boleh diganti hamzah dan boleh pula ditetapkan (tidak diganti hamzah ).
Tetapi yang diganti lebih bagus daripada yang tidak.
Contoh:
Mufrad Jamak Tetap Arti
dengan
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 73
Diganti
hamzah
‫دار‬ ‫ادور‬ ‫ادور‬ Rumah

‫حال‬ ‫حوول‬ ‫حوول‬ Yang


menghalang-
halangi
f) Kaidah 6.
Setiap kata yang telah kumpul padanya huruf waw yang di depan,
maka waw yang pertama wajib diganti hamzah sepanjang waw yang kedua
tadi tidak gantian (berasal) dari alifnya ٌ‫اعلَة‬
َ ‫م َف‬. Sama juga waw yang
pertama itu sebagai huruf mad seperti pada nomor 1, atau tidak seperti
contoh nomor 2 di bawah ini:

Arti
Lafal Asal keterangan
‫االوىل‬
َ Yang pertama
‫الوول‬
َ Muanas
dari ‫االوىل‬
َ
‫اال َول‬ Beberapa yang
pertama
‫الوَول‬ Jamak dari ‫االوىل‬
َ

Kaidah 7.
Apabila fa’nya fi’il yang mengikuti wazan ‫ اِف تَ َع َل‬itu berupa waw atau
ya’, maka harus diganti ta’ dan kemudian diidghamkan (masukkan) ke
dalam ta’-nya .
Contoh:
Lafal Asal Arti
‫َّص َل‬
َ ‫إت‬ ‫ص َل‬ َ َ‫إوت‬
Berkelanjutan, telah
sampai
‫َّسَر‬
َ ‫إت‬ ‫إي تَ َسَر‬ Menjadi mudah

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 74


‫إتَّ َقى‬ ‫إوتَ َقى‬ Menjadi orang yang
bertaqwa kepada
Allah
Yang demikian tadi dengan syarat bahwa ya’ tersebut tidak berasal
(gantian) dari hamzah. Kalau ya’ berasal dari hamzah, maka tidak boleh
diganti ta’.
Contoh:
Arti
Lafal Asal
‫إي تَ َمَر‬ ‫إئتَ َمَر‬ Mengikuti
perintah/bermusyawarah
Namun ada juga yang diganti ta’, tetapi sedikit. Contoh:
Lafal Asal Asalnya asal Arti
‫إِت ََّزَر‬ ‫إِي تَ َزَر‬ ‫إِئ تَ َزَر‬ Mengenakan
kain penutup
badan
Yang termasuk ini adalah hadist yang berbunyi:
‫ص ًريا فَليَ تَّ ِزر بِِه‬
ِ َ‫إِ َذا َكا َن (اى الثوب) ق‬ Artinya: “apabila pakaian itu pendek,
maka pakailah dia sebagai tutup badan”.

g) Kaidah 8.
Apabila fa’ fi’il-nya fi’il yang mengikuti wazan ‫ إفتَ َع َل‬itu berupa tsa’
maka ta’-nya wajib diganti tsa’ kemudian diidghamkan.
Contoh:
Lafal Asal Arti
‫َّإاثََر‬ ‫إي ثَاََر‬ Menuntut balas
Apabila fa’nya berupa dal, dzal, atau za’, maka huruf ta’-nya wajib
diganti dal. Contoh:

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 75


Lafal Asal Arti
‫إِ َّد َعى‬ ‫إِدتَ َعى‬ Mengaku
‫إِذ َد َكَر‬ ‫إِذتَ َكَر‬ Mengigat-ingat
‫إِزَد َهى‬ ‫إِزَهتَى‬ Menjadi aombong
Apabila fa’nya berupa shad, dhad, tha’, atau dzha’, maka ta’-nya
wajib diganti tha’.
Contoh:
Lafal Asal Arti
‫إِصطََفى‬ ‫إِص َذ َِف‬ Memilih

‫إِضطَ َج َع‬ ‫إِضتَ َج َع‬ Tidur miring

‫إِطََّرَد‬ ‫إِط ََْتَد‬ Berlaku secara


umum/sampai
Boleh diidghamkan sesudah huruf dal dan tha’ tersebut diganti
dengan huruf yang sejenis dengan huruf sebelumnya sehingga lafal tersebut
menjadi:
‫ إِظَّلَ َم‬, ‫ إِض َج َعى‬, ‫ إِ َّص َفى‬, ‫ إِزَهى‬, ‫إِذَّ َكَر‬

h) Kaidah 9.
Fi’il yang fa’ fi’il-nya berupa : tsa’, dzal, dal, za’, shad, dhad, tha’, atau
dzha’ dari fi’il yang mengikuti wazan ‫ تَ َفعلَ َل‬, ‫ تَ َفعَّ َل‬, ‫اع َل‬
َ ‫ تَ َف‬itu sekiranya
huruf ta’ pada wazan itu kumpul dengan fa’ kalimat tersebut diatas, maka
padanya boleh dilakukan adanya penggantian huruf ta’ dengan huruf yang
bisa sesuai (sejenis) dengan huruf sesudahnya, kemudian huruf pengganti
ta’ tadi diidghamkan ke dalam huruf sesudahnya. Sesudah demikian maka

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 76


sulit dibaca karena huruf pertamanya berupa huruf yang sukun, maka wajib
mendatangkan hamzah washal. Contoh:

lafal Asal Arti


‫إِ َّاثقَ َل‬ ‫تَثَاقَل‬ Mejadi berat
‫إِ َّدثََر‬ ‫تَ َدثََّر‬ Melompati
‫إِذَّ َكَر‬ ‫تَ َذ َّكَر‬ Mengingat-ingat
i) Kaidah 10.
Apabila ada huruf ta’, yang mati sebelum huruf dal, maka huruf ta’
wajib diganti dal dan kemudian diidghamkan ke dalam huruf dal
sesudahnya.
Contoh:
Arti
Lafal Asal Jamak dari
ٍ ‫ِعد‬
‫َّان‬ ‫ِعت َد ِان‬ ‫َعتود‬ Anak
kambing lak-
laki
j) Kaidah 11.
Apabila ada huruf nun mati yang berada sebelum huruf mim atau ba’,
maka huruf nun itu harus diganti mim.

Contoh.
Arti
Lafal Asal
‫إِ َّحمَى‬ ‫إِمنَ َحى‬ Terhapus

‫مسبَل‬ ‫سن بَل‬ Satu tangkai

Hanya saja lafal yang kedua ini digantinya huruf nun dengan mim itu
hanya dalam ucapanya saja sedang dalam tulisanya masih ditulis nun.
k) Kaidah 12.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 77
Huruf waw diganti mim sesudah huruf ha’ yang ada padanya dibuang.
Contoh:
Lafal Asal Arti jamaknya
‫فٍَم‬ ‫فوه‬ Mulut ٍ‫افواه‬
Dan pada saat lafadz tersebut dimudhafkan, maka huruf mim boleh
dikembalikan berupa huruf aslinya yaitu wawu, dan boleh huruf mim
sebagai pengganti waw tadi ditetapkan. Contoh:

Keterangan
Lafal Arti
‫ه َذا ف و َك‬ Ini mulutmu
Mim dikembalikan
berupa wawu
‫ك‬
َ ‫َه َذا فَم‬ inimulutmu
Mim sebagai
pengganti waw
ditetapkan
C. Hadzfu al-Harf (Pembuangan Huruf )
Al-Hadzfu (‫ )احلذف‬secara leksikal bermakna membuang. Secara istilah
al-Hadzfu bermakna, membuang satu huruf atau lebih dengan tujuan
tertentu, kebanyakan tujuan untuk meringkas (‫)التلخيص‬, karena adanya
sedikit persamaan bila kata tersebut diucapkan. Adapun huruf-huruf yang
dibuang antara lain; a) Alif, b) Wawu, c) Nun, dan d) Alif lam )‫(ال‬
1. Membuang Alif
a. Membuang Alif pada kata )‫سم‬
ْ‫أ‬ ,‫ ابْ نَة‬,‫ ( ابْن‬dan ‫ال‬
Contoh:
1)‫اخلَطَّاب‬‫( َرِح َم للا ع َمر بن‬Semoga Allah merahmati Umar bin
َ ‫( َرِح َم للا َمرَميَ ب نَة ِعمَرا‬Semoga Allah merahmati Maryam
Khattab), 2) ‫ن‬
binti Imran), 3) ‫ي‬ ٍ ِ‫( احلَ َسن َو احل َسي اِب نَا َعل‬Hasan dan Husain adalah
putra Ali), 4) ‫ي‬ ٍ ِ‫ي اِب َين َعل‬ ِ ‫( رِحم للا احلَسن و احلس‬Semoga Allah
َ َ ََ َ َ
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 78
merahmati Hasan dan Husei, putra Ali), 5) ‫( َاي ب َن ال ِكَرِام‬Wahai putra
orang yang mulia), 6) ِ‫د للا‬ ِ ‫( اي ب نةَ عب‬Wahai putri Abdullah), 7) ‫أَب نك‬
َ َ َ َ
‫( ه َذا؟‬Apakah itu putramu?), 8) ‫ك هذه؟‬ ِ ِ
َ ‫( أَب نَ ت‬Apakah ini putrimu?), 9)
‫الرِحي ِم‬ َّ ِ‫( بِس ِم للا‬Dengan menyebut nama Allah yang Maha
َّ ‫الرْحَ ِن‬
Pengasih dan Penyayang), 10) ‫َبس ِم للاِ أَستَعِي‬, ِ (Dengan menyebut
nama Allah, aku memohon pertolongan), 11) ‫ي‬ ِِ ِ
َ ‫( اجلَنَّة للمؤمن‬Surga itu
diperuntukkan untuk orang-orang yang beriman), 12) ‫ق‬ ُّ ‫إِنَّه لَل َح‬
(Sesungguhnya itu merupakan kebenaran).
Pada contoh 1 dan 2, alif pada kata )‫ (اِبن‬dan )‫ (أِب نَة‬dibuang karena
terletak diantara dua nama yang mempunyai hubungan ayah dan anak.
Nama sebelum kata )‫ (اِبن‬dan )‫ (أِب نَة‬merupakan anak dari nama sesudah kata
)‫ (اِبن‬dan )‫(أِب نَة‬. Selain itu, kata)‫ (اِبن‬dan )‫(أِب نَة‬, di sini juga berbentuk mufrad
(tunggal). Sedangkan pada contoh 3 dan 4, alif pada kata )‫ (اِب نَا‬dan )‫(اِب َين‬ 1

tidak dibuang karena merupakan bentuk tasniyah (dual) dari kata )‫(اِبن‬.
Pada contoh 5 dan 6, alif pada kata )‫ (اِبن‬dan )‫(أِب نَة‬. dibuang karena
terletak setelah )‫ (اي‬nidak (kata untuk memanggil). Sedangkan pada contoh
7 dan 8, alifnya dibuang karena terletak setelah hamzah )‫ (أ‬istifham (kata
tanya). Pada contoh 9 dan, alif pada kata )‫ (اِسم‬dibuang karena terdapat
dalam basmalah yang sempurna. Sedang pada contoh 10, alif pada kata
)‫ (اِسم‬tidak dibuang.
Pada contoh 11 dan 12, alif pada kata )‫ (اجلنَّة‬dan )‫ (احلق‬dibuang karena
َ َ
terletak setelah lam )‫ (ل‬yang dirangkai dengan kedua kata tersebut.
1. Alif pada kata )‫ (اِبن‬dan )‫(أِب نَة‬. dihilangkan ketika:

1 ِ َ‫ (اِب ن‬dan )‫ان‬


Kata berasal dari kata )‫ان‬ ِ َ‫(اِب نَت‬. Nunnya dibuang karena dimudhafkan
dengan kata setelahnya, yaitu kata ‫َعلِي‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 79
a) Terletak diantara dua nama yang mempunyai hubungan ayah dan
anak. Nama sebelum kata )‫ (اِبن‬dan )‫(أِب نَة‬. merupakan anak dari
nama sesudah kata )‫ (اِبن‬dan )‫(أِب نَة‬.
b) Terletak setelah ya’ Nida’.
c) Terletak setelah hamzah Istifham (kata tanya).
2. Alif pada kata )‫ (اِسم‬dihilangkan ketika terletak pada basmalah yang
sempurna (lengkap). Sedangkan pada selain basmalah yang sempurna
alifnya tidak dibuang.
3. Alif pada )‫ (ال‬dihilangkan ketika terletak setelah lam )‫ (ل‬yang
dirangkai dengannya.
b. Membuang Alif pada )‫ (ما‬Istifham.
Contoh:
1) ‫َع َّم يَتَ َساءَلو َن‬ (Apa yang mereka tanyakan), 2) ‫تَبحث؟‬
َ ‫( فِي َم‬Apa yang
engkau cari?),3) ‫تَض ِرب ِين؟‬ ‫ َع َال َم‬, 4) (Mengapa engkau memukulku?), 5) ,
َ َ‫( ِِبقت‬Atas dasar apa?)
‫ض َام؟‬
Jika kita perhatikan kata-kata bergaris bawah, )‫(م‬
َ pada contoh-contoh
di atas tidak diikuti oleh alif. Padahal )‫(م‬
َ tersebut berasal dari )‫ ( َما‬istifham
(kata tanya).
Pada contoh 1, kata )‫م‬
َّ ‫ ( َع‬berasal dari kata )‫ ( َعن‬dan )‫(ما‬.َ
ِ
Pada contoh 2, kata )‫ (فيم‬berasal dari kata )‫ (فِي‬dan )‫(ما‬.
َ َ
Pada contoh 3, kata )‫عالَ َم‬َ ( berasal dari kata )‫ ( َعلَي‬dan )‫( َما‬.
Pada contoh 4, kata )‫ام‬
َ‫ض‬ َ َ‫ )ِِبقت‬berasal dari kata )‫ب‬ ِ (, )‫ضى‬َ َ‫ (مقت‬dan )‫( َما‬.
Alasan pembuangan pada contoh 1,2 dan 3, karena )‫ (ما‬jatuh setelah
َ
huruf jar. Sedangkan pada contoh 4, karena menjadi mudhaf ilaih dari kata

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 80


)‫ضى‬
َ َ‫(مقت‬. Dengan demikian maka Alif pada )‫ (ما‬istifham dihilangkan ketika َ
didahului oleh huruf Jar2 atau menjadi mudhaf ilaih.
2. Membuang Waw
Contoh :
1) ‫اللَوح‬
َ ‫( َميحو حمَ َّم ٌد‬Muhammad menghapus papan tulis), 2) ‫َمل َميح حمَ َّم ٌد‬
‫( اللَو َح‬Muhammad tidak menghapus papan tulis), 3) ‫ب َعمٌرو إِ َىل‬ َ ‫ذَ َه‬
‫( اجلَ ِام َع ِة‬Amr pergi ke kampus), 4) ‫( لََقيت َعمًرا‬Saya bertemu Amr), 5)
‫ص َام َداود‬ َ (Daud berpuasa)
Kata )‫)َميحو‬, pada contoh 1, merupakan fi’il mudhari’ mu’tal akhir atau
fi’il mudhari’ yang diakhiri oleh huruf illat3 yaitu wawu. Fi’il mudhari’
mu’tal ini jika didahului oleh amil jazm4maka huruf ilatnya harus dibuang,
sebagaimana nampak pada contoh 2, (‫مل َميح‬
َ ).
Pada contoh 3, kata (‫عمرو‬
َ ) berharakat dhummah tanwin dan diakhiri
ٌ
oleh wawu. Sedangkan pada contoh 4, kata (‫عمرا‬
َ ) berharakat fathah tanwin ً
dan diakhiri oleh alif. Kata ini berasal dari kata (‫عمرو‬
َ ), akan tetapi
wawunya dibuang karena berharakat fathah tanwin.
Pada contoh 5, kata )‫ ) َداود‬berasal dari kata (‫) َداوود‬. Akan tetapi waw
yang kedua dibuang untuk meringankan dan menghindari bertemunya dua
huruf yang sama.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa waw harus dibuang ketika:
1. Berada pada akhir fi’il mudhari’ yang majzum.
2. Berada pada akhir kata (‫ ) َع ْمرو‬yang berharakat fathah tanwin.

2
Huruf Jar: ,‫اشى‬
َ ‫َح‬ ,‫ َع َدا‬,َ‫ َخال‬,‫ منذ‬,‫ مذ‬,‫ ِل‬,‫ َك‬,‫ب‬ َّ ‫ ر‬,‫ ِف‬,‫ َعلَى‬,‫ َعن‬,‫ إِ َىل‬,‫ ِمن‬dan huruf
ِ ,‫ب‬
Qasam (sumpah): ‫ت‬ َ ,‫ب‬ِ ,‫و‬
َ
3
Huruf illat ada tiga huruf yaitu: wawu, ya’, dan alif.
َ ‫ أ‬,‫ َّأاي َن‬,‫ أي َن‬,‫ َمه َما‬,‫ َمن‬,‫ َما‬,‫ إِن‬,‫ َم َت‬,‫أَي‬,‫ إِذ َما‬,‫ أَلَ َّما‬,‫ أََمل‬,‫ لَ َّما‬,‫ َمل‬dan lam (‫ )ل‬amr
Amil jazm: ,‫ َكي َف َما‬,‫ َحي ثً َما‬,‫َىن‬
4

dan doa serta la )َ‫ (ال‬nahi dan doa.


Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 81
3. Waw sukun terletak setelah waw yang berharakat dhummah.
3. Membuang Nun.
Contoh:
ِ ‫الن‬
1) ‫َّاس‬ ‫( َع ِجبت ِممَّن يَتَطَ َاولو َن َعلَى‬Saya heran pada orang yang berbuat
jahat terhadap orang lain), 2) ‫َز ِممَّا رأَى ِمن ًهم‬ ِ
َ َّ ‫( اْشَأ‬Ia takut dengan apa
yang ia lihat pada mereka), 3) ‫عما أَشعربِ ِه‬
ََ ‫ت‬ً ‫( َع َّرب‬Saya mengungkapkan
apa yang saya rasakan), 4) ‫من تَبحث؟‬
َ َّ ‫( َع‬Engkau mencari siapa?)
Pada contoh 1. Kata (‫ )ِممَّن‬berasal dari gabungan kata (‫ ) ِمن‬dan (‫)من‬.
َ
Nun pada akhir kata (‫ )من‬dibuang. Sedangkan pada contoh 2, kata (‫)ِممَّا‬
ِ
berasal dari rangkaian kata (‫ ) ِمن‬dan (‫)ما‬, nun pada akhir kata (‫ ) ِمن‬juga
dibuang.
Pada contoh 3, kata (‫عما‬
َ ( berasal dari gabungan kata (‫ ) َعن‬dan (‫( َما‬.
Sedangkan pada contoh 4, kata (‫من‬
َّ ‫ ) َع‬berasal dari gabungan kata (‫ ) َعن‬dan
(‫)من‬. Pada kata (‫عما‬
َ ( dan kata (‫ ) َع َّمن‬ini, nun pada akhir kata (‫ ) َعن‬juga
َ
dibuang. Dari penjelasan di atas, maka huruf Nun pada kata (‫ )من‬dan (‫عن‬
َ) َ
dibuang ketika bertemu atau dirangkai dengan kata (‫ (ما‬dan (‫)من‬.
َ َ
4. Membuang Al (‫) ال‬
Contoh:
1) ‫( أَصغَيت لِلَّح ِن اجلَ ِمي ِل‬Aku mendengar lagu yang indah), 2) ‫لَلَّحن‬
‫( اجلَ ِميل َغ َذاءٌ لِ ُّلرو ِح‬Lagu yang indah adalah santapan bagi jiwa), 3) ‫لَلَّ َذ ِان‬
‫َّان لِلتَّع ِظي ِم‬
ِ ‫( فَع َال احلري مستَ ِحق‬Kedua laki-laki telah berbuat baik itu layak
َ ََ َ
untuk dihormati), 4) ‫ظي ِم‬ ِ ‫( لَلَّواتِى فَعلن اخلري احلري مستَ ِحقَّات لِلتَّع‬Para
َ ََ ََ َ َ َ
perempuan yang telah berbuat baik itu layak untuk dihormati)
Pada contoh-contoh di atas, kata-kata bergaris bawah sebenarnya
berasal dari lam (‫ )ل‬yang dirangkai dengan kata yang didahului oleh (‫(ال‬.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 82


Namun, (‫ (ال‬pada contoh-contoh tersebut dihilangkan karena huruf setelah
(‫ (ال‬berupa huruf (‫)ل‬.
ِ ‫ )لِلَّح‬berasal dari (‫ )ل‬dan (‫)لِلَّح ِن‬.
Pada contoh 1, kata (‫ن‬
ِ ‫ )لِلَّح‬berasal dari (‫ )ل‬dan (‫)لِلَّح ِن‬.
pada contoh 2, kata (‫ن‬
ِ ‫ )لَلَّ َذ‬berasal dari (‫ )ل‬dan (‫)اللَّ َذ ِان‬.
Pada contoh 3, kata (‫ان‬
Pada contoh 4, kata (‫ )لَلَّواتِى‬berasal dari (‫ )ل‬dan (‫)اللَّواتِى‬.
َ َ
Dari penjelasan di atas, maka huruf (‫ (ال‬dibuang ketika terletak setelah
lam (‫)ل‬, dan huruf setelah (‫ (ال‬juga berupa huruf lam (‫)ل‬. Pembuangan (‫(ال‬
juga berlaku pada isim mausul yang mempunyai dua lam. Antara lain:
ِ َّ‫الال‬
(.‫ئ‬ ِ ‫ اللَّو‬،‫ي‬
،‫ الالَِّيت‬،‫ات‬ ِ َ‫ اللَّت‬،‫)اللَّ َذ ِان‬.
ِ َ‫اللَّت‬،‫ اللَّ َذي ِن‬،‫ان‬
َ

KAIDAH KE-17
IDGHAM DAN I’LAL

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 83


Istilah Idgham sering kita jumpai ketika kita mempelajari ilmu
tajwid, yang bermakna ”memasukkan atau mendengungkan” ketika nun
sukun atau tanwin bertemu dengan salah satu huruf idgham, yang disingkat
dengan (‫)ينمو‬. Namun demikian istilah idgham juga digunakan pada ilmu
imla’ dan sharaf. Maka istilah yang digunakan pada ilmu imla’ dan sharaf
ini yang akan dibahas kaidah-kaidahnya pada bagian ini, termasuk kaidah
i’lal.

A. IDGHAM
Idgham secara bahasa berarti memasukkan, secara istilah berarti
memasukkan satu huruf ke huruf yang lain dan sejenisnya sekiranya dua
huruf tersebut dijadikan satu dengan tasydid. Contoh : ‫ م َّد‬asalnya ( ‫– َم َد َد‬
َ
‫ ) َم َّد – َمد َد‬hukum dua huruf yang diidgham tersebut yang awal sukun,
yang kedua berkharakat tanpa ada penulisan di antara keduanya.
Idgham dibagi menjadi dua macam :
1. Idgham shagir adalah apabila huruf awal dari huruf dua yang
semisal pada idgham tersebut adalah sukun asli
2. Idgham kabir adalah apabila ada dua huruf yang berharakat, maka
disukun huruf yang awal dengan menabung harakatnya atau
memindah ke huruf sebelumnya
Kaidah idgham dilihat dari keadaan atau hukumnya ada tiga :
1) Wajib idgham
a) Pada dua huruf yang sejenis yang dalam satu kalimat baik itu
keduanya berkharakat atau huruf yang awal dan yang kedua
berkharakat. Contoh : ‫ م َّر‬asalnya ‫مرر‬
َ ََ
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 84
b) Jika huruf yang awal dari dua huruf yang semisal itu mati /
sukun, huruf yang awal tersebut diidghamkan pada huruf ke dua
‫ َش ي‬aslinya ‫َشد َد‬
tanpa adanya perubahan. Contoh : ‫د‬
c) Jika huruf yang sebelumnya sukun maka kharakat sukunnya
dipindah ke huruf awal yang sama, contoh : ‫ ي رُّد‬aslinya ‫ي رَدد‬
َ َ
d) Jika ada dua huruf yang sama / semisal yang berdekatan dan
yang awal mati / sukun tidak dalam satu kalimat, contoh : ‫َواكتب‬
‫َِبل َقلَِم‬
2) Boleh idgham
a) Setiap kalimat yang ‘ain dan lam fi’ilnya berupa ya’ semua,
huruf ya’ yang ke dua berkharakat tetap/tidak berubah,
contoh: ‫ حيي‬asalnya‫ي‬
َّ ‫ح‬
َ ََ َ
b) Setiap fi’il madhi yang diawali dengan dua ta’, contoh: ‫تَتَ َجلَى‬
‫إِ َجتَلَى‬
c) Jika terdapat sukun (tidak asli) pada huruf ke dua dari huruf
yang sama jenisnya dan sukun tersebut dikarenakan jazm / ‫شبه‬
‫ اجلزم‬contoh: ‫ َمل َميدد َمل َمي َّد‬, ‫أَمدد م َّد‬

3) Tidak boleh idgham


a) Dalam satu kalimat
b) Tidak dalam permulaan kalimat, contoh : ‫ن‬
ٌ ‫َد َد‬
c) Isim yang mengikuti wazan ‫ف َعل‬, contoh : ٌ‫ ص َّفة‬jamaknya ‫ف‬
ٌ ‫ص َف‬
ٌ
d) Isim yang mengikuti wazan ‫ف عل‬, contoh : ‫ َذلِيل‬jamaknya ‫ذلل‬
ٌ ٌ ٌ
ِ
e) Isim yang mengikuti wazan ‫ف َعل‬, contoh : ٌ‫ كلة‬jamaknya ‫كِلَل‬
َّ ِ
ٌ ٌ
f) Isim yang mengikuti wazan ‫فَ َعل‬,
ٌ
g) Berupa ‫ ملحق‬wazan ‫ َهي لَل‬/ ‫جلبب‬
َ َََ
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 85
h) Huruf awal tidak diidghamkan , contoh : ‫سس‬
َّ ‫ج‬ ٌ
i) Wazan ‫ أَف َع َل‬pada lafadz ta’ajjub, contoh : ‫أَع ِزز َِبلعِل ِم‬
j) Huruf ke dua bukan sukun baru yang disebabkan bertemu dhamir
fa’il.
B. I’LAL
I'lal adalah membuang huruf illat, mengganti huruf illat atau
membaca sukun huruf tersebut. Adapun kaidahnya ada 19 yaitu :
1. Wawu/Ya’ diganti Alif (Ibdal)
ِ ِ ِ ِ ٍِ ٍ ِ
‫ع‬
َ ‫صَو َن َوََب‬ َ ‫إ َذا َحتََّرَكت الَواو َواليَاء بَع َد َفت َحة متَّصلَة ِف َكل َمَتي ِه َما أبدلَتَا آلًفا مثل‬
َ ‫صا َن أَصله‬
.‫أَصله بَيَ َع‬
Apabilah ada Wawu atau Ya’ berharakat, jatuh sesudah harakah
Fathah dalam satu kalimah, maka Wawu atau Ya’ tersebut harus diganti
dengan Alif seperti contoh : ‫ن‬
َ ‫صا‬
َ asalnya ‫صو َن‬
َ , dan ‫ع‬
َ ‫ َب‬asalnya ‫ب يع‬
َ َ َ ََ .
2. Harakat huruf Wau / Ya’ Bina’ Ajwaf, dipindah pada huruf sebelumnya.
‫ص ِحي ًحا نِقلَت‬ ِ ٍ ِ ِ
َ ‫إِ َذا َوَق َعت الَواو َواليَاء َعينًا متَ َح ِرَكةً من أَجَوف َوَكا َن َما َقبلَه َما َساكنًا‬
.‫ يَبِيع أَصله يَبيِع‬,‫ َحنو يَقوم أَصله يَقوم‬,‫إىل َما قَبلَ َها‬
َ ‫َحرَكته َما‬
Apabila wau atau ya’ berharakat berada pada ‘ain fi’il Bina’ Ajwaf
dan huruf sebelumnya terdiri dari huruf Shahih yang mati/sukun, maka
harakat wawu atau ya’ tersebut harus dipindah pada huruf sebelumnya.
Contoh: ‫ ي قوم‬asalnya ‫ ي قوم‬dan ‫ يبِيع‬asalnya ‫ي بيِع‬.
َ َ َ َ
3. Wawu/Ya’ dibelakang Alif Zaidah diganti Hamzah, pada Ain Fi‟il Isim
Fa’il atau akhir Isim Masdar (Ibdal)
‫ف َزائِ َدةٍ أب ِدلَتَا ََهَزًة بِ َشر ِط أَن تَكو َان َعي نًا ِف اس ِم‬ ٍ ِ‫ت الواو والياء ب ع َد آل‬ِ
َ َ َ َ ‫إ َذا َوقَ َع‬
ِ
‫ لَِقاءٌ أَصله‬,‫ َسائٌِر أَصله َسايٌِر‬,‫صا ِو ٌن‬ َ ‫صائ ٌن أَصله‬
ِ ‫ َحنو‬,‫اع ِل وطَرفًا ِف مص َد ٍر‬
َ َ
ِ
َ َ ‫ال َف‬
.‫اي‬ ِ
ٌ ‫ل َق‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 86
Apabila ada wawu atau ya’ jatuh sesudah alif zaidah, maka harus
diganti hamzah, dengan syarat wau atau ya’ tersebut berada pada ‘Ain Fi’il
kalimah bentuk Isim Fail, atau berada pada akhir kalimah bentuk masdar.
Contoh: ‫صائِن‬ ِ ِ ِ
َ asalnya
ٌ َ dan ‫ َسائٌر‬asalnya ‫ َسايٌِر‬dan ٌ‫ ل َقاء‬asalnya ‫اي‬
‫صا ِو ٌن‬ ٌ ‫ل َق‬
4. Wau diganti Ya’ karena berkumpul dalam satu kalimah dan yang
pertama sukun
ِ َ‫لسكو ِن اب ِدل‬ ِ ِ ‫ت الواو والياء ِف َكلِم ٍة و‬
‫ت ال َواو‬ ُّ ‫اح َدةٍ َو َسبَ َقت اح َداَهَا َِب‬ َ َ
ِ
َ َ َ ‫إ َذا اجتَ َم َع‬
ِ
.‫ت َوَمرِم يي أَصله َمرموي‬ ٌ ‫ت أَصله َمي ِو‬
ِِ ِ ِ
ٌ ِ‫َايءً َوادغ َمت اليَاء األوَىل ِف الثَّانيَّة َحنو َمي‬
Apabila wau dan ya’ berkumpul dalam satu kalimah dan salah
satunya didahului dengan sukun, maka wau diganti ya’. Kemudian ya’ yang

ٌ ِ‫ مي‬asalnya ‫ت‬
pertama di-idgham-kan pada ya’ yang kedua. Contoh : ‫ت‬ ٌ ‫ مي ِو‬. َ َ
5. Harakat Dhummah wau atau ya’ di akhir kalimah diganti Sukun
‫ت ال َواو َواليَاء َوَكانَتَا َمضموَمةً اس ِكنَ تَا َحنو يَرِمي أَصله يَرِمي‬
ِ َ‫إ َذا تَطََّرف‬
Apabila Wau atau Ya’ menempati ujung akhir kalimah, dan
berharakah dhummah, maka disukunkan. Contoh: ‫ يَرِمي‬asalnya ‫يَرِمي‬
6. Wau akhir kalimah empat huruf atau lebih, diganti Ya’
.ً‫ف َوَمل يَكن َما قَب لَ َها َمضموًما اب ِدلَت َايء‬
ِ ‫اع ًدا ِِف الطَّر‬
ِ ‫ت الواو رابِعةً فَص‬
ِ
َ َ َ َ ‫إ َذا َوقَ َع‬
.‫ضو‬
َ ‫ضى اَصله يَر‬ َ ‫َحنو يَر‬
Apabila wau menempati ujung akhir kalimah empat huruf atau
lebih, dan sebelum wau tidak ada huruf yang didhummahkan, maka wau
tersebut diganti ya’. Contoh ‫ضى‬
َ ‫ ي ر‬aslinya ‫ضو‬
َ ‫ ير‬. َ َ
7. Wau dibuang setelah Huruf Mudhara’ah diantara Fathah dan Dhummah
‫ َحنو‬.‫ض َار َع ِة حت َذف‬ ِ ِ
َ ‫ي ال َفت َحة َوال َكسَرةِ امل َح َّق َقة َوقَب لَ َها َحرف امل‬
َ َ‫الواو ب‬
ِ ِ
َ ‫اِ َذا َوقَ َعت‬
.‫يَعِد اَصله يَو ِعد‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 87


Apabila wau ada diantara harakat fathah dan kasrah nyata, dan
sebelumnya ada huruf mudhara’ah, maka wau tersebut dibuang.
Contoh: ‫ يعِد‬asalnya ‫عد‬
ِ ‫ي و‬.
َ َ
8. Wau setelah harkah kasrah diganti Ya’
.‫ َخنو َر ِض َى اَصله َر ِض َو‬.ً‫الواو بَع َد َكسَرةٍ ِِف اِس ٍم اَو فِع ٍل اب ِدلَت َايء‬ ِ
َ ‫ِإ َذا َوقَ َعة‬
Bilaa ada Wau terletak setelah harakat Kasrah dalam Kalimah Isim
atau Kalimah Fi’il, maka Wau tersebut harus diganti Ya’.
Contoh: ‫ َر ِض َى‬asalnya ‫ر ِض َو‬.َ
9. Huruf ‘Illat Wau/Ya’ dibuang untuk menolak bertemunya dua huruf
mati
.‫ َخنو صن اَصله اصون‬.‫آخَر ح ِذفَتَا‬ ِ ٍ ِ ِ ِ َّ ‫ِإ َذا لَِقيت الواو والياء‬
َ ‫الساكنَ تَان حبَرف َساك ٍن‬ ََ َ ََ
Bilamana ada Wau atau Ya’ sukun, bertemu dengan husuf sukun
lainnya, maka Wau atau Ya’ tersebut dibuang, Contoh: ‫ صن‬asalnya ‫اصون‬.
10. Dua huruf sejenis/hampir sama makhraj-nya harus diidghamkan
‫اح ٍد اَو متَ َقا ِرََب ِن ِِف ال َمخَرِج يد َغم االََّول ِِف‬
ِ‫سو‬ ِ ِِ ٍ ِ ِ ِ
َ ٍ ‫ا َذا اجتَ َم َع ِف َكل َمة َحرفَان من جن‬
.‫ َحنوَم َّد اَصله َم َد َد‬.‫ي ِمث َل الثَ ِاىن لِثَق ِل امل َكَّرِر‬
ِ َ‫َّاىن بَع َد َجع ِل املتَ َقا ِرب‬
ِ ‫الث‬
Bilamana ada dua huruf sejenis atau hampir sama makhrajnya
berkumpul dalam satu kalimah, maka huruf yang pertama harus
diidghamkan pada huruf yang kedua, ini setelah menjadikan huruf yang
hampir sama makhrajnya serupa dengan huruf yg kedua (lihat kaidah i’lal
ke 18), karena beratnya pengulangan. contoh ‫ م َّد‬asalnya ‫م َد َد‬.
َ َ
11. Dua Hamzah berkumpul, yang kedua diganti huruf yang sesuai dengan
Harakat sebelumnya
ٍ ‫اح َدةٍ َاثنِي ت هما ساكِنَةٌ وجب اِب َدال الثَّانِي ِة ِحبر‬
‫ف‬ ِ ‫اهلمزَات ِن اِذَا التَ َقات ِِف َكلِم ٍة و‬
َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ ََ
.‫ام َن اَصله أَأ َم َن‬ ِ ِ
َ َ‫ ء‬: ‫ َحنو‬.‫ب ا َىل َحَرَكة االوَىل‬ َ ‫َان َس‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 88
Bilamana terdapat dua huruf hamzah berkumpul sejajar dalam satu
kalimah, yang nomor dua sukun, maka huruf hamzah ini harus diganti
dengan huruf yang sesuai dengan harakah hamzah yang pertama.
contoh ‫ ءامن‬asalnya ‫أَأمن‬.
َََ ََ
12. Wau atau ya’ yang sukun, keduanya tidak boleh diganti Alif
‫ي َال ت ب َدَال ِن اَلًِفا اَِال اِذَا َكا َن سكوهن َما َغ َري اَصلِ ٍى َِبَن‬
ِ َ‫الساكِنَ ت‬
َّ َ‫الو َاو َواليَاء‬
َ ‫إ َّن‬
.‫ي‬ ِ ِ
ََ ‫ َحنو اَََب َن اَصله اَب‬،‫نقلَت َحرَكت ه َما ا َىل َما قَب لَه َما‬
Wau atau ya’ yang sukun, keduanya tidak boleh diganti Alif,
kecuali jika sukunnya tidak asli dengan sebab pergantian harakat keduanya
pada huruf sebelumnya (lihat kaidah I’lal ke 2). Contoh: ‫ن‬
َ ‫ اََب‬asalnya ‫ي‬
ََ ‫ اَب‬. َ
13. Wau akhir isim mutamakkin setelah dhummah diganti ya’
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ض ٍم ِِف اس ٍم متَ َمك ٍن ِِف األَص ِل ابدلَت َايءً فَقلبَت‬
‫الض َّمة‬ َ ‫الواو طََرفًا بَع َد‬
َ ‫إذَا َوقَ َعة‬
ِ ‫ َحنو تَع‬،‫َكسرًة ب ع َد تَب ِدي ِل الوا ِو ايء‬
.‫اطيًا اَصله تَ َعاطوا‬
ً َ ًَ َ َ َ
Bilamana ada wau berada di akhir kalimah jatuh sesudah
harakat dhummah didalam asal kalimah Isim yang Mutamakkin (bisa
menerima tanwin), maka wau tersebut diganti ya’, kemudian setelah itu
ِ ‫ تَع‬asalnya ‫تَعاطوا‬.
harakat dhummah diganti kasrah. Contoh: ‫اطيا‬ َ َ ً ً
14. Ya’ sukun setelah dhummah harus diganti wau
‫ت اليَاء َساكِنَةً َوَكا َن َما قَب لَ َها َمضموًما أب ِدلَت َو ًاوا َحنو ي و ِسر َو مو ِسٌر‬ ِ َ‫إِ َذا َكان‬
.‫أَصله َما ي ي ِسر َو مي ِسٌر‬
Apabila ada Ya’ yang mati dan sebelumnya adalah huruf yang
berharakat Dhummah maka huruf Ya’ harus diganti dengan Wawu.
contoh: ‫ي و ِسر‬ ِ ‫ مو‬asalnya ‫ ي ي ِسر‬dan
dan ‫سر‬
ٌ ‫مي ِسٌر‬.
15. Isim Maf’ul dari Fi’il Mu’tal ‘Ain, Wau Maf’ulnya dibuang
‫ب َحذف َوا ِو ال َمفعوِل ِمنه ِعن َد‬ ِ ِ ِ
َ ‫إ َّن اس َم ال َمفعول إ َذا َكا َن من معتَ ِل ال َعي َو َج‬
ِ
‫ِسي بَ َوي ِه َحنو َمصو ٌن َو َم ِسريٌ أَصله َما َمصوو ٌن َو َمسي وٌر‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 89
Sesungguhnya Isim Maf’ul apabila‘Ain Fi’ilnya berupa huruf ‘IIlat
(Bina’ Ajwaf) maka wajib membuang Wawu Maf’ulnya menurut Imam
Syibawaeh (menurut Imam lain yg dibuang adalah Ain Fi’ilnya).

ٌ ‫ مصو‬dan ‫ م ِسري‬asalnya ‫ مصوو ٌن‬dan ‫مسي وٌر‬


contoh: ‫ن‬
َ ٌ َ َ َ
16. Huruf Ta’ pada wazan diganti Tha’
‫ض ًادا أَو طَاءً أَو ظَاءً قلِبَت َاتؤه طَاءً لِتَ َع ُّس ِر النَّط ِق‬ ِ
َ ‫ص ًادا أَو‬َ ‫إِذَا َكا َن ال َفاء اف تَ َع َل‬
‫ف َوإَِّمنَا ت قلَب التَّاء َِبلطَّ ِاء لِقرِهبِ َما ََمَر ًجا َحنو اِصطَلَ َح َو‬ ِ ‫ِهبا ب ع َد ه ِذهِ احلرو‬
َ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ب َو إِطََّرَد َو اظَّ َهَر أص َلها اصتَ لَ َح َو اض ََْت‬
‫ب َو اط ََْتَد َو اظتَ َهَر‬ َ ‫اضطََر‬
Apabila ada Fa’ Fi’il dari wazan ‫ اِف تَ َعل‬berupa huruf
َ
Shod,Dhod,Tho’ dan Dzo’(huruf Ithbaq),maka huruf Ta’ yang jatuh
sesudah huruf Ithbaq tersebut harus diganti Tha’, karena sulitnya
mengucapkan huruf Ta’ yang jatuh setelah huruf Ithbaq. Digantinya Ta’
dengan Tho’ itu karena berdekatanya makhrojnya
Ta’dan Tho’. Contoh : ‫اِصطَلَ َح‬, asalnya ‫اِصتَ لَ َح‬.
17. Huruf Ta‟ pada wazan ‫ ا فْ تَ َع َل‬diganti Dal
ِ‫إِذَا َكا َن فَاء اِف ت عل داالً أو ذَاالً أو زااي قلِبت َاتؤه داالً لِعس ِرالنُّط ِق ِهبا ب ع َد ه ِذه‬
َ َ َ َ َ ًَ َ َ ََ
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
‫ف َو َّإمنَا ت قلَب التَّاء َبلدَّال لقرهب َما ََمَر ًجا َحنو ا َّد َرأَ َو اذ َكَر َو ازَد َجَر أص َلها‬
َّ ِ ‫احلرو‬
.‫اِدتَ َرأَ َو اِذتَ َكَر َو اِزَجتََر‬
Apabila ada Fa’ Fi’il wazan ‫ اِف تَ َعل‬berupa huruf Dal,Dzal dan
َ ِ
Za’,maka huruf Ta’ (Ta’ zaidah wazan ‫ ) اف تَ َعل‬yang jatuh sesudah huruf
َ
Dal,Dzal dan Za’ harus diganti Dal,karena sulitnya mengucapkan Ta’ yang
jatuh setelah huruf Dal,Dzal dan Za’. Digantinya Ta’ dengan Dal’ karena
huruf Dal dan Ta’ berdekatan di dalam makhrajnya. Contoh:
َ‫َّرأ‬
َ ‫ئد‬
ِ , asalnya َ‫ اِدتَرأ‬.
َ
18. Fa’ Fi’il pada wazan ‫ ا فْ تَ َع ل‬diganti Ta’
َ
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 90
‫الساكِ ِن‬
َّ ‫ي‬ ِ َّ‫ف الل‬ِ ‫إِ َذا َكا َن فَاء اِف ت عل واوا أو ايء أو َاثء قلِبت فَاؤه َاتء لِعس ِرالنُّط ِق ِحبر‬
َ ً َ ً ً َ ً َ َ ََ
‫ي َجمهوَرةٌ َوالتَّاء‬ ِ َّ‫ف الل‬ َ ‫َن َحر‬ ِ ‫لِما ب ي نَ هما ِمن م َقارب ِة المخرِج ومنَافَاة الوص‬
َّ ‫فِ أل‬ ِ
َِ َ َ َ ََ َ َ َ
ِ ِ
.‫ص َل َو اي تَ َسَر َو اثَتَ غََر‬ ِ ِ ِ
َ َ‫َّسَر َو اثَغََر أص َلها اوت‬
َِ ‫َّص َل َو ات‬
َ ‫َمهمو َسةٌ َحنو ات‬
Apabila ada kalimat mengikuti wazan ‫ اف تَ َعل‬dan Fa’ Fi’ilnya berupa
َ
huruf wau,Ya’ atau Tsa’, maka huruf Fa’ Fi’ilnya tersebut harus diganti
Ta’, karena sulitnya mengucapkah huruf “Layn” (‫ )لَي‬yang mati yang
bertemu dengan huruf Ta’. Dan diantara keduanya termasuk berdekatan
Makhrojnya dan berbeda sifatnya, karena huruf “layn” (‫و‬ – ‫ )ي‬bersifat
Ta’ bersifat Hams. Contoh: ‫َّصل‬ ِ ِ
Jahr sedangkan huruf
َ َ ‫ ات‬, asalnya ‫ص َل‬
َ َ‫اوت‬
19.َHuruf Ta’ wazan ‫ تَ َفعَّ َل‬dan ‫اع َل‬
َ ‫َتَ َف‬diganti dengan huruf yang berdekatan
makhrajnya
‫اع َل َاتءً أَو َاثءً أو َداالً أو ذَاالَ أَو َز ًااي أو ِسي نًا أَو ِشي نًا أَو‬ َ ‫إذَا َكا َن فَاء تَ َفعَّ َل َوتَ َف‬
‫ت‬ ِ ‫صادا أَو ضادا أَو طَاء أَو ظَاء َجيوز قَلب َاتئِ ِهما ِِبَا ي َقا ِربه ِف المخرِج ثَّ أد ِغم‬
َ َ َ َ ً ً ًَ ًَ
ِ‫ب ََهَزة‬ ِ ِ
ِ َ‫َّاّن للمجانَسة مع اجتال‬ ِ ِ ‫ي مثل الث‬ ِ ِ ِ
ِ َ‫االوَىل ِف الثَّانيَّة بَع َد َجع ِل أ ََّوِاللمتَ َقا ِرب‬
ََ َ َ َ
ِ ِ َّ ‫س واِ َّاثقَل واِ َّدثَّر واِذَّ َّكر واِز‬ ِ ِ َّ ‫الوص ِل لِيم ِكن ا ِالبتِ َداء َِب‬
َ ‫َّجَر َوا َّمسَّ َع َواشَّق‬
‫َّق‬ َ َ َ َ َ َ َّ ‫لساك ِن َحنو ات ََّر‬ َ َ
َّ َّ
‫س َو تَثَاقَ َل َو تَ َدث َر َو تَ َذكَر َو تَ َز َّجَر‬ َّ ِ َّ ِ ِ ِ
َ ‫اهَر أص َلها تَََّْت‬ َ ‫ع َواظ َّهَر َواط‬ َ ‫ضَّر‬
َّ ‫َّق َوا‬
َ ‫صد‬َّ ‫َو ا‬
.‫اهَر‬
َ َ‫ع َو تَظَ َّهَر َو تَط‬ َ ‫ضَّر‬
َ َ‫َّق َو ت‬ َ ‫صد‬َ َ‫َّق َو ت‬َ ‫َو تَ َس َّم َع َو تَ َشق‬
Apabila ada kalimat yang mengikuti Wazan ‫ تَ َفعَّل‬dan ‫اعل‬
َ َ َ ‫ تَ َف‬dan
Fa’ Fi’ilnya berupa huruf ‫ ت‬،‫ ث‬،‫ د‬،‫ ذ‬،‫س ز‬, ‫ش‬, ‫ ص‬,‫ض‬, ‫ط‬, ‫ ظ‬, maka
Ta’ dari kedua wazan tersebut boleh diganti dengan huruf yang mendekati
dalam Makhrojnya (‫ ت‬s/d ‫) ظ‬,kemudian huruf yang pertama diidghomkan
pada huruf yang kedua,demikian ini setelah huruf yang pertama dari kedua
huruf yang berdekatan makhrojnya tersebut dijadikan serupa dengan huruf
yang kedua serta memasang Hamzah Washol untuk mengawali huruf yang
mati. Contoh: ‫اِ َّاثقَ َل‬ asalnya ‫ تَثَاقَل‬.
َ
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 91
KAIDAH KE-I8
EMPAT KARAKTERISTIK ALIF

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 92


Dalam Bahasa Arab Alif, memiliki beberapa karakter, baik ketika
ditulis maupun bentuknya. Diantara karakter huruf alif adalah: Alif
Yabisah, Layyinah, Mamduddah, dan Maqshurah.

