Anda di halaman 1dari 6

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
Jalan : DR. S.H. Sarundajang Kawasan Ringroad I Manado – Sulawesi Utara 95128 Telp/Fax 0431
860616 -850774 Website : http://www.iain-manado.ac.id Email : biro@iain-manado.ac.id

SOAL UAS ULUMUL QUR’AN

Dosen Pengampu : Nur Shadiq Sandimula, SHI, ME


Waktu :-
Ruang :-
Format : Tertulis

1. Ketika anda mendapati dalam al-Qur’an ayat yang memiliki redaksi umum, namun
memiliki sebab khusus, mana yang harus didahulukan? Berikan penjelasan anda berserta
dalilnya!
2. Apakah perbedaan Qira’at mempengaruhi penafsiran? Jika demikian apakah al-Qur’an
memiliki banyak versi bacaan yang berimplikasi perbedaan makna kandungannya?
Berikan penjelasan Anda disertai dalil dan argumentasinya!
3. Pada pembahasan Nasikh dan Mansukh bahwa suatu ayat dihapus oleh ayat lain secara
hukum, bagaimana cara mengetahui bahwa suatu ayat dihapus oleh ayat yang lain, serta
berikan contoh penghapusan (naskh) tersebut!
4. Bagaimana cara yang tepat dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihat yang memberikan
implikasi dan makna penyerupaan Allah dengan makhluk (tasybih)? Berikan penjelasan
anda berserta dalilnya!
5. Bagaimana pendapat anda mengenai penggunaan sains untuk mendukung kemukjizatan
al-Qur’an? Bukankah temuan sains bersifat tidak mutlak sehingga dapat dibuktikan salah
(falsifikasi) di kemudian hari? Berikan argumentasi anda!

SELAMAT MENGERJAKAN

Nama : Raihan Ramadhan Mokodompit


Nim : 20241079
JAWABAN

1. Pertama, kaidah yang mementingkan redaksi ayat, kaidah ini diikuti oleh
jumhur ulama, yaitu:
ِ ْ‫ال ِعب َْرةُ بِ ُع ُموْ ِم اللَّ ْف ِظ اَل بِ ُخصُو‬
ِ َ‫ص ال َّسب‬
‫ب‬
“yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab”

Wujud implementasi kaidah ini terdapat dalam Q.S. al-Mujadilah [58]: 2-4 tentang
hukum dhihar. Ayat tersebut memiliki konteks khusus yaitu tentang Khaulah binti
Tsa’labah yang diumpamakan oleh Aus ibn al-Shamit (suaminya) seperti
punggung ibunya. Namun, karena redaksi ayat tersebut menggunakan ism maushul
berupa kata alladzina, maka ayat tersebut diberlakukan umum.
Hal ini dikarenakan ism maushul termasuk bagian dari shiyagh al-’umum (redaksi
yang berlaku umum). Oleh karena itu, ayat tersebut berlaku tidak hanya bagi
Khaulah, tetapi juga terhadap semua perempuan yang mengalami perlakuan yang
sama dengan Khaulah.

Kedua, kaidah yang mengedepankan kekhususan sebab, sebagaimana diikuti oleh


sebagian ulama, yaitu:

‫ب اَل بِ ُع ُموْ ِم اللَّ ْف ِظ‬ ِ ْ‫ال ِعب َْرةُ بِ ُخصُو‬


ِ َ‫ص ال َّسب‬
“yang dijadikan pedoman ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal”

Ulama yang menggunakan pendekatan kaidah kedua ini berargumentasi bahwa


sebuah lafal dapat dibatasi oleh kekhususan sebab turunya ayat tersebut. Maka dari
itu hukum dhihar dalam Q.S. al-Mujadilah [58]: 2-4 berlaku khusus untuk Khaulah
binti Tsa’labah. Begitupun juga hukum li’an dalam Q.S. al-Nur [24]: 6-9 berlaku
khusus untuk Hilal ibn Umayyah.

Adapun hukum bagi yang orang yang memiliki perlakuan yang sama seperti dua
konteks tersebut, maka hukum tersebut tidak ditetapkan dari lafal ayat. Tetapi
ditetapkan berdasarkan pendekatan qiyas (analogi) atau melalui ijtihad berdasarkan
kaidah ushul fikih Hukmiy ala al-Wahid Hukmiy ala al-Jama’ah (keberlakuan
hukum terhadap seseorang juga diberlakukan kepada masyarakat luas).

