Anda di halaman 1dari 7

Nama : Dwinanda Taufiq B

NIM : 5150211235

1.
a. Yang cocok untuk mengatasi masalah konflik PT Pertamina adalah gaya kepemimpinan.
Pemimpin transformasional mampu memotivasi dan menginspirasi pengikut serta
mengarahkan perubahan positif dalam kelompok. Para pemimpin ini cenderung cerdas
secara emosional, energik, dan penuh gairah. Mereka tidak hanya berkomitmen untuk
membantu organisasi mencapai tujuannya, tetapi juga membantu anggota kelompok
memenuhi potensi mereka.
b. Peran pemimpin visioner dalam hal ini tentu saja merespon positif karena pada dasarnya
pemimpin visioner lebih memperhatikan keberlangsungan perusahaan di masa yang akan
datang. Pemimpin akan mengawal proses perubahan tersebut hingga selesai.

Changing

Adanya penururunan Melakukan rencana Melakukan transformasi


laba, memicu adanya transformasi holding minyak dan gas.
perubahan yang minyak dan gas Kemudian fokus pada
dilakukan bisnis utama

Unfreezing Freezing

2.
a.

N Faktor yang KepemimpinanTrans KepemimpinanTransfor Kepemimpinan


o. dibandingkan aksional masional Visioner
Perbedaan
1. Motivasi kepemimpinan para pengikut merasakan memberikan
transaksional kepercayaan, contoh atau cara
melibatkan sebuah kekaguman, kesetiaan, kerja strategis
proses pertukaran dan penghormatan dalam
yang dapat terhadap pemimpin dan mengimplementa
menghasilkan mereka termotivasi untuk sikan visi
kepatuhan pengikut melakukan lebih dari
akan permintaan pada yang awalnya
pemimpin. diharapkan dari mereka
2. Proses Memberikan Membuat mereka lebih Berposes sesuai
mempengaru imbalan bagi siapa mengerti tugasnya, lebih dengan visi yang
hi yang mampu mengutamkan tim telah diciptakan
menyelesaikan tugas
Persamaan
1. Tujuan Mencapai hasil atas perubahan yang dilakukan.
2. Motivasi Menginginkan kinerja yang lebih baik atas hasil motivasinya
3. Peran Mengawasi proses perubahan yang dilakukan

b. Judul tugas saya adalah “Kepemimpinan ditengah Ketidakpastian : Peran Adaptive


Leadership & Adaptive Governance”

Ringkasan:
Seorang pemimpin akan diuji kepiawaiannya ketika menghadapi situasi yang
tidak familiar. Perubahan situasi ini akan membuat pemimpin ‘beranjak’ dari zona
nyaman dan ‘dipaksa’ untuk menghadapi perubahan yang tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Tantangan ini menimbulkan permasalahan dan bahkan bisa mengancam
posisi pemimpin. Namun satu hal yang pasti, semua orang pasti bergantung pada
pemimpinnya dan seorang pemimpin harus mencari cara agar memenuhi banyaknya
ekspektasi terhadap dirinya. Termasuk ketika mengalami permasalahan seperti pandemi
COVID-19.

- Memahami Adaptive Leadership


Adaptive leadership dirumuskan oleh Ronald Heifetz (1994) dalam bukunya yang
berjudul Leadership Without Easy Answers. Menurut Heifetz, kepemimpinan adalah
sebuah aktivitas simultan untuk menggerakkan masyarakat agar beradaptasi dengan
realita atau masalah yang menantang. Dalam perjalanannya, seorang pemimpin akan
menghadapi berbagai macam masalah yang dapat dikategorikan ke dalam dua
tipologi, yaitu masalah teknis dan adaptif (Heifetz et al, 2009). 
Oleh karena itu, COVID-19 merupakan ancaman tersendiri bagi pemerintah
Indonesia karena tidak dapat menyeimbangkan antara mendorong aktivitas
perekonomian (kepentingan politik) dan kesehatan publik (keadaan mendesak). Ini
bisa kita lihat dari respon pemerintah terhadap penanganan virus yang memilih
pendekatan-pendekatan teknis layaknya terlibat dalam sebuah peperangan fisik.
Ambil contoh misalnya dengan membentuk sebuah tim percepatan penanganan virus
yang ditangani oleh Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi.
Menurut Heifetz, mengaktualisasikan adaptive leadership tidaklah mudah.
Apabila dipetakan, terdapat dua tantangan dari kepemimpinan adaptif, yakni
permasalahan yang dihadapi (eksternal) dan keadaan dari dalam diri pemimpin
(internal).
Dengan permasalahan yang kompleks tersebut, Heifetz memberikan lima ‘resep’
prinsip-prinsip strategis untuk menerapkan kepemimpinan adaptif. Pertama,
mengidentifikasi masalah. Kedua, menjaga tingkat masalah yang kompleks tersebut
melalui kerja-kerja adaptif. Ketiga, memfokuskan perhatian untuk mematangkan
masalah, bukan untuk mengurangi stres. Keempat, memberikan pekerjaan yang
sesuai dengan kapabilitas masing-masing individu. Kelima, meski kritik sangat
diperlukan, namun perlu dijaga agar tidak membuat problem semakin kompleks
(Hooijberg, 1996).  