A. Alif Yabisah
Alif yabisah adalah alif yang dapat menerima harakat atau syakal,
baik dalam keadaan fathah (a), kasrah (i) dan dhummah (u). Alif pada
kondisi ini kebanyak merupakan alif asli yang merupakan komponen huruf
yang tidak bisa dipisahkan dengan huruf lain.
Contoh Hamzah:
‫ إِح َسا ٌن‬-‫ س َؤ ٌال‬-َ‫ بَ َدأ‬-‫ اَحلَمد‬-‫أَ َك َل‬
B. Alif Layyinah
Alif Layyinah biasa disebut dengan “Alif” saja. Ia selalu
mati/sukun, dan tidak menerima harakat. Alif layyina mempunyai dua
tempat, yaitu di tengah kata dan akhir kata.
Contoh alif:
ِ ِ
ٌ‫ َمسَاء‬-ٌ‫ َس َواء‬-ٌ‫ َعامل‬-‫اب‬
ٌ َ‫كت‬
Kaidah:
1) Alif Layyinah di Tengah Kata
Alif Layyinah yang berada ditengah kalimat secara muthlaq ditulis
dengan alif baik menengahinya tersebut disebabkan oleh huruf asal,
Contoh ,‫انم‬ ,‫ صام‬,‫ قام‬,‫ قال‬atau selainnya, Contoh ,‫ ليالى‬,‫فتاه‬
‫ حتام‬,‫ عالم‬,‫ إالم‬,‫ يشاىن‬,‫ يرضاه‬,‫ يشاه‬,‫مقتضام‬
2) Alif Layyinah di Akhir Kata
Alif layyinah yang berada di akhir kata terkadang ditulis dengan ya’
atau (alif ta’nits maqshurah) yaitu ;

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 93


a) Didalam setiap isim yang terdiri dari tiga huruf yang terdapat
alif pengganti dari ya’. Contoh ‫ اهلدى‬,‫ الفت‬kalau alifnya
mengganti wawu maka ditulis alif. Contoh ,‫ العال‬,‫ العصا‬,‫القفا‬
‫العصا‬
b) Didalam setiap isim arobi yang lebih dari tiga huruf dan huruf
sebelum terahir bukan ya’ contoh ,‫ خجلى‬,‫ حبلى‬,‫ كربى‬,‫صغرى‬
dan kalau huruf sebelum terakhir berupa ya’ maka ditulis alif
dengan secara mutlaq contoh ‫ثراي‬ ,‫ حميا‬,‫ راي‬,‫ قضااي‬,‫دنيا‬
c) Didalam lima isim alam ajami contoh ,‫ مت‬,‫ عيسى‬,‫موسى‬
‫ خبارى‬,‫كسرى‬dan isim alam yang selain lima isim alam ini
ditulis dengan alif ‫شربا‬
,‫ بنها‬,‫ ايفا‬,‫ زليخا‬,‫دارا‬
d) Didalam lima isim mabni contoh ‫ االىل‬,‫ اوىل‬,‫ مت‬,‫ أىن‬,‫لدى‬
selain lima isim mabni tersebut ditulis dengan alif contoh ,‫مهما‬
‫ إذا‬,‫أان‬
e) Didalam setiap fi’il tiga huruf yang alifnya mengganti dari ya’
contoh‫ رمى‬,‫ رعى‬,‫ مشى‬,‫ سعى‬dan kalau alifnya mengganti
wawu maka ditulis alif. Contoh ‫ عفا‬,‫ غزا‬,‫ دعا‬dan ada sebagian
ulama menulis bagian yang kelima ini dengan alif secara
muthlak.
f) Didalam setiap fi’il yang lebih dari tiga huruf apabila huruf
sebelum alif bukan ya’ ‫ صلى‬,‫ خلى‬,‫ اتى‬,‫ اهتدى‬,‫أهدى‬ dan
apabila berupa ya’ maka ditulis alif karena benci berkumpulnya
dua bentuk ya’. Contoh ‫ تزاي‬,‫ تبيا‬,‫ استحيا‬,‫حييىا‬
g) Didalam empat huruf seperti ‫ بلى‬,‫ حت‬,‫ على‬,‫ اىل‬sedangkan
huruf yang lain ditulis alif contoh ,‫ خال‬,‫ هال‬,‫ال‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 94


h) Dan didalam keterangan diatas terdapat dua qaidah yang umum,
yaitu ;
i) Setiap alif yang berada didalam kalimat yang fa’ atau ain
fi’ilnya berupa wawu maka ditulis dengan ya’. Contoh ,‫وعى‬
‫ هوى‬,‫ جوى‬,‫وقى‬
j) Setiap alif yang berada didalam kalimat yang ain fi’ilnya berupa
hamzah juga ditulis dengan alif karena ulama benci kepada
berkumpulnya dua alif. Contoh ‫فأى‬ ,‫ شأى‬,‫أبى‬
Sebagian ulama berpendapat bahwa kalimat yang diakhiri dengan
ya’ itu ditulis dengan alif didalam tujuh tempat, yaitu ;
1. Didalam sajak, yang berupa badi’ musyakalah dari kalimat lain yang
ditulis dengan alif. Contoh:
)‫ وأجنده إذا هوا (هوى‬,‫سامح أخاك إذا هفا‬
2. Untuk menyerasikan akhir syi’ir, hal ini berada di dalam qashidah yang
pendek seperti qashidahnya Ibnu Duraid
‫ طرة صبح حتت أذايل الدجا‬# ‫إما ترى رأسى حاكى لونه‬
‫ مثل اشتعال النار ِف مجر الغاضا‬# ‫واشتعل املبيض ِف مسوده‬
‫ أرجائه ضوء صباح فاجنال‬# ‫كانه الليل البهيم حل ِف‬
3. Didalam badi’ musyakalah dengan bertujuan jinas seperti;
‫ ِبا حباىن وأوال‬# ‫ايسيدا حاز رقى‬
‫ أحسنت ِف الشكر أوال‬# ‫احسنت برا فقل ىل‬
4. Didalam badi’ musyakalah dengan bertujuan tauriyah seperti
‫ هناه وقد حاز املعاىل وزاهنا‬# ‫بروحى بدرا ِف الندى ما أطاع من‬
‫ وها هوا قد بر العفاة وماهنا‬# ‫يسائل أن ينهى عن اجلود نفسه‬
5. Bertujuan mu’ayah dan ilghaz seperti
‫ وحنن بوادى عبد ْشس وهاشم‬# ‫أقول لعبد للا ملا سقاؤان‬
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 95
Maksudnya adalah ‫ وهى يهى‬yang bermakna lemah. Dan maksud dari
‫ شم‬adalah fi’il amar dari ‫ شام‬akan tetapi ditulis dengan ‫وهاشم‬yang
maksudnya menyamai dengan penyembah matahari, tujuannya agar
mengarah kepada ilghaz.
6. Kalimat yang datangnya berupa maqshur dan mamdud dengan dua
bahasa. Seperti ‫ احللوى واحللواء‬boleh ditulis dengan alif seperti ‫احللوا‬
7. Kalimat yang datangnya berupa kalimat mahmuz yang menempati
ditempatnya kalimat mu’tal seperti ‫ قريت‬dengan makna ‫قرأت‬. Boleh
ditulis dengan ‫ قرا‬yang sebenarnya didalam bahasa ditulis dengan ‫قرى‬.
Begitu juga dengan kalimat ‫ ابطا‬yang sebenarnya ditulis dengan ‫ابطى‬

C. Alif Mamdudah
Alif Mamdudah biasa disebut dengan Alif Ta’nits Mamdudah
adalah isim mu’rab yang huruf terakhirnya berupa hamzah dan sebelum
hamzah itu terdapat alif zaidah, seperti (‫)مساء‬
َ dan (‫)صحَراء‬.
َ Alif mamdudah
seperti bentuk alif yang sebagaimana kita kenal (‫)ا‬. Alif mamdûdah adalah
alif tambahan pada isim (kata benda) seperti ‫لصحَراء‬
َّ َ‫ ا‬,‫لس َماء‬
َّ َ‫ا‬. Alif
mamdudah ada yang berasal dari “waw” seperti ‫مسَاء‬ َ berasal dari ‫مساو‬. ada
yang berasal dari “ya” ‫ مشَّاء‬,‫ بناَّء‬berasal dari ‫ مشاي‬, ‫بناي‬. Ada juga
ٌ ٌ
tambahan sebagai pertanda untuk ta’nits seperti ‫ ْحراء‬, ‫حسناء‬.
Hamzahnya isim mamdud adakalanya asli, seperti (‫ )ق َّراء‬dan (‫)وضَّاء‬,
karena keduanya berasal dari (َ‫ )قَ َرأ‬dan (ٌ‫)وضوء‬. Atau gantian dari waw dan ya’.
Yang gantian dari waw, seperti (ٌ‫)مساَء‬
َ dan (ٌ‫)عدَّاء‬
َ yang asalnya adalah (‫)مساٌَو‬
َ dan
(‫)عد يو‬,
َ karena keduanya dari (‫)مساَ يَسمو‬
َ dan (‫)ع َدا يَعدو‬.
َ Dan yang gantian dari ya’,
seperti (ٌ‫ )بِنَّاء‬dan (ٌ‫)مشَّاء‬
َ yang asalnya (‫ي‬
ِ
ٌ َ‫ )بنا‬dan (‫اي‬
ٌ ‫ ) َم َش‬karena berasal dari ( ‫بَ َىن‬
‫ )يَب ِين‬dan (‫)م َشى َمي ِشي‬.
َ Atau hamzah itu ditambahkan untuk ta’nits, seperti
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 96
(‫)حسناَء‬
َ dan (‫)ْحَراء‬
َ karena keduanya berasal dari (‫ )حس ٌن‬dan (‫)ْحٌر‬. Atau hamzah
ِ dan (‫)ق وَبء‬.
itu ditambahkan untuk ilhaq, seperti (‫)حرََبء‬ َ
Isim mamdud terbagi menjadi dua, yaitu Qiyasi dan sama’i .
1) Isim Mamdud Qiyasi
Isim mamdud yang qiyasi berada ditujuh macam isim mu’tal akhir,
yaitu:
a. Masdarnya fi’il mazid yang huruf pertamanya berupa hamzah,
ِ ‫)اجنلَى‬, (‫)ارعوى ار ِعواء‬, (‫ )ار َأتَى ارتِئاء‬dan ( ‫است قصى‬
seperti (ً‫)آتَى إِيتاَء‬, (ً‫)أَعطَى إِعطَاء‬, (ً‫اجنالَء‬ َ ًَ ََ ًَ َ َ
ِ
ً‫صاء‬
َ ‫)استق‬.
b. Lafal yang menunjukkan pada suara, yaitu dari masdar yang
mengikuti wazan (‫)فَ َع َل يَ ْفعل‬, seperti (ً‫)رغاَ البَعِري يَرغو َرغاَء‬ ِ
َ dan ( ‫ثَغَت الشَّاة تَث غو‬
ً‫)ث غَاء‬.
c. Masdar yang mengikuti wazan (‫ )فعاَل‬dari masdarnya (‫اع َل‬ َ َ‫) ف‬, seperti
ِ ِ ِ
(ً‫)و َاىل ِوالَء‬, َ (ً‫)ماََرى مَراء‬, (ً‫)راءَى ِرَائ ء‬
َ (ً‫)ع َادى ع َداء‬, َ dan (ً‫)انََدى ن َداء‬.
d. Isim yang mempunyai empat huruf yang dijama’kan dengan
mengikuti wazan (‫)أَفْع لَة‬, seperti (ٌ‫ )كِ َساء‬yang jama’nya adalah (ٌ‫)أَك ِسيَة‬,
(ٌ‫ ) ِرَداء‬yang jama’nya adalah (ٌ‫)أَرِديَة‬, (ٌ‫)غطَاء‬
ِ yang jama’nya adalah (ٌ‫)أَغ ِطية‬,
َ
dan (ٌ‫ )قباَء‬yang jama’nya adalah (ٌ‫)أَقبِيَة‬.
e. Masdar yang dibuat dengan mengikuti wazan (‫ )تَ ْفعاَل‬atau (‫)ت ْفعاَل‬,
seperti (ً‫)ع َدا يَعدو تِع َداء‬ ِ ِ
َ dan (ً‫)م َشى َميشي مت َشاء‬.
َ

f. Sifat yang dibuat dengan mengikuti wazan (‫ )فَ َّعال‬atau (‫ )م ْفعاَل‬untuk


mubalaghah, seperti (ٌ‫)عدَّاء‬ ِ
َ dan (ٌ‫)معطَاء‬.
g. Mu’annatsnya (‫ْعل‬
َ ‫ )أَف‬untuk selain tafdlil, baik shahih akhir, seperti
(‫ )أَْحَر‬menjadi (‫)ْحَراء‬,
َ (‫ )أَعَرج‬menjadi (‫)عرجاَع‬,
َ (‫ )أَجنَ َل‬menjadi (‫)جنالَء‬,
َ atau

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 97


mu’tal akhir, seperti (‫ )أَح َوى‬menjadi (‫)ح َّواء‬,
َ (‫ )أَع َمى‬menjadi (‫)عميَاء‬
َ dan
(‫ )أَل َمى‬menjadi (‫)لَميَاء‬.
2) Isim Mamdud Sama’i
Isim mamdud yang sama’i adalah isim mamdud selain ketujuh tempat
di atas, yaitu dari isim yang telah datang berupa isim mamdud, sehingga
lafal itu dujaga dan tidak boleh diqiyaskan, seperti (‫)فَتاَء‬, (‫)سناَء‬,
َ (‫ ) َغناَء‬dan (‫)ثََراء‬.
Diperbolehkan memaqshurkan isim mamdud, sehingga dalam (ٌ‫ )دعاَء‬dan
(‫)صفَراء‬,
َ boleh diucapkan (َ‫ )دعا‬dan (‫)صفَرا‬.
َ Dan dianggap jelek jika
memamdudkan isim maqshur, sehingga dianggap jelek jika diucapkan
dalam (‫صا‬ ِ ِ
َ ‫)ع‬
َ dan (‫ )غ َىن‬dengan (ٌ‫صاء‬
َ ‫)ع‬
َ dan (ٌ‫)غناَء‬
D. Alif Maqshurah
Alif maqshurah adalah alif yang ditulis dalam bentuk ya’ tanpa titik
)‫) ى‬. Alif maqshurah adalah salah satu huruf Arab yang merupakan varian
dari huruf alif, alif maqshurah bukanlah salah satu dari ke-28 huruf
hijaiyah/huruf Arab. Alif maqshurah melambangkan fonema yang dibaca
panjang dan selalu berada di akhir dalam keadaan mad dan tidak pernah
mendapatkan tasykil lain seperti fathah, kasrah atau dammah.
Alif maqshurah serupa dengan huruf ya ‫ ي‬namun tanpa dua titik di
bawahnya, dan menurut aturan baku bahasa Arab standar, huruf ini berbeda
dengan huruf ya sehingga sering menimbulkan kesalahan dalam penulisan,
seperti pada lafaz ‫ ِف‬yang seharusnya ditulis ‫ف‬, walaupun alif maqhsurah
terlihat serupa dengan huruf ya dalam bahasa Persia.Contoh penggunaan
alif maqshurah pada lafaz ‫ حيىي‬yang serupa dengan ‫ حييا‬, /Yahya.
Alif maqshurah adalah alif yang terdapat diakhir isim mu’rab (yang
menerima i’rab) . Alif ini tidak asli, ada karena perubahan dari ‫و‬ seperti

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 98


‫عصا‬, perubahan dari ‫ ي‬seperti ‫ فت‬dan adapula tambahan untuk penanda
ta’nits seperti ‫ عطشى‬,‫ ذكرى‬,‫حبلى‬.
Adapun Isim Maqshur adalah isim mu’rab yang huruf terakhirnya
berupa alif lazimah, baik alif tersebut ditulis dalam bentuk alif, seperti
(‫صا‬
َ ‫)الع‬
َ atau dengan bentuk ya’, seperti (‫وسى‬ َ ‫)م‬. Alif tersebut selamanya
tidaklah asli, namun adakalanya hasil dari perubahan atau ditambahkan.
Alif yang merupakan hasil perubahan, adakalanya dari waw, seperti
(‫صا‬
َ ‫)الع‬,
َ atau ya’, seperti (‫ )ال َف َت‬karena didalam tatsniyyahnya kita ucapkan
(‫ص َو ِان‬
َ ‫)ع‬
ِ
َ dan (‫)فَتَ يَان‬.
Alif yang merupakan hasil penambahan, maka adakalanya
ditambahkan untuk ta’nits, seperti (‫)حب لَى‬, (‫)عط َشى‬ ِ
َ dan (‫)ذكَرى‬, karena lafal-lafal
tersebut berasal dari (‫)حب ٌل‬, ِ
َ (‫ش‬ٌ ‫)عط‬
َ dan (‫)ذكٌر‬. Atau ditambahkan untuk ilhaq,
ِ lafal yang pertama diilhaqkan dengan (‫ )جع َفر‬dan lafal
seperti (‫ )أَرطَى‬dan (‫)ذف َرى‬, ٌ َ
ِ
yang kedua diilhaqkan dengan (‫)درَه ٌم‬.
Alif ditulis dengan bentuk ya’, ketika berada ke empat atau lebih,
seperti (‫)بشَرى‬, (‫ )مصطََفى‬dan (‫)مستَش َفى‬, ً atau berada ketiga dan asalnya adalah
waw, seperti (‫)ال َف َت‬, (‫ )اهل َدى‬dan (‫)الن ََّدى‬. Dan alif tersebut ditulis dengan bentuk
alif ketika alif itu berada ketiga dan asalnya adalah waw, seperti (‫صا‬
َ ‫)الع‬,
َ (َ‫)ال َعال‬
dan (َ‫)الرَب‬.
ُّ
Ketika isim maqshur ditanwin, maka alifnya dibuang dalam
pengucapannya, akan tetapi masih ditetapkan dalam penulisan, seperti ( ‫كن‬
‫)فَ ًت يَدعو إِ َىل ه ًدى‬.
Isim maqshur ada dua macam, yaitu qiyasi dan sama’i .
1) Isim Maqshur Qiyasi
Isim maqshur yang qiyasi ada disepuluh macam isim mu’tal akhir,
yaitu:
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 99
a) Masdarnya fi’il lazim yang mengikuti wazan (‫) فَع َل‬, karena wazan
ِ dan (‫) َغ ِين ِغىن‬.
masdarnya adalah (‫)فَ َعل‬, seperti (‫ي َج ًوى‬ َ (ً‫)رض َي ِرضا‬
َ ‫)ج ِو‬, َ ً َ
ِ dan
b) Isim yang mengikuti wazan (‫ )ف َع ل‬jama’nya (‫)ف ْع لَة‬, seperti (‫)مًرى‬
ِ jama’nya (ٌ‫)مرية‬
(‫)حلًى‬ ِ ِ
َ dan (ٌ‫)حليَة‬
c) Isim yang mengikuti wazan (‫ )ف َع ل‬jama’nya wazan (‫)ف ْع لَة‬, seperti (ً‫)عرا‬,
(‫ )م ًدى‬dan (‫ )د ًمى‬jama’nya (ٌ‫)عرَوة‬, (ٌ‫ )مديَة‬dan (ٌ‫)دميَة‬.
d) Isim yang mengikuti wazan (‫)فَ َع ل‬, dari isim jinis, yang menunjukkan
pada makna jama’ ketika dikosongkan dari ta’, dan menunjukkan
pada makna mufrad ketika bertemu dengan ta’, seperti (ٌ‫صاة‬
َ ‫)ح‬
َ dan
(‫صى‬
ً ‫)ح‬,
َ (ٌ‫ )قَطَاة‬dan (ً‫)قَطا‬.
e) Isim maf’ul yang fi’il madlinya ada tiga huruf, seperti (‫)معطًى‬, (‫)مصطََفى‬
dan (‫)مستَش َفى‬.
f) Wazan (‫)م ْف َعل‬
َ yang menunjukkan pada masdar atau isim zaman atau
isim makan, seperti (َ‫)حميا‬,
َ (‫)مأتَى‬
َ dan (‫)مرقَى‬.
َ
ِ (‫)مه َدى‬
g) Wazan (‫ )م ْفعل‬yang menunjukkan pada isim alat, seperti (‫)مك َوى‬, ِ
ِ
dan (‫)مرَمى‬.
h) Wazan (‫ْع َل‬
َ ‫ )أَف‬sebagai sifat untuk tafdlil, seperti (‫ )أَد َىن‬dan (‫صى‬
َ ‫)أَق‬, atau
untuk selain tafdlil, seperti (‫ )أَح َوى‬dan (‫)أَع َمى‬.
i) Jama’ mu’annats dari (‫ْعل‬
َ ‫ )أَف‬yang untuk tafdlil, seperti (ً‫ )دان‬dan (ً‫)قصا‬
jama’nya (‫ )دن يَا‬dan (‫)قص َوى‬.
j) Mu’annatsnya (‫ْعل‬
َ ‫ )أَف‬yang untuk tafdlil dari isim yang shahih akhir
atau mu’tal akhir, seperti (‫ )حس َىن‬dan (‫)فضلَى‬, mu’annatsnya (‫ )أَح َسن‬dan
(‫ضل‬
َ ‫)أَف‬. (‫ )دن يَا‬dan (‫)قص َوى‬, mu’annatsnya (‫ )أَد َىن‬dan (‫صى‬
َ ‫)أَق‬.
2) Isim Maqshur Sama’i
Isim maqshur yang sama’i adalah isim maqshur selain kesepuluh
isim di atas, yaitu dari lafal yang telah datang dalam keadaan berupa
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 100
isim maqshur, sehingga isim itu dijaga dan tidak boleh diqiyaskan,
ِ (‫)فَت‬, (‫)ثَرى‬, (َ‫)سنا‬, (‫ )ه َدى‬dan (‫)رحى‬.
seperti (َ‫)حجا‬, َ َ َ ََ

BAGIAN KEDUA: KONSEP KHAT DAN KAIDAHNYA

KONSEP ORTOGRAFI ARAB


1. Pengertian Ortografi Arab

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 101


Istilah ortografi dalam bahasa Indonesia dikenal dengan aksara, 5

atau ilmu yang mempelajari tentang keaksaraan sebuah bahasa. Dalam


Kamus Bahasa Indonesia aksara dimaknai dengan sistem tanda grafis yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili
ujaran, dan juga bermaka huruf atau abjad.6 Bila aksara dimaknai dengan
huruf atau abjad, maka hal itu berarti lambang bunyi (fonem) sedangkan
bunyi itu sendiri adalah lambang pengertian yang menurut catatan sejarah
secara garis besar terdiri dari kategori.7 Ortografi Arab berkaitan dengan
cara dan teknik menuliskannya, karena ortografi Arab (abjad hijaiyah)
berbeda dengan ortografi lainnya seperti latin, China (Tionghoa/Kanji),
Hiragana (Jepang), Rusia (Sirlik) dan Thailand (Thai), maka Ortografi
Arab, menjadi sebuah cabang ilmu yang disebut dengan: Qawaidul imla>’,
kitabah, khat, dan rasm. Meski demikian istilah-istilah tersebut memiliki
perbedaan makna.
Ortografi berasal dari bahasa Yunani: orthos yang artinya “benar” dan
gfaphein yang artinya “menulis”. Definisi ortografi itu sendiri adalah
system ejaan suatu bahasa atau gambaran bunyi bahasa yang berupa tulisan
atau lambang yang meliputi antara lain masalah ejaan, kapitalisasi,
pemenggalan kata, tanda baca dan lain sebagainya.

5
"Aksara" secara etimogis berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata "a-"
'tidak' dan "kshara" 'termusnahkan'. Jadi, aksara adalah sesuatu yang tidak
termusnahkan/kekal/langgeng. Dikatakan sebagai sesuatu yang kekal, karena peranan
aksara dalam mendokumentasikan dan mengabadikan suatu peristiwa komunikasi dalam
bentuk tulis. Melalui aksara yang ditatah di atas batu hingga ditulis di atas daun lontar dan
lempeng tembaga, kesuraman dan kejayaan masa lalu dapat dijamah kembali dengan
bukti-bukti literal.
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustakam 2008), h. 678.
7
Richadiana Kartakusuma, Peran dan Fungsi Efigrafis sebagai Bidang Studi
Sumber Tertulis dan Permasalahannya, (Depok: Jurusan Arkeologi FIB Universitas
Indonesia, 2003), h. 199.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 102
Ortografi Arab, dalam lintas kajian bahasa, banyak disinggung
dalam beberapa disiplin ilmu seperti dalam Ulu>m al-Qur’a>n, Ta>rikh, Fiqh
Lughah, Sharf wa nahw (morfologi dan sintaksis), Aswa>th (fonologi) Seni
dan Budaya. Dalam ulum al-Qur’an misalnya kita mengenal pembahasan
tentang Rasm al-Qur’an, yang didalamnya membahas tentang teori ibda>l,
hadzf, dan ziya<dah. Dalam ilmu sejarah (Tari>kh), banyak mengurai tentang
sejarah munculnya huruf/Abjad Arab dari zaman pra Islam sampai zaman
modern, yang disertai dengan perkembangan dan perubahan bentuk-bentuk
tulisannya dari masa ke masa. Dalam fiqh lughah, juga demikian banyak
mengurai tentang masalah khat, kaidah imla>’ dan tarqi>m, tasyki>l, tanqi>th,
tasydid. Dalam ilmu Sharf dan Nahw juga demikian banyak membahas
tentang ortografi Arab dari aspek taqli>b, ta’li>l, tajmi<’ tashri>f, tanqish,
taqshir, mahmuz, dan mamdud, serta dalam ilmu al-Ashwa>t (Fonologi),
banyak membahas topik-topik yang terkait dengan ortografi Arab, seperti,
washl, fadhal, ibtida’ wa al-Waqf, sha>mitah wa sha>itah, dan lain-lain.
Dengan demikian bahwa kajian ortografi dalam bahasa Arab terkait dengan
multidisplin ilmu, sehingga penelitian tentangnya dapat memperkaya
kajian keilmuan lainnya, karena antara satu dengan lainnya saling terkait.
2. Sejarah Ortografi Arab
Para ahli tentang Bangsa Arab di Wilayah Selatan, seperti Klaser,
Neeker dan Hommel menyimpulkan bahwa qutbania, Hadramaut, saba,
himyar Ausan Zu Reidan dan Yaman, merupakan pemerintahan-
pemerintahan Arab yang pernah berkuasa di Selatan Jazairah Arabiah, dan
ortografi yang mereka pakai adalah disebut Musnad. Hal ini diperkuat
dengan ditemukannya beberapa tulisan di jazirah delius Yunani dan Gazza
mesir, yang semuanya menggunakan seni dan gaya tulisan Musnad.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 103
Demikian pula ditemukkannya jenis-jenis tulisan dengan ortografi Musnad
berikut cabang-cabangnya pada bukit Hejaz, Madin al-Hajar. Demikian
pula di Irak di pedusunan Syiriah, Kuwait, dan Ihsa, berupa cabang-cabang
lihya>ni>, Samudi, safawi, yang kemudian menurunkan ortografi naba>ti> yang
ditemukan di bukit jazirah Busra dan Luja. Atas dasar itu, disimpulkan
bahwa ortografi Musnad, adalah ortografi tertua yang pernah diketahui di
semenanjung Arabiah.
Ibnu Khaldun mencatat bahwa orang Hijaz mengambil ortografi dari Hirah,
sedangkan orang-orang Hira mengambil dari Hameir, adapun Hameir
sendiri berasal dari Yaman, yang dipandang sebagai tempat kelahiran
pertama ortografi Musnad yang posisioningnya mendominasi wilayah Arab
Selatan.8 Adapun ibnu Khallikan menambahkan bahwa perpindahan
ortografi Hameir ke Hirah terjadi di masa kekuasaan keluarga Munzir.9 Al-
Maqrizi> menulis bahwa ortografi Musnad adalah model penulisan aksara
Arab yang mula-mula dari sekian jenis tulisan yang dipakai oleh
masyarakat Humeir (Himya>ri>) dan raja-raja kaum ‘Ad.10
Di wilayah-wilayah kerajaan Arab selatan, seperti kerajaan Saba’,
Minaiyah, Himyar dan Yaman, semenjak waktu yang lama telah
menggunakan sejenis tulisan yang berbeda dengan tulisan yang
berkembang di jazirah Arab bagian utara, meskipun wilayah selatan ini
juga mendapatkan pengaruh dari alphabet Sinai. Tulisan ini kemudian

8
Abd Rahma>n Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, (Libanon Beirut: Da>r al-Fkir, 1981), h. 418.
9
Ahmad bin Muhammad bin Ibra>hi>m Abu> ‘Abba>s Syamsuddi>n al-Barmaki> al-Irbili
asy-Syafi’i bin Khallikan, Wafaya>t al-A’ya>n wa Anba>’ Abna>’ al-Zama>n, (Beirut: Da>r
Sha>dir, 1972), h. 346.
10
Taqiyuddi>n Ahmad bin ‘A>li bin Abd al-Qa>dir al-Maqrizi<, al-Mawa>’idz wa al-‘Itiba>r
fi> dzikri al-Khutta>th wa al-A>tsa>r, (London: Muassasah al-Furqa>n li al-Tura>ts al-Islami<,
1995), h. 334.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 104
dikenal dengan tulisan Musnad. Dari beberapa penelitian yang dilakukan,
telah disimpulkan bahwa tulisan Musnad telah berkembang secara luas
pada masyarakat Arab kuno di wilayah-wilayah yang membentang antara
Yaman dan Syria di belahan utara Jazirah ini. Ini dibuktikan dengan
beberapa penemuan tertulis di daerah Delos (Yunani) dan Gaza, Mesir yang
juga menggunakan tulisan yang mirip dengan tulisan Musnad.11
Perkembangan ini terlihat pada beberapa cabang tulisan yang muncul
mengikuti karakter tulisan Musnad, seperti pada tulisan yang digunakan
oleh Bani Lahyan di bagian utara Makkah, tulisan yang digunakan oleh
masyarakat Diyar Tsamud sekitar tahun 715 sM. Dan di wilayah bukit
Shafa (bagian dari pegunungan Druze) di timur negeri Syam (Syria
sekarang). Ketiga tulisan yang merupakan perkembangan dari tulisan
Musnad ini kemudian dinamai masing-masing dengan Lihyani, Tsamudy,
dan Shafawy. Akan tetapi tidak diketahui perkembangan lebih lanjut dari
ketiga jenis tulisan itu.
Pada akhirnya tulisan Musnad itu pun terus mengalami
perkembangan dan mengikuti pusara zaman yang berubah-ubah,
selanjutnya suku-suku yang menggunakannya menyebar di daerah-daerah
berlainan yang menyeret ortografi Musnad pada model-model ortografi
baru sesuai dengan kebutuhan para pemakainya dan tidak lagi berbentuk
seperti corak dan wajah aslinya, dengan demikian terpecahlah jenis
ortografi ini menjadi beberapa bagian, yakni:
1. Lihyani, yang ditemukan di Utara Mekah pada pemukiman Bani Lihyan
(cabang dari Huzail) sekitar Asafan dan Qadid.

Naji Zainuddin, Musawwar al-Khat al-“Arabi, (Bagdad; Maktabah Nahdah.


11

1974), h. 297

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 105


2. Samudi (715 SM) yang ditemukan pada bukit-bukit al-Hijr dan kota-
kota kaum Nabi Saleh.
3. Safawi, adalah tempat yang dihubungkan dengan bukit Landai Safa
yang terletak di Saqa al-Burkani sebagai bagian dari gunung-gunung
Druze atau Hirah (Huran), bagian timur negeri Syam atau siryah
sekarang.
Adapun ciri-ciri khas model tulisan ortografi Arab pada waktu itu, antara
lain sebagai berikut:
1. Huruf-huruf ditulis dengan terpisah-pisah seperti huruf latin.
2. Hanya huruf mati yang ditulis, sedangkan huruf hidup tidak
3. Tidak memakai titik
4. Kadang-kadang satu huruf dipakai untuk dua huruf, yang sama
bentuknya seperti ba’ dengan ta’ dan sa’, tanpa diberi tanda-tanda
perbedaan seperti lazimnya tulisan Arab sekarang.12
Para sejarawan Arab mencatat tentang adanya hubungan yang erat
antara masyarakat Arab dan Yaman sebagai tempat pertumbuhan ortografi
Musnad, model tulisan mereka berasal dari Yaman, walaupun mereka telah
mengubahnya dengan melewati perjalanan sejarah yang sangat panjang dan
berliku. Hal ini sekaligus membantah spekulasi yang menyesatkan dari
sebagaian para peneliti kaum orientalis menyangkut bahasan tentang Arab
Klasik, khususnya ortografi Arab itu sendiri. Mereka kerap berusaha
menghilangkan jejak hubungan antara tulisan Arab dan Musnad.13 Mereka
juga berupaya menghilangkan peranan ortografi Musnad yang kemudian
menurunkan jenis dan model tulisan lainnya, sebagai jenis kaligrafi yang

12
Abdul Karim, Khat Seni Kaligrafi, Jilid I. (Kudus: Menara Kudus, t.th), h. 8.
13
Flinders Petre, Research in Sinai, the Formulation of tha Alphabeth, 1912
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 106
telah punah dan tidak meninggalkan bekas sehingga tinggal nama belaka,
kemudian peranannya diambil alih oleh jenis ortografi yang disebut dengan
ortografi Arami.14 Padahal akar ortografi Arab sebenarnya adalah berasal
dari tulisan Mesir Kuno (Pictography) atau "Hieroglyph". Tulisan ini
digunakan oleh suku Finiqi (Phunicia) yang mendiami sekitar Laut Putih
(dilingkungan pegunungan Libanon), dan kemudian diberi nama tulisan
dengan ortografi Finiqi. Dari tulisan Finiqi itu, kemudian timbul tulisan
Aram (suku Syam Kuno yang mendiami Palestina, Syam, dan Irak), dan
tulisan Musnad (suku Hunain di Yaman). Adapun tulisan Musnad
merupakan kaligrafi Arab kuno yang mula-mula berkembang dari sekian
banyak jenis khatt yang dipakai oleh masyarakat dan orang-orang Saba,
Ma’ini Qutbani, dan Himyar (suku di Semenanjung Arab bagian barat
daya pada 115-525 SM), oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa
orang-orang Himyari adalah orang yang paling belakang menggunakan
jenis ortografi Musnad yang berkembang di Yaman kemudian melahirkan
jenis ortografi dengan tulisan Kufi.
Ortografi dengan tulisan Musnad yang sudah sedemikian lama
bertahan dan pengaruh di hampir seluruh kawasan jazirah Arab Selatan,
akhirnya tergeser oleh pengaruh ortografi dengan tulisan Kindi, yakni
sebuah suku yang bermukin di selatan jazirah Arabiah sebelum masa Islam.
Kemudian dari Kindi di wilayah Utara Arabiah lahir pula ortografi dengan
nama Naba>ti>, sebuah kerajaan yang berdiri kokok pada abad ke I sebelum
Masehi dengan kekuasaan yang memanjang dari Sinai dan bagian Selatan
Arabiah melampaui daerah-daerah Damaskus, Syriah, sampai ke wilayah
Madyan, Selat Aqaba, Hijaz, Palestina dan Hirah (Huron).

14
Hifni Nasif, Tarikh Adab, h. 61-62.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 107
Kerajaan tersebut berpusat di kota-kota penting, seperti Hijr, Petra
dan Busra, dan bertahan sejak 150 SM, Orang-orang Naba>ti> (Nabatean),
walaupun pada abad-abad sebelum Masehi di bawah pengaruh Romawi,
malah orang-orang Naba>ti> ikut melakukan invasi ke wilayah Arab, namun
secara kultural dan geografis, mereka sebenarnya termasuk suku bangsa
Arab asli (Arab Ba>idah). Mereka pada awalnya adalah sekelompok imigran
yang datang dari Transyordania dan menempati wilayah Edomite, Petra.
Dari sini mereka meluaskan kekuasaan ke wilayah-wilayah lainnya.
Sehingga bangsa Naba>ti> menjadi sebuah kekuasaan besar yang disebut
dengan Kerajaan Anbath. Kerajaan ini memperoleh kejayaan di masa
pemerintahan dipegang oleh Haritsats (tahun 9 sM.-40 M.) Pada saat ini
kekuasaan mereka makin meluas bahkan hampir mencakupi seluruh dataran
jazirah Arabia. Kerajaan Anbath di puncak kejayaannya telah
meninggalkan warisan-warisan budaya yang bernilai tinggi. Ini dapat
dilihat dari bekas-bekas peradaban Anbath yang terdapat di kota Petra,
seperti bangunan-bangunan megah dan spektakuler yang menggambarkan
bahwa Petra, sebagai pusat kekuasaan dan sekaligus pusat peradaban
Anbath, telah maju dalam berbagai lapangan. Hal yang lebih penting dari
itu bagi kita ialah bahwa kebudayaan Naba>ti> telah ikut berperan dalam
membidani kelahiran tulisan Arab.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 108


Kota Petra Anbath

Orang-orang Naba>ti> dalam pergaulan sehari-hari menggunakan


bahasa Arab, akan tetapi huruf-huruf yang mereka gunakan lebih cendrung
berkarakter Aramia. Bentuk-bentuk yang mereka kembangkan ini akhirnya
melahirkan suatu jenis tulisan sendiri yang kemudian dikenal dengan
tulisan Naba>ti>. Pada abad pertama Masehi, saat kerajaan ini meluas secara
pesat, semua hasil budaya mereka ikut memperoleh perkembangan.
Tulisan Naba>ti> digunakan secara resmi di hampir seluruh wilayah
kekuasaannya, namun berantakan dicaplok oleh bangsa Rumawi sekitar
tahun 105 Miladiyah, akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa tulisan Naba>ti>
tersebut hilang dan musnah sama sekali, sebab interaksi antara tulisan lama
dengan pendatang baru telah melahirkan jabang ortografi dengan model
tulisan Naba>ti> Mutakhir yang pada wujudnya masih merupakan hasil dari
embrio ortografi Musnad yang lebih lengkap dan sempurnah serta
mencerminkan gaya ortografi dan tulisan masyarakat Semith dan
kebudayaan Aramia. Ciri-ciri tulisan ini ialah: 1) Huruf ditulis
bergandengan seperti sekarang, 2) Tidak menuliskan huruf hidup, dan tidak
memakai titik.
Orang-orang Naba>ti> tidak saja berkerabat dekat dengan kabilah Arab
bahkan juga banyak bergantung pada usaha dagang bersama dan
mempunyao hubungan kultural dengan mereka. Orang orang Naba>ti> juga
merupakan masyarakat yang gemar berpindah-berpindah seperti
masyarakat Arab umumnya. Ini telah menjadi tradisi turun temurun pada
masyarakat-masyarakat kuno yang beralokasi dikawasan tandus, seperti
gurun pasir Arabia.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 109


Bahasa dan ortografi dengan mereka diperkirakan pernah hidup lama
sepanjang kerajaan itu berdiri. Keduanya, terutama kaligrafi tersebut
mempunyai dampak yang dalam terhadap percepatan pertumbuhan
kaligrafi Arab. Ditambah dengan watak suka berpindah-pindah, kaligrafi
yang mereka bawa itu tersebar lebih cepat lagi. Lebih dari itu dan in yang
lebih menguntungkan bahwa ortografi naba>ti> telah berhasil mewariskan
sistem-sistem angka (al-Arqam al-Hisabiyah / numerous) yang di
wilayahnya.
Berbeda dengan tulisan musnad, tulisan Naba>ti> bisa diketahui lebih
jelas karena adanya bukti-bukti inskripsi yang diketemukan. Data itu
mengambil nama-nama sesuain dengan lokasi di mana inskripsi- inskripsi
tersebut didapat, yaitu inskripsi Umum Al-jimat (tertanggal kira-kira 250
dan 271/M, ditulis dengan bahasa Naba>ti> Arabi, di daerah Umum al-Jimal
Syiria). Ilmuwan Devogue mula-mula mencoba mengalihkannya ke dalam
bahasa Ibrani, kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa Arab, yang
artinya “inilah kuburan fihr bin sala pelindung suku juzaimah, raj tanukh”15
kunt Devogue menentukan 250/M hanya sebagai tarikh perkiraan.
Sedangkan littmann memberinya angka perkiraan 270/M. inilah
tarikh permulaan digunakannya khat Naba>ti> oleh raja-raja Arab, sebagai
pengganti tulisan-tulisan Arab lainnya. Seperti lihyani, samudi, dan safawi
yang terpecah dari khat musnad humeiri. Tulisan pada inskripsi Umm al-
Jimal ini pun sekaligus membuka tabir rahasia terselubung.ia menjadi
petunjuk adanya hubungan sejarah antra dua keturunan(usrah) Arab yang
memerintah di Hirah dan Tadmur, antara Irak dan Syiria, bahwa tulisan
yang dikemukakan ditadmur pada patung putri al-Zaba berangka tahun

15
Jauwad Ali, Tarikh al-Arab Qabla Al-Islam. Juz III, h. 3-35 dan juz IV, h. 17.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 110
271/M, yakni semasa dengan inskripsi diatas, yang bisa dihubungkan degan
masa Juzaimah al-Abrasy.

