Anda di halaman 1dari 21

RANGKUMAN MATERI KULIAH

“ Pondasi Teoritis Riset-Riset di Bidang Pengungkapan CSR dan Sustainability”

Disusun oleh :
Ni Wayan Sulistyawati (2007531248/30)
Ni Putu Ayu Rasita Nata Dewi (2007531252/32)
Kadek Ayu Radananda Sukma D (2007531292/38)

Mata Kuliah :
Akuntansi Keberlanjutan (D3)

Dosen Pengampu :
Dr. Eka Ardhani Sisdyani, S.E., M.Com., Ak. CA.

PROGRAM SARJANA AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS
UDAYANA
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
kehendakNya kami dapat menyelesaikan Ringkasan Materi Kuliah Akuntansi Keberlanjutan.
Adapun judul yang dibahas dalam ringkasan materi berikut ini yaitu mengenai “ Pondasi Teoritis
Riset-Riset di Bidang Pengungkapan CSR dan Sustainability ”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Eka Ardhani Sisdyani, S.E., M.Com.,
Ak. CA. selaku dosen pengampu mata kuliah Akuntansi Keberlanjutan karena telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan studi yang penulis
tekuni saat ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
pengetahuan terkait materi yang dibahas sehingga kami dapat menyelesaikan ringkasan materi
kuliah tepat waktu.

Dengan adanya ringkasan materi kuliah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
pembaca mengenai Pondasi Teoritis Riset-Riset di Bidang Pengungkapan CSR dan Sustainability.
Demi kesempurnaan dari ringkasan ini, maka kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan sehingga dalam penyusunan ringkasan materi kuliah kedepannya dapat lebih baik lagi.

Denpasar, 16 September 2022

Kelompok 03
ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................2


DAFTAR ISI ..................................................................................................................................3
BAB I ..............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN ..........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................................1
1.3 Tujuan ....................................................................................................................................1
BAB II .............................................................................................................................................2
PEMBAHASAAN ..........................................................................................................................2
2.1 Legitimacy Theory .................................................................................................................2
2.2 Stakeholder Theory ................................................................................................................3
2.3 Voluntary Disclosure Theory .................................................................................................8
2.4 Teori – Teori Lainnya ..........................................................................................................11
BAB III .........................................................................................................................................15
PENUTUP ....................................................................................................................................15
3.1 Kesimpulan ..........................................................................................................................15
3.2 Saran ....................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................17
iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perusahaan merupakan organisasi yang didirikan oleh seorang atau sekelompok orang yang
memiliki tujuan yang sama dan menghasilkan suatu keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada
era sekarang ini, banyak perusahaan yang dibentuk atau dibangun tanpa mementingkan
kelestarian lingkungan sekitarnya. Adanya Corporate Social Responsibility (CSR) yang
menjadi bentuk perhatian perusahaan untuk lebih memperhatikan lingkungan sekitarnya.
Pelaksanaan CSR dikenal dengan nama Triple Bottom Line yang memuat tiga hal, yaitu:
Planet, People, dan Profit.
Banyak teori yang mengatakan bagaimana peran dari perusahaan dalam menjalankan
perusahaannya dan tetap memperhatikan lingkungan. Teori-teori tersebut menghubungkan
peran perusahaan dalam upaya untuk melestarikan lingkungan. Teori ini dapat berguna untuk
dijadikan suatu contoh atau implementasi bagi perusahaan

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah penjelasan mengenai legitimacy theory?
1.2.2 Bagaimanakah penjelasan mengenai stakeholder theory?
1.2.3 Bagaimanakah penjelasan mengenai valuntary disclosure theory?
1.2.4 Apakah ada teori-teori yang lain?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui penjelasan mengenai legatimacy theory
1.3.2 Mengetahui penjelasan mengenai stakeholder theory
1.3.3 Mengetahui penjelasan mengenai valuntary disclosure theory 1.3.4
Mengetahui teori-teori lainnya

