Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA II

“Konsep recovery dalam asuhan keperawatan jiwa”

Disusun Oleh :
Sondang Vincensia

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
TANJUNGPINANG
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
mampu menyusun sebuah makalah dengan judul “Konsep recovery dalam asuhan keperawatan jiwa ”.

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas yang diberikan dalam mata kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa
II. Kami juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam menyusun makalah ini. Penyusun juga berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca

 Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan baik pada penulisan maupun materi, mengingat
akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu penulis mengharapkan, kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Tanjungpinang, 1 Januari 2022

                                                                                                          
      Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Balai kesehatan jiwa yang dibentuk direncanakan bertujuan untuk
memberikan wadah transisi bagi penderita gangguan jiwa sebelum dapat benar-
benar kembali ke tengah-tengah masyarakat. Para penderita ini diberdayakan dan
diberi bekal untuk hidup di masyarakat sebagai mantan penderita gangguan jiwa.
Selain itu, balai kesehatan jiwa ini juga menyediakan pelayanan kesehatan jiwa
bagi masyarakat umum. Sejauh ini, masyarakat umum mengetahui pelayanan
kesehatan jiwa hanya pada rumah sakit jiwa, dan tempat-tempat praktek psikiatri
yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat itu sendiri. Gangguan jiwa dapat
menyerang siapa saja, karena pada dasarnya setiap manusia memiliki perbedaan
faktor psikologis dimana pada titik tertentu dapat dikatakan mengalami gangguan
atau abnormal. (Zhafran et al., 2017)
Menanggapi masalah-masalah tersebut, balai kesehatan jiwa yang
dirancang ini berupaya untuk mendekatkan dan memberi wadah bagi masyarakat
umum dan penderita gangguan jiwa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa
serta berinteraksi dengan tujuan pengurangan dan menghilangkan stigma negatif
yang melekat diantara kedua belah pihak.
Pola Perilaku pengguna juga dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan
diterima dari lingkungan (Joyce Marcella Laurens, 2004). Beberapa kasus telah
membuktikan bahwa pasien gangguan jiwa kembali kambuh setelah dipulangkan
kerumahnya karena kondisi lingkungan rumahnya dianggap tidak kondusif dan
justru memberikan rangsangan buruk. Untuk mendukung upaya penciptaan
kesehatan jiwa dan kesejahteraan hidup masyarakat, Healing Environment
diterapkan guna menciptakan lingkungan yang kondusif dan supportive bagi
kesehatan jiwa manusia.
Menurut (Suhermi & Fatma, 2019) Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ) yang mendapatkan dukungan tepat, dapat pulih dari penyakitnya dan
memiliki kehidupan yang memuaskan serta produktif. Kekuatan diri
merupakan pondasi dari dukungan dan sistem recovery yang berpusat pada
diri sendiri dan motivasi diri. Aspek terpenting dari recovery didefinisikan
oleh individu dengan pertolongan dari pemberi layanan kesehatan jiwa dan
orangorang yang sangat penting dalam kehidupannya Recovery gangguan
jiwa merupakan gabungan pelayanan sosial, edukasi, okupasi, perilaku dan
kognitif yang bertujuan pada pemulihan jangka panjang dan memaksimalkan
kemampuan diri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan jiwa ?
2. Jelaskan konsep recovery dalam keperawatan jiwa ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi dari gangguan jiwa.
2. Untuk mengetahui konsep recovery dalam keperwatan jiwa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Gangguan Jiwa