Peninggalan Kota Tadmur

Inskripsi kedua adalah Nammarah, yang termasyhur sebagai patung


syair Imru Al-Qays ditemukan oleh ilmuwan Dussoud di Nammarah
diseputar Huran Syria. Ditulis dengan khat Naba>ti> mutakhir, yakni tulisan
yang selanjutnya berkebang menjadi bentuk kaligrafi Arab perawan,
berangka tahun 223 sejak kejatuhan kota sala16 (petra) bertepatan dengan
tahun 328/M
Inskripsi ini berdiri dari lima baris pada bangunannya bujur sangkar
kuburan kuno, ada duugaan bahwa Imru Al-Qays ibn Amr adalah salah
seorang raja lakhm. Inskripsi inididuga sebagai tulisan Arab tertua,
sepanjang penemuan hingga kini. Al- ustad Muhammad Al-Husaini Abdul
Aziz didalam kitabnya, dira>sa>t fi> al-Ima>rah wa al-Funu>n al-Isla>miyah
menulis: sesungguhnya, inskripsi ini merupakan satu contoh dari sekian
banayak khat Naba>ti>, yang darinya lahir khat Arab Heja>zi>.

Majalah al-Waie Al-Islami, No. 156. November 1977, h. 69-70 (Tarikh al-
16

Kitabah al-’Arabiyah. al- Gani Muhammad Abdullah. Koweit.


Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 111
Penemuan tersebut sangat pentng artinya bagi studi penelitian tulisan
Arab dan perkembangannya, sekaligus untuk mempelajari kemungkinan
bentuk- bentuk dialek Arab sebelum Islam, karena ia merupakan nash
(teks) permulaan yang ditulis dengan dialek lidah Arab tulen yang
mendekatii dialek Quraisy.
Ahli-ahli ketimuran melihat, di dalam teks inskripsi in terdapat bukti
penguasan bahasa penduduk hejaz terhadap bahasa, dan dialek Aramia yang
dipakai oleh orang-orang Arab Naba>ti>. Teksnya bahasa Arami juga. Kecuali
terjemahannya, ada beberapa versi menurut para peneliti yang berlainan,
antara lain lifensoon, Dussoud, dan Lidzbarsky17”. Lebih jelas, seperti
diterangkan dalam kitab Tarikh al-Arab Qabl al-Islam,18 “ jika kira ingin
mendekatkan tulisan dalam inskripsi yang melekat pada kuburan Imru Al-
Qays ini kepada pemahaman kita (Arab, pen.), niscaya akan kita dapati
suatu bentuk yang mendekati dialek Arab Al-Qur’an….”
Inilah luksian inskripsi tersebut.

Salinannya menurut bacaan dan dialek Arab Al-Qur’an, sebagaimana


dimaksud di atas:

17
Naji Zainudin, op. cit., juz III, h.304.
18
Jauwad Ali, op. cit., juz III. H. 450 dan 439 juz II, h. 35.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 112
)‫(هذا نقش امرئ القيس بن عمر وملك العرب كلهم الذي انل التاج‬
)‫ وهزم مذجحا بقوته وقاد‬,‫(وملك األسديي ونزاروا وملكوهم‬
)‫(الظفر إىل أسولر ((جنران)) مدينة ((ْشر)) وملك معدا واستعمل‬
)‫ فلم يبلغ ملك مبلغه‬,‫ كلهم فرساان للروم‬,‫(قسم أبناه على القبائل‬
)‫ من كسلول((كانون األول)) ليسعد الذي ولده‬7 ‫ يوم‬223 ‫ هلك سنة‬,‫(ِف القوة‬
Kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara harfiah, baris per baris:
1. Inilah pahatan (kuburan) Imru Al-Qays ibn ‘Amru Raja Arab
masing-masing mereka yang menyandang mahkota.
2. Dan raja orang Usad dan Nazar dan raja-raja mereka, dan
menaklukan muzhaj dengan kekuatannya dan memimpin.
3. Kemenagan kepada temmbok kota “Najran”kota “syamr”
dan Raja ma’ad dan memakai
4. “membagi” anak-anaknya kepada kabilah-kabilah, masing-
masing mereka penunggang kuda bagi Rumawi, maka belum
sampai Raja kepada kekusaannya
5. Dalam kekuatan, meninggal tahun 223 hari 7 dari kislul
“Desember” agar Berjaya yang dilahirkannya
Inskripsi ketiga adalah Zabad, dengan pengusutan tarikh dari tahun
511-512/M. ditulis dengan tiga bahasa: yunani, suryani dan Naba>ti>
Mutakhir (Arab kuno), pada puing reruntuhan zabad yang terletak pada
sebelah tenggara Aleppo (Halaba), antara Qinsrin dan sungai Eufrat.
Tulisannya dipahatkan diatas batu mati pada sebuah bangunan gereja. Di
dalamnya dicantumkan nama-nama orang yang turut membangunan gedung
tersebut.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 113


Baris terbawah disepakati salinannya sebagai berikut:
‫برمر القيس‬.... ‫مع قيموف‬...‫((بس ) م االله شرحوبر‬
))....‫ وشرحوبر سعد ووسْتو (شر) حيو‬-
Terakhir, inskripsi Harran (Huran). Pahatan yang berasal dari tahun
568-569/M, ini ditulis pada sebuah batu diatas pintu gereja di Luja,
Harran19 wilayah pegunungan Druzze; ditulis dengan bahasa Greek dan
Arab.20
Para ahli tentang ketimuran mengatakan, pahatan ini berhubungan
dengan seorang raj dari Kindah (kindi), yang diletakkan dalam rangka
membangun sebuah gereja yang dipersembahkan untuk yang kudus.
Yohana Al-Ma’madan. Ditulis dengan khat yang jelas tidak menyalahi
rumus Naskhi kuno bagi siapa pun yang ingin membuat suatu pertandingan
antara keduanya karena dekatnya dengan masa awal Islam, dimana agama
tersebut telah mendorongnya untuk berkembang pada bentuk yang
sempurna, yang kelajutannya dipakai untuk urusan-urusan administrasi
perkantoran dan menulis naskah-naskah ilmiah. Leitmann telah

19
Khalifah terakhir Bani Umayyah. Marwan-II. Pernah menjadikan Harran yang
terletak disebelah utara Mesopotamia sebagai ibu kota kerajaannya. Mesjid besar Harran
dibangun atas prakarsa beliau. Marwan sendiri terbunuh pada 750/M. (David Tallbot Rice.
Islamic Art, h. 18, 28.)
20
Anis Farihah. Al-khat al- Araby: Nasy’atuhu-Muykilatuhu, h. 29: Naji
zaynuddin, op cit., h. 305.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 114
mencocokkan bacaannya secara betul-betul, yang lebih dari setengah abad
lamanya kaum orientalis kepayahan untuk menakutkannya. Inilah teksnya:

Dibaca sebagai berikut:


)) ‫(( اان شرحبل بن (بر) ظلمو (ظلم) بتيت ذا – املرطول‬
)) ‫ بعد مفسد‬463 )‫(( سنت (سنة‬
)) ‫(( خيرب‬
))‫(( بعم (بعام‬
Terjemahannya, menurut bahasa kita:
1. Aku syurahbil bin (bir) zalamu (zalim), kubangun gereja kecil ini
2. Tahun 463 sesudah kehancuran
3. Khaibar
4. Pada tahun itu
Menurut orientalis Noldkeh, angka tahun diatas sesudah kehancuran
total khaibar bertepatan dengan 568-569 sesudag Miladiyah, yakni 45
tahun sebelum tarikh Hijriyah. Sedangkan angka-angka tahun ditulis
dengan huruf-huruf Aramia.
Naskah tersebut dipandang sebagai akhir periode peralihan dari khat
Naba>ti> kepad khat Arab Hejazy.
Selain naskah-naskah di atas, telah ditemukan pula inskripsi kedua
dari Umm Al-Jimal, tertanggal dari abad keeanam. Inskripsi ini
menguatkan asal usul tulisan Arab dari tulisan Naba>ti>, sekaligus menunjuk
pada suatu evousi bentuk-bentuk kaligrafi Arab yang beraneka ragam.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 115


Menurut sumber-sumber Arab, penemua-penemuan tegas tersebut
ditetapkan dengan panggilan Manuskrip Arab Utara,21 yang pernah Berjaya
pada mulanya diwilayah timur laut Arabia dan tumbuh berkembang
terutam pada abad kelima diantarnya kabilah-kabilah Arab yang mendiami
Hirah dan Anbar (di wilayah Irak). Dari sanalah, pada penghujung abad
kelima dan awal abad keenam, tulisan tersebut menyebar ke Hejaz22,
Arabia bagian barat.
Dapat dikatakan setelah kita pelajari seluruh rahasia penemuan pada
batu-batu tersebut bahwa bentuk kaligrafi Arab yang lebih disempurnakan,
yang ketahui masyarakat Arab (sesudah khat Musnad Humeiri berikut
cabang-cabangnya) sejak semula, dengan beragam nama, antara lain adalah
fan hieri (dari kata hira atau Hiron, sebuah kota diirak. Sesuadah masa
Islam khat itu disebut kufi, seperti disebutkan oleh Ibnu Nadiem23 ) dank
hat Anbari (dari kat Anbar), kemudian khat Makki (Mekkah) dank hat
Madani (Madinah). Kedua terakhir ini kerap disebut juga khat Hejazi
Nama-nama tersebut sengaja dinisbahkan kepada nama daerah yang
ditulisannya dipergunakan. Sama sekali tidak menunjuk pada bentuk atau
corak sendiri-sendiri yang independen. Semuanya bermuara pada satu
pangkal, yakni Nabati Mutakhir. Sesudah itu, barulah terjadi pergeseran-
pergeseran bentuk, meninggalkan tampang ortodoksnya.
Perjalanan khat yang berakhir diwilayah-wilayah Arabia Utara ini
telah melahirkan pelbagai nama tulisan baru. Di Madianah, misalnya,
dikenal khat Mudawwar (membuat rounded), Musallas (bersegi tiga

Y.H Safadi, op. cit., h. 8.


21

Tanah Hejaz artinya Negeri Arab. Lebih jelas, Hejas sering disimpulkan sebagai
22

wilayah yang mencakup sekitar Mekkkah dan Madinah.


23
Dr. jauwal Ali. Op,cit., juz IV, hlm 16
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 116
trianguler) dan Ti’m (pertengahan antar Mudawwar dan musallas). Dan
masih banyak lagi nama-nama lainnya. Akan tetapi, dari sekian banyak
nama tulisan yang ada pada waktu itu, hanya bias disimpulkan pada sesua
pada dua bentuk pokok tulisan saja, yaitu gaya Mabsut dan Muqawwar
keduanya tidak terpecahkan satu sama lainnya. Bentuk pertama condomg
pada model kubisme/balok yang memiliki sudut-sudut (Muzawwar) dan
banyak garis datar lurus pada lentangannya. Bisa juga disebut sebagai gaya
“penulisan kering” (dry writing). Sedangkan bentuk yang satunya lagi
bersifat lembut elastic (layin) yang condong pada lengkungan-lengkunga
dan bundaran-bundaran.pada huruf-hrufnya.sering diistilahkan dengan
sebutan “penulisan lembut”(shot writing).
Gaya dry writing lazim juga disebut gaya kufi, dan ini akan diuraikan
nanti pada pasal tersendiri. Sedangkan gaya shoft writing adalah model
yang kelak menjadi bibit pertumbuhan pelbagai jenis kaligrafi Arab
modern, seperti Naskhi, sulus, Rayhani, Diwani, dan lain-lain, sebagimana
menjadi pokok uraian dalam buku ini.
Khusus tentang khat laiyin, yang memiliki banyak bulatan(seperti
disinggung diatas), dikaligrafikan secara cursif. Ia lebih elegan dituliskan.
Karena mempergunakan ruang scara ekonomi dan umumnya lebih praktis
dan mudah pelaksanaannya dari pada khat muzawwa. Pada awal
pertumbuhan ia kemudian dikenal Naskhi atau Naskhi Hejazi, Karen
perpindahannya dan Hrah ke kota- kota dagang Hejaz, terutam jantung
kota Yastrib (Madinah) dan Mekah.
Hal itu dikuatkan pula dengan penemua surat-surat perjanjian yang
tersimpan pada museum-museum, berupa surat-surat dari kulit Bardi; yang
terua diantaranya termaktub tahun 22 Hijriyah, dikeluarkan oleh seorang
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 117
staf Amru ibn ‘Ash kepada Ignatius di Mesir dan ditulis dengan kaligrafi
Arab dan Yunani.
Ini menguatkan keyakinan bahwa bangsa Arab pernah saling surat-
menyurat dngan menggunakan jenis tulisan laiyin ini. Sejarah surat-surat
ini lebih dari dua tahun sejak didirikannya kota Kufah, suatu jarak waktu
yang tidak cukup untuk kemungkinan lahir dan terpecahnya Fan Naskhi
dari Khat Kufi berikut penyebarannya dalam secepat itu.
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa “ khat Naskhi
terambil dari Kufi” adalah salah. Sebab, belum ada dasar dan alasan-alasan
yang cukup kuat untuk membuktikannya.
Akan tetapi, dapatlah diduga, fan Naskhi tubuh berkembang di Hejaz
secar terpisah bersama pertumbuhan fan Kufi, di Kufah. Walaupun begitu
tidaklah berarti fan Naskhi Kufi tidak saling berintraksi, sebab semuanya
lahir dari sumber yang sama, yaitu Musnad.
Dari perkembangan Muqawwar dan Mubsut, dijumpai pula jenis-jenis yang
disebut Ma’il (mirin slanting) dan Mashq (memanjang extended). Ma’il
sendiri akhirnya tidak diteruskan pemakaiannya dan dilebur kedalan Kufi
(bahkan Mail Kerap disebut pula sebagai Kufi). Sedangkan Masq dan
Naskhi terus dipakai, sesudah kebangkitan di bidang penggunaan beragam
kaligrafi Arab.
Bentuk tulisan Arab selanjutnya lebih disempurnakan lagi oleh suku
Hirah dan Anbar (Irak, yang bernama tulisan Hierie dan Anbari) yang juga
penyempurnaan dari tulisan Musnad, kemudian muncul tulisan orang-orang
Hijaz yang disebut tulisan Hija>zi merupakan perkembangan paling akhir
dari rentetan pertumbuhan tulisan Arab. Kesempurnaan tulisan saat itu
bukan berarti kesempurnaan tulisan Arab seperti sekarang ini yang lengkap
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 118
dengan syakal/harakat dan titik-titik tanda perbedaan huruf yang sama
bentuk tapi berlainan ucapan. Penyempurnaan lebih lanjut baru dilakukan
pada abad pertama hijriyah.
Dari uraian di atas dapat simpulkan bahwa di wilayah jazirah Arab
setidaknya terdapat dua jenis ortografi tulisan yang berpengaruh secara
dominan, yaitu:
1) Ortografi dengan tulisan Naba>ti> dari kelompok tulisan Semit Utara
2) Ortografi dengan tulisan Musnad dari jazirah Arab Selatan.
Hal yang selalu menjadi perdebatan bagi kalangan ahli ialah: mana di
antara kedua tulisan itu yang lebih berperan dalam pembentukan tulisan
Arab seperti yang berkembang hingga saat ini.
Beberapa ahli tentang Arab Selatan (Klasser, Neckel, dan Homel)
cenderung berpendapat bahwa tulisan Musnad adalah bentuk tulisan Arab
tertua ( Zainuddin, 1974). Flinder Patri alam tulisannya The Formation of
The Alphabet (1912), malah berkesimpulan sebaliknya. Ia mengatakan
bahwa tulisan Arab bukan berasal dari tulisan Musnad, karena tulisan
Musnad telah musnah setelah perkembangannya di Himyar.
Semenjak beberapa abad sebelum Masehi kota Hirah telah berperan
besar dalam pengembangan tulisan-tulisan Semit. Di kota ini telah
berkembang beberapa jenis tulisan yaitu: tulisan Naba>ti, dari kelompok
tulisan Aramia, tulisan Kindy yang berasal dari kota Kindah (selatan kota
Hirah), dan tulisan Strangeli. Tulisan yang disebutkan terakhir ini adalah
perkembangan dari tulisan Siryani. Peran yang lebih besar telah diberikan
oleh kerajaan Anbath pada waktu Hirah menjadi wilayah kekuasaan
kerajaan itu. Tulisan Naba>ti> sangat umum dipakai oleh orang-orang Hirah
dibanding dengan tulisan-tulisan lainnya. Menurut beberapa peneliti Arab,
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 119
perkembangan tulisan Musnad di Himyar, kemudian di bawa ke Hirah pada
masa kerajaan Mana>zirah (268–628 M.). Semenjak waktu inilah
bergabungnya pemakaian Musnad, Naba<ti>, Kindi> dan Strangeli di kota
Hirah.
Pada abad-abad sebelum kelahiran agama Islam, di wilayah Hijaz,
pemakaian tulisan boleh dikatakan tidak umum. Orang Hijaz tidak
mementingkan komunikasi tulis, tetapi lebih mengutamakan kefasihan
lidah dan kekuatan hafalan. Pewarisan informasi di kalangan dan antar
kabilan Arab disampaikan melalui penuturan lisan, demikianpun tradisi
tutur dipelihara dalam hafalan-hafalan mereka. Oleh karena itu di wilayah
ini tidak banyak di temukan peninggalan-peninggalan tertulis.
Dari periwayatan yang kita terima tentang kehidupan masyarakat
Arab pra-Islam antara lain ialah adanya suatu tradisi bertutur sejenis Pekan
Raya Sastra (su>q). Pekan Raya ini merupakan ajang pertemuan para
sastrawan untuk saling mengadu kekuatan hafalan serta kefasihan lidah
mereka. Kegiatan ini dilaksanakan sekali dalam setahun dan diikuti oleh
utusan kabilah-kabilah setempat. Tempat penyelenggaraan kegiatan ini
antara lain yang lebih populer, yaitu di Ukaz dan dikenal dengan Suq al-
‘Ukaz, juga ditempat-tempat lainnya seperti Zulmaja>z dan al-Majanah.
Hijaz dianggap terminal terakhir tempat persinggahan kaligrafi Aran.
Sejak itu, seni menulis diterima oleh masyarakat Quraisy dan kabila-
kabilah lain disekitarnya. Tentang bagaimana orang Hijaz menerima
pengetahuan menulis kaligrafi, berikut kutipan kisah yang banyak disadap
sebagai sejarah masuknya tulisan Arab ke wilayah utama tersebut:
Al-Bulazury menceritakan dari Abbas ibn Hisyam Ibn Muhammad
ibn Al-Saib Al-Kalby dari kakeknya dan dari Al-Sararay Al-Qutamy,
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 120
bahwa tiga dari turunan Tai berkumpul di Buqqah. Mereka itu adalah
Muramir ibn Murrah, Asrum ibn Sidrah dan Amur ibn Jadarah.
Mereka berdiskusi tentang afabet Arab dan Suryani. Maka belajarlah dari
mereka satu kelompok dari penduduk Anbar. Dari orang-orang Anbar ini
belajar pula seorang dari penduduk Hirrah.
Dalam riwayat Ibnu Abbas r.a disebutkan, yang mula- mula
meletakan dasar- dasar huruf Arab adalah tiga orang tokoh dari Baulan
(Baulan adalah kabila dari Tai) yang singgah di kota Anbar. Mereka itu
adalah Maramir ibn Murrah Asrum ibn Sidrah dan Amur ibn Jadarah,
nama-nama yang smaa seperti dikutip dalam versi cerita Al-Bulazury
diatas. Mereka berkumpul dan meletakkan (mengolah) huruf-huruf putus
dan sambung, kemudian mendiskusikannya dalam bentuk “mangambil
perbandingan” dari segal segi dengan alphabet Suryani. Muramir diberi
tugas dan berhasil merancang bentuk-bentuk huruf. Aslum menentukan
bentuk pemisah dan sambungan, sedangkan amur meletakkan I’jam (tanda
titik)24 pengetahuan tersebut lantas menyebar ke Mekkah dan dipelajari
banyak orang.
Kisah Al-Bulazury selanjutnya: Diceritakan, Bisyr ibn Abdil Malik
Al-kindy, saudara Ukaidir yang menguasai Daumatul Jandal, dating ke
Hirah dan tinggal di sana beberapa waktu sambil belajar menulisa Arab dari
penduduk setempat. Kemudian ia mendatangi Mekkah pada waktu yang
lain dan kawin anak gadis Harb ibn Umayah. Kakeknya Muawiyah ibn Abi
Sufyan, pendiri dinasti Umayah. Suatu ketika Sufyan ibn Abdi Syams
(saudara Harb) dan Abu Qeis ibn Abdi Manaf ibn Zahrah dari turunan

24
Peletak tanda bacaan mula-mula dikenal Abu al-Aswad. Namun, tidak berarti
bahwa sebelumnya tidak pernah ada usaha ke arah itu, walaupun dalam bentuk yang jauh
dari sesempurna. Riwayat di atas telah membuktikannya.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 121
Kilab melihatnya sedang menulis. Keduanya minta belajar menuis darinya
dan Bisyr pun mengabulkan permohonan mereka dengan mengajrkan
kepada mereka huruf-huruf hijaiyah yang dikuasainya.
Lantas Bisyr dan Abu Qeis mengunjungi Thaif dalam suatu
perdagangan yang ditemani Gailan ibn Salmah al-Saqafy yang sudah
belajar kaligrafi dari mereka berdua. Maka ramai-ramailah masyarakat Taif
belajar menulis dari orang-orang tersebut. Bisyr berangkat lagi ke Syam
(Syria sekarang). Penduduk syam pun akhirnya belajar kaligrafi dari Bisyr.
Cerita-cerita tersebut menerangkan kita, bagaimana klaigrafi
menyudahi perjalanannya dari Hiraf ke Hejaz dimasa Sufayan dan Harb,
anak-anak Umayah yang selanjutnya menebar dengan cepat dikalangan
masyarakat Quraisy. Juga dapat diartikan bahwa kaligrafi Arab
menghentikan perjalanannya yang terakhir di Hejaz pada penghujung abad
ke-6 Miladiyah, seperti terbukti pada penemuan inskripsi-inskripsi Umm
al-Jimal. Nammarah, Zabad dan Harran di atas.
Harb dikenal sebagai seorang tokoh bangsawan Quraisy. Suatu
kabilah yang melahirkan Nabi Muhammad Saw di antara orang-orang
Quraisy yang belajar menulis langsung dari Bisyr dan Harb, dan menjadi
tokoh-tokoh kuat suku itu adalah Umar Bin Khattab, Usman Ibn Affan, Ali
bin Abhi Thalib, Talhah ibn Abdallah , Abu Ubaidah ibn Al-Jarrah, dan
Mu’awiyyah ibn Abi Sufyan. Orang-orang yang disebut terakhir adalah
para pengabdi setia yang banyak berperan dalam roda awal perutumbuhan
Islam. Tiga pertama tersebut kelak menjadi Al-Khulafa Al-Rasyidin,
panggilan bagi para pemimpin (khilafah) Islam yang mula-mula Nabi
Muhammad sedangkan Mu’awiyah popular sebagai pendiri Dinasti
Umaiyah, kerajaan Islam pertama yang sangat besar. Lebih jauh, setelah
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 122
bermukim di Mekah, pengetahuan meulis tersebut menular ke kota yang
lebih dekat, yaitu Madinah, dan dipelajari oleh kabila Aws, Khazraj, dan
Saqif denga penuh antusias mengalahkan keadaan di tempat
pengambilannya sendiri, Mekah.
Ihwal penyebaran kaligrafi dikalangan masyarakat Arab ini tidak bisa
dilepaskan dari “peranan Islam” yang luar biasa besarnya. Rasulullah Saw
yang dikenal “Ummi” (tidak kenal baca tulis), justru telah memberikan
dorongan kepada umatnya untuk menjadi masyarakat cerdik-cendekia yang
menguasai sistem baca tulis. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits beliau
banyak menyinggung pengetahuan membaca dan menulis yang luar biasa
pentingnya. Tanpa ajaran Islam pengetahuan menulis di kalangan
masyarakat Arab hampir-hampir dapat dikatakan tidak banyak artinya
apalagi menyebar luas dalam waktu yang relatif cepat, mengingat
kebanyakan masyarakat Arabb pada waktu itu tidak begitu menyukai
tulisan.
Hal yang perlu kita catatkan dari tradisi ini ialah bahwa setiap syair
yang dianggap terbaik akan memperoleh penghargaan untuk “digantung” di
Ka’bah setelah terlebih dahulu “ditulis dengan tinta emas”. Karya terbaik
itu disebut dengan al-Mu’allaqa>t atau al-Muzahhaba>t. Akan tetapi fakta
tentang kemajuan tradisi menulis di kalangan bangsa Arab pada waktu ini
kurang mendukung, karena disamping tidak ditemukan nya manuskrip asli
mu’allaqat itu juga karena ketiadaan sumber-sumber tertulis sejenis yang
ditemukan di wilayah Hijaz ini.
Kenyataan ini menjadi lebih sukar untuk melakukan identifikasi jenis
dan bentuk tulisan yang digunakan, demikianpun untuk menentukan kapan
tradisi menulis ini bermula di wilayah Hijaz dan dari tulisan apa ia
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 123
mendapat pengaruh. mengemukakan bahwa tulisan yang digunakan untuk
penulisan al-Mu’allaqat ialah tulisan jenis Naba>ti> yang berbentuk murabba’
(persegi). Namun fakta ini sedikit membingungkan karena jenis murabba’
yang huruf-hurufnya berkarakter persegi atau disebut juga dengan
muzawwa adalah turunan dari tulisan Strangeli yang berasal dari Siryani
(yang juga berkembang di Hirah). Sedangkan Naba>ti> lebih cendrung
berkarakter bundar (mudawwar/ muqawwar).25
Suatu hal yang agaknya telah disepakati oleh para ahli bahwa tulisan
yang digunakan oleh orang Hijaz adalah berasal dari Hirah. Pada bagian
terdahulu telah dikemukakan bahwa Hirah adalah terminal bagi beberapa
jenis tulisan Semit, baik Semit Utara maupun Semit Selatan. Suatu riwayat
yang dikemukakan oleh al-Baladzuri agaknya juga tidak banyak membantu,
karena ia hanya lebih menekankan pada tokoh yang membawa tulisan dari
Hirah ke Hijaz tanpa keterangan tentang jenis tulisan yang dibawa.
Al-Baladzury mengemukakan bahwa salah seorang kerabat dekat
penguasa Daumatul Jandal Bernama Bisyr bin Abd. Malik al-Kindy telah
belajar tulisan di Hirah. Beberapa waktu kemudian ia ke Makkah.
Kepandaian menulis yang dimiliki oleh Bisyr ini kemudian mendapat
perhatian dari Syofyan bin Umayyah dari suku Quraisy.26 Dengan demikian
Bisyr dianggap sebagai orang pertama yang mengajari orang-orang Makkah
menulis dan membaca, malah ia juga telah mengajari orang-orang Thaif,
Diyar Mudhar dan Syam. Dari apa yang dikemukakan dapat diketahui
bahwa orang-orang Makkah baru mengenal tulisan pada sekitar akhir abad
ke 6 Masehi (semasa dengan Syofyan bin Umayyah).

25
C. Israr, Kaligrafi Islam, (1985) h. 42.
26
Naji Zainuddin, Musawwar al-Khat al-“Arabi, h. 306.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 124
Beberapa penemuan tertulis (inskripsi) yang dijumpai di berbagai
tempat di luar wilayah Hijaz seperti di Ummul Jamal dan an-Namarah.
Inskripsi yang ditemukan di Ummul Jamal (Syria) menggunakan tulisan
Nabthi Mutaakhir dengan bahasa Naba>ti> Aramia serta memuat informasi
tentang wafatnya raja Tanukh: Fihr bin Sala. Inskripsi ini diperkirakan
ditulis pada tahun 250 M. Sedangkan inskripsi yang ditemukan di daerah
Nammarah (Hurran/Syria) berisi tentang Imriil Qys, raja Arab dan tentang
kabilah Nazar dan Usad. Inskripsi Nammarah menggunakan bahasa Arab
(lahjah Qurais) dan diperkirakan menggunakan jenis tulisan Naba>ti>
Mutaakhir dan ditulis sekitar tahun 228 M.27 Demikianpun inskripsi Hijr
Zabad yang ditemukan di daerah Khirbah (Zabad) yang menggunakan
bahasa Yunani, Siryani dan Naba>ti> Mutaakhir (Arab kuno) diperkirakan
ditulis pada tahun 511 M., dan inskripsi Houran yang terletak di pintu
sebuah geraja di Luja yang ditulis dengan Naskhi kuno pada tahuan 568/9
M.
Mengamati tulisan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi tersebut
dapat diperkirakan bahwa tulisan Arab berakar pada jenis tulisan itu,
karena kemiripan huruf-hurufnya dengan tulisan Arab yang ada sekarang.
Bila inskripsi Ummul Jamal dan an-Namarah adalah bukti bagi perluasan
dan perkembangan tulisan-tulisan yang terdapat di Hirah pada abad ke-3
M., maka dengan itu dipahami bahwa Hijaz pada waktu itu terlepas dari
jangkauan perkembangan tulisan-tulisan Hirah.
Hal itu tentunya bila riwayat Bisyr bin Abd. Malik yang
dikemukakan terdahulu diterima sebagai titik bermulanya pengenalan
tulisan oleh orang-orang Makkah. Sampai saat ini belum kita dapatkan

27
Naji Zainuddin, h. 304.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 125
keterangan yang lebih pasti tentang kapan dimulainya penggunaan tulisan
di Makkah sendiri atau dengan kata lain kapan orang-orang Quraisy mulai
mengenal tulisan. Namun demikian keterangan-keterangan tentang
pengaruh Hirah bagi perkembangan tulisan-tulisan di wilayah Hijaz
(Makkah dan Madinah) agaknya tidak perlu diragukan lagi.
Peninggalan-peninggalan tertulis dari masa-masa awal Islam seperti
coretan-coretan yang di temukan di bukit Sala (Madinah), demikianpun
inskripsi yang terdapat pada dam (bendungan) yang dibangun oleh
Mu’awiyyah dan beberapa surat Rasulullah kepada raja-raja di sekitarnya,
telah pula memperkuat dugaan tentang pengaruh Hirah bagi pertumbuhan
tulisan Arab hingga ke masa awal Islam.
Bangsa Arab, jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, seperti
Mesir, Babilonia atau Cina yang telah sukses mengembangkan sistem tulis
dan memiliki bentuk ortografi dan kaligrafi yang sangat kompleks, boleh
dikatakan sebagai pendatang yang agak terlambat. Padahal, tulisan mereka
menempati tempat kedua sesudah aksara Romawi, yang banyak dipakai
dalam berbagai penulisan, sampai sekarang.
Alasannya cukup sederhana, yakni bahwa bangsa Arab dikenal
sebagai masyarakat yang suka berpindah-pindah (nomaden) dan belum
memiliki catatan sejarah yang dapat dipegang, kecuali sesudah masa
Islam.28 Mereka bukanlah satu bangsa yang memiliki keagungan tersendiri,
misalnya bangsa Romawi, Cina atau Mesir Purba. Mereka tidak terbiasa
mencatat peristiwa-peristiwa. Karena itu, sangat sulit mencari data tertulis
atau prastasti yang membuktikan peta perjalanan sebuah kerajaan di
Jazirah Arabia. Dapat dikatakan, bahwa sebagian besar masyarakat Arab di

28
Y.H. Safadi, Kaligrafi Islam, (Jakarta: Pantja Simpati, 1986), h.7.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 126
zaman jahiliyah bukan saja buta huruf, malahan juga dari satu segi anti
huruf.
Meskipun demikian mereka memiliki suatu “kekuatan” unik yang
sangat mengagumkan, yakni “tradisi mulut ke mulut” dalam menyimpan
informasi atau untuk menyampaikan komunikasi. Pantun dan syairlah yang
merupakan penalaran paling berharga untuk mengungkapkan makna-makna
perasaan hati dan gejolak pikiran mereka. Tidak ada yang dianggap lebih
berharga di mata orang-orang Arab, selain pantun syair. Alam bebas,
padang pasir yang membentang, luas dan ragam kehidupan yang terbebas
dari segala pengaruh kebudayaan asing, membuat mereka merasa leluasa
dan terlatih untuk berimajinasi dan mengkhayalkan apa saja yang mereka
alami dalam kehidupan sehari-hari.
Orang-orang Arab purbakala telah disifatkan sebagai bangsa penyair.
Sebuah family atau kabilah merasa lebih bangga mempunyai seorang
penyair sebagai anggota keluarga daripada memiliki seorang panglima
perang. Penyair-penyair ini, sebagaimana kebanyakan penyair lain, sangat
ingin dikenang hingga ke anak cucu dan untuk mencapai maksud itu setiap
penyair akan memilih dua orang pemuda yang diharapkan dapat menghafal
sajak-sajak dan Pemuda-pemuda lain dalam generasi berikutnya.
Mereka tidak suka sajak-sajak itu ditulis. Malahan syair-syair itu
lazimnya diikuti oleh hafalan silsilah nenek moyang dan peristiwa-
peristiwa yang mereka alami. Semuanya “tidak dicatat”, tetapi disadap
belaka dalam ingatan setiap warga kabilah. Bahkan hal-hal lain, semisal
transaksi dagang, perjanjian kontrak juga dianggap cukup dengan perantara
“mulut ke mulut”. Hasrat menulis masyarakat Arab pada waktu itu hampir-
hampir tidak ada, kecuali pada beberapa kalangan tertentu yang dapat
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 127
dihitung dengan jari. Faktor inilah yang menyebabkan tulisan Arab tidak
mengalami pertumbuhan yang subur, bahkan lambat sekali.
Akan tetapi, menurut literature Arab, hanya pernah ada tujuh jenis
syair pujaan yang disebut Al-Mu’alaqat (gantungan) sebagai hasil karya
seni sastra maha indah dan paling sempurna yang punya nama terhormat
karena “ditulis” dengan tionta emas dan digantungkan (mu’allaqah) pada
dinding Ka’bah. Ketika itu, pantun syair yang keluar seleksi dan nilai
paling bagus, langsung di tempelkan pada dinding Ka’bah, sebagai
penghormatan yang luar biasa. Karena itu, tidak ada berkas-berkas tertulis
lebih dari yang tujuh lembar itu. Itu pun telah lapuk tatkala diadakan
pembersihan Ka’bah dan lingkungannya dari berhala dan patung-patung.
Seluruh syair Jahiliyah yang menjadi catatan sejarah kelak, adalah hasil
dari hafalan turun-temurun belaka, bukan dari catatan.
Tradisi penggantungan hasil karya pantun tersebut terputus sejak
masa Islam, karena kaum Muslimin sudah mulai banyak yang pandai
menulis. Dengan demikian, keterampilan menulis beralih menjadi catatan
harian yang bisa dimiliki oleh setiap personil. Tradisi yang sudah hilang
tersebut, sejak itu, diganti dengan tradisi penempelan kiswah (baju) pada
seluruh tubuh Ka’bah yang dihiasi aneka corak tulisan yang sangat indah.
(lihat bab: “Sejarah penulisan Kiswah Ka’ah”).
Seperti disebutkan di atas, bahwa ortografi Arab berasal dari Mesir
(Kan’an Semith atau Tursina29). Lalu terpecah menjadi ortografi Feniqi
(Funisia), kemudian yang pecah menjadi Arami dan Musnad dengan

Bangsa Semith adalah turunan Sam Ibn Nuh a.s yang melahirkan masyarakat
29

Arab. Kaldan, Assiria (Asyuria). Histosya, Kan’an, Ibrani, Arami dan lain-lain. Naji
Zaynudin, op.cit,.h.300. Induk bahasa Semith sangat misterius, belum diketahui asal dan
gramatikanya. Al-Iskandary wa Musthafa Anany, op.cit.,h.5.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 128
cabang-cabang (Arami): Naba>ti> di Hirah/Huron dan Satranjili-Suryani di
Irak; dan (Musnad): Safawi, Samudi, Lihyani di Utara Jazirah Arabia dan
Humeiri di Jazirah Arabia Selatan.
Hal itu didasarkan atas bukti-bukti nyata arkeologi (Dinas Purbakala)
yang pernah mengadakan penelitian intensif tentang pertumbuhan
orotografi Arab yang berasosiasi erat pada ilmu perbandingan bahasa.
Perkembangannya dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Ortografi Mesir Kuno adalah sumber kelahiran ortografi Feniqi,
2. Ortografi Feniqi terpecah menjadi 2 (dua): Arami dan Musnad.
3. Ortografi Arami melahirkan Ortografi : Naba>ti> di Hirah dan
Ortografi Satranjili-Suryani di Irak.
4. Ortografi Musnad melahirkan Ortografi: Safawi, Samudi dan
Lihyani di Arabia Utara, dan Humeiri di Arabia selatan.
5. Ortografi Naba>ti> dipandang sebagai biang dari model khat
Naskhi.
6. Sedangkan Ortografi Satranjili akhirnya melahirkan khat Kufi
yang sebelum Islam bernama Hieri (diambil dari kata Hirah,
kota kelahirannya) dan sering juga disebut Jazm.30
3. Sistem Ejaan dan Tulisan Ortografi Arab
Ortografi atau sistem ejaan Arab sama seperti bahasa-bahasan
serumpunnya bersifat aksara kursif yaitu aksara yang menunjukkan satu-
satu hurufnya disambung sama ada dengan huruf sebelumnya atau
selepasnya atau kedua-duanya. Tulisan ini ditulis dari kanan ke kiri.

Abdul Karim Husain, Khat/Seni Kaligrafi, Tuntunan Penulis Halus Huruf Arab,
30

Jilid. I.(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988), h. 13.


Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 129
Ortografi Arab memiliki bunyi, namun ada beberapa bunyi orotgrafi Arab
yang tidak terdapat dalam bahasa-bahasa asing. Ada pula huruf-huruf yang
dipakai dalam bahasa Arab namun memiliki nilai guna dalam bahasa lain,
misalnya pada bunyi zha’ (‫ )ظ‬,ain (‫)ع‬, shad (‫)ص‬, dhad (‫ )ض‬dan dzal (‫)ذ‬
tidak terdapat dalam bahasa Persia. Bunyi tsa’ (‫ )ث‬tidak terdapat dalam
bahasa Romawi dan Persia. Bunyi fa’ (‫ )ف‬tidak dikenal dalam bahasa
Turki.
Demikian pula dalam bahasa Indonesia, tidak terdapat, misalnya,
bunyi ‘ain ‘zahir (lahir), duha, zalim (lalim), haq (hak), batal (batal). Bunyi-
bunyi tersebut tidak lepas dari adanya unsur serapan dan faktor pengaruh
penggunaan bahasa Arab dan al-Quran, yang kemudian melekat ke lidah
bahasa Indonesia melalui tulisan Arab.
Ortografi Arab disebut huruf al-hija>’ (iyah) dan huruf al-Tahajji<. Di
Indonesia-kan menjadi “huruf ejaan”. Ahli gramatika Arab, Sibawihi dan
Al-Khalil menanamkannya huruf al ‘Arabiyah atau huruf al lugah
al’Arabiyah; maksudnya, huruf bahasa Arab, yang dengannya tersusun
bahasa Arab. Sering juga disebut huruf al-mu’jam (huruf yang bertanda
baca) atau bertitik, entah dalam bentuk terpisah-pisah yang belum dapat
dipahami sehingga menjadi sebuah rangkaian kata, ataupun karena
beberapa bagian darinya atau seluruhnya dibubuhi tanda baca.31

Tanda baca dalam tulisan Arab terdiri dari titik – yang disebut naqt atau I’jam –
31

dan baris yang disebut harakat atau syakal. Namun, jika disebut huruf al-Mu’jam, artinya
adalah huruf hijaiyah juga, atau huruf yang bertanda baca alias huruf hidup. Ada yang
mengartikan I’jam sebagai penerangan, karena dengan tanda-tanda tersebut huruf-huruf
menjadi terang bacaannya. Bahkan, istilah syakal sering pula digunakan, baik untuk titik
atau ataupun harakat. Sebab , syakal yang mempunyai arti ‘bentuk’ telah membentuk
tulisan menjadi kata-kata yang dapat dipahami. (Selanjutnya, lihat bab: “Sejarah Tanda
Baca”)
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 130
Tanda baca dalam tulisan ortografi Arab terdiri dari titik – yang
disebut naqt atau I’jam – dan baris yang disebut harakat atau syakal.
Namun, jika disebut huruf al-Mu’jam, artinya adalah huruf hijaiyah juga,
atau huruf yang bertanda baca alias huruf hidup. Ada yang mengartikan
I’jam sebagai penerangan, karena dengan tanda-tanda tersebut huruf-huruf
menjadi terang bacaannya. Bahkan, istilah syakal sering pula digunakan,
baik untuk titik atau ataupun harakat. Sebab syakal yang mempunyai arti
‘bentuk’ telah membentuk tulisan menjadi kata-kata yang dapat dipahami.
(Selanjutnya, lihat bab: “Sejarah Tanda Baca”)
Menurut Thair Khalifah al-Qaradhi> bahwa ortografi Arab terdiri tiga
macam, yakni 1) Urutan Hija>i>, 2) Urutan Abja>di> dan 3) Urutan Hisa>bi.
Adapun urutan hija>i>, adalah sebagai berikut:
1) Urutan Hija>i>,
‫ ذ‬,)‫ د (دال‬,)‫ خ (خاء‬,)‫ ح (حاء‬,)‫ ج (جيم‬,)‫ ث (اثء‬,)‫ ت (اتء‬,)‫ ب (َبء‬,)‫أ (َهزة‬
,)‫ ط(طاء‬,)‫ ض (ضاد‬,)‫ ص(صاد‬,)‫ ش (شي‬,)‫ س (سي‬,)‫ ز (زاي‬,)‫ ر(راء‬,)‫(ذال‬
‫ ه‬,)‫ ن(نون‬,)‫ م(ميم‬,)‫ ل(الم‬,)‫ ك(كاف‬,)‫ ق(قاف‬,)‫ ف (فاء‬,)‫ غ (غي‬,)‫ع(عي‬
.)‫ ة(اتء املربوطة‬,)‫ ي (ايء‬,)‫ ال (الم ألف‬,)‫ و (واو‬,)‫(هاء‬

Memperhatikan ortografi Arab, dalam urutan hija>i> di atas, maka dari


segi jumlahnya, ortografi Arab sejumlah 30 huruf. Huruf pertama pada
ortografi di atas disebut hamzah dan bukan alif, hal ini karena huruf
tersebut berdiri sendiri, berbeda pada huruf (‫ )ال‬yang terdiri dari lam dan
alif, meskipun wujud huruf tersebut terdiri dari huruf lam dan alif.
Ortografi dengan urutan hija>i> ini, harus sesuai dengan cara pengucapannya.
2) Urutan Abja>di>,

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 131


Penamaan ortografi abja>di> ini, karena dimulai dengan huruf abjad
(‫) اجبد‬, sedangkan bila dihitung dari jumlahnya berbeda dengan hija>i>, yakni
terdiri dari 28 huruf, adapun huruf-huruf tersebut sebagai berikut.
‫أبجده وزحطيكلمنسعفصقرشتثخذضظغ‬
Untuk memudahkan pengusaan, ke dua puluh delapan huruf ini, dirangkai
menjadi delapan kata, yakni: ( ,‫ ثخذ‬,‫ قرشت‬,‫ سعفص‬,‫ كلمن‬,‫ حطي‬,‫ هوز‬,‫أجبد‬
‫)ضظغ‬.
Jumlah ortografi dalam berbagai bahasa di dunia berkisar antara 24
hingga 36. Sedangkan ortografi Arab yang terhitung dalam Al-Qur’an
terdiri dari 28 huruf yang hal itu bila dilihat dari segi ucapan, dan jumlah
tersebut berada di tengah-tengah jumlah huruf-huruf bahasa lain.
Sebagian ulama yang menafsirkan, bahwa kata-kata “ummatan wasatan”
(umat pilihan/pertengahan) dan “ Khaira ummatin ukhrijat linnas” (sebaik-
baik umat yang dikeluarkan untuk masyarakat manusia) yang dilontarkan
Al-Qur’an kepada umat Islam, juga mencakup jumlah huruf bahasa Arab
(Al-Qur’an ) yang “dihadiahkan” kepada mereka, dan jumlahnya berada di
tengah-tengah antara jumlah ejaan bahasa-bahasa asing.
Hal tersebut berdasarkan pada keanekaragaman jumlah aspek bunyi (bunyi
ucap) atau makhraj Suryani, Rumawi, Persia, Sisilia dan Turki
mengucapkan kata-kata yang terdiri dari 24 hingga 26 huruf; sedangkan
orang-orang Ibrani, Yunani, Koptic Kuno, Hindustan dan lain-lain
mengucapkannya dalam jumlah 32 hingga 36 huruf.
Menurut C. Muhamad Naim, sebagian besar ulama menyetujui
bahwa, ortografi Arab mempunyai 28 grafem atau huruf-huruf abjad,
sedangkan ulama yang lain menegaskan ortografi Arab mempunyai 29
huruf abjad. Perbedaan angka di atas terjadi pada huruf hamzah dan alif,
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 132
yang kedua mempunyai kemiripan, namun juga mempunyai khas tersendiri
ketika ditulis dan diletakkan pada sebuah kata.
Dalam masalah ini, ahli-ahli bahasa tradisional sendiri telah
membincangkannya dengan terperinci. Sebenarnya mereka mengakui dan
bersependapat menyatakan bahawa ortografl Arab mengandungi 29 huruf.
Sibawaih dalam bukunya "Al~kitab" menegaskan bahwa asal huruf abjad
bahasa Arab adalah 29 huruf.32
Khalil ibnu Ahmad juga mempunyai pendapat yang sama
sebagaimana yang dinyatakan dalam buku "Lisa>nul ‘Arab". namun yang
menjadi perselisihan pendapat ialah tentang perlu atau tidak "alif" ditulis
berbeda dengan "hamzah".33 Hal ini karena huruf "alif" adalah satu-satunya
grafem yang tidak boleh berfungsi sebagai konsonan dan tidak boleh
diletakkan simbol diakritik. Berbeda dengan huruf vokal "y '" dan "wau"
yang boleh berfungsi sebagai huruf konsonan bila diletakkan tanda
diakritik. Maka alif tidak layak ditulis berlainna sebagai salah satu huruf
abjad. Oleh karena itu, ia dinamakan "alif" bila berserta dengan "hamzah"
dan di kala itu ia adalah sebagai huruf konsonan. Bila buang "hamzahnya"
maka huruf alif berfungsi sebagai huruf vokal.
Tertib Hijaiyah tersebut disusun atas dua bentuk : mufrad (tunggal)
dan muzdawij (berangkai). Bahkan, kaum Muslimin penduduk Masyriq
berbeda teknik dalam merangkai huruf-huruf tersebut dengan umat Islam
penduduk Magrib.34 Perinciannya adalah sebagai berikut.
a. Mufrad menurud susunan penduduk Masyriq:

32
Sibawaih (358H.-384H.)
33
Khalil ibnu Ahmad (630H.-71 1 H.)
34
Wilayah kekuasaan Islam di timur disebut Masyriq, sedangkan di barat disebut
Magrib. Batasan istilah tersebut lihat pada baba “Tulisan Magribi”.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 133
(‫ابتثجحخدذرزسشصضطظعغفقكلم‬
‫)ن ه و ال ى‬
b. Mufrad menurut susunan penduduk Magrib:
(‫ابتثجحخدذرزطظكلمنصضعغفقس‬
‫)ش ه و ال ى‬
c. Muzdawij menurut susunan penduduk Muzdawij:
( ‫ضظغ‬ ,‫ ثخذ‬,‫ قرشت‬,‫ سعفص‬,‫ كلمن‬,‫ حطي‬,‫ هوز‬,‫)أجبد‬.
d. Muzdawij menurut susunan penduduk Magrib:
(‫ضغظ‬ ,‫ ثخذ‬,‫ قرشت‬,‫ سعفص‬,‫ كلمن‬,‫ حطي‬,‫ هوز‬,‫)أجبد‬.
Jumlah huruf tersebut –sesuai dengan bunyi hadits yang datang dari
Abi Zarr- tetap 28 buah, tidak termasuk lam alif yang sudah terangkum ke
dalam huruf lam dan alif . Sedangkan hamzah sudah termasuk alif. Namun,
ada juga yang terbiasa memisahkan hamzah dari alif, sehingga jumlah
seluruhnya 30 huruf, termasuk hamzah dan lam alif. Hitungan ini pulalah
yang kerap dipakai di Indonesia.
Tidak begitu jelas, mengapa ada susunan abjadun seperti pada
rangkaian muzdawij di atas. Apakah ia mempunyai makna ataukah tidak?
Apakah cara tersebut menyulitkan dalam mempelajarinya? Yang jelas,
kebanyakan masyarakat, baik di Masyriq ataupun di Magrib tetap
mempelajarinya.
Kuat dugaan, pola abjadun mulai diajarkan di masa Umar Ibn Khathab
r.a.35 Hal itu, dikuatkan oleh ucapan seorang Arab Badway di dalam bait-
bait syairnya:
ٍ ‫ثَالَثَةَ أَسط ٍر متَ تَابِع‬
‫ات‬ ِ ‫أَتَيت مه‬
‫اج ِري َن فَ َعلَّموِّن‬
َ ❖ َ
35
Abu ‘Abba>s Ahmad ibn ‘Ali> Al-Qalqasyandi>, Shub al-‘A’sya fi> Shina’a>t al-
Insya’. (Maktabah Lustatomad wa Syarikah, t.th), h.19.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 134
ٍ ‫تَعلَّم سع َفصا وق ريِ َش‬
‫ات‬ ََ ً َ َ ❖ ‫َو َخطُّوا إِ َىل أَ ََب َج ٍاد َوقَالوا‬
Aku telah mendatangi tuan-tuan Muhajirin
Lantas mereka mengajariku
Tiga baris berturut-turut
Dan mereka menulis untukku “abajadin”
Seraya katanya:
Belajarlah “sa’fasan” dan “qurayyisyat”!
Dalam riwayat disebutkan, bahwa Abu Jadin, Hawwazin, Hatay dan
Kulaman adalah raja-raja Madyan.36 Sedangkan Kulaman sendiri hidup di
zaman Nabi Syu’aib alaihi salam. Empat orang inilah yang konon dianggap
sebagai tokoh peletak dasar-dasar penulisan Arab.
Ada beberapa ahli yang menganggap bahwa 28-29 bentuk huruf
tersebut bila dilihat dari tulisannya (bukan makhraj) sebenarnya masih bisa
diciutkan lagi menjadi lima bentuk saja, yakni alif, jim, ra’, nun, dan mim.
Di dalam alif ada 11 betuk. Satu alif qa>imah (tegak): tujuh alif
mastu>hah (melentang), yaitu (‫ث‬ ,‫ ت‬,‫ ب‬,‫ ى‬,‫ ل‬,‫ ك‬,‫)ف‬, dua alif
mabtuhah (tersungkur), yaitu (‫ ظ‬,‫)ط‬, alif ma’tu>fah (dirangkaikan), yaitu
(‫)ال‬. Adapun huruf Jim memiliki tujuh bentuk. Bentuk jim muraffalah
(telanjang), yaitu,(‫)ج ح خ‬, dua jim mahdzu>fah (terbuang), yaitu,(‫)د ذ‬, dua
jim syakhishah (tercuat), yaitu,(‫)ع غ‬. Untuk huruf Ra memiliki tiga
bentuk, yaitu, (‫)ر ز و‬, Nun memiliki enam bentuk, yaitu,( ‫ن س ش ث ض‬
‫ )ق‬serta Mim memiliki dua bentuk, yaitu, ( ‫)م ه‬.
Ortografi Arab bila dilihat dari fasenya terdiri dari beberapa tahapan
penyempurnaan, menjadi ortografi yang kita kenal saat ini.

36
Gambaran selengkapnya tentang kaum Madyan dihadirkan dalam al-Qur’an
surat 11:84-95. 7:93, 29:36-37, 20:40, 22-23. 9:70, 22:42-44.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 135
a) Fase al-Shuwar al-Dzati
Pada fase ini ortografi Arab masih berbentuk komunikasi verbal
yang dituangkan melalui gambar yang dapat mendeskripsikan kejadian atau
peristiwa itu sendiri. Fase al-shuwari al-dzati bentuk paling sederhana
karena memiliki pendeskripsian peristiwa-peristiwa terbatas. Contoh :
gunung meletus ,diserang binatang buas dan lainnya.
b) Fase al-Shuwar al-Ramzi
Pada fase ini ortografi Arab dideskripsikan melalui suatu peristiwa,
lebih kepada keadaan dan perasaan setiap orang yang mengalami suatu
kejadi tertentu, contoh: burung merpati dilambangkan dengan tanda cinta,
ulat dilambangkan sebagai bagian rasa benci, dan sebagainya.
c) Fase Maqtha’i>
Pada fase ini, ortografi terkait dengan perkembangan manusia yang
membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran untuk menyampaikan pesan,
dengan itu terbentuklah Maqtha’i (tanda), yang menggantikan gambar
sebagai bahasa tulis. Contoh: tanda kepala ‘Ain sebagai ganti gambar yang
menunjukkan arti musuh, tanda kepala Syin sebagai ganti gambar pohon
dan lain sebagainya.
d) Fase Hija>zi>
Pada fase ini ortografi sudah dalam bentuk sempurnah dari
perjalanan perkembangan sebuah tulisan yang disepakati dan digunakan
oleh kelompok dan orang tertentu, hingga mencapai proses kesempurnaan
yang memenuhi kebutuhan bahasa.
Setelah mengalami beberapa fase, keberadaan ortografi Arab, khususnya
sesudah Islam terus mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Di antara

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 136


tanda-tanda penyempurnaan tersebut, ditandai dengan beberapa terobosan
yang dilakukan oleh para Ahli, yakni:
1) Syakal atau harakat, yang dipelopori oleh Abu Aswad ad-Dua>li,
>, beliau diklaim sebagai ahli bahasa yang menciptakan syakal
yang bentuknya masih dalam bentuk titik, sehingga dapat
mempermudah cara membaca juga untuk membedakan huruf
yang bentuknya berkemiripan. Seperti titik satu di atas huruf
berarti fathah (a).
2) Garis, yang dipelopori oleh Nashr bin ‘Ashim bin Yahya bin
Yamar, ia menciptakan tanda berupa garis pendek yang
diletakkan di atas atau di bawah huruf, misalnya, ba’ diberi satu
garis pendek di bawah huruf.
3) Membalikkan tanda-tanda, yang dipelopori oleh Khalil bin
Ahmad al-Farahidi, seorang ahli tata bahasa Arab, yang
berupaya merumuskan sistem ortografi Arab dengan cara
membalikkan fungsi tanda-tanda baca dari periode sebelumnya,
menjadi berfungsi sebagai tanda panjang, seperti Alif berarti (a),
Ya berarti (i) dan waw berarti (u),
4) Tanda Pengganti Hamzah, huruf ini pada hakekatnya disebut
dengan ra’sul ‘Ain, (atau kepala huruf ‘Ain),
5) Tanda pengganti Sukun, tanda ini memiliki dua bentuk, untuk
pendudukan andalusia, sukun merupakan bagian dari huruf ha,
sedangkan bagi penduduk madinah, sukun diambil dari kepala
huruf mim.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 137


6) Tanda pengganti Tasydid, tanda ini berasal dari kata syadid
yang berarti bunyi ganda, diambil dari kepala syin.37
7) Tanwin, merupakan tanda yang dibaca seakan-akan bertemu
dengan nun di akhir kata, oleh karena itu tanwin juga disebut
dengan nunasi.
8) Fathah (‫ )فتحة‬adalah harakat yang berbentuk layaknya garis
horizontal kecil yang berada di atas suatu huruf Arab yang
melambangkan fonem /a/. Secara harfiah, fathah itu sendiri
berarti membuka, layaknya membuka mulut saat mengucapkan
fonem /a/. Ketika suatu huruf diberi harakat fathah, maka huruf
tersebut akan berbunyi /-a/.
9) Kasrah (‫)كسرة‬, adalah harakat yang berbentuk layaknya garis
horizontal kecil yang diletakkan di bawah suatu huruf Arab,
harakat kasrah melambangkan fonem /i/. Secara harfiah, kasrah
bermakna melanggar/rusak Ketika suatu huruf diberi harakat
kasrah, maka huruf tersebut akan berbunyi /-i/.
10) Dammah (‫ )ضمة‬adalah harakat yang berbentuk layaknya huruf
waw (‫ )و‬kecil yang diletakkan di atas suatu huruf Arab,
harakat dammah melambangkan fonem /u/.
3. Pentingnya Ortografi
Ortografi atau sistem penulisan menjadi penting pada sebuah
bahasa ketika bahasa tersebut hendak didokumentasikan. Ortografi tersebut
penting untuk masyarakat, para akademisi, dan pemerintah. Masyarakat
adalah kelompok individu yang menggunakan bahasa bersangkutan dalam

Abdul Karim, Khat Seni Kaligrafi Naskhi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab
37

dengan Metode Komparatif, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988), h. 123.


Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 138
kehidupannya sehari-hari, sehingga merupakan kelompok yang paling
penting di dalam penciptaan ortografi.
Dalam konteks sosiolinguistik, yaitu pemakaian bahasa oleh
masyarakat, ortografi penting dalam pemakaian bahasa untuk situasi resmi
maupun tidak resmi. Dalam situasi resmi, ortografi bermanfaat dalam
penerjemahan buku-buku agama atau buku bacaan anak sekolah. Selain itu,
ortografi juga bermanfaat untuk bahasa dalam situasi santai, seperti
penulisan surat, penulisan daftar, atau penulisan karya sastra lisan.
Penulisan sastra lisan menjadi penting dalam kaitan dengan trasformasi
nilai etika/moral dari generasi ke generasi.
Para akademisi berkepentingan pada ortografi sebuah bahasa ketika
ia melakukan kegiatan pendokumentasi terhadap bahasa bersangkutan.
Pendokumentasian diperlukan terutama dalam kegiatan penelitian dan
analisis terhadap bahasa tersebut. Analisis akan dilakukan terhadap unsur
linguistic (kebahasaan, baik mikro maupun makro) atau unsur non-
kebahasaan. Ortografi untuk kepentingan akademisi sering bersifat khusus
sesuai dengan bidang yang dibahas dan sedikit berbeda dengan ortografi
untuk masyarakat.
Jika dilihat kepentingan ortografi pada pihak-pihak terkait tersebut,
ortografi harus diterima oleh semua pihak. Dengan demikian, penciptaan
ortografi haruslah mendapat dukungan, baik dari masyarakat, pemerintah,
maupun dari pihak akademisi. Penciptaan ortografi harus melibatkan
pemuka masyarakat, pemuka agama, akademisi, dan lembaga bidang
bahasa. Oleh karena itu, ortografi harus diciptakan melalui musyawarah
dan sosialisasi yang seluas-luasnya serta diterima oleh semua orang.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 139


Menurut Moch. Syarif Hidayatullah, Aksara (ortografi) adalah sistem
tulisan yang dibuat untuk digunakan secara umum dan berlaku di dalam
masyarakat suatu bahasa.38 Aksara dibuat untuk dapat menggambarkan
bunyi yang sebenarnya dari suatu bahasa. Dalam sejarah kehidupan
manusia, aksara telah melewati beberapa fase perubahan, sehing-ga sampai
pada sistem aksara seperti yang kita gunakan saat ini.
Aksara adalah keseluruhan sistem tulisan. Aksara mencakup istilah umum
untuk graf dan grafem. Graf adalah satuan terkecil dalam aksara yang
belum ditentukan statusnya, sedangkan grafem adalah satuan terkecil
dalam aksara yang menggambarkan fonem. Urutan huruf dalam suatu
sistem aksara dinamakan abjad atau alfabet. Misalnya dalam aksara Arab,
abjad itu dimulai dari alif sampai ya’.
Dalam bahasa Arab, kita mengenal sistem tulisan yang disebut aksara
Arab. Aksara Arab mula-mula dipakai untuk menuliskan bahasa Arab,
diturunkan dari aksara Aramea. Peninggalan tertua beraksara Arab berasal
dari tahun 512 M. Dalam penyebarannya juga dipakai untuk menuliskan
bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Urdu, bahasa Melayu, bahasa Jawa,
dituliskan dari kanan ke kiri.39 Aksara ini dibuat untuk digunakan dalam
merekam dan menuliskan bunyi-bunyi bahasa Arab yang diucapkan oleh
penuturnya.
Selain itu, aksara Arab seperti aksara-aksara bahasa lain dituntut
untuk dapat menuliskan ujaran-ujaran bahasa yang sebenarnya. Aksara
Arab yang kita kenal saat ini dan kita gunakan dalam berbagai keperluan,

38
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 110.
Harimurti Kridalaksana Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
39

2008), h. 5.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 140
juga telah melewati beberapa fase perubahan. Bentuk tulisan yang paling
lama berasal dari sistem tulisan al-masnad al-yamani dalam bentuk tiang-
tiang. Bentuk kedua adalah bentuk al-nabthi salah satu macam tulisan al-
Ara>mi seperti tulisan nuqu>si> (gambar-gambar) pada kuburan. Ke-mudian
sampai pada tulisan Arab yang diambil dari al-Nabthi, dengan beberapa
perubahan. Perubahan itu terus terjadi sampai pada sistem tulisan seperti
sekarang dan bukan dalam bentuk nuqu>si>.40
Menurut Holes aksara Arab sangat konsisten dan sa-ngat dekat
dengan bunyi bahasanya, jika dibandingkan dengan bahasa lain. 41 Hal itu
dapat kita lihat bahwa setiap huruf (grafem) dalam aksara Arab dapat
menggambarkan bunyi (fonem) berikut dan alofon-alofon-nya (varian).
Misalnya, fonem /ba/, /ta/, dan /tsa/ dirumuskan dengan huruf ,‫ث‬ ,‫ ت‬,‫ب‬
meskipun setiap fonem memiliki beberapa alofon-alofon. Fonem-fonem
berikut alofon-alofonnya yang berada dalam bahasa Arab cukup dituliskan
dengan sebuah huruf. Hasilnya kita mengenal huruf-huruf aksara Arab yang
jumlahnya sebanyak 28 huruf.42 Huruf-huruf ini tersusun dalam suatu
urutan abjad yang dikenal dengan nama al-Huru>f al-hija>’iyyah.
Namun, dengan segala konsistensi dan ketelitiannya, aksara Arab
masih memiliki kelemahan dalam merekam fonem dan alofon-alofonnya
seperti aksara bahasa lainnya. Aksara Arab masih belum dapat
menggambarkan bunyi-bunyi ujaran bahasa secara akurat. Hal ini dapat
kita pa-hami bahwa bunyi-bunyi ujaran bahasa berkembang pesat seiring

Ali Abdul Wahid al-Wafi,. Fiqh al-Lughah. (Kairo: Kajbah al-Bayan al-‘Arabi,
40

1947), h. 251-254
41
Holes Clive. Modern Arabic: Structures, Functions and Varieties . (New York:
Longman Publishing 1995), h.73.
42
(Bisyr, tt: 492).
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 141
dengan perkembangan zaman, sementara perkembangan aksara selalu
lambat untuk mengikuti kemajuan itu.
Kemudian, menulis adalah bentuk turunan pada penggunaan bahasa.
Jadi, cara menulis itu seharusnya menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk
bunyi dan perubahan di dalamnya. Tulisan merupakan tu-runan dari bahasa
lisan dalam arti bahwa sistem aksara mengikuti per-kembangan bunyi dan
tidak berjalan dengan ketentuan sendiri. Menurut Kridalaksana
"Kesepadanan antara huruf dan bunyi sering arbitrer."43
Adapun kelemahan aksara bahasa Arab dapat kita temukan pada
beberapa tempat, seperti sistem penulisan hamzah yang berbeda-beda
seiring perbedaan tempatnya, baik di depan, tengah, dan akhir sebuah kata.
Perbedaan juga terletak pada sistem tulis dan karakteristik antara hamzah
al-washl dan hamzah al-qath'. Hamzah al-washl dituliskan dengan huruf
alif, diucapkan ketika berada di awal kalimat, seperti ‫ اسم‬dan tidak
diucapkan ketika didahului oleh kata lain, seperti.‫ ما اسم هذا الرجل‬. Hamzah
al-qathi ' ditulis dengan hamzah di atas alif, diucapkan baik di awal
kalimat, ataupun didahului oleh kata lain, dan tandanya tetap harus
dituliskan, seperti .‫أسعد‬ ‫ قال‬,‫ أان أسعد‬.
Dalam aksara Arab terdapat vokal-vokal yang terucap, tetapi tidak
direalisasikan melalui suatu simbol dalam penulisan. Contohnya vokal
panjang( al-madd )pada kata-kata .‫هذا‬ , ‫هذه‬,‫للا‬ . Sebaliknya ada simbol
yang tertulis, namun vokalnya tersembunyi, seperti vokal alif pada kata ‫رموا‬
dan vokal waw pada kata( ‫ أولئك‬Selain itu, aksara Arab memiliki

Harimurti Kridalaksana Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


43

2008), h. 79.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 142
kelemahan pada penulisan tekanan panjang dengan menggunakan alif, jika
kita bandingkan dengan tekanan panjang pada kata kata.‫رمى‬
Bahasa Arab sebagai suatu bahasa memiliki banyak keutamaan dan
kelebihan, sehingga menarik untuk dipelajari. Bahasa ini tidak hanya
dipelajari oleh bangsa Arab saja, tetapi banyak bangsa-bangsa lain yang
mempelajari bahasa ini. Keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh bahasa
Arab terletak pada beberapa aspek berikut. Pertama, identitas-nya sebagai
bahasa al-Quran, sehingga banyak digunakan oleh pemeluk agama
Islam. Kedua, bahasa Arab penting untuk dipelajari karena bangsa Arab
(Islam) itu sendiri memiliki sejarah peradaban yang sangat mengagumkan
di masa lampau.
Selain itu, bahasa Arab merupakan bahasa internasional yang telah
diakui dan digunakan sebagai bahasa resmi Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB). Pengajaran bahasa Arab baik sebagai bahasa ibu maupun bahasa
asing bertujuan agar seseorang dapat menguasai bahasa Arab dan semua
aspek-aspeknya, dari tataran fonologi, morfologi sampai dengan tataran
sintaksis. Semua aspek tersebut dapat direpresentasikan dalam bentuk
keterampilan-keterampilan berbahasa, dari mulai mendengar, melafalkan,
berbicara, dan menulis.
KONSEP KALIGRAFI ARAB

A. Kaligrafi Masa Dulu


1. Latar Belakang
Proses menuju kesempurnaan perkembangan kaligrafi Arab sebelum
Islam menuju kesempurnaan pada abad ke-3 M, diperkirakan seabad
sebelum kedatangan Islam orang Hijaz sudah ada yang mengenal tulisan.
Hal ini terjadi karena ada hubungan dagang mereka dengan Arabia Utara
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 143
dengan Arabia Selatan yang sudah mengenal huruf seperti suku Hunain di
Yaman. Mereka ini melakukan perjalanan sambil belajar tulis baca di Syria
begitu juga yang lainnya di Ambar Irak. Menurut catatan sejarah di Hijaz
hanya ada beberapa orang yang pandai tulis baca yang terdiri dari orang
Quraish dan orang Madinah khususnya orang Yahudi.
Kemudian pada abad ke-7 M, terjadi sedikit perkembangan
penulisan di kalangan masyarakat Jazirah Arabia. Tulisan sederhana (belum
sempurna) telah ada, seperti yang dibuktikan oleh temuan arkeologis
(prasasti pada batu, pilar dan seterusnya) di Jazirah Arab. Selain itu sisa-
sisa paleorafis (tulisan pada material seperti papyrus dan kertas kulit) dapat
juga sebagai tanda untuk membuktikan bahwa orang Arab pada zaman itu
sudah mempunyai pengetahuan menulis.
Keterlambatan perkembangan ini karena bangsa Arab ini dikenal
sebagai masyarakat yang suka berpindah-pindah (nomaden). Mereka tidak
terbiasa menulis peristiwa. Jadi sangatlah sulit untuk mencari data tertulis
atau prasasti yang membuktikan peta perjalanan sejarah sebuah kemajuan
di Jazirah Arab. Mereka dikenal sebagai bangsa yang kuat daya hafalnya.
Jadi tidak diperlukan tulisan untuk menyampaikannya, karena menurut
pandangan mereka orang yang menulis itu adalah orang yang mempunyai
hafalan yang kurang kuat. Yang menjadi kebanggaan bagi bangsa Arab
pada waktu itu adalah syair. Syair merupakan penalaran paling berharga
dalam mengungkapkan makna-makna perasaan hati dan gejolak pikiran.
Hal ini karena kehidupan mereka terbiasa di alam bebas, padang pasir yang
membentang luas dan terbebas dari pengaruh budaya asing, yang
menjadikan mereka leluasa dan terlatih untuk menghayalkan apa saja yang
mereka alami dalam kehidupan. Kemudian syair-syair tersebut mereka
hafal agar mudah disampaikan kapan saja dikehendakinya.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 144


Kebanggaan mereka terhadap syair memang luar biasa. Mereka akan
merasa lebih bangga apabila salah seorang dari anggota keluarga atau
kebilahnya ada seorang penyair dibanding mempunyai seorang panglima
perang. Apabila syair atau pantun itu mendapat nilai paling bagus, maka
syair tersebut langsung ditempelkan di dinding ka’bah, sebagai tanda suatu
penghormatan yang luar biasa. Menurut literatur Arab, hanya pernah ada
tujuh jenis syair pujaan yang disebut al-Mu’allaqat (gantungan) sebagai
hasil karya seni sastra maha paling indah dan paling sempurna yang
mempunyai nama terhormat, karena ditulis dengan tinta emas. Dengan ini
dapat disimpulkan bahwa kegiatan tulis menulis itu sudah ada, tetapi masih
sangat langka, kecuali saat-saat dibutuhkan.
Itulah sebabnya pada bangsa Arab sebelum Islam datang seni
kaligrafi itu berkembang, perjalanannya agak tersendat, lebih dari seribu
tahun tidak melahirkan keanekaan, karena mereka tidak membudayakan
menulis. Apabila ada syair yang pantas untuk dibanggakan maka barulah
orang Arab tersebut menulisnya dan menggantungkannya pada dinding
Ka’bah. Memang pada saat itu juga tidak disebutkan mereka menggunakan
jenis khath apa dalam menulis tersebut. Tetapi dapatlah dipastikan bahwa
kaligrafi Islam tersebut berasal dari tulisan Arab karena tulisannya
menggunakan tulisan Arab. Dan tulisan-tulisan yang berkembang di daerah
Arab sebelum Islam datang dapatlah dikategorikan sebagai kaligrafi Arab.

B. Sejarah dan Perkembangan Kaligrafi Islam


Setelah Islam datang tulisan Arab ini mulai berkembang, karena
mereka juga dianjurkan menulis dan membaca. Mereka sudah mulai
menulis tentang ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits. Apalagi yang mereka tulis
itu adalah wahyu Allah. Setiap ayat yang telah diturunkan Allah dan
mereka terima dari Rasulullah lalu mereka tulis agar lebih mudah

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 145


mengingatnya. Mereka yang menulis ini biasa sudah ada ditunjuk oleh Zaid
bin Tsabit. Bukan itu saja yang menunjang mereke untuk menulis, ternyata
ayat yang pertama kali diturunkan itu adalah ayat mengenai perintah untuk
membaca dan menulis, sebagaimana yang tertulis dalam surat al-Alaq ayat
1-5.
Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa membaca dan menulis itu
memang dianjurkan. Semenjak turunnya al-Quran merupakan
perkembangan awal kaligrafi ini dimulai. Keperluan untuk merekam al-
Quran memaksa mereka untuk memperbaharui tulisan mereka dan
memperindahnya sehingga ia pantas menjadi wahyu Allah. Kemudian ayat
tersebut disebarkan oleh Rasulullah secara lisan dan kemudian dihafal oleh
para hafiz untuk dapat dibaca dalam hati. Tetapi setelah Nabi wafat tahun
633 M, sejumlah hafiz tersebut banyak yang gugur dalam peperangan.
Umar bin Khattab memperingatkan hal tersebut kepada Abu Bakar
sebagai khalifah pada masa itu . Pada waktu itu Abu Bakar masih ragu,
sebab hal ini belum pernah dilakukan pada masa Rasul. Setelah didesak
oleh Umar karena banyak pula terdapat perbedaan dialek bacaan tentang
ayat al-Quran ini, lalu Abu Bakar membentuk sebuah panitia dalam
penulisan ini yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit yang merupakan juru tulis
Nabi sebelum Nabi wafat. Zaid bin Tsabit menyusun dan mengumpulkan
wahyu ke dalam bentuk mushaf. Penyusunan ini baru terlaksana setelah
masa kekhalifahan Usman bin Affan pada tahun 651 M. Penyusunan yang
disucikan ini kemudian disalin ke dalam empat atau lima dalam bentuk
edisi yang serupa, kemudian dikirim ke wilayah-wilayah Islam yang
penting untuk digunakan sebagai naskah yang penting sebagai kitab buku.
Dari sanalah dimulai semua salinan al-Quran dibuat, mula-mula dalam
tulisan Mekah dan Madinah, yang merupakan ragam setempat tulisan Jazm,

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 146


kemudian dalam tulisan Kufah dan selanjutnya dalam sebagian besar ragam
tulisan Arab yang berkembang di negeri-negeri muslim.
Selain dari adanya kaitan dengan al-Quran, perkembangan seni
kaligrafi ini berkembang dengan pesat juga disebabkan oleh beberapa
faktor lainnya, sehingga dapat merata di seluruh dunia Islam diantaranya:
1. Karena pengaruh ekspansi kekuasaan Islam, setelah Nabi Muhammad
SAW wafat, Islam telah meluas sampai keluar jazirah Arab. Dengan
penyebaran tersebut terjadilah urbanisasi besar-besaran ke wilayah baru
dan pertemuan budaya antara Islam dan wilayah taklukan serta adanya
proses Arabisasi pada wilayah tersebut.
2. Adanya penamaan nama-nama raja dan kaum elit sosial. Dalam catatan
sejarah bahwa gaya tulisan Tumar (lembaran halus daun pohon Tumar),
diciptakan atas perintah langsung dari khalifah Muawiyah (40H/661M-
60H/680M). Tulisan ini kemudian menjadi tulisan resmi pada
pemerintahan Daulah Muawiyyah.
Ketika pemerintahan Muawiyah kaligrafi ini mulai berkembang,
orang terpicu untuk mempelajari tulisan Arab karena adanya system
Arabisasi yang diterapkan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Bahasa Arab
itu diberlakukan bukan saja khusus untuk bangsa Arab, tetapi pada setiap
orang Islam meskipun dia bukan orang Arab diharuskan menggunakan
bahasa Arab. Dengan adanya sistem arabisasi menjadikan bentuk tulisan
Arab semakin berkembang, sehingga muncul bermacam-macam model
tulisan Arab yang baru.
Setelah masa pemerintahan Abbasiyah penulisan kaligrafi ini sudah
mulai membudaya. Apalagi pada masa pemerintahan al-Makmum yang
sangat menyukai kaligrafi. Pada masa ini juga sudah dimulai
penterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Akhirnya penulisan

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 147


Arab semakin berkembang, sehingga pada masa ini lahirlah berbagai tokoh
kaligrafi yang dikenal.
Ahli kaligrafi yang terbesar pada zaman Mamluk ini adalah
Muhammad Ibnu al-Walid, yang meninggalkan salinan al-Quran yang unik
dalam tulisan sulus yang telah disalin ulang pada tahun 1304 M. Untuk
seorang pejabat tinggi Baybar, yang kemudian menjadi Sultan Baybar
(1308-09). Hal tersebut membuktikan bahwa kemampuan dalam seni
kaligrafi dapat menambah prestasi seseorang untuk mendapatkan jabatan.
Ilham Khoiri mengatakan bahwa ada semacam motivasi normatif
al-Qur’an yang mendorong kemajuan perkembangan seni kaligrafi ini. Hal
ini dapat dibagi kepada empat wujud yaitu adanya perintah untuk belajar
menulis al-Quran sebagai al-Kitab dan pengertiannya sebagai maqru,
tambahan lagi adanya perintah untuk menuntut ilmu serta larangan
menyembah atau memuja patung dan berhala. Tambahan lagi ada hadits
nabi yang menyatakan bahwa menulis ayat al-Quran dengan indah itu akan
mendapat pahala. Sebagaimana yang dinyatakan oleh:
‫ عن أمه عمرو بن ايب‬،‫عن أبو عاصم عن عبد امللك بن عبد للا بن ايب سفيان‬
(‫ قيدواالعلمبالكتابز (رواهالدرمي‬:‫ أنه مسع عمر بن اخلطابيقول‬،‫سفيان‬
Abu Ashim telah mengabarkan kepada kami dan kemudian dia
mengabarkan kepadaku, dari Abdul Malik bin Abdullah bin Abu Sofyan.
Dari ibunya Amru bin Abu Sofyan. Sesungguhnya dia mendengar dari
Umar bin Khatab bahwasanya Rasulullah bersabda: Kukuhkanlah ilmu itu
dengan tulisan.
Faktor tersebut yang menjadi pemicu para kuttab untuk menulis al-
Quran dengan indah. Secara tidak langsung mereka yang menulis ayat al-
Quran dengan indah berarti mereka turut serta mengagungkan al-Quran dan
memeliharanya dengan baik. Apabila al-Quran ditulis dengan baik dan
indah menjadikan orang senang untuk membacanya. Akhirnya dengan

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 148


demikian keindahan tulisan tersebut menjadikan suatu motivasi untuk
selalu membaca al-Quran, bagi orang yang selalu membaca al-Quran akan
mendapat pahala di sisi Allah.
Sumbangan terbesar dari kaligrafi Islam ini adalah Syaikh
Hamdullah al-Masi (w. 1502), yang dipandang sebagai pendekar kaligrafi
terbesar sepanjang dinasti Usmaniyah. Dia mengajarkan kaligrafi kepada
sultan Usmaniyah Bayazid II (1481-1520). Sultan tersebut sangat
menghormatinya dan membayarnya mahal untuk setiap tinta yang
mengalir, sementara syaikh menulis kalimat-kalimatnya. Begitu besarnya
perhatian pemerintah terhadap kaligrafi, sehingga setiap kaligrafer itu
senantiasa diberi imbalan yang besar atas setiap karyanya.
Kaligrafernya tidak saja terdapat dari kalangan laki-laki saja,
wanita pun sudah ada yang menggeluti dalam bidang tahun 1296 M
menguasai kaligrafi. Dia seorang kaligrafer yang mahir menulis kaligrafi
yang dikembangkan oleh Yaqut, telah melakukan penyalinan al-Quran.
Seni seni kaligrafi ini. Padsyah-Khatun salah seorang kaligrafer wanita
yang berasal dari Iran berkiprah di Jerman selama empat tahun sebelum
kewafatannya kaligrafi yang berkembang setelah Islam datang ini dapat
dikatakan dengan kaligrafi Islam. Karena tulisan yang sering disebut oleh
bangsa Arab itu ayat al-Quran. Model-model tulisan Arab yang digunakan
pun makin berkembang.
Perkembangan kaligrafi Arab ini tumbuh bersamaan dengan
tumbuhnya peradaban Arab dan munculnya peradaban Islam. Azzahawy
mengemukakan bahwa perkembangan kaligrafi itu kepada dua bentuk:
1. Khat yang kaku, yaitu berasal dari bangsa Ibrani. Khat ini digunakan
untuk menulis catatan resmi dan surat kabar.
2. Khat yang mulai lentur atau elastic apabila dibandingkan dengan khat
sebelumnya, yaitu rangkaian huruf yang berkaitan satu sama lain, seperti

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 149


khat naskhi. Khat ini dipakai dalam kegiatan sehari-hari dalam bentuk
berlobang, bulat dan terbuka.
Kepandaian seni kaligrafi ini tidak banyak dipraktekkan oleh orang-
orang yang sezaman dengan Nabi, meskipun sebagian sahabat dan
keluarganya sudah ada yang pandai membaca dan menulis. Hal ini karena
pada waktu Nabi sendiri tidak pernah mempelajari kepandaian ini.
Sedangkan kecendrungan orang pada masa itu pada syair dan prosa dengan
menggunakan budaya hafalan. Jadi pada masa itu seni sastra sangat
berkembang dan semakin mendapat perhatian dan sering dijadikan
kompetisi.
Kemudian setelah Nabi wafat, barulah mereka merasakan
kebutuhan untuk menulis. Karena pada masa ini sudah banyak di antara
sahabat nabi yang hafal al-Quran dalam peperangan. Lalu Umar bin
Khattab mengusulkan agar al-Quran itu dibukukan, karena kuatir al-Quran
itu akan hilang secara perlahan. Setelah pada masa Usman barulah berhasil
al-Quran itu dibukukan. Menurut catatan sejarah jenis khath yang pertama
kali digunakan adalah khath khufi. Dalam bukunya Athlasul Khat wa al-
Kutub, Habibullah Fadzoili (1993) mengemukakan tentang gembaran
perkembangan kaligrafi Arab Perkembangan tersebut terbagi kepada tujuh
periode.
1. Periode pertumbuhan. Pada masa ini gaya kufi muncul pertama kali
dengan tidak ada menggunakan tanda baca pada huruf tersebut.
Kemudian pada abad ke-7 H, lahir pemikiran untuk menggunakan tanda
baca oleh seorang ahli bahasa Abu Aswad Ad-Duali yang kemudian
dilanjutkan oleh muridnya sehingga mencapai tahapan kesempurnaan.
Pada abad ke-8 H, gaya kufi ini mencapai keelokan sehingga bertahan
selama tiga ratus tahun. Bahkan pada abad ke-11, gaya kufi ini telah
memperoleh banyak monumental.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 150


2. Periode pertumbuhan dan perindahan yang dimulai sejak akhir
kekhalifahan Bani Umayah sampai pertengahan kekuasaan Abbasiyah di
Bagdad. Pada masa ini muncul modifikasi dan pembentukan gaya-gaya
lain. Selain gaya kufi pada masa ini merupakan tahapan pertumbuhan
dan perindahan. Dan pada masa ini ditemukan enam rumusan pokok (al-
aqlam as-Sittah), yaitu Tsulus, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riq’i dan
Tauqi’. Selain itu pada periode ini terdapat pula sekitar dua puluh empat
gaya khat yang berkembang, bahkan mencapai dua puluh enam gaya
khath.
3. Periode penyempurnaan dan perumusan kaidah penulisan huruf oleh Abu
Ali Muhammad bin Muqlaq, (w.329H/940) dan saudaranya, Abu
Abdullah Hasan bin Muqlaq dengan metode al-Khath al-Mansub (ukuran
standar dan bentuk kaligrafi). Pada masa ini Ibn Muqlaq sangat besar
jasanya dalam membangun gaya Naskhi dan Tsulus. Di samping itu ia
juga memodifikasi sekitar empat belas gaya kaligrafi serta menemukan
du belas kaidah untuk pegangan seluruh aliran.
4. Periode pengembangan dari rumusan Ibnu Muqlaq ini oleh Ibn al-
Bawwab (w.1022 M), yang berhasil menemukan gaya yang lebih
gemulai al-Mansub al-Faiq (pertautan yang indah), yaitu suatu gaya
kaligrafi dari gabungan khath Naskhi dan Muhaqqaq. Dia juga
menambahkan hiasan pada tiga belas gaya kaligrafi yang menjadi
eksperimennya.
5. Periode pengolahan khath dan pemikiran tentang metode hiasan baru
dengan penyesuaian pena bamboo, yaitu pemotongan miring pada pena
tersebut oleh sang kiblatul kuttab, Jamaluddin Yaqut al-Musta’shimi (w.
698 H/1298 M). Di samping itu beliau juga mengolah gaya al-Aqlam as-
Sittah yang masyhur pada periode kedua dengan sentuhan kehalusan
penuh estetika serta mengembalikan hukum-hukum Ibnu Muqlaq dan

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 151


Ibn al-Bawwab. Yakut ini berhasil mengembangkan gaya baru dalam
tulisan Tsulus. Pada masa ini para kaligrafer lain juga antusias
menciptakan gaya-gaya kaligrafi ini sehingga dalam periode ini mampu
menghasilkan gaya kaligrafi sampai ratusan gaya.
6. Periode perkembangan pada masa dinasti Mamluk di Mesir dan Dinasti
Safawi di Persia. Pada periode ini muncul tiga gaya baru yaitu ta’liq
(farisi) yang disempurnakan oleh kaligrafer Mir Ali (w.1916), dan gaya
Sikhatseh (berbentuk terpecah-pecah) oleh khattah Darwisi Abdul
Majid. Pada masa ini juga muncul kaligrafer kenamaan di Mesir yang
bernama Thab-thab.
Ragam model gaya kaligrafi yang berkembang pada periode
perkembangan ini tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan pada masa
berikutnya bermunculan para kaligrafer yang tidak kalah hebatnya dan
mampu menggores tulisan yang halus dan sarat dengan nilai seni dan
keindahan. Demikian juga di Baghdad ditemukan tiga kaligrafer besar yaitu
Musthafa Raqim, Syeikh Musa ‘Azmi (lebih dikenal dengan Hamid al-
Amidi).
Bentuk model khath yang berkembang tersebut diciptakan oleh
tokoh-tokoh kaligrafer itu sendiri. Namun peletakan gaya kaligrafi ini tidak
seluruhnya dapat diketahui dengan jelas. Contohnya kaligrafi gaya khufi
merupakan gaya kaligrafi yang tertua dan tidak diketahui dengan jelas
siapa peletak dan pencipta dari model khath ini. Sedangkan khath Naskhi
lahir jelas diketahui siapa peletak pertama dari gaya khath ini adalah Ibn
Muqlah, karena kelahiran khath ini sudah tampak sebelum kelahiran Ibn
Muqlah, dan beliau juga yang mendewasakan jenis model dari khath ini.
Demikian juga halnya khath Diwany pencipta pertamanya Ibnu Munif di
Turki (860 H). Gaya Riq’ah diciptakan al-Mutasyar Mumtaz Bek di Turki
(1280 H).

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 152


Pada awal pertumbuhannya kaligrafi itu tumbuh dan beragam
bersifat kursif (lentur dan ornamental) dan sering pula dipadu dengan
ornament floral. Model kaligrafi kursif yang tumbuh pada masa itu Tsulus,
Naskhi, Muhaqqaq, Riqa’, Raihani dan Tauqi’. Keenam gaya inilah yang
dikenal dengan al-Aqlam as-Sittah, atau Sihs Qalam (Persia), atau The Six
Hands Styles (Inggris) . Keenam gaya kaligrafi ini mengalami seleksi alam.
Di antara jenis gaya kaligrafi tersebut mulai berangsur-angsur hilang. Gaya
Riq’ah dan Tauqi’ sudah mulai beransur surut dari peredaran, karena luruh
dan gayanya berkarakter mirip Tsulus, sementara jenis khath yang lain
tetap eksis dan berkembang semakin sempurna. Perkembangan ini
mencapai titik kulminasi pada masa pemerintahan Daulah Usmani (sekitar
abad ke-16) dan dinasti Safawi di Iran juga dalam periode yang sama.
Pada periode tersebut di Turki juga berkembang jenis gaya kaligrafi
Syikatsah, Syikatsah-Amiz, Diwani , Diwani Jali, Riq’ah dan Ijazah.
Sementara Farisi (ta’liq) berkembang di Iran. Dari seluruh model tulisan
kaligrafi ini, baik dari al-Aqlam as-Sittah maupun yang munculnya
belakangan namun yang masih sering dipakai sampai sekarang yakni gaya
sulus, naskhi, farisi, Diwani , Diwani jail, riq’ah, ijazah (raihani) serta
model kufi. Perkembangan model-model ini dapat juga dilihat dari
perkembangan sejarah. Ilham Khoiri mengelompokkan kepada dua yaitu
perkembangan seni kaligrafi sebelum al-Quran turun dan setelah al-Quran
diturunkan.
Namun yang paling pesat perkembangn model kaligrafi itu adalah
setelah al-Quran diturunkan. Karena pada masa ini banyak terdapat
seniman, ahli kaligrafi dan peminat dan pencinta kaligrafi yang berasal dari
kabilah-kabilah. Hal ini dikarenakan terdapatnya keindahan pada seni
kaligrafi yang dapat mengokohkan peradaban yang dibutuhkan.
Perkembangan seni kaligrafi tersebut ada yang bersifat hiasan dan ada juga

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 153


yang bersifat kaidah. Kaligrafi yang pertama digunakan sebagai hiasan
tersebut adalah khath khufi, seperti yang terdapat pada arsitektur
bangunan. Sedangkan yang bersifat kaidah itu seperti Sulus, Riq’ah, dan
Naskhi.