1
BAB II

PEMBAHASAAN

2.1 Legitimacy Theory


Suchman (1995) mendefinisikan legitimasi sebagai "persepsi atau asumsi bahwa kegiatan
- kegiatan yang dilakukan oleh entitas merupakan tindakan– tindakan yang pantas atau sesuai
dengan norma, nilai, kepercayaan yang berkembang dilingkungan sosial". Konsep masyarakat
ini lebih tepat digambarkan oleh definisi Freeman (1984) pemangku kepentingan sebagai
"kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan
organisasi" (Wood, 1991).
Teori legitimasi berfokus pada interaksi antara perusahaan dengan masyarakat. Teori ini
menyatakan bahwa organisasi adalah bagian dari masyarakat sehingga harus memperhatikan
norma-norma sosial kemasyarakatan karena kesesuaian dengan norma sosial dapat membuat
perusahaan semakin legitimate (sah).
Ghozali dan Chariri (2007) menyatakan bahwa hal yang mendasari teori legitimasi adalah
kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat dimana perusahaan beroperasi dan
menggunakan sumber ekonomi. Shocker dan Sethi dalam Ghozali dan Chariri (2007)
memberikan penjelasan tentang konsep kontrak sosial, yaitu: “semua institusi sosial tidak
terkecuali perusahaan beroperasi di masyarakat melalui kontrak sosial, baik eksplisit maupun
implisit, dimana kelangsungan hidup pertumbuhannya didasarkan pada hasil akhir yang secara
sosial dapat diberikan kepada masyarakat luas dan distribusi manfaat ekonomi, sosial atau
politik kepada kelompok sesuai dengan power yang dimiliki”.
Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk memastikan bahwa aktivitas dan
kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu
yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi
merupakan manfaat atau sumber daya potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going
concern) (Gunawan, 2018). Jika legitimasi perusahaan terancam karena pemangku
kepentingan menganggap kinerjanya tidak berkelanjutan, kelangsungan hidup jangka panjang
perusahaan akan berisiko (Davis, 1973). Efek negatif tersebut dapat berasal dari citra yang
buruk, ketidakpuasan pelanggan, masalah perekrutan, litigasi dan peraturan yang lebih ketat
(Ameer dan Othman, 2012; Wood, 1991).

2
Perspektif Teori Legitimasi Terhadap Pengungkapan Keberlanjutan dan Kinerja
Keberlanjutan
Berdasarkan perspektif teori legitimasi, terdapat hubungan negatif antara pengungkapan
keberlanjutan dengan kinerja keberlanjutan. Semakin rendah kinerja keberlanjutan maka
semakin tinggi kuantitas pengungkapan keberlanjutan. Kelangsungan hidup suatu perusahaan
tentunya akan berada dalam ancaman jika perusahaan tersebut mendapatkan citra yang buruk
mengenai kinerja mereka (Davis, 1973). Dengan demikian, perusahaan yang berkinerja buruk
pada indikator kinerja tertentu lebih memilih informasi berkualitas rendah, informasi yang
dangkal, tidak lengkap, tidak mudah dibandingkan atau ambigu untuk mengaburkan kinerja
keberlanjutan mereka. Selain itu, pengungkapan keberlanjutan berkualitas rendah digunakan
sebagai alat legitimasi oleh perusahaan yang memiliki kinerja keberlanjutan yang buruk untuk
menjaga citra mereka di mata publik.

2.2 Stakeholder Theory


Definisi Teori
Evan dan Freeman (1988) mengatakan, bahwa dalam teori stakeholder, perusahaan harus
dikelola untuk kepentingan pemangku kepentingan (pelanggan, pemasok, pemilik, karyawan,
dan komunitas lokal) untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Dari perspektif
teori stakeholder, setiap organisasi memiliki tanggung jawab untuk bertindak demi
kepentingan semua pemangku kepentingan. Ketika berkaitan dengan tanggung jawab sosial
perusahaan, konsep difokuskan pada kegiatan organisasi terhadap masyarakat secara
keseluruhan bukan berorientasi pada keuntungan semata.
Warsono et al. (2009: 29-31) mengungkapkan bahwa terdapat tiga argumen yang
mendukung pengelolaan perusahaan berdasarkan perspektif teori stakeholder, yakni, argumen
deskriptif, argumen instrumental, dan argumen normatif, berikut penjelasan singkat mengenai
ketiga argumen tersebut:
a) Argumen deskriptif
Menyatakan bahwa pandangan pemangku kepentingan secara sederhana
merupakan deskripsi yang realistis mengenai bagaimana perusahaan sebenarnya
beroperasi atau bekerja.
b) Argumen instrumental

3
Menyatakan bahwa manajemen terhadap pemangku kepentingan dinilai
sebagai suatu strategi perusahaan. Perusahaan- perusahaan yang
mempertimbangkan hak dan memberi perhatian pada berbagai kelompok
pemangku kepentingannya akan menghasilkan kinerja yang lebih baik.
c) Argumen normatif
Menyatakan bahwa manajemen terhadap pemangku kepentingan
merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Perusahaan mempunyai penguasaan
dan kendali yang cukup besar terhadap banyak sumber daya, dan hak istimewa ini
menyebabkan adanya kewajiban perusahaan terhadap semua pihak yang mendapat
efek dari tindakan- tindakan perusahaan.