Orang dengan gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan
dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan
gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna.(Rinawati, 2017)
Gangguan jiwa adalah respons maladaptif terhadap stressor dari
lingkungan internal dan eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan
perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal atau budaya setempat, dan
mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan/atau fisik.Pengertian ini menjelaskan
bahwa seorang individu akan berespon berupa perilaku menghindar untuk
menghindari stimuli yang muncul yang dipersepsikannya sebagai stressor atau hal
yang sangat mengancam. Seorang klien gangguan jiwa akan menunjukkan
perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat pada umumnya karena
perilaku tersebut mengganggu fungsi sosialnya (Hernawaty & Keliat, 2014).
B. Konsep Recovery (Pemulihan)
1. Defenisi Recovery
Recovery merupakan proses yang dinamis dari individu dalam
mencapai dan mempertahankan kesejahteraan dalam kehidupannya, sadar
bahwa gangguan mental yang dialami berdampak pada diri sendiri dan
lingkungan, kemudian individu tersebut berjuang sampai pada suatu titik dan
pada akhirnya individu tersebut pulih seperti orang yang tidak memiliki
masalah kesehatan mental (Tania et al., 2019)
2. Dimensi Recovery
Recovery telah mendapat perhatian lebih sebagai konsep di bidang kesehatan
mental. Beberapa literatur telah mengidentifikasi bahwa terdapat empat
dimensi dalam recovery, yaitu (Ods et al., 2018) :
1) Clinical Recovery Clinical
Clinical Recovery berfokus pada pengurangan gejala psikotik
dan perawatan terhadap kesehatan mental dan fisik serta berbasis pada
perawatan kesehatan berkelanjutan jangka panjang. Perawatan sangat
penting diberikan untuk mengurangi risiko kekambuhan. Hal ini dapat
dicapai dengan memfasilitasi pengguna layanan untuk melibatkan
sumber daya lokalnya, termasuk keluarga dan perawat, masyarakat
setempat dan layanan kesehatan setempat, seperti dokter umum, dalam
semua aspek perawatan mereka bila hal ini sesuai.
2) Personal Recovery
Pada awalnya konsep recovery hanya berfokus pada sisi klinis
atau prespektif klinis saja tanpa mempertimbangkan prespektif dari
pasien. Belakangan ini beberapa negara dari bagian Barat telah
mengusulkan konsep recovery sebagai personal recovery atau ditilik
dari persepsi pasien juga untuk mengevaluasi recovery mereka (20).
Prespektif subyektif tersebut mencakup harapan, pemberdayaan,
swadaya, dukungan sebaya dan mengatasi stigma yang berkembang
dimasyarakat. Liberman mendefinisikan. Personal recovery bersifat
luas, dan tidak dapat dicirikan secara seragam (berbeda untuk setiap
individu). Keanekaragaman perspektif ini menjadi pertimbangan bagi
layanan kesehatan mental.
3) Social Recovery
Pada dimensi social recovery berfokus pada membangun
hubungan sosial di masyarakat yang lebih luas. Pengembangan social
recovery ini dapat dimulai pada saat tahap awal pengobatan dengan
membangun percakapan untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan
secara optimal sumber daya di lingkungan sekitar. Jika orang tersebut
memiliki tujuan kejuruan dan kemajuan tercapai, fokus perawatan
dapat beralih ke arah orang tersebut memanfaatkan secara optimal
peluang sosial baru yang terkait dengan memiliki pekerjaan atau
kursus yang berharga. Terapis okupasi dapat memberikan bantuan
untuk bergaul dengan orang- orang dan mencari teman baru;
menawarkan pelatihan keterampilan berkomunikasi dalam konteks
tertentu; dan membantu mengembangkan strategi untuk mengelola
informasi pribadi, serta untuk mencegah dan melawan stigma dan
diskriminasi yang tidak adil. Hasil yang diharapkan dari proses ini
adalah transfer keterampilan sosial dan penyertaan sosial yang lebih
besar di masyarakat luas.
4) Functional Recovery
Functional Recovery mengacu pada kembalinya melakukan
peran seperti sebelumnya di masyarakat luas. Contoh dalam peran
sosial ini seperti tugas rumah, perawatan mandiri, perjalanan
independen dan manajemen keuangan. Pendidikan formal atau
pelatihan kejuruan dan pekerjaan kompetitif adalah dua domain peran
bernilai sosial lainnya yang juga perlu dipertimbangkan saat
membantu seseorang mengidentifikasi tujuan fungsionalnya di dunia
nyata.
Bagian recovery yang telah disebutkan mancakup lima domain
Recovery Assessment Scale oleh Corrigan, dkk yang mana lima
domain tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi recovery
ODS (19). Recovery Assessment Scale atau RAS merupakan sebuah
kuesioner dimana terdapat lima domain, meliputi:
a. Kepercayaan diri dan harapan
b. Kesediaan meminta pertolongan
c. Tujuan dan orientasi sukses
d. Bergantung pada orang lain
e. Serta tidak didominasi oleh gejala
3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Recovery
Recovery dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : pendidikan, usia,
angka kekambuhan, dan gejala-gejala yang dimiliki. Penelitian yang telah ada
menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan >10 tahun memiliki skor