C. Kaligrafi Masa Kini


Dalam perjalanan, kaligrafi arab yang lebih sering menjadi alat
visual ayat-ayat Al-Quran, tumbuh tertib mengikuti rumus-rumus
berstandar (al khat al-mansub) olhan ibnu Muqlah yang sangat ketat.
Standarisasi yang menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif dan
lingkaran untuk mendisain huruf-huruf itu mencerminkan “etika kaligrafi”
dan kepatuhan kepada :kaidah murni” aksara arab. Terutam bagi pemula,
berpegang teguh pada kaidah khattiyah ini sangat penting. Mengetahui
seluk beluk aliran kaligrafi dan tata cara penulisan nya tidak saja akan
memperkokoh kredibilitas tulisan pada komposis yang serasi (insijam wa
mula’amah). Lebih dari semuanya, sang karya dapat di
pertanggungjawabkan sebagai hasil pencapaian yang “utuh”(al-kamil).
Sebagai hasil dari ikhtiar itu, lahirlah aliran-aliran kaligrafi yang
beragam. Dimulai dari pengembangan Al-Aqlam Al-Sittah (Sulus, Nakhi,
Muhqqaq, Rayhani, Tawqi, dan Riqa) di masa pemerintahan Bani Umayyah
yang dikembangkan di masa Bani Abbas sebagai era kebangkitan kedua
pasca khat Kufi dan kaligrafi kursif kuno sesudahnya. Dari enam gaya
tulisan yang populer dengan sebutan Shish Qalam di pesta Persia ini
berkembang pula ratusan gaya lain. Sampai abad 20, gaya-gaya itu
menunjukkan fluktuasi perkembangan yang dinamis, meskipun akhirnya
hanya meninggalkan sekitar tujuh gaya tulisan modern Naskhi, Sulus,
Farisi, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah. Gaya-gaya tulisan itu masih berkutat

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 154


pada standar system Ibnu Muqlha tanpa mengalami perubahan yang
berarti.
Namun belakangan, muncul gerakan menjauhkan diri dari kebekuan
ikatan-ikatan baku di atas. Kreasi mutakhir yang “menyimpang” dari
grammar lama ini populer dengan sebutan “Kaligrafi Kontemporer”,
merunjuk pada gaya masa kini yang penuh dinamika dan kreatifitas dalam
mencipta karya yang serba aneh dan unik.

D. Pembatasan Masa Kotemporer


Secara terminologis, kata ‘kontemporer’(yang dalm bahasa Inggris
nya contemporary dan bahasa Arab nya ‫ معاصر‬atau ‫)حديث‬, berarti ‘zaman
sekarang’ atau ‘masa kini. Kata ini menunjukan ‘suatu prieode’ atau ‘suatu
angkatan’ yang paling baru. Jika suatu angkatan melewati masa waktu
puluhan atau ratusan tahun, dapat dipastikan bahwa ‘angkatan
kontemporer’ berada pada beberapa puluh tahun berselang.
Jika berbagai literatur menunjuk pada angka tahun 70-an sebagai
titik awal kebangkitan seni rupa kontemporer, hal ini dapat dimaklum dan
bias menjadi keyakinan kerena sampai tahun-tahun terakhir sebelum itu,
kata ‘kontemporer’ tidak banyak di kenal kalanagan seni rupa. Jauhar
Arifin memasukkan awal sampai pertengahan abad 20 yang di tandai
dengan kecamuk Perang Dunia I dan II yang membawa perubahan dalam
bidang seni rupa,baik material, fisik, mental, maupun spiritual sebagai
periode seni rupa modern, bukan kontemporer.
Meskipun kaligrafi dapat dimasukkan ke bagian seni rupa, namun
tidak harus mengikuti corak periodisasi seni rupa secara utuh. Kendatipun
begitu, tidak dapat disangkal bahwa gaya kaligrafi Islam “kontemporer”,
“modern” atau ”masa kini” tidak lepas dari perjalanan dan bisa pengaruh

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 155


seni rupa modern yang merupakan fenomena konsep dan realitas di tengah
lalu lintas perjalan seni rupa di seluruh pelosok dunia

Contoh gaya tugra dan model animasi gaya Persia. Model kelahiran gaya
kaligrafi kontemporer

Mungkin secara kebetulan, dalam proses perkembangannya, seni


rupa modern yang awalnya tumbuh di Barat, merebet ke Timur Tengah dan
bagian-bagian dunia Islam yang lain termasuk Indonesia. Abdelkebir
Khatibi dan Mohammed Sijelmassi memprediksi adanya hubungan kuat
Barat-Timur tersebut, kerena tulisan yang merupakan bagian dari seni
grafis berhubungan erat dengan seni-seni lain seperti menggambar,
melukis,dan arsitektur. Di sini lukisan bergabung dalam satu latar kesatuan
unit media seperti dinding mesjid atau kanvas lukisan. Olek kerana itu,
meskipun seni lukis tumbuh indenpenden, kenyataan nya secara konstan
mengikuti dan diikuti irama seni secara kreatif.
Gejala ini muncul terutama tahun 70-an dan berkembang lebih
ringas di tahun 80-an yang di ikuti oleh pameran-pameran yang luas di
Eropa dan Negara-negara Islam termasuk Indonesia.
Namun, tanda-tanda dan yang mengarahkan pada model kaligrafi
“bebes” atau “dibebaskan” ini sudah berlangsung sebelum tahun-tahun
tersebut dan tidak semata dipengaruhi seni rupa Barat. Pertama, hasrat
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 156
“perburuan” terhadap penemuan-penemuan baru da kalangan khattat
(kaligrafer) selalu mengebu yang sampai pada titik kulminasi di mana
kreasi ditujukan untuk mencapai karya-karya masterpiece yang dihulung.
Selanjutnya, seni kaligrafi maju lagi kepada konsep kreatif yang
lebih filosof di masa Turki Usmani dan kerajan-kerajaan Islam Persia,
seperti Ilkhaniyah, Timuriyah, dan Safawayah. Karya-karya unik ini
menonjol pada gaya Tugra dari Turki Usmani dan pola-pola animasi dari
persi. Kedua, sifat plastis yang dimiliki kaligrafi Arab, memudahkan
beradabtasi dengan pengaruh-pengaruh luar yang memuncak dengan
kehadiran pengaruh seni rupa Barat di hujung abad 20, terutama dalam
titimangsa 20-an terakhir pada tahun 70-an.
Seni rupa islam kontemporer –yang di dalamnya termasuk kaligrafi,
menurut kritikus dan korator seni rupa Merwan Yusuf memang bisa
membuat masyarakat terkejut, kerna kehadiran nya yang tiba-tiba populer
di tahun 70-an. Padahal, ia tidak muncul begitu saja, melainkan melalui
pergumulan ided yang panjang. Jadi, sejak penghujung dasawarsa 1970-an,
seni kaligrafi islam mulai melanda semangat posmodernisme. Bahkan , jauh
sebelum posmodernisme berkembang menjadi jargon.

E. Kaligrafi Masa Akan Datang


1. Kaligrafi Prospek Masa Depan
Kaligrafi islam indonesia sejak dari tanah asalnya merupakan
salah satu parameter peradaban yang berkembang seirama dengan
tumbuh dan berkembangnya agama islam. Dan seni kaligrafi islam
indonesia merupakan salah satu parameter eksistensi peradaban

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 157


(tamaddun) islam di indonesia dan di beberapa Negara Asean. Di
indonesia seni kaligrafi islam merupakan ciri normatif islam yang dalam
bentuk fisik kulturalnya membawa serta perwujudan tradisi dan budaya
lokal nusantara. Dengan tetap pada ciri-ciri seni islam, maka seni
kaligrafi hendaknya memegang ketinggian estetika dan bersifat ilahiyah.

Oleh karena itu, keagungan al-Qur’an dan indahnya menggores dan


melukis dalam berbagai bentuk dan media yang di ilustrasikan oleh
setiap pecinta seni kaligrafi. Maka banyak manfaat dan hikma yang
dapat di petik dari “kekutan lentik-kan tangan “ tersebut ketika
goresannya telah rampung.

F. Macam-Macam Khat
Kali ini saya ingin menyebutkan beberapa jenis kaligrafi. Jenis-
jenis tulisan kaligrafi sebenarnya banyak macamnya. Tapi yang paling
dasar dan dianjurkan serta dikembangkan oleh para penulis kaligrafi
terutama di Indonesia, terdiri dari 6 jenis, yaitu:
1. Nasakh Atau Naskhi

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 158


Nasakh adalah salah satu jenis khat yang paling awal berkembang.
Itu pertama kali diperkenalkan oleh seorang master kaligrafer bernama
Imam Muqlah pada abad ke-10. Kemudian dikembangkan lagi oleh Ibnu
Bawwab dan para kaligrafer lainnya ke dalam tulisan teks al Qur'an. Karena
jenis ini relatif sangat mudah dibaca dan ditulis, maka tulisan ini paling
banyak digunakan oleh para muslim dan orang Arab di belahan dunia.
Contoh

2. Tsuluts Atau Tsulutsy


Khat Tsuluts pertama kali dibuat pada abad ke-7 pada zaman
khalifah Ummayah akan tetapi baru dikembangkan pada akhir abad ke-9.
Kata Tsuluts berarti sepertiga, hal ini mungkin disebabkan karena tulisan
ini memiliki ukuran lebih sepertiga dibandingkan dengan gaya tulisan
lainnya. Walaupun tulisan ini jarang digunakan untuk tulisan Al Qur'an,
tsuluts tetap sangat populer dan memegang peran penting terutama untuk
tulisan hiasan/dekorasi, judul, dan kepala surat. Tulisan ini juga paling
populer untuk dekorasi masjid, mushalla, dan produk kaligrafi lainnya
Contoh di bawah ini.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 159


Dinamakan khat tsuluts karena ditulis dengan kalam yang ujung
pelatuknya dipotong dengan ukuran sepertiga (tsuluts) goresan kalam. Ada
pula yang menamakannya khat Arab karena gaya ini merupakan sumber
pokok aneka ragam kaligrafi Arab yang banyak jumlahnya setelah khat
Kufi. Untuk menulis dengan khat tsuluts, pelatuk kalam dipotong dengan
kemiringan kira-kira setengah lebar pelatuk. Ukuran ini sesuai untuk khat
tsuluts 'adi dan tsuluts jali. Khat Tsuluts yang banyak digunakan untuk
dekorasi dinding dan berbagai media karena kelenturannya, dianggap
paling sulit dibandingkan gaya-gaya lain, baik dari segi kaedah ataupun
proses penyusunannya yang menuntut harmoni dan seimbang. Dalam
rentang perjalanannya, khat Tsuluts berkembang menjadi beberapa gaya,
antara lain:
a. Khat Tumar
Khat yang diciptakan oleh Qutbah al-Muharrir yang tumbuh dan
berkembang di masa Bani Umayyah ini biasa ditulis dalam ukuran besar
dengan aturan-aturannya yang simpel. Khat ini sangat cocok untuk
dekorasi dinding atau media-media berukuran besar. Para khattat Turki
menamakannya Jali Tsuluts atau Tsuluts Besar. Tumar atau Tamur
jamaknya Tawamir bermakna sahifah (lembaran atau manuskrip). Khat
Tumar artinya khat yang ditulis di lembaran atau menuskrip.
b. Khat Muhaqqaq

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 160


Penciptanya adalah Ibnu Bawab (413 H). Ibnu Bawab adalah
kaligrafer masyhur setelah Ibnu Muqlah. Khat ini hampir mirip dengan
khat Tsuluts karena perbedaan keduanya sangat samar dan hanya dapat
diketahui oleh ahli khat yang cermat. Pada perkembangannya, khat ini
semakin redup dan jarang sekali digunakan, sehingga posisinya digeser
oleh Khat Tsuluts.
c. Khat Raihani
Pencipta khat ini adalah Ibnu Bawab juga, namun berhubungan
erat dengan Ali ibn al-Ubaydah al-Rayhan (834 M), sehingga namanya
diambil untuk nama khat ini. Pendapat lain menjelaskan Rayhani dengan
kata Rayhan yang berarti harum semerbak karena keindahan dan
popularitasnya.
d. Khat Tawqi'
Tawqi' artinya tanda tangan, karena para khalifah dan perdana
menteri senantiasa menggunakan Tawqi' untuk menandatangani
perbagai naskah mereka. Diciptakan oleh Yusuf al-Syajari (825 M). Lalu
berkembang di tangan Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan Ibnu
Khazin (1124 M) sebagai murid generasi kedua Ibnu Bawab. Yang
membedakan Tsuluts dengan Tawqi' adalah ukuran Tawqi' yang selalu
ditulis sangat kecil. Bentuk yang menyerupai Tawqi' adalah Tugra' atau
Turrah yang pada awalnya berfungsi sebagai cap dan lambang sultan-
sultan Usmani dengan ukuran yang bervariasi.
e. Khat Riqa' atau Ruqa'
Riqa' jamaknya Ruq'ah artinya lembaran daun kecil halus yang
digunakan untuk menulis khat tersebut. Gaya ini diciptakan oleh al-
Ahwal al-Muharrir yang diolahnya dari Khafif Tsuluts. Sebagian
sejarawan menamakan gaya ini dengan khat Tawqi', namun yang lebih
benar adalah bahwa Riqa' pun diolah pula dari Tawqi'. Ukuran Riqa'

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 161


lebih kecil dari Tawqi' dan digunakan khusus untuk menyalin teks-teks
kecil dan penyajian kisah.
f. Khat Tsulusain
Diciptakan oleh saudara Yusuf al-Syajari bernama Ibrahim al-
Syajari (200 H) di zaman Bani Abbas. Ibrahim membuat kaedah
Tsulusain dari khat yang sudah ada semenjak dahulu yaitu khat Jalil.
Tsulusain berarti dua pertiga, karena ditulis dengan kalam yang ujung
pelatuknya dipotong seukuran dua pertiga lebar goresan kalam, sedikit
lebih kecil dari khat Tumar yang ditulis sangat besar.
g. Khat Musalsal
Diciptakan oleh al-Ahwal al-Muharrir dari keluarga Barmak di
zaman Bani Abbas. Sebagian huruf-huruf khat ini saling berhubungan,
oleh karena itu beberapa sejarawan modern menamakannya khat
Mutarabit yang berarti saling ikat atau berikatan.
h. Khat Tsuluts 'Adi
Pencipta khat ini adalah Ibrahim al-Syajari diawal abad ke-3 H di
zaman Bani Abbas. Dalam beberapa kamus bahasa Arab disebutkan,
"anna al-sulusiyya min al-khuttut huwa al-galiz al-huruf" (sepertiga dari
khat adalah huruf yang sulit).
i. Khat Tsuluts Jali
Jali artinya wadih (jelas). Kejelasan dalam hal ini terletak pada
lebar anatomi hurufnya yang lebih dominan daripada jaraknya,
dibandingkan dengan jarak yang lebih dominan daripada lebar anatomi
hurufnya dalam Tsuluts 'Adi. Dengan demikian, dalam Tsuluts Jali akan
tampak dengan jelas komposisi huruf yang bertumpuk memadati ruang
media yang ditulis. Khat ini banyak digunakan untuk menulis judul-
judul dan media seni yang permanen.
j. Khat Tsuluts Mahbuk

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 162


Mahbuk artinya terstruktur atau tersusun rapi, yang diukur
menurut keindahan pembagian (husn al-tawzi') dan aturan komposisi
(ikham al-tartib). Keindahan pembagian dicirikan dengan tidak adanya
kelompok huruf yang bertumpujk di satu tempat sementara tempat lain
terlalu kosong sehingga mendorong khatta memperbanyak dan
mengisinya dengan syakal dan hiasan untuk mensari keseimbangan.
Sedangkan aturan komposisi adalah ketepatan memposisikan kata, huruf
dan titik di tempat-tempat yang strategis.
k. Khat Tsuluts Muta'assir bil Rasm
Beberapa khattat atau kaligrafer berusaha menggubah aksara
Arab kepada bentuk visual yang bisa berbicara biar lebih bervariasi
sekaligus untuk menyeimbangkan antara ketaatan terhadap ajaran
agama dengan kesenangan menggambar, karena dalam Islam visualisasi
mahluk hidup secara jelas berlawanan dengan semangat dakwah agama
tersebut untuk selalu menjaga ketauhidan dan menjauhi kesyirikan.
Potensi huruf Arab yang sangat lentur dan mudah dibentuk mendorong
para khattat menciptakan gambar-gambar simbol yang mengungkap
kalimat-kalimat suci dan tauhid, sehingga kaligrafi diolah menjadi
sarana menggambar yang terbebas dari visualisasi mahluk hidup secara
terang-terangan. Khat yang dipengaruhi gambar ini akhirnya diterima
dan populer di kalangan seniman muslim. Banyak ragam dan variasi
aliran khat ini, yang secara bebas mengambil pola figural atau simbolik
gambar manusia, binatang, tumbuhan dan benda-benda lainnya.

l. Khat Tsuluts Handasi

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 163


Gaya ini merupakan Tsuluts yang menyusun huruf dan kata
secara geometris (handasi) dan indah berdasarkan rasa seni, sehingga
menjadi dasar kekompakan, keserasian dan penyatuan sebuah karya.
m. Khat Tsuluts Mutanazhir
Mutanazhir artinya saling memantul. Dinamakan pula khat
Tsuluts Mir'at (cermin), dimana yang berada disamping kanan memantul
ke samping kirinya, sehingga seolah diantara dua sisi tersebut ada
cermin. Khat ini dinamakan juga dengan gaya Ma'kus (memantul),
musanna (AC-DC atau dua dimensi) dan 'Aynali (saling tatap). Gaya ini
tidak lepas dari pengaruh kebudayaan muslim yang saling berbalas
kebaikan dalam kehidupan sehari-hari seperti salam dan menjawabnya.
3. Diwani .
Tulisan ini berkembang luas di akhir abad ke-15 yang dipelopori
oleh seorang kaligrafer Ibrahim Munif dari Turki. Dan mencapai puncaknya
pada abad ke-17 atas jasa seorang kaligrafer terkenal yaitu Shala Pasha.
Seperti tulisan riq'ah, Diwani pernah menjadi tulisan favorit pada zaman
kekaisaran Ottoman. Diwani Jaly adalah tulisan Diwani yang bernuansa
ornamen atau hiasan. Ia pertama kali dikembangkan oleh Hafiz Uthman.
Contoh

Diwani adalah salah satu gaya khat yang diciptakan oleh


masyarakat Turki Usmani. Peletak dasar-dasar kaedah dan ukuran huruf-
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 164
hurufnya adalah Ibrahim Munif. Tulisan ini mulai populer setelah
penaklukan kota Konstantinopel oleh Sultan Muhammad al-Fatih tahun
875 H. Penamaan Diwani karena dinisbahkan kepada kantor-kantor
pemerintah dimana tulisan tersebut digunakan dan dari dewan-dewan
pemerintahan itulah khat ini menyebar ke seluruh kalangan masyarakat.
Karakter Diwani dikenal dengan putarannya, sehingga tidak satupun huruf
yang tidak mempunya lengkungan. Goresannya yang lentur dan lembut
memudahkan Diwani beradaptasi dengan tulisan apapun. Hal ini pula yang
memudahkan para kaligrafer menulis dengan Diwani .
Diwani memiliki tiga macam bentuk, yaitu:
a. Khat Diwani 'Adi
Diwani 'Adi merupakan gaya khat yang tampil biasa ('adi) sesuai
struktur tulisan, sehingga mudah dibaca. Ciri tampilannya tampak pada
kali-kali tulisan yang umumnya berbaris datar dengan pucuk-pucuk
huruf bergelombang dinamis.
b. Khat Diwani Mutarabit
Gaya ini merupakan Diwani yang huruf-huruf dan rangkaian
katanya saling menjalin atau bersilangan (mutarabit) satu sama lain.
Besar kemungkinan pola semacam ini merupakan hasil pengaruh khat
Musalsal ciptaan Ibnu Bawab. Dalam jenis khat Diwani Mutarabit ini,
kaligrafer modern Gazlan Bek dari Mesir merupakan tokohnya. Gazlan
berhasil membuat karya-karya masterpiece yang banyak dijadikan
acuan, sehingga para kritikus dan pengamat menisbahkan gaya khat ini
kepada Gazlan sehingga disebut Khat Diwan Gazlani.

c. Khat Diwani Jali

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 165


Diwani Jali diciptakan oleh Syahlan Pasha dari Turki dan
merupakan pengembangan dari Diwani 'Adi. Jali artinya Jelas. Kejelasan
tersebut tampak pada detail syakal dan hiasan yang penuh di dalamnya.
Tujuan diciptakannya Diwani Jali ialah untuk menuliskan peraturan-
peraturan kesultanan dan surat-surat ke luar negeri.
4. Ta'liq atau Farisi
Ta'liq artinya menggantung, karena tulisan gaya ini terkesan
menggantung. Tulisan ini pertama kali dikembangkan oleh orang-orang
Persia (Iran). Ta'liq disebut juga Farisi, termasuk gaya tulisan yang
sederhana dan digunakan sejak awal abad ke-9. Abdul Hayy, seorang
kaligrafer yang telah berperan besar di awal perkembangan tulisan ini.
Dia termotivasi oleh Shah Ismail sebagai peletak dasar-dasar tulisan
ta'liq. Gaya ini disukai oleh orang-orang Arab dan merupakan gaya
tulisan kaligrafi asli bagi orang Persia, India, dan Turki.
Seorang kaligrafer Persia Mir Ali Sultan al-Tabrizi kemudian
mengembangkan gaya ini lebih halus dan variatif menjadi Nasta'liq.
Nasta'liq asal kata dari 'nasakh dan ta'liq'. Namun demikian para
kaligrafer Turki, Persia tetap menggunakan tulisan ini pada momen-
momen penting. Ta'liq dan nasta'liq biasa digunakan untuk penulisan
literatur dan syair-syair tentang kepahlawanan, bukan untuk penulisan
AlQur'an.
Contoh

5. Riq'ah atau riq'iy

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 166


Tulisan ini disebut juga dengan ruq'ah, yang dikembangkan dari
nasakh dan tsuluts, namun ia tetap mimiliki ciri khas yang berbeda. Riq'ah
lebih simpel dan sederhana, memiliki bentuk huruf tebal dengan batang
huruf pendek dan huruf alif tidak pernah ditulis dengan berkepala.
Riq'ah dulu adalah tulisan favorit para kaligrafer Ottoman dan
banyak mengalami pengembangan oleh Syakh Hamdullah al Amasi.
Kemudian riq'ah banyak direvisi oleh para kaligrafer lainnya dan menjadi
tulisan yang popluler dan dipakai secara luas di dunia Arab. Contoh:

6. Kufi
Kufi termasuk tulisan paling dominan pada zaman dahulu. Ia dibuat
setelah berdirinya 2 kota muslim yaitu Basrah dan Kufah pada dekade
kedua era Islam sekitar abad ke-8 Masehi. Ia memiliki bentuk huruf yang
proporsional kaku dan persegi. Dari kata Kufah maka tulisan ini dikenal
dengan Kufi.

KONSEP PERKEMBANGAN DAN PERIODESASI TULISAN ARAB


DAN KALIGRAFI ISLAM
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 167
A. Sejarah Perkembangan Tulisan Arab
Perjalanan panjang tulisan phonetis yang berawal dari daerah yang
pertama menggunakan alphabet, pada dasarnya telah menjadikan tulisan ini
terbuka bagi perubahan dan pembaharuan secara luas. Perubahan dan
pembaharuan bentuk pola perlambangan, biasanya sangat ditentukan oleh
kenyataan bahwa perlambangan yang didasarkan pada bunyi ucapan
(phonetic) lebih leluasa untuk digunakan kepada bentuk-bentuk yang
bervariasi serta disesuaikan dengan kondisi dan tempat di mana ia
dikembangkan
1. Rumpun Sinai dan Tulisan Semit Utara
Pada tulisan terdahulu telah dikemukakan bahwa alphabet Sinai
telah memperlihatkan perkembangannya di dua tempat yaitu jazirah Arab
bagian utara, Asia Kecil dan jazirah Arab bagian selatan. Perkembangan
alphabet Sinai ke bagian utara memunculkan beberapa tulisan yang
digunakan oleh mayoritas masyarakat pesisir Laut Tengah seperti tulisan
Ibrany dan Siryani, di jazirah Arab belahan utara lahir pula tulisan
Tadmury dan tulisan Nabthy dari rumpun tulisan Aramia. Bahkan menurut
sementara ahli tulisan Devanagari kuno yang digunakan oleh masyarakat
Asia Selatan (India) juga berasal dari rumpun alphabet Semit utara ini.
Tulisan Devanagari ini berkembang bersama agama Budha ke beberapa
wilayah di kawasan Asia selatan dan tenggara. Istilah Semit Utara di sini
digunakan untuk menyebut tulisan-tulisan yang berkembang dari alphabet
Sinai. Sementara perkembangan rumpun alphebet Sinai di bagian utara ini
diperkirakan adalah tulisan Aramia (Aramaic) atau tulisan yang digunakan
di Palestina, Syria dan Iraq. Akan tetapi kita tidak menggunakan istilah

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 168


Aramia, karena Aramia bukan satu-satunya terminal bagi perkembangan di
utara ini.
Orang-orang Nabthy (Nabatean), walaupun pada abad-abad sebelum
Masehi di bawah pengaruh Romawi, malah orang-orang Nabthy ikut
melakukan invasi ke wilayah Arab, namun secara kultural dan geografis,
mereka sebenarnya termasuk suku bangsa Arab asli (Arab Baidah). Mereka
pada awalnya adalah sekelompok imigran yang datang dari Transyordania
dan menempati wilayah Edomite, Petra. Dari sini mereka meluaskan
kekuasaan ke wilayah-wilayah lainnya. Sehingga bangsa Nabthy menjadi
sebuah kekuasaan besar yang disebut dengan Kerajaan Anbath. Kerajaan
ini memperoleh kejayaan di masa pemerintahan dipegang oleh Haritsats
(tahun 9 sM.-40 M.) Pada saat ini kekuasaan mereka makin meluas bahkan
hampir mencakupi seluruh dataran jazirah Arabia.
Kerajaan Anbath di puncak kejayaannya telah meninggalkan
warisan-warisan budaya yang bernilai tinggi. Ini dapat dilihat dari bekas-
bekas peradaban Anbath yang terdapat di kota Petra, seperti bangunan-
bangunan megah dan spektakuler yang menggambarkan bahwa Petra,
sebagai pusat kekuasaan dan sekaligus pusat peradaban Anbath, telah maju
dalam berbagai lapangan. Hal yang lebih penting dari itu bagi kita ialah
bahwa kebudayaan Nabthy telah ikut berperan dalam membidani kelahiran
tulisan Arab.
Orang-orang Nabthy dalam pergaulan sehari-hari menggunakan
bahasa Arab, akan tetapi huruf-huruf yang mereka gunakan lebih cendrung
berkarakter Aramia. Bentuk-bentuk yang mereka kembangkan ini akhirnya
melahirkan suatu jenis tulisan sendiri yang kemudian dikenal dengan
tulisan Nabthy. Pada abad pertama Masehi, saat kerajaan ini meluas secara
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 169
pesat, semua hasil budaya mereka ikut memperoleh perkembangan. Tulisan
Nabthy digunakan secara resmi di hampir seluruh wilayah kekuasaannnya.
2. Tulisan Arab Selatan
Di wilayah-wilayah kerajaan Arab selatan, seperti kerajaan Saba’,
Minaiyah, Himyar dan Yaman, semenjak waktu yang lama telah
menggunakan sejenis tulisan yang berbeda dengan tulisan yang
berkembang di jazirah Arab bagian utara, meskipun wilayah selatan ini
juga mendapatkan pengaruh dari alphabet Sinai seperti telah diuraikan
terdahulu. Tulisan ini kemudian dikenal dengan tulisan Musnad.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan, telah disimpulkan bahwa
tulisan Musnad telah berkembang secara luas pada masyarakat Arab kuno
di wilayah-wilayah yang membentang antara Yaman dan Syria di belahan
utara jazirah ini. Ini dibuktikan dengan beberapa penemuan tertulis di
daerah Delos (Yunani) dan Gaza, Mesir yang juga menggunakan tulisan
yang mirip dengan tulisan Musnad (lihat : Zainuddin,1974:297 ; Abu
Shalih Alfi (tt):20). Perkembangan ini terlihat pada beberapa cabang
tulisan yang muncul mengikuti karakter tulisan Musnad, seperti pada
tulisan yang digunakan oleh Bani Lahyan di bagian utara Makkah, tulisan
yang digunakan oleh masyarakat Diyar Tsamud sekitar tahun 715 SM. Dan
di wilayah bukit Shafa (bagian dari pegunungan Druze) di timur negeri
Syam (Syria sekarang).
Ketiga tulisan yang merupakan perkembangan dari tulisan Musnad
ini kemudian dinamai masing-masing dengan Lihyani, Tsamudy, dan
Shafawy. Akan tetapi tidak diketahui perkembangan lebih lanjut dari
ketiga jenis tulisan itu.
3. Penggabungan Tulisan-Tulisan Semit
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 170
Dari uraian di atas kita simpulkan bahwa di wilayah jazirah Arab
setidaknya terdapat dua jenis tulisan yang berpengaruh secara dominan,
yaitu : tulisan Nabthy dari kelompok tulisan Semit utara dan tulisan
Musnad dari jazirah Arab selatan. Hal yang selalu menjadi perdebatan bagi
kalangan ahli ialah : mana di antara kedua tulisan itu yang lebih berperan
dalam pembentukan tulisan Arab seperti yang berkembang hingga saat ini
Beberapa ahli tentang Arab selatan (Klasser, Neckel, dan Homel) cendrung
berpendapat bahwa tulisan Musnad adalah bentuk tulisan Arab tertua (
Zainuddin, 1974). Flinder Patri alam tulisannya The Formation of The
Alphabet (1912), malah berkesimpulan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa
tulisan Arab bukan berasal dari tulisan Musnad, karena tulisan Musnad
telah musnah setelah perkembangannya di Himyar. Sejarawan muslim
seperti Ibnu Khaldun dan Ibnu Khallikan sepakat mengatakan bahwa
Musnad adalah asal-usul tulisan Arab (Ibnu Khaldun,1957:418; Ibnu
Khallikan,1948:346).
Semenjak beberapa abad sebelum Masehi kota Hirah telah berperan
besar dalam pengembangan tulisan-tulisan Semit. Di kota ini telah
berkembang beberapa jenis tulisan yaitu : tulisan Nabthy, dari kelompok
tulisan Aramia, tulisan Kindy yang berasal dari kota Kindah (selatan kota
Hirah), dan tulisan Strangeli. Tulisan yang disebutkan terakhir ini adalah
perkembangan dari tulisan Siryani. Peran yang lebih besar telah diberikan
oleh kerajaan Anbath pada waktu Hirah menjadi wilayah kekuasaan
kerajaan itu. Tulisan Nabthy sangat umum dipakai oleh orang-orang Hirah
dibanding dengan tulisan-tulisan lainnya. Menurut beberapa peneliti Arab,
perkembangan tulisan Musnad di Himyar, kemudian di bawa ke Hirah pada
masa kerajaan Manazirah (268 – 628 M.). Semenjak waktu inilah
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 171
bergabungnya pemakaian Musnad, Nabthy, Kindy dan Strangeli di kota
Hirah.
4. Pengenalan Tulisan oleh Orang Hijaz
Pada abad- abad sebelum kelahiran agama Islam, di wilayah Hijaz,
pemakaian tulisan boleh dikatakan tidak umum. Orang Hijaz tidak
mementingkan komunikasi tulis, tetapi lebih mengutamakan kefasihan
lidah dan kekuatan hafalan. Pewarisan informasi di kalangan dan antar
kabilan Arab disampaikan melalui penuturan lisan, demikianpun tradisi
tutur dipelihara dalam hafalan-hafalan mereka. Oleh karena itu di wilayah
ini tidak banyak di temukan peninggalan-peninggalan tertulis.
Dari periwayatan yang kita terima tentang kehidupan masyarakat
Arab pra-Islam antara lain ialah adanya suatu tradisi bertutur sejenis Pekan
Raya Sastra (sauq). Pekan Raya ini merupakan ajang pertemuan para
sastrawan untuk saling mengadu kekuatan hafalan serta kefasihan lidah
mereka. Kegiatan ini dilaksanakan sekali dalam setahun dan diikuti oleh
utusan kabilah-kabilah setempat. Tempat penyelenggaraan kegiatan ini
antara lain yang lebih populer, yaitu di Ukaz dan dikenal dengan Sauq al-
‘Ukaz, juga ditempat-tempat lainnya seperti Zulmajaz dan al-Majanah.
Hal yang perlu kita catatkan dari tradisi ini ialah bahwa setiap syair
yang dianggap terbaik akan memperoleh penghargaan untuk “digantung” di
Ka’bah setelah terlebih dahulu “ditulis dengan tinta emas”. Karya terbaik
itu disebut dengan al-Mu’allaqat atau al-Muzahhabat. Akan tetapi fakta
tentang kemajuan tradisi menulis di kalangan bangsa Arab pada waktu ini
kurang mendukung, karena disamping tidak ditemukan nya manuskrip asli
mu’allaqat itu juga karena ketiadaan sumber-sumber tertulis sejenis yang
ditemukan di wilayah Hijaz ini. Kenyataan ini menjadi lebih sukar untuk
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 172
melakukan identifikasi jenis dan bentuk tulisan yang digunakan,
demikianpun untuk menentukan kapan tradisi menulis ini bermula di
wilayah Hijaz dan dari tulisan apa ia mendapat pengaruh. C. Israr (1985:42)
mengemukakan bahwa tulisan yang digunakan untuk penulisan al-
mu’allaqat ialah tulisan jenis Nabthy yang berbentuk murabba’ (persegi).
Namun fakta ini sedikit membingungkan karena jenis murabba’ yang huruf-
hurufnya berkarakter persegi atau disebut juga dengan muzawwa adalah
turunan dari tulisan Strangeli yang berasal dari Siryani (yang juga
berkembang di Hirah). Sedangkan Nabthy lebih cendrung berkarakter
bundar (mudawwar/ muqawwar).
Suatu hal yang agaknya telah disepakati oleh para ahli bahwa
tulisan yang digunakan oleh orang Hijaz adalah berasal dari Hirah. Pada
bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa Hirah adalah terminal bagi
beberapa jenis tulisan Semit, baik Semit utara maupun Semit selatan.
Suatu riwayat yang dikemukakan oleh al-Baladzury agaknya juga tidak
banyak membantu, karena ia hanya lebih menekankan pada tokoh yang
membawa tulisan dari Hirah ke Hijaz tanpa keterangan tentang jenis
tulisan yang dibawa. Al-Baladzury mengemukakan bahwa salah seorang
kerabat dekat penguasa Daumatul Jandal Bernama Bisyr bin Abd. Malik al-
Kindy telah belajar tulisan di Hirah. Beberapa waktu kemudian ia ke
Makkah. Kepandaian menulis yang dimiliki oleh Bisyr ini kemudian
mendapat perhatian dari Syofyan bin Umayyah dari suku Quraisy
(Zainuddin,1974:306). Dengan demikian Bisyr dianggap sebagai orang
pertama yang mengajari orang-orang Makkah menulis dan membaca, malah
ia juga telah mengajari orang-orang Thaif, Diyar Mudhar dan Syam. Dari
apa yang dikemukakan dapat diketahui bahwa orang-orang Makkah baru
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 173
mengenal tulisan pada sekitar akhir abad ke 6 Masehi (semasa dengan
Syofyan bin Umayyah).
Beberapa penemuan tertulis (inskripsi) yang dijumpai di berbagai
tempat di luar wilayah Hijaz seperti di Ummul Jamal dan an-Namarah.
Inskripsi yang ditemukan di Ummul Jamal (Syria) menggunakan tulisan
Nabthi Mutaakhir dengan bahasa Nabthy Aramia serta memuat informasi
tentang wafatnya raja Tanukh : Fihr bin Sala. Inskripsi ini diperkirakan
ditulis pada tahun 250 M. Sedangkan inskripsi yang ditemukan di daerah
Nammarah (Hurran/Syria) berisi tentang Imriil Qys, raja Arab dan tentang
kabilah Nazar dan Usad. Inskripsi Nammarah menggunakan bahasa Arab
(lahjah Quraisy) dan diperkirakan menggunakan jenis tulisan Nabthy
Mutaakhir dan ditulis sekitar tahun 228 M.(Zainuddin,1974: 304).
Demikianpun inskripsi Hijr Zabad yang ditemukan di daerah Khirbah
(Zabad) yang menggunakan bahasa Yunani, Siryani dan Nabthi Mutaakhir
(Arab kuno) diperkirakan ditulis pada tahun 511 M., dan inskripsi Houran
yang terletak di pintu sebuah geraja di Luja yang ditulis dengan Naskhi
kuno pada tahuan 568/9 M. Mengamati tulisan yang terdapat pada
inskripsi-inskripsi tersebut dapat diperkirakan bahwa tulisan Arab berakar
pada jenis tulisan itu, karena kemiripan huruf-hurufnya dengan tulisan Arab
yang ada sekarang.
Bila inskripsi Ummul Jamal dan an-Namarah adalah bukti bagi
perluasan dan perkembangan tulisan-tulisan yang terdapat di Hirah pada
abad ke-3 M., maka dengan itu dipahami bahwa Hijaz pada waktu itu
terlepas dari jangkauan perkembangan tulisan-tulisan Hirah. Hal itu
tentunya bila riwayat Bisyr bin Abd. Malik yang dikemukakan terdahulu
diterima sebagai titik bermulanya pengenalan tulisan oleh orang-orang
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 174
Makkah. Sampai saat ini belum kita dapatkan keterangan yang lebih pasti
tentang kapan dimulainya penggunaan tulisan di Makkah sendiri atau
dengan kata lain kapan orang-orang Quraisy mulai mengenal tulisan.
Namun demikian keterangan-keterangan tentang pengaruh Hirah bagi
perkembangan tulisan-tulisan di wilayah Hijaz (Makkah dan Madinah)
agaknya tidak perlu diragukan.
Peninggalan-peninggalan tertulis dari masa-masa awal Islam seperti
coretan-coretan yang ditemukan di bukit Sala (Madinah), demikianpun
inskripsi yang terdapat pada dam (bendungan) yang dibangun oleh
Mu’awiyyah dan beberapa surat Rasulullah kepada raja-raja di sekitarnya,
telah pula memperkuat dugaan tentang pengaruh Hirah bagi pertumbuhan
tulisan Arab hingga ke masa awal Islam.

B. Sejarah Perkembangan Kaligrafi Islam


Ungkapan kaligrafi diambil dari kata Latin “kalios” yang berarti
indah, dan “graph” yang berarti tulisan atau aksara. Dalam bahasa Arab
tulisan indah berarti “Khath” sedangkan dalam bahasa Inggris disebut
“calligraphy”. Arti seutuhnya kata kaligrafi adalah suatu ilmu yang
memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan cara-
cara penerapannya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa
yang ditulis di atas garis-garis sebagaimana menulisnya dan membentuknya
mana yang tidak perlu ditulis, mengubah ejaan yang perlu diubah dan
menentukan cara bagaimana untuk mengubahnya. Sedangkan pengertian
kaligrafi menurut Situmorang yaitu suatu corak atau bentuk seni menulis
indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan
dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 175
Kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses
penciptaannya melalui alat jasmani. Kaligrafi atau Khath, dilukiskan
sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata pengetahuan,
penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama
disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”. Akan tetapi yang
lebih mengagumkan adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan
perintah Allah SWT yang pertama diwahyukan kepada Nabi Besar
Muhammad saw. Dapat dipastikan, kalam atau pena mempunyai kaitan
yang erat dengan seni kaligrafi. Dapat juga dikatakan bahwa kalam sebagai
penunjang ilmu pengetahuan. Wahyu tersebut merupakan “sarana” al-
Khaliq dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk membaca
dan menulis.
Tentang asal-usul kaligrafi itu sendiri, banyak pendapat yang
mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi.
Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling
tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam
As-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut dating
dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarahayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhya. “ Di samping
itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak
yang percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa.
Nama Sanskerta adalah Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan
kota para dewa”. Perkembangan selanjutnya mengalami perubahan akibat
pergeseran zaman dan perubahan watak manusia.
Akhirnya muncul tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan
indah atau kaligrafi yang lahir dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 176
dipahat atau dicoretkan pada benda-benda tertentu seperti daun, kulit,
kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar yang mengandung lambang-
lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu yang diasosiasikan
dengan bunyi ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal pembentukan
kaligrafi. Dari situlah tercipta sistem atau aturan tertentu untuk
membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau
sistem yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.
Pada mulanya tulisan tersebut berdasarkan pada gambar-gambar.
Kaligrafi Mesir Kuno yang disebut Hieroglyph berkembang menjadi
Hieratik, yang dipergunakan oleh pendeta-pendeta Mesir untuk keperluan
keagamaan. Dari huruf Hieratik muncul huruf Demotik yang dipergunakan
oleh rakyat umum selama beberapa ribu tahun. Tulisan yang ditemukan
3200 SM di lembah Nil ini bentuknya tidak berupa kata-kata terputus
seperti tulisan paku, tetapi disederhanakan dalam bentuk-bentuk gambar
sebagai simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian
yang dimaksud. Kaligrafi bentuk inilah yang diduga sebagai cikal bakal
kaligrafi Arab.