- Adaptive Governance sebagai Alternatif Tata Kelola Pemerintahan


Secara ringkas, Janssen dan Van der Voort (2016) dalam “Adaptive Governance:
Towards a Stable, Accountable and Responsive Government” mengartikan adaptive
governance sebagai tata telola pemerintahan yang mendahulukan kepentingan publik
melalui respons cepat terhadap perubahan lingkungan. Konsep dari adaptive
governance muncul dari ketidaksesuaian antara karakteristik lingkungan dan cara
organisasi yang diatur. Kunci utama dari adaptive governance adalah pengambilan
keputusan secara desentralisasi dengan melibatkan
berbagai stakeholders dari grassroot. Bahkan penelitian ini juga melihat penerapan
desentralisasi dalam pengambilan keputusan secara bottom-up merupakan syarat
penting untuk tata kelola adaptif.
Dalam konteks wabah COVID-19, konsep adaptive governance berkelindan
dengan harapan dari masyarakat serta berbagai pemangku kepentingan.
Ketidakpastian yang dihadapi menuntut kemampuan pemerintah untuk
menyeimbangkan berbagai kepentingan yang ada di masyarakat dan menentukan
kebijakan berdasarkan pengamatan yang cermat. Kepentingan satu kelompok
masyarakat, bisa jadi, beririsan dengan kepentingan kelompok lain atau kepentingan
nasional (Brunner et al, 2005). Disinilah pentingnya integrasi kebijakan.

- Krisis Kepemimpinan di Indonesia ditengah Pandemi Covid – 19


Penelitian yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi dan Seth Soderberg (2020)
menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap respons pemimpin (dalam hal ini
Presiden dan Menteri Kesehatan) hanya berada di kisaran 0,50 dengan Menteri Kesehatan
yang paling buruk di bawah 0,25 dari skala 1,0. Meskipun sudah enam bulan sejak
kemunculan kasus pertama COVID-19, serangkaian penyangkalan, miskoordinasi, dan
pendekatan yang anti-sains masih menghambat upaya menekan penyebaran virus. Tentu hal
ini menjadi pertanda bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. 
Seperti diungkap Ben Bland (2020) dalam Man of Contradictions: Jokowi and the
Struggle to Remake Indonesia, COVID-19 telah menguak keretakan dalam kepemimpinan
Presiden Joko Widodo. COVID-19 juga sukses memperlihatkan buruknya kapasitas negara
dalam bidang kesehatan. Ketidakpercayaan terhadap data saintifik, peran militer yang terlalu
besar dalam manajemen krisis, dan perebutan kekuasaan antar-elite politik, sukses
mengaburkan angan-angan pemerintah untuk menyeimbangkan ekonomi dan kesehatan
publik (Jeffrey, 2020).
Presiden Joko Widodo dianggap terlalu berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan dan
terlalu menekankan pada output yang cepat dengan menegasikan proses mitigasi virus. Ambil
contoh, ultimatum dari Presiden untuk menyelesaikan uji klinis vaksin dalam tiga bulan
merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan prinsip hati-hati dan cermat dalam
sains.
Alhasil, alih-alih ingin terbebas dari COVID-19 dalam waktu cepat, Indonesia justru
menjadi negara dengan tingkat kematian akibat COVID-19 terparah di Asia Tenggara dengan
korban tenaga medis meninggal hampir 200 jiwa, fasilitas kesehatan tidak memadai, dan
ekonomi Indonesia diprediksi mengalami kontraksi 1,0% (Wicklein, 2020).