Q.S al-Mujadilah [58] 2-4

‫الَّ ِذينَ يُظَا ِهرُونَ ِم ْن ُك ْم ِم ْن نِ َساِئ ِه ْم َما ه َُّن ُأ َّمهَاتِ ِه ْم ِإ ْن ُأ َّمهَاتُهُ ْم ِإال الالِئي َولَ ْدنَهُ ْم َوِإنَّهُ ْم لَيَقُولُونَ ُم ْن َكرًا ِمنَ ْالقَوْ ِل‬
‫) َوالَّ ِذينَ يُظَا ِهرُونَ ِم ْن نِ َساِئ ِه ْم ثُ َّم يَعُو ُدونَ لِ َما قَالُوا فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ِم ْن قَب ِْل َأ ْن‬2( ‫َو ُزو ًرا~ َوِإ َّن هَّللا َ لَ َعفُ ٌّو َغفُو ٌر‬
‫صيَا ُ~م َشه َْر ْي ِن ُمتَتَابِ َعي ِْن ِم ْن قَب ِْل َأ ْن يَتَ َماسَّا فَ َم ْن‬
ِ َ‫) فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬3( ‫يَتَ َماسَّا َذلِ ُك ْم تُو َعظُونَ بِ ِه َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬
)4( ‫ك ُحدُو ُد هَّللا ِ َولِ ْل َكافِ ِرينَ َع َذابٌ َألِي ٌم‬ َ ‫ك لِتُْؤ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َوتِ ْل‬َ ِ‫ط َعا ُ~م ِستِّينَ ِم ْس ِكينًا َذل‬ ْ ‫} لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَِإ‬
Artinya :Orang-orang yang men-zihar istrinya di antara kamu (menganggap
istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu
mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta.
Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang
men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum
kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak
mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman
kepada Allah dan RasulNya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-
orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.

Referensi : https://tafsiralquran.id/kaidah-asbabun-nuzul-manakah-yang-harus-
didahulukan-keumuman-lafaz-atau-kekhususan-sabab/

2. Perbedaan qira'at sangat mempengaruhi penafsiran bahkan memberikan


kontribusi yang penting dalam pengambilan keputusan (istinbat) hukum. Bahkan
mempengaruhi tradisi keagamaan umat Islam. Pengaruh qiraat ini bukan hanya
ditemukan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan fiqh bahkan pada ayat lainnya,
seperti ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai moral ataupun teologis. Pengaruh
tersebut rata-rata bersifat positif, dalam arti bahwa perbedaan penafsiran yang
disebabkan perbedaan qiraat bersifat saling melengkapi, saling menguatkan, saling
menjelaskan. Kalaupun
terdapat perbedaan yang tidak bisa dikompromikan maka hal itu justru
memberikan alternatif kepada umat Islam untuk menjalankan agamanya secara
lebih beragam dan lebih mudah sesuai tuntutan situasi dan kondisi.

Perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an dapat diklasifikasikan ke dalam dua poin.


Pertama, perbedaan bacaan yang berkaitan dengan teknis pengucapan lafadz dalam
lahjah/dialek kebahasaan. Kedua, perbedaan bacaan yang berkaitan dengan
substansi lafadz. Perbedaan yang berkaitan dengan teknis pengucapan lafadz
dalam lahjah/dialek kebahasaan tidak berpengaruh pada perubahan makna.
Perbedaan bacaan seperti ini banyak ditemukan dalam kaidah “ushul al-qira’at”,
seperti membaca lafadz (~‫ )والضحى‬sebagian imam qira’at membaca fathah, sebagian
yang lain membaca taqlil dan yang lain membaca imalah. Perubahan bacaan
seperti di atas tidak berpengaruh pada makna, karena perbedaan bacaan hanya dari
sisi dialek kebahasaan. Perbedaan seperti ini lebih dominan dalam ayat-ayat Al-
Qur’an dibandingkan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada subtansi lafadz Al-
Qur’an.

Sementara perbedaan bacaan yang berkaitan dengan subtansi lafadz, pada


umumnya, dapat berpengaruh pada perubahan makna. Dalam literatur ilmu qira’at,
perbedaan ini lebih didominasi dalam kaidah “furusy al-qira’at”.