C. Periodesasi Kaligrafi Islam


Kaligrafi yang dikenal dalam bentuk ragamnya sekarang,
mempunyai asal-usul yang cukup panjang dan berliku. Perkembangannya
telah dimulai sejak berabad-abad yang lampau, dimulai dari pemerintahan
Dinasti Ummayah (661-750 M) dengan pusatnya di Damaskus, Syria
sampai pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) dengan
pusatnya di Bagdad, dan berlanjut lagi pada masa-masa pemerintahan
Fatimiyah (969-1171 M), pemerintahan Ayyub (1771-1250 M),
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 177
pemerintahan Mameluk (1250-1517 M) dengan pusatnya di Mesir,
pemerintahan Usmaniah (1299-1922 M) dan pemerintahan Safavid Persia
(1500-1800 M). Demikian lamanya pengembangan kaligrafi Islam
berlangsung hingga mencapai kematangannya.
Dalam perjalanannya, kaligrafi Arab yang lebih sering menjadi alat
visual ayat-ayat al-Qur’an, tumbuh tertib mengikuti rumus-rumus
berstandar (al-khath al-mansub) olahan Ibnu Muqlah yang sangat ketat.
Standarisasi yang menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif dan
lingkaran untuk mendesain huruf-huruf itu mencerminkan “etika
berkaligrafi” dan kepatuhan pada “kaidah murni” aksara Arab.
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang
sastra, dengan sederet nama-nama sastrawan yang taerkenal pada
masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: Khat) masih
tertinggal jauh bila dibandingkan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya
yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut
saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa India dengan
Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian
dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku, dan
pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara.
Keadaan ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang
hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan
keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komuniksai dari mulut
kemulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti
huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya pada masa menjelang
kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan al-Mu’alaqat (syair-syair
masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 178
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada
masa-masa awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara
bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari
inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari
huruf Nabati yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam
rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari
masyarakat Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar tulisan tersebut
berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab.
Perkembangan kaligrafi pada tiap-tiap priode:
1. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama
kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan
hanya ada tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal
di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar ](bundar), Mutsallats (segitiga),
dan Ti’im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga
inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya Kursif dan mudah ditulis
yang disebut gaya Muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut
berciri kaku dan terdiri goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya inipun
menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi diantaranya
Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan
Naskh terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena
kalah oleh perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi pun melahirkan
beberapa variasi baik pada garis vertikal maupun horizontalnya, baik
menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi
Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar
(dianyam), Mutarabith Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 179
pula gaya Kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan
gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunannya,
dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan
lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang termasyhur
mengembangkan tulisan Kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan
empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts. Keempat tulisan ini
saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain sehingga menjadi
lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus ditulis dengan
pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh, gulungan kulit atau kertas)
yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk komunikasi tertulis para
khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana. Sedangkan
tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap
oleh karena khilafah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah
menghancurkan sebagian besar peninggalan-peninggalannya demi
kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh tulisan yang tersisa seperti
prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu’awiyah, tulisan di Qubbah
Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang dibangun
Khalifah Hisyam dan lain-lain.
2. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih
pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-
Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah
(750-754 M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur
(754-775 M) dan al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 180
besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan
mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf
as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf
yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai
nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi
kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi
pengembangan tulisan Kursif karena penemuannya yang spektakuler
tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur
kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu : titik, huruf
alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan
ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia
juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-
Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’ yang
merupakan tulisan Kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer
dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser dominasi
khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang
terkenal diantaranya Muhammad ibn As-Simsimani dan Muhammad ibn
Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu
Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis
oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf
bersandar yang indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan
Khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-karyanya hanya
sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan fragmen
duniawi saja.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 181
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang
memperkenalkan metode baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih
lembut dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang masyhur itu. Yaqut
adalah kaligrafer besar di masa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya
dinasti ini pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan
keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa
Umayyah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali
penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah
berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen
dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang hanya
mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengaruh
kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
3. Perkembangan Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang
membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan
bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri
Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan
ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang
berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di
Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga
tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan Kursif yang ada bersifat
konservatif. Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah
Abbasiyah oleh tentara Mongol dibawah Jengis Khan dan puteranya
Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak
kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 182
memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali.
Penggantinya yaitu Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan
dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni
kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya.
Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut
seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Quran dalam gaya
Muhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak
Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Beberapa perkembangan kaligrafi di periode lanjut:
1) Dinasti Il-Khan yang bertahan sampai akhir abad ke-14 digantikan oleh
Dinasti Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal
sebagai pembinasa besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar
dan seniman mendapat perhatian yang istimewa. Ia mempunyai
perhatian besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-
Qur’an. Hal ini dilanjutkan oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli
kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra’I yang menyalin
al-Qur’an bertarih 1408 daam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah
Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang
kaligrafer terkemuka.
2) Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan
segera digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan
Irak sampai tahun 1736. Pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah
Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru
yang disebut Ta’liq yang sekarang dikenal Khat Farisi. Gaya baru yang
dikembangkan dari Ta’liq adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 183


dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq ahkirnya menggeser Naskhi dan menjadi
tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.
3) Di Kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih
bernuansa tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14
yang bergaris horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis
vertikalnya yang ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan
corak yang khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina
yang lazim disebut gaya Shini. Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan
yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa
ditorehkan di keramik dan tembikar.
4) Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oeh Dinasti
Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa
dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan
dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa
Utsmaniyah ini memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan
kaligrafi tidak hanya pada kalangan terpelajar dan seniman tetapi juga
beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak
segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia,
maka gaya Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer
yang dipandang sebagai kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah
Syaikh Hamdullah al-Amasi yang melahirkan beberapa murid, salah
satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan
Utsmaniyah melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya,
berpatokan dengan gaya kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh
sebelumnya. Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-amiz,
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 184
Diwani, dan Diwani Jali. Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang
dikembangkan dari Ta’liq an Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya dipakai
untuk keperluan-keperluan praktis.
Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan dari Ta’liq.
Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif,
yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-
benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan bersusun-
susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru
yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai
Humayuni (kerajaan).Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz
Usman dan para muridnya.

KONSEP KHAT, RASM, DAN KITABAH


Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 185
A. Khat
Menurut Abdul Rahman “Khat adalah rangkaian huruf-huruf
hijaiyah yang memuat ayat-ayat al-Qur’an maupun al-Hadist ataupun
kalimat hikmah di mana rangkaian huruf-huruf itu dibuat dengan proporsi
yang sesuai, baik jarak maupun ketepatan sapuan huruf”.
B. Jenis-jenis Khat
Dalam perkembangannya muncul ratusan jenis Khat kaligrafi, tidak
semua Khat tersebut bertahan hingga saat ini. Terdapat delapan jenis Khat
kaligrafi yang populer yang dikenal oleh para pecinta seni kaligrafi di
Indonesia, yaitu:
1. Naskhi
Menurut Didin Sirojuddin (2006), Kaligrafi gaya Naskhi paling
sering dipakai umat Islam, baik untuk menulis naskah keagamaan maupun
tulisan sehari-hari. Gaya Naskhi termasuk gaya penulisan kaligrafi tertua.
Sejak kaidah penulisannya dirumuskan secara sistematis oleh Ibnu Muqlah
pada abad ke-10, gaya kaligrafi ini sangat populer digunakan untuk menulis
mushaf al-Quran sampai sekarang. Karakter hurufnya sederhana, nyaris
tanpa hiasan tambahan, sehingga mudah ditulis dan dibaca.
2. Tsuluts
Merupakan seorang menteri (wazir) di masa Kekhalifahan
Abbasiyah. Tulisan kaligrafi gaya Tsuluts sangat ornamental, dengan
banyak hiasan tambahan dan mudah dibentuk dalam komposisi tertentu
untuk memenuhi ruang tulisan yang tersedia. Karya kaligrafi yang
menggunakan gaya Tsuluts bisa ditulis dalam bentuk kurva, dengan kepala
meruncing dan terkadang ditulis dengan gaya sambung dan interseksi yang
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 186
kuat. Karena keindahan dan keluwesannya ini, gaya Tsuluts banyak
digunakan sebagai ornamen arsitektur masjid, sampul buku, dan dekorasi
interior.
3. Farisi
Menurut Didin Sirojuddin (2006), Seperti tampak dari namanya,
kaligrafi gaya Farisi dikembangkan oleh orang Persia dan menjadi huruf
resmi bangsa ini sejak masa Dinasti Safawi sampai sekarang. Kaligrafi
Farisi sangat mengutamakan unsur garis, ditulis tanpa harakat, dan
kepiawaian penulisnya ditentukan oleh kelincahannya mempermainkan
tebal-tipis huruf dalam 'takaran' yang tepat. Gaya ini banyak digunakan
sebagai dekorasi eksterior masjid di Iran, yang biasanya dipadu dengan
warna-warni Arabes.

4. Riq’ah
Sebagaimana halnya dengan tulisan gaya Naskhi yang dipakai
dalam tulisan sehari-hari. Riq’ah dikembangkan oleh kaligrafer Daulah
Utsmaniyah, lazim pula digunakan untuk tulisan tangan biasa atau untuk
kepentingan praktis lainnya. Karakter hurufnya sangat sederhana, tanpa
harakat, sehingga memungkinkan untuk ditulis cepat.
5. Ijazah (Raihani)
Menurut Didin Sirojuddin (2006), Tulisan kaligrafi gaya Ijazah
(Raihani) merupakan perpaduan antara gaya Tsuluts dan Naskhi, yang
dikembangkan oleh para kaligrafer Daulah Usmani. Gaya ini lazim
digunakan untuk penulisan ijazah dari seorang guru kaligrafi kepada
muridnya. Karakter hurufnya seperti Tsuluts, tetapi lebih sederhana, sedikit
hiasan tambahan, dan tidak lazim ditulis secara bertumpuk.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 187
6. Diwani
Menurut Didin Sirojuddin (2006), Gaya kaligrafi Diwani
dikembangkan oleh kaligrafer Ibrahim Munif. Kemudian, disempurnakan
oleh Syaikh Hamdullah dan kaligrafer Daulah Usmani di Turki akhir abad
ke-15 dan awal abad ke-16. Gaya ini digunakan untuk menulis kepala surat
resmi kerajaan. Karakter gaya ini bulat dan tidak berharakat. Keindahan
tulisannya bergantung pada permainan garisnya yang kadang-kadang pada
huruf tertentu meninggi atau menurun, jauh melebihi patokan garis
horizontalnya. Model kaligrafi Diwani banyak digunakan untuk ornamen
arsitektur dan sampul buku.
7. Diwani Jali
Menurut Didin Sirojuddin (2006), Kaligrafi gaya Diwani Jali
merupakan pengembangan gaya Diwani. Gaya penulisan kaligrafi ini
diperkenalkan oleh Hafiz Usman, seorang kaligrafer terkemuka Daulah
Usmani di Turki. Anatomi huruf Diwani Jali pada dasarnya mirip Diwani,
namun jauh lebih ornamental, padat, dan terkadang bertumpuk-tumpuk.
Berbeda dengan Diwani yang tidak berharakat, Diwani Jali sebaliknya
sangat melimpah. Harakat yang melimpah ini lebih ditujukan untuk
keperluan dekoratif dan tidak seluruhnya berfungsi sebagai tanda baca.
Karenanya, gaya ini sulit dibaca secara selintas. Biasanya, model ini
digunakan untuk aplikasi yang tidak fungsional.
8. Kufi
Menurut Didin Sirojuddin (2006), Gaya penulisan kaligrafi ini
banyak digunakan untuk penyalinan al-quran periode awal. Karena itu,
gaya Kufi ini adalah model penulisan paling tua di antara semua gaya
kaligrafi. Gaya ini pertama kali berkembang di Kota Kufah, Irak, yang
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 188
merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam sejak
abad ke-7 M. Khat Arab dinamakan Jazm karena Khat Kufi pada awalnya
bernama Jazm, sebelum kota Kufah didirikan. Dinamakan Jazm karena dia
“juzima” atau terpotong dan dilahirkan dari Fan Musnad Humeiri. Khat ini
juga disebut sebagai Khat Muzawwa (kubisme) merupakan tulisan Arab
yang asal. Khat ini pernah masyhur di Hirah, Raha dan Nashibain sebelum
berdirinya kota Kufah.
Tulisan ini yang juga dipanggil Khat Hieri (dari perkataan Hirah)
diakui sebagai tulisan yang pernah memainkan peranan penting dalam
menyalin masalah-masalah keagamaan. Khat Kufi mempunyai ciri
istimewa dan berbeda dengan Khat-Khat lain. Khat Kufi mudah dikenal,
sifatnya yang bersudut-sudut atau bersegi, mempunyai ukuran yang
seimbang dan spesifik Khat ini nampak lebih kokoh dan ringkas. Sapuan
garis vertikalnya pendek manakala sapuan garis horizontal memanjang
dalam ukuran yang sama lebar. Maka ini akan menyebabkan tulisan Khat
Kufi kelihatan berbentuk segiempat panjang.
Hal yang penting dalam menulis Khat ini ialah menekankan bahwa
Khat Kufi dari jenis tulisan yang bersiku-siku.Gaya Khat Kufi memiliki
beberapa variasi bentuk:
a) Kufi awal
Kufi ini digunakan pada salinan awal al-Qur‟an, garis horizontal
tulisan Kufi ini sering diperpanjang unutk menghasilkan tulisan
pendek,
gemuk dan kompak. Khat Kufi awal mempunyai huruf yang
bersegi-
segi dan mempunyai sapuan lembut ke atas dan ke bawah.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 189
Sapuan vertikalnya mempunyai ujung yang dilebarkan dan
berakhir dengan lekuk yang serong.
b) Kufi Timur atau Bengkok
Kufi ini merupakan pengembangan dari Kufi awal, dimana garis
vertikal diperpanjang dalam gaya baru yang dikembangkan oleh
penduduk Persia. Bentuk ini lazim dikenal sebagai “kufi Timur”,
karena contoh-contohnya sangat umum dalam salinan al-Qur‟an
yang dibuat di Timur. Juga disebut “kufi bengkok”, karena
condong kesebelah kiri coretan vertikal pendeknya.Hiasan huruf-
hurufnya sering ditempatkan di bawah baris tulisan.
Keseluruhannya, tulisan ini jauh lebih halus ketimbang bentuk
kufi lain di masa itu.
c) Kufi Bunga
Selain variasi gaya tulisan kufi yang diperpanjang secara vertikal
dan horizontal, ahli-ahli muslim mengembangkan varian baru
bentuk yang pada dasarnya bundar. Tiap ragam tulisan kufi yang
paling terkenal merupakan hasil dari perpanjangan huruf-
hurufnya sendiri menjadi berbagai motif non kaligrafis. Salah
satu diantara gaya-gaya ini, dimana vertikal tulisan diperpanjang
menjadi bentuk daun dan bunga, hingga dikenal dengan nama
kufi bunga.
d) Kufi Berjalin
Kufi ini sama halnya dengan kufi bunga dimana garis vertikal
diperpanjang menjadi jalinan yang saling terhubung dengan huruf
lainnya, sehingga menghasilkan suatu jalinan yang dekoratif.,

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 190


unik dan sangat menarik. Gaya ini banyak dipakai untuk dekorasi
hiasan dinding rumah dan masjid.
e) Kufi Kotak
Gaya ini merupakan gaya Kufi yang lebih menyederhanakan
bentuk Kufi itu sendiri menjadi berbentuk kotak-kotak
geometris, sangat kaku. Tetapi dengan jalinan satu huruf dengan
huruf yang lain sehingga menjadi suatu harmoni yang baik dan
enak dilihat. Bentuk dan karakter masing-masing huruf lebih
cenderung menampakkan sebuah ornamen (hiasan), atau
timbulnya sifat keterkaitan antara huruf satu dengan yang lain,
yang membentu hiasan.
C. Rasm al-Qur’an
Adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an
yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya
maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga
dengan sebutan Rasm Al-Utsmani, Khalifah Usman bin Affan
memerintahkan untuk membuat sebuah mushaf Al-Imam, dan membakar
semua mushaf selain mushaf Al-Imam ini karena pada zaman Usman bin
Affan kekuasaaan Islam telah tersebar meliputi daerah-daerah selain Arab
yang memiliki sosio-kultur berbeda. Hal ini menyebabkan percampuran
kultur antar daerah. Sehingga ditakutkan budaya arab murni termasuk di
dalamnya lahjah dan cara bacaan menjadi rusak atau bahkan hilang tergilas
budaya dari daerah lainnya. Implikasi yang paling ditakutkan adalah
rusaknya budaya oral arab akan menyebabkan banyak perbedaan dalam
membaca al-Qur’an.
1. Hukum dan Kedudukan Rasm al-Qur’an
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 191
Jumhur ulama berpendapat bahwa pola Rams Utsmani bersifat
dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang
ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan
merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin
melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan
kehendak dan restu Nabi Terdapat sekelompok ulama berpendapat lain,
bahwa pola penulisan di dalam Rams Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi
hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai
ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi mengenai
ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab
Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis al-
Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak
pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.
2. Kekeliruan dalam penulisan
Mengenai mushaf Utsmani, walaupun sejak awal telah dilakukan
evaluasi ulang, ketika dilakukan tauhid al-Mashahif, ternyata tidak luput
dari kekeliruan dan inkosistensi. Hal demikian terjadi karena pada masa
dilakukannya tauhid al-Mashahif, kaum muslimin belum begitu mengenal
dengan baik seni khath dan cara penulisan (usluh al-Kitabah). Bahkan
mereka belum mengenal tulisan, kecuali beberapa orang saja. Adanya
kekeliruan (lahn) ini, diakui oleh Ustman sendiri. Ibnu Abi Daud
meriwayatkan bahwa setelah mereka menyelesaikan naskh Al-Mahsahif,
mereka membawa sebuah mushaf kepada Utsman, kemudian beliau
melihatnya dan mengatakan : “Sungguh kalian telah melakukan hal yang
baik. Didalamnya aku melihat ada kekeliruan (lahn) yang lanjutnya Utsman

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 192


mengatakan : “Seandainya yang mengimlakan dan Hudzail dan yang
menulis dari Tsaqif, tentu ini tidak akan terjadi di atasnya.
Waktu akan diluruskan oleh (kemampuan) bahasa “mereka
sepanjang sejarah tidak dilakukan. Disini terdapat hikmah. Karena bila
dilakukan, justru oleh tangan-tangan ahli kebatilan yang mengatasnamakan
istilah atas kekeliruan, atau dijadikan mainan para pengekor hawa nafsu.
Oleh karena itu pula, seperti di atas, Ali bin Abi Thalib A.S mengatakan.
“Sejak ini Al-Qur’an tidak dapat diubah apapun.
D.َKitabah
1.َPengertian Kitabah
Kitabah atau menulis merupakan suatu proses kreatif yang banyak
melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) daripada konvergen
(memusat) (Supriadi, 1997). Menulis tidak ubahnya dengan melukis.
Penulis memiliki banyak ide, gagasan, pendapat, pikiran, perasaan, serta
obsesi yang akan dituliskannya. Walaupun secara teknis ada kriteria-
kriteria yang dapat diikutinya, tetapi wujud yang akan dihasilkan itu sangat
bergantung pada kepiawaian, imajinasi, dan kreativitas penulis dalam
mengungkapkan gagasan.
Kitabah (menulis) merupakan keterampilan berbahasa yang rumit,
karenanya keterampilan ini harus diurutkan setelah periode pelajaran yang
menekankan pada bunyi (marhalah shawtiyyah). Marhalah tersebut lebih
terfokus pada aspek menyimak dan bicara. Kitabah sering difahami hanya
sebatas mengkopi (naskh) dan mengeja (tahajju’ah), namun kitabah
sebenarnya juga mencakup beragam proses kognitif untuk mengungkap apa
yang diinginkan seseorang. Dengan demikian keterampilan ini merupakan
latihan mengatur ide-ide dan pengetahuan lalu menyampaikan dalam
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 193
bentuk simbol-simbol huruf. Akan tetapi bagaimana pelajaran kitabah itu
sebenarnya adalah tergantung pada bagaimana pula situasi dan kondisi
belajar atau peserta didiknya.
2. Metode dan Teknik Kitabah
a) Memperjelas materi yang dipelajari siswa, maksudnya tidak
menyuruh siswa menulis sebelum siswa mendengarkan dengan baik
, mampu mendengarkan pengucapannya dan telah kenal bacaannya.
b) Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa.
c) Asas terhadap, dari yang sederhana berlanjut ke yang rumit, contoh
pembelajaran dimulai dengan:
1) Menyalin huruf dan kata
2) Menulis kalimat sederhana
3) Menulis sebahagian kalimat yang ada dalam teks atau
percakapan.
4) Imla’
5) Mengarang terara
d) Kebebasan menulis
e) Pemberian khath
f) Pembelajaran imla’

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 194


KONSEP RASAM USMANI,’ ARUDI ,QIYASI, DAN ISTILAHI

A. Rasm Utsmani َ(‫العثمان‬ ‫) الرسم‬


Rasm berasal dari kata ً‫رمسا‬ ‫ـ‬ ‫يرسم‬ ‫ـ‬ ‫ َر َس َم‬, artinya menggambar
atau melukis. Kata rasm ini juga biasa diartikan sebagai sesuatu yang
resmi atau menurut aturan. Rasm Utsmani pula diartikan sebagai ilmu
yang membincangkan kaedah penulisan kalimah-kalimah ayat al-Quran
yang diguna dan dipersetujui oleh Khalifah Uthman ketika proses
penyalinan dan penulisan al-Quran dilakukan.
Penulisan Rasm ini dibuat berdasarkan apa yang telah diriwayatkan
oleh para ulama’ rasm (tulisan) dari pada mashaf-mashaf yang telah
dihantar oleh Khalifah Utsman r.a ke Kota Basrah, Khufah, Syam, Makkah
dan Madinah termasuklah yang diperuntukkan khas bagi rujukan Khalifah
di Kota Madinah.
Ilmu Rasm ialah satu ilmu yang membincangkan cara menulis lafaz-
lafaz atau sebutan untuk memelihara penyebutan huruf-hurufnya dari segi
lafaz, huruf-huruf asal dan ilmu yang membahaskan kaedah menambah,
mengurang, menyambung, memisah dan menggantikan huruf.
Penulisan (Rasm) al-Quran ini adalah satu sunnah Rasulullah s.a.w.
yang diikuti secara ijma' (kesepakatan) oleh seluruh ulama mujtahidin
kerana tulisan ini adalah berbentuk tsuqifiyyah dan ia dibuat di bawah
pengawasan Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam kitab Al-Muhith Al-Burhaniy, kitab fiqh Al-Hanafiyyah
terdapat pernyataan:
‫إنه ينبغى أن ال يكتب املصحف بغري الرسم العثماىن‬
“Sesungguhnya tidak diperkenankan menulis mushaf, kecuali dengan Rasm
Utsmani.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 195


Tulisan al-qur’an bukan tauqifi (tergantung pada petunjuk Nabi atau
Allah). tulisan yang sudah ditetapkan dan disepakati pada masa itu boleh
saja tidak diikuti . Ulama yang menguatkan pendapat ini Ibnu Khaldun
dalam muqaddimahnya dan al-qadhi abu bakar dala kitabnya al-intishar.
Menurut beliau tidak ditemukan nash maupun mafhum (yang dipahami
dari) nash yang menunjukkan kepada kemestian menulis al-Qur’an dengan
satu macam tulisan.
Demikian juga Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai
ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab
Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis al-
Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak
pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Sunnah Nabi
menunjukkan kepada kebilehan menulis al-Qur’an dengan cara yang
mudah.
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena
semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang
masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat
dan pemberian titik.
Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya
percampuran (dengan bahasa non arab), maka para penguasa merasa
pentingnya ada perbaikan Mushaf syakal, titik dan lain-lain yang dapat
membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama yang berpendapat bahwa
orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abu Aswad ad-Du’ali,
peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin
Abi Talib. Perbaikan Rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada
awalnya syakal berupa titik: fathah berupa satu titik diatas awal huruf,
tanda kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf, tanda dhammah berupa
satu titik diatas akhir huruf, dan tanda sukun berupa dua titik.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 196


Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari
huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah
adalah dengan tanda sempang diatas huruf, kasrah berupa tanda sempang
dibawah huruf, dhammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin
dengan tambahan tanda serupa. Perhatian untuk
menyempurnakan rasm Mushaf, kini telah mencapai puncaknya dalam
bentuk tulisan Arab (al-khattul ‘arabiy).
Adapun Manfaat Ilmu Rasm Utsmani adalah sebegai berikut:
1. Mengetahui persambungan sanad mengenai al-qur’an.
2. Mengetahui penunjukan asal harakat, seperti penulisan kasroh pada
huruf yaa’, dhommah pada wawu.
3. Mengetahui penunjuk sebagian bahasa fashih.
Seperti : pembuangan akhir huruf fi’il mudhori’ mu’tal ghairu
jazzim.
4. Mengetahui penunjukkan pengertian yang tersembung
B. Rasm ‘Arudi
Rasm ‘Arudi ialah cara menuliskan kalimat-kalimat arab
disesuaikan dengan wazan sya’ir-sya’ir arab. Hal itu dilakukan untuk
mengetahui “bahr” (nama macam sya’ir). Dari sya’ir tersebut
contohnya seperti: ‫له‬ ‫ وليل كموج البحر ار خي سدو‬sepotong sya’ir
Imri’il qais tersebut jika ditulis akan berbentuk: ‫وليلن كموج البح ر ار‬
‫ خي سدو هلو‬sesuai dengan ‫ فعو لن مفا عيلن فعولن مفا عيلن‬sebagai
timbangan sya’ir yang mempunyai “ bahar tawil.”
C. Rasm Qiasi / Imla'i (‫القياسى‬ ‫) الرسم‬
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an dengan rasm
Imla’i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para
ulama atau yang memahami Rasm Utsmani tetap wajib
mempertahankan keaslian Rasm Utsmani.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 197


Pendapat diatas diperkuat oleh al-Zarqani dengan mengatakan
bahwa rasm Imla’I diperlukan untuk menghindarkan ummat dari
kesalahan membaca al-Qur’an, sedangkan Rasm Utsmani di perlukan
untuk memelihara keaslian mushaf al-Qur’an. Tampaknya, pendapat ini
lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat, disatu pihak
mereka ingin melestarikan Rasm Utsmani, sementara dipihak lain
mereka menghendaki dilakukannya penulisan al-Qur’an denganrasm
Imla’i untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang
kemungkinan mendapat kesulitan membaca al-Qur’an dengan Rasm
Utsmani.
Namun demikian, kesepakatan para penulis al-Qur’an
dengan Rasm Utsmani harus diindahkan dalam pengertian
menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang
dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini
cukup besar yang tidak menguasai Rasm Utsmani. Bahkan, tidak
sedikit jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab.
Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat
membaca ayat-ayat al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun
demikian Rasm Utsmani harus dipelihara sebagai standar rujukan
ketika dibutuhkan.
Demikian juga tulisan ayat-ayat al-Qur’an dalam karya
ilmiah, Rasm Utsmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah
masuk dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai
alasan untuk mengabaikannya. Dari sini kita dapat memahami bahwa
menjaga keotentikan al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf
Utsmani.
Akan tetapi segi pemahaman membaca al-Qur’an bisa
mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang dalam proses

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 198


penulisan al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu
Bakar sampai khalifah Utsman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah
lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan sekretaris Rasulullah SAW.
Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga dan
memelihara keotentikan al-Qur’an.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 199


KONSEP PENULISAN HURUF ARAB DAN TOKOH-TOKOH
KALIGRAFI

A. Kaidah Dan Teknik Penulisan Huruf Arab Menurut Ibnu Muqlah


Abu Ali al-Sadr Muhammad ibn al-Hasan ibn Abd Allah ibn
Muqlah, yang lebih dikenal dengan Abu Ali atau Ibnu Muqlah, dilahirkan
pada tahun 272 H/887 M. Ibnu Muqlah artinya “anak si biji mata” yang
berarti anak kesayangan. Sedangkan Muqlah adalah gelar ayahnya. Ada
yang meriwayatkan sebagai nama ibunya, yang apabila ayahnya (kakek
Ibnu Muqlah) mempermainkannya, selalu memanggilnya dengan kata-kata:
“Yaa muqlata abiha!” (“Wahai biji mata ayahnya!”).
Ibnu Muqlah yang dikenal sebagai “Imam Khattatin” (pemimpin
para Kaligrafer) dan saudaranya, Abu Abdillah mendapat bimbingan
kaligrafi dari Al-Ahwal al-Muharrir, salah seorang murid Ibrahim al-Syajari
yang paling masyhur, hingga keduanya menjadi kaligrafer sempurna yang
paling menguasai bidangnya di Baghdad pada permulaan zaman tersebut.
Kejeniusan Abu Ali Ibn Muqlah dan pengetahuan mendasarnya tentang
geometri (ilmu ukur) membawa kemajuan penting satu-satunya di bidang
kaligrafi Arab. Keberhasilan Ibnu Muqlah adalah mengangkat khat gaya
Naskhi, lihat contoh kaligrafi khat gaya Naskhi :

Gaya Naskhi menjadi gaya yang paling populer dipakai, setelah


abad sebelumnya didominasi oleh Khat gaya Kufi, contoh kaligrafi gaya
Kufi :

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 200


Gaya lain yang ditekuninya Ibnu Muqlah adalah Khat Tsulus, yang
nantinya banyak berpengaruh pada karya Ibnu Bawab. Contoh kaligrafi
Khat gaya Tsulus :

Sumbangan Muqlah dalam kaligrafi bukan pada penemuan gaya


baru tulisan, akan tetapi pada penerapan kaidah-kaidah yang sistematis
untuk kaidah Khat Naskhi yang berpangkal pada huruf alif. Sistem
penulisan Ibnu Muqlah berpangkal pada tiga unsur kesatuan baku: titik
(yang dibuat dari tarikan diagonal pena), huruf alif vertikal dan lingkaran.

Diciptakannya sebuah titik belah ketupat sebagai unit ukuran.


Kemudian mendesain kembali bentuk-bentuk ukuran (geometrikal) tulisan
sambil menentukan model dan ukuran menurut besarnya dengan memakai
titik belah ketupat, standar alif dan standar lingkaran. Tiga poin inilah,
yaitu titik belah ketupat, alif vertikal, dan lingkaran yang dikemukakan
oleh Ibnu Muqlah sebagai rumus-rumus dasar pengukuran bagi penulisan
setiap huruf.
Prinsip-prinsip geometrikal ini mendobrak cara penulisan Arab
sebelumnya yang cenderung nisbi. Metode penulisan baru ini disebut al-
Khath al-Manshubi (kaligrafi yang tersandar). Meskipun kaidah-kaidah
tersebut tidak sekaku awal perintisan Ibnu Muqlah, namun perkembangan
kaligrafi selanjutnya banyak dipengaruhi oleh kepiawaiannya dalam

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 201


memperindah tulisan. Buah karyanya yang dipercaya masih ada sampai
sekarang hanyalah yang tersimpan utuh di Museum Irak, Baghdad. Tulisan
yang terdiri dari sembilan halaman ini, yang disebut Naskhi dan Tsuluts,
ditilik dari cara dan gaya penulisannya dianggap benar-benar berasal dari
tangan Ibnu Muqlah sendiri.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa di Andalusia ada sebuah
mushaf al-Qur’an yang sangat masyhur, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Khalil al-Saquny bahwa di salah satu masjid dari sekian banyak masjid
Sevilla didapat mushaf juz IV dengan huruf-huruf tulisan yang mirip
dengan huruf-huruf Kufi.
Dikuatkan oleh Abu al-Hasan ibn Tufail bahwa mushaf itu ditulis
dengan menggunakan Khat Ibnu Muqlah. Sumber tersebut berasal dari
Majalah Ma’had al-Makhtutat al-‘Arabiyah juz awal, halaman 95, tahun
1377 H, dalam suatu ulasan tentang perpustakaan dan kitab-kitab di
Spanyol Islam.

Pada mulanya Ibnu Muqlah mengabdi pada beberapa kantor


pemerintahan, menyumbangkan kemahiran dari bakat yang dimilikinya
sebagaimana yang dilakukan oleh para kaligrafer lainnya. Untuk pekerjaan
tersebut ia mendapat upah enam dinar sebulan. Karirnya mulai menanjak
setelah ia mempunyai hubungan yang erat dengan Abu al-Hasan ibn Furat
yang mengawalnya ke puncak prestasi yang meyakinkan, sehingga ia mulai
populer dan banyak mendapat sorotan dari segenap kalangan. Bahkan,
dalam suatu catatan disebutkan bahwa tulisan Ibnu Muqlah pernah
digunakan dalam pembubuhan surat perdamaian (hadnah) antara kaum
muslimin dengan bangsa Romawi, surat itu tetap dalam pegangan
pemerintah Romawi, hingga Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan kota
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 202
Konstantinopel, ibukota Romawi Timur. Ibnu Muqlah memulai karirnya
sebagai pegawai pemungut pajak di provinsi Persia, sekaligus mengatur
anggaran pengeluarannya. Hingga keadaannya berbalik ketika ia menjadi
pejabat bawahan al-Imam al-Muqtadir Billah pada tahun 316H, yang
membawanya sukses untuk menduduki posisi tertinggi di istana Baghdad.
Berkat keuletan luar biasa dan prestasi yang tampak sangat menonjol, ia
berhasil menaiki jenjang kedudukan perdana menteri (wazir) untuk tiga
orang khalifah Abbasiyah, yakni khalifah al-Muqtadir (908-932 M),
khalifah al-Qahir (932-934 M) dan khalifah al-Radhi (934-940 M).
Akan tetapi nasib Ibnu Muqlah sangat malang, ia telah mendapat
tekanan-tekanan berat akibat masalah-masalah kekhalifahan yang sedang
bergolak dengan segala kekisruhannya; tatkala penindasan, korupsi dan
intrik-intrik politik dari ambisi kekuasaan yang merajalela. Sistem
kepemimpinan kekhalifahan pada waktu itu ternyata telah menyiksanya
dengan beragam penganiayaan.
Ibnu Muqlah diangkat menjadi pembantu (wazir) khalifah al-Radhi,
namun ia juga mempunyai musuh yang menfitnahnya hingga ia ditangkap
dan dipecat dari jabatannya. Ia berkali-kali masuk penjara, hartanya disita
dan ia dibuang ke Persia, sampai suatu saat ia mesti membayar tebusan
satu juta dirham. Hal itu mendorongnya mendekati Ibnu Raiq, Perdana
Menteri di Baghdad, bawahan khalifah yang naif itu. Namun Ibnu Raiq
tidak bisa menyembunyikan kedengkiannya, bahkan membusukkan
namanya di hadapan khalifah al-Radhi. Maka Ibnu Muqlah mendapat
hukuman lagi dengan mempertaruhkan tangan kanan dan kirinya.
Akhirnya khalifah al-Radhi pun menyesal atas sikapnya sendiri dan
menyuruh tabib istana untuk mengobati luka tangan Ibnu Muqlah yang
sudah terpotong, hingga ia sembuh. Akan halnya dengan Ibnu Raiq begitu
melihat sikap khalifah al-Radhi tersebut, ketika teringat akan permintaan

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 203


Ibnu Muqlah untuk duduk di kursi kementeriannya, dan itu kelak akan
menjadi saingannya. Maka dibuatlah tindakan yang lebih bengis
melengkapi kekejaman sikap sebelumnya.
Ibnu Raiq menjatuhkan hukuman potong lidah dan menjebloskan
Ibnu Muqlah ke dalam penjara, hingga ia mendekam bertahun-tahun
dengan segala duka derita yang tak terkirakan. Di dalam penjara itu Ibnu
Muqlah menggoreskan pena dengan lengan tangannya yang terpotong dan
dengan itu pun ia menulis, begitu pula ketika mengambil air wudhu.
Ibnu Muqlah meninggal dunia tahun 328 H/940 M dan dimakamkan
di istana sultan. Mendengar peristiwa itu, keluarganya menuntut agar
jenazahnya dibongkar dan diserahkan kepada keluarga. Kemudian anaknya
menguburkan di rumahnya sendiri. Dari rumah anaknya, istrinya yang
dikenal dengan nama Dinariyah menggalinya kembali dan menguburkan di
rumahnya di Istana Umm Habib Baghdad.
1. Ibnu Muqlah
la adalah Abu Ali al-Sadr Muhammad ibn al-Hasan ibn Abd Allah
ibn Muqlah, yang lebih dikenal dengan Abu Ali atau Ibnu Muqlah. Lahir
tahun 887 M, meninggal pada 940 M dan dikuburkan di pekuburan
kerajaan, setelah tiga kalii dipindahkan. Ibnu Muqlah artinya "anak si biji
mata", alias anak ke¬sayangan. la adalah wazir (menteri) untuk tiga
Khalifah Abbasiyah, al¬Muqtadir, al-Qahir dan al-Radhi. Meninggal pada
masa al-Radhi, di penjara, karena fitnah masalah keuangan negara, setelah
lidah dan tangannya dipotong. Ibnu Muqlah memulai karirnya sebagai
pegawai pemungut pajak di propinsi Persia, yang membawanya sukses
dalam menduduki posisi tertinggi di istana Baghdad. la berkali-kali masuk
penjara, sampai suatu saat ia mesti membayar tebusan satu juta dirham.
Hukuman bukan berhenti di sini saja, karena selanjutnya ia harus
mempertaruhkan tangan kanar. dan kirinya. Terakhir, lidahnya. Meskid

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 204


demikian, sebagai kaligrafer ia tidak pernah berhenti menulis, walaupun
hanya dengan ujung tangan kanannya yang telah buntung.
Ibnu Muqlah mendapat bimbingan kaligrafi dari al-Ahwal al-Muharrir
(lihat catatan kaki no. 2). Karena kejeniusannya, ia dikenal sebagai
"Nabi"nya kaligrafi atau imam al-Khathathin (bapak para kaligrafer).
Keberhasilan Ibnu Mu¬qlah adalah mengangkat gaya Naskhi menjadi abad
sebelumnya didominasi Kufi. Gaya lain yang ditekuninya adalah Tsuluts,
yang nantinya banyak berpengaruh pada karya Ibnu Bawwab. Sumbangan
Muqlah dalam kaligrafi bukan pada penemuan gaya barn tulisan, akan
tetapi pemakaian kaidah-kaidah sistematis untuk Khath Naskhi, yang
berpangkal pada huruf alit. Lebih jelas diterangkan oleh Y.H. Safadi,
bahwa sistem Ibnu Muqlah berpangkal pada tiga unsur kesatuan baku: titik
(yang dibuat dari tarikan diagonal pena ), huruf alit vertikal, dan lingkaran
(lihat gambar). Prinsip-prinsip ilmiah geometrical ini mendobrak cara
penulisan Arab sebelumnya, yang cenderung nisbi. Metode penulisan baru
ini disebut al-Khath al-Mansubi (kaligrafi yang 'tersandar'). Meski kaidah-
kaidah tersebut tidak terpakai sekaku awal penciptaan Ibnu Muqlah,
perkembangan kaligrafi selanjutnya banyak diwarnai oleh kepiawaiannya
dalam memperindah tulisan, seperti yang juga terlihat pada pembehasan.
Sayangnya, tak satu pun karyanya yang dapat terpelihara hingga kini.
2. Ibnu Bawwab
Yang nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali ibn Hilal, adalah anak
seorang penjaga pintu istana Baghdad. (Bawwab berarti 'penjaga pintu'). la
juga dikenal sebagai al-Sitri. Penulis kaligrafi ini hafal al-Qur'an dan
menulis 64 eksemplar Kitab Suci. Salah satunya, yang ditulis dengan gaya
Raihani, di simpan di mesjid Leleli di Istanbul, hadiah dari Sultan Salim 1
(1512-1520 M) kesultanan Turki Utsmani (Ottoman).

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 205


Ia penemu dan pengambang gaya tulisan Raihani dan Muhaqqaq.
AI-Bawwab, yang berhasil membentuk madzhab kaligrafi di Baghdad,
meninggal tahun 1022 M dan dimakamkan di dekat makam Imam Ahmad
ibn Han-bal. Tidak diketahui tanggal kelahirannya. Pada masa mudanya,
Ibn Bawwab belajar kaligrafi pada Muhammad ibn Asad, kemudian
Muhammad ibn al-Simsimani, murid Ibnu Muqlah. Dalam karir
kaligrafinya ia lebih dikenal sebagai penerus dan pengembang prestasi Ibnu
Muqlah. Dialah yang menambah hakikat makna pada pekerjaan yang telah
dirintis pendahulunya itu. Bentuk baru yang penuh keindahan ini kemudian
dikenal dengan al-Mansub at-Faiq (mansub yang indah). Meski al-Bawwab
pada mulanya dikenal sebagai dekorator rumah (house painter) dan
ilustrator buku, namun ia menonjol dalam mengembangkan dan
mempercantik keenam gaya tulisan yang ada saat it u, al-Aqlam al-Sittah.
Perhatiannya terutama dicurahkan pada Naskhi dan Muhaqqaq, yang secara
ideal selaras dengan kejeniusannya. Ibnu Bawwab mendirikan Sekalah
Kaligrafi, yang dikenal sampai mass Yaqut al-Musta'shimi. Meskipun ia
banyak berkarya, namun kini hanya beberapa yang dapat terdokumentasi.
Dua halaman al-Qur'annya, berukuran 171/2 x 131/2 cm, bertahun 1001 M,
kini tersimpan di Perpustakaan Chester Beatty, Dublin, Irlandia.
3. Yaqut Al-Musta'simi
la adalah al-Syaikh Jamal al-Din Yaqut al-Musta'shimi al-'rhawasyi
al-Baghdadi (wafat 698 H/1298 M), seorang kepala perpustakaan"al-
Mustan shiriyah" di Baghdad. Dalam riwayat lain ia disebutkan bernama
lengkap Abu Durr Amin al-Din Yaqut al-Musta'shimi ibn Abdullah, yang
memiliki julukan Jamaluddin, dengan panggilan Abu Durr atau Abu al-
Majid. Menurut Encyclopaedia of Arabic Civilizat-ron, Yaqut keturunan
keluarga Yunani dari Amasia (Turki Utara), yang dijual sebagai budak ke
Baghdad. la kemudian dimerdekakan oleh khalifah al-Musta'shim Billah

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 206


(1242-1258 M), khalifah terakhir Dinasti Abbasyiyah. Dari sang khalifah ia
menambahkan "al-Musta'shimi" pada namanya. Di samping sebagai
kaligrafer yang kedudukannya setaraf dengan lbn Muqlah dan Ibnu
Bawwab ia jug dikenal sebagai penyair dan sastrawan. Yaqut
mengembangkan metode baru dalam sistem penulisan huruf Arab, di
samping menciptakan gaya tulisan baru, yang kemudian setelah wafatnya
disebut Yaquti (ala Yaqut). Gaya ini dipandang mengungguli semua gaya
lain. Dalam metode penulisan, Yaqut mempelopori penulisan dengan
potongan bambu miring, yang memberikan efek kelembutan dan keindahan
lebih sempurna. Lewat kejeniusannya, gaya Tsulutsi berkembang menjadi
bentuk ornamental, kayu hiasan-hiasan. Prestasi luar biasa Yaqut
memungkinkan ia menjadi panutan kaligrafer setelahnya, terutama para
kaligrafer Turki Utsmani, seperti Hamdullah al-Amasi, Hafidh Ustman dan
Mustafa al-Raqim (lihat catatan kaki berikutnya). Mereka menyebut Yaqut
sebagai Qiblat al-Kuttab (kiblat para kaligrafer), atau dalam. istilah
Inggrisnya, Model of the Calligrapher. Yaqut terkenal dengan filsafatnya
tentang kaligrafi: Al-Khaththu handasatun ruhaniyyatun dhaharat bi alatin
jusmaaniyyatin (Kaligrafi adalah geometri spiritual, yang diekspresikan
melalui alat jasmani qalam). Pada masa Yaqut, perkembangan kaligrafi
empat terhenti oleh jatuhnya Baghdad di bawah pasukan Mongol pimpinan
Hulagu Khan. Namun dalam waktu kurang dari setengah abad,
perkembangan itu pulih kembali, berkat kegigihan orang-orang Islam saat
itu dan dukungan pemerintahan penjajah bergelar 11-Khan (penguasa suku)
yang segera berbalik menjadi muslim.
4. Hamdullah
Lebih dikenal dengan Ibn Syaikh, bernama lengkap Syaikh
Hamdullah al-Amasi. Lahir dimasa (kola kelahiran Yaqut al-Musta'shimi),
Turki Utara, tahun 833 H. Wafat tahun 926 H/1520 M. Ia dianggap sebagai

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 207


master terbesar sepanjang sejarah Ottoman. Kaligrafer-kaligrafer Utsmani
yang datang kemudian berkiblat kepada rumus-rumus dan tulisan
Hamdullah. Syaikh Hamdullah menulis sejumlah al-Qur'an dan beberapa
manuskrip lain. Karyanya yang terhitung monumental adalah inskripsinya
pada pintu utama masjid Sultan di Istanbul. Perhatian besar pihak
kesultanan terhadap kaligrafi memungkinkan Hamdullah berkarya dengan
lapang dan lebih kreatif. Beberapa sultan bahkan belajar kaligrafi, dan
begitu menaruh hormat kepada khathath. Pada masa Hamdullah, Sultan
Bayazid 11 (1481-1512 M) belajar kaligrafi kepadanya. Sang sultan sendiri
selalu bersedia membayar mahal untuk setiap huruf yang meluncur dari
qalamnya. Sultan memang lebih menaruh perhatian kepada perkembangan
kaligrafi, ketimbang cabang seni lukis atau lainnya. Ada sebuah cerita yang
meriwayatkan betapa sang Sultan menghargai gurunya: selama Syaikh
menulis, sang Sultan bersedia memegangkan tempat tintanya sampai is
selesai. Di antara murid tersohornya adalah Ahmad Qarahisari (wafat 963
14-11~55 M), yang mendapatkan ijazahnya. Qarahisrai sendiri banyak
meninggalkan karya. Syaih Hamdullah al-Amasi adalah kaligrafer
legendaris selama lima abad terakhir ini. Lewat tangannyalah pembakuan
penulisan huruf dengan rumus-rumus tertentu mencapai finalnya, dan
terpakai hingga sekarang. Karenanya, tak salah jika Hamdullah dianggap
sebagai penyumbang terbesar bagi kaligrafi Islam sekarang. Kiblat
perkembangan kaligrafi sejak masa Hamdullah telah berpindah ke Istanbul
setelah mendewasa di Baghdad dan menclapat angin segar di Persia.
5. Hafidh Utsman
Hafidh Utsman bemama asli Utsman ibn Ali, lahir di Asitanah,
Istanbul, tahun 1052 H/1642 M. Sejak masa mudanya ia hafal al-Qur'an,
yang karena itu orang menjulukinya al-Hafidh (penghafal). Ia sendiri suka
menulis di akhir karyanya secara lengkap: al-Hafidh al-Qur'an. Seperti

