1
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 4
BAB II ...................................................................................................................................... 12
1
2.3.4 Pengaruh Work Life Balance terhadap Organizational Citizenship
Behavior................................................................................................ 29
BAB IV ..................................................................................................................................... 37
2
4.8.3 Uji Model .............................................................................................. 43
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pengelolaan sumber daya manusia adalah merupakan aspek yang sangat penting dalam
sebuah organisasi. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya manusia harus dilaksanakan
secara optimal sehingga kebutuhan yang menyangkut tujuan individu, perusahaan, organisasi
maupun kelembagaan dapat tercapai. Dalam sebuah organisasi, Manajemen Sumber Daya
Manusia (SDM) kini tidak hanya sekedar menjalankan fungsi administrasi pengelolaan SDM,
namun telah menjadi strategy partner organisasi agar dapat menghadapi tantangan eksternal
dan internal yang semakin kompleks dan cepat. Kelangsungan hidup organisasi dan
kemampuan SDM yang profesional saling terkait dan harus dipertimbangkan bersama-sama.
Pengelolaan SDM harus terintegrasi secara vertikal dengan perencanaan strategis dan
secara horizontal terintegrasi dengan fungsi SDM, seperti pelatihan dan pengembangan;
kompensasi dan tunjangan; rekrutmen dan seleksi; hubungan kerja; dan evaluasi dari proses
perencanaan SDM sehingga memungkinkan dilaksanakannya penyesuaian agar dapat
menjawab lingkungan yang berubah dengan cepat.
Pengelolaan SDM juga sangat penting dalam lembaga perguruan tinggi. Dalam sebuah
organisasi atau perusahaan perhatian terhadap sumber daya manusia sangatlah penting guna
memperoleh kinerja karyawan seperti yang diharapkan dalam rangka mencapai visi dan misi
serta tujuan organisasi. Menurut Mangkunegara (2016:96) kinerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Novliadi (2007) kinerja
yang baik menuntut karyawan bukan hanya melakukan pekerjaan pokok (in-role) karyawan
akan tetapi juga pekerjaan yang berada di luar pekerjaan pokok karyawan (extra-role).
Perilaku extra-role ini disebut juga Organizational Citizenship Behavior (OCB). Menurut
Robbins dan Judge (2008:159), fakta menunjukkan bahwa organisasi yang mempunyai
karyawan yang memiliki OCB yang baik, akan memiliki kinerja yang lebih baik.
Organizational Citizenship Behavior (OCB). adalah perilaku positif dari karyawan
dimana karyawan tersebut menyelesaikan pekerjaan tambahan diluar pekerjaannya sendiri
yang muncul tanpa ada paksaan dari siapapun dan tanpa pengaruh imbalan apapun. Orang
4
yang menampilkan perilaku OCB dalam perusahaan disebut sebagai karyawan yang baik
(good citizen) karena perilaku OCB bersifat positif yang akan meningkatkan kelancaran
kegiatan operasional perusahaan tempat karyawan bekerja dan sangat menentukan dalam
mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.
Kinerja seorang pegawai ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya baik
secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Mangkunegara dalam (2016:113)
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan
(ability) dan faktor motivasi (motivation). Menurut Siagian (2013:189), mendefinisikan
motivasi kerja sebagai daya dorong bagi seseorang untuk memberikan kontribusi yang
sebesar-besarnya demi keberhasilan organisasi mencapai tujuannya, dengan pengertian bahwa
tercapainya tujuan organisasi berarti tercapai pula tujuan pribadi para anggota organisasi yang
bersangkutan. Tercapainya tujuan setiap individu dalam organisasi juga bisa dikatakan
menjadi salah satu faktor yang ada pada Job Embeddedness. Yaitu Sacrifice, merupakan
keuntungan psikologis yang muncul apabila individu tidak meninggalkan organisasi
tempatnya bekerja.
Teori Job Embeddedness didasarkan pada teori Kurt Lewin yaitu field theory dan dari
embedded figures theories (Bergiel et al, 2009). Job Embeddedness dimaknai sebagai rasa
keterikatan karyawan terhadap pekerjaannya. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh
Aldenisa B.R (2019) dengan judul Hubungan Antara Job Embeddedness Dan Organizational
Citizenship Behavior Pada Karyawan Bank. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif antara Job Embeddedness dan Organizational Citizenship Behavior
(OCB) pada karyawan bank, Yang artinya karyawan yang mempunyai embeddedness tinggi
merasa sangat cocok dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya sehingga memiliki peran
dalam munculnya OCB.
Ketahanan / resiliensi telah diteliti dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari psikologi,
sosiologi, antropologi, biologi, kedokteran, pendidikan dan manajemen. Ketahanan telah
digambarkan sebagai suatu sifat, proses, kapasitas atau hasil (Kossek et al. 2016; Southwick
et al. 2014). American Psychological Association (2014), yang menyatakan bahwa
ketahanan adalah “proses beradaptasi dengan baik dalam menghadapi kesulitan, trauma,
tragedi, ancaman atau bahkan sumber signifikan dari stres”. Definisi ini menunjukkan
ketahanan yang, sebagai suatu proses, sangat dipengaruhi oleh interaksi karyawan dalam
lingkungan perusahaan. Ini berarti bahwa ketahanan tidak stabil, melainkan dapat dipelajari
5
dan dikembangkan, karena melibatkan pikiran, perilaku dan tindakan (American
Psychological Association, 2014).
Ketahanan juga memanifestasikan dirinya berbeda dalam pengaturan lingkungan yang
berbeda. Pengaturan ini dapat berkisar dari individu, keluarga, dan pengaturan organisasi
untuk pengaturan sosial dan budaya. Ketahanan dalam lingkungan kerja mencerminkan
kemampuan individu untuk beradaptasi dengan kesulitan dan tuntutan pekerjaan (Kossek et
al. 2016).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Luthans (2006) resiliensi menjadi faktor yang
sangat diperlukan untuk dapat mengubah ancaman-ancaman menjadi kesempatan untuk
bertumbuh, berkembang, dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi demi perubahan
yang baik. Karyawan yang tidak mampu menghadapi tantangan dan mengubah tantangan
yang dihadapi menjadi kesempatan untuk bangkit akan menunjukan perilaku
counterproductive yang merupakan lawan dari perilaku OCB. Dengan adanya resiliensi di
tempat kerja diharapkan dapat mendorong OCB. Semakin resilien seorang karyawan maka
semakin tinggi kemungkinan untuk menunjukan OCB.
Dalam setiap organisasi biasanya menyediakan akses internet untuk menunjang
kebutuhan karyawan dalam mengakses informasi. Internet telah menjadi begitu mendarah
daging dalam fungsi-fungsi organisasi sehingga menjadi suatu keharusan (Bharadwaj,
2000:189). Dalam sebuah organisasi, Internet digunakan sebagai sarana untuk tetap update
dengan segala kebutuhan saat ini, melakukan penelitian tentang produk atau ide, dan untuk
mengirim dan menerima email dengan klien (Yellowlees & Marks, 2007). Dan bagi lembaga
kependidikan terutama di jenjang perguruan tinggi. Internet ini digunakan untuk
mempermudah para mahasiswa dan karyawan yang ada di dalam nya untuk mempermudah
mengakses informasi. Mengakses website melalui internet yang terkait pekerjaan, maupun
yang tidak terkait pekerjaan dapat tersedia secara bebas untuk dijelajahi atau disalahgunakan
oleh karyawan (Claybaugh & Nazareth, 2009), perilaku ini bisa disebut dengan Cyberloafing.
Cyberloafing mengacu pada tindakan karyawan yang menggunakan akses Internet
perusahaan mereka untuk keperluan pribadi selama jam kerja (Lim, 2002; Lim & Teo, 2005).
Contoh-contoh Cyberloafing termasuk menjelajahi situs web yang tidak terkait dengan
pekerjaan (mis. Jejaring sosial, olahraga, berita dan hiburan), memeriksa dan mengirim email
pribadi dan kegiatan lain seperti belanja online dan game online.
6
Berdasarkan Rajah dan Lim (2011) mengemukakan bahwa ada hubungan negatif antara
Cyberloafing dan OCB. Mereka melanjutkan bahwa peningkatan level Cyberloafing
mengarah pada penurunan level OCB, semakin tinggi nya perilaku Cyberloafing semakin
rendahnya level OCB nya. Dan semakin rendah level OCB nya semakin rendah pula level
kinerja nya. Seperti yang dikatakan pada penelitian Robbins dan Judge (2008:46), fakta
menunjukkan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang memiliki OCB yang baik,
akan memiliki kinerja yang lebih baik.
Berdasarkan pengamatan peneliti, berkaitan dengan pengurusan beberapa surat
keterangan yang diperlukan oleh mahasiswa, pelayanan yang dilakukan oleh tenaga
kependidikan dirasakan lamban, bahkan ada yang mengatakan sangat lamban. Dari
wawancara awal pada beberapa mahasiswa S 1 maupun S 2, juga menyimpulkan hal yang
sama. Untuk surat keterangan tentang jumlah matakuliah yang telah ditempuh oleh
mahasiswa yang sedang bekerja memerlukan waktu rata – rata satu atau dua hari kerja.
Keadaan ini diperparah apabila tenaga kependidikan yang sebelumnya melayani permintaan
surat tersebut tidak berada ditempat maka mahasiswa diminta menunggu bahkan diminta
untuk kembali esuk hari tanpa ada inisiatif oleh tenaga kependidkan yang lain untuk ikut
membantu menyelesaikannya, padahal pada saat itu tenaga kependidikan tersebut tidak
sedang melakukan aktifitas pelayanan. Peneliti juga melakukan wawancara informal terhadap
beberapa mahasiswa S 1 dan juga S 2 di beberapa Fakultas dilingkungan Untag Surabaya.
Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan ada kecenderungan tenaga kependidikan
untuk menghindari tanggung jawab, kesulitan, ancaman, stressor, sebagai sebuah tim
pelayanan tenaga kependidikan. Luthans ( 2006 ) mengutarakan hal tersebut sebagai
fenomena akibat dari tingkat resiliensi yang rendah.
Berdasarkan wawancara informal terhadap tenaga kependidikan berkait dengan sistem
penilaian kinerja dilingkungan tenaga kependidikan. Untag Surabaya mengadopsi sistem
penilaian kinerja seperti yang dipakai dilingkungan pegawai negeri sipil atau DP 3. Penilaian
kinerja DP 3 menggunakan indikator indikator yang untuk ukuran parameternya sangat bias
atau sulit membedakan batasan sangat baik, baik, netral, tidak baik dan sangat tidak baik.
Terdapat keharusan sebagai suatu norma penilaian untuk selalu menilai lebih baik dari hasil
penilaian sebelumnya, untuk itu data kecenderungan kinerja tenaga kependidikan dari tahun
ketahun tidak menggambarkan peningkatan atau penurunan kinerja tenaga kependidkan.
7
Peneliti juga melakukan wawancara secara informal terhadap tenaga kependidikan yang
bertugas pada bagian kepegawaian tentang prosentase tenaga kependidikan keluar dari
lembaga. Prosentase tenaga kependidikan keluar dari lembaga sangat kecil sekali bahkan
boleh dikatakan tidak ada. Menurut mereka tenaga kependidikan keluar dari lembaga hanya
ada dua alasan yaitu meninggal dunia atau pensiun. Kondisi tersebut dapat ditengarahi atau
sebagai salah satu indikator atau fenomena bahwa Job Embeddedness yang dimaknai sebagai
rasa keterikatan karyawan terhadap pekerjaannya dan lingkungan kerjanya pada lembaga
yang tinggi.