Jenis Stakeholder
A. Berdasarkan struktur
Menurut the Clarkson Centre for Business Ethics (1999) dalam Magness (2008),
stakeholder dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a) Primary Stakeholders
Primary stakeholders merupakan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
secara ekonomi terhadap perusahaan dan menanggung risiko seperti misalnya
investor, kreditor,karyawan, komunitas lokal namun disisi lain pemerintah juga
termasuk kedalam golongan primary stakeholders walaupun tidak secara langsung
mempunyai hubungan secara ekonomi namun hubungan diantara keduanya lebih
bersifat non-kontraktual.
b) Secondary Stakeholders secondary stakeholders dimana sifat hubungan keduanya
saling mempengaruhi namun kelangsungan hidup perusahaan secara ekonomi
tidak ditentukan olehstakeholder jenis ini. (media, lembaga sosial masyarakat,
serikat buruh, dan sebagainya).
B. Berdasarkan lingkungan perusahaan
Freeman (1984: 25) mengidentifikasi perubahan yang dapat terjadi pada
lingkungan perusahaan ke dalam dua kategori, yakni internal (pemilik perusahaan,
manajer, dan karyawan) dan eksternal (pemasok, konsumen, kompetitor, pemerintah,
pemerhati lingkungan, Special Interest Group (SIG), dan media).

4
C. Berdasarkan posisi
Berdasarkan pengelompokan yang dikembangkan oleh Lawrence dan Weber,
Warsono dkk. (2009: 31-36) mengkategorikan stakeholder menjadi dua kelompok, yaitu:
a) Pemangku Kepentingan Pasar
Pemangku kepentingan pasar adalah pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi ekonomik dengan perusahaan yang berkaitan dengan pelaksanaan
tujuan utama perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat.
Pemangku kepentingan pasar seringkali juga disebut pemangku kepentingan
primer (primary stakeholder). Kelompok-kelompok pemangku kepentingan
yang ditetapkan sebagai pemangku kepentingan pasar meliputi pemegang
saham, kreditur,pemasok, pelanggan, karyawan, dan distributor/pedagang
besar/pengecer.
b) pemangku kepentingan non-pasar
Pemangku kepentingan non-pasar adalah orang-orang atau kelompok-
kelompok yang walaupun tidak terlibat dalam pertukaran ekonomik langsung
dengan perusahaan, dipengaruhi oleh atau dapat mepengaruhi tindakan
perusahaan. Pemangku kepentingan non-pasar seringkali juga disebut
pemangku kepentingan sekunder (secondary stakeholder). Kelompokkelompok
pemangku kepentingan yang dikategorikan sebagai pemangku kepentingan
non-pasar, meliputi komunitas, berbagai level pemerintahan, kelompok-
kelompok aktivis, organisasi non-pemerintah, media, kelompok pendukung
bisnis, dan masyarakat umum.
Dalam hal ini, terdapat fenomena role sets, dimana beberapa individu atau
kelompok dapat memainkan multi peran sebagai stakeholder (Warsono, dkk, 2009: 36).

Pelaporan Corporate Social Responsibility (CSR)


Laporan keberlanjutan adalah laporan yang diterbitkan oleh suatu perusahaan atau
organisasi yang akan menjelaskan mengenai dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi. Di
dalam laporan keberlanjutan akan menyajikan nilai-nilai dan model tata kelola perusahaa, dan
memberikan petunjuk mengenai hubungan antara komitmen dan strateginya terhadap ekonomi
global yang berkelanjutan.

