Anda di halaman 1dari 28

RANGKUMAN

HUKUM PAJAK

Penyusun:
Daya Perwira Dalimi

Kelas Karyawan
Fakultas Hukum
Universitas Pancasila
HUBUNGAN / KAITAN PAJAK DENGAN MASYARAKAT

 Pengertian masyarakat adalah sekumpulan/sekelompok individu yang berada dalam satu tempat
1. PENGERTIAN MASYARAKAT

tertentu, dalam jangka waktu tertentu, dan mempunyai tujuan tertentu.


 Berdasarkan Ferdinand Tunish, masyarakat itu terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Gemenschaaf – Masyarakat Hukum
Adalah Masyarakat Hukum tidak mempunyai jangka waktu atau bersifat permanen
Contoh Masyarakat Hukum: NKRI
b. Gusselschaaf – Masyarakat Bukan Hukum
Adalah Masyarakat Bukan Hukum mempunyai jangka waktu tertentu atau tidak bersifat permanen
Contoh Masyarakat Bukan Hukum: Mahasiswa suatu kelas

 Pajak itu ada karena adanya suatu masyarakat, jadi jika tidak ada masyarakat tentunya tidak akan ada
2. PAJAK ADA KARENA ADA MASYARAKAT

Pajak. Hal ini dikarenakan para individu yang tergabung dalam suatu kelompok (Masyarakat), tentunya
akan mempunyai kebutuhan dalam hidupnya, seperti fasilitas kesehatan, atau yang biasa disebut dengan
KEPENTINGAN UMUM. Oleh karena itu, dengan adanya tuntutan akan kebutuhan Masyarakat
(Kepentingan Umum), maka dibutuhkan Pajak yang mana pajak tersebut diambil dari masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan dari masyarakat tersebut.
 Tetapi, dengan adanya suatu Masyarakat, belum tentu atau mutlak terdapat pajak dalam masyarakat
tersebut. Hal ini bisa terjadi karena kondisi dari masyarakat tersebut yang sudah berkecukupan karena
adanya sumber lain yang sangat besar sehingga bisa mencukupi kebutuhan masyarakatnya.
Contohnya adalah Negara Brunei yang mana mampu untuk membebaskan pajak bagi warga negaranya,
karena mempunyai kekayaan yang sangat berlimpah, sehingga tidak membutuhkan lagi sumber
penghasilan dari warga negaranya.
 Pajak adalah sumber pendapatan negara yang renewable, dimana pajak ini bersumber dari
masyarakat yang sifatnya tidak terbatas alias akan selalu berkembang mengikuti dinamika pertumbuhan
jumlah yang masyarakat. Beda halnya dengan sumber daya alam yang sifatnya terbatas (non-renewable),
dimana suatu saat akan habis dan perlu dicari sumber daya alam lainnya. Inilah yang menyebabkan
bangsa indonesia pernah mengalami masa membayar pajak yang sangat sedikit, karena pemerintah lebih
mengutamakan pendapatan negara dari sumber daya minyaknya (Pertamina)

3. FUNGSI PAJAK
A. Fungsi BUDGETER (Fungsi Anggaran)
Adalah suatu usaha untuk memasukan uang atau pemasukan sebanyak-banyaknya ke dalam kas
Negara

B. Fungsi REGULEREND (Fungsi Mengatur)


Adalah suatu usaha menjadikan Pajak sebagai INSTRUMEN atau ALAT UNTUK MENCAPAI
TUJUAN TERTENTU yang diluar bidang keuangan.
Contoh:
- Usaha pemerintah dalam memproteksi produk dalam negeri dari serbuan produk-produk luar negeri
adalah dengan cara membuat atau mengenakan bea masuk (import) terhadap barang-barang
produksi luar negeri tersebut .
- Usaha pemerintah untuk membatasi daya beli rokok atau minuman keras kepada masyarakat yang
tidak seharusnya menggunakannya (dibawah umur) adalah dengan cara mengenakan pajak atau
cukai terhadap rokok dan miras tersebut
- Usaha pemerintah untuk menarik para investor asing untuk berinventasi di Indonesia adalah dengan
cara memberikan insetif pajak kepada para investor, sehingga para investor tertarik untuk
menanamkan modalnya di Indonesia

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
1
4. DASAR HUKUM KONSTITUSI PAJAK
- Pungutan Pajak merupakan amanah Konstitusi, yaitu UUD 1945, Pasal 23a, Amandemen ke-III,
yang berbunyi: “segala pajak dan pungutan lainnya yang sifatnya memaksa harus dengan Undang
Undang”
- Alasan Pajak harus didasarkan dengan UU karena Pajak berhubungan dengan kepentingan Rakyat,
sehingga segala hal mengenai pembuatan hukum pajak tentunya harus dibuat oleh sekelompok yang dapat
mewakiliki kepentingan rakyat, dalam hal ini adalah para anggota DPR yang mana merupakan
representasi dari Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, rakyat harus mengetahui sejelas-sejelasnya
mengenai penarikan pajak yang dibebankan tersebut.

 Setiap Masyarakat yang mempunyai penghasilan dari pekerjaannya wajib membayar pajak kepada
5. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)

Negara yang biasa disebut dengan WAJIB PAJAK.


 Hanya saja, tidak semua masyarakat yang memperoleh penghasilan dari pekerjaannya wajib
membayar pajak atau dapat disebut dengan Wajib Pajak. Hal ini dapat terjadi karena UU telah
mengatur mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu bagi siapapun masyarakat yang
penghasilannya dalam setahun kurang (dibawah) dari Rp15.840.000, tidak perlu dikenakan pajak atas
penghasilannya tersebut atau bukan termasuk sebagai Wajib Pajak
 Saat ini, nilai PTKP sudah naik menjadi Rp24.300.000, sebagaimana telah diatur oleh Peraturan Menteri
Keuangan PMK No. 162/011/2012, yang mana berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2012, dan efektif
diterapkan pada 1 Januari 2013

6. CYCLUS INCOME
Dalam pajak ini terdapat cyclus income yang mana terjadinya suatu perputaran uang pajak, yang pada intinya
uang pajak itu awalnya didapatkan dari rakyat, yang mana nantinya uang pajak yang ditarik oleh rakyat
tersebut akan kembali atau dinikmati oleh rakyat itu juga.
 Dimulai dari Penghasilan Masyarakat yang WAJIB PAJAK yang akan masuk kedalam penerimaan
Negara. Penerimaan Negara ini terdiri dari
- Pajak
- PNPB – UU 20 Tahun 2007
Contoh: Ketika melakukan Balik Nama pada saat Pendaftaran Tanah
- Hibah
 Penerimaan Negara ini akan masuk kedalam APBN (Atau APBD untuk daerah)
 APBN ini kemudian dibelanjakan oleh Pemerintah, seperti Belanja pegawai, belanja barang, belanja
modal, pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, bantuan social dll.
 Setelah dibelanjakan oleh Pemerintah, masyarakat akan kembali menerima hasil pajak yang
dibayarkannya dalam bentuk bentuk Barang (fasilitas umum, jalan, dll) dan Jasa (Pelayanan pemerintah).
Hasil pajak yang diterima oleh masyarakat ini adalah hasil pajak yang diterima secara tidak langsung.

 UU APBN adalah UU yang mempunyai ARTI FORMAL (Tidak mempunyai bobot materiil), dimana
7. MEKANISME UU APBN

UU ini tidak mengikat secara umum kepada Rakyat, melainkan hanya mengikat Pemerintah
(eksekutif) saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UU ini merupakan suatu otorisasi dari Rakyat
Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh para anggota DPR kepada Pemerintah (eksekutif) untuk
menggunakan dan memanfaatkan uang yang telah disetujui fungsi penggunaannya.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
2
8. PERBEDAAN PAJAK, RETRIBUSI & SUMBANGAN
A. PAJAK adalah suatu pungutan oleh Negara kepada masyarakat yang mana imbalan atau manfaatnya
diterima secara TIDAK LANGSUNG oleh masyarakat
B. RETRIBUSI adalah suatu pungutan yang ditarik oleh Pemerintah Daerah sebagai pembayaran atas
pemanfaatan layanan (Fasilitas) atau jasa pekerjaan yang spesifik (ditunjuk) yang mana manfaatnya atau
imbalannya dapat diterima/dirasakan SECARA LANGSUNG oleh masyarakat yang membayarkan
retribusi tersebut. Dengan kata lain, retribusi ini suatu pungutan oleh pemerintah daerah yang mana
imbalan atau manfaatnya dapat diterima secara langsung oleh masyarakat.
Contohnya adalah Retribusi Parkir
Dasar hukum Retribusi ini adalah UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
C. SUMBANGAN adalah suatu pungutan atau biaya yang ditarik oleh Pemerintah Daerah kepada
sekelompok atau golongan tertentu saja, yang mana imbalannya hanya akan dirasakan manfaatnya oleh
golongan tersebut saja
D. MATRIX PERBEDAAN PAJAK, RESTRIBUSI & SUMBANGAN
PAJAK RETRIBUSI SUMBANGAN
PERSAMAAN
Sama-sama suatu beban atau biaya yang dipungut dari masyarakat demi suatu kepentingan dari
masyarakat itu sendiri
PERBEDAAN
Imbalan Secara tidak langsung Secara langsung
Pemungut Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah
Daerah
Manfaat Untuk membiayai Langsung untuk pembayaran Untuk pembayaran atas
pengeluaran Pemerintah atas jasa atau layanan yang kepentingan Suatu golongan
dan kepentingan umum dinikmati oleh Masyarakat tertentu
Penerima Pemerintah dan Seluruh Hanya Individu yang Hanya sekelompok atau
Manfaat Warga Negara membayarkan saja golongan yang
membayarkannya
Sanksi Sanksi Pidana dan Sanksi Sanksi Ekonomis Sanksi ekonomis dan sanksi
Administrative ex: tidak bayar uang PAM, Yuridis (Dikenakan akibat
maka tinggal dicabut saja hukum tertentu)
PAM-nya
Sifat Sangat Kuat atau Wajib Bersifat ekonomis Kuat, tapi tidak sekuat Pajak
Dasar UU No. 28 Tahun 2009
Hukum
Contoh Retribusi Parkir, PAM,
Listrik