Wawancara informal juga peneliti lakukan terhadap tenaga kependidikan tentang beban
kerja dilingkungan tenaga kependidikan. Dari wawancara informal tersebut terungkap bahwa
ritme beban kerja tidak selalu merata dari waktu ke waktu. Pada saat menjelang acara
kelulusan seperti acara penghelatan wisuda, beban kerja mereka meningkat drastis yaitu
adanya beberapa pekerjaan tambahan seperti menyiapan surat surat kelengkapan ataupun
penyiapan perlengkapan acara seremonial untuk penghelatan wisuda. Pada saat waktu yang
lain beban kerja demikian menurun sehingga banyak waktu kosong. Kondisi waktu dimana
beban kerja yang menurun tersebut dimungkinkan akan diisi oleh kegiatan lain diluar kegiatan
pekerjaan yang seharusnya. Kondisi tersebut dimungkinkan memicu adanya perilaku
Cyberloafing yaitu tindakan karyawan yang menggunakan akses Internet lembaga untuk
keperluan pribadi selama jam kerja.
Work life Balance adalah tentang menciptakan dan memelihara lingkungan kerja yang
mendukung dan sehat, yang akan memungkinkan karyawan untuk memiliki keseimbangan
antara pekerjaan dan tanggung jawab pribadi dan dengan demikian memperkuat loyalitas dan
produktivitas karyawan. Perusahaan mencari faktor-faktor berbeda yang dapat menghasilkan
sikap dan perilaku kerja yang positif dari karyawan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja
mereka (Hassan et al., 2014). Lebih jauh, meningkatkan Worklife Balance juga berkontribusi
untuk mengurangi absensi dan pergantian karyawan. Temuan empiris menunjukkan bahwa
karyawan yang merasa baik dan mengalami stres yang terbatas di tempat kerja dan di rumah
lebih cenderung merasa puas dengan pekerjaan mereka (Wright & Cropanzano, 2000).
Worklife Balance dapat memotivasi karyawan untuk terlibat dalam Organizational
Citizenship Behavior (OCB) di tempat kerja yang pada akhirnya sangat mempengaruhi
kinerja organisasi mereka secara keseluruhan (Harikaran & Thevanes, 2018). OCB adalah
kondisi dimana pekerja sanggup melaksanakan pekerjaannya dengan melampaui persyaratan
8
minimum dari deskripsi pekerjaan mereka, menyarankan peningkatan kinerja dan peningkatan
efisiensi kelompok kerja (Chelagat et al., 2015). Dalam beberapa penlitian sebelumnya
menunjukkan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) sering dijadikan sebagai
variable mediasi, seperti penelitian (Harikaran & Thevanes, 2018) Hubungan antara Worklife
Balance, OCB dan organisasi kinerja yang menyimpulkan bahwa Worklife Balance dianggap
sebagai salah satu faktor diperhatikan dalam praktik kinerja tinggi untuk mengembangkan
sikap positif yang terkait dengan pekerjaan di antara karyawan perusahaan organisasi.
Akhirnya, sikap positif yang terkait dengan pekerjaan berkontribusi untuk mendorong lebih
banyak OCB karyawan yang berubah mengarah untuk meningkatkan kinerja organisasi.
Penelitian dari (Maharani et al., 2013) yang menguji Pengaruh Kepuasan kerja terhadap
Kinerja karyawan dengan OCB sebagai variable Mediasi ditemukan jika karyawan puas, ia
akan berkontribusi peran lebih tinggi.
Universitas 17 Agustus 1045 Surabaya adalah salah satu perguruan tinggi swasta tertua
di Jawa Timur. Sebagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan sudah barang tentu
sangat terkait dengan usaha untuk meningkatkan kinerja para karyawannya. Rasa keterikatan
karyawan terhadap pekerjaannya dan kemampuan beradaptasi dengan berbagai kesulitan
dalam berbagai perubahan serta tindakan karyawan yang menggunakan akses Internet
perusahaan untuk keperluan pribadi selama jam kerja yang akan berpengaruh pada kinerja
karyawan. Perilaku positif dari karyawan dimana karyawan tersebut menyelesaikan pekerjaan
tambahan diluar pekerjaannya sendiri yang muncul tanpa ada paksaan dari siapapun dan tanpa
pengaruh imbalan yang akan berpengaruh pada kinerja karyawan menjadi sangat penting
dilingkungan lembaga terutama pada lembaga pendidikan yang memiliki volume pekerjaan
yang tidak selalu konstan atau meningkat pada saat tertentu. Berdasarkan uraian diatas maka
peneliti mengambil judul Penelitian “PENGARUH JOB EMBEDDEDNESS,
KETAHANAN KERJA (RESILIENCE), CYBERLOAFING, WORK LIFE BALANCE
TERHADAP KINERJA SERTA OCB SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA
TENAGA KEPENDIDIKAN DI UNTAG SURABAYA”
9
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah Job Embeddedness berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB pada
tenaga kependidikan UNTAG Surabaya?
2. Apakah ketahanan kerja (Resilience) berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB
pada tenaga kependidikan UNTAG Surabaya?
3. Apakah Cyberloafing berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB pada tenaga
kependidikan UNTAG Surabaya?
4. Apakah Work life balance berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB pada
tenaga kependidikan UNTAG Surabaya?
5. Apakah Job Embeddedness, berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja pada
tenaga kependidikan UNTAG Surabaya?
6. Apakah ketahanan kerja (Resilience) berpengaruh dan signifikan terhadap Kinerja
pada tenaga kependidikan UNTAG Surabaya?
7. Apakah Cyberloafing berpengaruh signifikan terhadap Kinerja pada tenaga
kependidikan UNTAG Surabaya?
8. Apakah Work life balance berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja pada
tenaga kependidikan UNTAG Surabaya?
9. Apakah OCB berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pada tenaga
kependidikan UNTAG Surabaya?
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diutarakan di atas, maka tujuan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah Job Embeddedness berpengaruh positif dan
signifikan terhadap OCB pada tenaga kependidikan UNTAG Surabaya.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah ketahanan kerja (Resilience) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap OCB pada tenaga kependidikan UNTAG Surabaya.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah Cyberloafing berpengaruh signifikan
terhadap OCB pada tenaga kependidikan UNTAG Surabaya.
10
4. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah Work life balance berpengaruh signifikan
terhadap OCB pada tenaga kependidikan UNTAG Surabaya.
5. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah Job Embeddedness berpengaruh positif dan
signifikan terhadap Kinerja pada tenaga kependidi kan UNTAG Surabaya.
6. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah ketahanan kerja (Resilience) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap Kinerja pada tenaga kependidikan UNTAG Surabaya.
7. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah Cyberloafing berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja pada tenaga kependidikan UNTAG Surabaya.
8. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah Work life balance berpengaruh positif dan
signifikan terhadap Kinerja pada tenaga kependidi kan UNTAG Surabaya.
9. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah OCB berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja pada tenaga kependidikan UNTAG Surabaya?
11
BAB II
TELAAH PUSTAKA
12
2.1.1.1 Fungsi Manajemen Sumber daya Manusia
Dalam sebuah organisasi maupun perusahaan manajemen sumber daya manusia sangat
dibutuhkan keberadaannya. Pada dasarnya perusahaan menginginkan sumber daya manusia
yang kompeten dan berkualitas yang mereka pekerjakan guna mencapai dan mewujudkan visi
maupun tujuan-tujuan perusahaan dimasa saat ini, menengah dan jangka panjang. Dalam
manajemen sumber daya manusia dipengaruhi oleh dua fungsi yaitu fungsi manajerial dan
fungsi operasional. Adapun Hasibuan (2016:21) fungsi-fungsi yang dimaksudkan adalah
sebagai berikut:
a. Fungsi Manajerial
Untuk dapat melaksanakan dan merealisasikan tugas dan perannya dengan baik maka
sebuah manajemen sangat diperlukan di dalamnya demi tercapainya tujuan. Dalam hal ini
terdapat 4 (empat) fungsi atau aktifitas dari beberapa ahli diantaranya sebagai berikut :
1. Perencanaan (planning)
Perencanaan adalah proses atau kegiatan untuk merencanakan tujuan dari sebuah
organisasi, membuat strategi untuk mencapai tujuan tersebut dan mengembangkan
rencana demi terwujudnya tujuan yang diharapkan. Perencanaan merupakan salah satu
proses yang sangat penting dari semua fungsi manajemen hal ini dikarenakan jika tidak
ada perencanaan (planning) maka fungsi manajemen lainnya yaitu pengorganisasian,
pengarahan dan pengendalian tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien
2. Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian adalah langkah atau kegiatan untuk menggolongkan karyawan dengan
menetapkan pembagian kerja, pengaruh kerja, delegasi wewenang dan hubungan kerja
dalam bentuk bagan struktur organisasi. Pengorganisasian merupakan mekanisme utama
yang digunakan oleh manajer untuk mewujudkan rencana yang telah disusun,
Pengorganisasian yang baik akan membantu tujuan yang efektif.
3. Pengarahan (Directing)
Pengarahan adalah penggerak, motivasi dan pemberian perintah. Dimana setelah
dilakukan pengorganisasian maka pengarahan sangat diperlukan. Dengan kata lain
pengarahan berarti memberi petunjuk dan perintah agar karyawan berkemauan secara
sadar untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan yang telah di tentukan oleh
perusahaan.
4. Pengendalian (Controlling)
13
Setelah diadakannya perencanaan, pengorganisasia, pengarahan maka fungsi dari
manajerial yang terakhir yaitu pengendalian. Dimana pengendalian berarti melihat,
mengamati dan menilai tindakan atau pekerjaan karyawan. Dalam hal ini kenapa
pengendalian yang di pakai dan bukan pengawasan, karena pengawasan merupakan dari
pengendalian. Hal ini dikarenakan pengawasan hanya mengawasi karyawan yang
sedang bekerja, tetapi tanpa melakukan penilaian terhadap kinerjanya. Sedangkan
pengendalian disamping mengamati kinerja karyawan, turut serta menilai hasil kinerja
dari karyawan.
b. Fungsi Operasional
14
Pemeliharaan adalah kegiatan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi yang
telah ada.
6. Pemisahan / Pelepasan / Pensiun (Separation)
Jika dilihat dari fungsi yang pertama yaitu pengadaan tenaga kerja maka sebaliknya
fungsi yang terakhir yaitu pemutusan pengaruh kerja dan memisahkan / mengeluarkan
serta mengembalikan karyawan kepada lingkungan masyarakat.
Hal-hal pokok yang dipelajari dalam MSDM adalah perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengendalian, pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan, kedisiplinan, dan pemberhentian karyawan.
Dari beberapa uraian mengenai definisi MSDM diatas, dapat disimpulkan bahwa
MSDM adalah ilmu dan seni untuk melaksanakan pengadaan, pengembangan, pemberian
kompensasi, pengintegrasian dan pemeliharaan tenaga kerja untuk pencapaian tujuan
organisasi, individu, dan masyarakat.
Menurut Siagian (2013:182), tujuan MSDM dapat dijabarkan lagi ke dalam empat
jenis, yaitu :
1. Tujuan organisasional yang bersangkutan, maksudnya MSDM yang baik digunakan
untuk meningkatkan kontribusi positif dari SDM yang dimiliki oleh suatu organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Tujuan fungsional dalam arti MSDM suatu organisasi harus mengelola SDM yang
dimilikinya agar dapat melakukan fungsinya dengan baik, baik itu fungsi pokok ataupun
fungsi penunjang.
3. Tujuan kemasyarakatan, maksudnya MSDM harus dapat menjaga SDM yang
dimilikinya agar loyal terhadap organisasi dan peka terhadap lingkungan sekitarnya
sehingga dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang nantinya dapat
berakibat negatif pada citra perusahaan di mata masyarakat.
