Anda di halaman 1dari 14

MODUL PRAKTIKUM BIOLOGI PERILAKU (BI-3208)

PENGAMATAN RESPON CACING TANAH

Jumat, 04 Februari 2022

1. PENDAHULUAN

Pada organisme, secara umum, dikenal dua macam gerakan, yakni taksis dan kinesis. Taksis
adalah perilaku organisme bergerak mendekati atau menjauhi suatu stimulus. Konsep perilaku
taksis berlawanan dengan konsep perilaku kinesis. Pergerakan perilaku taksis amat dipengaruhi
oleh arah datangnya stimulus, sementara pergerakan perilaku kinesis bersifat acak dan biasanya
undireksional. Stimulus yang mampu menarik objek mendekat (atraktan) disebut sebagai
stimulus positif positif, sementara stimulus yang mampu membuat objek menjauh, disebut
sebagai stimulus negatif (Ramot et al., 2008). Pergerakan tersebut melibatkan seluruh anggota
tubuh dari makhluk hidup dan dikendalikan sepenuhnya oleh stimulus. Taksis itu sendiri dapat
dikategorikan berdasarkan jenis atau bentuk rangsangan, yang antara lain adalah:

● Termotaksis
Merupakan suatu pergerakan dari makhluk hidup yang dipengaruhi oleh stimulus kondisi
suhu lingkungan
● Kemotaksis
Merupakan suatu pergerakan dari makhluk hidup yang dipengaruhi oleh stimulus berupa
senyawa kimia tertentu
● Fototaksis
Merupakan suatu pergerakan dari makhluk hidup yang dipengaruhi oleh stimulus cahaya
● Mekanotaksis
Merupakan suatu pergerakan dari makhluk hidup yang dipengaruhi oleh stimulus getaran
● Rheotaksis
Merupakan suatu pergerakan dari makhluk hidup yang dipengaruhi oleh
stimulus pergerakan atau arus air
Pada praktikum kali ini, mahasiswa akan mempelajari dan melakukan percobaan mengenai
taksis dari cacing tanah terhadap beberapa jenis stimulus, yaitu sentuhan, getaran, dan senyawa
kimia. Secara umum, cacing tanah akan mengeluarkan suatu respon, yaitu menjauhi atau
mendekati suatu stimulus. Beberapa tujuan dari praktikum kali ini antara lain adalah (1)
mendeskripsikan pola pergerakan cacing, (2) mengidentifikasi respon cacing tanah akibat
stimulus berupa sentuhan, (3) mengidentifikasi respon cacing tanah terhadap getaran; (4)
mengidentifikasi respon cacing tanah akibat stimulus berupa senyawa kimia yang juga
merupakan suatu sinyal stress dari hewan tersebut, dan (5) mengidentifikasi pemilihan tipe
habitat dari cacing tanah.

2. TEORI DASAR
2.1. Taksonomi Cacing Tanah

Cacing tanah termasuk ke dalam kelompok hewan filum Annelida dan kelas Oligochaeta. Hewan
tersebut memiliki ciri tubuh berupa cincin annulus (Erdwards and Lofty, 1977). Saat ini, para
peneliti memperkirakan bahwa terdapat 3.500 jenis cacing tanah, yang terbagi ke dalam 18
famili. Salah satu famili cacing tanah yang saat ini banyak dipelajari adalah Lumbricidae.
Beberapa genus cacing tanah yang relatif umum dijumpai di wilayah indonesia antara lain seperti
Pheretima yang tersebar luas di Asia Tenggara; Archipheretima yang tersebar luas di Pulau
Kalimantan; Metapheretima yang dapat dijumpai di beberapa lokasi pada wilayah Papua dan
Pulau Lombok; Planapheretima yang banyak dijumpai di wilayah Kalimantan dan Sulawesi;
Pontoscolex yang tersebar di Sumatera dan Jawa; dan Polypheretima yang tersebar di wilayah
Sumatera bagian tengah, Sulawesi, dan Kalimantan (Fragoso and Patrick, 1992). Berikut
merupakan taksonomi dari cacing tanah.
Organisme Lumbricidae, Lumbricus rubellus
(Pacyana, 2003)