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
3
 Untuk mencapai terciptanya masyarakat yang sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan oleh konstitusi,
9. HUBUNGAN PAJAK DENGAN PEMBANGUNAN NASIONAL

perlu adanya suatu Pembangunan Nasional


 Salah satu Pembangunan Nasional yang dilaksanakan oleh Negara adalah Pembangunan Nasional di
Sektor Publik, seperti pembangunan Rumah Sakit Negara (RSCM), pembangunan fasilitas transportasi,
infrastruktur jalan dan sebagainya, yang mana sumber pembiayaannya berasal dari APBN
 Ternyata Pembangunan Nasional dari Sektor Publik ini tidak akan cukup untuk menciptakan Masyarakat
yang Sejahtera. Tentunya harus didukung juga oleh Pembangunan Nasional dari Sektor Swasta, yaitu
melalui investasi baik dari PMDN maupun PMA
 Pajak ini mempunyai peranan yang sangat penting terhadap Pembangunan Nasional baik yang berasal
dari Sektor Publik maupun Sektor Swasta. Dari Sektor Publik, Pajak ini berperan atau berfungsi sebagai
FUNGSI BUDGETER (ANGGARAN), dimana Pajak ini merupakan salah satu sumber utama bagi
APBN.
 Sama halnya dengan Sektor Publik, Pajak juga mempunyai peranan atau fungsi yang sangat penting bagi
sektor swasta, yaitu sebagai FUNGSI REGULEREND (MENGATUR) dimana Pajak ini dijadikan
sebagai instrumen atau alat untuk mencapai tujuan tertentu yang diluar bidang keuangan, yang dalam hal
ini menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi dari pihak swasta, baik PMDN maupun
PMA
 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pajak ini digunakan untuk melaksanakan pembangunan yang
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
tentunya akan meningkatkan peranan masyarakat dalam pembangunan nasional itu sendiri melalui pajak.

10. SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

 Definisi: Suatu system pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiscus – Pegawai
A. Official Assesment System

Pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.


 Ciri-ciri Official Assesment System:
- Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiscuss
- Wajib pajak bersifat pasif
- Utang pajak timbul setelah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat
Ketetapan Pajak (SKP)
 Contoh Praktis:
Pajak PBB, dimana Pemerintah (Pejabat Pajak) lah yang akan menentukan besaran nilai atau jumlah
Pajak PBB tersebut. Hal ini disebabkan karena dasar penghitungan nilai PBB adalah NILAI JUAL
OBJEK PAJAK BUMI atau Kelas Kelas Tanah yang mana harus ditentukan oleh Pemerintah.

 Definisi: suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab
B. Self Assesment System

kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang terutang dan harus dibayar
 Contoh Praktis:
Pajak Penghasilan, dimana masyarakatlah yang menghitung, menetapkan, menyetor dan melaporkan
SPT adalah masyarakat sendiri. Hal ini karena masyarakat sendirilah yang mengetahui secara jelas
penghasilannya, baik keuntungan dan kerugiannya

 Definisi: suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk
C. Witholding Assesment System

memotong atau memungut besarnya pajak yang terutan oleh Wajiib Pajak. Pajak yang dipotong atau
dipungut oleh pihak lain ini, nantinya bisa menjadi kredit pajak atau merupakan pelunasan atas pajak
terutang

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
4
11. JENIS ATAU KARAKTERISTIK PAJAK
A. Menurut Sifatnya
1) Pajak LANGSUNG
Pajak yang dipungut secara PERIODIK dan pembebanannya TIDAK DAPAT DILIMPAHKAN
atau digeser kepada pihak lain dan hanya menjadi beban langsung dari Wajib Pajak yang
bersangkutan.
Contohnya: PPH, PBB
2) Pajak TIDAK LANGSUNG
Pajak yang yang dipungut secara INCIDENTAL (sekaligus) dan pembebanannya DAPAT
DILIMPAHKAN atau digeser kepada pihak lain.
Contoh: PPN yang sebenarnya ini merupakan pajak dari Produsen yang akhirnya dilimpahkan
kepada konsumennya
B. Menurut Pemungutnya
1) PAJAK PUSAT
Pajak yang dipungut oleh pemerintah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah
pusat.
Contoh: PPH, PPN, PPnB, BM
2) PAJAK DAERAH
Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga
pemerintah daerah.
Contoh: PBB, BPHTB, Pajak reklame, pajak hiburan dll.
C. Menurut Sasaran/Objeknya
1) SUBJEKTIF
Pajak Subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjek dari Wajib Pajaknya,
dalam arti besarnya nilai pajak ikut ditentukan oleh keadaan diri Wajib Pajaknya tersebut.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPH), yang mana setiap Wajib pajak akan mempunyai kondisi yang
berbeda-beda dilihat dari kondisi subjek atau seseorang tersebut, seperti status pernikahan,
tanggungan anak, jumlah penghasilan dan sebagainya. Tiap orang akan mempunyai jumlah pajak
yang berbeda, tergantung dari kondisi seseorang tersebut.
2) OBJEKTIF
Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya saja tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak yang dipungutnya.
Contoh: PBB, penghitungan nilai pajaknya hanya dilihat dari kondisi objkenya saja, seperti dari
ukuran atau luas dari bumi bangunannya, tidak tergantung dari kondisi subjeknya, atau PPN,
PPnBM dan Bea Materai (BM) yang harus dibayarkan ketika membeli barang dengan tanpa melihat
dari status pembelinya.
Hanya saja, terdapat dalam praktek, dimana Pajak Objektif juga melihat dari kondisi subjeknya atau
dengan kata lain bergeser menjadi Pajak Subjektif. Contohnya adalah PBB bagi para pensiunan dan
jandanya, veteran perang, purnawirawan diberikan keringanan dalam membayar PBB-nya,
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat terjadi karena dalam pajak
terdapat AZAS KEADILAN dalam prakteknya. Dan untuk mendapatkan keringanan, para subjek
hukum tersebut (veteran, puranwirawan, dst) harus mengajukan permohonan keringanan pajak ke
Pemerintah, karena Pajak ini merupakan hukum publik, dimana segala sesuatunya tidak dapat
berlangsung secara otomatis, melainkan harus dimohonkan bagi seseorang yang menginginkannya.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
5
12. UNSUR PAJAK
Unsur adalah sesuatu yang mutlak harus ada agar supaya sesuatu itu akan ada. Dengan demikian, Unsur Pajak
ini sifatnya adalah mutlak dimana dengan tanpa adanya salah satu dari unsur pajak ini,maka tidak akan
mungkin ada atau terdapat Pajak. Unsur-unsur Pajak ini terdiri dari:
1) Ada Masyarakat
Pajak itu ada karena adanya suatu masyarakat, jadi jika tidak ada masyarakat tentunya tidak akan ada
Pajak. Hal ini dikarenakan para individu yang tergabung dalam suatu kelompok (Masyarakat), tentunya
akan mempunyai kebutuhan dalam hidupnya, seperti fasilitas kesehatan, atau yang biasa disebut dengan
KEPENTINGAN UMUM. Oleh karena itu, dengan adanya tuntutan akan kebutuhan Masyarakat
(Kepentingan Umum), maka dibutuhkan Pajak yang mana pajak tersebut diambil dari masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan dari masyarakat tersebut.
2) Ada UU
Konstitusi (UUD 1945) sudah mengamanatkan bahwa Pajak harus menggunakan UU, sebagaimana yang
tercantum pada Pasal 23a, Amandemen ke-III, yang berbunyi: “segala pajak dan pungutan lainnya
yang sifatnya memaksa harus dengan Undang Undang”. Dengan demikian, sudah jelas bahwa UU adalah
salah satu unsur dari Pajak ini.
Alasan Pajak harus didasarkan dengan UU karena Pajak berhubungan dengan kepentingan Rakyat,
sehingga segala hal mengenai pembuatan hukum pajak tentunya harus dibuat oleh sekelompok yang dapat
mewakiliki kepentingan rakyat, dalam hal ini adalah para anggota DPR yang mana merupakan
representasi dari Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, rakyat harus mengetahui sejelas-sejelasnya
mengenai penarikan pajak yang dibebankan tersebut.
UU ini sendiri mengandung atau tersirat beberapa azas, yaitu:
- Demokrasi
- Perwakilan Rakyat : Rakyat harus mengetahui tentang pajak itu sendiri
- Musyawarah
- Keadilan Sosial - Pemerataan
3) Pemungut Pajak : Penguasa Masyarakat atau Pemerintah
4) Subjek Pajak
- Subjek Pajak adalah seluruh rakyat yang BERPOTENSI untuk menjadi WAJIB PAJAK.
- Sedangkan Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan dari
Perundangan-undangan terkait dengan Pajak, baik subjek dan objeknya
Contoh: seseorang yang sudah memenuhi ketentuan UU PPH baik subjek maupun objeknya, tentunya
sudah dapat disebut dengan Wajib Pajak
5) Objek Pajak – TATBESTAND
TATBESTAND adalah segala sesuatu yang bisa dijadikan objek pajak, yang terdiri dari:
a. Keadaan: Seseorang yang memiliki tanah dan bangunan, akan dikenakan Pajak PBB setiap tahunnya
b. Perbuatan: Ketika seseorang membeli HP, maka dengan sendiri seseorang tersebut akan dikenakan
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)
c. Peristiwa: Ketika seseorang memenangi suatu undian berhadiah, seseorang tersebut akan langsung
dikenakan Pajak Hadiah
Surat Ketetapan Pajak (Fakultatif – Tergantung)
 SKP ini sifatnya Fakultatif, yang berarti tidak semua macam pajak yang memerlukan SKP. Hanya
6)

Pajak yang menggunakan Official Assesment Sytem saja yang menggunakan SKP ini.
 SKP ini sendiri termasuk Produk Beschiking, yang artinya bersifat individual dimana ditujukan
spesifik kepada individu (seseorang) yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
 Contoh: Pajak PBB adalah Pajak yang mengharuskan atau memerlukan SKP karena
menggunanakan official assessment system, dimana Pemerintah (Pejabat Pajak) lah yang akan
menentukan besaran nilai atau jumlah Pajak PBB tersebut. Berbeda halnya dengan PPH yang tidak
menggunaan SKP, karena menggunakan system Self-Assessment, dimana masyarakatlah yang
menghitung, menetapkan, menyetor dan melaporkan SPTnya