4. Tujuan personal, maksudnya MSDM diharapkan dapat membuat anggota organisasi
sebagai individu untuk membawahkan tujuan dan kepentingan pribadinya kepada tujuan
dan kepentingan yang lebih luas untuk mencapai kepuasan bersama.
Menurut Siagian (2013:185), Fungsi MSDM terbagi menjadi dua yakni fungsi MSDM
secara manajerial dan fungsi MSDM secara operasional. Fungsi manajerial MSDM antara lain
sebagai berikut :
15
1. Perencanaan (planning), yakni penentuan program personalia yang akan membantu
tercapainya sasaran perusahaan.
2. Pengorganisasian (organizing), yakni pembagian tugas khusus pada setiap bawahan,
membangun departemen, mendelegasikan wewenang, menetapkan saluran wewenang
dan komunikasi, mengkoordinasikan kerja bawahan.
3. Pengarahan (actuating), membuat orang lain menyelesaikan pekerjaan, mempertahankan
semangat kerja, dan memotivasi bawahan. Hal ini terkait dengan gaya kepemimpinan
yang diterapkan oleh pimpinan.
4. Penyusunan staf (staffing), memutuskan tipe, jenis orang yang akan dipekerjakan
(merekrut, mengevaluasi, orientasi, melatih, dan mengembangkan karyawan).
5. Pengendalian (controlling), menetapkan standar, mengevaluasi hasil/kinerja dengan
standar, mengambil tindakan koreksi bila diperlukan.
Sedangkan fungsi operasional MSDM menurut Siagian (2013:187), antara lain:
1. Pengadaan (procurement), yakni menentukan kebutuhan tenaga kerja.
2. Pengembangan (development), meningkatkan keterampilan melalui pelatihan yang
diperlukan untuk meningkatkan prestasi yang tepat.
3. Integrasi (integration), usaha untuk membentuk rekonsiliasi yang layak atas kepentingan
karyawan, perusahaan, dan masyarakat.
4. Kompensasi (compensation), merancang balas jasa yang memadai dan layak kepada
tenaga kerja untuk sumbangan mereka kepada pencapaian tujuan perusahaan.
5. Pemeliharaan (maintenance), usaha untuk menjaga semangat kerja, kondisi lingkungan
kerja dan loyalitas karyawan.
6. Pemutusan hubungan kerja (separation), kegiatan pemutusan hubungan kerja karyawan
dari perusahaan dengan persyaratan yang ditentukan dan menjamin karyawan kembali
dalam masyarakat dalam kondisi baik.
Seluruh kegiatan yang melalui fungsi-fungsi MSDM tersebut sejatinya diarahkan untuk
mewujudkan sasaran pokok MSDM yakni mendayagunakan secara optimal SDM dalam suatu
organisasi melalui terciptanya suatu kondisi ketenagakerjaan yang memenuhi semboyan The
Right Man In The Right Place.
Perilaku organisasi berkaitan dengan bagaimana orang bertindak dan bereaksi dalam
semua jenis organisasi. Dalam kehidupan organisasi, orang dipekerjakan, dididik dan dilatih,
16
diberi informasi, dilindungi dan dikembangkan. Dengan kata lain, maka perilaku organisasi
adalah bagaimana orang berperilaku di dalam suatu organisasi.
Menurut Greenberg dan Baron yang dikutip Wibowo (2013:2), Perilaku organisasi
adalah studi tentang apa yang orang pikirkan, rasakan dan lakukan di dalam dan sekitar
organisasi. Perilaku organisasi adalah suatu studi tentang perilaku manusia dalam pengaturan
organisasi, hubungan antara individu dengan organisasi, dan organisasi itu sendiri.
Job Embeddedness menurut argumen yang dikeluarkan oleh Feldman dalam (Nafei,
2014) adalah ketika individu bisa terjerat dengan situasi sekitarnya sehingga mereka sulit
memisahkan diri dari situasi tersebut. Job Embeddedness merupakan jaringan yang
mendorong karyawan untuk tetap berada dalam organisasi (Feldman. 2001:23). Dari beberapa
pendapat di atas maka pengertian dari Job Embeddedness (JE) adalah suatu keterikatan antara
karyawan dengan perusahaannya. Di mana jalinan hubungan keterikatan yang kuat antara
karyawan dengan perusahaan akan membuat karyawan tidak berpikir lagi untuk meninggalkan
tempat itu.
Teori Job Embeddedness didasarkan pada teori Kurt Lewin yaitu field theory dan dari
embedded figures theories (Bergiel et al, 2009). Kedua teori tersebut melatarbelakangi
perkembangan teori Job Embeddedness dan menjelaskan bagaimana seseorang menjadi
terbenam dalam lingkungannya dan terhubung melalui banyak jaringan dalam latar belakang
dan lingkungan mereka, sehingga mereka menjadi sulit untuk dipisahkan dengan lingkungan
sekelilingnya. Hubungan tersebut akan membuat individu merasa terikat dan susah
melepaskan diri dari komunitasnya. Dalam lingkungan pekerjaan hubungan tersebut dapat
terbentuk baik dari dalam lingkungan pekerjaan maupun dari luar lingkungan pekerjaan.
Menurut (Mitchell et al. 2011:153) Job Embeddedness mempunyai tiga dimensi, antara lain :
1. Fit, merupakan merupakan kesesuaian atau kenyamanan pegawai dengan lingkungan atau
organisasi tempatnya bekerja
2. Link, merupakan hubungan yang bersifat formal atau informal antara seorang pegawai
dengan individu lain yang ada di lingkungan atau organisasi tempatnya bekerja.
3. Sacrifice, merupakan penilaian mengenai beban materi atau keuntungan psikologis yang
muncul apabila individu tidak meninggalkan organisasi tempatnya bekerja.
Makin kuat jalinan hubungan dan kecocokan antara individu karyawan dengan
lingkungan dalam organisasi maupun dengan komunitas di luar organisasi, serta semakin
17
besar pengorbanan yang harus dilakukan jika meninggalkan organisasi maupun komunitas di
sekitarnya, maka semakin kuat pula individu tersebut mempersepsikan dirinya terikat dengan
organisasi maupun dengan pekerjaannya.
Ikatan antara karyawan dengan pekerjaan dan organisasi selanjutnya mampu
mempengaruhi perilaku individu tersebut. Individu yang merasa ada ikatan yang kuat
(embedded) antara dirinya dengan pekerjaan dan organisasinya cenderung memiliki perilaku
yang positif dalam pencapaian tujuan organisasi dibandingkan individu yang kurang merasa
ada ikatan antara dirinya dengan organisasi.
18
penting dalam membentuk karyawan yang tangguh ketika dihadapkan pada perubahan-
perubahan yang ada di dalam organisasi. Tidak dapat dipungkiri perubahan akan terus ada dan
kemampuan beradaptasi karyawan menjadi sangat penting untuk diperhatikan demi terus
tercapainya produktivitas
Resiliensi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan alat ukur resiliensi yang
mengacu pada aspek resiliensi yang dikemukakan oleh Campbell-Sills dan Stein (2007) yang
mengacu pada Connor Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Menurut Campbell-Sills dan
Stein (2007:216) resiliensi mempunyai dua dimensi konsisten yaitu
1. Hardiness, secara umum menggambarkan ketangguhan individu dan kemampuan
menggunakan sense of humor ketika dihadapkan dengan suatu masalah serta
menggambarkan kemampuan individu dalam mengatasi perubahan terhadap situasi atau
kondisi yang tidak terduga dan menekan, penyakit kronis / kesulitan dan perasaan yang
tidak menyenangkan.
2. Persistence, menggambarkan kegigihan individu dalam mencapai sesuatu, tidak
menyerah, keyakinan atas kemampuan yang dimiliki dan bekerja keras untuk meraih
tujuan yang diinginkan walaupun dalam keadaan yang sulit.
2.1.5 Cyberloafing
Dalam beberapa dekade terakhir, kemajuan teknologi yang semakin pesat memicu
perubahan penting lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan internet adalah perubahan
paling signifikan yang mengarah pada era informasi. Di era informasi, teknologi internet telah
menjadi bagian dari kehidupan pribadi dan bisnis dan membawa manfaat besar (Özler dan
Polat, 2012). Perangkat teknologi informasi (IT) seperti komputer, tablet dan ponsel pintar
serta internet telah menyebar luas.
Ditambah lagi dengan perluasan local networks dan internet global network, komputer
tidak dapat dihilangkan dari kebutuhan kerja staf manapun (Niaei et al, 2014). Ini
menyebabkan munculnya beberapa ancaman penyalahgunaan yang meningkat. Salah satu
kasus yang paling banyak terjadi adalah Cyberloafing staf dalam organisasi. Sebagian besar
staf tidak hanya membuang waktu mereka dengan Cyberloafing juga menyebabkan banyak
masalah dalam organisasi mereka.
Perilaku Cyberloafing dianggap memiliki dampak negatif bagi instansi, karena dapat
mengganggu kinerja pada saat jam kerja. Menurut Lim dan Chen, (2012) kegiatan dunia maya
(browsing dan email) yang dilakukan di tempat kerja selama jam kerja merupakan
19
penggunaan waktu yang tidak produktif dan mengurangi karyawan dari menyelesaikan
tuntutan pekerjaan mereka (Lim dan Chen, 2012).
Sementara itu menurut (Henle & Blanchard, 2008: 236) Cyberloafing adalah
penggunaan email dan internet kantor yang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh
karyawan secara sengaja saat bekerja. (Henle & Blanchard, 2008:245) membagi Cyberloafing
menjadi dua level yaitu Cyberloafing minor dan serius. Cyberloafing minor terdiri dari
mengirim atau menerima email pribadi saat bekerja seperti berita utama dan situs internet
finansial dan shopping online. Cyberloafing serius terdiri dari mengunjungi situs internet
dewasa, memantau situs internet milik pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui chat
rooms, blog, dan iklan personal, bermain permainan online dan mengunduh musik.
Beberapa contoh perilaku Cyberloafing pegawai yaitu belanja online, browsing, situs-
situs hiburan, terlibat dalam jejaring media sosial, mencari pekerjaan, mengirim dan
menerima email pribadi, serta mengunduh file (berkas) yang tidak berhubungan dengan
pekerjaan (Greenfield, 2002:347). Perilaku Cyberloafing harusnya dapat dikurangi, jika
pegawai memiliki kontrol diri untuk mengontrol tindakan yang secara langsung dapat
mempengaruhi kualitas kerja sehingga Cyberloafing di tempat kerja tidak terjadi pada saat
jam kerja.
Berdasarkan penjelasan definisi perilaku Cyberloafing yang telah dijelaskan diatas,
perilaku Cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku karyawan
menggunakan akses internet kantor untuk keperluan pribadi dan di luar pekerjaan seperti
mengecek dan membalas email personal, membuka jejaring sosial seperti Facebook, Twitter,
Instagram, Youtube, Blog, bermain game online, berbelanja online, mencari berita atau
entertainment dan mengunduh data yang tidak berhubungan dengan kerja.
Dalam penelitian ini Cyberloafing diukur menggunakan skala Cyberloafing yang
disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikembangkan oleh Lim (2002:23) , yaitu: aktivitas
browsing dan aktivitas berkaitan dengan e-mail. Semakin tinggi skor pada skala Cyberloafing
menunjukkan semakin baik perilaku Cyberloafing, sebaliknya semakin rendah skor
menunjukkan semakin buruk perilaku Cyberloafing.