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 208


nampak pada kaligrafer lain periode Utsmaniyah, Hafidh menekuni gaya
Tsuluts dan Naskhi. Kejeniusannya menulis dua gaya ini nampak pada
karyanya, Hilyah (sebuah deskripsi tentang Nabi Muhammad), tahun 1691-
1692 M. Para sejarawan dan kaligrafer setelahnya menjulukinya sebagai
Ustadz al-Kull (guru keseluruhan). Ia juga dijuluki sebagai "Syaikh
Hamdullah ketiga", setelah sang gurunya, Darwisy Ali (wafat 1086 H),
sebagai ranking kedua. Hafidh menulis enam hari dalam seminggu, dan
istirahat pada hari Jum'at. Diriwayatkan, bahwa Hafidh mengkhususkan
hari Ahad untuk mengajar kaligrafi secara gratis kepada orang-orang tidak
mampu, sementara hari Rabu ia mengajar orang-orang kaya. Ia menulis 25
buah mushaf al-Qur'an dan inskripsi-inskripsi lain yang tersebar di mana-
mana. Sebagian mushaf dan karya kaligrafinya tersebut kini tersimpan di
Universitas Aya Sofia, Perpustakaan Universitas Nur Utsmaniyah dan
Perpustakaan Nuruddin Bek Musthafa, Kairo. Hafidh terpilih menjadi guru
kaligrafi dua sultan Utsmaniyah, Ahmad Khan II (1691-1695) M) dan
Musthafa Khan II (1695-1703 M). la meninggal ketika sembahyang Isya ,
tahun 1110 H/1698 M.
6. Musthafa Al-Raqirn
Musthafa al-Raqim lahir tahun 1171 H di Konya, Anatolia, Turki,
dan finggal di Istanbul sejak ia masih muda. Bakal melukis dan kaligrafinya
telah nampak sejak kecil. Mempelajari Naskhi dan Tsuluts dari kakak
tertuanya, kaligrafer Ismail Zuhdi, kemudian kepada Darwisy Ali. Al-
Raqirn menjadi penulis kesultanan Ottoman masa Salim III (1789-1807 M)
yang kemudian mengangkatnya menjadi pegawai di Departemen Seni
Lukis kesultanan, dan jabatan-jabatan semacam lain. Al-Raqim menjadi
guru kaligrafi untuk dua sultan Utsmani, Salim III dan Mahmud II (1808-
1839 M). Kaligrafer Ismail Haqqi, dalam tulisan serinya di majalah
"Tadrisat Majmu'ah Siy" menulis tentang al-Raqim, "Apabila Barat bangga

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 209


dengan Raphael dan Michaelangelo (pelukis), kita mesti bangga dengan al-
Raqim: kaligrafer jenius ini Ialah meniupkan ruh dalam setiap huruf.
Al-Raqirn memperbaharui lagi kaidah-kaidah penulisan dan
mengembangkan gaya-gaya terdahulu, di samping berusaha lebih kreatif
dalam penciptaan gaya baru tulisan. Di zamannya ia dijuluki sebagai rail al-
khathathin (pemuka para kaligrafer). Tulisan-tulisan bahkan dianggap
sebagai warisan paling mengagumkan. Kaligrafer lain semasanya yang
pantas disebut di sini, meski kedudukannya di bawah al-Raqim, adalah
Mahmud Jalal al-Din. Tidak diketahui tahun kelahirannya. Ia meninggal di
Istanbul tahun 1245/1829 M. Mahmud banyak menekuni Khath Naskhi dan
Tsuluts seperti kebanyakan kaligrafer lain periode Ottoman.
Kaligrafi di masa kesultanan Turki Utsmani memang pantas diberi
catatan khusus, bukan saja periode ini sempat melahirkan gaya-gaya baru
Diwani, Diwani Jali, Riq'ah, misalnya, tiga gaya baru yang datang
belakangan akan tetapi juga yang menarik adalah besarnya perhatian pihak
pemerintah kepada seni ini. Betapa beberapa sultan Turki datang merunduk
belajar kaligrafi kepada khaththath masanya. Mereka begitu tinggi
menghargai kaligrafer. Terakhir, tercatat Abd al-Madjid II (1922-1924 M),
penguasa terakhir Turki Utsmani, belajar kaligrafi kepada Muhammad Azat
sampai mendapatkan ijazah dari sang kaligrafer. Kiblat kaligrafi Islam yang
sejak abad 15 M berpindah ke Turki, setelah mendewasa di Baghdad sejak
abad 9 dan berkembang di Persia sejak abad 14 menemukan perkembangan
finalnya di sana. Rumus-rumus baku penulisan Arab tercipta pada periode
ini, yang terpakai syah hingga kini, membuktikan hal itu. Turki merupakan
pertahanan terakhir kaligrafi Islam.
7. Hamid Al-Amidi
Ia adalah Hamid Aytac al-Amidi, yang benama ash Musa Azmi.
Dilahirkan di Amid (sekarang dikenal dengan Diyarbakir) pada tahun 1891

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 210


M. Menetap di Istanbul sejak umur 15 tahum untuk belajar hukum,
kaligrafi dan cabang seni lain. Ketika di Jerman ia sempat menaruh
perhatian kepada seni lukis. la mempunyai kemampuan istimewa, yang
dipelajarinya dengan tekun dari karya ahli-ahli pendahulunya. Mereka
adalah pioner-pioner kaligrafi Daulah Utsmaniyah seperti Syaikh
Hamdullah, Musthafa al-Raqim, Hafidh Utsman, Mahmud Jalal al-Din dan
lain-lain. Akan tetapi yang membimbing Hamid secara langsung adalah
kaligrafer Nadhif (1262-1331 H). Kaligrafer-kaligrafer lain yang cukup,
berpengaruh sebelumnya, di antaranya, Sarni. (guru Nadhif) dan
Muhammad Amin (1300-1372 H).
Hamid Aytac, akhirnya dikenal dengan Al-Amidi (kola
kelahirannya). Ia menulis kaligrafi di beberapa gedung penting di Istanbul.
Dua salinan al-Qur'annya dianggap sebagai karya masterpiecenya yang liar
biasa. Karya lainnya adalah kaligrafi di sejumlah kubah dan dinding mesjid,
termasuk kubah mesjid Ayub Sultan, dan beberapa inskripsi lain. la
mempunyai mired yang tersebar di seluruh dunia. Salah satunya adalah
Hasyim Muhammad al-Baghdadi penulis buku ini. Hamid al-Amidi berusia
panjang, 91 tahun, meninggal pada 18 Mei 1982. Semoga Allah
merahmatinya. Untuk mengenang kebesarannya, International Comission
for the Preservation of Islamic Cultural Heritage (Komisi Internasional
untuk Pemeliharaan Warisan Kebudayaan Islam), di bawah Organisasi
Konferensi Islam (OKI), yang berpusat di Istanbul, setiap tiga tahun sekali.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 211


KHAT NASKHI DAN KAIDAH PENULISANNYA

A. Sejarah Khat Naskhi


Khat Naskhi, atau juga disebut khat badi', khat muqawwar, dan
khat mudawwar, merupakan salah satu jenis kaligrafi yang sangat indah.
Sesuai namanya (naskh artinya menyalin merupakan asal dari kata nuskhah
atau naskah), khat naskhi banyak digunakan oleh para penulis naskah kitab
kitab, dan mushaf-mushaf. Ibnu Muqlah yang hidup pada abad ke 4
Hijriyah/9 masehi, disebut-sebut sebagai orang pertama yang meletakkan
dan menyempurnakan dasar-dasar Khat Naskhi. Setelah beliau, Khat
Naskhi terus disempurnakan oleh para khattat dan Arab. Diantara tokoh
tokohnya antara lain : Hafidz Utsman yang telah membuatkan timbangan-
timbangan bagi keserasian huruf hurufnya, Muhammad Aziz Rifa'i yang
memperkenalkan khat Naskhi ke Mesir, Majid al Zuhri yang
memperkenalkannya ke Irak. Dari Irak kemudian lahirlah kaligrafer besar
Hasyim Muhammad al Baghdady, yang tulisan-tulisannya banyak ditiru
oleh kaligrafer masa kini.
1. Khat Naskhi
Khat Naskhi adalah tulisan yang sampai ke wilayah Arab Hijaz
dalam bentuknya yang paling akhir, setelah lepas dari bentuknya yang kuno
sebelum masa kenabian. Selanjutnya gaya tulisan yang semakin sempurna
tersebut digunakan untuk urusan administrasi perkantoran dan surat
menyurat di zaman kekuasaan Islam. Pada abad ke-3 dan ke-4 hijriyah,
pola-pola naskhi bertambah indah berkat kodifikasi yang dibuat ibnu
Muqlah (272-328 H). Para ahli sejarah beraggapan, bahwa Ibnu Muqlah
adalah peletak dasar Khat Naskhi dalam bentuknya yang sempurna pada
zaman Abbasiyah. Di zaman kekuasaan Atabek Ali (545H), usaha
memperindah Khat Naskhi mencapai puncaknya sehingga terkenallah gaya

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 212


yang disebut Naskhi Atabeki yang banyak digunakan menyalin mushaf al-
qur’an di abad pertengahan Islam, dan menggeserkan Khat Kufi kuno yang
banyak digunakan sebelumnya. Khatini disebut Naskhi karena para Khattat
menulis al-Qur’an dan berbagai buku dengan menggunakan gayannya.
Ciri-cirinya ialah mempunyai kelembutan, mudah dibentuk, praktikal dan
mudah dibaca. Khat Naskhi ada 2 model, yaitu:

1) Khat Naskhi Qadim adalah gaya tulisan yang sampai kepada zaman
Abbas kemudian diperindah oleh ibnu Muqlah, diperindah lagi oleh
masyarkat Atabek, lalu diolah lagi menjadi karya yang semakin
sempurna oleh orang-orang Turki.
2) Khat Naskhi Suhufi /jurnalistik merupakan gaya tulisan yang terus
berkembang bentuk hurufnya. Dinamakan suhufi karena penyebaranya
yang luas dilapangan jurnalistik. Berbeda dengan Naskhi Qadim yang
lebih lentur dengan banyak putaran, naskhi suhufi cenderung kaku dan
beberapa bagian mendekati bentuk kufi.

Khat Naskhi ditulis miring oleh Kaligrafer Syauqi

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 213


Naskah kitab Muqaddimah Ibnu Sholah dalam Khat Naskhi kuno
Diantara kelebihan khat Naskhi adalah kejelasan bentuk-bentuk
hurufnya sehingga mudah dibaca, serta kemudahan dan kecepatannya
dalam penulisan.

Khat Naskhi pada masa kini menjadi font standar untuk pengetikan,
majalah majalah, koran, dan mushaf-mushaf al-Qur'an. Dalam pengajaran
kaligrafi diseluruh dunia, Khat Naskhi adalah yang paling pertama
diajarkan kepada para murid. Menguasai Khat Naskhi, dijadikan standar
sebelum si murid mempelajari khat lainnya. Di Indonesia, Khat Naskhi
menjadi tulisan wajib MKQ yaitu, cabang mushaf dan naskah.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 214


Karya Khat Iran : Mustofa Ridho'i

Contoh : Ukuran untuk khat naskhi : huruf alif tingginya lima titik.
Dan yang tidak kalah uniknya huruf satu terbentuk dari huruf lainnya,
maka bila belajar harus menguasai dari yang pertama, karena akan
berpengaruh pada huruf-huruf berikutnya. Berikut perinciannya, bagian
pertama adalah huruf-huruf diatas garis seperti pada gambar berikut:

1. Huruf Alif (dan semua yang terbentuk darinya ‫ ط – ظ‬- ‫ ك‬- ‫ ل‬- ‫)ا‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 215


2. Huruf Ba, Ta, Tsa (hanya beda peletakan titik) dan badannya huruf
Fa

3. Huruf Dal, Dzal Dan Awal Huruf Ha ‫ه‬- ‫د‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 216


4. Huruf Tho dan Dzho (perutnya berasal dari Shod badannya dari
Alif) ‫ظ‬ -‫ط‬

5. Fa (kepalanya Wau badannya Ba’)

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 217


6. Kaf ( Dari Alif )

7. Kaf Model Kedua

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 218


8. Ha ( Dari Dal )

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 219


9. Lam Alif

10. Model 2

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 220


11. Hamzah

12. Ya Model 1

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 221


HURUF YANG MEMOTONG GARIS
1. Ha' ( perutnya sama dengan 'Ain)

2. Ro ( badannya sama dengan Wau )

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 222


MODEL 2

3. SIN, SYIN

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 223


4. SHOD, DHOD

5.'AIN ,GHOIN

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 224


6. QOF

7. LAM

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 225


8. MIM 1

MIM 2

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 226


9. NUN

10. WAWU

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 227


11. YA 2

11. HURUF SAMBUNG DAN SYAKL

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 228


12. HURUF YANG DIPANJANGKAN

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 229


KHAT TUSLUTSI DAN KAIDAH PENULISANNYA

A. Sejarah Kaligrafi.
Islam dalam bahasa Arab berarti "penyerahan" dan berasal
dari kata yang berarti "perdamaian,". Agar manusia mendapatkan
kedamaian dalam kehidupan mereka di dunia ini dan akhirat. Islam
adalah pesan universal terungkap dalam kitab suci al-Quran,
melalui Nabi Muhammad, dan saham dengan agama-agama Ibrahim
lainnya, Yahudi dan Kristen, ajaran-ajaran etika dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Esa. Islam adalah baik agama dan cara hidup.
Bagi umat Islam al-Quran adalah Firman Allah yang
sebenarnya terungkap melalui malaikat jibril kepada Nabi
Muhammad selama periode dua puluh tiga tahun misi kenabiannya.
Hal itu terungkap dalam bahasa Arab, oleh karena itu bahasa Islam
bahkan untuk non-Muslim Arab.
1. Awal Perkembangan Kaligrafi
Utara aksara Arab, yang dipengaruhi oleh Script Nabatian,
didirikan di utara-timur Saudi dan berkembang di abad ke-5 antara
suku-suku Arab yang mendiami Hirah dan Anbar. Hal ini menyebar
ke Hijaz di bagian barat Saudi, dan penggunaannya dipopulerkan di
kalangan bangsawan Quraisy, suku Nabi Muhammad, oleh Harb bin
Ummayyah.
Meskipun sumber-sumber Arab awal menyebutkan beberapa
gaya kaligrafi dalam referensi ke kota-kota di mana mereka
digunakan, mereka umumnya masuk ke dalam dua kategori luas
dengan beberapa variasi kecil, ini adalah "gaya kering," pendahulu
awal Kufic, dan "gaya lembab , "pendahulu awal dari keluarga
kursif atau script.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 230


2. Reformasi Tulisan Arab
Dengan meningkatnya jumlah Muslim non-Arab, ada
kebutuhan yang lebih besar untuk memfasilitasi membaca dan
belajar bahasa Arab. Sejak beberapa surat dari pangsa huruf Arab
bentuk yang sama, dan karena vokal tidak jelas menunjukkan,
reformasi beberapa diperlukan untuk menghindari kebingungan,
dan sistem Naqt atau I'jam (surat-menunjuk), dan Tashkeel
(indikasi vokal) adalah dikembangkan.
Abul Aswad al Du'ali (w. 688) adalah pendiri legendaris tata bahasa
Arab, dan dikreditkan dengan inventing sistem menempatkan titik
berwarna yang besar untuk menunjukkan Tashkeel tersebut. Itu
digunakan dengan script Kufic, namun terbukti agak rumit untuk
digunakan dengan script yang lebih kecil, atau tertulis biasa.
Para Ummayad Gubernur Hajjaj bin al Yusuf al Thaqafi
ditegakkan sebuah sistem yang seragam untuk membedakan huruf-
huruf dengan menggunakan titik, yang dia bertanya dua mahasiswa
al Du'ali untuk memodifikasi.
Al Khalil bin Ahmad al Farahidi (w. 786) merancang sistem
tashkeel untuk menggantikan Abu al Aswad itu. Sistem-Nya adalah
universal digunakan sejak awal abad kesebelas, dan termasuk enam
tanda diakritik: Fathah (a), Dammah (u), Kasrah (i), Sukun
(vowelless), Shaddah (konsonan ganda), dan Maddah (pemanjangan
vokal) yang diterapkan pada Alef tersebut.
3. Perkembangan kursif skrip
Kursif skrip hidup berdampingan dengan Kufic dan tanggal
kembali ke sebelum Islam, tetapi karena pada tahap awal
pengembangan mereka kurang disiplin dan keanggunan, mereka
biasanya digunakan untuk tujuan sekuler saja.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 231


Di bawah Ummayads dan Abbasiyah, persyaratan
pengadilan untuk korespondensi dan pencatatan mengakibatkan
banyak perkembangan ke script kursif, dan beberapa gaya
dirancang untuk memenuhi kebutuhan ini. Abu Ali Muhammad
Ibnu Muqlah (w. 940), bersama saudaranya, menjadi kaligrafi
dicapai di Baghdad pada usia dini.
Abu Ali menjadi wazir untuk tiga khalifah Abbasiyah, dan
dikreditkan dengan mengembangkan script pertama untuk
mematuhi aturan proporsional yang ketat. Sistemnya dimanfaatkan
dot sebagai unit pengukuran untuk proporsi garis, dan lingkaran
dengan diameter sama dengan ketinggian Alif sebagai unit
pengukuran untuk proporsi huruf.
Ibnu Muqlah sistem, menjadi sebuah alat yang ampuh dalam
pengembangan dan standarisasi skrip kursif, dan bekerja kaligrafi
nya mengangkat gaya kursif sebelumnya ke tempat menonjol, dan
membuat mereka diterima sebagai layak penulisan Quran.

Pengertian Khat Tsulust


Khat Tsuluts pertama kali dibuat pada abad ke-7 pada zaman
khalifah Ummayah akan tetapi baru dikembangkan pada akhir abad ke-9.
Kata Tsuluts berarti sepertiga, dalam pembahasan ini mungkin disebabkan
karena tulisan ini memiliki ukuran lebih sepertiga dibandingkan dengan
gaya tulisan lainnya. Walaupun tulisan ini jarang digunakan untuk tulisan
al-Qur’an, tsuluts tetap sangat populer dan memegang peran penting
terutama untuk tulisan hiasan/dekorasi, judul, dan kepala surat. Tulisan ini
juga paling populer untuk dekorasi masjid, mushalla, dan produk kaligrafi
lainnya.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 232


Dinamakan Khat Tsuluts karena ditulis dengan kalam yang ujung
pelatuknya dipotong dengan ukuran sepertiga (Tsuluts) goresan kalam. Ada
pula yang menamakannya Khat Arab karena gaya ini merupakan sumber
pokok aneka ragam kaligrafi Arab yang banyak jumlahnya setekah khat
Kufi. Untuk menulis dengan Khat Tsuluts, pelatuk kalam dipotong dengan
kemiringan kira-kira setengah lebar pelatuk. Ukuran ini sesuai untuk Khat
Tsuluts Adi dan Tsuluts Jali. Khat Tsuluts yang banyak digunakan untuk
dekorasi dinding dan berbagai media karena kelenturannya, dianggap
paling sulit dibandingkan gaya-gaya lain, baik dari segi kaedah ataupun
proses penyusunannya yang menuntut harmoni dan seimbang. Dalam
rentang perjalanannya, khat Tsuluts berkembang menjadi beberapa gaya.
a) Macam-Macam Khat Tsulust
1) Khat Tsulust Musalsal
2) Khat Tsulust Jali
3) Khat Tsulust ‘Adi
4) Khat Tsulust Riqa’ atau Ruqa’
5) Khat Tsulust Tawqi’
6) Khat Tsulust Raihani
7) Khat Tsulust Muhaqqaq
8) Khat Tsulust Tumar
9) Khat Tsulust Mutazhir
10) Khat Tsulust Handasi
11) Khat Tsulust Muta’assir bil rasm
12) Khat Tsulust Mahbuk
b) Pengertian Khat Tumar
Khat yang diciptakan oleh Qutbah al-Muharrir yang tumbuh
dan berkembang di masa Bani Umayyah ini biasa ditulis dalam
ukuran besar dengan aturan-aturannya yang simple. Khat ini sangat

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 233


cocok untuk dekorasi dinding atau media-media berukuran besar.
Para khattat Turki menamakannya Jali Tsuluts atau Tsuluts Besar.
Tumar atau Tamur jamaknya Tawamir bermakna sahifah (lembaran
atau manuskrip). Khat Tumar artinya Khat yang ditulis di lembaran
atau manuskrip.
c) Khat Muhaqqaq
Penciptanya adalah Ibnu Bawab (w.413 H). Ibnu Bawab
adalah kaligrafer masyhur setelah Ibnu Muqlah. Khat ini hampir
mirip dengan Khat Tsuluts karena perbedaan keduanya sangat
samar dan hanya dapat diketahui oleh ahli khat yang cermat. Pada
perkembangannya, Khat ini semakin redup dan jarang sekali
digunakan sehingga posisinya digeser oleh Khat Tsuluts.
d) Khat Raihani
Pencipta khat ini adalah Ibnu Bawab juga, namun
berhubungan erat dengan Ali ibn al-Ubaydah al-Rayhan (w. 834 M)
sehingga namanya diambil untuk nama Khat ini. Pendapat lain
menjelaskan Rayhani dengan kata Rayhan yang berarti harum
semerbak karena keindahan dan popularitasnya.
e) Khat Tawqi’
Tawqi’ artinya tanda tangan, karena para khalifah dan
perdana menteri senantiasa menggunakan Tawqi’ untuk
menandatangani perbagai naskah mereka. Diciptakan oleh Yusuf
al-Syajari (w.210/825M). Lalu berkembang di tangan Ahmad ibn
Muhammad yang dikenal dengan Ibnu Khazin (w.1124 M) sebagai
murid generasi kedua Ibnu Bawab. Yang membedakan Tsuluts
dengan Tawqi’ adalah ukuran Tawqi’ yang selalu ditulis sangat
kecil. Bentuk yang menyerupai Tawqi’ adalah Tugra’ atau Turrah

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 234


yang pada awalnya berfungsi sebagai cap dan lambang sultan-
sultan Usmani dengan ukuran bervariasi.
f) Khat Riqa’ atau Ruqa’
Riqa’ jamaknya Ruq’ah artinya lembaran daun kecil halus
yang digunakan untuk menulis Khat tersebut. Gaya ini diciptakan
oleh Al-Ahwal al-Muharrir yang diolahnya dari Khafif Tsuluts.
Sebagian sejarawan menamakan gaya ini dengan Khat Tawqi’,
namun yang lebih benar adalah bahwa Riqa’ pun diolah pula dari
Tawqi’. Ukuran Riqa’ lebih kecil dari Tawqi’ dan digunakan
khusus untuk menyalin teks-teks kecil dan penyajian kisah.
g) Khat Tsulusain
Diciptakan oleh saudara Yusuf al-Syajari bernama Ibrahim
al-Syajari (w.200an H) di zaman Bani Abbas. Ibrahim membuat
kaedah Tsulusain dari Khat yang sudah ada semenjak dahulu yaitu
Khat Jalil. Tsulusain berarti dua pertiga karena ditulis dengan
kalam yang ujung pelatuknya dipotong seukuran dua pertiga lebar
goresan kalam, sedikit lebih kecil dari Khat Tumar yang ditulis
sangat besar.
h) Khat Musalsal
Diciptakan oleh Al-Ahwal al-Muharrir dari keluarga
Barmak di zaman Bani Abbas. Sebagian huruf-huruf khat ini saling
berhubungan, oleh karena itu beberapa sejarawan modern
menamakannya Khat Mutarabit yang berarti saling ikat atau
berikatan.
i) Khat Tsuluts ‘Adi
Pencipta Khat ini adalah Ibrahim al-Syajari diawal abad ke-
3 H di zaman Bani Abbas. Dalam beberapa kamus bahasa Arab

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 235


disebutkan, “anna al-sulusiyya min al-khuttut huwa al-galiz al-
huruf” (sepertiga dari khat adalah huruf yang sulit).
j) Tsulus Jali
Jali artinya wadih (jelas). Kejelasan dalam hal ini terletak
pada lebar anatomi hurufnya yang lebih dominan daripada jaraknya,
dibandingkan dengan jarak yang lebih dominan daripada lebar
anatomi hurufnya dalam Tsulus ‘Adi. Dengan demikian, dalam
Tsulus Jali akan tampak dengan jelas komposisi huruf yang
bertumpuk memadati ruang media yang ditulis. Khat ini banyak
digunakan untuk menulis judul-judul dan media seni yang
permanen.
k) Khat Tsulus Mahbuk
Mahbuk artinya terstruktur atau tersusun rapi, yang diukur
menurut keindahan pembagian (husn al-tawzi’) dan aturan
komposisi (ihkam al-tartib). Keindahan pembagian dicirikan
dengan tidak adanya kelompok huruf yang bertumpuk di satu
tempat sementara tempat lain terlalu kosong sehingga mendorong
Khatta memperbanyak dan mengisinya dengan Syakal dan hiasan
untuk mensari keseimbangan. Sedangkan aturan komposisi adalah
ketepatan memposisikan kata, huruf, dan titik di tempat-tempat
yang strategis.
l) Khat Tsulus Muta’assir bil Rasm
Beberapa khattat atau kaligrafer berusaha menggubah
aksara Arab kepada bentuk visual yang bisa berbicara biar lebih
bervariasi sekaligus untuk menyeimbangkan antara ketaatan
terhadap ajaran agama dengan kesenangan menggambar, karena
dalam Islam visualisasi makhluk hidup secara jelas berlawanan
dengan semangat dakwah agama tersebut untuk selalu menjaga

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 236


ketauhidan dan menjauhi kesyirikan. Potensi huruf Arab yang
sangat lentur dan mudah dibentuk mendorong para Khattat
menciptakan gambar-gambar simbol yang mengungkap kalimat-
kalimat suci dan tauhid, sehingga kaligrafi diolah menjadi sarana
menggambar yang terbebas dari visualisasi makhluk hidup secara
terang-terangan. Khat yang dipengaruhi gambar ini akhirnya
diterima dan populer di kalangan seniman muslim. Banyak ragam
dan variasi aliran Khat ini, yang secara bebas mengambil pola
figural atau simbolik berupa gambar manusia, binatang, tumbuhan
dan benda-benda.
m) Khat Tsulus Handasi
Gaya ini merupakan Tsulus yang menyusun huruf dan kata
secara geometris (handasi) dan indah berdasarkan rasa seni,
sehingga menjadi dasar kekompakan, keserasian, dan penyatuan
sebuah karya
n) Khat Tsulus Mutanazhir
Mutanazhir artinya saling memantul. Dinamakan pula Khat
Tsulus Mir’at (cermin), dimana yang berada disamping kanan
memantul ke samping kirinya, sehingga seolah diantara dua sisi
tersebut ada cermin. Khat ini dinamakan juga dengan gaya Ma’kus
(memantul), musanna (AC-DC atau dua dimensi), dan ‘Aynali
(saling tatap). Gaya ini tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan
muslim yang saling berbalas kebaikan dalam kehidupan sehari-hari
seperti memberi salam dan menjawabnya.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 237


Kaidah Penulisan Kaligrafi.
Menurut Ibnu Muqlah, dikutip dari buku ‘Seni Kaligrafi Islam’
karangan Drs. H.D. Sirojuddin AR M.Ag, bahwa bentuk kaligrafi al-Quran
barulah dianggap benar jika memenuhi lima kriteria sebagai berikut:
a) Tawfiyah (tepat), yaitu huruf harus mendapatkan usapan
goresan sesuai dengan bagiannya secara utuh, baik lengkungan,
kejuran, dan bengkokan.
b) Itmam (tuntas), yaitu setiap huruf harus diberikan ukuran yang
utuh, baik panjang, pendek, tebal dan tipis.
c) Ikmal (sempurna), yaitu setiap usapan goresan harus sesuai
dengan kecantikan bentuk yang wajar, baik gaya tegak,
terlentang, memutar dan melengkung.
d) Isyba’ (padat), yaitu setiap usapan goresan harus mendapat
sentuhan pas dari mata pena (nib pen) sehingga terbentuk
keserasian. Dengan demikian tidak akan terjadi ketimpangan,
satu bagian tampak terlalu tipis atau kelewat tebal dari bagian
lainnya, kecuali pada wilayah-wilayah sentuhan yang
menghendaki demikian.
e) Irsal (lancar),yaitu menggoreskan kalam secara cepat dan tepat,
tidak tersandung atau tertahan sehingga menyusahkan, atau
mogok di pertengahan goresan sehingga menimbulkan getaran
tangan yang pada akhirnya merusak tulisan yang sedang
digoreskan.
Lebih lanjut, Ibnu Muqlah merumuskan semua potongan huruf
dalam standar huruf alif yang digoreskan dalam bentuk vertikal, dengan
ukuran sejumlah khusus titik belah ketupat yang ditemuka mulai dari atas
hingga kebawah (‘amadiyyan, vertex to vertex), dan jumlah titik tersebut
pusparagam sesuai dengan bentuknya, dari lima sampai tujuh titik. Standar
lingkaran memiliki radius atau jarak yang sama dengan alif. Kedua standar
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 238
alif dan lingkaran terebut digunakan juga sebagai dasar bentuk pengukuran
atau geometri. Inilah yang disebut dengan rumusan atau kaligrafi
berstandar (al-khat al-mansub) sesuai dengan kaidah yang baku dan
menjadi standarisasi pedoman penulisan kaligrafi murni.
Penguasaan atas rumusan ini butuh waktu adaptasi yang cukup
lama. Oleh karenanya, ketekunan untuk selalu coba dan mencoba walau
kesalahan kerap kali ditemukan merupakan dinamika penguasaan khat.
Usaha ini harus terus dilakukan sehingga bisa teradaptasi langsung, baik
bayangan bentuk rumus, bentuk huruf, titik, skala garis, dan sebagainya.
Coba perhatikan gambar berikut ini.

Adapun tata letak yang baik (husn al-wad’i), menurut Ibnu Muqlah
menghendaki perbaikan empat hal, antara lain:
1. Tarsîf (rapat dan teratur), yaitu tepatnya sambungan satu huruf dengan
yang lainnya. Contoh gaya khat sulus diatas disusun dengan kerapatan
yang teratur, seimbang jarak antar huruf, sesuai dengan ukuran kaidah
baku yang dijadikan standarisasi penulisan resmi.
Selanjutnya, coba perhatikan contoh gaya Khat Kufi diatas. Jarak,
bentuk, kerapatan, kelenturan, dan potongan hurufnya disusun sama
persis, simetri, dan proporsional.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 239


2. Ta’lîf (tersusun), yaitu menghimpun setiap huruf terpisah (tunggal)
dengan lainnya dalam bentuk wajar dan indah. Coba perhatikan contoh
diatas, bentuk-bentuk tiap huruf gaya sulus diatas tidak ditulis dengan
bentuk yang berbeda, melainkan sama semuanya, baik bentuk, tebal
tipis, tinggi dan lebarnya. Keseragaman 3 huruf ha / jim yang terletak di
tengah kanan, bawah, dan kiri menimbulkan kesan keindahan atas
karakter bentuk huruf tersebut. Begitu juga 4 huruf lam alif.
3. Tastîr (selaras, beres), yaitu menghubungkan suatu kata dengan yang
lainnya sehingga membentuk garisan yang selaras letaknya bagaikan
mistar (penggaris). Coba perhatikan contoh sulus diatas, bagaimana 3
huruf lam alif disusun sejajar.
4. Tansîl (bagaikan pedang atau lembing kerena indahnya), yaitu
meletakkan sapuan-sapuan garis memanjang yang indah pada tiap huruf
sambung. Semua keindahan itu dapat disusun dengan proporsional,
bentuk yang wajar, dan indah jika memenuhi kriteria penulisan yang
diakui. Berikut ini adalah contoh kaidah khat naskah yang banyak
sekali digunakan dalam penulisan manuskrip atau teks-teks resmi, yang
diakui oleh khattat Indonesia pada umumnya sebagai langkah awal
penguasaan kaidah huruf. Jika rumusan/ kaidah gaya huruf ini telah
dikuasai, gaya huruf khat yang lain mudah dikuasai juga.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 240


Pada bagian atas dan bawah, terdapat kesamaan bentuk kepala ‘ain mulai
dari atas potongan atas, tengah, dan bawah. Kesamaam bentuk itu
disebabkan kemampuan ulung khattat Muhammad Syauqy yang telah
menjadi master kaligrafi Turki. Begitu juga bentuk huruf-huruf yang
lainnya.
Adapun pada kolom tengah, merupakan kaidah naskhi yang terdiri
dari bentuk-bentuk varian kaf. Sedangkan kolom tengah bagian bawah,
merupakan bentuk varian huruf mim. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
kriteria penulisan menjadi prinsip utama yang harus dikuasai khattat,
kemudian mengaplikasikannya pada tiap gaya Khat tersendiri.
Contoh: Penulisan Khat Tsuluts

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 241


KHAT RIQ’AH DAN KAIDAH PENULISANNYA

A. Latar Belakang
Khat ialah perkataan Arab yang bermaksud garisan. Seni khat
bermaksud garisan indah yang membentuk tulisan. Khat juga bermaksud
tulisan-tulisan (kitabah) yang terikat dengan peraturan dan kaedah yang
telah dikaji dan ditentukan oleh mereka yang terlibat dengan kemajuan
seni. Tulisan-tulisan Arab pula mempunyai nilai dan kaedah tertentu yang
mempunyai estetika yang tinggi. Setelah kehadiran islam, penulisan Arab
telah memasuki tahap perkembangan yang begitu cepat. Pada abad pertama
dan kedua Hijriah, khat merupkan salah satu ciri untuk memperindah
sesuatu penulisan. Melalui khat suatu maksud dapat diungkapkan. Khat
turut menjadi unsur penting daripada cabang-cabang kesenian yang masih
terpelihara hingga kini.
Picasso, seorang ahli seni terkenal di dunia dari Prancis pernah
mengatakan, “selepas aku melihat seni yang terdapat pada khat Arab, aku
mengakui bahwa dunia seni lukis masih terkebelakang dengan kesenian
itu”.
Seni Khat bukan sekedar wacana penyampai maklumat, tetapi
mengandung nilai abstrak yang disimpulkan dengan kehalusan, kelembutan,
kesinambungan, perhubungan, pergerakan, keharmonisan dan sebagainya.

B. Khat Riq’ah
Riq’ah adalah salah satu gaya khat ciptaan masyarakat Utsmani.
Muhammad Tahir Kurdi menyebutkan, bahwa penggagas dan peletak
dasar-dasar kaidah khat riq’ah adalah Mumtaz Bek, seorang konsultan di
zaman Sultan Abdul Majid Khan sekitar tahun 1280 M. Posisi khat riq’ah
berada diantara khat diwani dan khat siyaqat, dimana Mumtaz Bek sangat

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 242


masyhur dengan keahliannya dibidang diwani seperti para kaligrafer selain
dirinya.
Tujuan awal diciptakannya tulisan ini adalah untuk mempersatukan
seluruh kaligrafi bagi seluruh pegawai kerajaan, sehingga mereka hanya
menulis dengan satu gaya khat dalam semua tata pergaulan resmi yang
diterapkan untuk kantor-kantor pemerintahan.
Penciptanya menamakannya riq’ah yang artinya menurut kamus-
kamus bahasa ialah “potongan daun untuk menulis”, dan tidak ada
hubungannya dengan khat riq’ah kuno yang pernah digunakan di seluruh
kantor administrasi surat-menyurat negara. Beberapa sultan utsmani seperti
Sulaiman Al-Kanuni dan Abdul Hamid I sangat memperhatikan dan banyak
menulis dengan khat riq’ah.
Spesifikasi khat riq’ah terdapat pada huruf-hurufnya yang pendek
dan bisa ditulis lebih cepat daripada khat naskhi, karena kesederhanaanya
dan tidak memiliki struktur yang rumit. Karena itu, kita memiliki
kenyataan dalam kehidupan modern ini khat naskhi khusus digunakan
untuk mencetak teks buku, surat kabar dan majalah. Sedangkan khat Riq’ah
khusus digunakan untuk catatan tangan atau dikte. Di lapangan advertising
atau untuk penulisan judul-judul surat kabar, Riq’ah sering digunakan
karena dapat mencakup kata-kata panjang dan goresan-goresan yang tidak
banyak makan tempat.
Pada saat tidak menggunakan pena tipis tebal, khat Riq’ah berfungsi
untuk menulis catatan harian seperti pelajaran dan kuliah atau surat-
menyurat dan reportase para juru tulis seperti wartawan. Kecepatan gerak
Riq’ah dapat disamakan dengan stenografi dalam tulisan latin. Hal ini
memungkinkan karena spesifikasi hurufnya yang pendek dan beberapa
huruf yang diringkas seperti sin ( ‫) س‬tanpa gigi, alif ( ‫ )ا‬dan lam ( ‫ )ل‬tanpa
tarwisy dan lekungan-lekungan sederhana pada ya’ ( ‫) ي‬,jim ( ‫) ج‬,qaf ( ‫ق‬

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 243


), dan nun ( ‫) ن‬. Khat Riq’ah lebih simpel daripada naskhi, karena tidak
banyak lekukan memutar, misalnya pada huruf wawu ( ‫ ) و‬dan ra ( ‫ ) ر‬atau
pada kepala wawu ( ‫) و‬, fa (‫) ف‬, dan qaf ( ‫) ق‬. Begitu pula alif ( ‫) ا‬
digoreskan secara lurus. Seperti juga sin ( ‫) س‬, dapat ditulis tanpa gigi.
Pena yang digunakan sedikit lebih datar daripada pena untuk naskhi.
Ciri-ciri khusus khat ini ialah bentuk huruf yang kecil, tegak dan
tidak menggunakan baris, lebih cepat dan mudah ditulis jika dibandingkan
dengan khat lain.
Karena itu, khat Riq’ah dapat digunakan lebih cepat seperti
stenografi, yang cocok digunakan untuk imla’ atau dikte, mencatat
pelajaran atau wawancara yang kesemua itu membutuhkan kecepatan.