5
Pelaporan berfungsi untuk menyampaikan bagaimana kinerja eksternal perusahaan yang
memiliki peran penting terhadap keberlanjutan perusahaan tersebut. Jadi dapat diketahui,
bahwa definisi dari pelaporan keberlanjutan adalah pelaporan yang dilakukan oleh suatu
perusahaan untuk mengukur, mengungkap, dan juga suatu upaya perusahaan untuk menjadi
perusahaan yang akun tabel bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) untuk tujuan
kinerja perusahaan yang akan menuju kepada pembangunan keberlanjutan. Pelaporan ini yang
nantinya akan membantu suatu organisasi atau perusahaan untuk menetapkan tujuan,
mengukur kinerja dan juga melakukan perubahan untuk membuat kinerja perusahaan mereka
lebih berkelanjutan.
Dalam pelaporan terdapat prinsip-prinsip yang wajib diterapkan agar dapat mencapai
transparansi dari pelaporan keberlanjutan. Adapun prinsip-prinsip tersebut, yaitu:
1) Prinsip-prinsip untuk menentukan isi laporan
a. Pelibatan pemangku kepentingan (stakeholder inclusiveness), organisasi atau
perusahaan wajib untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingannya.
b. Konteks keberlanjutan (sustainability context), suatu laporan harus memaparkan
kinerja organisasi atau perusahaan dalam konteks keberlanjutan yang luas.
c. Materialitas (materiality), laporan wajib untuk memuat aspek-aspek yang
mencerminkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang signifikan dari
organisasi atau perusahaan.
d. Kelengkapan (completeness), laporan harus berisi informasi mengenai aspek material
serta batasannya.
2) Prinsip-prinsip untuk menentukan kualitas laporan
a. Keseimbangan (balance), laporan harus berisikan aspek positif dan negatif perusahaan
agar memungkinkan penilaian kinerja keseluruhan yang wajar.
b. Komparabilitas (comparability), perusahaan wajib untuk menyeleksi, memilah, dan
melaporkan informasi secara konsisten.
c. Ketepatan (accuracy), informasi yang dipaparkan harus detail dan akurat secara wajar
bagi penilaian kinerja perusahaan oleh pemangku kepentingan

6
d. Ketepatan waktu (timeliness), perusahaan wajib memberikan laporan secara rutin agar
informasi bagi pemangku kepentingan ssebagai dasar untuk mengambil dan membuat
keputusan selalu tersedia.
e. Kejelasan (clarity), perusahaan wajib untuk memberikan laporan yang mudah
dipahami dan diakses bagi pemangku kepentingan.
f. Keandalan (reliability), perusahaan wajib untuk mengumulkan, mencatat, menyusun,
menganalisis, dan menyajikan informasi tentang proses yang digunakan dalam
memperisapkan laporan.
CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan statregi yang dilakukan oleh kegiatan
bisnis yang berusaha memenuhi tugas perusahaan untuk mempertimbangkan tanggung jawab
ekonomi dan lingkungan serta sosial. Dalam perjanjian Amsterdam tahun 1997, didapatkan
hasil adanya pendekatan awal dari Tiga Pilar Keberlanjutan (Three Pillar Model of
Sustainability), yaitu:
a. Lingkungan (Pilar ini meliputi material yang dikonsumsi, limbah energi, penggunaan air,
keanekaragaman hayati, dampak produk, dan kepatuhan terhadap hukum).
b. Ekonomi (Pilar ini meliputi nilai ekonomi yang dihasilkan, implikasi ekonomi akibat
perubahan iklim, pembangunan infrastruktur, dan dampak ekonomi).
c. Sosial (Pilar ini meliputi ketenagakerjaan, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan
kerja, pelatihan dan pendidikan, maupun keberagaman dan kesetaraan peluang).
Saat pelaksanaan CSR, perusahaan wajib untuk memenuhi tujuan dasarnya, yaitu
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memeperhatikan kegiatan sosial dan
menjaga kelestarian lingkungan. Pelaporan CSR tidak hanya memberikan informasi mengenai
proses pelaksanaan CSR, tetapi juga memperkenalkan kepada masyarakat luas tentang profil
dan juga strategi perusahaan serta pendektan manajemen yang dilakukan serta manfaat lain
yang mampu memberikan keuntungan secara ekonomis. Liftin, dkk. (2017) menyebutkan
bahwa laporan tanggung jawab sosial perusahaan dibagi menjadi tiga jenis pelaporan, di
antaranya:
a) Laporan keberlanjutan yang terpisah (Laporan ini hanya berisi informasi dan tokoh bisnis
yang berkaitan dengan keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial).

7
b) Laporan keberlanjutan yang tersemat (Laporan ini menyajikan informasi tentang
keberlanjutan dalam bab yang terpisah dalam laporan keuangan).
c) Laporan keberlanjutan referensi (Laporan ini menyajikan informasi tentang keberlanjutan
menggunakan referensi ke laporan tahunan).

Perspektif Teori Stakeholders Terhadap Pelaporan Corporate Social Responsibility


(CSR)
Berdasarkan perspektif teori stakeholder, Liftin, dkk. (2017) memaparkan, bahwa dari
ketiga format pelaporan yang diteliti (tersemat, terpisah, dan referensi), format yang paling
baik digunakan adalah format pelaporan tersemat. Sedangkan, format pelaporan yang mungkin
tidak direkomendasikan adalah format pelaporan referensi. Hal ini dikarenakan informasi yang
disajikan pada laporan tersemat adalah yang paling efisien dan terpusat dibandingkan dengan
yang lainnya.

