OLEH:
I KADEK SUABUDI ANTIKA
NIM. 2014901240
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN DENGUE
HAEMORAGIC FEVER (DHF)
3. Foto Thorax
Pada pemeriksaan foto torax dapat ditemukan efusi pleura.
Umumnya posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur disisi
kanan) lebih baik dalam mendeteksi cairan dibandingkan dengan
posisi berdiri apalagi berbaring.
4. USGPemeriksaan
USG biasanya lebih disukai dan dijadikan pertimbangan karena
tidak menggunakan sistem pengion (sinar X) dan dapat diperiksa
sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya acites dan
cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai
alat menentukan diagnosa penyakit yang mungkin muncul lebih
berat misalnya dengan melihat ketebalan dinding kandung
empedu dan penebalan pankreas.
5. Diagnosis Serologis
a. Uji Hemaglutinasi (Uji HI).
Tes ini adalah gold standart pada pemeriksaan serologis,
sifatnya sensitif namun tidak spesifik. Artinya tidak dapat
menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibodi HI
bertahan dalam tubuh lama sekali (<48 tahun) sehingga uji ini
baik digunakan pada studi serologi epidemiologi. Untuk
diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer
serum akut atau tinggi (>1280) baik pada serum akut atau
konvalesen dianggap sebagai pesumtif (+) atau diduga keras
positif infeksi dengue yang baru terjadi (Vasanwala dkk.
2012).
b. Uji komplemen Fiksasi (uji CF).
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya
rumit dan butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen
fiksasi bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
c. Uji Neutralisasi.
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Dan
biasanya memakai cara Plaque Reduction Neutralization Test
(PNRT) (Vasanwala dkk. 2012)
d. IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA).
Banyak sekali dipakai, uji ini dilakukan pada hari ke 4-5
infeksi virus dengue karena IgM sudah timbul kemudian akan
diikuti IgG. Bila IgM negatif maka uji harus diulang. Apabila
sakit ke-6 IgM masih negatif maka dilaporkan sebagai negatif.
IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan setelah
adanya infeksi (Vasanwala dkk. 2012)
e. Identifikasi Virus. Cara diagnostik baru dengan reverse
transcriptase polymerasechain reaction (RTPCR) sifatnya
sangat sensitif dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil
cepat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat
mendeteksi virus RNA dari specimenyang berasal dari darah,
jaringan tubuh manusia, dan nyamuk (Vasanwala dkk. 2012).
9. Penatalaksanaan
Penatalaksamaam medis menurut Murwani Arita, (2011) meliputi:
a. Penatalaksanaan penderita DHF adalah :
1) Tirah baring atau istirahat baring.
2) Diet makanan lunak.
3) Minum banyak 50ml/kg BB dalam 4 – 6 jam pertama dapat
berupa : susu, teh manis, sirup, jus buah, dan oralit,
pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi
penderita DHF. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi,
memberikan cairan rumatan 80 – 100 ml/kg BB dalam 24
jam berikutnya.
4) Pemberian cairan intravena pada pasien DBD tanpa renjatan
dilakukan bila pasien terus menerus muntah sehingga tidak
mungkin diberikan makanan per oral atau didapatkan nilai
hematokrit yang bartendensi terus meningkat (>40 vol
%). Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat
dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa
5% dalam 1/3 larutan Nacl 0,9%.
5) Cairan-cairan yang digunakan untuk penggantian volume
dengan cepat mencakup berikut ini :
a) Kristaloid.
Larutan ringer laktat (RL) atau dektrose 5% dalam larutan
RL (D5/RL), larutan Ringer Asetat (RA) atau dektrose 5%
dalam larutan asetat (D5/RA), larutan garam faali
(D5/GF).
b) Koloid.
Dekstran 40 dan plasma.
6) Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi,
pernapasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap
jam.
7) Periksa HGB, HCT dan trombosit setiap hari.
8) Pemberian obat antipiretik.
9) Monitor tanda-tanda dini renjatan meliputi keadaan umum,
perubahan tanda-tanda vital, hasil-hasil pemeriksaan
laboratoriurn yang memburuk.
10) Monitor tanda-tanda pendarahan lebih lanjut.
11) Pemberian antibiotika bila terdapat kekhwatiran infeksi
sekunder.
12) Bila timbul kejang dapat diberikan diazepam (kolaborasi
dengan dokter).
b. Penatalaksanan Penderita DHF berdasarkan derajat keparahan
a) Penanganan DHF deraja I atau derajat II tanpa peningkatan
hematokrit
Pasien masih dapat minum.
(1) Beri minum banyak 1-2 liter/hari.
(2) Jenis minuman : air putih, teh manis, sirup, jus buah, susu.
(3) Bila suhu > 380C beri parasetamol.
(4) Bila kejang beri antikonvulsif.
