Anda di halaman 1dari 19

Tafsir al-Baghawi

A. Biografi dan Latar Belakang Pendidikan 

Ia adalah Abu Muhammad al-Husayn ibn Mas'ud ibn Muhammad al-Farra' al-Baghawi lahir


1122 M. terkenal sebagai Mufassir, Sarjan Hadis dan Faqih bermadzhabkan al-Syafi'i. Kitab
Tafsirnya dikenal dengan nama Tafsir al-Baghawi  work Tafsir al-Baghawi

al-Baghawi berguru kepada para Haffadz, dan belajar Fiqh kepada al-Qadi Husain, juga
belajar Hadis darinya, belajar Tafsir al-Kalbi di Marwin kepada gurunya Muhammad al-
Husen al-Marwazy.

Beliau seorang yang Zuhud juga Wara’, selalu keadaan suci (berwudlu) ketika belajar atau
ketika menyampaikan Ceramah, Makanan nya hanya Roti dan minyak Zait, wafat pada bulan
Syawal tahun 516 H. di Marw ar-Rud, di kuburkan di samping makam gurunya (al-Qadi
Husen)1[2]

Ibnu Ahwal mengomentari al-Bhagawi dengan mengatakan: “Ia adalah orang yang
menguasai berbagai disiplin ilmu dan karya tulisnya yang bermanfaat. Selain itu ia dikenal
sebagai orang yang zuhud, wara’, dan qana’ah. Diantara bukti kezuhudannya adalah
makannya hanya roti, ketika ia bosan makan roti semata, dicampurnya dengan minyak

Ia dilahirkan di Baghsyur, nisbah al-Baghawi kepadanya namanya (Bagsyur) tidak ada


kiasnya. Dikatakan ‘Bagh’ yaitu kota kecil yang terletak antara Hazzah, Moro, dan al-Rudz
dari kota Khurasan. Tumbuh dewasa dengan menekuni mazhab Syafii’, karena ia hidup di
lingkungan Syafii’ dan menimba ilmu dengan ulama-ulama pengikutnya. Ia punya
peniggalan yang berharga dalam mazhab Syafi’i karena ia telah mengarang kitab al-Tahdib.
Dalam kita itu ia mengikuti arahan orang-orang yang ahli dalam mentarjih, menguji dan
mentahsis, tidak fanatik terhadap lainnya, tujuannya hanya ingin lebih mendekat orang
kepada nash-nash al-Quran, dan lebih memahami dasar-dasar agama.
1
Ia adalah dai yang mengajak umat kembali kepada al-Quran dan Sunnah, menyebarkan ilmu
keduanya, menjelaskan hukum-hukum yang dikandungnya. Oleh karena itu, ia mengarang
sejumlah karya yang besar manfaatnya, orang yang menguasainya berhak mendapatkan gelar
“Muhyi al-Sunnah” yaitu pengamal as-sunnah.

Sebagaimana kebiasaan para ulama, ilmunya didasarkan atas dua pondasi yang penting:
pertama, mengambilnya dari para ulama, maka ia terkenal dengan guru-gurunya yaitu Imam
al-Husin ibn Muhammaad al-Marwazi al-Qadhi. Seorang ulama di Khurasan, pemimpin
mazhab Syafii’ pada masanya dan salah satu ulam yang terkenal wafat pada tahun 462 H.
Gurunya yang lain adalah al-Muhaddits al-Fadhl Abu Bakar Ya’kub al-Juwaini yang terkenal
dengan gelar Syaikh al-Hijaz wafat pada tahun 463 H. Kedua mengambilnya langsung dari
kitab-kitab ulama salaf secara otodidak dan meneliti ilmu-ilmu peniggalan para ulama
tersebut.

Imam al-Baghawi adalah seorang ahli hadis yang terkenal, ia belajar hadis dengan sejumlah
guru besar yaitu para hafizh, meriwayatkan dari mereka hadis-hadis sunan (sesuai bab fiqh),
hadis-hadis al-Ajza ( yang membahas sebagian hukum dengan mengambil sanad-
sanadnyayang paling baik), tsiqah dan sempurna.

Al-Subki berkata bahwa: Imam Baghawi dikenal sebagai penghidup, pengamal sunnah dan
pembela agama, sayag beliau tidak datang ke Baghdad, jika ia pernah kesana, niscaya
biografinya bertambah luas dan tinggi kedudukannya baik dalam ilmu-ilmu agama, tafsir,
maupun hadis, lingkaran pengaruh keilmuannya meluas terutama dalam transfer ilmu hadis.

Selanjutnya al-Subki mengatakan bahwa: “Ia sering melihat al-Baghawi jarang mengambil
riwayat kecuali setelah ditelitinya. Ia hanya mengutamakan riwayat yang lebih kuat dan
mengungkapkannya dengan ringkas. Hal tersebut menunjukakan bahwa ia diberikan
kecerdasan yang luar biasa. Dan ia sangat berhati-hati dalam hal penelitiannya.”

B. Metode Tafsir Imam al-Baghawi.

Dalam Muqaddimah Tafsirnya, ia menjelaskan tentang metode tafsirnya, tujuannya, dan sisi
lain dari ilmunya yang luas dalam bidang penelitian al-Quran. Kemudian ia menyebutkan
sejumlah pasal yang ada dalam tafsirnya berikut penjelasannya. Seperti fadilah al-Quran dan
mengajarkannya, keutamaan membaca al-Quran, ancaman bagi orang yang berbicara tentang
al-Quran dengan pendapatnya sendiri tanpa dilandasi pengetahuan.

Imam al-Baghawi telah benar-benar mempersiapkan tafsirnya dari segi bahasa. Karena
sebagian orang menyangka bahwa mengenal tafsir cukup dengan kebahasaan, menurut al-
Baghawi mereka keliru. Karena menafsirkan al-Quran membutuhkan aspek-aspek lain,
diantaranya: mengetahui sunah Nabi saw. Imam al-Baghawi mumpuni dalam bidang hadis, ia
adalah al-imam al-hafiz al-Tsiqah. Disamping ia adalah orang yang berakhlak mulia,
akhlaknya al-Quran dan Hadis. Buktinya ia mengucapkan terima kasih dalam muqaddimah

tafsirnya kepada ahli-ahli tafsir sebelumnya dan ia memuji mereka. Diakhir mukaddimahnya
beliau menuliskan

‫الحكيم‬ ‫العزيز‬ ‫إالباهلل‬ ‫توفيقي‬ ‫وما‬ ‫عليم‬ ‫علم‬ ‫ذى‬ ‫كل‬ ‫وفوق‬

C. Karakteristik Tafsir al-Baghawi:

Kitab Maa’lim al-Tanzil merupakan kitab yang pertengahan, pengarangnya mengambil dari
penafsiran para sahabat, tabii’n dan generasi setelah Tabii’n, sebuah kitab yang paling elegan
dan bagus, mencakup pada perkataan yang sahih, terlepas dari gumud, dan bikin ribet dalam
menjelaskan teks al-Quran, lengkap dengan hadis-hadis Nabi dan Atsar sahabat yang sarat
akan ke sahihan nya.