2.3 Voluntary Disclosure Theory


Pengungkapan sukarela (Voluntary Disclosure) adalah pengungkapan atas informasi
yang melebihi syarat minimum standar pelaporan yang berlaku dan tidak diwajibkan oleh
peraturan. Sehubungan dengan teori pengungkapan sukarela, pengungkapan informasi pribadi
berfungsi sebagai model dasar untuk pengungkapan sukarela perusahaan. Manajemen bebas
memilih untuk memberikan informasi akuntansi dan informasi lainnya yang dianggap relevan
dan mendukung pengambilan keputusan pemakai yang tertuang dalam pengungkapan sukarela
laporan tahunan perusahaan. Hasil pengungkapan ini tunduk pada sejumlah kondisi, khususnya
yang meliputi pengungkapan tanpa biaya dan jujur.
Akibat dari sifat pengungkapan yang tidak wajib (voluntary), manajemen perusahaan
biasanya akan melakukan pertimbangan mengenai manfaat dan biaya yang timbul dari
pengungkapan sukarela. Manajer yang rasional akan menahan informasi yang tidak
menguntungkan di bawah tingkat pengungkapan ambang batas kritis (Verrecchia, 1983).
Kondisi penting lain dari hasil pengungkapan adalah kebenaran pengungkapan (jujur).
Sehubungan dengan pengungkapan keuangan sukarela, asumsi ini biasanya dibenarkan oleh
litigasi dan risiko reputasi yang terkait dengan pelaporan yang tidak benar (Verrecchia, 2001).
Alasan yang sama berlaku untuk pengungkapan sukarela dari informasi keberlanjutan,

8
khususnya yang berkaitan dengan reputasi publik dan relevansi citra berkelanjutan untuk
kesuksesan perusahaan (Ameer dan Othman, Othman, 2012; Wood, 1991). Selain itu,
meningkatnya jumlah laporan keberlanjutan yang dijamin secara eksternal membatasi
kemungkinan kesalahan penyajian (KPMG, 2011). Di bawah asumsi bahwa pengungkapan
yang tidak benar, tidak mungkin terjadi, serta karena kurangnya standar pelaporan
keberlanjutan yang tepat dan mengikat, perusahaan memiliki keleluasaan substansial dalam
menentukan kuantitas dan kualitas pengungkapan keberlanjutan.
Pilihan pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh perusahaan ditujukan untuk
mengendalikan konflik kepentingan antara pemegang saham, kreditor, dan manajemen.
Dengan dilakukan pengungkapan sukarela, diharapkan dapat memberikan informasi yang
lengkap dan transparan oleh pemakai laporan keuangan. Meskipun teori ini pada awalnya
merujuk secara eksklusif pada pengungkapan sukarela informasi keuangan, para peneliti juga
telah menerapkannya untuk menjelaskan pengungkapan sukarela informasi non-keuangan
dengan menyatakan bahwa, perusahaan dengan kinerja keberlanjutan yang unggul secara
sukarela mengungkapkan informasi non-keuangan untuk mengungkapkan sifat kinerja
sebenarnya dan meningkatkan nilai pasar perusahaan (Clarkson et al., 2008).

Perspektif Teori Pengungkapan Sukarela Terhadap Pengungkapan Keberlanjutan dan


Kinerja Keberlanjutan
Teori Pengungkapan Sukarela melihat adanya hubungan positif antara pengungkapan
keberlanjutan dengan kinerja keberlanjutan. Semakin tinggi kinerja keberlanjutan maka
kuantitas pengungkapan keberlanjutan juga semakin tinggi. Teori ini menjelaskan bahwa
perusahaan dengan kinerja keberlanjutan yang baik akan cenderung termotivasi untuk
mengungkapkan informasi terkait kinerjanya dengan tujuan untuk meningkatkan nilai
perusahaan.
Teori pengungkapan sukarela berlaku terutama untuk pengungkapan berkualitas tinggi
karena pengungkapan tersebut menawarkan transparansi yang diperlukan untuk dapat
diandalkan dan dapat dibandingkan dengan pengungkapan oleh perusahaan lain (Hummel dan
Schlick, 2016). Perusahaan dengan kinerja keberlanjutan yang unggul mengenai indikator
kinerja tertentu lebih memilih untuk mengungkapkan informasi berkualitas tinggi untuk
menandakan tipe kinerja mereka yang sebenarnya (tidak dapat diamati).

