MAKALAHH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama II (ASWAJA) yang diempu oleh :
Disusun oleh :
APRIL 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alloh SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-NYA
sehinnga kami dapat menyelesaikan penulisan makalahh “Ciri Khas Aqidah Aswaja dan Perbedaannya”
ini dengan baik untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama II ASWAJA di Universitas Islam
Raden Rahmat Malang.
Makalah ini kami buat berdasarkan pengetahuan dari berbagai data referensi, serta artikel di
internet yang telah kami peroleh. Makalah ini kami buat sedemikian rupa dengan harapan dapat diterima
dan di pahami oleh pembaca. Kami juga berharap dari makal ini dapat menambah menambah
pengetahuan para pembaca tentang “firqoh-firqoh dalam Islam”.
Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Muhammad Ana Zamzami, M. Pd. selaku dosen
mata kuliah Pendidikan Agama II ASWAJA yang telah membimbing kami selama ini. Kedua orang tua
kami serta segenap pihak yang telah mencurahkan bantuannya dalam mengerjakan makalah ini.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca ataupun kami sendiri
khusunya. Kami tersadar bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu
kami selaku penulis mengharapkan kriik dan saran guna membangun supaya lebih baik kedepannya.
Sekian terima kasih
Penulis
DAFTAR ISI
COVER ………………………………………………………… 1
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… 2
DAFTAR ISI ………………………………………………………… 3
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………… 4
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 4
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………… 4
1.3 Tujuan ………………………………………………………… 4
Bab II PEMBAHASAN ………………………………………………………… 5
2.1 Definisi Aqidah Aswaja ………………………………………………………… 5
2.2 Ciri Khas Aswaja ………………………………………………………… 5
2.3 Perbedaan Aqidah Aswaja dengan ………………………………………………………… 8
Aqidah Wahabi
BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………… 12
3.1 Kesimpulan ………………………………………………………… 12
3.2 Saran ………………………………………………………… 12
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi atau bahasa, aqidah berasal dari bahasa arab yang berarti ikatan,
kepercayaan atau keyakinan. Menurut terminologi atau istilah, aqidah berarti iman yang teguh dan
pasti dan tidak ada keraguan sedikit pun.
secara bahasa berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan, dan pengikut.
Ahlussunnah berarti orang-orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan
Nabi Muhammad SAW). Sedangkan al Jama’ah adalah sekelompok orang yang memiliki tujuan. Jika
dikaitkan dengan madzhab mempunyai arti sekumpulan orang yang berpegang berpegang teguh pada
salah satu imam madzhab dengan tujuan mendapatkan keselamatan dunia dan a1khirat.1
Sedangkan secara istilah berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut
pemikiran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu
fiqh menganut Imam madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) serta dalam bidnag tasawuf
menganut pada Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. 2
KH. Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa, Ahl Al-Sunnah Wa al Jamaah adalah mereka yang
ahli tafsir, hadis, dan fiqh. Mereka adalah orang yang mendapat petunjuk yang selalu berpegang
teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW dan khulafa’ al-rashidin, mereka adalah kelompok yang
selamat. Para ulama menegaskan pada masa sekarang, mereka telah berkumpul di empat madhab,
yaitu madhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali. Dan barang siapa yang keluar dari empat madhab
tersebut pada masa ini termasuk golongan ahli bid’ah. 3
Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang
membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth, ta’adul,
dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan
sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak
wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an.
“Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan),
agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas
kamu.” (QS. Al-Baqarah;143) Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata َو َسطًاdalam firman
Allah di atas dengan adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan
fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan
kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang
menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman Allah:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’: 29)
Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian
sebagai berikut: Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman ( )عدل بين ظلمينatau kebenaran di antara
dua kebatilan ()حق بين باطلين, seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme. Islam ada di antara
atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan.
Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham
monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros
dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan
agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara
ِ َوالَّ ِذينَ ِإ َذا َأ ْنفَقُوا لَ ْم يُس
َ ِْرفُوا َولَ ْم يَ ْقتُرُوا َو َكانَ بَ ْينَ َذل
keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah berfirman; ك قَ َوا ًما
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula)
kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)
Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah antara rohani
dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja,
melainkan memerhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak
hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya. (b). Islam
pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu
merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling
mendukung antara satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai
syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara
wahyu sebagai syahid. (c). Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu
dan masyarakat, antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan
(ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya. Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah
agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang
menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam
tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat
tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas
yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru
memerhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam
arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah
dalam kondisi dharurat atau hajat. Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam
manhaj. Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah,
watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan
juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’ dan
qiyas.
2. Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-
syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-
mazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka
ruang untuk bermadzhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan
dengan bermadzhab secara qauli. Pola bermadzhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran
Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut: (a). Di bidang
syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari madzhab empat, yaitu madzhab Imam Abu
Hanifah, Madzhab Imam Malik ibn Anas, madzhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan
madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. (b). Di bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abul Hasan al-
Asy’ari dan madzhab Imam Abu Manshur al-Maturidi. (c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti
madzhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan madzhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.
3. Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf
nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna.
4. Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah
(realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan
Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap
berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur
berketuhanan Yang Maha Esa.
5. Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka
serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi
menuduh mereka kafir.
PENDIDIKAN AGAMA II Page 7
CIRI KHAS AQIDAH ASWAJA DAN PERBEDAANNYA
6. Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum
(terjaga dari kesalahan dan dosa).
7. Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah
kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah
adalah keharusan. Nahdhatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah
ijtihadiyyah tersebut.
8. Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama
muslim, ahlul qiblah.
10. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan
tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping
mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Mungkin org org yang awam tidak begitu menyadari perbedaan besar antara akidah yang
dijalani Ahlusunnah wal jamaah dengan Akidah Ala wahabi. Sehingga sebagian diantarnya ada yang
berhujah dengan keduanya karna tidak bisa membedakannya dan akibatnya..terjadi kerancuan bahkan
menimbulkan kesalah pahaman yang makin besar.org org semacam ini..hanya mengikuti saja
pendapat sebagian org tanpa berfikir jauh jika ada hal yang salah dalam pemahamnnya.
Lucunya lagi ada yang mengaku Ahlusunnah wal jama`ah..namun apa yang ia
sampaikan..justru paham paham wahabi. Ada pula wahabi wahabian..alias pengikut taglid yang
sebenarnya tidak byk paham akidah wahabi namun kemudian malah apa yang ia utarakan..justru
paham paham Ahlususnnah wal jama`ah…yang dia anggap itu ajaran wahabi.dan celakanya lagi ia
ngotot mempertahankannya dgn mengatakan “ Inilah akidah wahabi yang benar.
Untuk memahami apa sebenarnya yang menjadi pokok persoalan antara ahlusunnah wal
jam`ah dgn wahabi,berikut ini penulis mencoba menjelaskan sebagian dari permasalahan itu
a. Persoalan : Maha Suci Allah daripada bersifat duduk atau bersemayam
Pendapat Aswaja : Menganggap atau mengatakan bahwa Allah duduk atau bersemayam di atas
arasy atau di atas kursi Adalah suatu hal yang keliru karna yang demikian itu adalah sifat makhluk
Allah bukan sipat Allah.
DALILNYA : Firman Allah Ta’ala: “Dia(Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada
makhlukNya,baik dari satu segi maupun dari semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang
menyerupaiNya”(Asyura ayat:11)
pendapat Wahabi : Wahabi menyamakan Allah dengan manusia dan juga binatang.Mereka
berkata:“Allah duduk di atas kursi” RUJUKANNYA : lihat Kitab mereka: Fathul Majid,Karangan
Abdul Rahman bin Hasan bin Mohd bin Abdul wahab,m/s:356,Cetakan Darul Salam,Riyadh.
(Arab saudi)
b. Persoalan : Maha suci Allah daripada anggota dan jisim
Pendapat Aswaja : Allah Ta’ala tidak sama dengan makhlukNya, Dia tidak mempunyai anggota
dan jisim sebagaimana Yang dimiliki oleh makhluk.
DALILNYA :. Firman Allah Ta’ala:_ ليس كمثله شى
Maksudnya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhlukNya baik dari satu segi
maupun dari semua segi, dan tidakada sesuatu pun yang menyerupaiNya”.(Asyura ayat:11)
Pendapat Wahabi : Ibnu Baz berkata: “penafian jisim dan anggota bagi Allah adalah suatu yang
dicela” Rujukannya : lihat Kitabnya : Tanbihat Fi Rod Ala Man Taawwal Sifat,m/s: 19, karangan
Ibnu Baz, terbitan :Riasah Ammah lilifta’Riyadh. (Arab saudi)
c. Persoalan : Maha suci Allah dari tempat
Pendapat Aswaja : Allah Ta’ala wujud tanpa tempat, karena Dia yang menjadikan tempat yang
mempunyai batasan batasan,kadar tertentu dan bentuk sedangkan Allah tidak bisa disifatkan
sedemikian. Dalilnya : Sabda Nabi: “Allah wujud pada azal(adaNya tanpa permulaan),dan belum
wujud sesuatu selainNya”H.R al-Bukhari,isnad sahih
Pendapat Wahabi : Ibnu Baz mengatakan bahwa zat Allah Ta’ala itu di atas arasy salah satu
rujukannya : Lihat Majalah Haji, Nomor 49, juzuk 11 tahun 1415 hijrah,m/s :73 -74 Makkah. (Arab
saudi)
d. Persoalan : tentang Abu jahal dan Abu lahab
Pendapat Aswaja : Abu jahal dan Abu lahab bukanlah dari kalangan orang Islam sebagaimana di
jelaskan dalam Alquranul kariim dan tidak bisa terbantahkan kekuatan firman Allah.