Allamah Ibnu Taimiyah berkata:” al-Baghawi adalah sebuah Tafsir yang menjadi ringkasan
Tafsir al-Tsa’labi, akan tetapi konten nya tersusun dari hadis-hadis yang maud dan
pemikiran-pemikiran yang bida’h.

Beliau juga pernah ditanya : manakah tafsir yang paling mendekati kepada kitab dan sunnah?
Zamaksyari, al-Qurtubi, atau al-Baghawi, atau selain dari yang 3.? Maka Ibnu Taimiyah pun
menjawab : “ dari tiga tafsir yang di ajukan yang paling selamat dari Bida’h dan Hadis-hadis
yang dhaif adalah tafsir al-Baghawi2[4]

Imam al-Baghawi menjelaskan latar belakang pengarangan Tafsir al-Baghawi

Bahwasanya saya di minta sejumlah sahabat saya untuk menyusun sebuah karya tentang
Tafsir, dengan mengharap Ridha Allah swt. dan menjalan kan wasiat Rasulullah yang di
riwayatkan oleh Abu Sai’d al-Khudri RA. bahwasanya Rasulullah bersabda: “

"‫خيرًا‬ ‫بهم‬ ‫فاستوصوا‬ ‫أتوكم‬ ‫فإذا‬ ،‫الدين‬ ‫في‬ ‫يتفقهون‬ ‫األرض‬ ‫أقطار‬ ‫من‬ ‫يأتونكم‬  ‫رجااًل‬ ‫إن‬

Dan karena mengikuti jejak langkah para ulama salaf (terdahulu) dalam tadwin (menyusun
ilmu) untuk melestarikan ilmu sebagai warisan bagi generasi yang akan datang

Maka setelah itu Syeikh al-Baghawi berkata:

2
‫توفيقه‬ ‫وحسن‬ ‫تعالى‬ ‫هللا‬ ‫بعون‬ -‫"فجمعت‬
]5["‫مريدًا‬ ‫تحصيله‬ ‫على‬ ‫أقبل‬ ‫لمن‬ ‫مفيدًا‬ ‫يكون‬ ‫أن‬ ‫أرجو‬ ،‫المخل‬ ‫والقصير‬ ،‫الم ّمل‬ ‫الطويل‬ ‫بين‬ ،‫متوسطًا‬ ‫كتابًا‬ ‫سألوه‬ ‫فيما‬

Dalam halaman editor (muhaqiq) Tafsir al-Baghawi terdapat karekteristiknya:


Dalam halaman editor (muhaqiq) Tafsir al-
Baghawi terdapat karekteristiknya:

1.      Mengedepankan Tafsirsan ayat dengan bahasa yang mudah dan ringkas, kalimat yang
Gharib dikembalikan kepada asalnya atau mengutip ayat-ayat yang lain, hadis-hadis, atsar
para sahabat, Tabiin yang mahir dalam sastra, (tidak terjebak terlalu dalam pertikaian ahli
sastra mengenai sebuah makna)

2.      Dalam menjelaskan makna kandungan ayat, al-Baghawi menafsirkan nya dengan ayat lain
(menafsirkan ayat dengan ayat lain), karena nya ayat al-Quran saling menjelas dari
sebagianya, seperti ketika ada ayat yang mujmal pada suatu tempat, maka di jelaskan di ayat
yang lainnya, misalnya:

َ‫يَ ْع َمهُون‬ ‫طُ ْغيَانِ ِه ْم‬ ‫فِي‬ ‫َويَ ُم ُّدهُ ْم‬


Dengan:

َ‫ َوبَنِين‬ ‫بَِأ ْم َوا ٍل‬ ‫ َوَأ ْم َد ْدنَا ُك ْم‬ 

3.      Al-Baghawi juga menampilkan hadis-hadis yang sahih dan lengkap dengan sanad nya,
jarang sekali hadis yang dikutif tidak lengkap dengan sanadnya

4.      Memperhatikan perbedaan beberapa Qiraat, ketika terdapat perbedaan qiraat, beliau
menampilkannya, lebih-lebih perbedaan Qiraat yang menyebabkan perbedaan dalam makna,
seperti ayat :

 ‫بُيُوتِ ُك َّن‬ ‫فِي‬  َ‫ َوقَرْ ن‬ 

Dibaca oleh Ahli Madinah, dan Imam Asim dengan Qaf dibaca  fatah, akan tetapi yang ahli
Qiraat yang lainnya membaca kasrah, padahal ketika Qaf dibaca fathah:

‫قولهم قررت بالمكان أقر قرارًا‬ ‫من‬ ‫أقررن أي الزمن فى بيوتكن‬


Sementara jika Qaf nya di kasrah kan maka artinya:
‫ وقر فالن يقر وقو ًرا إذا سكن واطمأن‬:‫ من قولهم‬،‫ُك َّن أهل وقار وسكون‬
5.      Jika perbedaan antara ahli ra’yi dan dan ahli sunnah, al-
Baghawi selalu memperkuat ahli sunnah, dan memberi penjelasan secara Naqlu dan Akal,
contoh penafsirannya mengenai ayat:

َ ‫اَل تُ ْد ِر ُكهُ اَأْل ْب‬


‫صا ُر‬
Dengan
Dalam halaman editor (muhaqiq) Tafsir al-Baghawi terdapat karekteristiknya:
} َ‫ { َكاَّل ِإنَّهُ ْم ع َْن َربِّ ِه ْم يَوْ َمِئ ٍذ لَ َمحْ جُوبُون‬:‫وقوله تعالى‬  } ٌ‫َاظ َرة‬
ِ ‫ض َرةٌ ِإلَى َربِّهَا ن‬
ِ ‫ُوجُوهٌ يَوْ َمِئ ٍذ نَا‬

Selanjut nya al-Baghawi juga menjelaskan hadis nabi mengenai melihat Allah, dan
selanjutnya beliau membedakan makna Idrak dengan makna Rukyah.

