Anda di halaman 1dari 93

SKRIPSI

GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM


MENANGANI HIPERTERMI PADA ANAK USIA PRA
SEKOLAH DI KELURAHAN TAMAMAUNG
KECAMATAN PANAKKUKANG
KOTA MAKASSAR

SRI AYU MAMING


21606053

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MAKASSAR
2021
SKRIPSI

GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM


MENANGANI HIPERTERMI PADA ANAK USIA PRA
SEKOLAH DI KELURAHAN TAMAMAUNG
KECAMATAN PANAKKUKANG
KOTA MAKASSAR

SRI AYU MAMING


21606053

Skripsi Ini Diajukan


Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Keperawatan

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MAKASSAR
2021

ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : SRI AYU MAMING

NIM : 21606053

Institusi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar

Program Studi : Ilmu Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi dengan judul “Gambaran

Pengetahuan dan Sikap Ibu Dalam Penanganan Hipertermi Pada Anak Prasekolah

di Keluarahan Tamamaung Kecamatan Panakkukang Kota Makassar Tahun 2021”

yang saya tulis benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan

pengambil alihan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti

atau dapat dibuktikan sebagian atau keseluruhan skripsi ini hasil karya orang lain,

saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 2021

Yang menyatakan

iii
ABSTRAK

GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM MENANGANI


HIPERTERMI PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI KELURAHAN
TAMAMAUNG KECAMATAN PANAKKUKANG KOTA MAKASSAR
SRI AYU MAMING
(dibimbing oleh Hasriadi Lande dan Andi Sani SIlwanah)
Hipertermia adalah keadaan tubuh seseorang mengalami peningkatan suhu
tubuh terus menerus diatas 37,8oC per oral atau 38,8°C per rectal, data yang
didapatkan kecamatan Panakukang tertinggi angka kesakitan DBD di Kota
Makassar dengan gejala awal hipertermi sebanyak 31 kasus dan kelurahan
Tamamaung yang tertinggi sebanyak 11 kasus dari 5 kelurahan yang ada di
kecamatan Panakkukang, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan
pengetahuan dan sikap ibu dalam menangani hipertermi pada anak usia pra-
sekolah di Kelurahan Tamamaung Kecamatan Panakkukang Kota Makassar.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif.
dengan pendekatan Observasional, sampel dalam penelitian ini adalah 83
responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang penanganan
hipertermi pada anak usia prasekolah lebih banyak yang berpengetahuan cukup
dengan persentase sebesar 75,6% dibandingkan yang berpengetahuan kurang
dengan persentase sebesar 24,1%, sikap ibu dalam menangani hipertermi pada
anak prasekolah menunjukkan sikap yang positif lebih banyak dengan persentase
sebesar 83,1% dibandingkan ibu yang memiliki sikap negatif terendah dengan
persentase sebesar 16,9%.
Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah pengetahuan responden
untuk menangani hipertermi sudah cukup dan sikap yang ditunjukkan responden
dalam menangani hipertermi dalam kategori positif, disarankan kepada responden
untuk untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan mempertahankan sikap yang
positif terhadap penanganan hipertermi.

Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Ibu, Penanganan Hipertermi


Daftar Pustaka : 30 (2012-2019)

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena
berkat Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Dalam Penanganan
Hipertermi Pada Anak Prasekolah di Keluarahan Tamamaung Kecamatan
Panakkukang Kota Makassar Tahun 2021” sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keperawatan.
Awal dari ucapan terima kasih ini, penulis menyampaikan terima kasih yang
sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ayahanda
Rusli Maming dan Ibu Roni Selmury. Saudaraku Hermanti Maming, dan Bagas
Maming, Kakek ku Sawal Selmury dan Nenek Sumia Lewir yang dengan penuh
ketabahan dan kesabaran serta keikhlasan dalam merawat dan membesarkan
Ananda dengan segala jerih payah,didikan, nasihat dan doanya yang tak henti-
hentinya untuk keberhasilan penulis.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Bapak
Hasriadi Lande, SKM, S.Kep, Ns, M.Kes selaku pembimbing I dan Ibu Andi Sani
Silwanah, SKM, M.Kes selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan
dan arahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan
banyak terima kasih kepada Bapak Ilham Syam, SKM, M.Kesdan Ibu Nour
Sriyanah S.Kep, Nsselaku Tim Penguji.
Demikian pula ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada :
1. Ibu A. Indri Damayanti Asaad Lantara SH, M.Adm, SDA, selaku Ketua
Yayasan Pendidikan Makassar
2. Ibu Esse Puji Pawenrusi, SKM, M.Kes, selaku Ketua STIK Makassar, dosen
beserta seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan bimbingan
kepada penulis selama mengikuti pendidikan pada program studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar.
3. Bapak Abd Razak Amd, Kom selaku Pengelola
4. Responden yang telah berpatisipasi dalam penelitian saya.

v
5. Bapak Muh,Sahlan Zamma,Ns,Sp,Kep,Mb sebagai Ketua Program Studi
Ilmu Keperawatan
6. Bapak sebagai Penasehat Akademik yang selalu memberikan masukan dan
saran kepada saya.
7. Susana Gloria Kerty, S.Kep, Surijah Manca, S.Kep, Messie Sari Djerfatin,
Sunarti Selayar, Muhammad Amin, Boleboly dan Sandri Heatubun S.Kom
yang selalu menemani dikala suka dan duka serta selalu memberikan
dukungan yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini.
8. Rekan-rekan Mahasiswa seperjuangan Ilmu Keperawatan STIK Makassar
angkatan 2016 dan yang paling penting teman-teman kelas reguler B
9. Teman KKN Posko Kepulauan Aru Desa Ujir yang turut mewarnai
perjalanan hidup penulis.
Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini . Semoga skripsi ini dapat bermanfaat serta
menambah wawasan ilmiah pengetahuan kepada pembaca.

Makassar, Mei 2021

Sri Ayu Maming

vi
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN SAMPUL.....................................................................................i

HALAMAN JUDUL........................................................................................ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................ii

ABSTRAK........................................................................................................iii

KATA PENGANTAR......................................................................................iv

DAFTAR ISI....................................................................................................v

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................vii

DAFTAR TABEL............................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................4
C. Tujuan Penelitian................................................................................5
D. Manfaat Penelitian..............................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Hipertermi ............................................................6


B. Tinjauan Tentang Pengetahuan Hipertermi 19
C. Tinjauan Tentang Sikap Terhadap Hipertermi……………………. 22
D. Tinjauan Tentang Anak Prasekolah…………………………………27

BAB III KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian .................................................40


B. Pola Pikir Variabel Penelitian ............................................................41
C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif........................................41

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian..............................................................43


B. Lokasi dan Waktu Penelitian..............................................................43
C. Populasi dan Sampel...........................................................................43
D. Pengumpulan Data..............................................................................44
E. Pengolahan Data.................................................................................44

v
F. Analisa Data.......................................................................................45
G. Penyajian Data....................................................................................45
H. Etika Penelitian ..................................................................................45

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian...................................................................................47
B. Pembahasan........................................................................................50

BAB VI PENUTUP
A. Simpulan.............................................................................................57
B. Saran...................................................................................................57

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian

Lampiran 2 : Penghitungan Skala Guttman dan Likert

Lampiran 3 : Master Tabel

Lampiran 4 : Dokumentasi Penelitian

Lampiran 5 : Layout SPSS

vii
DAFTAR TABEL

1. Distribusi Karakteristik Responden …......................................................48


2. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Penelitian …........................49
3. Tabel Silang pengetahuan terhadai hipertermi pada balita ........................ 50
4. Tabel silang antara sikap ibu terhadap kejadian hipertermi pada balita…. 50
5. Distribusi frekuensi jawaban responden tentang pengetahuan ..................51
6. Distribusi frekuensi jawaban responden tentang sikap...............................52

viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hipertermia adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau

Berisiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus menerus diatas 37,8°C per

oral atau 38,8°C per rectal karena peningkatan kerentanan terhadap faktor-

faktor eksternal (Prasetyo, 2017).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam di

seluruh Dunia mencapai 16 – 33 juta dengan 500 – 600 ribu kematian tiap

tahunnya Insiden penyakit hipertermi di Amerika dilaporkanper tahun <0,2

kasus/100.000 populasi, mirip dengan di Eropa Barat dan Jepang. WHO

memperkirakan sekurangnya 12,5 juta kasus terjadi per tahun di seluruh

dunia.(Anisa, 2019).Indonesia saat ini untuk kasus hipertermi sejumlah

55.098 jiwa, dengan angka kematian 2,06 % dari jumlah penderita. Sehingga

penyakit hipertermia menjadi penyakit peringkat ke-3 dari 10 penyakit

terbesar di Indonesia.

Jumlah penderita hipertermi di Indonesia pada tahun 2018 dilaporkan lebih

tinggi angka kejadiannya dibandingkan dengan negara-negara lain yaitu

sekitar 80%-90%, dari seluruh hipertermia yang dilaporkan adalah

hipertermia atau demam sederhana, Prevalensi nasional untuk hipertermi

(berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan) adalah 1,60%. Sebanyak 14

provinsi mempunyai prevalensi hipertermi diatas prevalensi nasional yaitu

Nanggroe Aceh Darussalam (2,96%), Maluku (1,60%), Jawa Barat (2,14%),

Jawa Tengah (1,61%), Banten(2,24%), NTB (1,93%), NTT (2,33%),

1
Kalimantan Selatan (1,95%), Kalimantan Timur (1,80%),Sulawesi Selatan

(1,80%), Sulawesi Tengah (1,65%), Gorontalo (2,25%), Papua Barat

(2,39%),dan Papua (2,11%). Prevalensi hipertermi banyak ditemukan pada

kelompok umur sekolah(5-24 tahun) yaitu 1,9%, dan tertendah pada bayi

yaitu 0,8% (Profil Kesehatan Indonesia, 2018).

Angka kematian pada anak balita di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak

143 kasus dengan persentase 1,95% dari target pemerintah Republik

Indonesia kasus kematian balita ini mayoritas didominasi dengan adanya

gejala hipertermi sebelum penyakit yang menjangkiti balita seperti diare,

muntaber, demam berdarah, dan juga thypoid oleh karena itu hipertermi

sebagai gejala yang muncul pertama kali sebagai penanda adanya penyakit

yang menjangkiti balita harus ditangani dengan cepat dan tepat agar

pertolongan dan penanganan kematian balita dapat ditekan (Profil Kesehatan

Prov. Sulawesi Selatan, 2018).

Dinas Kesehatan kota Makassar merilis penyakit dengan gejala awal

hipertermi yaitu penyakit Demam Berdarah Dengue, malaria, campak dengan

angka kesakitan tertinggi pada penyakit DBD sebanyak 245, penanganan

awal yang harus segara diberikan kepada penderita DBD yaitu dengan

memberikan penanganan untuk menurunkan suhu tubuhnya agar hipertermi

tidak terjadi pada anak dan menyebabkan efek yang fatal terhadap anak dan

menyebabkan kematian akibat penurunan hemoglobin secara drastis akibat

hipertermi yang tidak dilakukan secara cepat dan tepat, data yang didapatkan

peneliti menemukan bahwa kecamatan Panakukang tertinggi angka kesakitan

2
DBD dengan gejala awal hipertermi sebanyak 31 kasus dan kelurahan

Tamamaung yang tertinggi sebanyak 11 kasus dari 5 kelurahan yang ada di

kecamatan Panakkukang (Profil Kesehatan Kota Makassar, 2019).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo, 2017 menemukan bahwa

dampak hipertermi apabila tidak dilakukan dengan tepat dan cepat maka

dapat terjadi syok, stupor dan koma, pada gejala ini penderita biasa mengeluh

nyeri kepala, nyeri pertu, kembung, mual, muntah, terkadang diare,

konstipasi, pusing, nyeri otot, bradikardi, batuk, epitaksis oleh karena itu

penanganan yang tepat harus diawali dengan pengetahuan yang baik dari ibu

agar memberikan obat dan perawatan yang tepat kepada anaknya.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kurnia, 2019 menemukan bahwa

memberikan intervensi kompres air hangat kepada sampel dalam penelitian

dan mampu menurunkan suhu tubuh pada sampel karena hipertermia adalah

peningkatan suhu inti tubuh manusia yang biasanya terjadi karena infeksi,

kondisi dimana otak mematok suhu di atas setting normal yaitu di atas 38oC.

Pengetahuan ibu terhadap penanganan Hipertermi pada balita memiliki

hubungan yang signifikan terhadap pendidikan ibu dengan nilai p=0,0001 <

0,05 dan sikap yang dimiliki untuk perawatan balita yang hipertermi memiliki

hubungan yang signifikan dengan nilai p=0,013 < 0,05 hal tersebut

membuktikan bahwa pengetahuan dan sikap ibu dalam merawat pasien

hipertermi perlu di tingkatkan agar dapat memberikan pertolongan pertama

yang tepat kepada pasien yang menderita Hipertermi di lingkungan sekitarnya

(Widiastuti, 2016).

3
Gambaran pengetahuan ibu dan metode penanganan demam pada balita

menunjukkan bahwa sebanyak 35 (48,6%) ibu memiliki pendidikan

menengah atas dan memiliki pengetahuan yang cukup sebanyak 36 (50%)

ibu, kebanyak ibu memberikan obat ketika anak demam sebanyak 32 (44,4%)

ibu dan memberikan obat paracetamol kepada anak sebanyak 67 (93,1%) ibu,

dan memberikan kompres di bagian dahi sebanyak 44 (61,4%) ibu (Kurniati,

2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Kristianingsih (2019) menemukan bahwa

pengetahuan seseorang itu dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya:

tingkat pendidikan, sosial ekonomi, lingkungan, dan kemudahan

mendapatkan informasi, penelitian ini menemukan bahwa ada hubungan

antara tingkat pengetahuan ibu tentang demam terhadap penanganan demam

dengan nilai p=0,000 < 0,05 nilai tersebut menunjukkan bahwa ibu dengan

penanganan demam yang tidak baik akan berisiko sebesar 25,375 kali

memiliki pengetahuan kurang baik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dengan rumusan masalah yaitu “

Bagaimanakah Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dalam Menangani

Hipertermi Pada Anak Usia Pra-Sekolah Di Kelurahan Tama maung

Kecamatan Panakkukang Kota Makassar Tahun 2021?”.

4
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pengetahuan dan sikap ibu

dalam menangani Hipertermi pada anak usia pra-sekolah di Kelurahan

Tamamaung Kecamatan Panakkukang Kota Makassar.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk menggambarkan pengetahuan ibu dalam menangani Hipertermi pada

anak usia pra-sekolah

b. Untuk menggambarkan sikap ibu dalam menangani Hipertermi pada anak

usia pra-sekolah

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan dalam tenaga keperawatan.