Dalilnya : Firman Allah Ta’ala mengenai Abu lahab:Maksudnya: kelak dia akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala.(Almasad ayat: 3
Pendapat Wahabi : Wahabi mengatakan bahwa Abu jahal lebih mulia dan mengamalkan serta peng-
ESA-an tauhid mereka kepada Allah daripada orang Islam umumnya yang mengucap dua kalimah
syahadah. ( yang dimaksudkan dengan orang Islam di sini ialah mereka yang bertawassul dengan
wali-wali dan para solihin dimana pengertian tawasul menurut wahabi seperti menyembah
berhala,Batu,org mati atau sejenisnya )
Rujukan mereka : Lihat Kitab mereka: Kaifa Nafham Attauhid,Karangan Mohd Basmir,m/s: 16
Riyadh. (Arab saudi)
e. Persoalan : tentang Ulama Asya’irah dan Maturidiah
Pendapat Aswaja : Pengikut Asya’irah dan Maturidiah adalah golongan (Ahlus Sunnah wal jama’ah
Rujukannya : Al hafiz Murtadha Azzabidi.berkata:“ jika disebut Ahlus sunnah wal- jamaah yang
dimaksudkannya ialah Asyairah dan Maturidiah kitab: Ithaf sadatil Muttaqin
Pendapat Wahabi : Sholeh bin Fauzan (wahabi) berkata:“pengikut Asya’irah dan Maturidi tidak
layak digelar sebagai Ahlussunnah wal jamaah
Rujukannya : Kitabnya: Min Masyahir Almujaddidin Fil Islam,m/s: 32, terbitan:Riasah ‘Ammah
lilifta’Riyadh. (Arab saudi)
f. persoalan : Nabi Adam
Pendapat Aswaja : Ijma’ ulama mengatakan bahawa Adam adalah nabi
Dalilnya :”dari Abi umamah, seorang lelaki bertanya nabi: “wahai
rasulullah adakah Adam itu seorang nabi”? Beliau menjawap: “ya, diturunkan wahyu
kepadanya”H.R Ibnu Hibban.
Pendapat Wahabi : Wahabi mengatakan bahwa Adam bukanlah nabi ataupun rasul
Rujukannya : kitab mereka: Al-iman Bil Anbiya’ Jumlatan,Karangan: Abdullah bin Zaid,cetakan
Maktabah Islami, Beirut.
g. Persoalan : Pengikut pengikut Imam Asy’ari
Pendapat Aswaja : Pengikut-pengikut Imam Asy’ari adalah golongan umat Islam
dalilnya : Ahlus Sunnah wal Jama’’ah di kalangan umat Islam di seluruh dunia adalah golongan
asy’ari dan maturidi dan tidak dkatakan Islam jika mereka tidak mengucapkan dua kalimah shahadat
sebagi tanda keislaman.sedangkan perkara kadar keIman mereka hanya Allah yang memutuskan.
Pendapat Wahabi : Wahabi berdusta dengan mengatakan bahawa kebanyakan Ahlus
Sunnahmengkafirkan pengikut asya’irah.
Rujukannya: Kitab mereka: Fathul Majid,Karangan: Abdul Rahman m/s 353 Terbitan maktabah
Darul Salam, Riyadh. (Arab saudi)
h. Persoalan : Bersholawat atas Nabi
Pendapat Aswaja : Boleh melafazkan selawat atas Rasulullah.dan hal lain yang perlu diketahui,
tidak sempurna Sholat seorang hamba Allah tanpa sholawat dan salam ketika duduk tahyat
awal/akhir dan ketika mengakhiri sholat.
Dalilnya : Lafaz selawat ini tidak terbantahkan dengan penjelasan Al-quran dan hadist
Pendapat wahabi : Ibnu Baz berkata: “lafaz selawat itu adalah syirik”
Rujukan mereka : lihat Kitab mereka: Kaifa Ihtadaitu Ila Tauhid,Karangan: Mohd Jamil Zainu, m/s:
83 dan 89,Terbitan:Darul Fatah
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Aqidah adalah pokok ajaran Islam, sepanjang aqidah yang diyakini umat Islam itu lurus dan
benar, maka sepanjang itu pulalah agama yang hak ini menjamin keselamatan pemeluknya di
dunia dan di akhirat. Diantaranya ada aswaja dan wahabi, Mungkin org org yang awam tidak
begitu menyadari perbedaan besar antara akidah yang dijalani Ahlusunnah wal jamaah dengan
Akidah Ala wahabi, ada banyak sekali perbedaan antara keduanya terutama dalam memahami
perkara bid’ah walaupun keduanya sama-sama sepakat mengakui adanya bid’ah
3.2 Saran
Perlu diingat bahwa kita tidak boleh menyalahkan atau membeda-bedakan aqidah atau paham lain
yang mungkin berbeda dari kita, namun kita tetap harus berpegang teguh dengan apa yang kita
yakini saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
1 Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008), hal.5
2 Ali Khaidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekaan Fiqih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1995), hal. 69-70
3 Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah, (Surabaya:
Khalista, 2009), hal. 160-161
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/61776/inilah-penjelasan-mengenai-aswaja-perspektif-nu
https://kabarislamia.com/2013/08/27/sebagian-contoh-perbedaan-antara-aswaja-dengan-wahabi/