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
6
13. CIRI PAJAK
A. Pengertian Ciri
Sesuatu yang tampak dari luar dan dapat terlihat mudah oleh panca indera kita
B. Ciri-Ciri Pajak
1) Peralihan kekayaan : dari seseorang atau Badan kepada Negara atau Masyarakat
2) Tanpa ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk
3) Dapat dipaksakan

 Periodik: Pajak Penghasilan yang dipungut setiap tahun


4) Berulang-ulang (Periodik) atau Sekaligus (Insidental)

 Insidental: Ketika beli barang, ada pajak pembelian barang tersebut)


5) Untuk membiayai pengeluaran pemerintah – APBN
6) Sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, sebagai insentif, rangsangan

 Pajak Langsung: Pajak yang dipungut secara periodik dan tidak dapat digeser kepada orang lain.
7) Pajak Langsung atau Pajak Tidak Langsung

 Pajak Tidak Langsung: Pajak yang dipungut secara incidental (Sekaligus) dan dapat digeser
Contohnya: PPH, PBB

kepada orang lain. Seperti Produsen yang menggeser pajak PPN-nya ke konsumennya
8) Merupakan hutang – Perikatan
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dimana akan menimbulkan hak dan kewajiban. Perikatan
pada Pajak ini lahir karena UU, bukan Perjanjian

14. PENGERTIAN PAJAK


A. Ekonomi
Peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan UU yang dapat dipaksakan dan
tidak mendapat imbalan (Tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran Negara (APBN) dan sebagai alat pendorong, penghambat dan pencegah
untuk mencapai tujuan yang ada di luar keuangan
B. Hukum
Perikatan yang timbul karena UU yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh UU (TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada Negara yang dapat
dipaksakan tanpa mendapat suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran negara (APBN) dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat dan
pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan

 Falsafah Pajak ini dapat ditemukan atau tersirat dalam Pasal 23a, Amandemen ke-III, yang berbunyi:
15. FALSAFAH PAJAK

“segala pajak dan pungutan lainnya yang sifatnya memaksa harus dengan Undang Undang”. Kata
Undang Undang ini bermakna atau mempunyai arti bahwa Pajak itu HARUS DIKETAHUI OLEH
RAKYAT, dimana Rakyat Indonesia ini direpresentasikan (diwakilkan) oleh para anggota DPR yang
berperan sebagai Legislator atau sebagai Pembuat UU atau Pajak harus ada KETERWAKILAN dari
rakyat itu sendiri. Hal ini dikarenakan karena Pajak ini diambil dari Rakyat dan tentunya harus diketahui
juga oleh rakyatnya (Dari rakyat untuk rakyat)
 Jadi, pada intinya Falsafah Pajak adalah adanya KETERWAKILAN RAKYAT pada pajak, dimana
segala sesuatu tentang pajak HARUS diketahui oleh Rakyat. Peralihan barang yang tidak diketahui oleh
Rakyat, tentunya tidak akan dikenakan Pajak. Seperti seseorang yang kecopetan, dimana telah terjadi
peralihan barang dari seseorang tersebut ke Pencopet, sang pencopet tentunya tidak akan dikenakan pajak
atas barang yang didapatkan dari hasil mencopet tersebut.
 Kebetulan Falsafah Pajak Indonesia sejalan atau sama dengan system di Inggris, yaitu Taxation without
Representation dan USA, yaitu Taxation without Representation is Robbery.
 Falsafah Pajak ini sejalan dengan Sila ke -4 Pancasila, yaitu Pajak merupakan representasi atau
perwakilan rakyat, dimana Pajak harus diketahui oleh rakyat karena dari rakyat untuk rakyat.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
7
16. HUBUNGAN PAJAK DENGAN PANCASILA
A. Sila 1: Ketuhanan Yang Maha Esa
Pajak tidak boleh bertentangan dengan agama, tidak bertentangan dengan ketuhanan yang maha esa.
Ini dapat dilihat bahwa di agama juga terdapat pungutan-pungutan seperti zakat, sadaqoh di Agama Islam,
dan pungutan 10% di agama Nasrani
B. Sila 2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Dalam pungutan pajak harus manusiawi dan adil. Pengertian Adil ini sendiri sebenarnya sangat
abstrak (tidak baku), dimana sangat tergantung ruang, tempat dan waktu. Hanya saja, meski Adil itu tidak
baku, tetap saja Adil itu harus dirumuskan dalam suatu peraturan yang jelas.
Contohnya: Peraturan mengenai PTKP, dimana ada ketentuan dari para Subjek Pajak yang tidak perlu
membayar pajak karena penghasilannya dibawah nilai PTKP yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah.
C. Sila 3: Persatuan Indonesia
Dalam pajak tersirat asas gotong royong, dimana Rakyat secara bersama-sama membayar pajak demi
kepentingan umum yang lebih besar lagi.
D. Sila 4: Kerakyaatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan
Sila ke-4 ini sangat berhubungan dengan Pasal 23a UUD 1945, yaitu Pajak merupakan representasi
atau perwakilan rakyat, dimana Pajak harus diketahui oleh rakyat karena dari rakyat untuk rakyat.
E. Sila 5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Hasil pajak itu ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, dimana baik wajib pajak maupun yang
tidak membayar pajak juga dapat turut serta menikmati hasil pajak tersebut demi menuju menjadi
masyarakat yang sejahtera

17. HUBUNGAN PAJAK


Pada dasarnya Pajak itu tidak akan bisa berdiri sendiri dan dilepaskan dengan bidang-bidang hukum lainnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pajak itu akan selalu berkaitan dengan bidang hukum lainnya,

 Hubungan Pajak dengan Hukum Perdata


seperti:

Segala perbuatan atau peristiwa yang menjadi objek Pajak itu sebenarnya diambil dari bidang perdata,
seperti memperoleh penghasilan, jual beli, dan perjanjian
 Hubungan Pajak dengan Hukum Administrasi Negara
Pajak merupakan karena mengatur hubungan antara Pemerintah dengan para Wajib Pajaknya
 Hubungan Pajak dengan Hukum Pidana
Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran-pelanggaran atas pajak ini terdapat sanki pidananya bagi
para Wajib Pajak yang terbukti melakukan pelanggaran pajak

18. RESISTENSI/PERLAWANAN PAJAK


A. Perlawanan Pasif
Adalah perlawanan yang timbulnya bukan dari wajib pajak, melainkan dari kondisi perekonomian
atau Negara itu sendiri, perkembangan intelektual dan moral penduduknya dan dengan tekhnik
pemungutan pajak itu sendiri.
Contoh: Bank itu mengenakan pajak ke bunga tabungan nasabahnya. Hanya saja, sekitar peride 1050-
an, menabung di bank bukanlah pilihan utama masyarakat atau belum menjadi kebiasaan dan budaya.
Masyarakat lebih condong untuk menabung uangnya di bawah bantal atau dirumahnya sendiri.
Akibatnya pada saat itu, penerimaan pajak dari sektor pajak sangatlah kecil, karena hanya sedikit
masyarakat yang mau menabungkan uangnya di bank.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
8
B. Perlawanan Aktif
Adalah suatu usaha perlawanan yang nyata yang dilakukan oleh para Wajib Pajak dan terlihat pada semua
usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah dengan tujuan untuk
menghindari pajak, yang terdiri dari:
1) Penghindaran dari Pajak (Tax Avoidance) : suatu upaya dari para wajib pajak untuk menggantikan
(substitusi) barang yang mengandung pajak dengan barang yang bebas dari pajak.
Contoh: Pajak (PPN) hanya dikenakan kepada produk-produk buah yang mengalami Fabrikasi
(seperti buah kaleng) atau mengalamai pertambahan nilai. Sedangkan buah-buah segar yang sama
sekali tidak mengalami proses fabrikasi atau terdapat pertambahan nilai, tidak dikenakan pajak.
Dengan melihat situasi seperti itu, akhirnya Wajib Pajak mengganti produk Buah Kaleng tersebut
dengan buah-buahan segar yang bebas dari pajak.
2) Pengelakan (Tax evasion)
a. Legal – Tax Planning
Suatu langkah-langkah yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mengelak pajak dengan cara
tidak melawan hukum yang berlaku. Tentunya pengelakan secara legal ini harus dilakukan
secara cermat, dimana Wajib Pajak harus mencari celah-celah hukum yang mana dapat
mengelakan wajib pajak dikenakan pajak.
Contoh: Ketika seorang Wajib Pajak ingin mengembangkan bisnisnya lebih besar, maka Wajib
Pajak tersebut akan mempelajari segala peraturan terkait, untuk mencari tahu langkah-langkah
yang menguntungkan terkait dengan pembayaran pajak atas ekspansi bisnisnya. Ternyata,
berdasarkan peraturan bagi ekspansi bisnis, ada yang namanya insentif pajak jika ekspansi
bisnisnya dilakukan di luar pulau Jawa
b. Ilegal
Suatu langkah-langkah yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mengelak pajak dengan cara
melawan hukum yang berlaku
Contoh: Wajib pajak melakukan manipulasi pajak dengan melakukan pembukuan ganda
3) Melalaikan pajak
Suatu usaha Wajib Pajak untuk menolak pembayaran pajak yang telah ditetapkan dan menolak
memenuhi formalitas yang harus dipenuhi
Contoh: Menghalangi penyitaan dengan cara menyembunyikan barang-barang yang akan disita