(5) Monitor gejala klinis dan laboratorium.
(6) Perhatikan tanda syok.
(7) Palpasi hati setiap hari.
(8) Ukur diuresis setiap hari.
(9) Awasi perdarahan.
(10) Periksa HGB, HCT, trombosit tiap 6-12 jam.
(11) Jika ada perbaikan klinis dan laboratorium pasien
diijinkan untuk pulang.
Pasien tidak dapat minum
(1) Jika pasien muntah terus-menerus maka lakukan
kolaborasi pemasangan IVFD NaCl 0,9% : Dekstrosa 5%
(1:3), tetesan rumatan sesuai berat badan.
(2) Periksa HGB, HCT, trombosit tiap 6-12 jam, jika HCT
naik atau trombosit turun maka pemasangan IVFD NaCl,
0,9% berbanding dekstrosa 5% diganti dengan ringer
laktat dengan tetesan disusaikan.
b) Penanganan DHF derajat I dengan peningkatan HCT>20%.
(1) Pertama berikan cairan awal yaitu : RL/NaCI 0,9% atau
RL/DS/NaCl 0,9% + D5, 6-7 ml/kg BB/jam.
(2) Setelah itu monitor tanda-tanda vital/nilai HCT dan
tromboosit tiap 6 jam
(a) Jika ada perbaikan maka ada menunjukkan tanda-
tanda : tidak gelisah, nadi kuat, tekanan darah stabil,
diuresis cukup(12m/kg BB/jam), HCT turun (2 kali
pemeriksaan).
(3) Jika sudah menunjukkan perbaikan tetesan dikurangi
menjadi 5ml/kg BB/jam.
(4) Setelah 1 jam berlalu dan kondisi pasien masi
menunjukan perbaikan maka tetesan di sesuaikan
menjadi 3 ml/kgBB/jam
(5) Setelah itu IVFD di stop pada 24-48 jam, bila tanda
vital/ HCT stabil, diuresis cukup.
(6) Jika pada saat menurunkan tetesan menjadi 5 ml/kg
BB/jam kemudian ditemukan tanda vital memburuk dan
HCT meningkat maka tetesan dinaikkan 10-15ml/kg
BB/jam tetesan dinaikkan secara bertahap. Kemudian
lakukan evaluasi 12-24 jam jika pada saat evaluasi
ditemukan tanda vital tidak stabil dengan tanda adanya
distres pernapasan dan HCT naik maka segera berikan
koloid 20-30m1/kgBB dan jika HCT menurun maka
lakukan transfusi darah segera 10ml/kgBB.
(7) Jika sudah ada perbaikan, maka lanjutkan tindakan dari
pengurangan tetesan 5ml/kgBB/jam dan seterusnya. Jika
tidak ada perbaikan yang ditunjukkan dengan tanda-
tanda: gelisah, distres pernapasan, frekwensi nadi
meningkat, tekanan nadi < 20 mmHg, diuresis kurang/
tidak ada.
(8) Jika tidak menunjukkan adanya perbaikan maka tetesan
akan dinaikkan 10-15ml/kgBB/jam secara bertahap.
(9) Kemudian dilakukan evaluasi 12-24 jam.
(10) Setelah dilakukan evaluasi didapatkan tanda vital tidak
Stabil yang di tunjukan dengan adanya distres pernapasan
dan peningkatan HCT, maka segera berikan koloid 20-30
ml/kgBB dan jika HCT menurun maka lakukan transfusi
darah segera 10 ml/kgBB.
(11) Jika sudah ada perbaikan maka lanjutkan tindakan dari
pengurangan dari tetesan 5ml/kgBB/jam dan seterusnya.
c) Penangan DHF derajat III dan IV
(1) Lakukan oksigenasi.
(2) Penggantian volume (cairan kristaloid isotonik) Ringer
Laktat/NaCl 0,9 % 20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam
30 menit).
(3) 30 menit kemudian lakukan evaluasi untuk mengetahui
apakah syok sudah teratasi.
(4) Kemudian pantau tanda vital setiap 10 menit dan catat
balance cairan intravena.
(5) Jika syok teratasi yang dapat ditunjukkan dengan tanda-
tanda:
(a) Kesadaran membaik.
(b) Nadi teraba kuat.
(c) Tekanan nadi>20 mmHg.
(d) Tidak sesak napas atau sianosis.
(e) Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam.
