Anda di halaman 1dari 3

SELAMA MASA PERANG (1949-SEKARANG)

1. KOLERA
Pada tahun 1928, dilaporkan bahwa indonesia telah berhasil memberantas penyakit
kolera. Meski dinyatakan “berhasil”, namun ternyata masih tertinggal satu jenis
VibroCholerae di Indonesia , yakni Vibro Eltor. Dengan demikian, maka awal kemerdekaan
Republik Indonesia, penyakit ini kembali berjangkit.
Untuk mengatasinya, berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia, antara lain
dengan pemberian vaksin TCD (typhus, cholerae,desentry) kepada anggota Angkatan Perang
dan anak-anak sekolah sebagai upaya pengebalan di tahun 1950.
Penelitian terhadap penyakit kolera terus dilakukan dari waktu ke waktu. Hasilnya, pada
tahun 1957 ditemukan Vibro Eltor di Makassar dan Jakarta, yang dikenal dengan peristiwa
Enteries Choleroformis.
Di tahun 1961, kolera juga mewabahi di Semarang, hingga menimbulkan kematian.
Untuk itu, di tahun 1962, cholera eltor masuk dalam UU Nomor 6 tahun 1962 tentang
Wabah. Artinya, penyakit ini harus segera diberantas, jika mewabah.
Dengan kemajuan teknologi kesehatan, pemberian kekebalan dilakukan dengan
menggunakan vaksinasi Choyipa (cholera, typhus dan parathypus), yang dikenal dengan
istilah pemberian “Ring Vaksinasi”

2. CACAR
Penyakit cacar tergolong penyakit karantina. Wabah cacar kembali melanda Indonesiadi
tahun1948, setelah tidak berjangkit selama 25 tahun terakhir.
Penyakit ini bermula dari Singapura/Malaka, menyebar ke Sumatra dan pulau lainnya di
Indonesia, seperti Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara, melalui lalu lintas darat dan laut.
Untuk mencegah penyebaran penyakit cacar, maka pada tahun 1951 pencacaran massal
dilakukan di pulau Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Upaya ini
(Smallpox Eradication Programme) dikembangkan sejalan dengan kebijakan global dunia,
melalui WHO, untuk membasmi penyakit cacar.
Pembasmian dimungkinkan, karna penyakit cacar tidak mempunyai vektor penyakit.
Selain itu, vaksin cacar yang sangat efektif juga telah dihasilkan oleh Bio farma.
Sebelum perang Dunia II, pencacaran dilakukan dengan pemberian vaksin cacar kering
beserta vaksin cacar basah. Namun setelah perang berakhir, pencacaran tidak lagi
menggunakan vaksin cacar basah, yang digunakan hanya vaksin kering saja.
Dengan ditemukannya vaksin cacar, maka pada tahun 1972, Pemerintah Indonesia
berhasil membasmi penyakit tersebut. Dengan keberhasilan itu, di tahun 1947, Indonesia
dinyatakan bebas cacar oleh WHO.

3. TUBERKULOSIS
Pentakit Tuberkulosis di Indonesia termasuk salah satu penyakit rakyat yang banyak
menelan korban.
Upaya pemberantasan penyakit Tuberkulosis pada jaman penjajahan Belanda telah
dilakukan oleh Stiching CentraleVereniging voor de Tuberculose Bestrijding (SCVT)di
tahun1918, dengan mendirikan 5 sanatorium dan 20 biro konsultasi.
Aktivitas SCVT telah diambil ahlioleh Pemerintah Indonesia sejak zaman Pemerintahan
Jepang. SCVT ini kemudian dijadikan sebagai Yayasan Perkumpulan Pusat Pemberantasan
Penyakit Paru-paru (Yayasan P6), bertempat di Jakarta. Yayasan sejenis kemudian didirikan
dibeberapa kota di Jawa, seperti Jember, Semarang, dan Cirebon.
Pada era 11950, diketahui adanya vaksin yang dapat memberikan kekebalan tubuh
terhadap penyakit penyebab tuberkulosis. Vaksin tersebut adalah vaksin BCG. Dengan
adanya vaksin itu, pada Oktober 1952, pemerintah Indonesia, WHO, dan UNICEF
menandatangani persetujuan untuk memula program pencontohan dan latihan pemberantasan
penyakit tuberkulosis.
Pada Juli 1953, diadakan konferensi pertama pemberantasan penyakit paru-paru.
Rekomendasi dari konferensi ini dipergunakan sebagai dasar upaya pemberantasan penyakit
tuberkulosis paru-paru, dengan vaksinasi BCG sebagai salah satu upaya proventif yang
penting.