19. PENDEKATAN PAJAK


1) Ekonomi
Ditinjau dari segi ekonomi, pajak dapat dilihat dari sisi Mikroekonomi dan Makroekonomi, yaitu:
a. Mikroekonomi: Pajak itu mengurangi pedapatan (income) individu, mengurangi daya beli
(Konsumsi) seseorang, mengurangi kesejahteraan individu, mengubah pola hidup wajib pajak
b. Makroekonomi: Pajak itu merupakan income atau pendapatan suatu Negara (masyarakat) tanpa
menimbulkan kewajiban pada Negara terhadap wajib pajak
2) Sosial
Pajak dapat dipandang secara negative dan positive dengan melihat dampak yang dirasakan oleh rakyat.
Pajak akan diterima oleh rakyat, ketika tidak memberatkan rakyat dan mempunyai manfaat bagi
rakyat itu sendiri (meningkatkan kesadaran pajak). Sebaliknya, apabila pajak itu memberatkan rakyat dan
hasilnya tidak dirasakan langsung oleh rakyat, maka akan timbul resistensi dari rakyat
3) Agama
Pajak ini tidak bertentangan dengan agama, dimana dalam agamapunn juga terdapat pungutan-
pungutan demi kemashlatan umat (kepentingan bersama)
4) Keuangan
Sama halnya dengan ekonomi makro, pajak jika dilihat dari sisi keuangan adalah mempunyai fungsi
budgeter, yaitu seberapa besar hasil pemasukan pajak ini bagi keuangan negara
5) Politik
Pajak itu dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu, karena pajak itu adalah sesautu
yang selalu melibatkan rakyat. Seringkali di periode pemilihan kepala Negara atau daerah, para calon
pemimpin menggunakan issue pajak dengan menyampaikan janji-janji tertentu, seperti akan memberikan
pembebasan bagi pajak-pajak yang terlalu membebani rakyat.
Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
9
6) Pembangunan
Pembangunan Negara itu merupakan suatu tujuan Negara, dimana dari pembangunan tersebeut
diharapkan terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Pembangunan ini sendiri dilakukan di dua sektor, yaitu sektor Publik yang mana dananya berasal dari
APBN dan hibah (Fungsi Budgeter pada Pajak), dan juga Sektor Privat (swasta) yang dananya berasal
dari investasi pihak swasta, baik lokal maupun asing (Fungsi mengatur pada Pajak)
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pajak ini digunakan untuk melaksanakan pembangunan yang
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
tentunya akan meningkatkan peranan masyarakat dalam pembangunan nasional itu sendiri melalui pajak.
7) Hukum
a. Definisi Pajak: Perikatan yang timbul karena UU yang mewajibkan seseorang yang memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh UU (TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada
Negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapat suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk,
yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara (APBN) dan yang digunakan sebagai alat
pendorong, penghambat dan pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan
b. Definisi "Hukum Pajak": seperangkat peraturan yang mengatur hubungan hukum hak dan kewajiban
antara Negara sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak, beserta seluruh lembaga
yang melaksanakan pungutan pajak.

 Hukum Pajak Formal: hukum yang mengatur mengenai pelaksanaan dari hukum materiil
c. Sistematika Hukum Pajak

- UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhir oleh UU No. 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan
- UU No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
- UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
 Hukum Pajak Materiil: Hukum yang mengatur mengenai Subjek, objek dan tarif pajak
- UU PPH
- UU PPN
- UU PPnBM
- UU PBB
- UU BPHTB
d. Bentuk Hukum: Hukum Tertulis
e. Sumber Hukum
- UU
- Hukum Internasional (Bilateral & Multilateral): Bukan mengenai timbulnya hutang pajak,
melainkan mengenai hukum pajak nasional digunakan atau tidak terhadap Wajib Pajak
- Yurisprudensi

20. TEORI TIMBULNYA HUTANG PAJAK


Secara umum, Hutang Pajak itu timbulnya karena adanya perikatan yang timbul karena UU. Tetapi ternyata
hutang yang timbul tersebut, tidak cukup dengan UU saja, sebagaimana yang dijelaskan dari 2 ajaran Materiil
dan Formil, yaitu:
A. Ajaran Material
Timbulnya hutang pajak itu adalah karena adanya UU itu sendiri, selama Subjek Pajaknya memenuhi
syarat subjek dan syarat objek sebagai objek pajak.. Maksudnya adalah dengan munculnya suatu UU
tentang pajak, maka pada saat itulah timbul hutang pajaknya.
Contoh: Ketika UU PPH lahir, seseorang yang telah memenuhi syarat UU PPH tersebut (syarat subjek
dan Syarat Objek), maka akan timbul hutang pajaknya (dengan sendirinya)
B. Ajaran Formal
Timbulnya hutang pajak itu adalah karena adanya UU dan ada perbuatan dari Fiscus dengan
mengeluarkan SKP atau suatu surat keputusan yang bersifat BESCHIKING.
Contoh: Hutang pajak akan timbul ketika sudah ada UU tentang PBB dan dikeluarkannya SPPT PBB
oleh Fiscus

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
10
21. FUNGSI SKP
A. Ajaran Material
SKP ini ternyata juga ada di ajaran materiil, tapi mempunyai fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Tidak menimbulkan hutang pajak
2) Menentukan besarnya pajak
3) Memberitahukan kepada WP
4) Tempat pencatatan pembayaran
Contohnya: ada SKP kurang bayar, SKP Nihil atau SKP Lebih bayar yang dikirimkan oleh Pejabat pajak
terkait dengan informasi dari pembayaran pajak PPH yang telah dibayarkan
B. Ajaran Formal
Sedangkan pada ajara formal, fungsi SKP, yaitu
1) Menimbulkan hutang pajak: SPPT
2) Menentukan besarnya pajak
3) Memberitahukan kepada WP
4) Tempat pencatatan pembayaran

22. TEORI PEMBENARAN PUNGUTAN PAJAK


Merupakan suatu teori yang dapat membenarkan bahwa pajak dapat dipungut oleh Negara (Pemerintah).
Hanya saja, dari beberapa teori tersebut tidak semuanya memenuhi alasan/menjawab pembenaran pajak
tersebut, yaitu sebagai berikut:

 Teori Asuransi:
A. Teori yang TIDAK MEMENUHI/MENJAWAB

Teori yang mengibaratkan Pajak itu seperti Premi, yaitu bayar premi (pajak) untuk nantinya dapat
menanggung kerugian yang diderita. Dasar dari Premi itu adalah Perjanjian antara pihak.
Sedangkan pajak itu adalah suatu perikatan yang timbul karena UU, bukan karena adanya perjanjian.
 Teori Daya Pikul
Pemungutan pajak ini sebesar dari yang dipikul/kemampuan seseorang. Dengan demikian, tentunya
teori ini tidak menjawab pertanyaan mengenai pembenaran pungutan pajak, karena membicarakan
mengenai besaran nilai pajak yang harus dibayarkan (Tidak nyambung), bukan mengenai pembenaran
pungutan pajak
 Teori Kepentingan
Pajak itu besarnya tergantung dari kepentingan yang dilindungi. Teori ini tidak menjawab karena
pajak itu memberikan imbalan yang tidak langsung, tidak seperti kepentingan yang dilindungi dimana
merupakan imbalan langsung

 Teori Daya Beli/Teori Pompa


B. Teori yang MEMENUHI/MENJAWAB

Teori ini menyebutkan dipungutnya pajak seperti sebuah pompa, dimana disedot dari bawah oleh
pompa, yang kemudian dikeluarkan lagi keatas. Teori ini menjawab tentang pembenaran pungutan
pajak, karena disedot dari rakyat dan diberikan juga kepada rakyat
 Teori Kewajiban Pajak Mutlak
Teori ini merupakan “Organ Theory”, yaitu mengatakan bahwa Negara itu adalah suatu organisasi,
dimana dengan terbentuknya suatu Negara dalam bentuk organisasi maka selama itulah Negara itu
memungut pajak dari rakyatnya. Teori ini menjawab karena Negara diberikan Hak oleh rakyat untuk
memungut pajak.
 Teori Pembenaran Pajak Menurut Pancasila
Pancasila merupakan kristalisasi dari Nilai-nilai. Salah satu nilai-nilai dari Pancasila itu adalah Nilai
Gotong Royong. Nilai gotong royong ini tumbuh dan tersirat dalam Nilai Pajak itu sendiri, dimana
rakyat secara bersama-sama membayar pajak demi kepentingan rakyat itu juga.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
11
23. AZAS PEMUNGUTAN PAJAK
A. AZAS ADAM SMITH’ CANON: untuk keberhasilan pemungutan pajak, maka setiap peraturan harus
memuat beberapa azas agar ketentuan hukum dalam perpajakan dapat ditaati dan dilaksanakan oleh
masyarakat, yang terdiri dari:
1) Azas Certainty : Kepastian
Dalam hukum pajak, harus terdapat pengertian-pengertian yang jelas dan tidak multitafsir sehingga
kepastian hukum di bidang pajak dapat tercapai
Contoh:
- UU PPH menjelaskan pengertian dari Penghasilan, yaitu sesuatu yang menambah kemampuan
ekonomis. Pengertian ini mempunyai arti yang sangat luas, sehingga pada pasal berikutnya,
pengertian dari Penghasilan ini lebih dijelaskan lebih lanjut dengan merinci Penghasilan, yang
terdiri dari gaji, honor, upah, dll (Dirinci dengan jelas)
- Verjaring (Daluwarsa) : Fiscus dibatasi waktunya dalam memungut pajak, yaitu selama 5 tahun
demi terciptanya kepastian hukum, atau yang biasa disebut dengan Extinsive verjaring. Jadi setelah

 Aquisitive Verjaring: Dengan lampaunya waktu, seseorang memperoleh hak


lewat 5 tahun, fiscus tidak bisa memungut pajak yang terhutang dari WP karena kehilangan haknya

 Extinsive verjaring: Dengan lampaunya waktu, seseorang kehilangan hak


2) Azas Convenience of payment
Ini merupakan suatu azas yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi para wajib pajak untuk
melaksanakan kewajibannya, seperti kemudahan dalam pembayaran, fasilitas tempat pembayaran
pajak, waktu pemungutan pajak PPH pada waktu gajian, dst.
3) Azas Economics of collection – Asas Efisiensi
Dalam mengumpulkan uang pajak harus mempertimbangkan unsur ekonomisnya. Hal ini berarti
ketika melakukan pungutan pajak, harus diusahakan agar biaya memungut pajaknya lebih besar dari
hasil pungutan pajak itu sendiri.
Contoh: Pemerintah tidak perlu membangun kantor pemungut pajak khusus untuk WNA di Aceh,
karena jumlah WNA yang sangat sedikit di Aceh. Biaya pembangunan kantor yang besar tidak akan
sebanding dengan pemasukan pajak dari WNA yang sedikit tersebut

 Equality: penentuan dasar atau basic dalam penghitungan nilai pajak harus ditentukan dari nilai
4) Azas Equality & Equity

yang sama, sehingga penghitungannya dihitung dari nilai Gross, bukan Netto/bruto
Contoh: Dasar penghitungan pajak dalam UU PPH adalah nilai PKP (Penghasilan Kena Pajak),

 Equity: keadilan untuk kasus-kasus tertentu (Bukan keadilan Lawful)


yang mana jumlahnya adalah sama.