2. Manfaat Institusi

Sebagai bahan masukan bagi instansi yang berwenang agar dapat

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada sebuah puskesmas.

3. Manfaat Praktis

Menambah dan memperluas pengetahuan penulis mengenai perawatan

khususnya penyakit Hipertermi.

4. Manfaat Bagi Masyarakat

Sebagai bahan bacaan bagi masyarakat yang ingin memperdalam ilmu

tentang perawatan Hipertermi

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Hipertermi

1. Pengertian

Hipertermia merupakan keadaan suhu tubuh seseorang yang meningkat

diatas rentang normalnya. Hipertermia terjadi karena pelepasan pirogen dari

dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang

dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi

imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi (Wardiyah, 2016).

Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan

ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan panas ataupun mengurangi

produksi panas. Suhu rektal > 38oC (100,4 F). Suhu inti (rektal) lebih dapat

diandalkan daripada metode lain pada anak < 1 tahun (Kristianingsih, 2019).

Hipertermia/febris/demam adalah peningkatan suhu tubuh diatas normal.

Hal ini dapat diakibatkan oleh stress fisiologik seperti ovulasi, sekresi

hormon thyroid berlebihan, olah raga berat, sampai lesi system syaraf pusat

atau infeksi oleh mikroorganisme atau ada penjamu proses noninfeksi seperti

radang atau pelepasan bahan-bahan tertentu seperti leukemia. Demam

diasosiasikan sebagai bahan dari respon fase akut, gejala dari suatu penyakit

dan perjalanan patologis dari suatu penyakit yang mengakibatkan kenaikan

set-point pusat pengaturan suhu tubuh (Dewi,2017).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa hipertermia

adalah keadaan dimana suhu tubuh meningkat diatas rentang normal dan

6
tubuh tidak mampu untuk menghilangkan panas atau mengurangi produksi

panas. Rentang normal suhu tubuh anak berkisar antara 36,5 – 37,5 °C.

2. Penyebab

Hipertermia disebabkan oleh mekanisme pengatur panas hipotalamus yang

disebabkan oleh meningkatnya produksi panas endogen (olah raga berat,

hipertermia maligna, sindrom neuroleptik maligna, hipertiroidisme),

pengurangan kehilangan panas (memakai selimut berlapis-lapis, keracunan

atropine), atau terpajan lama pada lingkungan bersuhu tinggi (sengatan

panas). Ada juga yang menyebutkan bahwa hipertermia atau demam pada

anak terjadi karena reaksi transfusi, tumor, imunisasi, dehidrasi , dan juga

karena adanya pengaruh obat (Setyani, 2018).

Tiga penyebab terbanyak demam pada anak yaitu penyakit infeksi (60%-

70%), penyakit kolagen-vaskular, dan keganasan. Walaupun infeksi virus

sangat jarang menjadi penyebab demam berkepanjangan, tetapi 20%

penyebab adalah infeksi virus. Sebagian besar penyebab demam pada anak

terjadi akibat perubahan titik pengaturan hipotalamus yang disebabkan

adanya pirogen seperti bakteri atau virus yang dapat meningkatkan suhu

tubuh. Terkadang demam juga disebabkan oleh adanya bentuk

hipersensitivitas terhadap obat (Prasetyo, 2017).

Dari beberapa penyebab hipertermia diatas, dapat disimpulkan bahwa

hipertermia disebabkan karena adanya faktor endogen, pengurangan

kehilangan panas, akibat terpajan lama lingkungan bersuhu tinggi (sengatan

panas), ada juga yang menyebutkan bahwa hipertermia atau demam pada

7
anak terjadi karena reaksi transfusi, imunisasi, dehidrasi, adanya penyakit,

adanya pirogen seperti bakteri atau virus dan juga karena adanya pengaruh

obat

3. Batasan Karakteristik

Dalam jurnal Adimayanti (2016) mengemukakan bahwa adapun batasan

karakteristik pada hipertermi meliputi:

a. Konvulsi

Suatu kondisi medis saat otot tubuh mengalami fluktuasi kontraksi dan

peregangan dengan sangat cepat sehingga menyebabkan gerakan yang tidak

terkendali seperti kejang

b. Kulit kemerah-merahan

Tanda pada hipertermia seperti kulit kemerah-merahan disebabkan karena

adanya vasodilatasi pembuluh darah.

c. Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal

Hal ini berhubungan dengan adanya produksi panas yang berlebih,

kehilangan panas berlebihan, produksi panas minimal, kehilangan panas

minimal, atau kombinasi antara keduanya

d. Kejang

Kejang terjadi karena adanya peningkatan temperatur yang tinggi sehingga

otot tubuh mengalami fluktuasi kontraksi dan peregangan dengan sangat

cepat sehingga menyebabkan gerakan yang tidak terkendali seperti kejang.

8
e. Takikardia

Takikardia merupakan tanda-tanda dini dari gangguan atau ancaman syok,

pernapasan yang memburuk, atau nyeri.

f. Takipnea

Takipnea merupakan tanda-tanda dini dari gangguan atau ancaman syok,

pernapasan yang memburuk, atau nyeri.

g. Kulit terasa hangat

Fase dingin pada hipertermia akan hilang jika titik pengaturan hipotalamus

baru telah tercapai. Dan selama fase plateau, dingin akan hilang dan anak

akan merasa hangat. Hal ini juga terjadi karena adanya vasodilatasi pembuluh

darah sehingga kulit menjadi hangat.

4. Faktor yang berhubungan

Faktor yang berhubungan atau penyebab dari hipertermia meliputi :

a. Anestesia

Setiap tanda-tanda vital di evaluasi dalam kaitannya dengan efek samping

anestesi dan tanda-tanda ancaman syok, pernapasan yang memburuk, atau

nyeri karena anestesi ini dapat menyebabkan peningkatan suhu, kekakuan

otot, hipermetabolisme, destruksi sel otot (Kurniati, 2016).

b. Penurunan perspirasi

Penguapan yang tidak dapat keluar akan mengganggu sirkulasi dalam

tubuh sehingga menyebabkan hipertermi yang diakibatkan oleh kenaikan set

point hipotalamus (Kurniati, 2016).

9
c. Dehidrasi

Tubuh kehilangan panas secara kontinu melalui evaporasi. Sekitar 600 –

900 cc air tiap harinya menguap dari kulit dan paru-paru sehingga terjadi

kehilangan air dan panas. Kehilangan panas air ini yang menyebabkan

dehidrasi pada hipertermia (Fadli, 2018).

d. Pemajanan lingkungan yang panas

Panas pada 85 % area luas permukaan tubuh diradiasikan ke lingkungan.

Vasokontriksi perifer meminimalisasi kehilangan panas. Jika lingkungan

lebih panas dibandingkan kulit, tubuh akan menyerap panas melalui radiasi

(Priyanto, 2016).

e. Penyakit

Penyakit atau trauma pada hipotalamus atau sumsum tulang belakang (yang

meneruskan pesan hipotalamus) akan mengubah kontrol suhu menjadi berat

(Kurniati, 2016.

f. Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan

Pakaian yang tidak tebal akan memaksimalkan kehilangan panas

(Adimayanti, 2016).

g. Peningkatan laju metabolism

Panas yang dihasilkan tubuh adalah hasil sampingan metabolisme, yaitu

reaksi kimia dalam seluruh sel tubuh. Aktivitas yang membutuhkan reaksi

kimia tambahan akan meningkatkan laju metabolik, yang juga akan

menambah produksi panas. Sehingga peningkatan laju metabolisme sangat

berpengaruh terhadap hipertermia (Priyanto, 2016).

10
h. Medikasi

Demam juga disebabkan oleh adanya bentuk hipersensitivitas terhadap

obat artinya alergi terhadap obat-obat tertentu (Widiastuti, 2016).

i. Trauma

Penyakit atau trauma pada hipotalamus atau sumsum tulang belakang

(yang meneruskan pesan hipotalamus) akan mengubah kontrol suhu menjadi

berat (Priyanto, 2016).

j. Aktivitas berlebihan

Gerakan volunter seperti aktivitas otot pada olahraga membutuhkan

energy tambahan. Laju metabolik meningkat saat aktivitas berlebih dan hal

ini menyebabkan peningkatan produksi panas hingga 50 kali lipat (Widiastuti,

2016).

5. Klasifikasi Hipertermi pada anak

Menurut Ismoedijanto (2019) dalam jurnalnya mengatakan bahwa

hipertermi merupakan salah satu gejala penyakit yang sering dianggap mudah

untuk diatasi namun masyarakat perlu memperhatikan klasifikasi hipertermi

yang mungkin bisa saja menyerang balita namun kita tidak memberikan

penanganan yang tepat kepada balita sehingga menyebabkan efek yang fatal

kepada balita sehingga membuat penyesalan diakhir, klasifikasi hipertermi

yang dimaksud dapat kita lihat pada penjelasan berikut:

11
a. Hipertermi yang disebabkan oleh peningkatan produksi panas

1) Hipertermi maligna

Hipertermi maligna biasanya dipicu oleh obat-obatan anesthesia. Hipertermi

ini merupakan miopati akibat mutasi gen yang diturunukan secara autocomal

dominan. Pada episode akut terhadi peningkatan kalsium intraseluler dalam

otot rangka sehingga terjado kekakuan otot dan hipertermi. Pusat pengatur

suhu di hipotalamus normal sehingga pemberian antipiretik tidak bermanfaat..

2) Exercise – onduced hipertermi

Hipertermi jenis ini dapat terjadi pada anak besar/remaja yang melakukan

aktivitas fisik insentif dan lama pada suhu cuaca yang panas. Pencegahan

dilakukan dengan pembatasan lama latihan fisik

3) Endocrine hipertemi

Kondisi metabolic/endokrin yang menyebabkan hipertemi lebih jarang

dijumpai pada anak dibandingkan dengan pada dewasa. Kelainan endokrin

yang sering dihubungkan dengan hipertermi antara lain hipertiroidisme yang

sering diketahui dering berhubungan dengan hipertermi

b. Hipertermi yang disebabkan oleh penurunan pelepasan panas

1) Hipertermi neonatal

Peningkatan suhu tubuh secara cepat pada hari kedua dan ketiga kehidupan

bisa disebabkan oleh:

a) Dehidrasi

Dehidrasi pada masa ini sering disebabkan oleh kehilangan cairan atau

paparan oleh suhu kamar yang tinggi, hipertermi jenis ini merupakan

12
penyebab kenaikan suhu ketiga setelah infeksi dan trauma lahir, karena

adanya perbedaan antara hipertermi akibat infeksi dan juga hipertermi akibat

kondisi lingkungan

b) Overheating

Pemakaian alat-alat penghangat yang terlalu panas, atau bayi terpapar sinar

matahari langsung dalam waktu yang lama

c) Trauma lahir

Hipertermi yang berhubungan dengan trauma lahir timbul pada 24% dari bayi

yang lahir dengan trauma, suhu tubuh akan menurun 1-3 hari tapi bisa juga

menetap dan menimbulkan komplikasi berupa kejang

d) Heat stroke

Tanda umum heat stroke adalah suhu tubuh > 40-50 oC atau sedikit lebih

rendah, kulit terasa kering dan panas, kelainan susunan saraf pusat,

takikardia, anak dengan serangan heat stroke harus mendapatkan perawatan

insenti di ICU, suhu tubuh harus segera diturunkan

e) Haemorrhargic Shock and Encephalopathy (HSE)

Gambaran klinis mirip dengan heat stroke tetapi tidak ada riwayat

penyelimutan berlebihan, kekurangan cairan, dan suhu udara luar yang tinggi.

f) Sudden Infant Death

Kematian bayi usia 1-12 bulan yang mendadak, tidak diduga dan tidak dapat

dijelaskan, kejadian yang mendahului sering berupa saluran nafas akut

dengan febris ringan yang fatal. Hipertermi diduga kuat berhubungan dengan

kejadian ini

13
6. Proses Pengaturan Suhu Tubuh

Mekanisme pengaturan suhu tubuh dibagi menjadi dua yaitu mekanisme

yang diaktifkan oleh dingin dan mekanisme yang diaktifkan oleh panas.

Mekanisme yang diaktifkan oleh dingin itu sendiri terdiri dari peningkatan

produksi panas (menggigil, lapar, peningkatan aktivitas voluntary

peningkatan sekresi norepinefrin dan epinefrin) dan penurunan pengeluaran

panas (vasokontriksi kulit, menggulung tubuh, dan horipilasi). Sedangkan

mekanisme yang diaktifkan oleh panas terdiri dari peningkatan pengeluaran

panas (vasodilatasi kulit, berkeringat, peningkatan pernapasan) dan

penurunan pembentukan panas (anoreksia, apati dan inersia) (Gobel, 2017).

Respons refleks yang diaktifkan oleh dingin dikontrol dari hipotalamus

posterior. Respons yang dihasilkan oleh panas terutama dikontrol dari

hipotalamus anterior, walaupun sebagian termoregulasi terhadap panas masih

tetap terjadi setelah deserebrasi setingkat rostral mesensefalon. Rangsangan

hipotalamus anterior menyebabkan terjadinya vasodilatasi kulit dan

pengeluaran keringat sehingga lesi di regio ini menyebabkan panas (Zahroh,

2017).

Pembentukan panas dapat berubah-ubah akibat pengaruh mekanisme

endokrin walaupun tidak terjadi asupan makanan atau gerakan otot yang

menjadi sumber utama panas. Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan

peningkatan pembentukan panas yang cepat namun singkat. Hormon tiroid

menimbulkan peningkatan yang lambat namun berkepanjangan (Harnani,

2019).

14
Sistem pengatur suhu tubuh terdiri atas tiga bagian yaitu reseptor yang

terdapat pada kulit dan bagian tubuh lainnya, integrator didalam hipotalamus,

dan efektor sistem yang mengatur produksi panas dengan kehilangan

panas.Reseptor sensori yang paling banyak terdapat pada kulit. Kulit

mempunyai lebih banyak reseptor untuk dingin dan hangat dibanding

reseptoryang terdapat pada organ tubuh lain seperti lidah, saluran pernafasan,

maupun organ visera lainnya. Bila kulit menjadi dingin melebihi suhu tubuh,

maka ada tiga proses yang dilakukan untuk meningkatkan suhu tubuh. Ketiga

proses tersebut yaitu menggigil untuk meningkatkan produksi panas,

berkeringat untuk menghalangi kehilangan panas, dan vasokontriksi untuk

menurunkan kehilangan panas (Haryanti, 2018).