Tafsir Al-Mizan
Tafsir Al-Mizan

Deskripsi Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an


Karya Allamah Husain Thabathabai
Penerbit Ismailiyan, Dar al-Kutub al-
Islamiyah
Tempat Qum, Teheran dan Beirut
Terbit
Subyek Tafsir al-Quran
Metode Tafsir Al-Qur’an bil Qur’an
Tafsir
Bahasa Arab

A. Pengarang

Tulisan Asli: Sayid Muhammad Husain Thabathabai Sayid Muhammad Husain Thabathabai
adalah seorang filosof, hakim muta’allih, mufassir kenamaan lahir di sebuah desa Syadgan,
Tabriz. Pada tahun 1304 (1925) demi menyempurnakan pelajarannya hijrah ke Najaf dan
belajar dari ulama-ulama terkenal seperti: Ayatullah Husain Gharaqi (Isfahani) terkenal
dengan Kumpani, Ayatullah Muhsin Naini, Ayatullah Hujjah Kuhkamari, Ayatullah Husain
Baskubahi, Ayatullah Abul Qasim Khanshari dan Ayatullah Sayid Ali Qadhi. Setelah
menggondol derajat ijtihad, pada tahun 1314 (1935) ia kembali ke tempat kelahirannya,
Tabriz dan pada tahun 1325 (1946) pergi ke Qum dan tinggal di kota itu. [1] Allamah
Thabathabai semenjak saat itu hingga akhir hayatnya, di samping mengajar filsafat dan tafsir
di Hauzah Ilmiyah Qum juga menulis Tafsir al-Mizan dan selesai pada malam 23 bulan
Ramadhan (Lailatul Qadar) tahun 1392, setelah hampir selama 20 tahun ditulisnya. Allamah
Thabathabai meninggal dunia pada 24 Aban 1360 (sekitar pertengahan November 1981) dan
dimakamkan di Masjid Al-Asr Haram Sayidah Maksumah Qum. Selain Tafsir Al-Mizan,
kitab-kitab lainnya yang merupakan karyanya di antaranya: Ushul Falsafah wa Rawisy
Rialism, Bidāyah al-Hikmah, Nihāyah al-Hikmah dan Syiah dar Islām.

B. Metode Penafsiran Al-Quran bi Al-Quran

Dalam metode ini, pada awalnya pengarang menyebutkan beberapa ayat al-Quran dalam
suatu surah yang memiliki konteks yang sama, kemudian dengan menggunakan kitab lughat
(sisi kebahasaan) dan penggunaan lughat dalam ayat-ayat lain menjelaskan makna-makna
mufradat (kosa kata), macam-macam istiqaq (derivasi) dan juga membahas persoalan
lughawi (kebahasaan). Kemudian pada bagian penjelasan ayat, dengan memisahkan setiap
ayat Allamah Thabathabai akan menjelaskan penafsiran ayat-ayat itu. Jika dipandang perlu,
maka Allamah Thabathabai akan mengkritik pendapat-pendapat mufasir besar baik dari
kalangan Syiah maupun Ahlu Sunah. Pada bagian akhir, terdapat pembahasan mengenai
“Pembahasan Riwayat” untuk mengkritik riwayat-riwayat Syiah dan Ahlu Sunah dalam ayat-
ayat tertentu. Demikian juga, pengarang dalam sela-sela tafsirnya, berusaha untuk
menjelaskan ayat-ayat dengan disesuaikan dengan temanya, menganilisa suatu tema,
mendeskripsikan, melakukan pendekatan filosofis, kemasyarakatan, sejarah dan atau
keilmuan ayat-ayat yang bersangkutan. Dengan memperhatikan bahwa penguasaan Allamah
Thabathabai atas berbagai ilmu dalam Tafsir al-Mizan, maka Allamah memiliki pendekatan
yang komprehensif dalam membahas tema-tema dalam kitab tafsirnya. Ia dengan teliti dan
penguasaannya yang luar biasa atas al-Quran, berkali-kali dan dalam berbagai tempat di tafsir
al-Mizan meletakkan ayat-ayat yang memiliki kesamaan konteks di satu tempat, dengan
disertai dengan memberikan dalil-dalil rasional (aqli) dan bersandar pada argumen-argumen
al-Quran untuk menjelaskan dan menyebut obyek-obyek atau personifikasi-personfikasi ayat.
Dari sisi kejujuran intelektual, penguasaan metode dan akurasi isinya, Tafsir al-Mizan selalu
menjadi perhatian dan diminati oleh kalangan Syiah dan Sunni di Iran dan di dunia.

C. Karakteristik Tafsir al-Mizan

Ciri terpenting tafsir al-Mizan adalah tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Dalam tafsir-tafsir
sebelumnya pada umumnya, apabila sebuah ayat kemungkinan memiliki beberapa makna,
maka seorang mufasir akan menukil kemungkinan-kemungkinan tanpa memberikan mana
yang lebih cocok menurut seorang mufasir itu namun salah satu kelebihan Tafsir al-Mizan
adalah memberikan penjelasan makna, mana yang lebih cocok dengan bantuan ayat lainnya
atau tanda-tanda yang ada pada ayat itu sendiri. Allamah Thabathabai juga memberikan
penjelasan sebagian istilah agama dan qurani seperti kemustahaban doa, tauhid, taubah, rizki,
berkah, jihad, dan lainnya dengan bantuan ayat-ayat al-Quran. Pada masa lalu, tidak menjadi
tradisi bahwa seorang mufasir meletakkan ayat-ayat al-Quran pada satu tema yang kemudian
menyatukan dan mengambil kesimpulan, namun Allamah Thabathabai dalam berbagai hal
telah melakukan hal ini. Misalnya beliau menyatukan semua ayat yang berkenaan dengan
ihbāth (kisah turunnya Nabi Adam) dan menarik kesimpulan apakah yang dimaksud dengan
ihbāth menurut ayat al-Quran. Salah satu keisitimewaan Tafsir al-Mizan yang menonjol
adalah kisah al-Quran. Allamah menyatukan dan menafsirkan semua ayat-ayat al-Quran yang
berkenaan dengan kisah-kisah al-Quran dan dalam hal jika di ayat lain mengisyaratkan akan
hal itu lagi, maka Allamah akan mengungkapkan lagi namun secara singkat. Untuk
mengetahui kisah-kisah nabi, tafsir yang ia tulis merupakan literatur yang paling baik.
Allamah Thabathabai, disamping membandingkan Taurat dan Injil dengan Al-Quran, juga
menentukan hal-hal yang telah mengalami distorsi. Corak yang cukup jelas dalam Tafsir al-
Mizan adalah memberi jawaban atas keraguan dan berupaya untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman serta menaruk perhatian khusus terhadap masalah ilmiah dan filsafat
teologis dari sisi lain.

D. Terjemahan Tafsir al-Mizan

Tafsir al-Mizan ditulis dalam bahasa Arab dalam 20 jilid (kira-kira 8000 halaman). Pada
mulanya sekumpulan dari ulama dan para staf pengajar Hauzah Ilmiyah Qum seperti
Ayatullah Makarim Syirazi, Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ayatullah Sayid
Muhammad Baqir Musawi Hamadani, Ayatullah Abdul Karim Burujerdi dan lainnya
menerjemahkan kitab Tafsir al-Mizan ke dalam bahasa Persia dalam 40 jilid (kira-kira 16.000
halaman), namun karena setengah daria al-Mizan itu diterjemahkan oleh Ayatullah Sayid
Muhammad Baqir Musawi Hamedani, maka atas saran Allamah Thabathabai sisa jilid Tafsir
Al-Mizan kembali diterjemahkan lagi oleh Ayatullah Sayid Muhammad Baqir Musawi
Hamedani. Teks Arab Tafsir al-Mizan diterbitkan oleh Dar al-Kitab Islamiyah di Tehran pada
tahun 1375 dan Muasasah al-A’la di Beirut pada tahun 1382 dan 1417, sedangkan teks
Persianya diterbitkan oleh Muasasah Dar al-Ilm Qum, Kanun Intisyarat Tehran dan Daftar
Intisyarat Islami (yang menginduk kepada Jamiah Mudarisin Hauzah Ilmiah Qum) dan telah
mengalami beberapa kali cetak ulang. [4] Tafsir ini hingga sekarang telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa seperti: Persia, Inggris, Urdu dan Turki, Spanyol. Terjemah
Inggrisnya mulai dari permulaan al-Quran hingga ayat 74 surah Nisa dan terdiri dari 4 jilid
teks bahasa Arabnya dan sayangnya tidak berlanjut. Terjemah ke dalam bahasa Inggris ini
juga terbit di luar Iran.