Contoh:Seorang Wajib Pajak sepakat akan membeli Tanah dan Bangunan yang mana akan
dikenakan pajak atas tanah dan bangunan tersebut. Tetapi, sebelum terjadinya perpindahan, tanah
dan bangunan tersebut musnah (Terbakar). Dengan demikian, wajib pajak tersebut harus
mengajukan pembatalanpengenaan pajak atas tanah dan bangunan tersebut.(Tidak batal dengan
sendirinya/NICHTE)
ATAU
Azas Yuridis, Ekonomis, Finansial dan Sosiologis
B. AZAS YURIDIKSI PEMUNGUTAN
1) Azas Domisili
Adalah azas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang. Jadi bagi
siapapun, baik warga lokal maupun warga asing, selama tinggal di suatu tempat, maka akan dikenakan
pajak sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku di tempat tersebut
2) Azas Sumber
Pemungutan pajak ini dilihat berdasarkan sumber penghasilan dari Wajib Pajaknya. Jika sumber
penghasilannya Indonesia, terlepas kewarganegaraannya, maka akan dikenakan pajak di Indonesia.
3) Azas Kebangsaan
Pemungutan pajak ini dilihat berdasarkan kebangsaan atau kewarganegaraan Wajib Pajaknya. Seperti
wajib pajak yang berwarga Negara Indonesia akan dikenakan pajak Indonesia, dimanapu wajib pajak
tersebut berdomisili.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
12
24. HAPUSNYA HUTANG PAJAK
1) Pembayaran – Ps.1382 BW
Pembayaran hutang pajak ini mempunyai ketentuan-ketentuan yang berbeda seperti pembayaran hutang
perdata, karena pembayaran hutang pajak ini merupakan hutang yang timbul akibat perikatan yang lahir
karena UU, tentunya hapusnya hutang pajak pun telah diatur khusus oleh UU, seperti:
- Cara pembayarannya yang sudah diatur
- Tempat pembayarannya: contoh: bank persepsi, sebagai bank yang ditunjuk
- Waktu pembayarannya
2) Kompensasi Hutang – Ps. 1425 BW
Dalam hukum pajak dikenal yang namanya Kompensasi Hutang atau Perjumpaan Hutang.
Contohnya ketika WP mempunyai kelebihan bayar pajak, maka WP tersebut mempunyai 2 pilihan, yaitu
dapat dijumpakan/dikompensasikan dengan Hutang Pajak tahun berikutnya atau dikembalikan atau
diambil langsung uang lebih bayarnya (restitusi).
3) Pembebasan Hutang – Ps. 1438 BW
Dalam pajak dikenal yang namanya pembebasan hutang. Seperti WP yang memang hilang (tidak bisa
ditemukan) atau meninggal dunia dan tidak mempunyai harta yang cukup untuk membayar pajak selama
hidupnya, maka hutang pajaknya akan dihapuskan
4) Pembatalan/Kebatalan – Ps. 1446 BW
Misalnya: ketika terjadi salah hitung nilai pajak atau terjadi salah tulis nama, maka itu dapat dimintakan
pembatalan kepada Pejabat Pajak
5) Daluwarsa – Ps. 1946 BW
Demi kepastian hukum, dalam Pajak dikenal yang namanya Daluwarsa, dimana telah ditentukan waktu
selama 5 tahun bagi fiscus untuk dapat menagih pajak kepada WP. Jika lewat 5 tahun, maka Fiscus akan
kehilangan haknya untuk menagih pajak kepada WP

Sedangkan yang tidak menyebabkan hapusnya hutang pajak, sebagaimana hapusnya perikatan pada umumnya,
yaitu:
1) Konsignasi/Penitipan – Ps. 1404 BW
Ini tidak bisa dilakukan, karena dasar dari konsignasi adalah perjanjian, sedangkan pajak adalah hutang
akibat perikatan yang timbul karena UU
2) Novatie – Ps. 1412: Pembaharuan Hutang
3) Percampuran Hutang – Ps. 1436 BW
Percampuran hutang itu terjadi karena perkawinan yang dasarnya adalah perjanjian. Tentunya ini tidak
berlaku untuk pajak
4) Musnahnya barang – Ps 1444
Di pajak tidak dikenal perjanjian-perjanjian penghapusan hutang karena musnahnya barang. Beda halnya
dengan Perdata yang dikenal dengan NICHTE atau batal demi hukum, sedangkan Pajak dasarnya adalah
bukan perjanjian
5) Dipenuhinya Syarat Batal – Ps. 1265 BW
Karena pemenuhan syarat batal itu hanya terdapat pada perjanjian

25. SISTEM PUNGUTAN PAJAK


1) Sistem dipungut di Muka (Voor heffing)
Pajak dipungut pada awal tahun.
Contoh: Pajak PBB
2) Sistem pungutan di belakang (na effing)
Pajak dipungut pada akhir tahun
Contoh: PPH

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
13
3) Sistem Fiksi
Pungutan pajak dengan tidak sebenarnya atau tidak riil. Biasanya terdapat pada Pajak zaman
dahulu. Saat ini aplikasinya kurang lebih sama dengan PPH Masa (PPH Pasal 25) atau PPH yang
dicicil, dimana PPH-nya sudah dapat mulai dibayar di awal tahun, meski jumlah PPH yang
seharusnya dibayarkan belum diketahui (karena baru dapat diketahui pada akhir tahun).
Sehingga besaran nilai PPH terutangnya dengan menggunakan patokan PPH dari tahun
sebelumnya. Jika nantinya PPH finalnya sudah keluar, maka jumlah yang sudah dibayarkan
dapat dijumpakan ke PPH Tahun berikutnya jika ternyata kondisinya pajak yang telah kita
bayarkan berlebih (lebih bayar)
4) Sistem Riil
PPH yang sudah final atau riil penghitungannya pada akhir tahun, dimana merupakan PPH Pasal 29.
5) Sistem Campuran
PPH Pasal 25 dan Pasal 29
6) Sistem Self Assesment
7) Sistem Official Assessment
8) Sistem Witholding Tax
Sistem pungutan pada sumbernya, yaitu ketika pajak kita
PPH Pasal 22, yaitu
9) Kredit Pajak
PPH Pasal 25, ketika pajaknya dapat dikredit.

26. REFORMASI PAJAK


A. Sebelum 1983
Pajak di Indonesia mengalami reformasi besar-besaran sejak tahun 1983. Sebelum tahun 1983, Indonesia
masih menggunakan system hukum Pajak dari Belanda, seperti Inkomsten Belasting (PPH), Verponding
(Pajak atas tanah Hak Barat bertransformasi menjadi PBB), Vermogens Belasting, dll. Semua peraturan
pajak tersebut menggunakan bahasa belanda

B. Setelah 1983 - Reformasi Pajak Dimulai


Sejak tahun 1983, Pemerintah memutuskan untuk melaksanakan Reformasi Pajak, karena beberapa alasan
dan tujuan, yaitu
5) System pajak Belanda terlalu banyak dan tidak sistematis, dimana semua setiap aspek diatur
dalam masing-masing peraturan yang berbeda. Dengan reformasi Pajak kini, diharapkan beberapa
peraturan yang berbeda dapat disatukan/digabungkan menjadi satu peraturan yang sama. Selain itu,
juga untuk menyederhanakan aturan-aturan tentang pajaknya itu sendiri, seperti menyederhanakan
penghitungan tariff pajak dan lain lain.

6) Untuk menyesuaikan dengan struktur organisasi Negara kita, dimana kita sudah mempunyai
konstitusi, sehingga harus menyesuaikan dengan filosofi dan falsafah Negara Indonesia

7) Untuk menambah pendapatan Negara atau APBN dari sektor Pajak, karena sejak tahun 1983
dirasakan cadangan migas Indonesia semakin menipis, sehingga perlu dicari alternative pemasukan
bagi keuangan Negara

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
14
27. HUKUM POSITIF PAJAK
A. Hukum Formal
Hukum Formal Pajak adalah hukum atau ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan ketentuan-
ketentuan yang terdapat pada Hukum Materiilnya.
Hukum Formal Pajak ini tidak diatur dalam satu Peraturan saja, melainkan diatur dalam beberapa
peraturan, yaitu:
1) UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah dan terakhir diubah melalui UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga
("UU KUP").
2) UU No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
melalui UU No. 19 Tahun 2000 ("UU PPSP")
3) UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak ("UU Pengadilan Pajak")

B. Hukum Materiil
Hukum Materiil adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Subjek, Objek dan Tariff Pajak.
Hukum Materiil ini terdiri dari:
1) UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah dan
terakhir diubah melalui UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga ("UU PPH").
2) UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No. 18 Tahun 2000 ("UU PPN &
PPnBM")
3) UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah diubah
melalui UU No.12 Tahun 1994 ("UU PBB")
4) UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
telah diubah diubah melalui UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan ke-1 ("UU BPHTB")
5) UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai ("UU BM")