9
Rekonsiliasi Teori Legitimasi dan Teori Pengungkapan Sukarela
Penelitian terdahulu belum membangun pemahaman yang konsisten mengenai hubungan
antara kinerja keberlanjutan dan pengungkapan keberlanjutan. Pada dasarnya, terdapat dua
konsep teoritis yang terlibat. Di satu sisi, teori pengungkapan sukarela memprediksi bahwa
perusahaan dengan kinerja keberlanjutan yang baik didorong untuk mengungkapkan informasi
mengenai kinerjanya untuk meningkatkan nilai pasarnya. Aliran penelitian ini menunjukkan
hubungan positif antara kinerja keberlanjutan dan kuantitas pengungkapan keberlanjutan
(yaitu, pelaku keberlanjutan unggul mengungkapkan lebih banyak). Di sisi lain, teori legitimasi
berpendapat bahwa perusahaan menggunakan pengungkapan keberlanjutan untuk
meningkatkan persepsi publik tentang kinerja keberlanjutan mereka (Deegan, 2002). Oleh
karena itu peneliti menafsirkan hubungan negatif antara kinerja keberlanjutan dan kuantitas
pengungkapan keberlanjutan (yaitu, pelaku keberlanjutan yang buruk mengungkapkan lebih
banyak) sebagai indikasi penerapan teori legitimasi (Cho et al., 2012; Patten, 2002)
Dengan demikian, kedua teori ini menghasilkan prediksi yang berlawanan mengenai
hubungan antara kinerja keberlanjutan dan pengungkapan keberlanjutan, dan hasil empiris
yang beragam dari penelitian sebelumnya belum menjelaskan hubungan ini. Oleh karena itu,
penelitian baru-baru ini mempertanyakan apakah kedua teori ini tidak saling eksklusif tetapi
merupakan dua sisi dari mata uang yang sama dan telah menemukan beberapa bukti awal untuk
membenarkan garis analisis ini.
Terhadap latar belakang bukti empiris yang beragam, beberapa peneliti baru - baru ini
merevisi dugaan bahwa kedua teori ini saling eksklusif dan menyerukan peralihan dalam
"fokus penyelidikan" (Clarkson et al., 2008). Hummel dan Schlick (2016) menanggapi
persoalan ini dan menyajikan alasan teoritis dan bukti empiris yang mendamaikan dua teori
dengan mengarahkan fokus penyelidikan dari kuantitas pengungkapan keberlanjutan
perusahaan ke kualitasnya.
Berdasarkan penelitian Hummel dan Schlick (2016), hasil temuannya konsisten dengan
prediksi yang diturunkan dari teori pengungkapan sukarela bahwa pelaku keberlanjutan yang
unggul mengungkapkan informasi keberlanjutan dengan kualitas tinggi daripada kualitas

10
rendah karena jenis informasi ini lebih andal dan dapat dibandingkan. Dengan mengungkapkan
informasi yang terutama berkualitas tinggi, perusahaan- perusahaan ini secara aktif
mengungkapkan tipe kinerja superior mereka ke pasar dan oleh karena itu mampu
membedakan diri mereka dari kinerja keberlanjutan yang buruk.
Sehubungan dengan teori legitimasi, hasil penelitian Hummel dan Schlick (2016)
menunjukkan bahwa pelaku keberlanjutan yang buruk mengungkapkan informasi
keberlanjutan berkualitas rendah daripada berkualitas tinggi untuk memanipulasi persepsi
publik mengenai kinerja keberlanjutan mereka. Karena informasi berkualitas rendah biasanya
kurang dapat diandalkan dan dapat dibandingkan, informasi ini sangat berguna untuk
menyamarkan kinerja keberlanjutan perusahaan yang buruk sambil tetap berkontribusi pada
citra perusahaan yang berkelanjutan.
Secara keseluruhan, temuan dari penelitian Hummel dan Schlick (2016) mendukung
posisi bahwa teori legitimasi dan teori pengungkapan sukarela tidak saling eksklusif tetapi
cocok untuk secara bersamaan menjelaskan perilaku pelaporan keberlanjutan dari perusahaan
sampel yang digunakan dalam penelitian Hummel dan Schlick.

2.4 Teori – Teori Lainnya


1) Teori Sinyal (Signal Theory)
Teori Sinyal menjelaskan tindakan manajemen perusahaan dalam memberikan informasi
yang berkaitan dengan keputusan investasi pihak eksternal. Teori Sinyal berakar pada teori
akuntansi pragmatik yang memusatkan perhatiannya kepada pengaruh informasi terhadap
perubahan perilaku pemakai informasi. Salah satu informasi yang dapat dijadikan sinyal adalah
pengungkapan yang dilakukan oleh suatu emiten. Verrecchia (1983) menyebutkan sebagai
akibat dari masalah asimetri informasi, perusahaan memberi sinyal informasi CSR tertentu
kepada investor untuk menunjukkan bahwa mereka lebih baik daripada perusahaan lain di
pasar untuk tujuan menarik investor dan meningkatkan reputasi yang baik. Ketika informasi
dipublikasikan sampai diterima oleh pelaku pasar, informasi tersebut terlebih dahulu
diinterpretasikan dan dianalisis sebagai sinyal baik (good news) atau sinyal buruk (bad news).