Filum Annelida

Subfilum/Superkelas Clitellata

Kelas Oligochaeta

Ordo Haplotaxida

Sub ordo Lumbricina

Superfamili Lumbricoidea

Famili Lumbricidae

2.2. Morfologi dan Anatomi Cacing Tanah

Cacing tanah tidak memiliki organ indera seperti mata, hidung, telinga, dan alat gerak. Sebagai
gantinya, reseptor sensori cacing tanah tersebar di seluruh tubuhnya. Reseptor ini sensitif pada
cahaya, sentuhan, listrik, dan beberapa zat kimia dengan sensitivitas paling tinggi pada bagian
anteriornya. Fotoreseptor membantu cacing tanah menilai intensitas dan durasi pemaparan
cahaya karena ia memberikan respon negatif pada cahaya (Russell et al., 2011). Pembukaan pada
ujung
anterior cacing tanah adalah mulut yang diselubungi oleh prostomium. Prostomium ini juga
berperan sebagai reseptor sensori (Erdward and Lofty, 1977).

Organ sensori pada cacing terdiri dari sel ektodermal yang terspesialisasi. Cacing tanah memiliki
tiga macam reseptor yaitu reseptor epidermal, reseptor buccal, dan fotoreseptor. Reseptor
epidermal berfungsi menangkap sinyal dari stimulus taktil, kimia, serta suhu. Reseptor buccal
bekerja sebagai reseptor untuk stimulus gustatori, olfaktori, dan stimulus kimia. Sementara itu,
fotoreseptor berperan dalam menangkap sinyal dari stimulus cahaya dan hanya berada di bagian
dorsal tubuh cacing, tidak ditemukan di klitelum (Mahri, 2007). Berikut merupakan morofologi
dari cacing tanah.

2.3. Pola Pergerakan Cacing Tanah

Pada dasarnya cacing tidak memiliki kerangka tulang, namun bersifat hydrostatic. Karena
struktur tersebut, cacing bergerak dengan cara memampatkan segmen tertentu pada tubuhnya,
lalu bagian tersebut akan tergerak ke belakang dan membuat bagian anterior cacing memanjang
agar dapat mencapai titik baru yang berada di depannya. Lalu bagian depan akan berkontraksi
untuk menarik bagian belakang tubuh sehingga bagian belakang tubuh akan tertarik ke depan.
2.4. Preferensi Habitat dari Cacing Tanah

Secara umum, cacing tanah dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan ekologi dan distribusinya,
yaitu (1) epigeic yaitu cacing tanah yang hidup dan mencari makan di permukaan tanah (0-10 cm
dari permukaan tanah; (2) endogeic yaitu cacing tanah yang hidup dan mencari makan di dalam
tanah dengan membuat lubang horizontal hingga kedalaman 5-20 cm; dan (3) anesic yaitu cacing
tanah yang mencari makan di permukaan tanah dan kemudian membawanya ke dalam tanah
hingga mencapai 20 cm (Coleman et al., 2004). Pemilihan habitat oleh cacing tanah erat
kaitannya dengan kondisi lingkungan, seperti ketersediaan bahan organik, suhu, kelembapan,
kadar air, tekstur tanah, dan juga derajat keasaman tanah. Pada dasarnya, cacing tanah akan
menghindari habitat yang tercemar oleh senyawa-senyawa kimia.

2.5. Komunikasi pada Cacing Tanah

Cacing berkomunikasi antar satu dengan yang lain menggunakan suatu cairan mukus. Cairan ini
dihasilkan oleh suatu kelenjar mukus epidermal. Fungsi dari cairan ini adalah untuk menjaga
kelembaban tubuh cacing. Selain untuk menjaga kelembaban tubuh, cairan mukus ini juga
berfungsi untuk membantu pergerakan cacing tanah. Fungsi lain dari cairan ini adalah sebagai
media komunikasi dengan cacing yang lain dalam kondisi normal. Cairan ini bersifat spesifik,
sehingga hanya dapat dideteksi oleh kemoreseptor sensitif yang terdapat pada cacing lain (Mahri,
2007).