28. SEJARAH LAHIRNYA PENGADILAN PAJAK


- Pada awalnya lahir suatu lembaga yang bernama Majelis Pertimbangan Pajak (“MPP”).
- Jika ditafsirkan dari Penjelasan Pasal 58 UU No. 5 Tahun 1986 (“UU TUN”), MPP ini merupakan Banding
Administrasi, yang mana bukan merupakan suatu badan peradilan yang mandiri, melainkan suatu lembaga
yang mengakomodir Upaya Banding dari Keberatan dan putusannya masih didalam ruang lingkup Putusan
Tata Usaha Negara
- Tapi ternyata, hal tersebut bertentangan dengan UU KUP yang mengamanatkan bahwa upaya banding
harus dilakukan oleh suatu badan peradilan yang mandiri, yang putusannya bukan merupakan putusan
Pejabat Tata Usaha Negara. Sehingga MPP ini diganti dan dibentuk suatu lembaga baru, yaitu Badan
Penyelesai Sengketa Pajak (“BPSP”)
- Tapi ternyata pada kenyataannya BPSP ini tidak dapat disebut mandiri, karena sebenarnya BPSP ini tidak
bermuara ke Mahkamah Agung, yaitu suatu lembaga tertinggi dari peradilan yang bebas dan independent.
Dalam konsiderannya sama sekali tidak mengacu kepada UU Kekuasaan Kehakiman. Pada dasarnya suatu
lembaga peradilan dapat dikatakan suatu lembaga yang bebas dan independen, jika lembaga peradilan
tersebut berada di bawah kekuasaan kehakiman, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung.
- Sehingga dapat diperdebatkan bahwa BPSP ini masih merupakan Lembaga untuk Upaya Banding
Administratif. Hal ini diperkuat dengan preseden dari kasus Tommy Soeharto, yang pada waktu itu
mengajukan bandingnya tidak ke BPSP sebagaimana yang diamanatkan oleh KUP, melainkan mengajukan
ke PT TUN, karena Tommy Soeharto menganggap bahwa BPSP tidak mandiri. Disinilah akhirnya timbul
dualisme pemahaman mengenai suatu lembaga yang independent dan mandiri dalam menyelesaikan
sengketa pajak.
- Karena dualisme itulah, akhirnya dengan UU 14 tahun 2002, dibentuk suatu Lembaga Peradilan yang
independent dan mandiri, yaitu Peradilan Pajak, yang mana dalam konsiderannya sudah mengacu kepada
UU Kekuasaan Kehakiman.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
15
- Hanya saja, Pengadilan Pajak inipun masih dipertanyakan kemandiriannya/independensinya karena pada
kenyataannya secretariat dari Pengadilan Pajak ini masih dibawah Kementerian Keuangan, bukan
Mahkamah Agung

29. UU KUP
1) Keberlakuan UU KUP
UU KUP ini berlaku untuk semua jenis Pajak yang diberlakukan kepada Masyarakat.
Tapi meski demikian, juga ada jenis-jenis pajak tertentu yang membuat aturan formil dan materiilnya
dalam satu peraturan, contohnya adalah PBB. Hal ini karena sulit untuk menyatukan aturan-aturan terkait
dengan PBB yang sifatnya adalah Pajak Objektif, dengan pajak-pajak lainnya yang bersifat Subjektif.
Contohnya NPWP sama sekali tidak dikenal dalam PBB, melainkan hanya digunakan pada PPH, PPN
(Pajak Subjektif), yang mana sifatnya Self Assessment
2) Bentuk Hukum Formil
Hukum Formil ini dapat berupa Undang Undang dan juga Peraturan Perundang-Undangan dibawahnya.
Sedangkan untuk hukum Materiil, WAJIB diatur dalam bentuk Undang Undang

30. PENGERTIAN – PENGERTIAN DALAM KUP – Pasal 1 KUP


a. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
b. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut
pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan
c. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
Pertanyaan UAS:Apa perbedaan Subjek Pajak dengan Subjek Hukum?
Subjek Hukum adalah Pribadi (Naturalijke Person) dan Badan Hukum (Rechtperson), sedangkan
Subjek Pajak itu lebih luas, karena terdiri dari Pribadi (Naturalijke Person) dan Badan, dimana Badan
ini terdiri Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah
(BUMN/BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perseroan atau perkumpulan
lainnya, seperti Firma, Kongsi, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan atau Lembaga, dan Bentuk Usaha
Tetap

31. NPWP – PASAL 2 KUP


a. Pasal 2 (1) menjelaskan bahwa WP yang telah memenuhui syarat subjektif dan objektif sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan wajib untuk mendaftarkan diri ke kantor pajak. Hal ini menunjukan
mengenai Self-Assessment System.
Sehubungan dengan karakteristik Pasal 2 ini yang Self-Assessment System, maka dapat dikatakan bahwa
KUP ini hanya ditujukan atau terfokus kepada PPH dan PPN, sehingga PBB tidak dapat masuk dalam UU
KUP ini.
b. Fungsi NPWP
a. Bagi WP adalah sebagai identitas dari wajib pajak
b. Bagi Fiscuss Pajak adalah sebagai control administrasi pajak
c. Sanksi - Pasal 39
Jika SP tidak mendaftarkan NPWP padahal telah memenuhi ketentuan sebagai WP sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan, maka SP tersebut akan dianggap telah menimbulkan kerugian bagi
Negara, sehingga akan dikenakan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun, dan
denda paling sedikit 2x jumlah pajak terutang dan paling banyak 4x jumlah pajak terutang

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
16
d. Kewajiban NPWP
a. Badan
Semua badan yang menjadi subjek PPH tanpa terkecuali wajib untuk mendaftarkan NPWP
b. Pemungut/Pemotong Pajak Tertentu
c. Pribadi
Setiap pribadi atau seseorang yang memiliki penghasilan netto diatas dari PTKP wajib untuk
mendaftarkan NPWP
Hal ini menunjukan mengenai adanya karateristik pajak, yaitu Pajak Subjektif dan Pajak Objektif. Dan
KUP ini sebenarnya memfokuskan kepada Pajak-pajak subjektif saja, karena melihat kondisi-kondisi dari
subjek pajaknya untuk menentukan pajaknya tersebut
e. Penghapusan NPWP
a. WP telah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan
b. Warisan yang telah selesai dibagi
c. Wanita kawin yang tidak melakukan perjanjian pisah harta
d. WP orang pribadi yang tidak memenuhi syarat lagi untuk digolongkan sebagai WP
e. WP badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan peraturan perundang-undangan
f. WP BUT yang sesuatu hal telah kehilangan statusnya sebagai BUT

32. SPT
1) Pengertian SPT
Menurut Pasal 1 butir (11), SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2) Macam SPT
Menurut Pasal 1 butir (12) & (13), SPT terbagi menjadi 2, yaitu SPT Masa yang digunakan untuk
menghitung tiap masa pajak atau tiap bulan dan SPT Tahunan yang digunakan untuk menghitung dan
melaporkan pajak pada akhir tahun.
3) Pengisian SPT
Pasal 3 (1) KUP menjelaskan bahwa setiap WP wajib mengisi SPT dengan benar. SPT ini merupakan
tempat data WP, NPWP, objeknya
SPT adalah tempat data, sehingga pengisian SPT merupakan pengisian data-data terkait dengan subjek dan
objek pajaknya.
4) Perbedaan pengisian SPT (mengisi data) dalam self-assessment system dan official assessment system :
1. Pengisian SPT self-assessment system (PPH) adalah merupakan suatu perbuatan hukum, yang terdiri
dari menghitung, menetapkan dan melaporkan, dimana jika tidak dilakukan atau dilakukan dengan
tidak benar akan ada sanksinya.
2. Pengisian SPT official assessment system (PBB) adalah merupakan perbuatan administrasi belaka,
yang mana hanya mengisi subjek WP, data objeknya (luas tanah,luas bangunan, bahan bangunannya,
dll), sehingga jika salah dalam penulisannya hanya perlu diperbaiki saja dan tidak ada sanksinya.
5) Keterlambatan Pengisian SPT
Pasal 7 (1) menjelaskan sanksi bagi yang terlambat melakukan pengisian SPT, yaitu Rp500.000 untuk SPT
Masa PPN dan SPT Masa lainnya, serta Rp1.000.000 untuk SPT PPH WP Badan dan Rp100.000 untuk
SPT PPH WP Pribadi

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
17
33. PASAL KUP YANG MENGANDUNG/TERSIRAT SELF ASSESSMENT SYSTEM
1) Pasal 2 (1) yang menjelaskan bahwa WP yang telah memenuhui syarat subjektif dan objektif sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan wajib untuk mendaftarkan diri ke kantor pajak
2) Pasal 3 yang menjelaskan mengenai kewajiban WP untuk mengisi SPT dengan sendiri secara benar
3) Pasal 4 (1) yang menjelaskan mengenai pengisian SPT
4) Pasal 12 (1) yang menjelaskan bahwa WP wajib membayar pajak dan tidak tergantung kepada SKP

34. HAK MENAGIH FISCUSS DALAM WAKTU 5 TAHUN - PASAL 13


Pasal 13 menjelaskan dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak maka dirjen pajak dapat
mengeluarkan SKP Kurang Bayar. Ini terkait dengan Daluwarsa Pajak 5 Tahun, dimana Fiscuss memiliki hak
untuk menagih pajak dalam waktu 5 tahun.

35. SURAT TAGIHAN PAJAK - PASAL 14


Pasal 14 menjelaskan bahwa Fiscuss juga dapat mengeluarkan Surat Tagihan Pajak kepada WP

36. SKP KURANG BAYAR TAMBAHAN - PASAL 15


Pasal 15 menjelaskan bahwa Fiscuss juga dapat mengeluarkan SKP Kurang Bayar Tambahan jika ternyata
ditemukan novum atau data baru yang mengakibatkan jumlah pajaknya bertambah

37. PEMBETULAN SKP - PASAL 16

38. PEMERIKSAAN - PASAL 17

39. PENAGIHAN PAJAK – PASAL 20


1) Penagihan Pajak Sekaligus - Pasal 20
Pasal 20 (2) menjelaskan bahwa Fiscus Pajak dapat melakukan penagihan pajak secara SEKETIKA dan
SEKALIGUS, dimana adanya kondisi-kondisi tertentu pada Wajib Pajak seperti:
- ada indikasi WP akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu
- ada indikasi WP akan mengecilkan asset-aset perusahaannya atau memindahtangankan asset
perusahaanya
- ada indikasi WP akan membubarkan badan usahanya atau menggabungkan atau memindahtangankan
perusahaan atau memekarkan atau melakukan perubahan-perubahan lainnya.
- ada indikasi badan usahanya akan dibubarkan oleh negara
- ada indikasi badan usaha akan pailit atau disita oleh pihak ketiga
2) Angsuran Pajak (Tax Credit) - Pasal 21, 22, 23, 25 dan 26 KUP