Ada banyak contoh dalam Al-Qur’an perbedaan bacaan yang berpengaruh pada
makna, dalam hal ini, penulis akan menguraikan per tema. Pada kesempatan ini
penulis akan menguraikan tentang batas seorang suami melakukan hubungan
dengan istrinya setelah mentruasi. Perbedaan ini terdapat pada ayat 222 surat al-
Baqarah.

ْ َ‫يض َواَل تَ ْق َربُوه َُّن َحتَّى ي‬


َ‫طهُرْ نَ فَِإ َذا تَطَهَّرْ ن‬ ِ ‫يض قُلْ هُ َو َأ ًذى فَا ْعت َِزلُوا النِّ َسا َء فِي ْال َم ِح‬ ِ ‫ك ع َِن ْال َم ِح‬ ~َ َ‫َويَ ْسَألُون‬
ُ ‫فَْأتُوه َُّن ِم ْن َحي‬
ُ ‫ْث َأ َم َر ُك ُم هَّللا‬

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah,


“itu adalah sesuatu yang kotor”. karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan
jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah
kepadamu.”
Dalam ayat di atas, para ulama sepakat bahwa seorang suami dilarang melakukan
hubungan intim dengan istrinya dalam keadaan haid. Demikian pula, mereka
sepakat bahwa seorang suami boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya
jika telah selesai dari haid.

Referensi : (Al-Qadhi, al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah:


11).
(Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, 6: 418).

Sumber: https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/pengaruh-perbedaan-qira-at-dalam-al-
qur-an-terhadap-makna-i-DHmw6

3. Cara untuk mengetahui suatu ayat dihapus oleh ayat yg lain sebagai berikut :
1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu
mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif
sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan
dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman
seseorang dari dua perawi.

Di dalam turunnya Al Quran ada beberapa ayat yang di nasikh mansukhkan.


Berikut ini adalah contoh ayat yang terjadi nasikh mansukh seperti ayat 65 dari
surat Al Anfal secara lafal tetap akan tetapi hukum syari nya tidak diamalkan atau
dihapuskan oleh ayat ke 66 yaitu:

ٌ‫صابِرُونَ يَ ْغلِبُوا ِماَئتَي ِْن َوِإن يَّ ُكن ِّم ْن ُك ْم ِماَئة‬


َ َ‫َال ِإن يَ ُكن ِّمن ُك ْم ِع ْشرُون‬ ِ ‫ض ْال ُمْؤ ِمنِينَ َعلَى ْالقِت‬ ِ ‫يَآَأيُّهَا النَّبِ ُّي َح ِّر‬
َ‫يَ ْغلِبُوا َأ ْلفًا ِّمنَ الَّ ِذينَ َكفَرُوا بَِأنَّهُ ْم قَوْ ٌ~م ال يَ ْفقَهُون‬
Artinya : Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika
ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka
mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-
orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

ٌ ‫صابِ َرةٌ يَ ْغلِبُوا ِماَئتَ ْي ِن َوِإن يَ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم َأ ْل‬


‫ف يَ ْغلِبُوا‬ َ ‫ْالَئانَ َخفَّفَ هللاُ عَن ُك ْم َو َعلِ َم َأ َّن فِي ُك ْم‬
َ ٌ‫ض ْعفًا فَِإن يَ ُكن ِّمن ُكم ِّماَئة‬
َ‫َأ ْلفَ ْي ِن بِِإ ْذ ِن هللا َوهللا َم َع الصَّابِ ِرين‬
Artinya : Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui
padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang
sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada
seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan
Allah beserta orang-orang yang sabar.

Referensi : https://www.binaaku.web.id/2012/08/makalah-nasikh-wal-
mansukh.html
4. Pertama, metode tafwidl (disebut sebagian ulama dengan istilah ta’wil
ijmali/takwil secara global). Metode ini digunakan oleh sebagian besar ulama salaf
(ulama yang hidup pada tiga abad pertama Hijriah). Yaitu dengan cara
mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah makna lahiriahnya yang
merupakan sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi
memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa
menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat
mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat, yakni dengan meyakini bahwa
ayat-ayat mutasyabihat tersebut tidak mengandung makna yang bertentangan
dengan makna ayat-ayat muhkamat.