Kemudian cairan dan tetesan disesuaikan
10ml/kgBB/jam, setelah itu lakukan evaluasi ketat,
misalnya ukur tanda vital, tanda perdarahan, diuresis,
HGB, HCT, trombosit. Jika dalam 24 jam sudah
stabil, maka berikan tetesan 5ml/kgBB/jam kemudian
lanjutkan tetesan 3ml/kgBB/jam. Infus dihentikan
tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Jika syok
tidak teratasi yang ditunjukkan dengan tanda-tanda :
kesadaran menurun, nadi lambat/tidak teraba, tekanan
nadi<20 mmHg, ditress pernapasan/sianosis, kulit
dingin dan lembab, ekstremitas dingin dan periksa
kadar gula darah, kemudian lanjutkan
pemberian cairan 20ml/kgBB/jam, setelah itu
tambahkan koloid/plasma, dekstran 10-20 (maksimal
30) ml/kgBB/jam. Kemudian lakukan koreksi
asidosis, setelah 1 jam lakukan evaluasi untuk
mengetahui apakah syok sudah teratasi atau belum.
Jika syok belum teratasi yang ditunjukkan dengan
penurunan HCT atau HCT tetap tinggi/naik, maka
berikan koloid 20 ml/kgBB, kemudian dilanjutkan
dengan pemberian transfusi darah segar 10 ml/kgBB
diulang sesuai kebutuhan. Jika syok sudah teratasi
maka lanjutkan tindakan dari mengevaluasi ketat
tanda vital, tanda perdarahan, diuresis, HGB, HCT,
trombosit dan tindakan seterusnya.
4. Implementasi/Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi adalah pengelolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Menurut
Wahyuni (2016) implementasi tindakan keperawatan dibedakan
berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab perawat secara
professional antara lain:
a. Independent yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh
perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga
kesehatan lainnya.
b. Interdependent yaitu suatu kegiatan yang memerlukan suatu
kerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya tenaga
sosial, ahli gizi, fisioterapi dan dokter.
c. Dependent yaitu pelaksanaan rencana tindakan medis.
Tujuan dari implementasi adalah membantu dalam mencapai
tujuan yang telah di tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping
(Efendi & Makhfudli, 2010). Implementasi keperawatan terdiri dari 7
proses yaitu:
a. Bekerja sama dengan pasien dalam pelaksanaan tindakan
Keperawatan.
b. Kolaborasi profesi kesehatan, meningkatkan status kesehatan.
c. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah
kesehatan klien.
d. Melakukan supervisi terhadap tenaga pelaksanaan, tenaga
keperawatan dibawah tanggung jawabnya.
e. Menjadi coordinator pelayanan dan advokasi terhadap klien
tentang status kesehatan dan fasilitas-fasilitas kesehatan yang
ada.
f. Memberikan pendidikan kepada klien tentang status keluarga
mengenai konsep, keterampilan asuhan diri serta membantu
klien memodifikasi lingkungan yang digunakan.
g. Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan
berdasarkan respon klien.
5. Evalusai Keperawatan
Tahap penilaiaan atau evaluasi adalah perbandingan yang
sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang
telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersambungan dengan
melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan. Tujuan evaluasi
adalah untuk melihat kemampuan klien mencapai tujuan yang
disesuaikan dengan kriteria hasil pada perencanaan (Wahyuni,2016).
Terdapat dua jenis evaluasi yaitu evaluasi sumatif dan formatif dengan
menggunakan beberapa metode (Yustiana Olfah, 2016).
Brasier. A. R., Ju. H., Garcia. J., Spratt. H. M., Forshey. B. M., Helsey. E. S.
2012. A di Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan.
Efendi, F., & Makhfudli. (2010). Teori dan Praktik dalam Keperawatn. Jakarta:
Salemba Medika.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012- 2014. Jakarta: EGC
Marni. (2016). Asuhan Keperawatan Anak pada penyakit tropis. Jakarta:
Erlangga.
Masriadi, H. 2017. Epidemiologi Penyakit Menular. Depok: Rajawali Pers, hal:
346 – 353
Murwani, Arita, 2011. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi I.
Yogyakarta
Nurarif & Kusuma, 2015. Buku saku diagnosa keperawatan. Depkes RI. 2009
EGC: Jakarta
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Padila. (2012). Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika. Penerbit: FKUI
PPNI, T. P. S. D. (2017). Buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Prasetyo, A. (2012) Analisis Spasial Penyebaran Penyakit Demam Berdarah
Dengue RI: Situasi Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Sagung Seto
Ridha N. 2014. Buku Ajar Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Setiadi. (2012). Konsep dan Penulisan Dokumentasi Proses Keperawatan Teori
dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Smeltzer & Bare (2013), Buku Ajar Keperawtan Medikal Bedah Bruner &
Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Titik Lestari, 2016. Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika.
Tjokroprawiro, A. dkk. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo
Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga.
Vyas, Jatin M, et al. 2014. Dengue Hemorrhagic Fever. Diakses pada hari Senin,
1 Maret 2021 dari https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/
001373.htm.
Yustiana Olfah. (2016). Bahan Ajar Keperawatan Dokumentasi Keperawatan.
Kementerian Kesehatan RI.