Work Life Balance pada dasarnya memiliki fungsi penting bagi setiap karyawan, hal ini
bertujuan agar karyawan memiliki kualitas hidup yang berimbang antara pekerjaan dan
kehidupan pribadi. Vyas & Shrivastava (2017) Mendefinisikan work life balance adalah
20
keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan seorang individu, Misalkan memiliki
waktu lebih untuk bersantai, memiliki hubungan yang baik dengan teman kerja, serta
membantu dapat bekerja dengan maksimal. Work life balance berfokus pada suatu keadaan
berimbang pada dua tuntutan aspek pekerjaan dan kehidupan pribadi individu (Lockwood,
2003). Menurut Ramadhani (2012) sejauh ini upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan work life balance adalah pemberian hadiah, fasilitas di lokasi pekerjaan,
jaminan kesehatan untuk keluarga serta kebijakan peraturan cuti yang mudah.
Work life balance menurut Fisher dkk (2019) dilandaskan pada 4 aspek utama yakni: 1)
Work Interference with Personal Life (WIPL), Aspek ini mendasarkan pada sejauh mana
pekerjaan individu dapat menganggu kehidupan di luar pekejaan atau kehidupan pribadi.
Misalkan Ketika individu bekerja harus mengorbankan waktu Bersama keluarga mereka. 2)
Personal Life Interference with Work (PLIW), Aspek ini dilandaskan pada sejauh mana
kehidupan pribadi individu menganggu kehidupan pekerjaan individu atau berkebalikan
dengan work Interference with personal life. Misalkan individu atau karayawan memiliki
permasalahan rumah tangga yang menganggu aktivitas dan produktivitas kinerja mereka. 3)
Personal Life Encancement of Work (PLEW), Aspek ini mengacu pada seberapa jauh
kehidupan individu dapat meningkatkan produktivitas mereka dalam dunia pekerjaan. Hal ini
bisa terjadi dikarenakan kehidupan di luar pekerjaan yang sehat sehingga mampu membantu
meningkatkan kinerja mereka dalam bekerja. 4) Work Enchancement of Personal Life
(WEPL), Aspek ini menekankan pada sejauh mana dunia kerja individu dapat meningkatkan
kualitas kehidupan diluar pekerjaan atau kehidupan pribadi individu. Hal ini bisa terjadi
misalkan individu dapat memanfaatkan keahlian mereka dalam dunia pekerjaan dalam
kehidupan sehari hari diluar pekerjaan mereka.
21
Menurut Organ (1983:26) OCB merupakan bentuk perilaku yang merupakan perilaku
pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal organisasi tetapi
secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Ini berarti perilaku tersebut tidak
termasuk ke dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak
ditampilkan pun tidak diberi hukuman.
Dari definisi OCB tersebut dapat disimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku positif
berupa kontribusi positif individu yang mendalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan
dilakukan tanpa ada paksaan dari siapapun dan tanpa imbalan apapun. Dilihat dari
definisinya, OCB sangat baik untuk perusahaan maupun karyawannya sendiri, karena selain
meningkatkan produktivitas dan kinerja juga dapat meningkatkan hubungan positif antar
karyawan.
Dengan meninjau literatur yang relevan dari Organizational Citizenship Behavior,
dimensi yang paling relevan yang diperkenalkan oleh Organ (1983:29) sebagai berikut :
1. Altruism, yaitu perilaku membantu meringankan pekerjaan yang ditujukan kepada
individu dalam suatu organisasi.
2. Courtesy, yaitu membantu teman kerja, mencegah timbulnya masalah sehubungan
dengan pekerjaannya dengan cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai
kebutuhan mereka.
3. Sportsmanship, yaitu toleransi pada situasi yang kurang ideal di tempat kerja tanpa
mengeluh.
4. Civic virtue, yaitu terlibat dalam kegiatan organisasi dan peduli pada kelangsungan hidup
organisasi.
5. Conscientiousness yaitu melakukan hal-hal yang menguntungkan organisasi seperti
mematuhi peraturan-peraturan di organisasi.
Menurut Bangun (2012:99) mengatakan kinerja adalah hasil pekerjaan yang dicapai
seseorang berdasarkan persyaratan-persyaratan pekerjaan, persyaratan biasa disebut dengan
standar kerja, yaitu tingkat yang diharapkan suatu pekerjaan tertentu untuk dapat diselesaikan
dan diperbandingan atas tujuan atau target yang ingin dicapai.
Menurut Mangkunegara (2016:159) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
22
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Jadi definisi kinerja hasil kerja karyawan baik
kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh karyawan dalam periode tertentu sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan.
Digambarkan sebagai "tindakan dan perilaku yang berada di bawah kendali individu
yang berkontribusi pada tujuan organisasi" (Rotundo & Sackett, 2002, hal. 66), kinerja kerja
bersifat multidimensi (Campbell, 1990:85) dan dapat dikategorikan menjadi:
1. Task performance / Kinerja tugas, yang mensyaratkan perilaku dan kegiatan terkait
pekerjaan yang memberikan dukungan untuk aspek teknis perusahaan atau pemeliharaan
proses dan fungsi koordinasi (Borman & Motowidlo, 1993: 71; Motowidlo, Borman, &
Schmit, 1997:32).
2. Contextual performance / Kinerja kontekstual, yang mencakup perilaku yang menopang
pengaturan psikologis dan sosial yang lebih luas di mana kinerja tugas terjadi (Borman &
Motowidlo, 1993:71).
3. Adaptive performance / Kinerja adaptif, yaitu sejauh mana seseorang beradaptasi dengan
perubahan dalam sistem kerja atau peran kerja (Griffin, Neal, & Parker, 2007). Ini
termasuk memecahkan masalah secara kreatif; menghadapi situasi kerja yang tidak pasti
atau tidak dapat diprediksi; mempelajari tugas, teknologi, dan prosedur baru; dan
beradaptasi dengan individu lain, budaya, atau lingkungan fisik (Koopmans et al., 2011).
Kinerja dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan indikator yang diadopsi dari
Setiawan dan Kartika (2014:147) yaitu:
1. Ketepatan penyelesaian tugas merupakan pengelolaan waktu dalam bekerja dan juga
ketepatan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan
2. Kesesuaian jam kerja merupakan kesediaan karyawan dalam mematuhi peraturan
perusahaan yang berkaitan dengan ketepatan waktu masuk/pulang kerja dan jumlah
kehadiran.
3. Tingkat kehadiran dapat dilihat dari jumlah ketidakhadiran karyawan dalam suatu
perusahaan selama periode tertentu.
4. Kerjasama antar karyawan merupakan kemampuan karyawan untuk bekerja sama dengan
orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan sehingga mencapai daya
guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya.
23
2.2 Penelitian Terdahulu
1. Aldenisa B.R (2019), meneliti Hubungan Antara Job Embeddedness Dan Organizational
Citizenship Behavior Pada Karyawan Bank. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif antara Job Embeddedness dan Organizational Citizenship
Behavior (OCB) pada karyawan bank. Yang artinya semakin tinggi tingkat Job
Embeddedness maka akan semakin tinggi pula tingkat Organizational Citizenship
Behavior pada karyawan bank. Begitupun sebaliknya, apabila semakin rendah tingkat
Job Embeddedness maka akan semakin rendah juga tingkat Organizational Citizenship
Behavior pada karyawan bank
2. Elvina Pekasa dan Rostiana (2018), meneliti Peran Job Embeddedness Terhadap Kinerja
Dengan Keterikatan Kerja Dan Keinginan Untuk Menetap Sebagai Mediator. Hasil
penelitian tersebut ditemukan bahwa job embeddedness dapat berperan secara langsung
maupun tidak langsung yaitu melalui keterikatan kerja dan keinginan untuk menetap
sehingga akan mendorong seseorang untuk tetap tinggal di dalam perusahaan yang
kemudian akan meningkatkan kinerja
3. Nur Indah Sari (2017), meneliti Kontribusi Resiliensi Terhadap Organizational
Citizenship Behavior (OCB) Pada Perawat Di Kota Makassar. Hasil penelitian tersebut
ditemukan bahwa ada kontribusi positif antara resiliensi dan OCB pada perawat di Kota
Makassar sebesar 84%. Sehingga, semakin tinggi resiliensi yang dimiliki perawat maka
semakin tinggi OCB yang dimilikinya. Begitupun sebaliknya ketika seorang perawat
memiliki resiliensi yang rendah maka OCB yang dimilikinya juga akan semakin rendah
4. Happy Paul et,al (2016), meneliti Employee Resilience and OCB: Mediating Effects of
Organizational Commitment ditemukan bahwa terdapat hubungan positif antara
Resilience dan OCB. Hasil memberikan bukti empiris yang mendukung hubungan positif
antara ketahanan dan OCB. Ini berarti bahwa karyawan yang memiliki tingkat ketahanan
lebih tinggi lebih cenderung menampilkan OCB
5. Johana Susanti Gunawan (2017), meneliti Organizational Citizenship Behavior Yang
Berpengaruh Pada Kinerja Karyawan Dan Kepuasan Konsumen Di Hotel Sheraton
Surabaya. Hasil penelitian ditemukan bahwa variabel OCB juga berpengaruh terhadap
kinerja karyawan Hotel Sheraton Surabaya. Dengan adanya perilaku OCB ini akan
membuat kinerja karyawan semakin baik, karena perilaku ini membuat karyawan
24
bersedia bekerja melebihi kewajibannya dan secara langsung akan membuat kinerja
karyawan tersebut menjadi lebih baik.
6. Myristika Ayu Putri (2018), meneliti Pengaruh Cyberloafing Terhadap Organizational
Citizen Behavior: Studi Pada Kalangan Karyawan Berusia Muda Di PT. Asam Jawa
Medan ditemukan bahwa ada pengaruh antara Cyberloafing terhadap organizational
citizen behavior pada PT. Asam Jawa Medan. Diperoleh hasil bahwa Cyberloafing
berpengaruh positif (0,490) dan signifikan (000<0,05) terhadap organizational citizen
behavior
7. M Derry Prasetya (2020), meneliti Pengaruh Cyberloafing Terhadap Kinerja Pegawai
Dengan Self Control Sebagai Variabel Moderating. Hasil penelitian ditemukan bahwa
Cyberloafing berpengaruh negatif terhadap kinerja pegawai. Hal ini menunjukkan
semakin tinggi tingkat intensitas Cyberloafing maka akan semakin buruk kinerja pegawai
8. Lim dan Chen (2012), meneliti Cyberloafing at the workplace: Gain or drain on work?.
Behavior & Information Technology. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cyberloafing
memiliki dampak negatif pada kinerja pegawai, hasil temuan mengatakan aktivitas
mengirim email memiliki dampak negatif pada emosi karyawan, sementara aktivitas
browsing memiliki dampak positif.
9. Koay et al. (2017), meneliti Antecedents and consequences of cyberloafing: evidence
from the Malaysian ICT industry dalam 301 karyawan dari Malaysia dan menemukan
bahwa perdagangan cyber tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja.
10. Ana Sara Teixeira Santos (2016), meneliti Impact Of Cyberloafing And Physical
Exercise On Performance: An Experimental Research. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Cyberloafing memiliki efek negatif dalam kinerja kognitif dan motorik, sementara
latihan fisik memiliki efek positif dalam kinerja kognitif dan motorik.
11. Kevin Landon Askew (2012), meneliti The Relationship Between Cyberloafing and Task
Performance and an Examination of the Theory of Planned Behavior as a Model of
Cyberloafing. Hasil penelitian menunjukkan Cyberloafing tidak memiliki hubungan kuat
dengan kinerja tugas; orang melakukan cyberloaf ketika mereka mempunyai waktu
luwang. Satu-satunya saat cyberloafing tampak berbahaya adalah ketika dilakukan secara
berlebihan.
25
2.3 Hubungan Antara Variable
Job Embeddedness merupakan jaringan yang mendorong karyawan untuk tetap berada
dalam organisasi (Feldman. 2001:23). Di mana jalinan hubungan keterikatan yang kuat antara
karyawan dengan perusahaan akan membuat karyawan tidak berpikir lagi untuk
meninggalkan tempat itu., dimana rasa memiliki ini merupakan perwujudan dari aspek link
yang tinggi.