4. MALARIA
Malaria dikenal sebagai penyakit yang berjangkit secaara endemik di daerah tropis.
Penyakit ini merupakan penyakit rakyat yang paling banyak penderitanya dan berjangkit
seluruh wilayah Indonesia.
Sebelum perang Dunia II, usaha pemberantasan malaria dilakukan dengan sistem
pemberantasaan sanag nyamuk, dengan membersihkan genangan air atau penyemprot air
dengan minyak tanah. Seusai perang Dunia II, ditemukan obat DDT yang dapat digunakan
sebagai pembunuh serangga (insektisida dengan sistem penyemprotan rumah-rumah).
Pemberantasan malaria dilakukan dengan dua upaya, yaitu preventif dengan
mengendalikan vektor penyakit (nyamuk) dan pengobatan penderita sebagai upaya kuratif,
dan sampai saat ini untuk memberantas penyakit malaria belum ditemukan vaksinnya,
sehingga penyakit ini menjadi salah sati penyakit menular yang sulit diberantas.
Pada era 1950, Pemerintah Indonesia bersama WHO serta USAID menandatangani
Persetujuan Pembasmian Malaria. Tujuannya, agar penyakit malaria berhasil terbasmi dari
wilayah Indonesia dalam tahun 1970. Pemberantasan ditandai dengan dilakukannya
penemprotan DDt pertama oleh Presiden Soekarno pada 12 November 1959, di daerah
istimewa Yogyakarta. Kegiatan pembasmian ini, meliputi:
a) Penyemprotan rumah diseluruh Jawa, Bali, dan Lampung selama tahap attack;
b) Penemuan penderita secara aktif dan pasif serta pengobatan radikal terhadap
yang positif pada bagian akhir tahap attack dan tahap konsolidasi;
c) Penyelidikan entomologi;
d) Penataran tenaga

5. FRAMBUSIA
Frambusia merupakan penyakit rakyat yang erat kaitannya dengan kebersihan
perorangan (higiene dan sanitasi).
Sebelum Perang Dunia II, upaya pemberantasan penyakit ftambusia telah dilakukan
dengan cara pemberian suntikan neosalvarsan. Upaya yang dilakukan oleh dr. Kodiyat telah
berhasil menurunkan tingkat infeksi frambusia hingga kurang dari 1%
Setelah Perang Dunia II berakhir, pemberantasan penyakit frambusia kembali
dilanjutkan. Keseriusan memberantas frambusia ditandai dengan pemberian penggati obat
baru “penicilin Antibiotik” oleh WHO dan UNICEF
Upaya pemberantasan Frambusia telah dikenal luas dengan istilah “Treponematosis
Control Program”

6. KUSTA
Antara tahun 1950-1960, sekitar 80 ribu penduduk indonesia diperkirakan menderita
penyakit kusta. Dari jumlah tersebut, hanya 5 ribu orang yang dirawat di rumah sakit kusta,
sedangkan sisanya masih berada ditengah-tengah masyarakat.
Meski penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini cukup
menimbulkan dampak sosial, karna menimbulkan leprofobia dikalangan masyrakat. Untuk
mengatasinya, maka didirikan rumah sakit khusus kusta, sebagai upaya pemberantasan
dengan pola perawatan penderita.
Dalam usaha pemberantasan kusta, Lembaga Kusta Kementrian Kesehatan melakukan
penelitian, pendidikan, usaha koordinasi, serta mencari cara pemberantasan yang tepat.
Lembaga tersebut meliputi laboratorium, klinik, poliklinik pusat, dan polikklinik pembantu,
Leploser i Tenggerang dan Lenteng Angung serta pusat Epidemologi di desa Wates Bekasi.
Saat itu, Jawa merupakan satu-satunya provinsi yang memiliki Dinas pemberantasan
kusta, dengan dua orang dokter di Semarang.
Pelatihan juga diberikan kepada para mentri Lepra, yang kemudian ditugaskan di Jakarta,
Semarang, Madura, Gorongtlo, dan daerah lainnya. Mereka bertugas mengobati para
penderita dengan menggunakan obat-obatan sulphon, antara lain promin, diazone,
sulphetrone, diamino- diaphenyl-sulphone (DDS).
Selain menggunakan obat-obatan, Leproseri Tengerang (sekarang Pusat Rehabiliyasi
Kusta Sitanala) juga melakukan usaha pemisahan bayi baru lahir dari orang tuanya yang
menderita kusta. Observasi dilakukan sekitar lima tahun, kemudian jika lepromin anak itu
akan divaksinasi dengan vaksin BCG sampai reaksi lepromin menjadi positif.

Anda mungkin juga menyukai