Kitab-kitab yang terkait dengan Tafsir al-Mizan

Daftar Isi Tematik

Salah satu ciri dari tafsir tartibi (tidak seperti tafsir maudhu’i) adalah membahas tentang satu
subjek tertentu dalam beberapa tinjauan dan menemukan pembahasan-pembahasan mengenai
sebuah subjek yang berkaitan dengan al-Quran dan penafsiran tertentu. Demi untuk
memudahkan pembaca dan penelitian atas kitab-kitab yang telah ditulis, maka dibuatlah
indeks dalam subjek-subjek yang dibahasnya berdasarkan urutan abjad berdasarkan subjek
yang bermacam-macam. Tafsir Mizan juga memiliki daftar isi tematik. Satunya karangan
Mirza Muhammad dengan judul Miftāh al-Mizān terkait dengan terjemah 40 jilid Persia yang
ditulis dalam 3 jilid dan satunya lagi karangan Ilyas Kalantari yang dicetak secara terpisah
untuk tafsir berbahasa Arab dan Persia. Daftar isi tematik lainnya adalah Miftāh al-Mizān,
karya Ali Rdha Mirza Muhammad dkk untuk Tafsir Mizan berbahasa Persia cetakan
Intisyarat Amir Kabir yang dihimpun dalam tiga jilid.

Ringkasan Tafsir al-Mizan

Musthafa Syakir menulis kitab Khulāsah al-Mizān dalam satu jilid berbahasa Arab dan
Khanum Fatimah Masyayeh menerjemahkan kitab itu dalam bahasa Persia sebanyak 4 jilid.
Kitab ini dicetak oleh inisyarat Islam. Ringkasan lainnya ditulis oleh Ilyas Kalantari dengan
judul Mukhtashar al-Mizan fi Tafsir al-Quran dalam bahasa Arab dalam 6 jilid, cetakan
Uswah.

Ba Allamah dar al-Mizan az Manzhar Pursesy wa Pasukh

“Ba Allamah dar al-Mizan az Mandhar Pursesy wa Pasukh” adalah judul dua jilid kitab
yang ditulis oleh Murad Ali Syams. Ia mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan dan
jawabannya ia ambil dari Tafsir al-Mizan. Pertanyaan-pertanyaan ini berkisar tentang
pembahasan Ulumul Quran, Hadis, pembahasan ilmiah, akhak, sejarah, kemasyarakatan,
akidah dan fikih. Karya ini dicetak oleh Percetakan Uswah.

Kitab Al-Thabathabai wa Manhajahu fi Tafsirah al-Mizan

Kitab ini ditulis oleh Ali Ramadhan Uwaisi dalam bahasa Arab dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Persia oleh Husain Mir Jalili dengan judul “Rawisy Allamah Thabathabai dar Tafsir
al-Mizan” dan dicetak oleh Percetakan Baina Milal dalam satu jilid. Kitab ini menjelaskan
tentang metode Allamah Thathabai dalam Tafsir al-Mizan secara rinci.

TAFSIR AL-AHKAM
A. Latar Belakang Intelektual Penulis

Nama pengarang Tafsir al-Ahkam adalah Syaikh Abdul Halim Hasan, di lahirkan di
Binjai, Sumatera Utara, pada tanggal 15 Mei 1901. Orang tuanya bernama Hasan yang
bekerja sebagai petani. Sejak kecil, Abdul Halim telah menunjukkan sifat-sifat yang terpuji.
Ia tidak mau membuang waktunya sia-sia. Di samping membantu orang tuanya, waktunya
dihabiskan untuk membaca buku-buku pelajaran. Melihat karya-karyanya, tampak bahwa
Abdul Halim sejak kecil termasuk Si “Kutu Buku”. Bahkan tidak berlebihan jika disebut, ciri
keulamaannya telah tampak sejak kecil yang ditunjukkannya dengan ketekunan dalam
melaksanakan shalat fardhu lima waktu. Tidak itu saja, ia juga merupakan anak yang sangat
rajin menuntut ilmu, terlebih-lebih ilmu agama.3[1]

Pendidikan Abdul Halim di mulai dari Sekolah Rakyat. Ia sangat suka mempelajari
tentang ilmu keagamaan. Di antara gurunya: Fakih Saidi Haris, Haji Abdullah Umar, Syekh
H. M. Nur Ismail, Syekh H. Samah, Kyai H. Abd Karim Tamim, Syekh Hasan Ma’sum dan
SyekhMukhtar al-Tarid sewaktu menunaika haji di Makkah. Guru-gurunya tersebut memiliki
disiplin Ilmu yang beragam. Hal ini tergambar dari keahliah Abdul Halim sendiri, yang pakar
dalam bidang fikih, sejarah, hadis, dan tafsir. Abdul Halim tidak merasa puas hanya pada
ilmu agama saja. Ia juga belajar ilmu-ilmu umum. Ia belajar kepada Djamaluddin Adinegoro
dalam bidang politik, pers dan jurnalistik pada tahun 1930. selain itu, ia juga mempelajari
bahasa Inggris dari Mr. Ridwan.4[2]

Sejak berusian 20 tahun, Abdul Halim telah berprofesi sebagai guru pada madrasah
Jam`iyatul Khairiyah di Binjai. Pada waktu ia diangkat menjadi pimpinan madrasah, tepatnya
tahun 1927, nama madrasah Jam`iyatul Khairiyah ditukar menjadi Madrasah Arabiyah.
Abdul Halim juga menerapkan menajemen modern dalam mengelola madrasah. Salah satu
cirinya adalah ia menempatkan seseorang sesuai keahliannya masing-masing. Sebagai

4
contoh, untuk pelajaran agama dipandu oleh Usman Doa dan Aja Syarif. Pelajaran agama dan
dagang di pegang oleh M. Idris Karim dan M. Sidik Aminoto. Pelajaran agama dam ilmiah
diasuh oleh Abdurrahim Haitami dan Zainal Arifin Abbas sedangkan pelajaran agama dan
pemuda dipegang oleh al-Ustaz M. Ilyas Amin.5[3]

Abdul Halim menyadari alat yang paling penting untuk menyampaikan sebuah pesan
adalah tulisan. Kendati biasanya seorang dai terbiasa berdakwah dengan oral, namun Abdul
Halim tidak puas, dan menyempurnakan metode dakwahnya dengan tulisan. Beranjak dari
kesadaran inilah, dalam menyampaikan misinya sebagai pimpinan madrasah ataupun sebagai
seorang ulama, ia telah menggunakan media tulisan dalam tingkat produktivitas yang tinggi.