Hal ini membuat karyawan tetap berada di organisasi dan meyakini bahwa keluar dari
pekerjaan saat ini merupakan hal yang sangat berat. Nyaman dalam berelasi dengan karyawan
lain akan membuat seorang karyawan tidak segan-segan untuk membantu karyawan lain yang
sedang mengalami kesulitan, baik hal pribadi maupun hal yang berkaitan dengan pekerjaan.
Ini merupakan perwujudan dimensi altruism pada OCB. Makin kuat jalinan hubungan dan
kecocokan antara individu karyawan dengan lingkungan dalam organisasi maupun dengan
komunitas di luar organisasi, serta semakin besar pengorbanan yang harus dilakukan jika
meninggalkan organisasi maupun komunitas di sekitarnya, maka semakin kuat pula individu
tersebut mempersepsikan dirinya terikat dengan organisasi maupun dengan pekerjaannya
(Mitchell et al. 2011)
Karyawan dengan Job Embeddedness yang rendah akan sulit untuk menemukan
tempat yang cocok baginya (Mitchell et al. 2011). Ketidakcocokan ini berdapak pada
hubungan karyawan dengan rekan kerja yang menjadi renggang karena tidak adanya
kecocokan dalam beberapa hal. Hal ini membuat karyawan dengan mudah dan tidak merasa
berat hati untuk keluar dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain. Bahkan mungkin bagi
karyawan berpindah-pindah pekerjaan dalam kurun waktu yang berdekatan.
Berpindah-pindah pekerjaan dalam kurun waktu yang dekat menunjukkan karyawan
tersebut tidak memiliki karakteristik dalam dimensi civic virtue. Dimana dalam dimensi
tersebut dikatakan karyawan yang baik adalah karyawan yang bertanggung jawab dengan
kelangsungan organisasi. Berdasarkan asumsi di atas, peneliti tertarik untuk melihat fenomena
hubungan Job Embeddedness dan OCB. Dimana tinggi rendahnya Job Embeddedness
mempengaruhi OCB. Pengaruh Job Embeddedness terhadap OCB juga disimpulkan oleh
penelitian Aldenisa B.R (2019). Aldenisa B.R meneliti Hubungan Antara Job Embeddedness
Dan Organizational Citizenship Behavior Pada Karyawan Bank. Hasil penelitian tersebut
26
menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara Job Embeddedness dan Organizational
Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan bank.
27
bahwa resiliensi secara positif berhubungan dengan OCB. Artinya, orang-orang yang
memiliki tingkat resiliensi yang tinggi kemungkinan akan senantiasa menampilkan perilaku
OCB.
Kesimpulan resiliensi berpengaruh terhadap OCB juga disimpulkan oleh Nur Indah
Sari (2017), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada kontribusi positif antara resiliensi
terhadap OCB pada perawat di Kota Makassar sebesar 84%. Sehingga, semakin tinggi
resiliensi yang dimiliki perawat maka semakin tinggi OCB yang dimilikinya.
28
justru memberikan dampak positif bagi karyawan maupun organisasinya. Cyberloafing dapat
membantu karyawan dari kebosanan, kelelahan, dan stres, dapatmeningkatkan kepuasan
kerja, kreatifitas, kesejahterahan, sebagai bentuk rekreasi dan pemulihankaryawan, dan
membuat karyawan lebih bahagia (Vitak, Crouse, & LaRose, 2011). Cyberloafing
memberikan efek positif bagi karyawan sehingga karyawan dapat memunculkan perilaku
inovatif yang berguna bagi perusahannya (Yogun, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lim & Rajah (2011) nyatanya
Cyberloafing adalah salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap munculnya perilaku
OCB. Perilaku Cyberloafing yang diperkuat dengan teknik netralisasi nantinya akan
memunculkan perilaku OCB. Cyberloafing yang dilakukan oleh para karyawan nyatanya
menimbulkan rasa bersalah karyawan sehingga karyawan tersebut berusaha di imbangi
dengan memunculkan perilaku yang melebihi deskripsi pekerjaannya yakni perilaku OCB
(Lim & Rajah , 2011). Myristika Ayu Putri (2018) menyimpulkan bahwa ada pengaruh antara
Cyberloafing terhadap organizational citizen behavior pada PT. Asam Jawa Medan. Penelitian
terkait hubungan antara Cyberloafing dan perilaku OCB sampai saat ini dirasa masih kurang
khususnya di Indonesia. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan hasil yang berbeda
diantara kedua variabel penelitian. Maka dari itu perlu adanya penelitian lebih lanjut
mengenai hubungan antara kedua variabel. Dengan demikian, penelitian ini berfokus untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara Cyberloafing dengan perilaku Organizational
Citizenship Behavior (OCB).
Bekerja dan keluarga, menurut teori border, adalah dua entitas yang berbeda tetapi
saling terkait yang dihubungkan oleh orang-orang yang memiliki aturan, perasaan, keyakinan,
pola pikir, dan perilaku yang berbeda (Karassvidou & Glaveli, 2015). Work Life Balance
(WLB) didefinisikan sebagai tindakan menjaga keseimbangan antara waktu untuk
berkomitmen pada aktivitas profesional dan komponen kehidupan pribadi seseorang untuk
menjaga keseimbangan hubungan (Durudolu & Mamudu, 2020).
Ketika suatu organisasi gagal menerapkan WLB dengan tepat, maka akan berdampak
pada kinerja, kepuasan kerja, produktivitas, kesehatan, dan loyalitas terhadap organisasi
(Durudolu & Mamudu, 2020). Ketika karyawan memiliki lebih banyak WLB, itu
menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif dan meningkatkan OCB karyawan
(Thevanes & Harikaran, 2020). Kepuasan kerja karyawan meningkat sebagai akibat dari
29
WLB, yang mendorong OCB karyawan. Dalam konteks organisasi, karyawan yang puas lebih
cenderung terlibat dalam OCB di tempat kerja (Thevanes & Harikaran, 2020). Oleh karena
itu, WLB memiliki hubungan positif dengan OCB.
30
fungsi koordinasi (Borman & Motowidlo, 1993:71; Motowidlo, Borman, & Schmit,
1997:32).
2. Kinerja kontekstual, yang mencakup perilaku yang menopang pengaturan psikologis dan
sosial yang lebih luas di mana kinerja tugas terjadi (Borman & Motowidlo, 1993:71).
3. Kinerja adaptif, yaitu sejauh mana seseorang beradaptasi dengan perubahan dalam sistem
kerja atau peran kerja (Griffin, Neal, & Parker, 2007). Ini termasuk memecahkan masalah
secara kreatif; menghadapi situasi kerja yang tidak pasti atau tidak dapat diprediksi;
mempelajari tugas, teknologi, dan prosedur baru; dan beradaptasi dengan individu lain,
budaya, atau lingkungan fisik (Koopmans et al., 2011).
Organisasi membutuhkan karyawan berkinerja tinggi untuk mencapai tujuan mereka
(Sonnentag & Frese, 2005), dan kapasitas karyawan untuk ketahanan dapat secara signifikan
meningkatkan kinerja mereka. Penelitian telah mengungkapkan korelasi positif antara
ketahanan dan kinerja kerja (Kumari & Sangwan, 2015). Selain itu, ketahanan telah
ditemukan untuk mengurangi dampak negatif dari perasaan tidak aman pekerjaan yang
dirasakan pada komitmen organisasi dan kepuasan kerja, yang terkait dengan kinerja
pekerjaan (Rus & Baban, 2013). Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa karyawan
yang sangat tangguh memiliki kemampuan untuk menghadapi lingkungan yang agresif
(Luthans, Avolio, Avey, & Norman, 2015). Itu juga telah menunjukkan bahwa ketahanan,
bersama dengan variabel terkait, dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas dan
fleksibilitas kognitif individu untuk beradaptasi dengan perubahan dengan ketenangan,
prestasi, dan akuntabilitas (Spreitzer & Cameron, 2011).
Penelitian telah menunjukkan hubungan positif antara ketahanan dan kinerja
karyawan, sambil menyoroti pentingnya pengembangan karyawan yang tangguh (Luthans,
Avolio, Walumbwa, & Li, 2005). Memperkuat hubungan positif antara ketahanan dan hasil
organisasi, penelitian tambahan menemukan bahwa ketahanan terkait dengan peningkatan
profitabilitas, peningkatan kepuasan kerja, dan komitmen kepada perusahaan (Luthans,
Youssef, & Avolio, 2015). Dalam penelitian ini akan menguji tingkat seberapa besar
pengaruh Cyberloafing dalam tenaga kependidikan.
Delecta (2011) Work Life Balance didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk
memenuhi pekerjaan dan komitmen berkeluarga mereka, serta tanggung jawab non-pekerjaan
lainnya. Sementara itu Ganapathi (2016) berpendapat bahwa Worklife balance adalah
31
kemampuan individu untuk menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dengan kebutuhan
pribadi serta keluarganya seperti komitmennya dalam keluarga dan tanggungjawab diluar
pekerjaan lainnya. Fisher et al. (2009) menemukan dimensi pembentuk Worklife balance
yaitu WIPL (Work Interference Personal Life), PLIW (Personal Life Interference Work),
PLEW (Personal Life Enhancement of Work), WEPL (Work Enhancement of Personal Life).
Menurtu Kinman (2008) bahwa banyak karyawan yang tidak dapat menyeimbangkan atau
memberikan batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan akan rentan
mengalami konflik kehidupan. Oleh karena itu perusahaan memiliki peranan dalam membuat
kebijakan work life balance bagi karyawan. Dimana kebijakan ini dapat berdampak pada
peningkatan performa atau kinerja karyawan (Vyas & Shrivastava). Penelitian yang dilakukan
Ganapathi (2016) memberikan gambaran bahwa penting dalam menerapkan work life balance
seperti waktu kerja yang fleksibel perlu diberlakukan dengan maksud agar karyawan dapat
menjalankan aktivitas lain seperti hobi dan keperluan pribadi di luar pekerjaan mereka.
Diharapkan dengan adanya penerapan work life balance dapat meningkatkan performa dan
kinerja karyawan. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Bataineh (2019) yang mana dari
289 sampel menyatakan bahwa keberimbangan antara hubungan rekan kerja, dengan adanya
waktu kerja fleksibel memberikan dampak yang signifikan terhadap kenaikan kinerja
karyawan. Sejalan dengan penelitian Dousin (2019) pada dokter dan perawat di Malaysia
yang diharuskan bekerja sesuai jadwal yang berubah-ubah. Hal tersebut dianggap dapat
menimbulkan konflik kerja yang lebih tinggi, sehingga dengan adanya pengaturan jadwal
kerja yang fleksibel akan mampu membantu untuk meningkatkan performa kinerja. Selain
waktu yang fleksibel kepuasan kerja dianggap dapat meningkatkan kinerja karyawan. Pada
penelitian Rene dan Wahyuni (2018) work life balance secara signifikan berpengaruh pada
terpenuhinya kepuasan kerja. Yang mana Ketika kepuasan kerja individu terpenuhi akan
berpengaruh terhadap meningkatnya performa kinerja karyawan. Menurut penelitian Eviana
(2020) yang menyatakan salah satu strategi untuk mencapai work life balance adalah
memiliki jam kerja yang fleksibel. Soomro dkk., (2018) menyatakan bahwa karyawan yang
tidak memiliki keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan mengakibatkan
produktivitas yang tidak maksimal serta dapat berakibat buruk bagi perusahaan tempat
karyawan bekerja. Hal ini dikarenakan work life balance menentukan jumlah waktu yang
tersedia bagi karyawan untuk memenuhi peran dalam kehidupan sebagai keluarga atau
sebagai karyawan. Sehingga Ketika individu tidak memiliki keseimbangan antara kedua peran
32
tersebut akan berpengaruh terhadap produktivitas kinerja mereka. Hasil penelitian Sania dkk.,
(2016) pada karyawan PT PLN (Persero) didapatkan hasil bahwa peningkatan produktivitas
dalam menjalani kehidupan pribadi dan pekerjaan dikarenakan adanya keseimbangan antara
keduanya (work life balance). Selain itu, peran work life balance berdampak ke arah yang
positif dalam meningkatkan kinerja karyawan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Johari dkk., (2018) dimana didapatkan hasil
bahwa work life balance berdampak signifikan terhadap peningkatan kinerja yang
dikarenakan individu memiliki kemampuan mengendalikan masalah pribadi, mampu
mengontrol stres dan memenuhi peran dalam kehidupan pribadi maupun dalam pekerjaan.