Namun cacing juga menghasilkan suatu cairan lain yang dinamakan cairan selom. Cairan ini
dihasilkan oleh korpuskula selom, bersifat alkali, dan tidak berwarna. Sifat alkali pada cairan
selom ini berfungsi sebagai racun untuk melakukan pertahanan diri. Cairan selom ini hanya akan
dikeluarkan saat cacing tanah merasa dalam keadaan terancam. Dikeluarkannya cairan selom ini
dapat dijadikan sebagai penanda bahaya bagi cacing lain yang mendeteksi cairan selom tersebut.
Cairan ini dapat bertahan aktif pada suatu tempat dalam waktu yang cukup lama. ((Mahri, 2007).
3. TEKNIS PRAKTIKUM
3.1. Pengamatan Morfologi

Tujuan Mendeskripsikan morfologi


Alat dan Bahan Cacing tanah, kamera
Tata Cara ● Cacing tanah ditempatkan pada piring kecil lalu diamati.
● Morfologi dari cacing tanah dideskripsikan dan digambar.

Jenis Data ● Gambar deskripsi morfologi cacing tanah

Hasil Pengamatan

Ventral Dorsal
3.2. Respon Terhadap Sentuhan

Tujuan Mendeskripsikan pola pergerakan dan respon dari cacing tanah terhadap
sentuhan benda tumpul dan tajam.
Alat dan Bahan Cacing tanah, piring kecil, cotton bud, jarum pentul
Tata Cara ● Cacing tanah ditempatkan pada piring kecil
● Berikan stimulasi pada tubuh cacing dengan menyentuh bagian
anterior, posterior dan klitelum dengan menggunakan cotton bud, catat
respon yang terjadi.
● Diulangi kembali menggunakan jarum pentul. Pengamatan
dilakukan sebanyak 1 kali pengulangan pada 3 individu cacing
yang berbeda.
● Stimulus diberikan maksimal 1 kali sentuhan dengan interval
waktu antar stimulus, yaitu 10 detik.
● Skema pengulangan, yaitu Ind A (Anterior; Klitelum; Posterior
– Cotton bud); Ind B (Anterior; Klitelum; Posterior – Cotton
bud); Ind C (Anterior; Klitelum; Posterior – Jarum Jara).
● Catat respon cacing (1 untuk merespon, dan 0 untuk tidak
merespon). Deskripsikan respon yang muncul seperti apa.
● Istirahatkan selama 1 menit sebelum memulai percobaan selanjutnya
Jenis Data
● Respon cacing tanah
Hasil Pengamatan

Respon
Bagian Tubuh Stimulus Catatan
Ind 1 Ind 2 Ind 3

Kepala Cotton bud

Jarum pentul

Klitelum Cotton bud


Jarum pentul

Posterior Cotton bud

Jarum pentul
3.3. Mekanotaksis

Tujuan Mendeskripsikan respon cacing tanah terhadap getaran.


Alat dan Bahan Cacing tanah, Botol 1.5 lt, Stopwatch, gloves
Tata Cara ● Botol diisi terlebih dahulu dengan tanah hingga mencapai ketinggian
5 cm.
● 1 ekor cacing tanah dimasukkan ke dalam botol tersebut,
didiamkan selama 1 menit untuk aklimatisasi, dan
kemudian ditutup oleh tanah hingga mencapai ketinggian
total 8 cm.
● Botol dipegang dengan 1 tangan dan kemudian diberikan tepukan di
bagian bawah botol dengan tangan lainnya.
● Pengamatan dilakukan sebanyak 1 kali pengulangan pada 3
individu cacing yang berbeda.
● Respon cacing tanah dicatat (1: muncul ke permukaan; 0: tidak
muncul ke permukaan)
● Latensi cacing dicatat hingga muncul di permukaan (batas waktu
pengamatan adalah 3 menit).
Jenis Data ● Istirahatkan cacing selama 1 menit sebelum memulai percobaan
selanjutnya
● Respon cacing tanah
● Latensi cacing tanah untuk mencapai permukaan
Hasil Pengamatan