recovery yang lebih tinggi dibanding dengan mereka yang berpendidikan
dibawah 10 tahun. Kemudian mereka dengan usia yang lebih tua
menunjukkan skor domain "kepercayaan diri dan harapan" yang cenderung
lebih rendah dibanding dengan mereka yang memiliki usia lebih muda.
Seseorang dengan angka kekambuhan yang lebih banyak memiliki skor yang
cenderung lebih rendah pada domain "kepercayaan diri dan harapan" dan
"tujuan dan orientasi sukses" dibanding dengan mereka yang jarang kambuh.
Semakin banyak gejala positif yang dimiliki semaikin banyak skor domain
“kesediaan untuk untuk meminta bantuan” serta “tujuan dan orientasi sukses”.
Sedangkan mereka yang memiliki gejala negative yang lebih tinggi
menujukkan skor yang lebih rendah pada domain "ketergantungan pada orang
lain” dibandingkan mereka yang hanya memiliki beberapa gejala negatif saja
Corrigan dan Grover.
4. Prinsip Dasar Recovery
1) Recovery muncul dari adanya harapan
Harapan dapat menjadi pendorong dan motivator recovery.
Adanya keyakinan bahwa mereka yang menderita dapat pulih menjadikan
ODS mampu mengatasi masalah dan memiliki masa depan yang lebih
baik serta mendorong penderita ke tahap recovery. Harapan dapat tumbuh
dan diperkuat oleh dukungan dari orang terdekat seperti keluarga, teman,
penderita yang telah pulih, hingga tenaga kesehatan maupun relawan
gangguan jiwa.
2) Dorongan untuk pulih berasal dari dalam diri seseorang
Prinsip recovery pada dasarnya berbeda dari prinsip rehabilitasi.
Biasanya dalam rehabilitasi, penderita bersikap pasif dengan meminum
obat sesuai petunjuk dokter dan melakukan segala kegiatan yang
diperintahkan oleh perawat jiwa. Berbeda dengan prinsip recovery dimana
penderita harus memiliki dorongan tersendiri dari dalam dirinya untuk
sembuh dan memiliki keinginan untuk memperbaiki hidupnya, tekat yang
kuat dalam mengupayakan berbagai kegiatan atau teknik untuk mengatasi
gejalanya.
3) Recovery terjadi melalui berbagai jalur
Jalur recovery sangat bersifat individual. Jalur recovery dapat
berupa : pengobatan yang tepat, mendapat dukungan psikososial dari
orang terdekat, kembali ke sekolah atau kuliah, mendapatkan pekerjaan,
melakukan kegiatan seni, mengikuti kegiatan sosial atau kegiatan
keagamaan, dll.
4) Recovery bersifat menyeluruh
Recovery tidak hanya perihal mengatasi masalah gejala yang
muncul, namun juga harus mencukup keseluruhan kehidupan seseorang
baik fisik, jiwa, dan kehidupan sosialnya. Recovery mencakup hal-hal
seperti: perawatan diri, perumahan, keluarga, pendidikan, pekerjaan,
keagamaan, kesehatan, dan jaringan sosial. Recovery tidak akan optimal
jika hanya berfokus pada kepatuhan minum obat sedangkan penderitanya
tidak dilatih untuk perawatan diri, aktif untuk bersosialisasi seperti
mengikuti berbagai kegiatan, komunitas, dan lain-lain.
5) Recovery memerlukan dukungan keluarga, teman dan masyarakat luas
Keluarga, teman atau orang terdekat perlu turut untuk mendukung
atau memotivasi ODS dalam proses recovery. Keluarga yang anggotanya
telah pulih dapat menolong keluarga lain yang masih berjuang membantu
recovery anggota keluarganya yang sakit. Penderita yang telah pulih dapat
memberikan motivasi dan mendampingi penderita gangguan jiwa lainnya.
Lembaga sosial dan keagamaan bisa mendirikan pusat recovery, lapangan
kerja, dan pelatihan kerja.
6) Recovery didukung oleh jaringan pertemenan dan kekerabatan
Dukungan yang terlahir dari jaringan persaudaraan dan
pertemanan, dapat mengubah kehidupan penderita menjadi lebih sejahtera
dan mempunyai peranan di masyarakat. Hal tersebut akan mendorong
kemampuan penderita untuk mampu hidup mandiri, mempunyai peranan
dan berpartisipasi di masyarakatnya.
7) Recovery berbasis kebudayaan dan kepercayaan yang ada di masyarakat
Jalur dan proses recovery dipengaruhi oleh kebudayaan dan
kepercayaan yang dianut. Seperti seseorang yang beragama Islam akan
lebih sulit pulih jika proses recovery menggunakan pendekatan agama lain
selain agama Islam, begitu juga sebaliknya.
8) Recovery didukung dengan memecahkan masalah kejiwaan yang memicu
munculnya gangguan jiwa
Keluarga, teman, relawan jiwa dan penyedia pelayanan kesehatan
jiwa perlu memahami pengalaman hidup ODS yang menekan jiwanya dan
kemudian membantu menyediakan berbagai pilihan dalam mengatasi
trauma yang dimiliki. Contohnya penderita akibat kekerasan seksual di
masa kecilnya perlu diajari cara menerima dan mengatasi trauma tersebut.
9) Recovery memanfaatkan kekuatan dan tanggung jawab individu serta
masyarakat
Keluarga dapat menyumbangkan keahlian, waktu dan tenaga yang
dimiliki kepada penderita. Masyarakat memberikan support dengan
menciptakan lapangan pekerjaan, memberikan peran sosial, dan support
psikososial lainnya.
10) Recovery didasarkan pada penghormatan (respek)
Adanya diskriminasi dan stigma akan menghalangi atau
mempersulit proses recovery seseorang. Namun sebaliknya, jika
masyarakat memberikan respon berupa penerimaan segala keterbatasan
penderita dan memberikan bantuan agar dapat berkontribusi dalam
masyarakat akan membantu mempercepat proses recovery seseorang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,


perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala dan/atau
perubahan perilaku yang bermakna.

Recovery merupakan proses yang dinamis dari individu dalam


mencapai dan mempertahankan kesejahteraan dalam kehidupannya, sadar
bahwa gangguan mental yang dialami berdampak pada diri sendiri dan
lingkungan, kemudian individu tersebut berjuang sampai pada suatu titik dan
pada akhirnya individu tersebut pulih seperti orang yang tidak memiliki
masalah kesehatan mental.
B. Saran
Dengan adanya makalah tentang konsep recovery, supportive, dan
environment dalam keperawatan jiwa. Maka diharapkan kepada para pembaca
terkhusus perawat agar kiranya dapat memahami makalah ini, sehingga dapat
mengaplikasikannya terhadap pasien yang mengalami gangguan jiwa secara
efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Hernawaty, T., & Keliat, B. A. (2014). Pengaruh Terapi Suportif Keluarga terhadap
Kemampuan Keluarga Merawat Klien Gangguan Jiwa di Kelurahan Bubulak
Bogor Barat. 01(1), 19–27.

HIDAYAT, M. T. (2019). PERANCANGAN INTERIOR BANGSAL WANITA


RUMAH SAKIT JIWA ISLAM JAKARTA PENCIPTAAN. Computers in
Human Behavior, 63(May), 9–57. https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.05.008

Miranti, D., Pratikno, H., & Pumpungan. (2019). Supportive Therapy Sebagai Media
Untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Pada Pasien Skizofrenia Paranoid. 2,
173–179.

Nabila, Alya Amalia. 2017. Pengertian Environment. [Online]. Tersedia :


https://brainly.co.id/tugas/12320238. Diakses pada 07 Maret 2020.

Ods, S., Ruang, D. I., & Inap, R. (2018). Gambaran recovery pada orang dengan
skizofrenia (ODS) di ruang rawat inap RSJD DR. Amino Gondohutomo
Semarang (Issue April).

Purwanti, N. (2017). Analisis Praktik Keperawatan jiwa pada pasien isolasi sosial
dengan intervensi inovasi terapi suportif terhadap peningkatan sosialisasi di
ruang belibis RSJD atma husada mahakam samarinda. 4(1), 9–15.

Rinawati, F. (2017). Penerapan Terapi Perilaku Spesialis Keperawatan Jiwa Pada


Klien Dengan Risiko Perilaku Kekerasan Menggunakan Pendekatan Teori
Johnson Dan Teori Lewin. Jurnal Ilmu Kesehatan, 4(1), 67.
https://doi.org/10.32831/jik.v4i1.76

Suhermi, & Fatma, J. (2019). Dukungan Keluarga dalam Proses Pemulihan Orang
dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Jurnal Kesehatan Suara Forikes, 10(April),
109–111.

Tania, M., Suryanti, & Hernawaty, T. (2019). Pengalaman Hidup Kader Kesehatan
dalam Mendukung Proses Recovery di Melong Kota Cimahi. Jurnal
Keperawatan BSI, Vol. VII No. 1, VII(1), 100–110.

Zhafran, D. B., Hardiyati, H., & Pramesti, L. (2017). Balai Kesehatan Jiwa Dengan
Pendekatan Healing Environment Di Surakarta. Arsitektura, 15(1), 149.
https://doi.org/10.20961/arst.v15i1.11644

Anda mungkin juga menyukai