Menurut Organ (1983:14) OCB merupakan bentuk perilaku yang merupakan perilaku
pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal organisasi tetapi
secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Ini berarti perilaku tersebut tidak
termasuk ke dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak
ditampilkan pun tidak diberi hukuman. Dari definisi OCB tersebut dapat disimpulkan bahwa
OCB merupakan perilaku positif berupa kontribusi positif individu yang mendalam melebihi
tuntutan peran di tempat kerja dan dilakukan tanpa ada paksaan dari siapapun dan tanpa
33
imbalan apapun. Dilihat dari definisinya, OCB sangat baik untuk perusahaan maupun
karyawannya sendiri, karena selain meningkatkan produktivitas dan kinerja juga dapat
meningkatkan hubungan positif antar karyawan. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Johana
Susanti Gunawan (2017) menyimpulkan bahwa variabel OCB juga berpengaruh terhadap
kinerja karyawan Hotel Sheraton Surabaya.
34
BAB III
Model konseptual dalam penelitian ini menyatakan hubungan antar variabel dibangun
berdasarkan telaah pustaka serta didukung oleh penelitian terdahulu yang menunjukkan
bahwa OCB dan kinerja tenaga kependidikan dipengaruhi oleh empat variabel bebas yaitu Job
Embeddedness, Resillience, dan Cyberloafing, Work-Life Balance. Atas kajian teori dan
kajian empiris maka dapat disusun model konseptual yang mendasari rumusan hipotesis yang
akan diuji kebenarannya. Sedangkan untuk menguji hipotesis dilakukan pengambilan sampel,
pengukuran variabel, desain dan pencarian data penelitian. Kemudian data yang dikumpulkan
dianalisis menggunakan Structural equation modeling (SEM) dengan AMOS 24. Hasil
pengujian hipotesis merupakan temuan yang dihasilkan dari tesis. Berikut model konseptual
yang akan digunakan sebagai alur berfikir dan sebagai dasar penelitian ini
35
Keterangan:
: Garis pengaruh
3.2 Hipotesis
36
BAB IV
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi empiris yang mengkaji adanya hubungan antara Job
Embeddedness, ketahanan (resilliece) kerja, Cyberloafing, dan Work Life Balance terhadap
Kinerja, dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) sebagai variabel intervening pada
tenaga kependidikan UNTAG surabaya”.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory research,
dimana dalam penelitian ini nantinya akan ditelaah hubungan kausal antar variabel-variabel
melalui pengujian hipotesis yang telah ditetapkan sebelumnya.
4.2.1 Populasi
No Divisi Populasi
1 FISIP 6
2 FAK. EKONOMI & BISNIS 8
3 FAK. HUKUM 6
4 FAK. TEKNIK 23
5 FAK. PSIKOLOGI 10
6 FAK. ILMU BUDAYA 7
7 FAK. VOKASI 8
8 LPPM 8
9 BPM 3
10 BAGIAN UMUM REKTORAT 7
37
No Divisi Populasi
11 BAGIAN HUMAS 6
12 BAGIAN KERJASAMA 3
13 BAGIAN AKADEMIK 15
14 BAGIAN TEKNOLOGI INFORMASI 3
15 BAG. KMHS & ALUMNI 6
16 BAGIAN SDM 8
17 BAGIAN KEUANGAN 4
18 BADAN PERPUSTAKAAN 19
19 DIREKTORAT ORGANISASI dan HUKUM 11
20 DIREKTORAT KEUANGAN 6
21 DIREKTORAT SISTEM INFORMASI 15
22 DIREKTORAT UNIT USAHA 17
TOTAL 201
Tabel 4.1 Data Karyawan UNTAG Surabaya
4.2.2 Sampel
Menurut Sugiyono (2017:81), sampel adalah sebagai berikut : "Sampel adalah bagian
dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan
peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena
keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil
dari populasi itu. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive
sampling atau sampel bertujuan dimana sampel dipilih untuk dapat mengungkap kondisi yang
sebenarnya dari populasi sesuai dengan maksud dan tujuan sebuah penelitian (Sugiyono,
2015:187).. Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus slovin
sebagai berikut :
n = N / ( 1 + N.(e)2 )
Dimana :
n : Jumlah sampel
N : Jumlah populasi
e : Batas toleransi kesalahan (error tolerance)
Dalam penelitian ini batas toleransi ditetapkan sebesar 5%, maka :
38
n = N / ( 1 + N.(e)2 )
n = 201 / ( 1 + 201.(5%)2 )
n = 133.7 ≈ 134 orang
a. Variabel Independen
Adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel dependen. Dalam penelitian ini variabel independennya adalah:
1. Job Embeddedness (X1)
Adalah konsep dimana seorang karyawan merasa terikat dengan pekerjaan dan
organisasi karena pengaruh dari dalam pekerjaan (on the job) maupun dari luar
pekerjaan (off the job).
Untuk mengukur tingkat Job Embeddedness pada karyawan penelitian ini
menggunakan skala likert. Menggunakan indikator yang dirancang oleh mitchel dalam
tiga dimensi :
a. fit
b. links
c. sacrifice
2. Ketahanan (Resilliece) Kerja (X2)
Resilliece adalah kualitas individu untuk tetap berkembang dalam menghadapi
kesulitan. Resiliensi diukur dengan mengacu pada skala CD-RISC yang telah
diadaptasi. Skala resiliensi ini terdiri 10 item dan dikelompokan kedalam indikator:
a. Kegigihan (hardiness) individu dalam menyelesaikan masalah
b. Ketangguhan (persistence) individu dalam menyelesaikan masalah
Para responden diminta untuk menunjukkan seberapa baik setiap pernyataan
menggambarkan perilaku dan tindakan mereka.
3. Cyberloafing (X3).
Cyberloafing adalah penggunaan email dan internet kantor yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan oleh karyawan secara sengaja saat bekerja (Henle &
Blanchard, 2008:236).
39
Dalam penelitian ini Cyberloafing diukur menggunakan skala Cyberloafing yang
disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikembangkan oleh Lim (2002:23) , yaitu:
a. aktivitas browsing
b. aktivitas berkaitan dengan e-mail.
Semakin tinggi skor pada skala Cyberloafing menunjukkan semakin baik perilaku
Cyberloafing, sebaliknya semakin rendah skor menunjukkan semakin buruk perilaku
Cyberloafing. Dan penelitian ini menggunakan skala likert.
4. Work Life Balance
Work Life Balance (WLB) didefinisikan sebagai tindakan menjaga keseimbangan
antara waktu untuk berkomitmen pada aktivitas profesional dan komponen kehidupan
pribadi seseorang untuk menjaga keseimbangan hubungan (Durudolu & Mamudu,
2020).
Dalam penelitian ini Work Life Balance (WLB) akan diukur menggunakan indikator
Fisher dkk (2019) y a n g dilandaskan pada 4 aspek utama yaitu:
a. Work Interference with Personal Life (WIPL)
b. Personal Life Interference with Work (PLIW)
c. Personal Life Encancement of Work (PLEW)
d. Work Enchancement of Personal Life (WEPL
b. Variabel Antara ( intervening )
Merupakan variabel yang berada di antara dua variabel penelitian. Variabel
intervening dapat menjadi variabel pendukung namun juga dapat menjadi variabel
pengganggu hubungan dua variabel penelitian. Dalam penelitian ini sebagai variabel
intervening adalah Organizational Citizenship Behavior (OCB) (Z). OCB adalah perilaku
positif berupa kontribusi positif individu yang mendalam melebihi tuntutan peran di
tempat kerja dan dilakukan tanpa ada paksaan dari siapapun dan tanpa imbalan apapun.
Identifikasi OCB pada penelitian ini diidentifikasi dengan lima dimensi yang diukur
dengan menggunakan skala likert meliputi :
a. altruism
b. civic virtue
c. conscientiousness
d. courtesy
e. sportsmanship
40
c. Variabel Dependen.
Adalah variabel yang dipengaruhi atau yang terjadi perubahan akibat dari perubahan
variabel independen. Dalam penelitian ini variabel dependen (y) adalah kinerja. Menurut
Mangkunegara (2016:178) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya.
Kinerja dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala likert dengan
indikator yang diadopsi dari Setiawan dan Kartika (2014:147) yaitu:
a. Ketepatan penyelesaian tugas
b. Kesesuaian jam kerja
c. Tingkat kehadiran
d. Kerjasama antar karyawan
Berdasarkan sifatnya data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif
dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk numerik dan dapat digunakan
untuk menjawab hipotesis yang diajukan. Sedangkan data kualitatif adalah data yang
berbentuk non angka untuk melihat proporsi atau bagian yang termasuk dalam objek
penelitian.
Sedangkan menurut sumbernya data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
41
1. Data Primer, data yang diperoleh secara langsung di lokasi dimana penelitian diadakan
berupa kuesioner
2. Data Sekunder, data yang diperoleh dari pihak lain yang berhubungan dengan penelitian
ini yaitu meliputi :
a. Gambaran umum tentang objek penelitian
b. Struktur organisasi objek penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada tenaga kependidikan UNTAG Surabaya Sedangkan
waktu penelitian adalah pada semester ganjil tahun akademik 2019-2020
Indikator dimensi dapat ditujukan dengan beberapa syarat yang digunakan sebagai
validitas yang signifikan jika dapat memenuhi syarat tersebut. Syarat-syarat nya adalah
sebagai berikut:
42
a. Loading Factor diharuskan signifikan. guna indikator variabel yang digunakan
mampu dinyatakan valid, sehingga pada aplikasi AMOS dapat dilihat terhadap nilai
output pada Standardization Regression Weight SEM, nilai critical rationya
diharuskanya lebih tinggi dua kali dari standar errornya (SE)
b. Nilai Standardized loading estimate diharuskan lebih besar dari 0.60
c. Interpretasi dan modifikasi model, jika model diterima, peneliti mampu
mempertimbangkan diteruskannya modifikasi terhadap model guna memperbaiki teori
dari goodness of fit. Modifikasi dari model awal wajib dilakukan setelah banyak
dipertimbangkan. Jika model dimodifikasi, maka model tersebut harus diestimasikan
dengan data terpisah sebelum model modifikasi diterima. Pengukuran model dapat
dilakukan dengan modification indices. Nilai modification indices sama dengan
terjadinya penurunan Chi-square jika koefisien diestimasi.
Menurut Hair et, al dalam Ghozali (2008:61-70) mangajukan tahapan pemodelan dan analisis
persamaan struktural menjadi 7 langkah yaitu:
1. Pengembangan Model Berbasis Teori
Model persamaan struktural didasarkan pada hubungan kausalitas, dimana sebuah
perubahan variabel diasumsikan akan berakibat kepada perubahan pada variable lainnya.