11
Teori sinyal dapat menjelaskan hubungan antara Corporate Environmental Disclosure
dengan manajemen laba. Manajer memiliki insentif yang besar untuk secara sukarela
mengungkapkan informasi akuntansi tambahan misalnya, Corporate Environmental
Disclosure sebagai sinyal agar dapat menarik investor yang sudah ada dan/atau investor
potensial untuk dapat meningkatkan reputasi positif dan nilai perusahaan, terutama ketika
mereka mencoba terlibat dalam manajemen laba.
Corporate environmental Disclosure sebagai salah satu kegiatan CSR merupakan sinyal
yang terkait dengan kualitas manajemen. Perusahaan yang memiliki kualitas yang tinggi
cenderung menggunakan akuntansi sosial dan lingkungan perusahaan sebagai pengalihan dari
pelaporan keuangan tradisional. Di sisi lain, perusahaan dengan kualitas rendah memilih
konsisten dengan membatasi pengungkapan informasi akuntansi kepada pihak eksternal.
Kualitas pelaporan keuangan merupakan sinyal untuk pelaku pasar keuangan dan stakeholder
lainnya yang memperlihatkan bahwa manajemen mampu mengontrol risiko sosial dan
lingkungan dalam perusahaan.
Selain itu, Corporate Environmental Disclosure juga merupakan sinyal kepada investor
dan stakeholder lainnya dimana perusahaan secara aktif ikut serta dalam praktik -praktik CSR
dan menunjukkan bahwa nilai pasar perusahaan dalam posisi yang baik. Kinerja sosial
perusahaan yang baik membantu perusahaan untuk mendapatkan keandalan reputasi dari pasar
modal dan utang.
2) Teori Agensi (Agency Theory)
Jensen dan Meckling menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak
yang terjadi antara manajer (agent) dengan pemilik perusahaan (principal). Wewenang dan
tanggung jawab agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.
Teori ini menjelaskan potensi adanya konflik kepentingan antara berbagai pihak pemangku
kepentingan dalam perusahaan. Adanya konflik kepentingan ini dapat menimbulkan biaya
keagenan, yaitu:
a) Monitoring Cost merupakan biaya pemantauan perilaku agen yang dikeluarkan oleh
prinsipal untuk mengukur, memantau, dan mengendalikan perilaku agen. Contoh
monitoring cost adalah biaya audit, kompensasi manajemen (management
compensation), pembatasan anggaran (budget restriction), dan aturan operasi.

12
b) Bonding Cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk menjamin bahwa
agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau
untuk menjamin bahwa agen akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak
tindakan.
c) Residual Loss merupakan penurunan tingkat kesejahteraan prinsipal maupun agen
setelah adanya agency relationship.
Berdasarkan teori agensi, perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan dan biaya
kontrak yang rendah cenderung akan melaporkan laba bersih rendah atau dengan kata lain akan
mengeluarkan biaya-biaya untuk kepentingan manajemen salah satunya biaya yang dapat
meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat. Kemudian sebagai wujud
pertanggungjawaban, manajer sebagai agen akan berusaha memenuhi seluruh keinginan pihak
prinsipal dengan melakukan Corporate Environmental Disclosure sebagai tindakan Corporate
Sosial Responsibility (CSR). Corporate Environmental Disclosure merupakan sinyal yang
dapat mengalihkan perhatian pemegang saham dari pengawasan manipulasi laba atau isu-isu
lainnya dan sebagai hasilnya harga saham di pasar modal akan meningkat seiring
meningkatnya kepercayaan pemegang saham terhadap transparansi informasi yang
diungkapkan oleh perusahaan.
3) Teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responbility Theory)
Teori tanggung jawab sosial perusahaan adalah suatu konsep bahwa suatu organisasi
perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham,
komunitas, dan lingkungan dalam aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat
dengan pembangunan berkelanjutan dimana perusahaan dalam pelaksanaan aktivitasnya tidak
hanya berdasarkan kinerja perusahaan tetapi juga berdasarkan konsekuensi sosial dan
lingkungan untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini sesuai dengan asumsi
Stakeholder Theory.
Dauman dan Hargreaves (1992) dalam Astuti (2015) menyatakan bahwa tanggung jawab
perusahaan dapat dibagi menjadi tiga level sebagai berikut:
a) Basic Responsibility (BR)
Level pertama, menghubungkan tanggung jawab dari suatu perusahan yang muncul
karena keberadaan perusahaan tersebut seperti: perusahaan harus membayar pajak,
mematuhi hukum, memenuhi standar pekerjaan, dan memuaskan pemegang saham.