Abdul Halim sangat produktif dan rajin menulis, dan sering diterbitkan di media al-
Islam yang diterbitkan di Sumatera Timur waktu itu. Biasanya, tulisan-tulisan ini singkat dan
bersifat ulasan-ulasan sederhana mengenai persoalan hukum dan masalah-masalah yang
aktual di masyarakat. Ia juga rajin menulis buku. Karyanya kebanyakan menyangkut hukum
Islam dan sejarah. Namun, karyanya yang paling monumental adalah Tafsir Al-Qur’an al-
Karim yang ditulis bersama dua orang temannya, dan Tafsir al-Ahkam yang dibahas dalam
makalah ini. Karyanya yang lain adalah: Bingkisan Adab dan Hikmah; Sejarah Fikih; Wanita
dan Islam; Hikmah Puasa; Lailat al-Qadar; Cara Memandikan Mayat; Tarikh Tamaddun
Islam; Sejarah Kejadian Syara` Tulis Arab (diterbitkan di Malaysia); Tarekh Abi al-Hasan
al-Asy`ari; Sejarah Literatur Islam; dan Poligami dalam Islam.6[4]

Dari karya-karyanya ini, dapat dipastikan bahwa Abdul Halim Hasan adalah seorang
ulama yang mumpuni berbicara tentang ke-Islaman, tidak terkecuali tafsir Alquran sebagai
spesifikasinya. 

Abdul Halim Hasan meninggal dunia pada har Sabtu tanggal 15 November 1969
dalam usia 68 tahun 6 bulan. Sehari sebelumnya (Jumat, 14 November 1969) setelah selesai
melaksanakan shalat Jumat di Masjid Raya Binjai, ia bermaksud untuk mengikuti shalat
jenazah seorang ustaz M. Rasyid Nur di Masjid Muhammadiyah Binjai. Ketika sedang
berjalan, tiba-tiba ia jatuh dan langsung di bawa ke Rumah Sakit PNP II Bangkatan Binjai.
Ternyata Abdul Halaim terjangkit pendarahan otak sehingga tidak tertolong lagi.7[5]

6
B. Metode Penafsiran

Munurut guru besar tafsir dan ilmu-ilmu Alquran Univesitas al-Azhar, Dr. Abdul Hay
al-Farmawi, setidaknya, dalam penafsiran Alquran dikenal empat macam metode tafsir, yakni
metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i.8[6]

Metode tafsir tahlili merupakan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan


mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan
mengikuti tertib susunan surat-surat dan ayat-ayat Alquran itu sendiri dengan sedikit banyak
melakukan analisis di dalamnya.9[7]

Metode tafsir Ijmali adalah cara menafsirkan Alquran menurut susunan (urutan)
bacaannya dengan suatu penafsiran ayat demi ayat secara sederhana yang akan dapat
dipahami orang-orang tertentu dan selainnya dengan tujuan mendapatkan pemahaman dengan
cara yang ringkas.10[8]

Metode tafsir muqaran adalah tafsir yang dilakukan dengan cara membanding-
bandingkan ayat-ayat Alquran yang memiliki redaksi berbeda padahal isi kandungannya
sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya
berlainan atau juga ayat-ayat Alquran yang selintas tampak berlawanan dengan hadis,
padahal pada hakikatnya sama sekali tidak bertentangan.11[9]

Adapun metode tafsir maudhu’i adalah tafsir yang membahas tentang masalah-
masalah Alquran yang memiliki kesamaan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-
ayatnya, untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut
cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya
dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubung-hubungkan antara yang satu dengan
yang lain dengan korelasi yang bersifat komprehensif.12[10]

Jelas sekali terlihat dalam tafsir ini, metode yang digunakan, yakni metode tafsir
maudhu`i/tematik, karena yang dibahas dalam tafsir ini hanya ayat-ayat hukum, bukan ayat-
ayat yang lain. Dalam menafsirkan Alquran, Abdul Halim memilih hanya 250 ayat hukum
saja, yang terletak diberbagai surat. Abdul Halim sendiri berucap:

10

11

12
“Adapun Alquran mengandung lebih 6000 ayat yang menerangkan berbagai macam
pokok yang berhubungan dengan iman, ibadat maupun muamalat dengan Allah dan
muamalat dengan manusia dan sebagainya. Dari jumlah itu, ayat hukum hanya beberapa
ratus saja. Imam al-Ghazali berpendapat 500 ayat dan imam-imam yang lain berpendapat
200 aya saja. Dalam kitab ini (Tafsir al-Ahkam) kami hanya akan menafsirkan ayat-ayat
yang mengenai hukum itu sebanyak 250 ayat saja. Maka kami namakan kitab ini Tafsir al-
Ahkam, artinya tafsir ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.”13[11]

Dari penjelasan pengantarnya tafsir ini, jelas bahwa Tafsir al-Ahkam tergolong dalam
metode tafsir maudhu`i.

TAFSIR JAMI’ALBAYAN

A. PENDAHULUAN

Kitab “Jami’ Al bayan fi Tafsir Al Qur’an” karya Al-Thabari ini dinilai sebagai literatur
penting dalam bidang tafsir bil ma’tsur, bahkan dalam bidang tafsir bir ra’yi. Hal ini karena
tafsir ini memadukan berbagai pendapat dan mencari pendapat yang paling kuat. Oleh karena
itu, tafsir ini dinilai sebagai tafsir yang paling agung, paling shahih dan paling lengkap,
karena memuat pendapat para sahabat dan tabi’in. Bahkan para pengkaji tafsir menilai tafsir
ini tidak ada duanya di bidang tafsir. An Nawawi berkata, "Belum ada karya tulis yang ditulis
oleh orang semisal dengan Kitab tafsir Ibnu Jarir ath Thabari[1]”. Dalam dunia tafsir, karya
Al-Thabari merupakan generasi pertama yang dibukukan dan masih utuh sampai sekarang.
Ini tidak berarti sebelum Al-Thabari belum ada kesadaran membukukan tafsir, namun
perkembangan tafsir pada saat itu sangat lamban dan terpencar-pencar[2].

Al-Thabari dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik lewat karya
monumentalnya “ Jami’ul Bayan fi Tafsir Al Qur’an” dimana ia mampu memberikan
inspirasi baru bagi mufassir sesudahnya. Kelahiran Tafsir ini memberikan nuansa dan aroma
13
baru dalan blantika penafsiran di mana struktur penafsiran yang monolitik sejak zaman
sahabat hingga abad III H. Kitab ini memuat eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen
terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas
di kalangan mayarakat. Di samping itu, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat
sebagai sumber penafsiran yang disandarkan kepada pendapat dan pandangan para sahabat,
tabi’in, tabi’ tabi’in melalui hadits yang mereka riwayatkan. Kitab ini juga didukung dengan
nalar untuk membangun pemahaman-pemahaman obyektifnya.