Kuatnya hubungan kausalitas antara dua variabel yang diasumsikan oleh peneliti bukan
terletak pada metode analisis yang dia pilih, tetapi terletak pada justifikasi (pembenaran)
secara teoritis untuk mendukung analisis.
2. Menyusun Diagram Jalur (Path Diagram)
Langkah berikutnya adalah menyusun hubungan kausalitas dengan diagram jalur.
Diagram jalur akan mempermudah peneliti melihat hubungan-hubungan kausalitas yang
43
diuji. Hubungan-hubungan kausal biasanya dinyatakan dalam bentuk persamaan, tetapi
dalam SEM hubungan kausalitas tersebut cukup digambarkan dalam sebuah path diagram
dan selanjutnya bahasa program akan mengkonversi gambar menjadi persamaan dan
persamaan menjadi estimasi.
3. Menyusun Persamaan Struktural
Setelah menyusun diagram jalur selanjutnya adalah menyusun persamaan strukturalnya.
Ada dua hal yang perlu dilakukan yaitu menyusun model struktural, yaitu
menghubungkan antar konstruk laten baik endogen maupun eksogen dan menyusun
measurement model yaitu menghubungkan konstruk laten endogen atau eksogen dengan
variabel indikator atau manifest
4. Memilih Jenis Input Matrik dan Estimasi Model yang Diusulkan
Perbedaan SEM dengan teknik-teknik multivariant lainnya adalah dalam input data yang
di gunakan input matrik varian/kovarian untuk menguji teori. Namun demikian jika
peneliti hanya ingin melihat pola hubungan dan tidak melihat total penjelasan yang
diperlukan dalam uji teori, maka pengguna matrik korelasi dapat diterima
44
Dimana normalisasi diuji dengan melihat gambar histogram data dan diuji dengan metode
statistik. Sedangkan uji linearitas dapat dilakukan dengan mengamati scatterplots dari data
serta dilihat pola penyebarannya.
c. Outliers
Adalah observasi yang muncul dengan nilai ekstrim yaitu yang muncul karena kombinasi
karakteristik yang unik dan terlihat sangat berbeda dengan observasi
yang lain.
d. Multicollinearity dan Singularity
Adanya multikolinearitas dapat dilihat dari determinan matriks kovarian yang sangat kecil
dengan melihat data kombinasi linear dari variabel yang dianalisis.
Keterangan Goodness of Fit Index (Ghozali, 2008:66-68) :
a. X2 Chi Square statistik merupakan ukuran fundamental dari overall fit. Ukuran
fundamental dari overall fit adalah likehood-ratio chi-square (χ2). Model yang diuji
dipandang baik atau memuaskan apabila nilai chi Square nya rendah, semakin kecil χ2
semakin baik model itu tingkat signifikannya (α) dan diterima berdasarkan probabilitas
(p).
b. CMIN/DF adalah The Minimum Sample Discrepancy Function adalah nilai chi-square
yang dibagi dengan degree of freedom. Nilai ratio 5 atau < 5 termasuk ukuran yang
reasonable. Kemudian dikembangkan lagi nilai ratio < 2 termasuk ukuran yang fit.
c. GFI (Goodness of Fit Index)adalah ukuran non-statistik yang nilainya berkisar antara 0
sampai 1. Semakin tinggi nilainya menunjukkan fit yang lebih baik. Nilai GFI > 0,90
mengisyaratkan model yang diuji memiliki kesesuaian yang baik.
d. RMSEA (The Root Mean Square Error of Approximation) merupakan ukuran yang
mencoba memperbaiki kecenderungan statistik chi square menolak model dengan jumlah
sampel yang besar. Nilai RMSEA antara 0,05 dan 0,08 mengindikasikan indeks yang baik
untuk menerima kesesuaian sebuah model.
e. AGFI (Adjusted Goodness Of Fit Index) merupakan pengembangan dari Goodness of
Fit Index (GFI) yang telah disesuaikan dengan ratio degree of freedom. Analog dengan
R2 pada regresi berganda. Nilai yang direkomendasikan adalah AFGI ≥ 0,90. Semakin
besar nilai AFGI maka semakin baik kesesuaian yang dimiliki model.
f. TLI (Turker Lewis Index) merupakan incremental index yang membandingkan sebuah
model yang diuji terhadap sebuah baseline model, dimana nilai yang direkomendasikan
45
sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model adalah ≥ 0,90 dan nilai yang mendekati 1
menunjukkan a very good fit.
g. NFI (Normed Fit Index), merupakan ukuran perbandingan antara porposed model dan
null model. Nilai NFI berkisar antara 0 sampai 1 dan nilai yang
direkomendasikan sebesar ≥ 0,90.
Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui hubungan adanya pengaruh atau tidak antar
variabel penelitian. Pengujian ini dengan cara menganalisis nilai Regression Weight, yaitu
nilai Critical Ratio (CR) dan Probability (P). Batasan yang disyaratkan yaitu ≥ 1,96 untuk
nilai CR dan ≤ 0,05 untuk nilai P. Apabia hasil olah data menunjukkan nilai yang memenuhi
syarat tersebut, maka hipotesis penelitian yang diajukan dapat diterima.
46
DAFTAR PUSTAKA
American Psychological Association. (2014). The road to Resilience. Retrieved from
http://www.apa.org/helpcenter/road-Resilience.aspx
Aldenisa B.R. (2019). Hubungan Antara Job Embeddedness Dan Organizational Citizenship
Behavior Pada Karyawan Bank. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Ana Sara Teixeira Santos (2016). Impact Of Cyberloafing And Physical Exercise On
Performance: An Experimental Research. ISCTE Business School, Human Resources and
Organizational Behavior Department
Anisman, H. (2015). Stress and your health from vulnerability to Resilience. UK: John Willey
Blanchard, A.L. and Henle, C.A. (2008). Correlates of different forms of cyberloafing: the
role of norms and external locus of control. Computers in Human Behavior, 24(3):1067-1084
Bergiel, E. B., Nguyen, V. Q., Clenney, B. F., dan Taylor, G.S. 2009. “Human Resource
Practices, Job Embeddedness And Intention to Quit”. Management Research News, 32 (3), p.
205-219
Borman, W. C., & Motowidlo, S. J. (1993). Expanding the criterion domain to include
elements of contextual performance. In N. Schmitt & W. C. Borman (Eds.), Personnel
selection in organizations (pp. 71–98). San Francisco: Jossey-Bass
Claybaugh Craig & Nazareth Derek (2009). Nazareth Measuring Severity of Internet Abuse in
the Workplace: Creation of a Thurstone Scale.AIS eLibrary
47
Elvina Pekasa, Rostiana (2018). Peran Job Embeddedness Terhadap Kinerja Dengan
Keterikatan Kerja Dan Keinginan Untuk Menetap Sebagai Mediator. Jurnal Muara Ilmu
Sosial, Humaniora, dan Seni
Griffin, M. A., Neal, A., & Parker, S. K. (2007). A new model of work role performance:
Positive behavior in uncertain and interdependent contexts. Academy of Management
Journal, 50(2), 327–347
Greenfield DN, Davis RA (2002). Lost in cyberspace: The web @ work. CyberPsychol.
Behav. 5:347-353.
Happy Paul, Umesh Kumar Bamel, and Pooja Garg. (2016). Employee Resilience and OCB:
Mediating Effects of Organizational Commitment. The Journal for Decision Makers 41(4)
308–324. Indian Institute of Management.
Halbesleben, J.R.B., & Wheeler, A.R. (2008). The relative roles of engagement and
embeddedness in predicting job performance and intention to leave. Work & Stress, 22(3),
242 – 256
Ivancevich, J.M, Konopaske, R. Matteson, M.T. (2007). Perilaku dan Manajemen Organisasi
Jilid 1 Edisi ke tujuh. Jakarta: Erlangga
John P. Campbell, Jeffrey J. Mchenry, Lauress L. Wise. (1990). Modeling Job Performance
In A Population Of Jobs. Wiley Online Library
Kevin Landon Askew (2012). The Relationship Between Cyberloafing and Task Performance
and an Examination of the Theory of Planned Behavior as a Model of Cyberloafing.
University of South Florida
Kossek, E., & Perrigino, M. B. (2016). Resilience: A review using a grounded integrated
occupational approach. Academy of Management Annals, 10(1), 729-797.
Kossek, E. and Distelberg, B. (2009). Work and family employment policy for a transformed
work force: Current trends and themes. In A. C. Crouter & A. Booth (Eds.), Work-Life
Policies (pp.3-51). Washington, DC: Urban Institute Press.
48
Kossek, E. and Lautsch, B. A. (2012). Work–family boundary management styles in
organizations: A cross-level model. Organizational Psychology Review, 2(2), 152-171
Koopmans, L., Bernaards, C. M., Hildebrandt, V. H., Schaufeli, W. B., De Vet, H. C. W., Van
der Beek, A. J.(2011). Conceptual frame- works of individual work performance: A
systematic review. Journal of Occupational and Environmental Medicine, 53(8), 856–866
Laura Campbell-Sills and Murray B. Stein (2007). Psychometric Analysis and Refinement of
the Connor–Davidson Resilience Scale (CD-RISC): Validation of a 10-Item Measure of
Resilience
Lim, V. K. G. (2002). The IT way of loafing on the job: Cyberloafing, neutralizing and
organizational justice. Journal of Organizational Behavior, 23: 675-694.
Lim, V. & Chen, D. (2012). Cyberloafing at the workplace: Gain or drain on work?.
Behavior & Information Technology, 31 (4): 334-353
Lee, T.W., Mitchell, T.R., Sabliyanski, C.J., Burton, J.P., & Holtom, B.C. (2004). The effect
of Job Embeddedness on organizational citizenship, job performance, volitional absences,
and voluntary turnover. The Academy of Management Journal, 47(5), 711 – 722
Lee, T.W., Burch, T.C., & Mitchell, T.R. (2014). The story wof why we stay: a review of Job
Embeddedness. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior,
199 – 216
Luthans, F., Avolio, B, Walumbwa, F., & Li, W. (2005). The psychological capital of Chinese
workers: Exploring the relationship with performance. Management and Organization
Review, 1(2), 247–269.
Luthans, F., Avey, J. B., Avolio, B. J., Norman, S. M., & Combs, G. M. (2006).
Psychological capital development: toward a micro-intervention Brief Introduction to PsyCap
49
The Input of Hope Development. Journal of Organizational Behaviour, 27(December 2005),
387–393
Luthans, F., Avolio, B. J., Avey, J. B., & Norman, S. M. (2015). Positive psychological
capital: Measurement and relationship with performance and satisfaction, Leadership
Institute Faculty Publications.
Mathis, R. L,. & John H. J. (2013). Human Resource Management (Manajemen Sumber Daya
Manusia). Ed 10. Jakarta: Salemba Empat
Mitchell, T. R., & Lee, T. W. (2011). The Unfolding Model Of Voluntary Turnover and Job
Embeddedness: Foundations for a Comprehensive Theory of Attachment ( Electronic
version). Research in Organizational Behavior, 23, 189-246
Motowidlo, S. J., Borman, W. C., & Schmit, M. J. (1997). A theory of individual differences
in task and contextual performance. Performance, 10(2), 71–83.
M Derry Prasetya (2020) Pengaruh Cyberloafing Terhadap Kinerja Pegawai Dengan Self
Control Sebagai Variabel Moderating
Mitchell, T.R., Holtom, B.C., Lee, T.W., Sablynski, C.J., & Erez, M. (2001). Why people
stay: using job embeddednes to predict voluntary turnover. Academy of Management Journal,
44(6), 1102 – 1121
Niaei, M., Peidaei, M. M. and Nasiripour, A. A. (2014). The relation between staff
cyberloafing and organizational commitment in organization of environmental protection.
Kuwait Chapter of Arabian Journal of Business and Management Review, 3 (7): 59-71.