C. Kaidah Penulisan Khat Riq’ah


1. Sebelum Menulis:
a) Peralatan menulis :
1) Pena, kayu rosam dan sebagainya.
Setiap pena mempunyai kelebihan masing-masing.
Bagi yang ingin mendalami bidang ini, diharapkan memiliki
kesemua jenis pena. Pena tumbuhan memerlukan kemahiran
mengasah. Pena mata besi yang biasa digunakan oleh
penggemar seni ialah produksi Pilot, Steadlers, Osmiroid,
dan Plagtinum.
2) Kertas, buku latihan dan alat menulis.
Sebaiknya gunakan kertas yang agak tebal, licin dan
memudahkan pengeringan tinta. Kertas yang biasa
digunakan ialah Art Paper, Mattart, Tracing Paper atau
kertas biasa (seperti A4) 80 GSM yang licin serta tidak

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 244


mudah mengembangkan tinta. Alas tulis digunakan sebagai
penghalang kekasaran pada permukaan meja.
3) Tinta dibeli atau dibuat sendiri.
Tinta yang terbaik ialah yang mempunyai kehitaman
yang maksimum, cepat kering ketika di atas kertas,
memudahkan pergerakan tangan saat menulis dan warna
yang bersinar (shinning) selepas kering. Diantara tinta yang
biasa dipakai ialah Rotring, Faber castell, Challigraphy dan
Sheppers. Tinta tidak boleh dibiarkan melekat pada mata
pena khususnya mata pena besi karena bisa
menghalangi/menyumbat aliran tinta saat menulis.
4) Buku paduan dan latihan.
Buku paduan yang terbaik ialah yang dihasilkan di
Timur Tengah oleh penulis-penulis terkenal.
b) Cara duduk dan kedudukan kertas (dada menghadap ke meja
dengan 1800)
c) Cara memegang pena:
1) Pena yang digunakan berukuran 2.0 mm/0.2 cm.
2) Pena dipegang sesuai dengan kedudukan kertas 900.
3) Keseluruhan mata pena menyentuh mata kertas.
4) Pena dipegang dengan ukuran satu setengah inci dari awal
mata pena.
d) Suasana saat menulis:
1) Suasana harus tenang dan nyaman.
2) Cahaya cukup serta tidak menghalangi ruang kertas.
3) Jarak penglihatan tidak terlalu dekat atau terlalu jauh.
4) Nafas yang teratur dan tidak penat.
e) Psikologi menulis:

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 245


Menulis dalam keadaan tenang. Disertai minat menulis,
bukan sekedar suruhan.
2. Saat menulis:
a) Tarfiyah ( tepat ), yaitu setiap huruf harus mendapatkan usapan
sesuai dengan bagiannya, dari lengkungan kejuran, dan
bengkokan.
b) Itmam ( tunas ), yaitu setiap huruf harus diberi ukuran yang
utuh, dari panjang pendek dan tipis-tebal.
c) Ikmal ( sempurna ), yaitu setiap usapan garis harus sesuai
dengan kecantikan bentuk yang wajar dalam gaya tegak,
terlentang, memutar dan melengkung.
d) Isyba ( padat ), yaitu setiap usapan garis harus mendapat
sentuhan pas dari mata pena, sehingga terbentuk suatu
keserasian.
e) Irsyal ( lancar ), yaitu menggoreskan kalam secara tepat cepat,
tidak tersandung atau tertahan-tahan sehingga menyusahkan
atau mogok ditengah-tengah membuat getaran tangan yang
merusak tulisan yang sedang ditorehkan.
3. Contoh Penulisan Khat Riq’ah :

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 246


KHAT DIWANI DAN KAIDAH PENULISANNYA

1. Khat Diwani
Khat Diwani merupakan salah satu jenis Khat yang dicipta oleh
penulis Khat pada zaman pemerintahan Kerajaan ‘Uthmaniyah. Ibrahim
Munif adalah orang yang mencipta kaedah dan menentukan ukuran tulisan
Khat Diwani. Khat Diwani dikenali secara rasmi selepas negeri
Qostantinopal ditawan oleh Sultan ‘Uthmaniyah, Muhammad al-Fatih pada
tahun 857 Hijrah.
Khat Diwani digunakan sebagai tulisan rasmi di jabatan-jabatan
kerajaan. Seterusnya, tulisan ini mula berkembang ke segenap lapisan
masyarakat. Kebiasannya tulisan Khat Diwani ini digunakan untuk menulis
semua pekeliling pentadbiran, keputusan kerajaan serta surat menyurat
rasmi dan pada masa sekarang ianya digunakan untuk menulis watikah, sijil
dan untuk hiasan.
Khat Diwani terbahagi kepada 2 jenis iaitu Diwani biasa dan
Diwani Mutarabit (bercantum). Akan tetapi, Khat Diwani biasa yang
banyak digunakan dan diamalkan oleh penulis-penulis khat terkenal
berbanding Khat Diwani Mutarabit. Asas bentuk bagi kedua-dua jenis Khat
Diwani ini adalah berbentuk bulat dan melengkung. Ianya ditulis dengan
cara yang lembut dan mudah dibentuk mengikut kehendak penulis.
Keistimewaan Khat Diwani dapat dilihat pada kesenian bentuk
hurufnya yang melengkung dan memerlukan kemahiran penulis Khat itu
menulisnya dengan lembut dan menepati kaedah. Hashim Muhammad al-
Baghdadi dan Syed Ibrahim merupakan antara penulis Khat yang terkenal
dengan Khat Diwani.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 247


Diwani memiliki tiga macam bentuk, yaitu:
a. Khat Diwani 'Adi
Diwani 'Adi merupakan gaya khat yang tampil biasa ('adi)
sesuai struktur tulisan, sehingga mudah dibaca. Ciri tampilannya
tampak pada kali-kali tulisan yang umumnya berbaris datar dengan
pucuk-pucuk huruf bergelombang dinamis.

b. Khat Diwani Mutarabit


Gaya ini merupakan Diwani yang huruf-huruf dan rangkaian
katanya saling menjalin atau bersilangan (mutarabit) satu sama lain.
Besar kemungkinan pola semacam ini merupakan hasil pengaruh
Khat Musalsal ciptaan Ibnu Bawab. Dalam jenis Khat Diwani
Mutarabit ini, kaligrafer modern Gazlan Bek dari Mesir merupakan
tokohnya. Gazlan berhasil membuat karya-karya masterpiece yang
banyak dijadikan acuan, sehingga para kritikus dan pengamat
menisbahkan gaya Khat ini kepada Gazlan sehingga disebut Khat
Diwani Gazlani.
c. Khat Diwani Jali
Diwani Jali diciptakan oleh Syahlan Pasha dari Turki dan
merupakan pengembangan dari Diwani 'Adi. Jali artinya Jelas.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 248


Kejelasan tersebut tampak pada detail syakal dan hiasan yang penuh
di dalamnya. Tujuan diciptakannya Diwani Jali ialah untuk
menuliskan peraturan-peraturan kesultanan dan surat-surat ke luar
negeri. Contoh:

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 249


KHAT FARISI DAN KAIDAH PENULISANNYA

1. Sejarah Khat Farisi


Dahulu kala sebagai warisan dari nenek moyang mereka dari
bangsa saman yang sebelum islam menulis dengan Khat Pahlevi.
Gaya ini merupakan nisba ke Pahle,suatu kawasan antara Hamadan,
Isfahan, dan Azerbaijan. Saat islam menaklukan negri Persia,
masyarakat Iran pun memeluk islam sebagai agama baru mereka.
Melalui pergaulan dengan masyarakat arab muslim, orang-orang
islam mengganti tulisan Pahlevi dengan tulisan arab yang kemudian
mereka namakan Khat Ta’liq. Pada waktu-waktu sebelumnya lahir
pula gaya-gaya Khat yang lain seperti Nasta’liq dan Syikasteh.
Terutama dua tulisan pertama, kerap disebut Farisi saja mengingat
asalnya dari Persia.
Seorang kaligrafer Persia Mir Ali Sultan al-Tabrizi
kemudian mengembangkan gaya ini lebih halus dan variatif
menjadi Nasta'lîq, dari Katai 'nasakh dan ta'lîq'. Namun demikian
para kaligrafer Turki dan Persia tetap menggunakan tulisan ini pada
momen-momen penting. Ta'lîq dan Nasta'lîq biasa digunakan untuk
penulisan literatur dan syair-syair tentang kepahlawanan, bukan
untuk penulisan Mushaf al-Qur'an.
Diantara gaya Khat Farisi yang populer dari iran adalah:
a) Khat Ta’liq atau khat Farisi Ta’liq
Masyarakat iran mengola khat Ta’lig dari khat yang
digunakan untuk menyalin Al-Qur’an waktu itu, yang
disebut khat Firamuz. Semula cara-cara menulisnya dicuplik
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 250
dari kaedah khat Tahrir, khat Riqa,dank hat Tsulus.
Keindahan Khat Farisi Ta’lig adalah pada kelenturan
putarannya,huruf-huruf tegaknya yang agak condong
kekanan,sapuan sapuan memanjangnya yang tebal,dan
gelombang gerigi yang tebal-tipis secara variatif.
b) Khat Nasta’liq atau Khat Farisi Nasta’liq.
Khat Nasta’liq adalah hasil kreasi kaligrafer Iran Mir Ali al-
Harawi, diolah dari Khat Ta’liq yang dimasuki sedikit unsur
Naskhi sehingga menjadi gabungan Naskhi-Ta’liq atau
Nasta’liq. Nasta’liq yang sekarang sering disebut Farisis
sebagaimana Ta’liq, dikembangkan dan dipercantik oleh
masyarakat Iran. Penggunaannya yang luas menjadi alat
tulis naskah harian menempatkannya sama dengan posisi
Khat Naskhi di wilayah-wilayah lain. Karena itu, sangat
mungkin pula gaya ini merupakan Khat Ta’liq yang
difungsikan sebagai tulisan naskah yang meluas setelah
dimodifikasi oleh Mir Ali.
c) Khat Syikasteh
Di samping Khat Ta’liq, orang-orang Iran juga menciptakan
kaligrafi gaya baru yang mereka sebut Khat Syikasteh,
diambil dari Khat Ta’liq dan Khat Diwani. Syikasteh
artinya berantakan, karena gores-goresan akhir huruf yang
diliarkan sehingga terkesan berantakan atau semrawut. Khat
ini digunakan hanya di wilayah Persia dan tidak menyebar
ke segenap pelososk wilayah Arab Islam sepeti gaya lain.
Hal itu disebabkan karena Syikasteh sulit dibaca.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 251
d) Khat Farisi Mutanazhir.
Khat jenis ini dihubungkan dengan penampilannya yang
saling pantul secara indah dan seimbang. Unsur-unsur saling
pantul dalam Khat Farisi Mutanazhir ini terletak pada
sapuan-sapuan horizontalnya atau pada huruf-huruf
vertikalnya seperti alif dan lam yang saling bangun secara
harmonis.
e) Khat Farisi Mukhtazal
Gaya ini lahir sebagai reaksi atas adanya kemiripan bentuk
huruf-huruf Farisi dan kemungkinan satu huruf memiliki
lebih dari satu fungsi. Dengan demikian, satu goresan dapat
berfungsi sebagai mukhtazal untuk meringkas beberapa
huruf sehingga memiliki beberapa bacaan. Gaya ini kerap
menyulitkan khattat dan pembaca. Khattat kesulitan karena
dalam beberapa keadaan persilangan khat tidak mudah
dibuat. Sedangkan bagi pembaca kesulitannya adalah karena
menderita kesusahan dalam membaca dan memahami
maksudnya, sehingga timbul dugaan bahwa Khat semacam
ini merupakan teka-teki. Dari sini sebuah peribahasa
mengatakan “Khairul khat ma quri’a (sebaik-baik khat
adalah yang bisa dibaca).
f) Khat Farisi Mir’at
Mir’at atau cermin yang berfungsi memantulkan gambar
nampak dalam gaya kaligrafi ini saat sisi kanan memantul
ke sisi kiri (sama persisi denga Khat Tsulus Mutanazhir),
makanya sering juga disebut Khat Farisi Mutanazhir.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 252
Keindahan Khat Farisi terletak pada bentuk lengkungannya
yang menarik, kurang garisan menegak dan bentuk hurufnya yang
condong kekanan dan tidak berbaris. Khat Farisi juga merupakan
jenis Khat arab klasik. Berbeda dengan Khat Diwani jalai yang
dipenuhi oleh harakat dan ormanen-ormanen, Khat Farisi jusru
sedikit sekali dan kadang tidak ada harakatnya alias plontos. Selain
tidak berharakat ciri Khas ini mengutamakan permainan garis yang
sangat kuat, tebal tipis disetiap huruf dengan tekanan yang tepat.
Dinamakan Farisi kerana dinisbahkan kepada bangsa Iran.
Dicipta oleh Mir Ali al-Tibrisi, kemudian diperelok oleh Imaduddin
al-Syirazi. Khat ini juga dikenali sebagai Khat Taliq/Nastaliq,
terkenal dan digunakan secara meluas di Iran. Keindahan khat ini
terletak pada bentuk lengkungannya yang menarik, kurang garisan
menegak dan bentuk hurufnya yang condong kekanan dan tidak
berbaris. Banyak digunakan untuk menulis syair, dan kegunaan
harian.

2. Contoh Khat Farisi

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 253


KHAT KUFI DAN KAIDAH PENULISANNYA

A. Pengertian Khat Kufi


Khat Kufi merupakan kaligrafi Arab tertua dan sumber seluruh
kaligrafi Arab. Dinamakan Kufi karena berasal dari kota Kufah kemudian
menyebar ke seluruh jazirah Arab. Masyarakat Arab berusaha mengolah
dan mempercantik gaya Kufi dengan menyisipkan unsur-unsur ornamen
sehingga lahirlah beragam corak Kufi yang baru. Cara menulisnya pun
tidak lagi terbatas pada bambu tapi juga dengan pena, penggaris, segitiga,
dan jangka. Khat Kufi pernah menjadi satu-satunya tulisan yang digunakan
untuk menyalin mushaf al-Qur’an. Selanjutnya Kufi berubah menjadi seni
yang berdiri sendiri sebagai alat ekspresi para seniman kaligrafi. Meskipun
cenderung kaku dengan banyaknya sudut-sudut yang menjadi karakternya,
Kufi sangat lentur dan mudah diolah. Karena lebih tergantung kepada alat-
alat bantu seperti penggaris, maka siapapun dapat menulis Kufi tidak harus
seorang Khattat.
Kufi termasuk tulisan paling dominan pada zaman dahulu. Ia dibuat
setelah berdirinya 2 kota muslim yaitu Basrah dan Kufah pada dekade
kedua era Islam sekitar abad ke-8 Masehi. Ia memiliki bentuk huruf yang
proporsional kaku dan persegi. Dari kata Kufah maka tulisan ini dikenal
dengan Kufi.
Gaya penulisan kaligrafi ini banyak digunakan untuk penyalinan
Alquran periode awal. Karena itu, gaya Kufi ini adalah model penulisan
paling tua di antara semua gaya kaligrafi. Gaya ini pertama kali
berkembang di Kota Kufah, Irak, yang merupakan salah satu kota
terpenting dalam sejarah peradaban Islam sejak abad ke-7 M. Gaya
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 254
penulisan kaligrafi yang diperkenalkan oleh Bapak Kaligrafi Arab, Ibnu
Muqlah, memiliki karakter huruf yang sangat kaku, patah-patah, dan sangat
formal. Gaya ini kemudian berkembang menjadi lebih ornamental dan
sering dipadu dengan ornamen floral.

B. Sejarah Perkembangan Khat


Seni Khat pada zaman permulaan Islam, kedatangan Islam
membawa keperluan yang banyak kepada pembangunan tulisan lalu
membuka bidang yang luas dalam penulisan dan dakwah secara persuratan.
Rasulullah s.a.w. mengizinkan penulisan al-Quran malah berdakwah
dengan menggunakan surat. Rasulullah s.a.w. mengarahkan sahabat-
sahabat untuk menulis ayat-ayat al-Quran. Kemudian, penulisan itu terus
rancak pada zaman Saidina Abu Bakar r.a. hingga ke zaman Saidina
Uthman dengan terhimpunnya Al-Quran Mushaf Uthmani yang ditulis
semula sebanyak 6 naskhah dan diedar ke beberapa jajahan Islam.
Seni Khat pada zaman Umawiyyah, pemerintahan pada zaman ini
amat menitikberatkan kemajuan seni Khat kerana ia sangat diperlukan
samada dalam penulisan mushaf, ukiran pada dinding, mencetak mata uang,
surat-menyurat dan lain-lainnya.
Pada zaman ini, pembaharuan seni Khat berlaku melalui penulisan dengan
keseimbangan baris-baris bacaan supaya sama (disebut sebagai al- masyq).
Pada zaman ini juga berlaku pembaharuan dari aspek peletakan titik
huruf-huruf oleh Abu Al-Aswad Al-Dua'li dan penciptaan baris-baris oleh
al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Seni khat pada zaman Abasiyyah, zaman
ini telah menyaksikan kemuncak pembaharuan seni Khat pelbagai dengan
munculnya tokoh-tokoh seni seperti Abu Ali dan Ibnu Muqlah. Ibnu
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 255
Muqlah dianggap pembuka tirai sejarah pembaharuan seni Khat manakala
Abu Ali pula telah mencipta sistem nisbah dalam pembentukan huruf
tunggal yang berasaskan ukuran geometri.
Kemudian diikuti oleh Ibnu Bawwab yang yang telah memperkembangkan
sistem Khat bernisbah. Seterusnya Jamaluddin Yaqut al-Musta'simi yang
telah membentuk enam gaya hasil pembelajarannya dari tulisan Ibnu
Muqlah.
Penjelasan mengenai sejarah khat lebih lengkapnya yakni
kebangkitan baca tulis kaum muslimin dimulai sejak tahun 2 Hijriyah
ketika Rasulullah mewajibkan kepada tawanan perang yang tidak mampu
membayar tebusan untuk mengajari baca tulis kepada orang muslimin.
Pada masa itu kaligrafi masih menggunakan Khat Kufi ( Khat yang
berbentuk siku) yang merupakan kaligrafi paling tua. KuIfi saat itu masih
belum mepunyai tanda baca sampai pada zaman Khalifah Ali bin Abi
Thalib tulisan tersebut mempunyai tanda baca dengan sempurna. Pada
masa kekhalifahan Bani Umayyah mulai timbul ketidakpuasan terhadap
Khat Kufi yang dianggap terlalu kaku dan sulit digoreskan, sehingga
dimulailah perumusan tulisan yang lebih lembut dan mudah digoreskan.
Perumusan tersebut menghasilkan beberapa jenis tulisan yaitu, Khat
Tumar, Jalil, Nisf, Tsulus dan Tsulusain. Tokoh kaligrafi saat itu
yangterkenal adalah Qutbah al-Muharrir. Pengembangan kaligrafi terus
dikembangkan sampai pada zaman Bani Abbasiyah sehingga muncul
kaligrafi yang merupakan gaya baru ataupun modifikasi gaya lama seperti,
Khat khafif Tsuluts, Khafif Tsulusain, Riyasi dan al-Aqlam as-Sittah
(Tsulus, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riq’ah dan Tauqi). Selanjutnya
Kaligrafi masuk pada masa penghalusan untuk menghasilkan karya-karya
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 256
yanglebih sempurna yang dimulai pada zaman kerajaan-kerajaan Persia
sehingga menghasilkan gaya-gaya kaligrafi seperti, Khat Farisi, Ta’liq,
Nasta’liq, Gubar, Jali, Anjeh Ta’liq, Sikatseh, Sikatseh Ta’liq, Tahriri,
Gubari ta’liq, Diwani dan Diwani Jali. Sedangkan tokoh-tokohnya adalah,
Yahya al-Jamili, Umar Aqta, Mir Ali Tibrizi, Imanuddin al-Husaini,
Muhammad bin al-Wahid, Hamdullah al-Amasi, Ahmad Qurahisari, Hafiz
Usman, Abdullah Zuhdi, Hamid al-Amidi dan Hasyim Muhammad al-
Bagdadi. Di Indonesia sendiri Kaligrafi pertama kali ditemukan di Gresik
Jawa Timur , yaitu pada makam Fatimah binti Maimun yang wafat pada
495H/1028M. pada makam tersebut terdapat tulisan Kaligrafi yang
menggunakan Khat Kufi. Selanjutnya kaligrafi berkembang mengikuti
perkembangan Islam di Indonesia sampai saat ini.
C. Tokoh-Tokoh Kaligrafi Di dunia Islam
1. Hamid al-Amidi
Nama asli beliau adalah Musa Azmi. Beliau dilahirkan pada tahun
1891 di kota Diyar Bakr, sebelah tenggara kota Anatolia, Turki. Kota
Diyar Bakr ketika itu lebih dikenal dengan nama Amid. Nama inilah yang
kemudian ia pakai dalam nama penanya, Hamid al-Amidi. Sedangkan nama
asli beliau, Azmi, sering ia pakai dalam tauqi’ pada karya-karya beliau
sewaktu muda. Dan ketika masa tua, beliau lebih suka memakai nama
sebutan beliau, Hamid. Kaligrafer yang lebih terkenal dengan
kepiawaiannya dalam khat tsulust jali ini meninggal dunia pada tahun 1982
dimakamkan di Farjah Ahmad.
Semasa hidupnya, beliau merupakan seorang kaligrafer modern
Turki yang mempunyai banyak karya. Baik dalam bentuk misyq (kumpulan
Qoidah Khottiyyah) ataupun tulisan yang tersebar dalam lembaran-
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 257
lembaran kertas dan goresan-goresan di dinding masjid dan tempat-tempat
lainnya. cenderungan beliau kepada khat tumbuh sejak ia belajar di
madrasah ibtida’i. Dan ketika ia pindah ke Istambul pada tahun 1908, ia
sempat belajar di madrasah al-Huquq. Beliau berguru kepada beberapa
orang kaligrafer yang juga merupakan tokoh kaligrafer pada masanya.
Beliau belajar naskhi dan tsulus kepada al-Hajj Nadzif Bik. Disamping itu,
beliau selalu bertukar pikiran dan bermulazamah dengan Haqqi Hafidz Bey,
Kamil Afandi, Ismail Haqqi al-tunbazar dan Hulushi Afandi (yang juga
guru dari seorang master kaligrafi Muhammad Syauqi). Sejak tahun 1910
sampai 1912, beliau mengajar kaligrafi, dan menjadi seorang kartografer di
sekolah militer hingga tahun 1918, sebelum akhirnya mengabdikan seluruh
hidupnya untuk dunia kaligrafi. Beliau telah menulis mushaf al-Qur’an
sebanyak dua kali. Karya beliau paling banyak dijumpai di masjid Sisili di
Istambul, Turki, dengan mengambil model ornamen tradisional. Enam
bulan sebelum wafatnya, Pusat Penelitian Sejarah dan Seni di Turki sempat
mengadakan rekaman film dokumenter dengan judul Hamid al-Khattatih.
Dokumentasi dari film ini telah tersebar di beberapa negara termasuk
Mesir. Ahmad Shabri Zayd, seorang khattath dan pemerhati seni kaligrafi
di Mesir, mempunyai copian dari film tersebut.Selain merupakan tokoh
inspirator bagi kaligrafer setelah zamannya, Hamid al-Amidi juga pernah
memberi ijazah kepada beberapa khattath yang sudah diakui
kapabilitasnya. Diantaranya, ia telah memberikan dua ijazah kepada
seorang Kaligrafer ternama, Hasyim Muhammad al-Baghdadi masing-
masing pada tahun 1950 dan 1952. Hasyim Muhammad,kaligrafer irak yang
sempat hijrah ke Mesir ini, pernah belajar di Madrasah Tahsinul Khututh
Malakiyyah (sekarang Kholil Agha) di Baab-el-Sya’rea Kairo. Ia berucap
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 258
kepada Hasyim “Kaligrafi telah kembali masa jayanya ke Iraq, dengan
tangan Hasyim Muhammad”.
2. Hasyim Muhammad Al-Bagdadi
Hamid al-Amidi mengumumkan Hashim sebagai Penulis Khat
Terbaik dalam dunia Islam dan beliau mengatakan kepada Hashim "
Kesenian kaligrafi islam bermula di Dar-As Salaam (Baghdad) dan ia pun
kembali ke Dar-As-Salam". Penulis Khat termasyhur, Hashim Muhammad
Alkhattat di lahirkan di baghdad pada tahun 1917. Beliau mulai
mempelajari Kaligrafi Arab sejak dari zaman remaja, dan mendapat
anugerah Diploma dari Mulla 'Ali al-Fadli pada tahun 1943. Kemudian
beliau meneruskan studinya ke kairo dan mendapat gelar sarjananya dari
Royal Institute of Calligraphy pada tahun 1944. Dalam tahun yang sama
juga, beliau mendapatkan Ijazah dari dua orang penulis Khat terkenal,
sayyid ibrahim dan Muhammad Husni. Pada tahun 1946, beliau
menerbitkan sebuah buku gaya penulisan khat Al-Riqa'. Kemudian beliau
berkunjung ke Turki dan menunjukkan hasil karya beliau kepada seorang
Tokoh Khat Terkenal, Musa Azmi atau lebih dikenal sebagai Hamid al-
Amidi, dimana beliau telah menganugerahkan dua anugerah kepada
Hashim, pada 1950 dan 1952. Pada penganugrahan yang kedua, Hamid al-
amidi mengumumkan Hashim sebagai Penulis Khat Terbaik dalam dunia
Islam dan beliau mengatakan kepada Hashim " Kesenian kaligrafi islam
bermula di Dar-As Salaam (Baghdad) dan ia pun kembali ke Dar-As-
Salam".Gaya penulisan beliau lebih cenderung kepada gaya penulis klasik
baghdad yaitu gaya Yaqut al Musta'asimi dan gabungan dengan penulisan
modern dari Ottoman School. Beliau juga dikenal sebagai penulis khat
terbaik dalam gaya Khat Thuluth.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 259
Pada tahun 1960, beliau nobatkan sebagai pentashih Kaligrafi Arab
di Institute of Fine Art di Baghdad. Kemudian, beliau menjadi Ketua
Bahagian Dekorasi Islam dan Kaligrafi Arab sehingga beliau
menghembuskan nafas terakhir pada 1973. Dalam tahun 1962, beliau
menerbitkan sebuah buku koleksi khat beliau yang bertajuk " Kaedah
Penulisan Khat Arab". Sepanjang hidupnya, beliau hanya
menganugerahkan satu ijazah saja kepada muridnya, yaitu Abdul Ghani al-
Ani.
3. Mir Imad al-Haseni
Mir Imad al-Haseni adalah tokoh pemimpin kaligrafi Ta’lik (Nask
Ta’lik) dengan menggunakan kerangka kerja Safawid, yaitu kerangka kerja
seni kaligrafi Iran. Dia dilahirkan di kota Qazwin, ayahnya Ibrahim al-
Haseni adalah keluarga Saifi dari Qazwin; termasuk keluarga terpandang
dan memiliki kedudukan yang tinggi di Safawid. Setelah menyelesaikan
pendidikannya pada waktu itu, Mir Imad pergi ke kota Tabriz, dimana ia
memperoleh bimbingan belajar kaligrafi nask ta’lik dari seorang guru
bernama Muhammad Husaini at-Tabrizi. Dia diuji oleh beberapa guru besar
yang sangat menguasai yaitu Mir Ali Harewi dan Baba Shah Isfahani, dan
dari mereka pulalah Mir Imad mengadopsi corak dan beberapa rumusan
mengenai keteraturan, pengereman, kehalusan, dan keyamanan, yang
kemudian ia padukan kedalam tulisannya.
Mir Imad telah melakukan perjalanan kebeberapa kota di belahan
dunia diantaranya India, Khorasan dan Damaskus. Ketika ia mulai
mengajar kaligrafi di Qazwin, Isfahan telah menjadi kota besar; sama
seperti beberapa seniman yang lain, kemudian ia pindah ke Isfahan, dimana
ia dapat tinggal di istana oleh Shah Abbas. Di istana ia bekerja sebagai
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 260
seorang kaligrafer ahli dan penulis kitab, serta mengajar beberapa raja-raja
muda. Dalam waktu yang sama, ia juga memberikan pelajaran ke beberapa
murid yang datang dari luar istana, dan diantara mereka telah menjadi
kaligrafer yang berhasil pada saat itu seperti putranya Mir Ibrahim,
putrinya Gevhershad, keponakan laki-lakinya Abdurrashid Deylemi, juga
Nureddin Mohammed Lahici, Abduljabbar Isfahani, dan Darwish Abdi dari
bukhara yang telah membawa gaya kaligrafi Imad ke Istambul.
Mir Imad mendapatkan penghargaan yang sangat tinggi dari istana;
kepada Shah’s yang telah menganugrahkan penghargaan kepadanya, Mir
Imad menuangkannya kedalam sebuah syair yang ia tulis sebagai
pernyataan terima kasih, dan syair itu pun sangat diterima dengan baik oleh
Shah sebagai sebuah penghargaan. Lalu kemudian, saingannya yang telah
iri atas keberhasilannya di bidang seni dan telah melawan di mata Shah
bemaksud jahat kepadanya; ditangannya Mir Imad terbunuh; jasadnya
kemudian dikebumikan di Masjid Agung Maksud di Isfahan. Pada saat
masih dalam kabar duka atau kematiannya, seorang penguasa India Jihangir
berkata dengan airmata berlinang, “apa yang telah mereka inginkan berikan
kepadaku, aku akan menukar permata seberat tubuhnya sebagai gantinya”.
Beberapa karya besar buah tangan Imad baik yang berupa buku,
naskah, atau kepingan-kepingan, sampai saat ini tersimpan dengan baik di
beberapa museums, perpustakaan dan koleksi pribadi si Istambul, Teheran,
St. Peterburg, Paris, dan masih banyak tersebar di belahan dunia lainnya.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 261


D. Contoh Penulisan Khat Kufi

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 262


KHAT IJAZAH, MAGHRIBI, DAN TUGHRAH

A. Khat Ijazah
1. Sejarah Khat Ijazah
Khat ini dicipta/diambil dari dua jenis khat yaitu Nasakh dan
Tsuluth. Ini bermakna khat Ijazah merupakan gabungan dua jenis khat
menjadi satu. Dinamakan Ijazah kerana Ijazah bermakna syahadah atau sijil
yang dikurniakan kepada mereka yang betul-betul cemerlang dalam bidang
khat. Maka guru khat tersebut akan menuliskan ijazah yang memperakui
muridnya adalah orang yang berkelayakkan dalam bidang seni khat, ia juga
digunakan untuk tandatangan sultan dan khalifah.
Pencipta khat ini adalah Ibnu Bawab juga, namun berhubungan erat
dengan Ali ibn al-Ubaydah al-Rayhan (834 M), sehingga namanya diambil
untuk nama khat ini. Pendapat lain menjelaskan Rayhani dengan kata
Rayhan yang berarti harum semerbak karena keindahan dan popularitasnya
2. Pengertian Khat Ijazah
Tulisan kaligrafi gaya Ijazah (Raihani) merupakan perpaduan antara
gaya Tsuluts dan Naskhi, yang dikembangkan oleh para kaligrafer Daulah
Usmani. Gaya ini lazim digunakan untuk penulisan ijazah dari seorang guru
kaligrafi kepada muridnya. Karakter hurufnya seperti Tsuluts, tetapi lebih
sederhana, sedikit hiasan tambahan, dan tidak lazim ditulis secara
bertumpuk (murakkab).
Maka guru khat tersebutakan menuliskan ijazah yang memperakui
muridnya adalah orang yang berkelayakkan dalam bidang seni khat, ia juga
digunakan untuk tanda tangan sultan dan khalifah.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 263


Khat Raihani hampir menyerupai khat tsuluth, huruf-hurufnya agak
lebar dan panjang serta ditambah dengan tanda-tanda syakal. Contoh:

B. Khat Kufi Maghribi


1. Sejarah Khat Kufi Maghribi
Ia menjadi pecahan daripada bentuk kufi lama, bentuk yang tertua
daripadanya bermula tahun 300 H. Digunakan secara meluas di Afrika
seperti Nigeria dan Maghribi (Arab). Bentuknya agak kurus, bebas dan ekor
hurufnya yang runcing. Ditulis dengan tidak menggunakan bentuk mata
pena (qalam) seperti khat-khat lain.
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang
membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan
bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri
Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan
ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya kaligrafi yang
berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di
Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga
tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat
konservatif. Hijazi ialah skrip melengkung, mudah, biasanya tanpa tanda
atas bawah diacritical.
Hijazi biasanya digunakan antara akhir abad ke-7 dan abad ke-8. Ia
terdapat pada al-Quran pertama dan juga pada ukiran batu. Kufi adalah
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 264
gaya lebih geometrik dan jelas, dengan rima jelas dan penekanan kepada
garis melintang. Vokal (nahu) kadang-kala ditanda dengan titik merah;
konsonan dibedakan dengan sengkang kecil bagi menjadikan teks lebih
mudah dibaca. Sejumlah al-Quran ditulis dalam gaya ini dijumpai di Masjid
di Kairouan, di Tunisia. tulisan Kufi juga wujud pada syiling silam.
2. Pengertian Khat Kufi Maghribi
Skrip Maghribi dan variasi Andalus adalah bentuk versi Kufi yang
kurang kaku, dengan lebih lengkungan.
Bagi penulis al-Quran dan dokumen lain, Kufi akhirnya digantikan
dengan skrip melengkung. Ia kekal bagi tujuan hiasan:
a) Dalam "Kufi berbunga", huruf geometrik kurus dikaitkan dengan unsur
gaya tumbuhan.
b) Dalam "Kufi geometrik", hurud diatur dalam pola dua dimensi, rumit,
sebagai contoh memenuhi segi empat. Ia bertujuan sebagai hiasan dan
bukannya untuk dibaca.

C. Khat Tughrah
1. Pengertian Khat Tughrah
Asal bahasa Tughra adalah bahasa Tatar . Semula ia digunakan
sebagai tanda tangan seorang Sultan. Biasanya Tughrah mengandung dua
hal, yaitu nama sang raja dan gelar kebesarannya. Tughrah dipasang dalam
surat menyurat, biasanya diletakkan setelah basmalah. Dibawah Tughrah'
biasanya diberi tambahan tulisan khallada Allahu sulthanahu (semoga
Allah mengekalkan kesultanannya).

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 265


2. Sejarah Khat Tughrah
Tughrah pertama kali digunakan oleh Raja ketiga Daulah
Usmaniyah yaitu : Sultan Murad I (671 - 792 H). Peninggalan tertua dari
Tughrah' tertulis atas nama An Nashir Hasan bin Sulthan al Malik
Muhammad Qalawun (Salah satu sultan Mamalik Mesir, 752 H).
Dalam khazanah khat (kaligrafi Arab), tughrah' merupakan cabang
tersendiri yang disebut khat tughrah'. Kekhasan tulisan tughrah' adalah
merupakan hasil perpaduan khat diwani dan khat ijazah. Khat tughrah'
kemudian berkembang tidak lagi sebagai tauqi' (tanda tangan), melainkan
sebagai seni kaligrafi yang sangat indah melalui tangan para master
kaligrafi semisal Mustafa Raqim dan lain lain.
Tulisan Thugrah merupakan tulisan yang lazim dipakai oleh sultan-
sultan atau khalifah muslim sebagai bentuk lambang. Tulisan ini bermula
berasal dari zaman Turki Usmani, diman para seniman kaligrafi mereka
berhasil menciptakn suatu jenis tulisan baru, yang kelak mendapat
perhatian yang meluas dikalangan maupun dari kalangan kaligrafi Arab.
Penguasa Turki yang pertama memakai lambang Thugrah adalah Sultan
Murad I. Thugrah melambangkan seekor burung Humayuni (ke-kaisaran
Turki Usmani) yang dinamai Isthoiri, yang dari kata ini lahir kata “thugral”
artinya memayungi.
Tulisan-tulisan Thugrah banyak digunakan sebagai cap dari kantor-
kantor pada masa kekuasaan Sultan Mameluk Al Nashir Hasan Ibn Sultan
Muhammad Qaladun (752 H).
Diperkirakan tulisan Thugrah ini merupakan perpaduan antara Khat
Tsuluts dan Diwani, yang perkembangannya masih banyak ditemukan di
Republik Turki sekarang ini.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 266
KHAT RAIHANI DAN KAIDAH PENULISANNYA

A. Khat Raihani
Jika dilihat dari segi bentuk Khat Raihani hampir menyerupai Khat
Tsuluts. Hanya huruf-hurufnya agak lebih lebar dan panjang serta ditambah
dengan tanda-tanda syakal.Hashim Muhammad al-Khuttat dalam kitabnya
Qawa’id al-Khatti li al-Araby menyatakan bahawa kaligrafi khat adalah
sesuatu yang mengasyikkan dan sangat menarik. Tulisan ini adalah satu-
satunya yang paling fleksibel, elastik dan mudah dibentuk untuk
disesuaikan dengan tempat tanpa mengorbankan keasliannya. Lebih
mempesonakan lagi jika khat tersebut dihasilkan oleh seorang seniman
Naturalist. Keindahan tulisan ini sering membuat seseorang seniman
mengolahnya menjadikan benda-benda yang wujud seperti perahu, gelas,
binatang dan sebagainya. Bahkan pengambilan sumber semulajadi yang
lain seperti tumbuhan merupakan seni yang sangat indah dalam
perkembangan kesenian Islam yang digabungkan dengan seni khat yang
berasal daripada tulian Arab.
Penyertaan ini pula pada hakikatnya merupakan kesadaran kepada
arti larangan untuk mencoba menggambarkan makhluk-makhluk hidup
sesuai dengan Hadits Nabi S.A.W. Sebagai hasilnya, maka usaha untuk
mengabadikan ciptaan Ilahi yang berupa alam dan segala kandungannya
dalam bentuk yang abstrak dan estatik. Pencipta khat ini adalah Ibnu
Bawab juga, namun berhubungan erat dengan Ali ibn al-Ubaydah al-
Rayhan (w. 834 M) sehingga namanya diambil untuk nama khat ini.
Pendapat lain menjelaskan Rayhani dengan kata Rayhan yang berarti
harum semerbak karena keindahan dan popularitasnya.
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih
pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 267
Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah
(750-754 M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur
(754-775 M) dan al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi kontribusi yang
besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan
mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf
as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf
yang lebih halus dari sebelumnya. Contoh:

Demikianlah beberapa konsep seputar khat/kaligrafi Arab dan


kaidah penulisannya, semoga bermanfaat.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 268


DAFTAR RUJUKAN

Akbar, Ali. Kaidah Menulis dan Karya-karya Mater Kaligrafi Islam, Cet.
III. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
al-A’zami. The History of Quranic Texts – From Relevation to
Compilation. Saudi Arabia, t.th.
al-Alu>si>, ‘A>dil. al-Khat al-‘Arabiy, Nasyatuhu> wa Tathawwuruhu>, Kairo:
Maktabah Da>r al-Arabiyah li al-Kuttab, 2008.
al-Ba>qi>, Muhammad Fuad Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>dz al-Qur’a>n,
Maktabah Dahlan, tt.
al-Baba, Kamil. Ru>h al-Khat al’Arabi>, alih bahasa Sirajuddin AR. Dengan
judul Dinamika Kaligrafi Islam,. Jakarta: Darul Umul Press, 1992.
al-Daukhi, Ibrahim bin Muhammad. Qawaid al-Imla’. Mamlakah al-Saudi
al-Arabiyah, LIPIA 1419.
al-Hamad, Ga>nim Qadwiri>. Rasm al-Mushaf Dirasa>t Lughawiyah
Ta>rikhiyah. Cet. II. Beirut: Muassasah al-Mathba’ah,
1982M/1902H.
Al-Kuhani, Abdul Qadir bin Ahmad. Huruf-huruf Magis. Terj. Diya’uddin
Lukani dan Dahril Kamal. Yogtyakarta: Pustaka Pesantern, 2005.
al-Mari>, Hamad bin Sha>lih al-Qamra>. Al-‘Udzra>’ fi> Qawa>id al-Imla>’ . t.p.
t.th.
al-Munjid,Shalahuddin.Fi< Ta<rikh al-Khatt al-‘Arabi< Mundzu Bida<yah ila<
Niha<yah al-‘Ashr al-Umawi<
Al-Nuweriri>. Nihaya>t al-Urab fi Funu>n al-‘Adad, Mesir: t.th.
al-Qalqasyandi>, Abi ‘Abbas Ahmad ibn Ali. Shub al-‘A’sya fi> Shina’a>t al-
Insya’. Maktabah Lustatomad wa Syarikah, t.th.
al-Qara>dhi>, al-Thahir al-Khali<fah. al-Us>us al-Nahwiyah al-Imla>iyah fi> al-
Lughah al-‘Arabiyah. Kairo: Da>r al-Mishriyah al-Bina>iyah, 2002.
al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu Ilmu Al-Qur’an. Tarj. Mudzakkir AS.
Bandung: Pustaka Litera AntarNusa. 2001.
al-Rifa>’i, Bila>l ‘ Abd al-Wahha>b. Al-Khat al-‘Arabi Tarikhu wa Hadhiruhu.
Cet. I. Damaskus Beirut: Dar ibn Katsir, 1990M/1410 H.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 269
Al-Syami. Al-Fann al-Islami Iltizam wa Ibtida’. Cet. I; Damaskus: Dar al-
Qalam, 1990 M / 1410 H.
al-Thabba’. Al-Wasi>th fi> Qawa>id al-Imla>’ wa al-Insya>’. Beirut: Maktabah
al-Ma’a>rif, 1993 M/1413 H.
al-Thayyib, Abd al-Jawwa>d. Dira>sah fi <Qawa>id al-Imla>’. Kairo: Maktab al-
A>dab, 2005.
al-Zanzani, Abu Abdullah. Wawasan Baru Tarikh Al-Qur’an. Tarj.
Kamaluddin Marzuki Anwar dan Samsuri, Bandung: MIZAN.
1991
al-Zarqani>, Muhammad ‘Abd al-‘Adzhim. Mana>hil al-Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-
Qur’an, Jilid I. Beirut: Dar al-Fikri, 1998 M/1498 H.
Amal, Taufik Adnan. Rekontruksi Sejarah al-Quran, Ciputat: Pustaka
Alfabet, 2013.
at-Thaba>’, Umar Faru>q. Al-Wasi>th fi> Qawa>id al-Imla>’ wa al-Insya>’,
Beirut: Maktabah Ma’a>rif, 1993.
Ba’labakki R. Mu’jam al-Mushthalaha>t al-Lughawiyah Arabic-English.
Beirut: Da>r al-ilmu li al-Ma>liyi>n, 1990.
Bahri, Sayid Hasan. Al-Asa>s fi> Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah. Kairo:
Muassasah al-Mukhtar,2002 M/1422 H.
Boullata, J. Issa. Al-Quran yang Menakjubkan, terjemah, I’jaz al-Quran al-
karim ‘Abra al-Tarikh. Tanggerang: Lentera, 2008.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum, (Surabaya: Arkola, 1994
D. Sirojuddin AR. Seni Kaligrafi Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000), h. 103.
Edraswara, Suwardi. Metodologi Kritik Sastra, Yogyakarta: Ombak, 2013.
Fadajli, Habibullah. Atlas al-Khat wa al-Khutu>t, Damaskus: Da>r Talas li al-
Dira>sa>t wa al-Tarjamah wa al-Nasyt. 1993.
Fath, Amir Faishol. The Unit of al-Qur’an. Jakarta Timur: Pustaka al-
Kautsar, 2012.
Hanasy, Idham Muhammad, al-Khattu al-‘Arabiyah fi> al-Watsa>iq al-
‘Ustma>niyah, Omman: al-Man>ahij, 1997M/1418 H.
Harun, Abd al-Salam Muhammad. Qawa’id al-Imla’ Kairo: Maktabah al-
Khanjany. 1986
Hasim, Muhammad, Qa>waid al-Khat al-‘Arabi>, Beirut: Dar Kalam, 1990.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 270
Hitti, Philip K. History of the Arabs, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.
HS, Baharuddin. Pengaruh Rasm Ustmani terhadap Perkembangan
Kaligrafi Islam, Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Ibn Khaldun, Abd Rahman. Muqaddimah, Libanon Beirut: Dar al-Fkir,
1981.
Ibn Faru<s, Abu al-Husein Ahmad. Mu’jam al-Maqa>yis fi< al-Lughah. Ed.
Styihab al-Din Abu Amr, Beirut: Dar al-Fikr li at-Tiba’ah wa na-
Nasyr wa at-Tauzi’ tt.
Ibra>hi>m, Abd al-‘Ali>m. Al-Imla>’ wa al-Tarqi>m fi> al-Kita>bah al-‘Arabiyah.
Kairo: Maktabah Garib, 1975.
Karim, Abdul. Khat Seni Kaligrafi, Jilid I. Kudus: Menara Kudus, t.th.
Ladefoged, Peter. A Course in Phonetics, United of America: Harcourt
Brace-Novich, 1982
Ma’luf, Lowis. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-I’la>m, Beirut: Da>r al-Mahriq
li an-Nashr, 1973.
Madqur, Muhammad. Imla Kaidah-kaidah Menulis Arab, Yogyakarta:
Nurma Media Idea, 2012.
Mahmud, Mahdi al-Sayyid.‘Allim Nafsaka al-Khuthu>t al-‘Arabiyah. Kairo:
Maktab Ibnu Si>na>, t.th.
Mardan. Al-Qur’an: Sebuah Pengantar Memahami Al-Quran Secara Utuh,
Cet. 1 Jakarta: Pustaka Mapan, 2009.
Marifat, M. Hadi. Sejarah al-Quran. Al-Huda. 2007.
Mas’an, Hamid. Ilmu Arudl dan Qawafi, (Surabaya: al-Ikhlas, 2000), h. 5.
Nasution, Ahmad Sayuti Anshari, Fon dan Fonetik al-Quran, Jakarta:
Amzah, 20012
Partanto, Pius A. Partanto dan M. Dahlan AlBarry. Kamus Ilmiah Populer,
Surabaya: Arkola, 2001.
Qabbisi>, Ahmad. al-Imla’ al-‘Arabiy : Nasyatuhu>, wa Qawa>iduhu>, wa
mufrada>tuhu>, watamrina>tuhu>, Beirut: Da>r al-Rasi>d, 1983.
Qutub, Sayyid. Al-Tashwi<r al-Fanni, fi> al-Qur’a>n. Kairo: Da>r Syuru>q, 1989.
Safadi, Yasin Hamid. Kaligrafi Islam. Jakarta: Panja Simnpat, 1986.
Salih, Riyad. Ta>rikh al-Kita>bah al-‘Arabiyah. Mekka: Univerist\y Umm al-
Quran, 1996.
Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 271
Shali, Fakhri Muhammad. Al-Lughah al-‘Arabiyah Ara>an wa Nutqan wa
Imla’ wa Kita>ban.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat al-Quran. Bandung: Mizan, 2003.
Syadali, Ahmad dan Rofii, Ahmad. Ulumul Qur’an II. Bandung: Pustaka
Setia. 2000.
Syaha>tah, Hassan dan Ahmad Thahir Husain. Qawa>id al-Imla>’ al-‘Arabi>
baina al-Nadhzriya>t wa al-Thatbiq, Maktabah al-Dar al-Arabiyah
li al-Kuttab, 1988, tth.
Syalabi>, ‘Abd al-Fatta>h Isma>’i>l, Rasm al-Mushaf wa al-Ihtija>j bihi> fi al-
Qira>ah. Mesir: Maktabah Nahdhah, 1960 M/1380 H.
Syamlul, Muhammad. I’ja>zul Rasm al-Qur’a>n wa I’ja>zul Tila>wah. Kairo:
Dar el-Salam, 2006.
Tahir, Muhammad ibn Abdul Kadir al-Kurdi al-Makki al-Khattat. Tarikh
al-Khat al-‘Arabi wa Adabuhu, Arab Saudi: Al-Jami’iyah al-
‘Arabiyah al-Su’udityah li al-Tsaqafah wal Funun, 1982.
Wafi, Ali Abdul Wahid. Fiqh al-Lughah. Kairo: Kajbah al-Bayan al-‘Arabi,
1962.
Wahhab, Muhbib Abdul. Epistimologi dan Metodologi Pembelajaran
Bahasa Arab, Jakarta: UIN Syahid Jakarta, 2008.
Zainuddin, Naji. Musawwar al-Khat al-“Arabi, Bagdad; Maktabah Nahdah.
1974.
Zararir, Abu Hisyam Nu’um Jirjis. Imla>’ al-Fari>d, Iraq; al-Majma’ al-Ilmi
al-‘Ira>qi>. 1973.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 272


BIOGRAFI PENULIS
Ibnu Rawandhy N. Hula, S.S, MA,
lahir di Kwandang, Kab. Gorontalo,
06 Juni 1978 dari pasangan Natsir R.
Hula & Sartin Kantu, S.Pd. Anak ke 3
dari 5 bersaudara ini menyelesaikan
pendidikan Dasarnya di SDN Inpres II
Moluo Kwandang (1990), kemudian
melanjutkan di MTs Al-Khairat Kota
Gorontalo (1993), dan menamatkan
Madrasah Aliyahnya (MA) pada Pon-
pes Al-Huda Kota Gorontalo (1996).

Setelah lulus aliyah, melanjutkan studi S-1 ke kota Daeng


(Makassar) pada Universitas Muslim Indonesia UMI (2000) dengan judul
skripsinya "Al-Abbas ibn al-Ahnaf wa Asy'aruhu al-Ghazaliyah", kemudian
diutus oleh Yayasan Badan Wakaf UMI untuk mengikuti Program
pembelajaran dan pengajaran Bahasa Arab di LIPIA Jakarta D1(2002),
Gelar Magisterdiperoleh pada Program Pasca Sarjana (PPS) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta konsentrasi Bahasa dan
Sastra Arab, dengan judul Tesisnya "Al-Amru fi Surah al-Baqarah” Dirasah
Tahliliyah Dilaliliyah wa Ma'aniyah dan selesai pada tahun 2005. Gelar
Doktornya diraih di UIN Alauddin Makassar tahun 2020, dengan Judul
Disertasi Problematika Ortografi Arab dalam Rasm Mushaf Madinah
“Studi Penggunaan Kaidah al-Hazf dan al-Ziyadah pada Surah al-Baqarah”
Sekarang Dosen pada IAIN Sultan Amai Gorontalo Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Jurusan Pendidikan Bahasa Arab.

Qawaid al-Imla’ wa al-Khat 273

Anda mungkin juga menyukai