B. METODE PENAFSIRAN

Mengenai metodenya, kitab ini dianggap sebagai dasar bagi semua tafsir karena adanya
metode khas yang memadukan antara tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bir ra’yi yang disertai
dengan pendapat yang terkuat. Imam Asy Syuyuti berkata, “Kitab Ibnu Jarir merupakan
tafsir palinh agung, karena kitab ini memaparkan pilihan berbagai pendapat, I’rab dan
istinbath. Dengan karakteristik inilah sehingga kitab ini mengungguli kitab-kitab tafsir
klasik”.

Al Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun kitab tafsir yang ada di tangan masyarakat, maka
yang paling shahih adalah tafsir Muhammad Ibnu Jarir Ath Thabari. Kitab ini menuturkan
pendapat-pendapat kaum salaf dan sanad-sanadnya., tidak memuat bid’ah dan tidak
mengutip dari orang-orang yang tertuduh dusta”.

Secara umum, Ath Thabari memiliki metode dan langkah-langkah penting dalam
menafsirkan, yaitu sebagai berikut:

1. Biasanya Ath Thabari memulai dengan menetapkan dan membatasi tema yang akan
dibahasnya, baik itu berupa ayat, dan penafsirannya atau penjelasan sebuah hadits,
kemudian menyimpulkan bebagai pendapat mengenai aqidah, hukum fiqih, qira’at,
suatu pendapat, atau permasalahan yang diperselisihkan.
2. Apabila tema telah ditetapkan, ia mulai mengumpulkan bahan-bahan ilmiah yang
berkaitan dengannya dan berusaha semaksimal mungkin agar bahan yang ia
kumpulkan lengkap dan menyeluruh demi kesempurnaan tema yang dibahasnya.
Semua ini dilakukan sebelum memulai penulisan.
3. Jika semua bahan kajian telah terkumpul, ia pun memulai meneliti dan
mempelajarinya, dan membaginya menjadi beberapa bagian atau pendapat serta
menyebutkan dalilnya masing-masing sesuai dengan permasalahan yang berhubungan
dengannya. Terkadang ia menjelaskannya secara panjang lebar yang tampak pada
penguraian sanad, riwayat dan dalil, hingga ia yakin bahwa tidak ada kepincangan
dalam masalah yang dikajinya.
4. Selain metode deduktif tersebut, ia juga membandingkan antara sanad dengan dalil
dan mengindikasikan kelemahan atau pertentangan yang terjadi pada yang lebih kuat
dalam pengambilan dalil atau argumentasi. Ketika ia menjelaskan mana dalil yang
lebih kuat, ia sering menggunakan ungkapan-ungkapannya, seperti; Ash shwab minal
qaul (yang benar dari pendapat ini), Ash shawab minal qaulain (yang benar dari dua
pendapat ini), ash shwab minal aqwal (yang benar dari beberapa pendapat ini), fi
dzalika ‘indi (dalam masalah itu menurut saya), ‘indana (menurut kami). Ungkapan-
ungkapan ini banyak berulang dalam buku-bukunya yang mengulas tentang pendapat,
perkataan, penyebutan sumber dan dalilnya[3].

Di samping metode-metode umum di atas, dalam menafsirkan, Al-Thabari menempuh


metode dan langkah-langkah khusus sebagai berikut:

1. Mengawali penafsiran dengan mengatakan: “Pendapat tentang takwil firman Allah”


begini...
2. Kemudian menafsirkan ayat dan menguatkan pendapatnya dengan apa yang
diriwayatkannya dengan sanadnya sendiri dari para sahabat atau tabi’in.
3. Menyimpulkan pendapat umum dari nash Al Qur’an dengan bantuan atsar-atsar yang
diriwayatkannya.
4. Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dari Rasulullah Saw, sahabat, dan tabi’in
dengan menuturkan sanad-sanadnya , dimulai dari sanad yang paling kuat dan paling
shahih.
5. Menguatkan pendapat yang menurutnyakuat dengan menyebutkan alasan-alasannya.
6. Melanjutkannya dengan menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata dan
maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta menjelaskan makna yang dimaksud
dalam nash yang bersangkutan.
7. Melanjutkannya dengan menjelaskan qira’at-qira’atnya dengan menunjukkan qira’at
yang kuat dan mengingatkan akan qira’at yang tidak benar.
8. Menyertakan banyak sya’ir untuk menjelaskan dan mengukuhkan makna nash.
9. Menuturkan I’rab dan pendapat para ahli nahwu untuk menjelaskan makna sebagai
akibat dari perbedaan I’rab.
10. Memaparkan pendapat-pendapat fiqih ketika menjelaskan ayat-ayat hukum,
mendiskusikannya dan menguatkan pendapat yang menurutnya benar.
11. Kadang-kadang ia menuturkan pendapat ahli kalam dan menjuluki mereka dengan
ahli jadal (ahli teologi dialektis)-, mendiskusikannya, kemudian condong kepada
pendapat ahlussunnah wal jama’ah.
12. Memberikan tempat yang tinggi kepada ijma’ umat ketika memilih suatu pendapat[4].

Di samping metode-metode tersebut di atas, Al-Thabari juga menggunakan metode yang


sistematis, yaitu menggunakan metode ilmiah yang memiliki unsur-unsur yang jelas dan
sempurna. Ia menggabungkan antara riwayat, dirayat, dan ashalah (keautentikan).

Sisi riwayat ia peroleh dari studi terhadap sejarah, sirah Nabawiah, bahasa, syair, qira’at, dan
ucapan-ucapan orang-orang terdahulu. Semua ini menjadi bekal utama baginya untuk
menyususn tema-tema dan mengetahui perinciannya. Adapun sisi dirayat, ia peroleh dari
perbandingannya terhadap pendapat-pendapat para fuqaha setelah ia ketahui dalil-dalil dari
masing-masing mereka dan cara pentarjihannya. Kemudian dari pengetahuannya terhadap
ilmu hadits yang menyangkut studi sanad, kondisi perawi dan kedudukan hadits. Dan dari sisi
keautentikan Al-Thabari, yaitu berpikir panjang untuk sesuatu yang ingin dilakukan dan
mempersiapkan diri dengan matang. Bahkan terkadang ia berpikir dan merenung sampai
beberapa tahun untuk kemudian terjun ke “medan Laga”[5].

TAFSIR JALALAIN

1. Biografi Pengarang
Kitab ini dikarang oleh dua orang Imam yang agung, yakni Jalaluddin al-Mahalli dan
Jalaluddin al-Suyuthi.
Jalaluddin al-Mahalli bernama lengkap Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim
bin Ahmad al-Imam al-Allamah Jalaluddin al-Mahalli. Lahir pada tahun 791 H/1389 M di
Kairo, Mesir. Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Mahalli yang dinisbahkan pada kampung
kelahirannya. Lokasinya terletak di sebelah barat Kairo, tak jauh dari sungai Nil.