Hipotalamus integrator sebagai pusat pengaturan suhu inti berada di

preoptik area hipotalamus.Bila sensitif reseptor panas di hipotalamus

dirangsang, efektor sistem mengirim sinyal yang memprakarsai pengeluaran

keringat danvasodilatasi perifer. Hal tersebut dimaksudkan untuk

menurunkan suhu, seperti menurunkan produksi panas dan meningkatkan

kehilangan panas. Sinyal dari sensitif reseptor dingin di hipotalamus

memprakarsai efektor untuk vasokontriksi, menggigil, serta melepaskan

epineprin yang meningkatkan metabolisme sel dan produksi panas.Hal

tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan produksi panas dan menurunkan

kehilangan panas (Anisa, 2019).

Efektor sistem yang lain adalah sistem saraf somatis. Bila sistem ini

dirangsang, maka seseorang secara sadar membuat penilaian yang cocok,

15
misalnya menambah baju sebagai respons terhadap dingin, atau mendekati

kipas angin bila kepanasan (Pratamawati, 2019).

7. Proses Terjadinya Hipertermi

Suhu tubuh dikontrol oleh pusat termoregulasi di hipotalamus, yang

mempertahankan suhu tubuh pada angka sekitar set point (370C). Suhu tubuh

diatur dengan mekanisme thermostat di hipotalamus.Mekanisme ini

menerima masukan dari reseptor yang berada di pusat dan perifer. Jika terjadi

perubahan suhu, reseptor-reseptor ini menghantarkan informasi tersebut ke

termostat, yang akan meningkatksaan atau menurunkan produksi panas untuk

mempertahankan suhu set point yang konstan. Akan tetapi, selama infeksi

substansi pirogenik menyebabkan peningkatan set point normal tubuh, suatu

proses yang dimediasi oleh prostaglandin. Akibatnya, hipotalamus

meningkatkan produksi panas sampai suhu inti (internal) mencapai set point

yang baru. Sebagai tambahan, terdapat kelompok reseptorpada hipotalamus

preoptik/anterior yang disuplai oleh suatu jaringan kaya vaskuler dan sangat

permeabel.Jaringan vaskuler yang khusus ini disebut organum vasculorum

laminae terminalis (OVLT).Sel-sel endotel OVLT ini melepaskan metabolit

asam arkidonat ketika terpapar pirogen endogen dari sirkulasi.Metabolit asam

arkidonat yang sebagian besar prostaglandin E2 (PGE2), kemudian diduga

berdifusi kedalam daerah hipotalamus preoptik/anterior dan mencetuskan

demam(Kurniawan, 2018).

16
8. Penatalaksanaan

Sebuah penyakit dengan penatalaksanaan yang tepat akan meringankan

gejala-gejala yang muncul, dalam penyakit hipertermi diperlukan penanganan

pertama bagi anak, penanganan yang tepat yaitu penatalaksanaan seperti

perilaku, farmakologi, dan non farmakologi.

a. Perilaku

Perilaku merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon/reaksi seorang

individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya

(Notoatmodjo, 2012).

Perilaku dalam hal ini merupakan perilaku orang tua terhadap penyakit

yang menimpa anak karena perilaku yang baik orang tua akan menghasilkan

pola asuh yang baik terhadap penyakit pada anak mulai dari cara memberikan

intervensi fisik berupa kompres dan tepide sponge agar dapat mengurangi

gejala yang ada pada anak (Widiastuti, 2016).

b. Farmakologi

Perawat sangat berperan penting untuk mengatasi hipertermia.Tindakan

mengatasi atau menurunkan suhu ini mencakup intervensi farmakologi dan

nonfarmakologi.Untuk terapi farmakologi obat antipiretik yang digunakan

untuk mengatasi demam antara lain asetaminofen, aspirin, dan obat-obat anti-

inflamasi nonsteroid (NSAID).Asetaminofen merupakan obat pilihan, aspirin

tidak diberikan pada anak-anak karena terdapat hubungan antara penggunaan

17
aspirin pada anak-anak dengan virus influenza atau cacar air dan sindroma

Reye. Penggunaan ibuprofen disetujui untuk menurunkan demam pada anak

yang berusia minimal 6 bulan.Dosis dihitung berdasarkan suhu awal, 5 mg/kg

BB untuk suhu kurang dari 39,1⁰C atau 10 mg/kg BB untuk suhu lebih dari

39⁰C.Durasi penurunan demam umumnya 6 – 8 jam.Dosis dapat diberikan

setiap 4 jam tetapi tidak lebih dari 5 kali dalam 24 jam. Suhu tubuh secara

normal menurun pada malam hari, 3 – 4 dosis dalam 24 jam biasanya cukup

untuk mengendalikan demam. Suhu diukur kembali 30 menit setelah

antipiretik diberikan untuk mengkaji efeknya (Ismoedijanto, 2019).

c. Nonfarmakologi

Strategi nonfarmakologis terdiri dari mempertahankan intake cairan yang

adekuat untuk mencegah dehidrasi.Intake cairan pada anak yang mengalami

demam ditingkatkan sedikitnya 30 – 50 ml cairan per jam (misalnya air putih,

jus buah, dan cairan tanpa kafein lainnya).Intervensi lainnya adalah memakai

pakaian yang berwarna cerah, melepas jaket atau tidak menggunakan baju

yang tebal, dan mengatur suhu ruangan yang sesuai (25,6⁰C).Dalam

mengatasi hipertermia juga bisa dengan melakukan kompres. Kompres

seluruh badan dengan air hangat dapat memfasilitasi pengeluaran panas, serta

dibutuhkan untuk meningkatkan keefektifan pemberian antipiretik.Namun

selama ini kompres dingin atau es menjadi kebiasaan para ibu saat anaknya

demam.Selain itu, kompres alkohol juga dikenal sebagai bahan untuk

mengompres.Namun kompres menggunakan es sudah tidak dianjurkan karena

pada kenyataan demam tidak turun bahkan naik dan dapat menyebabkan anak

18
menangis, menggigil, dan kebiruan. Metode kompres yang lebih baik adalah

kompres tepid sponge (Ismoedijanto, 2019).

Kompres tepid sponge merupakan kombinasi teknik blok dengan seka.

Teknik ini menggunakan kompres blok tidak hanya disatu tempat saja,

melainkan langsung dibeberapa tempat yang memiliki pembuluh darah besar.

Selain itu masih ada perlakuan tambahan yaitu dengan memberikan seka

dibeberapa area tubuh sehingga perlakuan yang diterapkan terhadap klien ini

akan semakin komplek dan rumit dibandingkan dengan teknik yang lain.

Namun dengan kompres blok langsung diberbagai tempat ini akan

memfasilitasi penyampaian sinyal ke hipotalamus lebih gencar. Selain itu

pemberian seka akan mempercepat pelebaran pembuluh darah perifer akan

memfasilitasi perpindahan panas dari tubuh kelingkungan sekitar yang akan

semakin mempercepat penurunan suhu tubuh (Ismoedijanto, 2019).

B. Tinjauan Pustaka Tentang Pengetahuan Hipertermi

1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan berasal dari kata “tahu”, dalam Widiastuti (2016) kata tahu

memiliki arti antara lain mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami,

dan sebagainya), mengenal dan mengerti. pengetahuan merupakan segala

sesuatu yang diketahui berdasarkan pengalaman manusia itu sendiri dan

pengetahuan akan bertambah sesuai dengan proses pengalaman yang

dialaminya.

Sedangkan menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan adalah hasil dari

tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu

19
objek. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yakni, indera

pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan dan perabaan. Sebagian

pengetahuan manusia didapat melalui mata dan telinga.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan pengetahuan

merupakan segala sesuatu yang dilihat, dikenal, dimengerti terhadap suatu

objek tertentu yang ditangkap melalui pancaindera yakni, indera

pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan dan perabaan.

Pengetahuan tentang Hipertermi oleh orang tua balita berguna untuk

menunjukkan kesiapan orang tua dalam merawat bayi yang menderita

hipertermi agar dapat memberikan pelayanan yang tepat karena

2. Pengetahuan Ibu Tentang Hipertermi

Hipertermia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan kematian mendadak

apabila terlambat mendapat perawatan, tubuh bayi belum dapat melakukan

adaptasi dengan lingkungan luar secara sempurna. Hal ini menyebabkan

mereka sangat rentan terinfeksi virus atau bakteri penyebab penyakit.

Hipertermia pada bayi baru lahir ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh

secara ekstrim. Untuk bayi usia 0-3 bulan kondisi suhu tubuh normal berada

antara 36-37,5°C, suhu tubuh diatas angka normal tersebut dapat menjadi

salah satu gejala hipertermia (Kristianingsih, 2019).

Hipertermia berbeda dengan kondisi hipotermia. Jika hipotermia adalah

kondisi dimana suhu kurang dari normal, maka pada hipertermia suhu tubuh

melebihi normal, Saat mengalami kenaikan suhu, tubuh akan melakukan

mekanisme pendinginan seperti mengeluarkan keringat agar kembali dingin.

20
Namun, bila suhu diluar terlampau panas (bisa karena cuaca atau area kerja

berada dekat sumber panas pada orang dewasa) hingga tubuh sendiri tidak

mampu mendinginkan maka terjadilah hipertermia (Gobel, 2017).

Hipertermia pada bayi baru lahir sendiri dapat dipicu oleh suhu lingkungan

terlalu tinggi (bisa juga akibat pengaturan suhu mesin inkubator yang tidak

sesuai), demam saat hamil, bius epidural, terapi cahaya seperti dengan

memanfaatkan sinar matahari, berlebihan saat membedong atau menyelimuti

bayi (lapisan kain terlalu tebal), infeksi virus atau bakteri, gangguan terkait

sistem saraf pusat seperti asfiksia, atau dehidrasi (Dewi, 2017).

Segera minta bantuan tenaga medis atau dokter apabila terdapat gejala-

gejala hipotermia seperti berikut:

a. Saat suhu tubuh diukur lebih dari 37,5°C

b. Mudah menangis (rewel)

c. Wajah memerah

d. Kulit kering

e. Berkeringat banyak

f. Lemas, lesu

g. Apabila suhu mencapai lebih dari 41°C, bayi bisa pingsan atau koma

Hipertermia pada bayi baru lahir juga kemungkinan disebabkan oleh

infeksi yang menyebabkan timbulnya sepsis, meningitis, bronkiolitis, radang

usus buntu, atau lainnya, oleh sebab itu, bila terjadi demam hingga lebih dari

3 hari dan suhu tubuh tidak kunjung turun, segera ke fasilitas kesehatan

terdekat untuk mencegah hipertermia pada bayi baru lahir, perlu digaris

21
bawahi bahwa pembeda antara hipertermia dan demam biasa terletak pada

pencetusnya (Adimayanti, 2016).

Pada sakit demam biasa, bagian otak bernama hipotalamus akan

meningkatkan suhu tubuh sebagai perlawanan agar virus dan bakteri tidak

dapat bertahan hidup lama-lama. Jika situasi tersebut telah berlalu, maka otak

akan mengirim sinyal untuk mengembalikan suhu tubuh ke normal.

Sedangkan hipertemia diakibatkan oleh respon tubuh terhadap lingkungan

luar hingga mekanisme pendinginan seperti berkeringat tidak cukup untuk

menstabilkan suhu badan. Apabila terjadi hipertermia pada bayi baru lahir

(Widiastuti, 2016).

Berikut beberapa langkah yang bisa dicoba agar tidak bertambah parah:

a. Letakkan bayi dalam ruangan sejuk dengan suhu 25-28°C.

b. Jauhkan dari sumber panas seperti cahaya matahari misalnya.

c. Lepaskan sebagian atau seluruh pakaian bayi sesuai kebutuhan.

d. Terus berikan ASI sesering mungkin agar tidak kekurangan cairan dan energi.

e. Bila suhu tubuh bayi lebih dari 39°C, berikan kompres dengan air biasa,

jangan gunakan air dingin atau es batu.

f. Bila memungkinkan, periksa suhu tubuh bayi setiap jam, gunakan termometer

agar dapat terpantau dengan baik.

Hipertermia sama membahayakannya dengan hipotermia. Bila lokasi ibu

dan bayi masih berada di tempat bersalin seperti rumah sakit, jadilah

kooperatif dengan tenaga medis, jika bayi mengalami hipertermia ketika

sudah berada di rumah atau lokasi lain, akan lebih baik jika memanggil dokter

22
ke tempat untuk mengurangi paparan sinar matahari atau pemicu panas lain

saat dalam perjalanan (Setyani, 2018).

3. Tinjauan Umum Tentang Sikap Terhadap Hipertermi

1. Definisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup

terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat

dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-

tidak baik, suka-tidak suka, dan sebagainya (Kristianingsih, 2019).

2. Tingkatan sikap

Menurut Haryanti (2018), sikap mempunyai tingkatan berdasarkan

intensitasnya, sebagai berikut :

a. Menerima (receiving)

Menerima merupakan seseorang atau subjek yang mau menerima dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya, sikap seorang ibu

yang sedang melakukan pemeriksaan kehamilan (ante natal care), dapat

dilihat dari kesediaan dan perhatian ibu terhadap penyuluhan tentang ante

natal care di lingkungannya.

b. Menanggapi (responding)

Menanggapi dapat diartikan memberikan sebuah jawaban atau tanggapan

terhadap pertanyaan yang diberikan. Karena dengan menjawab pertanyaan

dan mengerjakan tugas yang dberikan berati orang tersebut telah menerima

suatu ide. Misalnya, seorang siswa yang mengikuti penyuluhan tentang

23
bullying, ketika ditanya atau diminta untuk menanggapi oleh penyuluh, siswa

tersebut mampu menjawab atau menanggapinya.

c. Menghargai (valuing)

Menghargai merupakan seseorang (subjek) yang memberikan nilai yang

positif terhadap stimulus atau objek tertentu. Dalam hal ini, mengajak orang

lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah tertentu. Misalnya,

seorang ibu yang mengajak tetangganya untuk menghadiri penyuluhan

kesehatan tentang ante natal care, atau mendiskusikan tentang ante natal

care, adalah suatu bukti bahwa ibu tersebut telah mempunyai sikap positif

terhadap penyuluhan kesehatan.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab dapat diartikan segala sesuatu yang telah dipilih

berdasarkan keyakinan dan harus berani mengambil risiko. Bertanggung

jawab merupakan sikap yang paling tinggi tingkatannya. Misalnya, seorang

ibu yang sudah mau mengikuti penyuluhan kesehatan tentang ante natal care,

dia harus berani untuk mengorbankan waktunya, atau mungkin kehilangan

penghasilannya karena pekerjaan yang ditinggalkan, atau dimarahin oleh

suaminya karena meninggalkan rumah dan anaknya. Sikap ibu tersebut

termasuk bertanggung jawab, siap menerima risiko terhadap pilihannya

karena mengikuti kegiatan penyuluhan tersebut.