50
dan Kepuasan Kerja. Makalah. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan
Nur Indah Sari. (2017). Kontribusi Resiliensi Terhadap Organizational Citizenship Behavior
(OCB) Pada Perawat Di Kota Makassar. Universitas Hasanuddin Makassar
Podsakoff, P., M., MacKenzie, S., B., Paine, J., B., & Bachrach, D., G. (2000).
Organizational Citizenship Behaviors: A critical review of the theoretical and empirical
literature and suggestions for future research. Journal of Management, 26 (3), 513-563.
Robbins SP, dan Judge (2008). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat Hal 22
Rushton, H. C., Batcheller, J., Schroader, K. & Donohue, P. (2015). Burnout and Resilience
among nurses practicing in high- intencity setting. American Assosiation of Critical-Care,
24(5), 412-420
Rotundo, M., & Sackett, P. R. (2002). The relative importance of task, citizenship, and
counterproductive performance to global ratings of job performance: A policy-capturing
approach. Journal of Applied Psychology, 87(1), 66–80
Rus, C. L., & Baban, A. (2013). Correlates of positive psychological capital: A synthesis of
the empirical research published between January 2000 and January 2010. Cognition, Brain,
Behavior: An Interdisciplinary Journal, 17(2), 109–133
Kesuksesan Karier (Studi pada Karyawan PT. Asuransi Jiwa Generali Indonesia). Jurnal
Ilmiah
Sutrisno, E. (2014). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
51
Simamora, Henry. (2014). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Bagian
Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN
Smith, B. W., Dalen, J., Wiggins, K., Tooley, E., Christopher, P., & Bernard, J. (2008). The
brief Resilience scale: assessing the ability to bounce back. International journal of behavioral
medicine, 15(3), 194-200.
Smith, Organ, W., P. Near. 1983. Organizational Citizenship Behavior: Its Nature and
Antesedent. American Psychological Association,inc, Vol. 68. 653663
Setiawan, Ferry dan Dewi, Kartika. (2014). Pengaruh Kompensasi Dan Lingkungan Kerja
Terhadap Kinerja Karyawan pada CV. Berkat Anugrah. Jurnal. Denpasar: Universitas
Udayana
Sonnentag, S., & Frese, M. (2005). Performance concepts and performance theory. In S.
Sonnentag (Ed.), Psychological management of individual performance. Chichester, UK:
Wiley. Doi: 10.1002/0470013419.ch1
Sondang P. Siagian. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta
Spreitzer, G. M., & Cameron, K. S. (2011). A path forward: Assessing progress and exploring
core questions for the future of positive organizational scholarship. The Oxford handbook of
positive organizational scholarship. New York: Oxford University
Spector, P. E., & Fox, S. (2010). Theorizing about the deviant citizen: An
attributionalexplanation of the interplay of organizational citizenship and counterproductive
workbehavior. Human Resource Management Review, 132-143
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta,
CV.
Triwartono. (2017). Pengaruh Stres Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Karyawan
Majalah Mother And Baby). Vol 4, no 2
Van Scooter, J. R., Motowidlo, S. J., & Cross, T. C. (2000). Effects of task performance and
contextual performance on systemic rewards. Journal of Applied Psychology, 85, 526–535
52
Vyas, A., & Shrivastava, D. (2017). Factors affecting work life balance - a review. Pacific
Business Review International, 9(7), 194–200.
Wheeler, A.R., Harris, K.J., & Sabliyanski, C.J. (2012). How do employees invest abundant
resources? The mediating role of work effort in the Job Embeddedness / job performance
relationship. Journal of Applied Social Psychology, 42(1), 244 – 266
Youssef, C. M., & Luthans, F. (2007). Positive organizational behavior in the workplace: The
impact of hope, optimism, and Resilience. Journal of Management, 33, 774–800.
Yellowlees, P. M., & Marks, S. (2007). Problematic Internet use or Internet addiction?
Computers in Human Behavior, 23(3), 1447–1453
53
SURAT PERMOHONAN PENGISIAN KUESIONER
Kepada yth :
Bapak/Ibu/saudara/i
Tenaga Kependidikan Untag 45 Surabaya di tempat
Dengan Hormat.
Sehubungan untuk memenuhi kelengkapan Penyusunan Tesis, kami
bermaksud mengadakan penelitian pada Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dengan
judul penelitian PENGARUH JOB EMBEDDEDNESS DAN CYBERLOAFING
TERHADAP KINERJA KARYAWAN SERTA ORGANIZATIONAL
CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) SEBAGAI VARIABEL INTERVENING
PADA KARYAWAN KEPENDIDIKAN UNTAG 45 SURABAYA. Penelitian ini
kami lakukan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian pasca sarjana pada
Universitas 17 Agustus 1945. Maka dengan segala kerendahan hati peneliti, memohon
kesediaan bapak/ibu/saudara/i untuk sedikit meluangkan waktu mengisi kuesioner yang
telah dilampirkan.
Hormat Saya
54
KUESIONER PENELITIAN
SS TS STS
KETERANGAN (Sangat S N (Tidak (Sangat
Setuju) (Setuju) (Netral) Setuju) Tidak
Setuju)
SKOR 5 4 3 2 1
Data Responden
Sebelum menjawab pertanyaan dalam kuesioner ini, mohon Saudara mengisi data berikut
terlebih dahulu. (Jawaban yang saudara berikan akan diperlakukan secara rahasia). Pilihlah
salah satu jawaban dengan memberikan tanda silang [√] pada kotak yang disediakan.
1. Nama Responden :
......................................................................................
55
JOB EMBEDDEDNESS (X1)
RESILIENCE (X2-1)
No PERNYATAAN SS S N TS STS
1. Hardines (X2-1)
1 Saya mampu beradaptasi dengan perubahan
56
10 Saya mampu mengatasi perasaan tidak
menyenangkan seperti kesedihan, ketakutan, dan
kemarahan
CYBERLOAFING
No PERNYATAAN SS S N TS STS
1. Browsing Activities (X3-1)
57
6 saya pernah mengajak rekan kerja saya untuk makan
siang bersama dan sharing mengenai kendala atau
masalah yang dihadapi dalam menyelesaikan
tugasnya
7 Saya mengingatkan rekan kerja saya untuk
menyelesaikan tugas nya
4. Sportmanship ( Z 4 )
8 Saya mudah beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi dalam perusahaan
9 Saya tidak pernah mengeluh tentang tugas dan
kebijakan perusahaan
5. Civic Virtue ( Z 5 )
10 Saya rutin mengikuti kegiatan-kegiatan yang
diadakan perusahaan tempat Saya bekerja
11 Saya tertarik untuk mencari informasi-informasi
penting yang dapat bermanfaat bagi perusahaan
12 Saya selalu mempertimbangkan hal-hal terbaik
untuk kemajuan perusahaan kedepannya
No PERNYATAAN SS S N TS STS
1. ketepatan penyelesaian tugas ( Y 1 )
1 Saya selalu mengerjakan tugas kerja sesuai tanggung
jawab untuk mencapai hasil yang maksimal
2. Kesesuaian Jam Kerja ( Y 2 )
2 Saya selalu masuk kerja sesuai peraturan yang
ditetapkan
3. Tingkat Kehadiran ( Y 3)
3 Saya tidak pernah absen kerja kecuali ada kendala
yang mengharuskan tidak bekerja
4. Kerjasama Antar Karyawan ( Y 4 )
4 Saya mengutamakan kepentingan kelompok
dibanding kepentingan pribadi dalam menyelesaikan
tugas yang diberikan
58
Model Fit Summary
CMIN
Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF
Default model 61 1132.804 239 .000 4.740
Saturated model 300 .000 0
Independence model 24 2125.709 276 .000 7.702
RMR, GFI
Model RMR GFI AGFI PGFI
Default model .231 .617 .519 .491
Saturated model .000 1.000
Independence model .450 .374 .320 .344
Baseline Comparisons
NFI RFI IFI TLI
Model CFI
Delta1 rho1 Delta2 rho2
Default model .467 .385 .526 .442 .517
Saturated model 1.000 1.000 1.000
Independence model .000 .000 .000 .000 .000
Parsimony-Adjusted Measures
Model PRATIO PNFI PCFI
Default model .866 .404 .448
Saturated model .000 .000 .000
Independence model 1.000 .000 .000
NCP
Model NCP LO 90 HI 90
Default model 893.804 792.806 1002.318
Saturated model .000 .000 .000
Independence model 1849.709 1706.700 2000.134
FMIN
Model FMIN F0 LO 90 HI 90
Default model 9.285 7.326 6.498 8.216
Saturated model .000 .000 .000 .000
59
Model FMIN F0 LO 90 HI 90
Independence model 17.424 15.162 13.989 16.395
RMSEA
Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE
Default model .175 .165 .185 .000
Independence model .234 .225 .244 .000
AIC
Model AIC BCC BIC CAIC
Default model 1254.804 1286.248 1426.348 1487.348
Saturated model 600.000 754.639 1443.655 1743.655
Independence model 2173.709 2186.080 2241.201 2265.201
ECVI
Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI
Default model 10.285 9.457 11.175 10.543
Saturated model 4.918 4.918 4.918 6.186
Independence model 17.817 16.645 19.050 17.919
HOELTER
HOELTER HOELTER
Model
.05 .01
Default model 30 32
Independence model 19 20
Assessment of normality
Variable min max skew c.r. kurtosis c.r.
C1.1 1.000 5.000 -.034 -.152 -1.238 -2.802
C1.2 1.000 5.000 .019 .087 -1.243 -2.815
C1.4 1.000 5.000 -.053 -.240 -1.134 -2.568
K1.4 1.000 5.000 .012 .056 .088 .200
K1.3 1.000 5.000 -1.213 -5.490 2.169 4.910
K1.2 1.000 5.000 -.660 -2.987 -.261 -.590
K1.1 1.000 5.000 -1.019 -4.613 2.345 5.308
O1.10 1.000 5.000 .130 .590 -1.247 -2.822
O1.9 1.000 5.000 -.160 -.726 -1.101 -2.493
O1.8 1.000 5.000 -.050 -.228 -1.222 -2.767
O1.7 1.000 5.000 .018 .082 -1.311 -2.968
O1.6 1.000 5.000 -.025 -.115 -1.260 -2.852
60
Variable min max skew c.r. kurtosis c.r.
O1.4 1.000 5.000 -.165 -.748 -1.030 -2.333
O1.3 1.000 5.000 -.057 -.260 -1.007 -2.281
O1.2 1.000 5.000 -.305 -1.380 -1.007 -2.280
O1.1 1.000 5.000 -.137 -.620 -1.134 -2.567
R1.4 1.000 5.000 -.095 -.429 -1.135 -2.569
R1.5 1.000 5.000 -.245 -1.109 -1.397 -3.163
R1.6 1.000 5.000 -.115 -.519 -1.281 -2.901
R1.9 1.000 5.000 -.198 -.894 -1.134 -2.566
R1.10 1.000 5.000 -.311 -1.408 -1.333 -3.018
J1.3 1.000 5.000 .636 2.880 .542 1.228
J1.2 1.000 5.000 .335 1.519 -.007 -.015
J1.1 1.000 5.000 -1.083 -4.903 .756 1.712
Multivariate 193.097 30.310
Squared Multiple Correlations
Indikator Estimate
J1.1 .653
J1.2 .720
J1.3 .816
R1.4 .671
R1.5 .745
R1.6 .636
R1.9 .811
R1.10 .801
C1.1 .942
C1.2 .667
C1.4 .955
O1.1 .701
O1.2 .699
O1.3 .711
O1.4 .643
O1.6 .944
O1.7 .731
O1.8 .832
O1.9 .730
O1.10 .833
K1.1 .958
K1.2 .898
K1.3 .757
K1.4 .686
61