Sejak kecil tanda-tanda kecerdasan sudah mencorong pada diri Mahalli. Ia ulet menyadap
aneka ilmu, misalnya tafsir, ushul fikih, teologi, fikih, nahwu dan logika. Mayoritas ilmu
tersebut dipelajarinya secara otodidak, hanya sebagian kecil yang diserap dari ulama-ulama
salaf pada masanya, seperti al-Badri Muhammad bin al-Aqsari, Burhan al-Baijuri, A’la al-
Bukhari dan Syamsuddin bin al-Bisati. Al-Mahalli wafat pada awal tahun 864 H bertepatan
dengan tahun 1455 M.

Sedangkan al-Suyuthi bernama lengkap Abu al-fadhl Abdurrahman bin Abi Bakr bin
Muhammad al-Suyuthi al-Syafi’i. Beliau dilahirkan pada bulan Rajab tahun 849 H dan
ayahnya meninggal saat beliau berusia lima tahun tujuh bulan. Beliau sudah hafal al-Qur’an
di luar kepala pada usia delapan tahun dan mampu menghafal banyak hadis. Beliau juga
mempunyai guru yang sangat banyak. Di mana menurut perhitungan muridnya, al-Dawudi,
mencapai 51 orang. Demikian juga karangan beliau yang mencapai 500 karangan. Beliau
meninggal pada malam Jum’at 19 Jumadil Awal 911 H di rumahnya.

2. Latar Belakang Penulisan


Riwayat hidup al-Mahalli tak terdokumentasi secara rinci. Hal ini disebabkan ia hidup pada
masa kemunduran dunia Islam. Lagi pula ia tak memiliki banyak murid, sehingga segala
aktivitasnya tidak terekam dengan jelas. Walau begitu, al-mahalli dikenal sebagai orang yang
berkepribadian mulia dan hidup sangat pas-pasan, untuk tidak dikatakan miskin. Guna
memnuhi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja sebagai pedagang. Meski demikian kondisi
tersebut tidak mengendurkan tekadnya untuk terus mengais ilmu. Tak mengherankan jika ia
mempunyai banyak karangan yang salah satunya adalah Tafsir al-Qur’an al-’Adzim yang
lebih dikenal dengan nama Tafsir Jalalain tetapi belum sempurna.

Sedangkan al-Suyuthi-lah yang menyempurnakan “proyek” gurunnya. Pada mulanya beliau


tidak berminat menulis tafsir ini, tetapi demi memelihara diri dari apa yang telah disebutkan
oleh firman-Nya:

“Dan barang siapa yang buta hatinya didunia ini, niscaya diakhirat nanti ia akan lebih buta
dan lebih tersesat dari jalan yang benar”. (Qs, al-Isra’ :72)

Maka dia menulis kitab ini, kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad, tanggal 10 Syawal 870
Hijriah, Penulisannya di mulai pada hari rabo, awal ramadhan dalam tahun yang sama,
kemudian konsep jadinya diselesaikan pada hari Rabu 8 Safar 871 Hijriah.

3. Bentuk, Metode dan Corak Tafsir Jalalain


Istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an (ilmu tafsir) pada
abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang
menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan
fi ‘Ulum al-Qur’an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Suyuthi, dan
lain-lain tidak dijumpai term tersebut.

Namun menurut Nashruddin Baidan, dapat disimpulkan bahwa penafsiran yang diterapkan
olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikerucutkan menjadi dua
macam, yakni tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y.

Tafsir Jalalain merupakan tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ra’y. Karena dalam
menafsirkan ayat demi ayat menggunakan hasil pemikiran atau ijtihad para mufasir
(meskipun tidak menafikan riwayat). Sebagai contoh ketika al-Jalalain menafsirkan
penggalan ayat berikut ini:

(‫الحرام (بالطيب) الحالل أى تأخذوه بدله كما تفعلون من أخذ الجيد من مال اليتيم وجعل الردئ من )وال تتبدلواالخبيث‬
‫مالكم مكانه‬.
Di sini kelihatan dengan jelas bahwa ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut al-Suyuthi
murni menggunakan pemikirannya tanpa menyebut riwayat. Jika kita bandingkan dengan
tafsir Ibnu katsir berikut ini, akan lebih jelas perbedaannya.

(‫ال تعجل بالرزق الحرام قبل أن يأتيك الرزق الحالل الذى )وال تتبدلواالخبيث بالطيب‬: ‫قال سفيان الثورى عن أبى صالح‬
‫التبدلوا أموالكم الحالل وتأكلوا‬: ‫يقول‬,‫ال تتبدلواالحرام من أموال الناس بالحالل من أموالكم‬:‫قدر لك وقال سعيد بن جبير‬
‫وال تعط مهزوال وال تأخذ‬:‫وقال سعيد بن المسيب والزهرى‬.‫أموالهم الحرامز‬

,‫ كان أحدهم يأخذ الشاة السمينة من غنم اليتيم‬:‫وقال السدى‬.‫ال تعط زيفا وتأخذ جيدا‬:‫ وقال إبراهيم والنخعى والضحاك‬.‫سمينا‬
‫ ويأخذ الدرهم الجيد ويطرح مكانه الزيف ويقول درهم بدرهم‬,‫ شاة بشاة‬:‫ويجعل مكانها الشاة المهزولة ويقول‬

Di sini Ibnu Katsir menggunakan bentuk bi al-ma’tsur. Beliau ketika menafsirkan penggalan
ayat tersebut langsung merujuk riwayat dari al-Tsauri, Sa’id bin Jubair, Sa’id bin al-
Musayyab dan lain-lain. Sehingga seakan-akan beliau tidak punya pendapat sendiri tentang
hal tersebut.

Hal inilah yang membedakan antara bentuk bi al-ma’tsur dengan bentuk bi al-ra’y. Tafsir
yang menggunakan bentuk bi al-ma’tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan
tetap ada selama riwayat masih ada. Berbeda dengan tafsir bi al-ra’y yang akan selalu
berkembang dengan perkembangan zaman.

Adapun mengenai metode yang digunakan tafsir Jalalain menggunakan metode Ijmali
(global). Sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyuthi bahwa beliau menafsirkan sesuai dengan
metode yang dipakai oleh al-Mahalli yakni berangkat dari qoul yang kuat, I’rab lafadz yang
dibutuhkan saja, perhatian terhadap Qiraat yang berbeda dengan ungkapan yang simpel dan
padat serta meninggalkan ungkapan-ungkapan bertele-tele dan tidak perlu.

Mufasir yang menggunakan metode ini biasanya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara
ringkas dengan bahasa populer dan mudah dimengerti. Ia akan menafsirkan al-Qur’an secara
sistematis dari awal hingga akhir. Di samping itu, penyajiannya diupayakan tidak terlalu jauh
dari gaya (uslub) bahasa al-Qur’an, sehingga penbengar dan pembacanya seakan-akan masih
tetap mendengar al-Qur’an, padahal yang didengarnya adalah tafsirnya.