Kedua, metode ta’wil (disebut sebagian ulama dengan istilah ta’wil tafshili/takwil
secara terperinci). Metode ini digunakan oleh sebagian besar ulama khalaf (ulama
yang hidup setelah tiga abad pertama Hijriah). Mereka menakwil (memaknai) ayat-
ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai
dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama salaf,
mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan makna lahiriahnya.

Metode ta’wil ini sangat tepat dan bijak untuk diterapkan, terutama ketika
dikhawatirkan terjadi goncangan aqidah di kalangan orang-orang awam demi
untuk menjaga dan membentengi mereka dari keyakinan tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya). Metode ini juga digunakan oleh sebagian ulama salaf
seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari
dan lainnya.
‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء‬
َ ‫لَي‬

Artinya : “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhluk-Nya (baik dari
satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya)”
(QS asy-Syura: 11).

Referensi : https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/metode-memaknai-ayat-
mutasyabihat-atau-belum-jelas-maknanya-WPfhh

5. Sains Sebagai Bagian Mukjizat Al-Quran


Dengan tersebarnya islam kepada bangsa-bangsa ajam, kajian tentang
kemukjizatan Al-Quran juga bertambah luas. Salah satunya adalah kajian
kemukjizatan Al-Quran dari sisi sains. Terdapat dua hal yang menjadi dasar
berpikir peranan sains sebagai bagian dari mukjizat Al-Quran yaitu :
• Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah saw yang ummi, tidak mengerti baca
tulis. Jika Rasulullah saw saja tidak mengerti baca tulis, bagaimana mungkin
Rasulullah saw mengarang kata-kata dalam Al-Quran yang saat ini terbukti sesuai
dengan beberapa fenomena sains?
• Al-Quran diturunkan pada abad ke-7 masehi, yaitu pada saat ilmu pengetahuan
dan sains belum berkembang seperti zaman modern sekarang. Jika Al-Quran
merupakan buatan manusia, bagaimana caranya deskripsi berbagai fenomena sains
dinarasikan secara detail di dalam Al-Quran?

Salah satu fenomena sains yang dijelaskan secara rinci dalam Al-Quran adalah
perkembangan penciptaan manusia di dalam rahim. perkembangan penciptaan
manusia di dalam Al-Quran dinarasikan pada surat Al-Mu'minun sebagai berikut :
Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami menggunakan air mani (yang disimpan) di tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian, air mani itu Kami melihat sesuatu yang melekat, lalu sesuatu
yang melekat itu Kami melihat segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian,
Kami menggunakan makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta
yang paling baik. (Al-Mukminun 12-14)

Perkembangan embrio dan janin manusia dalam kandungan baru diketahui secara
rinci pada sekitar abad ke-19. Pengetahuan manusia tentang embriologi baru
berkembang pesat pada abad tersebut seiring dengan berkembangnya sains evolusi
dan genetika. Para peloporlogi seperti Von Baer, Pander, Darwin, Haeckel dan
Needham baru meletakkan dasar-dasar embriologi pada tahun 1800-1950. Namun
Al-Quran sudah menjelaskan proses perkembangan embrio dalam rahim sejak 620
M.

Contoh fenomena sains lain yang dijelaskan dalam Al-Quran :


1. Pergerakan matahari dan bulan : Yaasin, 38
2. Penciptaan jagat raya : Al-Anbiya, 30
3. Batas antara dua laut : Ar-Rahman, 19-20
Dari penjelasan Al-Quran tentang berbagai fenomena sains, yang pada saat itu
belum diketahui oleh manusia, jelas menunjukkan bahwa Al-Quran adalah firman
Allah swt. Selain itu, dengan adanya ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan
fenomena sains, tuduhan yang menyebutkan bahwa Al-Quran adalah bikinan
Rasulullah saw dengan jelas terbantah. Bagaimana mungkin Rasulullah
menjelaskan fenomena sains dalam Al-Quran, sedangkan Rasulullah sendiri adalah
orang yang buta huruf? Maka jelaslah bahwa ayat-ayat yang menjelaskan
fenomena sains adalah bagian dari peranan Al-Quran sebagai Mukjizat. Jadi
menurut saya penggunaan sains dapat mendukung kemukjizatan Al-Qur'an.

Referensi : https://www.kompasiana.com/mirfanhy/al-quran-bukan-buku-
sains_593f5b22c3b89c14cc6ee862

Anda mungkin juga menyukai