- Integrasi Nilai – Nilai Adaptive Leadership dan Adaptive Governance dalam Mitigasi Covid
– 19
Sebagai seorang pemimpin di tengah uncertainty, cara pandang ‘helikopter’
dibutuhkan untuk melihat permasalahan dalam scope yang lebih holistik. Hal ini
penting karena adanya hubungan sebab-akibat dari tiap komponen masalah tersebut.
Selain itu, pemimpin juga harus bisa membedakan peran dirinya sebagai ‘otoritas’
dan ‘leader’ yang menurut Heifetz berbeda. Peran ‘otoritas’ cenderung politis karena
adanya tuntutan-tuntutan politik yang berhubungan dengan status quo, sedangkan
seorang leader dibutuhkan untuk mendorong perubahan yang tidak bisa memenuhi
kepentingan semua stakeholder (Hooijberg, 1996). Namun, ketika
seorang leader memiliki otoritas, maka cakupan kepemimpinannya akan lebih luas
karena dia memiliki kuasa politik.
Melalui kuasanya, seorang leader harus mendengarkan dan menggunakan data
saintifik dan ilmu pengetahuan dalam proses perumusan kebijakan. Meskipun pada
kenyataannya sains dan realita politik atau kebijakan publik adalah dua kutub yang
berbeda, tetapi jurang antara keduanya harus didekatkan. Salah satu caranya adalah
dengan pemilihan bahasa dan narasi sebab-akibat dalam proses policy making yang
politis (Stone, 1989 dalam Edi dan Alfirdaus, 2020). Pada intinya, pemimpin atau
pejabat pemerintah harus mau mendengarkan temuan para ilmuwan dan ilmuwan
harus mau menyediakan dukungan data kepada politisi (Nugroho, 2020).
Kebijakan dalam menghadapi pandemi harus dijelaskan melalui penjelasan yang
rasional, evidence-based yang dijustifikasi dengan kaidah ilmu pengetahuan, serta
diinformasikan secara transparan. Pejabat pemerintah harus melandaskan alasan
rasional di balik keputusan yang diambil, bukan sekadar ‘apa’ melainkan ‘mengapa’
keputusan tersebut ditempuh.
Dengan implementasi kebijakan yang holistik, maka friksi antar-
stakeholder mampu diredam dengan penjelasan yang logis dan sulit dibantah karena
kekayaan data dan ilmu pengetahuan yang absah. Pemerintah harus konsisten dalam
penerapannya. Tanpa konsistensi pemerintah, akan susah untuk menjustifikasi suatu
keputusan. Dengan konsistensi itu pula, social trust masyarakat yang sebelumnya
rusak akan kembali pulih secara bertahap.
Sudah seharusnya dari dalam pribadi seorang leader, kemampuan merumuskan
kebijakan yang berbasis data dan ilmu pengetahuan adalah hal yang tidak bisa
ditawar. Selain itu, internalisasi nilai-nilai adaptif ke dalam institusi pemerintahan
juga sangat diperlukan untuk efektivitas mitigasi COVID-19.

Opini:
Menurut saya adaptasi seorang pemimpin dalam mengambil suatu kebijakan itu
sangat vital karena, sekalinya seorang pemimpin salah mengambil keputusan bisa
berakibat fatal pada praktiknya. Seperti yang terjadi di Indonesia akibat lambatnya
pengambilan keputusan yang mengakibatkan Indonesia, merupakan peringkat tinggi
dalam death rate disbanding dengan negara lain.
Maka dari itu dalam artikel pun juga dibahas bagaimana cara menerapkan
kepemimpinan secara tepat. Tentu saja kepemimpinan adaptif akan berjalan apabila
mengakar pada setiap institusi agar mencakup lebih luas tentang kebijakan yang telah
diambil.

c. Contoh pemimpin yang menggunakan kepemimpinan transformasional


- Soekarno
Tokoh seperti Soekarno, menurut saya, adalah jenis pemimpin
transformasional yang mengubah Indonesia dari satu fase (penjajahan)
kepada fase lain (kemerdekaan). Namun demikian, Liddle membatasi bahwa
karakter transformasional Soekarno hanya terjadi sejak awal kemerdekaan
hingga tahun 1949.

Setelah tahun itu, Soekarno menjadi pemimpin yang tak lagi punya visi
transformatif. Dalam tingkat tertentu, Soeharto juga merupakan tipe
pemimpin transformatif yang berusaha mengubah kondisi Indonesia lewat
proyek pembangunan dan modernisasi yang dipimpinnya.
- Mahatma Gandhi
Menurut saya Mahatma Gandhi secara khusus merupakan gambaran ideal dari
seorang pemimpin transformasional. Kepemimpinan Gandhi mengedepankan nilai
“non-kekerasan” dan nilai-nilai lainnya yang bersifat egalitarian, nilai-nilai mana
sungguh memberikan dampak perubahan dalam diri orang-orang dan lembaga-
lembaga di India.

Anda mungkin juga menyukai