3. Sikap Ibu Terhadap Hipertermi

Saat terjadi hipotermia pada bayi, penggunaan oksigen akan meningkat 10

persen agar menghasilkan lebih banyak kehangatan tubuh. Peningkatan itu

24
akan memberi tekanan besar pada tubuh bayi yang menderita hipertermi.

Dalam beberapa kasus, suhu tubuh yang rendah bahkan dapat menyebabkan

kematian, meskipun ini sangat jarang terjadi (Setiawati, 2016).

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengukur suhu tubuhnya. Suhu

rektal mungkin lebih akurat, tetapi jika ibu balita tidak memiliki termometer

rektal, pakai termometer aksila pun tidak megapa kemudian gunakan selimut

hangat untuk mengeringkan bayi dan lakukan skin to skin contact. Bisa juga

tambahkan kehangatan dengan lampu atau bed warmer (Purwaningsih H,

2019).

Suhu tubuh yang lebih rendah dari 36,5 °C membuat bayi berisiko lebih

tinggi untuk infeksi, memiliki masalah pernapasan, dan adanya gangguan

pembekuan darah. Jika suhu bayi rendah dan Moms tidak dapat

meningkatkan suhunya dengan menambahkan pakaian dan menggunakan

panas tubuh Moms dengan skin to skin contact, segera hubungi dokter anak.

Cek suhu tubuh Si Kecil secara berkala agar bisa memastikan tindakan yang

diperlukan untuk mencegah bayi terkena hipotermia (Prasetyo, 2017).

Ibu sebagai perawat yang pertama bagi anak ketika terjadi hipertermi pada

anak sebaiknya melakukan skin to skin kepada anak agar suhu yang ada pada

anak dapat disesuaikan dengan suhu pada ibu seperti hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat penurunan suhu tubuh pada bayi demam

sesudah dilakukan skin to skin contact (PMK) dengan rata-rata penurunan

suhu tubuh sebesar 0,50710C. Hal ini membuktikan bahwa metode skin to

25
skin contact (PMK) mempunyai manfaat untuk mengurangi suhu tubuh pada

bayi demam (Purwaningsih H, 2019).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih H (2019)

menemukan bahwa dengan skin to skin contact (PMK) maka bayi akan lebih

merasa nyaman karena dapat mendengar detak jantung ibunya yang pada

akhirnya metode skin to skin contact (PMK) ini lebih cepat dalam

menstabilkan suhu tubuh bayi. Keuntungan dan manfaat skin to skin contact

(PMK) yang lainnya adalah mempercepat pengeluaran Air Susu Ibu (ASI)

dan meningkatkan keberhasilan menyusui, perlindungan bayi dari infeksi

serta memberikan stimulasi dini.

Teori yang mendukung hasil penelitian ini adalah yang diungkapkan oleh

Pratamawati (2019) bahwa perawatan metode kanguru efektif dalam

mengontrol suhu tubuh bayi. Termoregulasi merupakan salah satu tugas yang

paling berat saat bayi baru lahir beradaptasi pada lingkungan ekstra uterin.

Suhu tubuh bayi menjadi menurun ketika ia menyusu pada ibunya dengan

menggunakan metode skin to skin contact (PMK).

Dengan uji t-test dependent diperoleh angka signifikansi (nilai p) = 0,000

dimana α (0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

secara bermakna suhu tubuh pada bayi demam sesudah dilakukan skin to skin

contact (PMK) dengan p value 0,000 < α (0,05). Analisis tersebut

menunjukkan bahwa skin to skin contact (PMK) merupakan alternatif

pengganti inkubator, adapun kelebihannya antara lain merupakan cara yang

efektif untuk memenuhi kebutuhan bayi yang paling mendasar yaitu adanya

26
kontak kulit bayi ke kulit ibu, dimana tubuh ibu akan menjadi termoregulator

bagi bayi (Soni et al., 2017)

Berdasarkan hasil penelitian dapat teridentifikasi beberapa penyebab

peningkatan suhu tubuh bayi yaitu karena ISPA, ISK, gastroenteritis dan

bronkopneumonia. Penyebab-penyebab tersebut tergolong dalam penyebab

demam karena infeksi. Data ini didapatkan pada lembar kuesioner yang

tertera pada item diagnosa penyakit/ medis. Hasil penelitian ini dapat

dikatakan bahwa skin to skin contact (PMK) dapat menurunkan suhu tubuh

bayi yang mengalami demam karena infeksi ringan. Bayi setelah dilakukan

skin to skin contact (PMK) akan terjadi penurunan set point pada pusat

pengatur suhu, keadaan ini membuat aliran darah ke kulit meningkat sehingga

bayi tersebut akan merasa kepanasan dan mengeluarkan keringat banyak

(Sherwood, 2011).

4. Tinjauan Umum Tentang Anak Prasekolah

1. Pengertian Anak Prasekolah

Periode prasekolah mendekati tahun antara 3 dan 6 tahun. Anak-anak

menyempurnakan penguasaan terhadap tubuh mereka. Perkembangan fisik

pada anak usia prasekolah berlangsung menjadi lambat, dimana

perkembangan kognitif dan psikososial terjadi cepat (Haryani, 2018).

Anak usia prasekolah mempunyai usia 3-5 tahum. Pencapaian

perkembangan anak usia prasekolah yaitu biologis, psikososial, kognitif,

spiritual, dan sosial. keberhasilan pencapaiaan tingkat pertumbuhan dan

perkembangan sebelumnya sangat penting bagi anak prasekolah untuk

27
memperluas tugas-tugas yang telah mereka kuasai selama masa toddler

(Adimayanti, 2016).

Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anak usia

prasekolah adalah anak yang berusia antara 3-6 tahun dengan ciri

perkembangan fisik yang lambat dan perkembangan kognitif dan psikososial

yang cepat. pertumbuhan dan perkembangan anak prasekolah sangat

ditentukan dari keberhasilannya dalam pencapaian pertumbuhan dan

perkembangan selama masa toddler.

1. Karakteristik Perkembangan Anak Prasekolah

a. Perkembangan Fisik

Saat berusia 3-5 tahun, anak terlihat lebih tinggi dan lebih kurus. Dari usia

toddler anak cenderung bertambah tinggi bukan bertambah berat. Saat berusia

5 tahun, ukuran otak anak prasekolah hampir menyamai ukuran otak individu

dewasa. Ekstremitas tumbuh lebih cepat daripada batang tubuh, menyebabkan

tubuh anak tampak tidak proporsional (Priyanto, 2016).

1) Berat badan

Anak prasekolah hanya mengalami kenaikan sebanyak 3-5 kg dari berat

badan saat mereka berusia 3 tahun, sehingga berat badan mereka hanya

mencapai kurang lebih 18-20 kg (Ismoedijanto, 2019).

2) Tinggi badan

Anak prasekolah tumbuh sekitar 25 cm setiap tahunnya. Dengan demikian,

setelah usia 5 tahun, tinggi badan mereka menjadi dua kali panjang badan

lahir, yaitu sekitar 100 cm (Zahroh, 2017).

28
3) Kemampuan motorik

Anak prasekolah mampu mencuci tangan dan wajah, serta menyikat gigi

mereka. Mereka merasa malu untuk memperlihatkan tubuh mereka. Biasanya,

anak prasekolah berlari dengan keterampilan yang meningkat setiap

tahunnya. Setelah usia 5 tahun, anak berlari dengan sangat terampil dan dapat

melompat tiga langkah. Anak prasekolah dapat berdiri seimbang di atas jari-

jari kaki dan dapat mengenakan pakaian tanpa bantuan (Harmani, 2019).

b. Perkembangan psikososial

Krisis perkembangan anak usia prasekolah adalah inisiatif versus rasa

bersalah. Anak prasekolah harus memecahkan masalah sesuai hati nurani

mereka. Kepribadian mereka berkembang. Erikson memandang krisis pada

masa ini sebagai sesuatu yang penting bagi perkembangan konsep diri. Anak

prasekolah harus belajar dengan apa yang dapat mereka lakukan. Akibatnya

anak prasekolah meniru perilaku, dan imajinasi serta kreativitasnya menjadi

hidup (Anisa, 2019).

c. Perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif anak prasekolah merupakan fase pemikiran

intuitif. Anak masih egosentrik, tetapi egosentrisme perlahan-lahan berkurang

saat anak menjalani dunia mereka yang semakin berkembang. Anak

prasekolah belajar melalui trial and error dan hanya memikirkan 1 ide pada

satu waktu. Sebagian besar anak yang berusia 5 tahun dapat menghitung uang

koin. Kemampuan membaca juga mulai berkembang pada usia ini. Anak

29
menyukai dongeng dan buku-buku mengenai binatang dan lainnya

(Kurniawan, 2018).

d. Perkembangan moral

Anak prasekolah mampu berperilaku prososial, yakni setiap tindakan yang

dilakukan individu agar bermanfaat bagi orang lain. Perilaku moral biasanya

dipelajari melalui upaya meniru, mula-mula orang tua dan kemudian orang

terdekat lainnya. Anak parsekolah mengontrol perilaku mereka karena

mereka menginginkan cinta dan persetujuan dari orang tua. Biasanya mereka

berperilaku baik di tatanan sosial (Setiawati, 2016).

e. Perkembangan spiritual

Anak yang berusia 4-6 tahun berada pada tahap perkambangan intuitif-

proyektif. Pada tahap ini, kepercayaan merupakan hasil didikan orang-orang

terdekat, seperti orang tua atau guru. Anak mulai belajar meniru perilaku

religius, contohnya, menundukkan kepala saat berdoa, meskipun mereka tidak

memahami makna perilaku tersebut. Anak prasekolah membutuhkan

penjelasan sederhana mengenai masalaah spiritual seperti yang terdapat

dalam buku bergambar, anak seusia ini menggunakan imajinasi mereka untuk

mewujudkan berbagai gagasan, seperti malaikat atau setan (Setiawati, 2016).

f. Perkembangan bahasa

Anak usia 2-5 tahun dalam perkembangan bahasanya berada pada fase

diferensiasi. Pada fase ini keterampilan anak dalam berbicara mulai lancar

dan berkembang pesat. Anak telah mampu mempergunakan kata ganti orang

“saya” untuk menyebut dirinya, mampu mempergunakan kata dalam bentuk

30
jamak, awalan, akhiran, dan berkomunikasi lebih lancar lagi dengan

lingkungan. Anak mulai dapat mengkritik, bertanya, menjawab, memerintah,

dan memberitahu (Setyani, 2018).

b. Perkembangan emosi

Anak prasekolah berada dalam masa perkembangan kepribadian yang

unik, anak sering tampak keras kepala, menjengkelkan, dan melawan orang

tua. Anak mulai berkenalan serta belajar menghadapi rasa kecewa saat apa

yang dikehendaki tidak terpenuhi. Rasa kecewa, marah, sedih merupakan

suatu yang wajar dan natural. Pada masa prasekolah berkembang juga

perasaan harga diri yang menuntutpengakuan dari lingkungannya. Jika

lingkungannya (orang tua) tidak mengakui harga diri anak, seperti

memperlakukan anak secara keras, atau kurang menyayanginya, maka pada

diri anak akan berkembang sikap-sikap antara lain keras kepala atau

menentang, menyerah menjadi penurut, harga diri kurang, serta pemalu

(Wardiyah, 2016).

Emosi adalah reaksi internal atau perasaan, bersifat positif dan negatif, dan

menyiapkan individu untuk bertindak. Afek adalah ekspresi keluar dari emosi

melalui raut muka, gerakan tubuh, intonasi, dan vokalisasi. Emosi memiliki

peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, baik pada usia

prasekolah maupun pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya, karena

memiliki pengaruh terhadap perilaku anak. Menurut Haryani (2018) Anak

memiliki kebutuhan emosional, yaitu:

31
1) Dicintai

2) Dihargai

3) Merasa aman

4) Merasa kompeten

5) Mengoptimalkan kompetensi

Menurut Arie (2016) anak mengkomunikasikan emosi melalui verbal,

gerakan dan bahasa tubuh. Bahasa tubuh ini perlu kita cermati karena bersifat

spontan dan seringkali dilakukan tanpa sadar. Dengan memahami bahasa

tubuh, kita dapat memahami pikiran, ide, tingkah laku serta perasaan anak.

Bahasa tubuh yang dapat diamati antara lain :

1) Ekspresi wajah

2) Napas

3) Ruang gerak

4) Pergerakan tangan dan lengan

Pada usia prasekolah anak-anak belajar menguasai dan mengekspresikan

emosi. Pada usia 6 tahun anak-anak memahami konsep emosi yang lebih

kompleks, seperti kecemburuan, kebanggaan, kesedihan dan kehilangan,

tetapi anak-anak masih memiliki kesulitan di dalam menafsirkan emosi orang

lain. Pada tahapan ini anak memerlukan pengalaman pengaturan emosi, yang

mencakup:

1) Kapasitas untuk mengontrol dan mengarahkan ekspresi emosional

2) Menjaga perilaku yang terorganisir ketika munculnya emosi-emosi yang kuat

dan untuk dibimbing oleh pengalaman emosional (Harnani, 2019)

32
Menurut Sochib (2018) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi

perkembangan emosi anak yaitu:

1) Keadaan anak

Keadaan individu pada anak, misalnya cacat tubuh ataupun kekurangan

pada diri anak akan sangat mempengaruhi perkembangan emosiaonal anak,

bahkan akan berdampak pada lebih jauh pada kepribadian anak. misalnya

rendah diri, mudah tersinggung, atau menarik diri dari lingkungan.

2) Jenis kelamin anak

Perbedaan jenis kelamin akan mempengaruhi perkembangan emosi

terutama karena perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan. Peran

jenis kelamin dan tuntutan sosial sesuai jenis kelamin juga akan

mempengaruhi perkembangan emosi anak.

3) Faktor belajar

Pengalam belajar anak dari lingkungan akan menentukan reaksi potensial

mana yang akan digunakan anak untuk marah.

4) Konflik-konflik dalam proses perkembangan

Setiap anak melalui berbagai konflik dalam menjalani fase-fase

perkembangan yang pada umumnya dapat dilalui dengan baik. Namun, jika

anak tidak dapat mengatasi konflik-konflik tersebut, biasanya mengalami

gangguan-gangguan emosi.

5) Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak.

berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan keluarga maka akan

33
menentukan pola perilaku anak terhadap orang lain dalam lingkungannya.

Dalam pembentukan kepribadaian anak, keluarga mempunyai pengaruh yang

besar dalam perkembangan emosi anak. Banyak faktor dalam keluarga yang

ikut berpengaruh dalam perkembangan emosi seorang anak, antaranya yaitu

pola asuh orang tua, pola komunikasi dalam keluarga, dan tingkat pendidikan

orang tua.

Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya.

Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah

maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang

tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap perilaku anaknya

(Sochib, 2018).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap

anak menurut Sochib (2018) adalah

1) Kesamaan dengan disiplin yang digunakan oleh orang tua

Jika orang tua mereka memberikan pola asuh yang baik maka akan mereka

terapkan juga pada anak mereka.

2) Penyesuaian dengan cara yang disetujui oleh kelompok

Semua orang tua lebih dipengaruhi oleh apa yang anggota keluarga

katakan sebagai cara terbaik, daripada oleh pendirian mereka sendiri

mengenai apa yang terbaik.

3) Usia orang tua

Orang tua yang lebih muda cenderung demokratis dan permisif

dibandingkan dengan mereka yang tua. Mereka cenderung kurang kendali

34
kendali terhadap anaknya. Kesiapan orang tua dalam menjalankan pola

pengasuhan dapat dilakukan dengan pendidikan yang baik, selain itu rentang

usia orang tua terlalu muda atau muda maka tidak dapat menjalankan peran

tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikologis

4) Pendidikan untuk menjadi orang tua

Orang tua yang belajar cara mengasuh anak dan mengerti kebutuhan anak

akan lebih menggunakan pola asuh yang demokratis daripada orang tua yang

tidak mengerti cara pengasuhana anak.

5) Jenis kelamin

Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibanding

pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk orang tua

maupun pengasuh lainnya.

6) Status sosial ekonomi

Orang tua dari kalangan menengah ke bawah akan lebih otoriter dan

memaksa daripada mereka yang dari menengah ke atas. Kebutuhan ekonomi

sering sekali menuntut kedua orang tua terpaksa harus bekerja dan

meninggalkan anaknya untuk bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga,

sehingga pengasuhan dan interaksi dengan anak lebih sedikit Kaakinen,

(2010) dalam Livana (2019).

7) Konsep mengenai peran orang dewasa

Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang

tua, cenderung lebih otoriter dibandingkan orang tua yang telah menganut

konsep modern.

35
8) Jenis kelamin anak

Orang tua pada umumnya akan lebih keras terhadap anak perempuan

daripada terhadap anak laki-lakinya.

9) Usia anak

Pola asuh yang lebih sering digunakan oleh orang tua terhadap anak yaitu

pola asuh otoriter, karena anak-anak tidak mengerti penjelasan sehingga

mereka memusatkan perhatian pada pengendalian otoriter.

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak

Pada umumnya anak memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan

normal dan merupakan hasil interaksi banyak faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak.

Secara umum Sochib (2018) mengemukakan bahwa terdapat dua faktor

utama yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak yaitu faktor internal

dan faktor eksternal:

a. Faktor Internal

1) Ras atau etnik atau Bangsa

Anak yang dilahirkan dari ras atau bangsa Amerika, tidak memiliki faktor

herediter ras atau bangsa Indonesia, begitu pula sebaliknya.

2) Keluarga

Ada kecenderungan keluarga yang memiliki postur tubuh yang tinggi,

pendek, gemuk atau kurus.

36
3) Umur

Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal, tahun

pertama kehidupan dan masa remaja.

4) Jenis kelamin

Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang lebih cepat daripada

anak laki-laki. Akan tetapi setalah melewati masa pubertas, pertumbuhan

anak laki-laki akan lebih cepat bila dibandingkan dengan anak perempuan.

5) Genetik

Genetik adalah bawaan anak yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri

khasnya. Ada beberapa kelainan genetik yang berpengaruh pada tumbuh

kembang anak, misalnya yaitu kekerdilan.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak

antaranya:

1) Faktor Prenatal

a) Gizi

Nutrisi ibu hamil terutama dalam trimester akhir kehamilan akan

mempengaruhi perkembangan janin.

b) Kelainan Imunologi

Eritroblastosis Fetalis timbul atas dasar perbedaan golongan darah antara

janin dan darah ibu, sehingga ibu membentuk antibodi terhadap sel darah

merah janin,kemudian melalui plasenta masukkedalam perdaran darah janin

dan menyebabkan hemolisis yang selanjutnya mengakibatkan

37
hiperbilirubinemia dan kernikterus yang akan menyebabkan kerusakan

jaringan otak.

c) Psikologi ibu

Kehamilan yang tidak diinginkan serta perlakuan salah atau kekerasan

mental pada ibu hamil dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan

perkembangan janin selama dalam kandungan.

d) Faktor persalinan

Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala dan asfiksia dapat

menyebabkan kerusakan otak, karena kurangnya asupan oksigen dalam otak.

Sehingga tumbuh kembang anak dapat terhambat.

e) Faktor Pasca Persalinan

Pasca persalinan juga dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak yaitu:

a) Gizi

Untuk tumbuh kembang anak, diperlukan zat makanan yang adekuat, agar

anak menjadi lebih sehat dan dapat berkembang sesuai dengan usianya.

b) Psikologis

Hubungan anak dengan orang sekitarnya. Seorang anak yang tidak

diinginkan oleh orangtuanya atau anak yang selalu merasa tertekan akan

mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan pekembangannya.

38
c) Sosial Ekonomi

Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makanan serta kesehatan

lingkungan yang jelek dan ketidaktahuan, hal tersebut dapat menghambat

pertumbuhan anak.

d) Lingkungan Pengasuhan

Pada lingkungan pengasuhan, interaksi antar ibu dan anak sangat

mempengaruhi tumbuh kembang anak. Karena orangtua adalah orang

terdekat anak, sehingga sangat diperlukan adannya hubungan yang baik

antara orangtua dengan anak.

e) Stimulasi

Perkembangan memerlukan rangsangan atau stimulasi, khususnya dalam

keluarga misalnya yaitu penyediaan mainan, sosialisasi anak, serta

keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain terhadap kegiatan anak

39
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti

Sebuah penyakit dengan penatalaksanaan yang tepat akan meringankan

gejala-gejala yang muncul, dalam penyakit hipertermi diperlukan penanganan

pertama bagi anak, penanganan yang tepat yaitu penatalaksanaan seperti

perilaku, farmakologi, dan non farmakologi.

1. Perilaku

Perilaku merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon/reaksi seorang

individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya

(Notoatmodjo, 2012).

Perilaku dalam hal ini merupakan perilaku orang tua terhadap penyakit

yang menimpa anak karena perilaku yang baik orang tua akan menghasilkan

pola asuh yang baik terhadap penyakit pada anak mulai dari cara memberikan

intervensi fisik berupa kompres dan tepide sponge agar dapat mengurangi

gejala yang ada pada anak (Widiastuti, 2016).

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan terjadi melalui

pancaindera manusia yakni, indera pendengaran, penglihatan, penciuman,

perasaan dan perabaan. Sebagian pengetahuan manusia didapat melalui mata

dan telinga.

40
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup

terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat

dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-

tidak baik, suka-tidak suka, dan sebagainya (Kristianingsih, 2019).

B. Variabel – variabel yang akan di teliti

Berdasarkan uraian diatas maka pola kerangka pikir dalam penelitian ini

yaitu:

Pengetahuan
Hipertermi Pada
Anak Usia Pra-
Sikap Sekolah

Variabel Independent Variabel Dependent

C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Hipertermi pada anak usia pra-sekolah

a. Defenisi Operasional

Hipertermi pada anak usia pra-sekolah yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah adanya gejala-gejala peningkatan suhu tubuh terus menerus diatas

37,8°C per oral pada anak usia pra-sekolah

b. Kriteria Objektif

Hipertermi : apabila ada gejala kenaikan suhu tubuh naik sampai ≥ 37,8

Normal : apabila tidak ada gejala kenaikan suhu tubuh

2. Pengetahuan

41
a. Defenisi Operasional

Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil dari tahu

responden tentang penanganan kejadian Hipertermi pada anak usia pra

sekolah

b. Kriteria Objektif

Cukup : jika responden menjawab ya ≥ 50% dari total pertanyaan

Kurang : jika responden menjawab ya < 50% dari total pertanyaan

3. Sikap

a. Defenisi Operasional

Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapat responden

tentang tata cara penanganan kejadian Hipertermi pada anak usia pra sekolah

b. Kriteria Objektif

Positif : jika responden berpendapat positif ≥ 62,5% dari total pertanyaan

Negatif : jika responden berpendapatpositif< 62,5% dari total pertanyaan

42
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif

dengan pendekatan Observasional untuk menggambarkan pengetahuan dan

sikap ibu dalam menangani Hipertermi pada anak usia pra-sekolah di

Kelurahan Tamamaung Kecamatan Panakkukang Kota Makassar Provinsi

Sulawesi Selatan .

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Tamamaung Kecamatan

Panakkukang Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 10 Maret – 10 April 2021.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang memiliki

anak dan pernah merasakan gejala hipertermi saat sakit menyerang, data yang

berhasil didapatkan oleh peneliti di Puskesmas Tamamaung ada sebanyak 83

orang anak yang pernah merasakan hipertermi dan telah dilakukan

pengobatan baik dari orang tua maupun tenaga kesehatan yang bertugas di

Puskesmas Tamamaung.

43
2. Sampel

Sampel di peroleh dengan menggunakan teknik Total Sampling yaitu

populasi yang dijadikan sampel karena populasi kurang dari 100 dengan

asumsi akan lebih mewakili jawaban yang sesuai dengan tujuan dari

penelitian (Notoadmodjo, 2012).

Sampel dalam penelitian ini diambil secara keseluruhan dari populasi yang

ada yaitu sebanyak 83 orang

D. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kuantitatif

adapun sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder.

1. Data primer

Data ini diperoleh melalui wawancara langsung terhadap pasien yang

menjadi responden dengan menggunakan instrumen penelitian berupa

kuesioner penelitian.

2. Data Sekunder

Data diperoleh dari bagian rekam medik di Puskesmas Tamamaung

Kecamatan Panakukang Kota Makassar dan hanya mengambil pasien yang

berdomisili di Kelurahan Tamamaung.

E. Pengolahan Data

Data yang diperoleh diolah secara komputerisasi dengan menggunakan

aplikasi SPSS untuk memudahkan peneliti dalam mengolah data dengan

44
analisis distribusi frekuensi untuk menggambarkan persentase hasil penelitian

dengan mudah

F. Analisis Data

1) Analisis univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan

cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan dalam penelitian

yaitu dengan melihat gambaran distribusi frekuensinya dalam bentuk tabel

(Notoadmodjo, 2012).

G. Penyajian Data

Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi disertai dengan narasi untuk

memberikan gambaran seputar hasil penelitian yang didapatkan

H. Etika Penelitian

Etika Penelitian meliputi:

1. Informed Consent (lembar persetujuan)

Diberikan kepada subyek yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud

dan tujuan riset yang dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi selama

dan sesudah pengumpulan data. Jika responden bersedia diteliti maka mereka

harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika responden menolak

untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghargai hak-

haknya.

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak boleh

mencamtumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, cukup

45
dengan memberi kode pada masing-masing lembar tersebut.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti hanya kelompok

data tertentu saja akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset.

46
BAB V
HASIL DAN PEMBASAN
A. Hasil Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Tamamaung Kecamatan

Panakkukang Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan yang dilakukan pada

tanggal 10 Maret – 10 April 2021 dengan mengambil sampel sebanyak 83

responden dengan teknik total sampling karena populasi yang dimiliki tidak

mencapai 100 orang, Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat

yang memiliki anak dan pernah merasakan gejala hipertermi saat sakit

menyerang, data yang berhasil didapatkan oleh peneliti di Puskesmas

Tamamaung ada sebanyak 83 orang anak yang pernah merasakan hipertermi

dan telah dilakukan pengobatan baik dari orang tua maupun tenaga kesehatan

yang bertugas di Puskesmas Tamamaung.

Data yang telah didapatkan kemudian diolah dengan komputerisasi

menggunakan aplikasi SPSS 16.0 dengan analisis univariat yang bertujuan

untuk mendapatkan gambaran dari variabel penelitian yang ingin diteliti, hasil

yang telah didapatkan disajikan dalam bentuk tabel yang disertai narasi untuk

memudahkan peneliti agar penelitian ini lebih terarah dan mudah dipahami,

hasil penelitian yang telah didapatkan yang disajikan dalam bentuk tabel

disertai narasi bisa dilihat pada paparan hasil penelitian sebagai berikut:

47
1. Karakteristik Responden

Tabel 1
Distribusi Karakteristik Responden Di Kelurahan
Tamamaung Kecamatan Panakukang
Kota Makassar
Tahun 2021

Variabel n %
Umur Responden
15-20 Tahun 8 9,6
21-30 Tahun 56 67,5
31-40 Tahun 19 22,9
Pendidikan Terakhir
Tidak Tamat Sekolah 4 4,8
SD 9 10,8
SMP 20 24,1
SMA 47 56,6
Perguruan Tinggi 3 3,6
Pekerjaan Responden
Ibu Rumah Tangga 39 47,0
Wiraswasta 33 39,8
Buruh Harian 9 10,8
Pegawai Negeri Sipil 2 2,4
Umur Anak
10-20 Bulan 8 9,6
21-30 Bulan 24 28,9
31-40 Bulan 16 19,3
41-50 Bulan 25 30,1
51-60 Bulan 10 12,0
Jumlah 83 100
Sumber: Data Primer

Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi karakteristik umur responden

tertinggi umur 21-30 tahun dengan persentase sebanyak 67,5%, sedangkan

untuk umur 15-20 tahun terendah dengan persentase sebanyak 9,6%.

Distribusi pendidikan terakhir menunjukkan bahwa pendidikan terakhir SMA

tertinggi dengan persentase sebanyak 56,6% sedangkan untuk pendidikan

terakhir tidak tamat sekolah terendah dengan persentase sebesar 4,8%.

48
Distribusi pekerjaan menunjukkan bahwa pekerjaan Ibu Rumah Tangga

tertinggi dengan persentase sebesar 47,0% sedangkan pekerjaan PNS

terendah dengan persentase sebesar 2,4%. Distribusi umur anak menunjukkan

bahwa kelompok umur 41-50 bulan tertinggi dengan persentase sebesar

30,1% sedangkan kelompok umur 10-20 bulan terendah dengan persentase

sebesar 9,6%.