40. DALUWARSA HAK FISCUSS UNTUK MELAKUKAN PENAGIHAN PAJAK- PASAL 22


Pasal 22 menjelaskan mengenai daluwarsa bagi para fiscuss untuk melakukan penagihan pajak, yaitu selama 5
tahun. Dimana jika melebih 5 tahun, maka Fiscuss akan kehilangan haknya untuk dapat melakukan penagihan
pajak.
Pasal ini mewujudkan suatu azas Kepastian Hukum, dimana memberikan suatu kepastian kepada WP terkait
dengan hutang pajak yang diderita.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
18
41. SENGKETA PAJAK - PASAL 25
1) Dalam pelaksanaan pembayaran pajak, sangat dimungkinkan jika jumlah pajak yang WP bayarkan tidak
sesuai dengan perhitungan pajak yang dilakukan oleh Fiscuss, sehingga fisccus pajak akhirnya
menerbitkan SKP kepada WP, seperti (Pasal 25 KUP):
a. SKP Kurang Bayar
b. SKP Kurang Bayar Tambahan
c. SKP Nihil
Contohnya WP merasa telah membayar pajak terlalu besar (Lebih Bayar), tapi Fiscuss menerbitkan
SKP Nihil
d. SKP Lebih Bayar
Contohnya WP merasa
e. Pemotongan atau Pemungutan Pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan
2) Terkait dengan SKP yang diterima dari Fiscuss tersebut, WP dapat mengajukan upaya hukum dalam
bentuk Upaya Administrasi sebagaimana yang ditentukan dalam aturan Sengketa Tata Usaha Negara.
3) Langkah atau saluran pertama yang dapat dilakukan dalam Upaya Administrasi untuk menyelesaikan
sengketa atau konflik tersebut adalah mengajukan Surat Keberatan yang ditujukan kepada Dirjen Pajak cq.
KPP atas SKP yang dikeluarkan oleh Fiscuss
4) Setelah menerima Surat Keberatan dari WP, maka Dirjen Pajak/KPP akan mengeluarkan Surat Keputusan
terhadap Surat Keberatan tersebut. Dan jika ternyata WP tidak puas atas Surat Keputusan yang
dikeluarkan oleh Dirjen Pajak/KPP tersebut, maka WP dapat mengajukan upaya hukum berikutnya, yaitu
mengajukan Banding ke Pengadilan Pajak.
5) KUP telah mengatur bahwa Putusan Banding dari Pengadilan Pajak adalah Final & Binding, yang berarti
telah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat diajukan upaya hukum berikutnya.
6) Hanya saja, jika WP masih tidak puas terhadap Putusan Banding dari Pengadilan Pajak, WP dapat
mengajukan Upaya Hukum Luar Biasa, yaitu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah
Agung. Hanya saja, upaya PK ini bukan lanjutan dari upaya banding.
7) KUP mengatur bahwa dengan adanya sengketa pajak ini, hutang pajaknya tetap harus dibayar terlebih
dahulu sebesar jumlah yang disepakati bersama antara WP dan Fiscuss Pajak. Dengan kata lain, dalam hal
WP mengajukan keberatan, tidak menunda uang yang masuk ke dalam Negara. Intinya APBN harus tetap
ada/"mengebul".

42. UPAYA PERADILAN PAJAK: UPAYA KEBERATAN & UPAYA BANDING


Dalam pajak, terdapat dua upaya peradilan pajak yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam rangka mencari
keadilan terhadap Ketetapan Pajak yang diterbitkan oleh Fiscuss, yaitu Upaya Keberatan yang diajukan
kepada Fiscuss Pajak itu sendiri dan Upaya Banding yang diajukan kepada Pengadilan Pajak.
Upaya Keberatan ini termasuk Peradilan Tidak Murni, sedangkan Upaya Banding ini termasuk Pengadilan
Murni.
Perbedaan antaran Peradilan Tidak Murni dan Peradilan Murni adalah:
1) Peradilan Administrasi Tidak Murni/Quasi Peradilan/Peradilan Semu/Doleansi
Peradilan ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu WP selaku yang berkewajiban untuk melaksanakan surat
ketetapan Fiscuss dan Fiscuss itu sendiri sebagai pihak yang mengeluarkan surat ketetapan yang dijadikan
sebagai objek sengketa sekaligus sebagai pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang
bersangkutan.
Sehingga, keputusan yang dikeluarkan peradilan ini adalah dari Pejabat Administrasi Tata Usaha Negara
yang sebenarnya bersangkutan atau berhubungan dengan perkara itu sendiri.

2) Peradilan Administrasi Murni


Peradilan Murni adalah peradilan yang selain melibatkan para pihak yang bersengketa, tetapi juga
melibatkan pihak yang independent/mandiri yang mana tidak sama sekali terkait dengan perkaranya. Jadi
dalam Peradilan Administrasi Murni terdiri dari 3 pihak, yaitu WP dan Fiscuss selaku pihak yang
bersengketa serta Majelis Hakim dari Pengadilan Pajak selaku pihak yang memutuskan perkara tersebut.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
19
43. UPAYA PAKSAAN
Jika dalam sengketa pajak, ternyata WP ternyata tidak mau membayar Hutang Pajak, maka akan dilakukan
upaya berikutnya, yaitu Upaya Paksaan, yang terdiri dari diberikannya suatu Peringatan, Teguran, hingga
akhirnya diterbitkan Surat Paksa.
1) Upaya Paksaan adalah Tindakan hukum yang dilakukan oleh kreditur atau orang yang mempunyai hak,
dalam hal ini adalah Pemerintah/Fiscuss, terhadap Debitur atau orang yang mempunyai kewajiban
menurut ketentuan UU atau berdasarkan UU, untuk memaksa orang yang mempunyai kewajiban atau
yang ditentukan oleh UU
2) Upaya Paksaan ini berbeda-beda antara Paksaan dalam Hukum Pidana, Perdata dan Hukum Administrasi

 Paksaan Pidana: Kurungan dan Penjara sebagaimana yang diatur dalam KUHP
Negara, yaitu:

 Paksaan Perdata: Paksaan yang berasal dari Putusan Pengadilan dan dari Luar Pengadilan, seperti
 Paksaan Hukum Administrasi Negara adalah berupa Paksaan Moral, Materi dan Fisik (Gizzeling)
3) Bentuk konkret dari Upaya Paksa ini adalah diterbitkannya SURAT PAKSA oleh Fiscuss kepada WP,
yaitu ketentuan tertulis dari Pejabat yang berwenang dengan Titel Eksekutorial (Mempunyai kekuatan
Eksekusi layaknya Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan dan mempunyai Irah Irah:"demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa") yang mempunyai kekuatan hukum pasti yang mewajibkan WP
yang tercantum namanya pada Surat Paksa untuk membayar pajak-pajak yang disebut dalam Surat Paksa
dalam jangka waktu yang ditentukan dengan ancaman sita atau lelang.
Surat Paksa ini merupakan PARATE EKSEKUSI, yaitu Eksekusi di Luar Pengadilan, tetapi mempunyai
kedudukan yang sama dengan Eksekusi Pengadilan, karena terdapat Titel Eksekutorialnya
Surat Paksa ini bertujuan untuk menagih pajak terhutang dari WP demi terpenuhinya fungsi
budgeter dalam pajak, yaitu memenuhi APBN

44. UPAYA LANJUTAN SETELAH SURAT PAKSA – GUGATAN MASALAH FORMAL


Ketika dalam sengketa Pajak dimana WP sebenarnya tetap diwajibkan untuk membayar terlebih dahulu
Hutang Pajaknya, tapi ternyata WP tersebut tetap tidak mau membayar meski sudah diperingatkan, ditegur dan
bahkan telah diberikan Surat Paksa, maka ada satu upaya hukum berikutnya yang dapat dilakukan oleh WP
tersebut, yaitu:
- Mengajukan upaya keberatan terhadap kekurangan formal dari Surat Paksa tersebut, seperti Surat Paksa
tersebut ditandatangani oleh pihak yang tidak berwenang atau Surat Paksa tersebut disampaikan dalam
waktu yang tidak tepat sebagaimana yang telah ditentukan oleh UU PPPSP
- Upaya keberatan tersebut diajukan melalui suatu pengajuan Gugatan ke Pengadilan Pajak yang isinya
hanya berisi tentangan atau keberatan terhadap unsur formal dari Surat Paksa tersebut, dan tidak bisa berisi
tentangan terhadap Unsur Materiilnya. Hal ini dikarenakan unsur materiilnya telah diperiksa dalam upaya-
upaya sebelumnya, yaitu upaya Keberatan dan Upaya banding.
- Setelah ini semua dilakukan, tetapi WP masih tidak mau membayar, barulah dilakukan upaya Sita atau
Paksa badan

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
20
 Masalah Pembukuan ini sebenarnya sudah diatur dalam Hukum Perdata, sebagaimana yang diatur dalam
45. PEMBUKUAN - PASAL 28

KUHD dan UU No. 18 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Masalah pembukuan ini akan berguna
nantinya ketika dijadikan sebagai alat bukti dalam Pengadilan. Hanya saja, dalam Hukum Perdata tidak
mengatur mengenai sanksi-sanksi jika tidak dilakukan Pembukuan ini. Konsekuensi jika tidak
dilakukannya Pembukuan hanya tidak ada atau kurangnya alat bukti yang dapat diberikan dalam
Pengadilan.
 Hal tersebut sangat berbeda sekali dalam Hukum Pajak, dimana Pembukuan dalam dalam Hukum Pajak
adalah hal yang sangat penting dan wajib, karena pembukuan tersebut yang dituangkan dalam Laporan
Keuangan merupakan dasar pertimbangan untuk menimbulkan hutang pajak. Pembukuan inilah yang
nantinya akan bersedia data tentang penghasilan seseorang yang nantikan akan dimasukkan kedalam SPT
dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan SPT.
 Pembukuan atau Laporan Keuangan ini akan menjadi bagian dari SPT (lampiran) yang akan dilaporkan
dan ketika tidak dilampirkan Pembukuan atau Laporan Keuangan tersebut dalam SPT, maka SPT tersebut
akan dianggap tidak ada atau dianggap tidak/belum memasukkan SPT, sehingga akan ada sanksi karena
tidak memasukkan SPT. Pembukuan yang dilakukan ini harus mengikuti norma-norma Ikatan Akuntasi
Indonesia (IAI), yang berarti pembukuan ini harus dilakukan oleh Akuntan Publik yang terdaftar.
 Oleh karena dalam hukum perdata tidak diatur mengenai sanksi-sanksi jika tidak menyelenggarakan
Pembukuan, sedangkan dipajak sangat penting dan dibutuhkan, maka dalam hukum pajak ini, yang bersifat
Lex Spesialis, mengatur dengan jelas sanksi-sanksi yang dikenakan bagi WP yang wajib menyelenggarakan
Pembukuan.

