Anda di halaman 1dari 5

RINGKASAN MATA KULIAH (RMK)

“KEMISKINAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN”

OLEH :
I Gede Candra Ari Astawa (2007531100)

Dosen Pengampu:
Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, S.E., M.Si.
Mata Kuliah :
Perekonomian Indonesia (CP7)

PROGRAM STUDI SARJANA AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
1. Indeks dan perkembangan distribusi pendapatan
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi
pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis data kuantitatif tentang
keadilan distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni
besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang dan
distribusi “fungsional” atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi. Dari kedua
jenis distribusi pendapatan ini kemudian dihitung indicator untuk menunjukkan
distribusi pendapatan masyarakat.

2. Distribusi fungsional
Ukuran distribusi pendapatan kedua yang lazim digunakan adalah distribusi
pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per factor ekonomi. Ukuran
ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-
masing factor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan
fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase pendapatan tenaga kerja
secara keselruhan dan membandingkan dengan persentase pendapatan total yang
dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan
dari tanah, modal uang, dan modal fisik).
Peraga 3 memberikan ilustrasi sederhana dibawah tentang teori distribusi
tradisional mengenai pendapatan fungsional. Dalam peraga tersebut, diasumsikan
bahwa hanya terdapat dua factor produksi saja yaitu modal, yang persediaannya
dianggap tetap atau baku dan tenaga kerja, yang merupakan satu-satunya faktor
produksi variabel (kuantitanya dapat berubahsetiap saat). Sayangnya, relevansi teori
fungsional menjadi kurang tajam karena tidak memperhitungkan pentingnya peranan
dan pengaruh kekuatan-kekuatan di luar pasar yang menentukan harga factor-faktor
produksi ini, misalnya, peran kekuatan tawar menawar secara kolektif antara pihak
pengusaha dan serikat-serikat buruh dalam menentukan upah disektor modern, dan
kekuatan para monopolis serta pemilik tanah yang kaya mampu memanipulasi harga
modal, tanah, dan outputnya demi keuntungan pribadi
3. Kebijakan distribusi pendapatan
Pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk mengubah, memperbaiki
distribusi pendapatan dan sekaligus memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan,
yakni:
1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang
khusus dirancang untuk mengubah harga-harga relatif faktor produksi.
Kebijaksanaan ini dapat berupa:
1) Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum
nasional dan regional, seperti yang dilaksanakan di Indonesia. Pemerintah
menentukan tingkat upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat upah yang ditentukan di pasar bebas atas permintaan dan
penawaran. Dengan kebijaksanaan ini para investor menganggap buruh
menjadi terlalu mahal dan mereka memilih teknologi produksi yang hemat
tenaga kerja. Bagian upah pada perekonomian nasional menjadi lebih kecil,
dan kemungkinan jumlah orang miskin menjadi lebih besar.
2) Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah
dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan
penawaran. Ini bisa dikerjakan dengan, misalnya, pemberian kemudahan
prosedur investasi, keringanan pajak bagi pengusaha, subsidi tingkat bunga
(tingkat bunga yang lebih rendah untuk investasi), penetapan kurs valuta
asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor barang-
barang modal seperti traktor dan mesin-mesin otomatis relatif terhadap
barang konsumsi. Semua kebijaksanaan ini mengakibatkan harga modal
terlalu murah, yang akibat akhirnya para pengusaha akan memilih teknologi
produksi yang padat modal, sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih
buruk dan jumlah orang miskin bertambah.
2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset.
Hal ini akan sangat tergantung pada distribusi kepemilikan aset (sumber
daya atau faktor produksi) di antara berbagai kelompok masyarakat, terutama
modal fisik dan tanah, modal finansial seperti saham dan obligasi, serta sumber
daya manusia dalam bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) 1960,
yang membatasi jumlah pemilikan tanah pertanian. Pajak dividen obligasi dan
pajak terhadap hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis bea siswa dan bantuan
sekolah sampai perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi
rakyat miskin. Cara lain dapat dilakukan melalui pemberian kredit komersial
dengan bunga pasar yang wajar (bukannya dengan bunga rentenir yang sangat
tinggi) bagi para wirausaha kecil (kredit ini bisa disebut "pinjaman mikro" seperti
kredit usaha rakyat, kredit usaha tani,dan sebagainya.
Akan tetapi kebijakan-kebijakan pemerataan dan pengentasan kemiskinan
ini sering memerlukan kebijaksanaan pelengkap, tanpa kebijaksanaan pelengkap
tersebut kebijaksanaan pemerataan dan pengentasan kemiskinan tidak bisa
berjalan seperti yang diharapkan. Misalnya, ada UUPA, tetapi tidak dibarengi
oleh kebijaksanaan harga tanah dan pupuk yang memadai, penggarap tanah tidak
mampu membeli sarana produksi pertanian sehingga land reform tidak berjalan
dengan baik. Demikian juga program pendidikan, tanpa diikuti oleh program
penyediaan kesempatan kerja yang memadai, program pendidikan dan pelatihan
tersebut menjadi mubazir.
3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak mubazir yang
progresif.
Satu contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan
perorangan dan badan yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan,
(akumulasi aset dan penghasilan) merupakan pajak properti perorangan dan
perusahaan yang bersifat progresif, yang biasanya dikenakan kepada mereka yang
kaya raya.
Sayangnya, seperti pada banyak kebijaksanaan lainnya, banyak
kebijaksanaan progresif berubah secara ajaib menjadi pajak yang regresif dalam
pelaksanaannya. Kelompok masyarakat rendah dan menengah menanggung
beban pajak yang lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi.
4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa
publik.
Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai)
kepada orang miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik
dilaksanakan melalui beras murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan
asuransi kesehatan bagi golongan miskin (jamkesmas).
Meskipun pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program
pemerataan distribusi dan program pengentasan kemiskinan seperti disajikan di
atas, ternyata ketimpangan distribusi masih belum memuaskan dan masih banyak
jumlah orang miskin yang luput dari program, di samping dalam jumlah yang
tidak sedikit, sangat sulit untuk menyaring orang-orang yang benar- benar tidak
mampu dengan orang-orang yang sebenarnya tidak berhak atas bantuan yang
disediakan.

Anda mungkin juga menyukai