2. Variabel Penelitian

Tabel 2
Distribusi Variabel Penelitian Di Kelurahan
Tamamaung Kecamatan Panakukang
Kota Makassar
Tahun 2021

Variabel n %
Pengetahuan
Cukup 63 75,6
Kurang 20 24,1
Sikap
Positif 69 83,1
Negatif 14 16,9
Kejadian Hipertermi
Hipertermi 56 67,5
Normal 27 32,5
Jumlah 83 100
Sumber: Data Primer

Tabel 2 menunjukkan variabel penelitian meliputi pengetahuan dan

sikap responden terhadap penanganan hipertermi yang terjadi pada balita

dengan variabel penelitian pengetahuan yang tertinggi pengetahuan cukup

dengan persentase sebesar 75,6% sedangkan pengetahuan kurang terendah

dengan persentase sebesar 24,1%, variabel penelitian sikap menunjukkan

sikap positif yang tertinggi dengan persentase sebesar 83,1% sedangkan sikap

negatif terendah dengan persentase sebesar 16,9%, variabel penelitian

49
kejadian hipertemi menunjukkan bahwa hipertermi tertinggi dengan

persentase sebesar 67,5% sedangkan yang normal terendah dengan persentase

sebesar 32,5%

3. Hubungan antara pengetahuan ibu terhadap hipertermi pada balita


Tabel 3
Hubungan Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian Hipertermi Pada Balita di
Di Kelurahan Tamamaung Kecamatan Panakukang
Kota Makassar Tahun 2021
Pengetahuan Kejadian Hipertermi Jumlah
Ibu Hipertermi Normal
n % n % n %
Cukup 42 66,7 21 33,3 63 100
Kurang 14 70,0 6 30,0 20 100
Total 56 67,5 27 32,5 83 100
Sumber : Data Primer

Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 56 balita yang mengalami kejadian

hipertermi lebih banyak ibu yang memiliki pengetahuan cukup sebesar 42

(66,7%) dibandingkan ibu yang berpengetahuan kurang sebesar 14 (70,0%),

sedangkan dari 27 balita yang tidak mengalami kejadian hipertermi lebih

banyak ibu yang berpengetahuan cukup sebesar 21 (33,3%) dibandingkan

ibu yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 6 (30,0%).

4. Tabel silang antara sikap ibu terhadap kejadian hipertermi pada balita

Tabel 4
Tabel Silang Antara Sikap Ibu Terhadap Kejadian Hipertermi Pada Balita
di Di Kelurahan Tamamaung Kecamatan Panakukang
Kota Makassar Tahun 2021
Sikap Ibu Kejadian Hipertermi Jumlah
Hipertermi Normal
n % n % n %
Positif 43 62,3 26 37,7 69 100
Negatif 13 92,9 1 7,1 14 100
Total 56 67,5 27 32,5 83 100
Sumber : Data Primer

50
Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 56 balita yang mengalami kejadian

hipertermi lebih banyak ibu yang memiliki sikap positif sebesar 43 (62,3%)

dibandingkan ibu yang memiliki sikap negatif sebesar 13 (92,6,0%),

sedangkan dari 27 balita yang tidak mengalami kejadian hipertermi lebih

banyak ibu yang memiliki sikap positif sebesar 26 (37,7%) dibandingkan

ibu yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 1 (7,1%).

Tabel 5
Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Kuesioner Pengetahuan
Responden Tentang Penanganan Hipertermi pada Anak Usia Prasekolah

Pertanyaan pengetahuan responden tentang Benar Salah


No.
penanganan hipertermi pada anak pra sekolah n % n %
1 Dapat dikatakan hypertermi apabila suhu tubuh mencapai? 39 47 44 53
2 Hypertermi yang bukan disebabkan karena masuknya 41 49,4 42 50,6
bakteri, virus, kuman, (bibit penyakit) disebut?
3 Hypertermi yang disebabkan karena masuknya bakteri, 54 65,1 29 34,9
virus, kuman disebut
4 Yang tidak dapat menyebabkan hypertermi pada balita? 38 45,8 45 54,2
5 Bagaimana cara menentukan hypertermi yang benar? 33 39,8 50 60,2
6 Apa saja gejala penyerta hypertermi yang tepat dibawah 26 31,3 57 68,7
ini?
7 Pengukuran suhu tubuh menggunakan termometer dapat 27 32,5 56 67,5
dilakukan dibagian tubuh?
8 Apa dampak yang terjadi ketika anak hypertermi tinggi? 31 37,3 52 62,7
9 Kapan obat penurunan hypertermi boleh diberikan? 24 28,9 59 71,1
10 Apakah yang dimaksud dengan metode Skin to Skin 28 33,7 55 66,3
Contact (PKM)?
Sumber : Data Primer

Tabel 5 distribusi frekuensi pada gambaran pengetahuan dalam

penanganan hipertermi pada anak pra sekolah lebih banyak yang menjawab

benar pada pertanyaan nomor tiga dengan jumlah responden sebanyak 54

(65,1%) sedangkan untuk pertanyaan nomor sembilan paling banyak

jawaban yang salah dengan jumlah responden sebanyak 59 (71,1%).

51
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Kuesioner Pengetahuan
Responden Tentang Penanganan Hipertermi pada Anak Usia Prasekolah

Pertanyaan pengetahuan Sangat Sangat


Tidak
responden tentang Tidak Setuju Setuju
No. Setuju
penanganan hipertermi pada Setuju
anak pra sekolah n % n % n % n %
1 Hipertermi merupakan penyakit 19 22,9 49 59,0 15 18,1 0 0
yang disebabkan oleh kuman atau
bakteri tertentu

2 Hipertermi dapat disembuhkan 22 26,5 38 45,8 23 27,7 0 0


dengan menggunakan selimut
tebal

3 Hipertermi merupakan penyakit 11 13,3 49 59,0 23 27,7 0 0


turunan

4 Hipertermi merupakan penyakit 6 7,2 48 57,8 25 30,1 4 4,8


yang menular

5 Hipertermi hanya menyerang 8 9,6 49 59 22 26,5 4 4,8


orang dewasa saja

6 Hipertermi tidak mengakibatkan 6 7,2 50 60,2 24 28,9 3 3,6


kematian

7 Hipertermi dapat disembuhkan 7 8,4 55 66,3 14 16,9 7 8,4


dengan obat antibiotik

8 Hipertermi dapat disebabkan oleh 11 13,3 39 47,0 31 37,3 2 2,4


bakteri

9 Hipertermi dapat disembuhkan 8 9,6 53 63,9 21 25,3 1 1,2


dengan metode Skin to Skin
(PMK) atau perawatan metode
kanguru

10 PMK atau perawatan metode 3 3,6 47 56,6 28 33,7 5 6,0


kanguru adalah proses
menstabilkan suhu tubuh bayi saat
terjadi hipertemi

Sumber : Data Primer

Tabel 6 distribusi frekuensi pada gambaran sikap ibu dalam penanganan

hipertermi pada anak pra sekolah lebih banyak yang menjawab sangat tidak

52
setuju pada pertanyaan nomor dua sebanyak 22 (26,5%) yang menjawab

tidak setuju lebih banyak pada pertanyaan nomor tujuh sebanyak 55 (66,3%)

yang menjawab setuju lebih banyak yang pada pertanyaan nomor sepuluh

dan yang menjawab sangat setuju lebih banyak pada pertanyaan nomor 7

sebanyak 7 (8,4%).

B. Pembahasan

1. Pengetahuan

Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil dari tahu

responden tentang penanganan kejadian Hipertermi pada anak usia pra

sekolah.

Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini

terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek.

Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yakni, indera pendengaran,

penglihatan, penciuman, perasaan dan perabaan. Sebagian pengetahuan

manusia didapat melalui mata dan telinga.

Hasil olah data yang dilakukan peneliti menemukan bahwa sebagian besar

responden yang diwawancara memiliki pengetahuan yang baik tentang

penanganan hipertermi pada anak seperti yang bisa kita lihat pada tabel 2

yang menunjukkan variabel penelitian meliputi pengetahuan dan sikap

responden terhadap penanganan hipertermi yang terjadi pada balita dengan

variabel penelitian pengetahuan yang tertinggi pengetahuan cukup dengan

persentase sebesar 75,6% sedangkan pengetahuan kurang terendah dengan

persentase sebesar 24,1%.

53
Hasil pengolahan data ditemukan bahwa dari 56 balita yang mengalami

kejadian hipertermi lebih banyak ibu yang memiliki pengetahuan cukup

sebesar 42 (66,7%) dibandingkan ibu yang berpengetahuan kurang sebesar 14

(70,0%), sedangkan dari 27 balita yang tidak mengalami kejadian hipertermi

lebih banyak ibu yang berpengetahuan cukup sebesar 21 (33,3%)

dibandingkan ibu yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 6 (30,0%)

Pengetahuan tentang Hipertermi oleh orang tua balita berguna untuk

menunjukkan kesiapan orang tua dalam merawat bayi yang menderita

hipertermi agar dapat memberikan pelayanan yang tepat

Sebagian besar responden tidak mengetahui berapa suhu normal tubuh,

mereka beranggapan bahwa suhu normal tubuh adalah > 38 oC hal ini

bertentangan dengan teori yang diungkapkan oleh Adimayanti (2016) dalam

penelitiannya yang mengatakan bahwa suhu normal tubuh yaitu 36oC –

37,5oC, selain itu responden juga berpendapat bahwa anak yang mengalami

demam atau kenaikan suhu tubuh lebih baik dilakukan kompres

menggunakan air dingin karena apabila anak mengalami peningkatan suhu

tubuh kemudian dikompres dengan air dingin agar suhu tubuh bisa dengan

cepat turun padahal dengan kompres air dingin akan mudah meningkatkan

suhu tubuh anak.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa sebagian

besar pendidikan ibu yaitu SMA sebanyak 47 (56,6%), pada pendidikan

terakhir sudah mencapai standar sekolah minimal yaitu SMA hal ini dapat

dikarenakan tingkat pendidikan menunjang pengetahuan responden jadi

54
apabila dilihat tingkat pengetahuan yang sebagian besar cukup dikarenakan

tingkat pendidikan yang sudah cukup standar.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa

pengetahuan ibu dalam menangani hipertermi pada anak banyak didapatkan

dari pengalaman yang telah dilalui ataupun pengalaman dari kerabat yang

pernah mengalami hal tersebut jadi selain edukasi yang diberikan oleh

petugas kesehatan kepada ibu, pengetahuan juga didapatkan dari pengalaman

ibu dan hal itu yang paling banyak didapatkan oleh ibu dalam menangani

hipertermi pada anak.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti banyak dari

responden yang tidak berani memandikan anak saat mengalami demam,

mereka menganggap bahwa apabila anak dimandikan saat mengalami

demam, mereka beranggapan bahwa apabila anak dimandikan akan semakin

mengigil dan suhu tubuh akan semakin meningkat, sedangkan pada penelitian

yang dilakukan oleh Setyani (2018) menemukan bahwa memandikan anak

dengan air hangat selain berfungsi untuk mengompresnya, mandi juga

membersihkan tubuh anak dari kuman yang ada dikulitnya, jadi bula anak

demam sebaiknya mandikan dengan air hangat, setelah mandi segera

keringkan tubuh anak dengan handuk dan cepatlah berganti pakaian agar

tidak kedinginan. Misalnya untuk demam suhu 40oC, rendamlah anak dalam

air hangat selama 15 menit, jika anak mengigil atau memprotes bahwa airnya

mulai dingin maka sudahi merendam.

55
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Kurniati (2016) menemukan

bahwa pengetahuan tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan, tapi juga

dipengaruhi hal lain salah satunya yaitu pengalaman sebeleumnya dan

kebutuhan individu, pengetahuan mengenai demam dan penanganan demam

yang dapat dari lingkungan sekitar dapat dipengaruhi besar terhadap proses

masuknya pengetahuan. Hal tersebut terjadi karena ada interaksi timbal balik

antar individu dalam merespon pengetahuan yang diterimanya sehingga

sumber informasi baik dari pendidikan formal maupun nonformal

berpengaruh untuk meningkatkan pengetahuan.

Pengetahuan responden terkait dengan hipertermi yang terjadi terhadap

anak, sebagian besar responden menganggap hipertermi tidak disebabkan

oleh kuman atau bakteri namun lebih kepada kondisi lingkungan padahal

hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniati (2016) menemukan bahwa

hipertermi diakibatkan oleh kuman, bakteri, dan virus karena demam juga ada

noninfeksi dan juga infeksi oleh karena itu pemahaman ibu tentang penyebab

hipertermi bisa ditambah agar memberikan penanganan yang tepat.

Penanganan hipertermi adalah suatu tindakan yang diberikan kepada orang

yang mengalami hipertermi, pengetahuan sangatlah dibutuhkan dalam

penanganan ini karena penyebab hipertermi bisa disebabkan oleh banyak

faktor jadi dalam penelitian ini pengetahuan yang dimiliki oleh ibu terkait

penanganan hipertermi sudah cukup dan bisa membuat penanganan

hipertermi lebih tepat lagi.

56
Penelitian yang dilakukan oleh Ismoedijanto pada tahun 2019 menemukan

bahwa tatalaksana hipertermi pada bayi kecil telah mengalami perubahan

yang cukup signifikan, pada kelompok bayi dengan usia kurang 2 bulan,

pendekatan yang umum dilakukan ialah hospitalisasi untuk mendapatkan

pengobatan antimicrobial empiric, salah satu pendekatan yang dapat

dilakukan untuk mengurangi peningkatan suhu tubuh secara ekstrim,

perawatan yang dilakukan haruslah sesuai dengan anjuran dokter karena

penentuan diagnosa yang tidak tepat akan melahirkan sebuah penanganan

yang tidak tepat pula.

Penelitian yang dilakukan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Adimayanti (2016) yang menemukan bahwa pengetahuan ibu dalam

menangani hipertermi pada anak usia prasekolah sebagian besar sudah cukup

dengan persentase sebesar 63,3% apabila dibandingkan dengan ibu yang

memiliki pengetahuan kurang sebanyak 36,7% hal ini karena rata-rata

pendidikan terakhir dari responden rata-rata SMA yang juga bisa menunjang

tingkat pengetahuan yang lebih baik dari tingkat pendidikan SMP.

Hasil yang didapatkan juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Prasetyo (2017) yang menemukan bahwa pengetahuan ibu tidak

menunjang keberhasilan penanganan hipertermi pada anak namun lebih ke

sarana kesehatan yang memadai karena banyak ibu-ibu yang sudah

mengetahui cara penanganan hipertermi namun masih kurangnya sarana

kesehatan dan membuat keterlambatan penanganan.

57
Hasil pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa

pertanyaan nomor tiga tertinggi jawaban yang benar seperti yang bisa dilihat

pada tabel 5 distribusi frekuensi pada gambaran pengetahuan dalam

penanganan hipertermi pada anak pra sekolah lebih banyak yang menjawab

benar pada pertanyaan nomor tiga dengan jumlah responden sebanyak 54

(65,1%) hal ini dikarenakan adanya peningkatan pengetahuan ibu tentang

proses terjadinya hipertermi hingga patofisiologi penyakit hipertermi.