13
Bila tanggung jawab pada level ini tidak dipenuhi akan menimbulkan dampak yang
sangat serius.
b) Organization Responsibility (OR)
Level kedua menunjukkan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi kebutuhan
stakeholder seperti pekerja, pemegang saham, dan masyarakat di sekitarnya.
Contohnya: bertanggung jawab terhadap investor untuk memaksimalkan profit dan
mensejahterakan karyawan; dan
c) Sociental Responses (SR)
Level terakhir ini, menunjukkan tahapan ketika interaksi antara bisnis dan kekuatan
lain dalam masyarakat yang demikian kuat sehingga perusahaan dapat tumbuh dan
berkembang secara berkesinambungan, terlibat dengan apa yang terjadi dalam
lingkungannya secara keseluruhan. Contohnya: melakukan recruitment tenaga kerja
dari masyarakat sekitar.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kesimpulan dari kelompok kami, teori stakeholder berpandangan bahwa di
samping untuk menghasilkan keuntungan, perusahaan juga harus dapat memberikan manfaat
bagi semua pemangku kepentingan, baik pelanggan, karyawan, pemasok, pemilik maupun
masyarakat. Teori Sinyal meliputi upaya manajemen perusahaan dalam memberi sinyal
informasi CSR kepada pihak eksternal guna menunjukkan bahwa perusahaannya lebih unggul
dibanding perusahaan lain. Teori Agensi menjelaskan potensi adanya konflik kepentingan
antara berbagai pihak pemangku kepentingan dalam perusahaan, CSR dapat membantu
mengurangi biaya pemantauan yang terkait dengan asimetri informasi yang tertanam dalam
hubungan principal dan agen tersebut. Teori tanggung jawab sosial perusahaan adalah suatu
konsep bahwa suatu organisasi perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap
konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkungan dalam aspek operasional
perusahaan.
Teori Legitimasi berpandangan bahwa organisasi adalah bagian dari masyarakat
sehingga harus memperhatikan norma-norma sosial kemasyarakatan karena kesesuaian dengan
norma sosial dapat membuat perusahaan semakin legitimate (sah). Teori Pengungkapan
Sukarela berpandangan bahwa pengungkapan dilakukan melalui butir-butir informasi melebihi
yang diwajibkan dan dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh
peraturan yang berlaku. Dalam menjelaskan hubungan antara kinerja keberlanjutan dan
pengungkapan keberlanjutan, teori legitimasi dan teori pengungkapan sukarela tidak saling
eksklusif tetapi sebaliknya kedua teori tersebut dapat didamaikan.

3.2 Saran
Saran yang dapat kami sampaikan dalam hal ini ada sebisa mungkin untuk perusahaan
melakukan antisipasi timbulnya pro dan kontra terhadap pelaksanaan teori-teori yang telah

15
dipaparkan dikarenakan kekhawatiran masyarakat terhadap dampak-dampak yang akan
ditimbulkan nantinya atau kedepannya. Namun, teori-teori yang telah dipaparkan diharapkan
dapat menjadi pembelajaran dan contoh bagi perusahaan-perusahaan dan dapat lebih
memperhatikan kelestarian lingkungan untuk keberlajutan ke depannya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Bryson, J. M. (2001). Perencanaan Strategi bagi Organisasi. Edisi Bahasa Indonesia. Pustaka
Pelajar Offset, Yogyakarta.
Glebova, L. A. (2013). Stakeholder dalam Organisasi Bisnis.
Guthrie, J. a. (1989). Corporate social reporting: A rebuttal of legitimacy theory. Accounting and
Business Research, ol 19 No 76, pp. 343-52.
Guthrie, J. a. (1990). Corporate social disclosure practice: A comparative international analysis.
Advances in Public Interest Accounting, Vol 3, pp. 159-75.
Meckling, J. d. (1976). Theory of firm: managerial behaviour, agency cost and ownership
structure.
Sukaharsono, E. G. (2021). Akuntansi Keberlanjutan. UB Press.
Yuliani. (t.thn.). TEORI YANG BERKAITAN DENGAN GOOD CORPORATE
GOVERNANCE DAN UKURAN.

17

Anda mungkin juga menyukai