Pengulangan Respon Latensi (detik) Catatan

Individu 1

Individu 2

Individu 3
3.4. Respon Cacing Tanah terhadap Sinyal Eksternal

Tujuan Mendeskripsikan respon cacing tanah terhadap perbedaan kondisi


lingkungan eksternal.
Alat dan Bahan Cacing tanah, piring bening, tanah, dan larutan garam.
Tata Cara ● Piring bening dibagi menjadi 2 bagian menggunakan marker di
bagian bawah, kemudian ditandai bagian kontrol dan larutan garam.
● Pada bagian perlakuan, tanah didedahkan oleh larutan garam
menggunakan botol semprot atau sendok makan sebanyak 2 kali
dan kemudian didiamkan selama 10 menit untuk mengering.
● Pada bagian kontrol, tanah didedahkan oleh air dengan menggunakan
botol semprot atau sendok makan sebanyak 2 kali.
● Satu ekor cacing kemudian dimasukkan pada area tengah antara
kontrol dan perlakuan.
● Respon cacing tanah dicatat sampai 2 menit (1: kecenderungan tubuh
cacing ke daerah kontrol; 0: ke daerah perlakuan)
● Lakukan pengulangan sebanyak 1 kali pada tiap 3 individu yang
Jenis Data berbeda.
● Istirahatkan cacing selama 1 menit sebelum memulai percobaan
selanjutnya
● Respon cacing tanah
Hasil Pengamatan

Pengulangan Respon Catatan

Individu 1

Individu 2

Individu 3
3.5. Respon Cacing Tanah Terhadap Sinyal Stress

Tujuan Mendeskripsikan respon cacing tanah terhadap sinyal stress berupa


senyawa kimia yang dihasilkan.
Alat dan Bahan Cacing tanah, piring, cotton bud, larutan garam, Stopwatch
Tata Cara ● Masukkan 1 individu cacing ke dalam piring dan berikan
sentuhan menggunakan cotton bud pada bagian anterior yang
telah diberi larutan garam hingga cacing mengeluarkan lendir.
● Individu 1 kemudian dipindahkan ke piring lain.
● Masukkan Individu 2 ke dalam piring yang sudah terdapat
lendir dari individu 1..
● Catat respon yang dikeluarkan oleh Individu 2 (1: menjauh;
0: mendekat)
● Lakukan pengulangan sebanyak 1 kali pada tiap 4 individu yang
berbeda
Jenis Data ● Respon Cacing

Hasil Pengamatan

Pengulangan Respon Catatan

Individu 1

Individu 2

Individu 3
4. REFERENSI

Coleman, D., Crossley, D., dan Hendrix, P. 2004. Fundamental of Soil Ecology, second ed.
Georgia: Elseivier Academic Press.
Erdward, C., A., dan Lofty, J., R. 1977. Biologu of Earthworms, second ed. London: Chapman
and Hall Ltd.
Fragoso, C. dan Partick L. 1992. Earthworm Communities of Tropical Rain Forest, second ed.
Oxford University Press.
Mahri, Jain. 2007. Annelida – Earthworm. Competitive Science Version Magazine.
Mulyawan, D., W., Annawaty, dan Fahri.2016. Preferensi Habitat Cacing Tanah (Oligochaeta) di
Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah. Online Journal of Natural Science 5(3):
251-257.
Ramot, D. et al. 2008. Thermotaxis is a Robust Mechanism for Thermoregulation in
Caenorhabditis elegans Nematodes. The Journal of Neuroscience 28(47): 12546-12557
Russell, Peter J., Hertz, Paul E., Beverly, McMillan. 2011. Biology: The Dynamic Science.
Cengage Learning

Anda mungkin juga menyukai