Hasil pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti yang menemukan

bahwa pertanyaan yang paling banyak salah yaitu pertanyaan nomor

sembilan seperti yang bisa dilihat pada tabel 5 yang menunjukkan bahwa

pertanyaan nomor sembilan paling banyak jawaban yang salah dengan

jumlah responden sebanyak 59 (71,1%) pertanyaan ini masih banyak yang

salah karena responden belum terlalu memahami bahwa pemberian obat

hipertermi sebaiknya diberikan ketika suhu anak > 37,5% bukan ketika anak

sudah semakin menunjukkan gejala yang lebih parah.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengetahuan ibu dalam menangani

hipertermi anak usia prasekolah sudah cukup, pengetahuan yang didapatkan

pun beragam mulai dari edukasi yang diberikan oleh petugas kesehatan,

pengalaman diri sendiri, ataupun pengalaman orang lain yang ada disekitar

ibu.

2. Sikap

Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapat responden

tentang tata cara penanganan kejadian Hipertermi pada anak usia pra sekolah.

58
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup

terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat

dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-

tidak baik, suka-tidak suka, dan sebagainya (Kristianingsih, 2019).

Hipertermi merupakan salah satu gejala penyakit yang memiliki tanda dan

gejala yang tidak menentu dan pada dasarnya apabila ada infeksi yang terjadi

maka peningkatan suhu tubuh akan terjadi jadi sikap atau pandangan ibu

terhadap anak yang mengalami hipertermi haruslah tepat, dalam penelitian ini

didapatkan sikap ibu terhadap kejadian hipertermi pada anak sebagian besar

positif atau bisa dilakukan secara tepat hal ini bisa dilihat pada tabel 2 yang

menunjukkan variabel penelitian sikap menunjukkan sikap positif yang

tertinggi dengan persentase sebesar 83,1% sedangkan sikap negatif terendah

dengan persentase sebesar 16,9%.

Hasil pengolahan data yang dilakukan peneliti menemukan bahwa ada

hubungan antara sikap ibu dalam menangani hipertermi pada balita

Sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang atau peristiwa, hal

ini menceerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu, hal ini sangat

berpengaruh terhadap tindakan seseorang, dalam penelitian ini sikap dari

responden dalam memberikan penanganan kepada anak yang mengalami

hipertermi sudah baik karena sikap yang ditunjukkan positif terhadap

penanganan hipertermi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa anak

yang mengalami kejadian hipertermi memiliki kedekatan yang cukup

59
terhadap ibunya karena hasil wawancara dengan responden mengatakan

bahwa responden merawat secara mandiri anak yang mengalami hipertemi,

sikap yang seperti ini sudah tepat karena dengan memiliki sikap yang tepat

untuk menangani dan memberi perawatan dapat mencegah komplikasi

hipertemi yang tidak diatasi dengan benar, orang tua yang memiliki anak

dengan kejadian hipertemi pasti memiliki sikap yang berbeda-beda sehingga

muncul upaya-upaya untuk memberikan penanganan secepat mungkin agar

tidak memperparah keadaan anak seperti mencari balai pengobatan seperti

Puskesmas, Klinik dan Rumah Sakit, mencari obat tradisional sampai

memberikan pengobatan secara mandiri.

Responden yang juga ibu dari anak yang pernah mengalami hipertemi

mengatakan bahwa responden membawa anaknya ke fasilitas kesehatan

karena menganggap penanganan yang tepat dapat diberikan oleh petugas

kesehatan dalam hal ini dokter yang memberikan diagnosa, perawat yang

memberikan perawatan dan apoteker yang memberikan obat, semua

penanganan yang dilakukan tepat apabila dikonsultasikan dengan tenaga

kesehatan hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Dewi

(2017) yang mengatakan dalam jurnalnya bahwa membawa anak yang

mengalami hipertermi ke fasilitas kesehatan untuk memanfaatkan pelayanan

kesehatan dapat membantu penanganan hipertermi sehingga tidak

menyebabkan komplikasi pada kemungkinan penyakit yang menjangkiti anak

karena pada dasarnya hipertermi merupakan gejala yang disebabkan oleh

kemungkinan adanya penyakit yang sedang menjangkiti tubuh anak.

60
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryanti

(2018) yang menemukan bahwa sikap ibu tentang hipertermi di Klinik Shanty

Medan sudah baik dengan kategori positif lebih banyak dengan persentase

sebesar 68,1% dengan jumlah responden sebanyak 32 orang, sikap positif ini

ditunjukkan dengan memberikan penanganan hipertermi kepada anak melalui

kunjungan ke fasilitas kesehatan dan juga konsultasi dengan dokter atau

memberikan penanganan secara fisik seperti kompres atau memberikan obat

yang sesuai anjuran tenaga kesehatan.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Widiastuti (2016) yang menemukan bahwa sikap yang dimiliki oleh ibu

cenderung negative engan persentase sebesar 72,3% dengan jumlah

responden sebanyak 39 orang bila dilihat dari jumlah persentase terbilan

besar karena sebagian besar responden menganggap bahwa hipertermi yang

terjadi pada anaknya adalah akibat lingkungan seperti bermain hujan-hujanan

atau terlalu banyak mengkonsumsi minuman dingin jadi ibu tidak

memberikan pengobatan dan membiarkan anak sembuh dengan sendirinya

kecuali anak yang terserang hipertermi mengeluhkan sakit pada bagian

tertentu dan ini tentu sudah memasuki tahap komplikasi dengan penyakit lain

sehingga membuat parah hipertermi yang terjadi pada anak.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa sikap ibu dalam menangani

hipertermi pada anak usia prasekolah sudah positif yang menunjukkan bahwa

ibu dari anak menganggap penanganan hipertermi sesuatu yang perlu

61
diketahui dan dilaksanakan karena dengan penanganan yang cepat dan tepat

bisa membantu proses penyembuhan hipertermi itu sendiri.

Hasil pengolahan data tabel distribusi frekuensi yang dilakukan oleh

peneliti menemukan bahwa sikap sangat tidak setuju ibu dalam penanganan

hipertemi pada anak pra sekolah seperti yang bisa dilihat pada tabel 6

distribusi frekuensi pada gambaran sikap ibu dalam penanganan hipertermi

pada anak pra sekolah lebih banyak yang menjawab sangat tidak setuju pada

pertanyaan nomor dua sebanyak 22 (26,5%) hal ini karena banyak dari

responden yang telah memberikan selimut tebal dengan harapan bisa

menurunkan hipertermi pada anaknya namun tidak berhasil.

Hasil pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa

responden yang menjawab tidak setuju lebih banyak pada pertanyaan nomor

tujuh sebanyak 55 (66,3%) hal ini dikarenakan anak responden yang

mengalami hipertermi bukan hanya orang dewasa.

Hasil pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa

yang menjawab setuju lebih banyak yang pada pertanyaan nomor sepuluh

sebanyak 28 (33,7%) hal ini karena responden banyak yang melakukan

kegiatan tersebut karena telah diajarkan oleh tenaga kesehatan untuk

melakukan metode kangguru agar hipertermi yang dialami oleh anak cepat

mereda.

Hasil pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa

responden yang menjawab sangat setuju lebih banyak pada pertanyaan nomor

tujuh sebanyak 7 (8,4%) hal ini karena responden yang berkunjung ke

62
fasilitas kesehatan untuk memeriksakan kondisi anaknya mendapatka obat

antibiotik sebagai upaya untuk mempercepat penyembuhan pada gejala

hipertermi yang dirasakan.

Maka sikap dari ibu dalam penanganan hipertermi pada anak usia

prasekolah berbeda-beda walaupun keanyak di tunjukkan pada sikap yang

tidak setuju terhadap beberapa penanganan yang bisa dilakukan ketika anak

mengalami hipertermi, hal ini bisa dipengaruhi oleh pengalaman yang telah

dilalui oleh ibu ataupun pengetahuan yang masih kurang terhadap

penanganan hipertermi pada anak.

63
BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

1. Pengetahuan yang dimiliki oleh responden untuk penanganan hipertermi pada

anak usia pra sekolah dalam kategori cukup dengan persentase sebesar 75,6%

2. Sikap yang ditunjukkan oleh responden terhadap penanganan hipertermi pada

anak usia pra sekolah dalam kategori positif dengan persentase sebesar 83,1%

B. Saran

1. Disarankan kepada responden untuk tetap menambah pengetahuan tentang

penanganan hipertermi pada anak usia sekolah karena dengan pengetahuan

yang baik akan memberikan penanganan yang tepat kepada anak sehingga

tidak menimbulkan komplikasi terhadap gejala hipertermi yang dirasakan

2. Disarankan kepada responden untuk selalu menambah sikap positif dalam

penanganan penyakit hipertermi pada anak usia pra sekolah karena dengan

sikap yang tepat oleh seorang ibu kepada anak akan meringankan gejala yang

diderita

64
DAFTAR PUSTAKA

Adimayanti, 2016. Gambaran pengetahuan ibu dalam menangani hipertermi pada


anak usia prasekolah di paud melati dusun sleker desa kopeng kec.
Getasan kab. Semarang. Jurnal keperawatan anak vol. 3 no. 1 hal. 18-22
Anisa, 2019. Efektivitas kompres hangat untuk menurunkan suhu tubuh pada an.
D dengan hipertermia. Jurnal ilmiah ilmu kesehatan : wawasan kesehatan
vol. 5 no. 2 hal. 122-127
Arie, 2016. Perbedaan penurunan suhu tubuh antara pemberian kompres air
hangat dengan tepid sponge bath pada anak dengan gejala hipertermi.
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah Vol. 1 No. 1 Hal. 63-71
BALITBANGKES, 2018. Hasil Utama RISKESDAS. Naskah Negara
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
BPSD. 2018. Kabupaten Maluku Tenggara dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Maluku Tenggara.
Budiman, 2018. Penelitian Kesehatan (Buku Pertama). Bandung: PT. REFIKA
ADITAMA.
Dewi, 2017. Asuhan keperawatan pada klien demam tifoid dengan gangguan
hipertermi di ruang melati rumah sakit umum daerah bangil pasuruan.
Jurnal keperawatan insan cendekia medika
Fadli, 2018. Pengaruh kompres hangat terhadap perubahan suhu tubuh pada
pasien febris. Jurnal ilmiah kesehatan pencerah vol. 7 no. 2 hal. 78-83
Gobel, 2017. Studi penatalaksanaan tindakan keperawatan pada pasien hipertermi
di ruang rawat inap BLUD RSD Liun Kendage Tahuna. Jurnal Ilmiah
Sesebanua Vol. 1 No. 2 Hal. 64-68
Harnani, 2019. Pengaruh kompres bawang merah terhadap penurunan suhu tubuh
dengan gejala hipertermi pada pasien demam thypoid di RS PKU
Muhammadiyah Gombong. Jurnal University Research Colloqium STIK
Muhammadiyah Gombong
Haryani, 2018. Pengaruh Tepid Sponge terhadap penurunan suhu tubuh pada anak
pra sekolah yang mengalami hipertermi di RSUD ungaran. Jurnal
keperawatan dan kesehatan masyarakat vol. 7 no. 1 hal. 44-53
Haryanti, 2018. Hubungan pengetahuan dan sikap ibu tentang hipertermi dengan
penanganan hipertermi pada anak di klinik shanty medan. Jurnal
kesehatan masyarakat : Preventif Vol. 9 No. 2 hal. 53-57
Ismoedijanto, 2019. Hipertermi Pada Anak (Petunjuk Praktis). Jurnal Sari Pediatri
Vol. 2 No. 2 Hal. 103-108
KEMENKES. 2018. Profil Kesehatan Indonesia. Naskah negara republik
indonesia kementerian kesehatan republik indonesia
Kristianingsih, 2019. Hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang hipertermi
dengan penanganan hipertermi pada bayi 0-12 bulan di desa datarajan
wilayah kerja puskesmas ngarip kabupaten tanggamus. Jurnal kebidanan
vol. 4 no. 1 hal. 26-31
Kurniati, 2016. Gambaran pengetahuan ibu dan metode penanganan hipertermi
pada balita di wilayah puskesmas pisangan kota tangerang selatan. Jurnal
keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kurniawan, 2018. Kompres dingin dan aliran udara dengan menurunkan suhu
tubuh pada pasien sepsis dengan hipertermi di ruang ICU RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Jurnal Universitas Muhammadiyah Semarang
Marhaes, 2016. Pengaruh pemberian imunisasi DPT terhadap perubahan suhu
tubuh pada bayi usia 3-12 bulan di puskesmas poasia kota kendari
provinsi sulawesi tenggara. Jurnal kesehatan kendari.
Notoatmodjo, 2012. Ilmu Perilaku Kesehatan (Edisi Revisi Terbaru). Rineka
Cipta: Yogyakarta
Prasetyo, 2017. Upaya penanganan hipertermi pada anak dengan thypoid
abdominalis. Naskah publikasi universitas muhammadiyah surakarta.
Pratamawati, 2019. Asuhan keperawatan pada anak yang mengalami demam
tifoid dengan masalah hipertermi di rumah sakit panti waluya malang.
KTI STIK Panti Waluya.
Priyanto, 2016. Asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan keamanan dan
perlingungan termoregulasi dengan hipertermia pada an.f di ruang melati
RSUD dr. Soedirman kebumen. KTI Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Gombong
Puji E dkk, 2017. Pedoman Penulisan Skripsi Edisi 15. Buku Pedoman untuk
Lingkup Sendiri. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar
Puwaningsih H, 2019. Pengaruh Skin To Skin Contact (PMK) Terhadap
Penurunan Suhu Tubuh Pada Bayi Demam. Jurnal Perawat Indonesia
Vol. 3 No 1 Hal. 79-84
Setiawati, 2016. Pengaruh tepide sponge terhadap penurunan suhu tubuh dan
kenyamanan pada anak usia prasekolah dan sekolah yang mengalami
hipertermi di ruang perawatan anak rumah sakit muhammadiyah
bandung. Jurnal keperawatan anak universitas indonesia
Setyani, 2018. Gambaran perilaku ibu dalam penanganan hipertermi pada anak di
desa seren kecamatan gebang purworejo. Jurnal STIKES Aisyah
Yogyakarta
Sochib, 2018. Pola Asuh Orang Tua Dalam membantu anak mengembangkan
disiplin diri (Edisi Revisi) Penerbit Rineka Cipta: Yogyakarta
Wardiyah, 2016. Perbandingan efektivitas pemberian kompres hangat dan tepid
sponge terhadap penurunan suhu tubuh anak yang mengalami hipertermi
di ruang alamanda RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
Jurnal Kesehatan Holistik Vol. 10 No. 1 Hal. 36-44
Widiastuti, 2016. Hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan sikap ibu pada
penanganan pertama hipertermi pada anak di padukuhan geblagan,
tamantirto, kasihan, bantul yogyakarta. Naskah publikasi universitas
muhammadiyah yogyakarta.
Zahroh, 2017. Efektivitas pemberian kompres air hangat dan sponge bath terhadap
perubahan suhu tubuh pasien anak gastroenteritis. Jurnal ners lentera vol.
5 no. 1 hal. 33-42
KUESIONER PENELITIAN

GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM


MENANGANI HIPERTERMI PADA ANAK USIA PRA-
SEKOLAH DI DESA WATDEK KABUPATEN MALUKU
TENGGARA TAHUN 2020
I. Identitas Responden
Nama :
Umur :
Alamat :
Pendidikan Terakhir :
Pekerjaan :
Umur anak :
II. Pengetahuan
N Pertanyaan Jawaban
o
1 Dapat dikatakan hypertermi apabila suhu tubuh mencapai?
a. Suhu tubuh balita ≥ 36oC
b. Suhu tubuh balita diatas ≥ 37oC
2 Hypertermi yang bukan disebabkan karena masuknya bakteri, virus,
kuman, (bibit penyakit) disebut?
a. Hypertermi infeksi
b. Hypertermi non infeksi/bawaan
3 Hypertermi yang disebabkan karena masuknya bakteri, virus, kuman
disebut
a. Hypertermi infeksi
b. penyakit non infeksi/bawaan
4 Yang tidak dapat menyebabkan hypertermi pada balita?
a. Masuknya kuman bakteri
b. Masuknya virus ke dalam tubuh
5 Bagaimana cara menentukan hypertermi yang benar?
a. Menggunakan telapak tangan
b. Menggunakan termometer
6 Apa saja gejala penyerta hypertermi yang tepat dibawah ini?
a. Mual muntah, lemah
b. Rewel, pucat
7 Pengukuran suhu tubuh menggunakan termometer dapat dilakukan
dibagian tubuh?
a. Punggung, mulut, ketiak
b. Anus, mulut, ketiak
8 Apa dampak yang terjadi ketika anak hypertermi tinggi?
a. Kejang hypertermi
b. Memiliki jumlah lendir yang banyak
9 Kapan obat penurunan hypertermi boleh diberikan?
a. Ketika suhu tubuh ≥ 37,5oC
b. Ketika anak memiliki keluhan lain
10 Apakah yang dimaksud dengan metode Skin to Skin Contact (PKM)?
a. Perpindahan panas anak ke ibu
b. Mengurangi suhu tubuh pada bayi
c. Menstabilkan suhu tubuh bayi
d. Semua opsi benar
Sumber: Widiastuti, 2016

III.Sikap
No Pernyataan STS TS S SS
1 Hipertermi merupakan penyakit yang disebabkan

oleh kuman atau bakteri tertentu

2 Hipertermi dapat disembuhkan dengan menggunakan

selimut tebal

3 Hipertermi merupakan penyakit turunan

4 Hipertermi merupakan penyakit yang menular

5 Hipertermi dapat disembuhkan dengan obat antibiotik

6 Hipertermi tidak mengakibatkan kematian

7 Hipertermi hanya menyerang orang dewasa saja

8 Hipertermi dapat disebabkan oleh bakteri

9 Hipertermi dapat disembuhkan dengan metode Skin

to Skin (PMK) atau perawatan metode kanguru

10 PMK atau perawatan metode kanguru adalah proses

menstabilkan suhu tubuh bayi saat terjadi hipertemi

Sumber: Widiastuti, 2016


Kriteria objektif pengetahuan
Penentuan scoring ilmiah dengan menggunakan skala Guttman
Jawaban Benar = skor 1
Jawaban Salah = skor 0
Jumlah pertanyaan = 10
Interval (I) = Range (R) / Kategori (K)
Range (R) = skor tertinggi – skor terendah = 10 – 0 = 10 (100%)
Kategori (K) = 2, adalah banyaknya kriteria yang disusun pada kriteria objektif
suatu variabel ketgori yaitu cukup dan kurang
Interval (I) = 100 / 2 = 50%
Kriteria penilaian = skor tertinggi – interval = 100% - 50% = 50%, sehingga
Cukup = jika skor ≥ 50%
Kurang = jika skor < 50%

Kriteria objektif Sikap


Penentuan skoring ilmiah dengan menggunakan skala likert
Jumlah pertanyaan = 10
Setiap jawaban pertanyaan bernilai = 4, 3, 2, 1
Skor tertinggi = 10 x 4 = 40 = 100%
Skor terendah = 10 x 1 = 10 = 10/40 x 100 = 25%
Rumus interval (I) = range (R) / kategori (K)
Range (R) = (skor tertinggi – skor terendah) = 100% - 25% -= 75%
Kategori (K) = 2, yaitu banyaknya kategori pada kriteria obkejtif suatu variabel,
kategori yaitu tinggi dan rendah
Interval (I) = 75/2 = 37,5%
Kriteria penilaian = 100 – 37,5% = 62,5%, sehingga:
Kriteria positif jika skor > 62,5%
Kriteria negatif jika skor < 62,5%
DOKUMENTASI PENELITIAN

PROSES PENGURUSAN IZIN


PENELITIAN

PENGAMBILAN DATA AWAL

PENGAMBILAN SURAT SELESAI PENELITIAN

WAWANCARA DENGAN RESPONDEN


UAN DAN SIKAP IBU DALAM MENANGANI HIPERTERMI PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI KELURAHAN TAMAMAUNG KECAMATAN PANAKKUKANG KOTA MAKASSAR TAHUN 2021

Pendidikan Umur Pengetahuan


Terakhir Coding Pekerjaan Coding Anak Coding 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ∑ % KO
SMP 3 Ibu Rumah Tang 1 18 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 7 70 Cukup
SMA 4 Buruh Harian 3 28 2 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 6 60 Cukup
SMP 3 Ibu Rumah Tang 1 29 2 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 3 30 Kurang
SMA 4 Wiraswasta 2 54 5 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 8 80 Cukup
SMA 4 Buruh Harian 3 43 4 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 5 50 Cukup
SMA 4 Wiraswasta 2 46 4 0 1 0 1 0 0 1 1 1 0 5 50 Cukup
SD 2 Wiraswasta 2 23 2 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 7 70 Cukup
SMA 4 Ibu Rumah Tang 1 38 3 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 2 20 Kurang
SMA 4 Wiraswasta 2 27 2 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 8 80 Cukup
SMA 4 Wiraswasta 2 56 5 0 1 0 0 0 0 1 1 1 1 5 50 Cukup
SD 2 Buruh Harian 3 35 3 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 4 40 Kurang
SMA 4 Ibu Rumah Tang 1 46 4 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 7 70 Cukup
SMA 4 Wiraswasta 2 25 2 1 0 0 1 0 0 1 1 1 1 6 60 Cukup
SMA 4 Ibu Rumah Tang 1 26 2 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 5 50 Cukup
SMA 4 Ibu Rumah Tang 1 35 3 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 6 60 Cukup
SMA 4 Ibu Rumah Tang 1 54 5 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 3 30 Kurang
SMP 3 Buruh Harian 3 23 2 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 7 70 Cukup
SMA 4 Wiraswasta 2 43 4 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 4 40 Kurang
SMP 3 Wiraswasta 2 23 2 0 0 0 1 0 1 1 0 1 1 5 50 Cukup
SMA 4 Buruh Harian 3 45 4 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 8 80 Cukup
SMA 4 Wiraswasta 2 44 4 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 2 20 Kurang
SMA 4 Wiraswasta 2 22 2 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 9 90 Cukup
SMA 4 Ibu Rumah Tang 1 55 5 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 4 40 Kurang
SMA 3 Ibu Rumah Tang 1 43 4 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 7 70 Cukup
SMA 4 Wiraswasta 2 34 3 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 4 40 Kurang
SD 2 Ibu Rumah Tang 1 52 5 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 7 70 Cukup
TIDAK SEKOLAH 1 Ibu Rumah Tang 1 24 2 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 5 50 Cukup
SD 2 Wiraswasta 2 31 3 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 8 80 Cukup
SMP 3 Wiraswasta 2 42 4 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 8 80 Cukup
SMA 3 Ibu Rumah Tang 1 45 4 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 4 40 Kurang
SMA 3 Wiraswasta 2 54 5 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 7 70 Cukup
SMA 4 Ibu Rumah Tang 1 45 4 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 6 60 Cukup
S1 5 PNS 4 34 3 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 4 40 Kurang
TIDAK SEKOLAH 1 Wiraswasta 2 44 4 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 9 90 Cukup
SMA 4 Wiraswasta 2 12 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 4 40 Kurang
SMA 4 Wiraswasta 2 24 2 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 7 70 Cukup
SMA 4 Buruh Harian 3 29 2 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1 6 60 Cukup
SMA 3 Ibu Rumah Tang 1 28 2 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 7 70 Cukup
SMA 3 Wiraswasta 2 49 4 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 5 50 Cukup
SMA 4 Wiraswasta 2 39 3 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 6 60 Cukup
LAYOUT SPSS

Umur Responden

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 15-20 Tahun 8 9.6 9.6 9.6

21-30 Tahun 56 67.5 67.5 77.1

31-40 Tahun 19 22.9 22.9 100.0

Total 83 100.0 100.0

Pendidikan Terakhir

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid TIDAK TAMAT SEKOLAH 4 4.8 4.8 4.8

SD 9 10.8 10.8 15.7

SMP 20 24.1 24.1 39.8

SMA 47 56.6 56.6 96.4

PERGURUAN TINGGI 3 3.6 3.6 100.0

Total 83 100.0 100.0

Pekerjaan Responden

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ibu Rumah Tangga 39 47.0 47.0 47.0

Wiraswasta 33 39.8 39.8 86.7

Buruh Harian 9 10.8 10.8 97.6

PNS 2 2.4 2.4 100.0

Total 83 100.0 100.0


Umur Anak

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 10-20 Bulan 8 9.6 9.6 9.6

21-30 Bulan 24 28.9 28.9 38.6

31-40 Bulan 16 19.3 19.3 57.8

41-50 Bulan 25 30.1 30.1 88.0

51-60 Bulan 10 12.0 12.0 100.0

Total 83 100.0 100.0

Pengetahuan Ibu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Cukup 63 75.9 75.9 75.9

Kurang 20 24.1 24.1 100.0

Total 83 100.0 100.0

Sikap Ibu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Positif 69 83.1 83.1 83.1

Negatif 14 16.9 16.9 100.0

Total 83 100.0 100.0


Kejadian Hipertermi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Hipertermi 56 67.5 67.5 67.5

Normal 27 32.5 32.5 100.0

Total 83 100.0 100.0

Pengetahuan Ibu * Kejadian Hipertermi

Crosstab

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pengetahuan Ibu Cukup Count 42 21 63

% within Pengetahuan Ibu 66.7% 33.3% 100.0%

Kurang Count 14 6 20

% within Pengetahuan Ibu 70.0% 30.0% 100.0%

Total Count 56 27 83

% within Pengetahuan Ibu 67.5% 32.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .077a 1 .079

Continuity Correctionb .000 1 .009

Likelihood Ratio .078 1 .065

Fisher's Exact Test 1.000 .505

Linear-by-Linear Association .076 1 .783

N of Valid Casesb 83

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,51.

b. Computed only for a 2x2 table


Sikap Ibu * Kejadian Hipertermi

Crosstab

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Sikap Ibu Positif Count 43 26 69

% within Sikap Ibu 62.3% 37.7% 100.0%

Negatif Count 13 1 14

% within Sikap Ibu 92.9% 7.1% 100.0%

Total Count 56 27 83

% within Sikap Ibu 67.5% 32.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 4.945a 1 .026

Continuity Correctionb 3.652 1 .029

Likelihood Ratio 6.086 1 .014

Fisher's Exact Test .030 .021

Linear-by-Linear Association 4.886 1 .027

N of Valid Casesb 83

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,55.

b. Computed only for a 2x2 table


Pertanyaan 1 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 1 Salah Count 25 14 39

% of Total 30.1% 16.9% 47.0%

Benar Count 31 13 44

% of Total 37.3% 15.7% 53.0%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%

Pertanyaan 2 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 2 Salah Count 27 14 41

% of Total 32.5% 16.9% 49.4%

Benar Count 29 13 42

% of Total 34.9% 15.7% 50.6%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%

Pertanyaan 3 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 3 Salah Count 40 14 54

% of Total 48.2% 16.9% 65.1%

Benar Count 16 13 29

% of Total 19.3% 15.7% 34.9%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%


Pertanyaan 4 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 4 Salah Count 29 9 38

% of Total 34.9% 10.8% 45.8%

Benar Count 27 18 45

% of Total 32.5% 21.7% 54.2%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%

Pertanyaan 5 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 5 Salah Count 24 9 33

% of Total 28.9% 10.8% 39.8%

Benar Count 32 18 50

% of Total 38.6% 21.7% 60.2%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%

Pertanyaan 6 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 6 Salah Count 15 11 26

% of Total 18.1% 13.3% 31.3%

Benar Count 41 16 57

% of Total 49.4% 19.3% 68.7%


Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%

Pertanyaan 7 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 7 Salah Count 13 14 27

% of Total 15.7% 16.9% 32.5%

Benar Count 43 13 56

% of Total 51.8% 15.7% 67.5%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%

Pertanyaan 8 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 8 Salah Count 22 9 31

% of Total 26.5% 10.8% 37.3%

Benar Count 34 18 52

% of Total 41.0% 21.7% 62.7%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%


Pertanyaan 9 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 9 Salah Count 13 11 24

% of Total 15.7% 13.3% 28.9%

Benar Count 43 16 59

% of Total 51.8% 19.3% 71.1%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%

Pertanyaan 10 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 10 Salah Count 19 9 28

% of Total 22.9% 10.8% 33.7%

Benar Count 37 18 55

% of Total 44.6% 21.7% 66.3%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%


Pertanyaan 1 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 1 Sangat Tidak Setuju Count 15 4 19

% of Total 18.1% 4.8% 22.9%

Tidak Setuju Count 32 17 49

% of Total 38.6% 20.5% 59.0%

Setuju Count 9 6 15

% of Total 10.8% 7.2% 18.1%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%

Pertanyaan 1 * Kejadian Hipertermi Crosstabulation

Kejadian Hipertermi

Hipertermi Normal Total

Pertanyaan 1 Sangat Tidak Setuju Count 15 4 19

% of Total 18.1% 4.8% 22.9%

Tidak Setuju Count 32 17 49

% of Total 38.6% 20.5% 59.0%

Setuju Count 9 6 15

% of Total 10.8% 7.2% 18.1%

Total Count 56 27 83

% of Total 67.5% 32.5% 100.0%

Anda mungkin juga menyukai