Berbeda dengan metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir sebagaimana terlihat dalam contoh.
Dari contoh tersebut Ibnu Katsir menggunakan metode Tahlili (analitis). Perbedaannya
terletak pada terget yang ingin dicapai. Jika yang diinginkan adalah hanya untuk mengetahui
makna kosa kata, tidak memerlukan uraian yang luas, maka cukup menggunakan metode
Ijmali seperti Tafsir Jalalain. Tetapi jika target yang ingin dicapai adalah suatu penafsiran
yang luas tetapi tidak menuntaskan pemahaman yang terkandung dalam ayat secara
komprehensif, maka metode yang cocok adalah metode Tahlili (analitis), sebagaimana
tafsirnya Ibnu Katsir.

Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu
yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau
tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Bila sebuah kitab tafsir mengandung banyak corak
(minimal tiga corak) dan kesemuanya tidak ada yang dominan karena porsinya sama, maka
inilah yang disebut corak umum.

Adapun tafsir Jalalain karena uraiannya sangat singkat dan padat dan tidak tampak gagasan
ide-ide atau konsep-konsep yang menonjol dari mufasirnya, maka jelas sekali sulit untuk
memberikan label pemikiran tertentu terhadap coraknya.
Karena itu pemakaian corak umum baginya terasa sudah tepat kerena memang begitulah yang
dijumpai dalam tafsiran yang diberikan dalam kitab tersebut. Itu artinya bahwa dalam
tafsirnya tidak didominasi oleh pemikiran-pemikiran tertentu melainkan menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an sesuai dengan kandungan maknanya.

4. Karakteristik Tafsir Jalalain


Kitab ini terbagi atas dua juz. Juz yang pertama berisi tafsir surat al-Baqarah sampai surat al-
Isra’ yang disusun oleh Jalaluddin al-Suyuthi, sedangkan juz yang kedua berisi tafsir surat al-
Kahfi sampai surat al-Naas ditambah dengan tafsir surat al-Fatihah yang disusun oleh
Jalaluddin al-Mahalli.

Untuk mengetahui karakteristik tafsir ini perlu diperbandingkan dengan tafsir lain yang
bercorak sama. Berikut disuguhkan perbandingan dengan Tafsir Marah Labid karya Nawawi
al-Bantani dan juga Tafsir al-Baidhowi karya Imam Baidhowi.

• (‫ألن وبال خداعهم راجع اليهم فيفتضحون فى الدنيا باطالع هللا نبيه على ما ابطنوه ويعاقبون )وما يخادعون إال أنفسهم‬
‫فى األخرة (وما يشعرون) يعلمون أن خداعهم ألنفسهم والمخادعة هنا من واحد كعاقبت اللص وذكر هللا فيها تحسين وفى‬
‫قرأة وما يخدعون‬
• (‫أى يكذبون (إال أنفسهم) وهذه الجملة حال من ضمير يخادعون أى يفعلون ذلك والحال أنهم ما يضرون )وما يخدعون‬
‫بذلك اال أنفسهم فان دائرة فعلهم مقصورة عليهم وقرأ عاصم وابن عمر وحمزة والكسائ وما يخدعون بفتح الياء وسكون‬
‫الخاء وفتح الدال وقرأ الباقون بضم الياء وفتح الخاء مع المد وكسرالدال‬

‫وال خالف فى قوله يخادعون هللا فالجميع قرأ بضم الياء وفتح الخاء وباأللف بعدها وكسرالدال وأما الرسم فبغير ألف فى‬
‫الموضعين (وما يشعرون) أن هللا يطلع نبيه على كذبهم‬
• (‫قرأة نافع وابن كثير وأبى عمر والمعنى ان دائرة الخداع راجعة اليهم وضررها يحيق بهم أو )وما يخادعون إال أنفسهم‬
‫أنهم فى ذلك خدعوا أنفسهم لما غروها بذلك وخدعتهم أنفسهم حيث حدثتهم باألماني الفازعة وحملتهم على مخادعة من ال‬
‫يخفى عليه خافية وقرأ الباقون وما يخدعون الن المخادعة ال تتصور اال بين اثنين‬

‫وقرئ ويخدعون من خدع ويخدعون بمعنى يختدعون ويخدعون ويخادعون على البناء للمفعول ونصب أنفسهم بنزع‬
‫الخافض والنفس ذات الشيء وحقيقة ثم قيل للروح الن النفس الحي به وللقلب النه محل الروح أو متعلقة وللدم الن قوامها‬
‫به وللماء لفرط حاجتيا اليه وللرأى فى قولهم فالن يؤامر نفسه النه ينبعث عنها أو يشبه ذاتا مرة‬

‫وتشير عليه والمراد باالنفس ههنا ذواتهم ويحتمل حملها على أرواحهم وآرائهم (وما يشعرون) ال يحسون بذلك لتمادى‬
‫غفلتهم جعل لحوق و بال الخداع ورجوع ضرره اليهم فى الظهو وكالمحسوس الذى ال يخفى اال على مؤوف الحواس‬
‫والشعور االحساس ومشاعراالنسان حواسه وأصله الشعر ومنه الشعار‬

Salah satu sisi yang ditampilkan dari ketiga contoh di atas adalah masalah Qira’at. Tetapi jika
dilihat lebih lanjut terjadi perbedaan dalam penyajiannya. Jika dibandingkan dengan kedua
tafsir di bawahnya, pembahasan yang ada dalam Tafsir Jalalain lebih ringkas, bahkan
cenderung sepintas lalu. Rupanya Suyuthi tidak mau terjebak dalam pembicaraan yang
bertele-tele, cukup hanya dengan menunjukkan adanya perbedaan qira’at. Sebagaimana yang
ia sampaikan dalam muqaddimahnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa karakteristik Tafsir Jalalain jika dibandingkan dengan
tafsir lain yang bercorak sama adalah ungkapannya yang simpel dan padat dengan gaya
bahasa yang mudah. Tujuannya adalah agar dapat dicerna dengan mudah oleh para pembaca
tafsir. Hingga pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa antara al-Qur’an dengan
tafsirannya hampir sama.

Bahkan, menurut pengarang kitab Kasyf al-Dzunun, ada sebagian ulama Yaman yang
mengatakan bahwa hitungan huruf al-Qur’an dengan tafsirannya sampai surat al-Muzzammil
adalah sama. Baru pada surat al-Muddatstsir dan seterusnya tafsir ini melebihi al-Qur’an.

Yang menarik dari kitab ini adalah penempatan tafsir Surat al-fatihah yang diletakkan paling
akhir. Kedua mufassir juga tidak berbicara tentang basmalah sebagaimana tafsir-tafsir
lainnya. Tidak ada keterangan yang menyebutkan tentang alasan tidak ditafsirkannya
basmalah.

Anda mungkin juga menyukai