46. KEWAJIBAN PEMBUKUAN BAGI WP


A. WP yang WAJIB Melakukan Pembukuan – Pasal 28 (1) KUP
Pasal 28 (1) KUP ini menjelaskan bahwa terdapat Wajib Pajak yang WAJIB untuk melakukan
Pembukuan, yaitu:
- WP orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas
- WP Badan
B. WP yang TIDAK WAJIB (DIKECUALIKAN) Melakukan Pembukuan – Pasal 28 ayat (2) KUP
- Pasal 28 ayat (2) KUP ini menjelaskan bahwa ada WP yang dikecualikan atau dapat tidak
melakukan Pembukuan, yaitu hanya WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan
Usaha/Pekerjaan Bebas, dimana sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan, yaitu Pasal 14 UU PPH.
- Meski WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas tersebut
dikecualikan atau tidak wajib melakukan pembukuan, tetapi WP tersebut tetap diwajibkan untuk
melakukan Pencatatan dengan menghitung penghasilan nettonya dengan cara menggunakan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas. Yang arti WP tersebut dapat melakukan pencatatan biasa saja, tanpa perlu
mengikuti Norma-norma IAI.

47. WP YANG DIKECUALIKAN MEMBUAT PEMBUKUAN – PASAL 14 UU PPH


a. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ada WP yang dikecualikan untuk melakukan
pembukuan, yaitu WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas yang telah
ditentukan oleh UU, yaitu dalam hal ini adalah Pasal 14 UU PPh.
b. WP yang dikecualikan tersebut, sebagaimana yang telah ditentukan pada Pasal 14(2) UU PPh adalah para
WP yang penghasilan bruto 1 tahunnya kurang dari Rp4,8 Milyar. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan bebas yang berpenghasilan
kurang dari 4,8 Milyar tidak perlu atau DIKECUALIKAN untuk melakukan pembukuan.
c. Pasal 14 (1) UU PPh menjelaskan mengenai Norma Penghitungan yang harus digunakan oleh WP yang
dikecualikan yang tidak mau melakukan pembukuan, yaitu Norma Penghitungan Penghasilan Nettonya
adalah suatu Prosentase yang dibuat, disempurnakan dan dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Jadi
Norma yang digunakan benar-benar tergantung dari yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
21
d. Hanya saja, meski WP yang dikecualikan dapat melakukan pencatatan dengan menggunakan Norma
Penghitungan dengan Prosentase yang disediakan oleh Dirjen pajak, tetapi WP yang dikecualikan tersebut
pun dapat melakukan pembukuan jika memang diinginkan. Karena sebenarnya pada kenyataanya, WP yang
dikecualikan tersebut lebih senang melakukan pembukuan, karena WP tersebut tidak tergantung dengan
Prosentase yang disediakan oleh Dirjen Pajak, melainkan benar-benar dihitung dari untung ruginya suatu
usaha yang benar-benar diketahui oleh WP tersebut.

48. TINDAKAN FISCUS BAGI WP YANG TIDAK MEMBUAT PEMBUKUAN


Bagi para WP yang sebenarnya telah diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan, tapi ternyata tidak
melakukannya, maka Fiscuss secara Ex Officio akan memperhitungkan pajak dan menerbitkan SKP bagi WP
tersebut.
SKP ini sebenarnya adalah bentuk sanksi bagi WP yang lalai menyelenggarakan pembukuan, sebagaimana
sesuai dengan fungsi SKP dalam ajaran materiil, karena pada dasarnya PPH itu adalah self assessment system
yang memberikan kebebasan bagi WP untuk melakukan penghitungan sendiri. Dan sanksi ini pun dapat
berkembang menjadi sanksi pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal

49. SANKSI TERHADAP SPT


A. Tidak Menyampaikan SPT
B. Terlambat Menyampaikan SPT
C. Menyampaikan SPT yang tidak Benar

50. SANKSI PERPAJAKAN


A. Sanksi Administrasi
1) Denda
2) Bunga
3) Kenaikan

B. Sanksi Pidana

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
22
UU PPH

51. HUKUM MATERIIL PPH


Pada dasarnya Hukum Materiil itu adalah mengatur mengenai Subjek, Objek dan Tariff. Dengan demikian,
hukum Materiil dari UU PPh ini akan mengatur mengenai Subjek Pajak, Objek beserta tariff yang sudah
ditentukan oleh Fiscuss.

52. SUBJEK PAJAK MENURUT UU PPH – PASAL 2 UU PPH


Pasal 2 (1) UU PPh menjelaskan bahwa yang menjadi Subjek Pajak adalah:
a. Orang Pribadi dan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
b. Badan
c. Bentuk Usaha Tetap (“BUT”)
Merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya disamakan dengan subjek pajak badan

53. OBJEK PAJAK – PASAL 4 UU PPH

54. MACAM TARIF PAJAK – PASAL 17 UU PPH


a. Tarif Tetap
Adalah tariff yang besarnya merupakan jumlah tetap, tidak berubah jika jumlah yang dijadikan dasar
perhitungan berubah.
Contoh: Bea Materai yang mempunyai Tarif tetap, yaitu BM Rp.3000 untuk penerimaan uang s/d Rp.1juta
dan BM Rp.6000 untuk Penerimaan Jumlah Uang lebih dari Rp.1 juta
b. Tarif Proposional (Tarif Sepadan)
Adalah tariff yang berupa suatu prosentasi (%) tetap yang tidak berubah-ubah.
Contohnya:
- Tarif PPH Badan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 UU PPH, yaitu sebesar 28%
- Dividen , bunga royalty sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU PPH, yaitu 15% bagi WP dalam
Negeri dan 20% bagi WP Luar Negeri
c. Tarif Progresif (Tarif Berlapis)
Tariff progresif ini adalah tariff yang prosentase (%) pemungutannya akan makin naik seiring dengan
semakin besar nilai/jumlah penghasilan yang dijadikan dasar perhitungannya.
Tarif progresif inilah yang digunakan WP Orang Pribadi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 17 UU
PPh, yaitu:
- 5 % = Penghasilan s/d Rp50 juta
- 15% = Penghasilan antara Rp 50 Juta – Rp250 juta
- 25% = Penghasilan antara Rp 250 Juta – Rp 500 Juta
- 30% = Penghasilan diatas Rp500 Juta
d. Tarif Degresif
Adalah tariff yang prosentase pemungutannya akan semakin turun apabila jumlah yang dijadikan dasar
perhitungannya makin naik.
Tarif Degresif ini sudah tidak digunakan lagi.

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
23
55. PENGHITUNGAN PPH
1) SUBJEK PAJAK: Langkah pertama untuk menghitung PPH adalah mengetahui subjek pajaknya (Pasal,
3 UU PPh)
2) OBJEK PAJAK: Setelah mengetahui Subjek Pajak, dilanjutkan mencari tahu objeknya (Pasal 4(1) UU
PPh) dan objek yang dikecualikan (Pasal 4(3) UU PPh)
3) RUMUS DASAR: Rumus dasar penghitungan Hutang PPH adalah Penghasilan Kena Pajak (“PKP”)
dikalikan dengan Tariff. Dan ada beberapa Perhitungan yang dilakukan sebelum mendapatkan nilai PKP
ini.
4) PENGHASILAN BRUTO (“PB”): Sebelum mendapatkan PKP, harus mendapatkan Penghasilan Bruto
(“PB”) terlebih dahulu. PB ini adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh selama 1 tahun
pajak
5) PENGHASILAN NETTO (“PN”): Setelah mendapatkan PB, maka selanjutnya dicari atau dihitung
Penghasilan Netto (“PN”), sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 6 (1) UU PPh, yaitu:
a. Penghasilan Netto yang melakukan Pembukuan:
PN = Penghasilan 1 tahun – Biaya/pengeluaran yang diperbolehkan Pasal 6 (1) UU PPh
Dalam menghitung PN ini benar-benar harus memperhatikan biaya mana saja yang diperbolehkan
untuk menjadi Pengurang (Pasal 6 (1) UU PPh) atau biaya yang tidak boleh menjadi Pengurang
(Pasal 9 UU PPh)
b. Penghasilan Netto yang tidak melakukan Pembukuan
PN = Penghasilan 1 tahun x Prosentase yang ditetapkan Fiscuss
6) PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (“PTKP”): Setelah didapatkan nilai PN, barulah dilihat
Penghasilan Tidak Kena Pajak (“PTKP”) sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
PTKP ini nantinya akan dijadikan pengurang bagi Penghasilan Netto untuk penghitungan Penghasilan
Kena Pajaknya.
PTKP sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7 UU PPh adalah:
a. Rp.15.840.000 untuk WP orang Pribadi
b. Ditambahkan Rp.1.320.000 bagi WP orang Pribadi yang kawin
c. Ditambahkan Rp.15.840.000 bagi seorang istri yang penghasilan digabung dengan penghasilan suami
d. Ditambahkan Rp.1.320.000 untuk setiak anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, maksimal 3 anak.
7) PENGHASILAN KENA PAJAK (”PKP”): Setelah nilai PTKP-nya diketahui, barulah dihitung PKP-
nya, yang rumusnya adalah Penghasilan Netto dikurangi PTKP:
PKP = PN – PTKP
Nilai PKP inilah yang dijadikan sebagai DASAR penghitungan dari hutang PPh, dimana menjadi acuan
bagi ASAS EQUALITY dalam Pajak. Sehingga keadilan ini dilihat dari nilai PKP-nya, yang mana jika
nilai PKP-nya sama, maka Hutang PPh akan sama. Unsur subjektifnya ada sebelum di PKP, yaitu di
PTKP-nya.

8) TARIFF & HUTANG PPH: Setelah nilai PKP didapatkan, barulah kita menentukan Tarifnya
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 17 UU PPh, karena sebagaimana yang telah dijelaskan
mengenai Rumus Dasar diatas, hutang PPh itu adalah nilai PKP dikalikan dengan Tarif.
HUTANG PPH = PKP x Tarif

Penghitungan PPH ini dibedakan menjadi 2, yaitu PPH untuk WP Badan dan PPH untuk orang Pribadi,
dimana Tarif yang dipergunakan sebagai perhitunga berbeda, yaitu:
a. Penghitungan PPH untuk Wajib Pajak Badan (Pasal 17 (1) PPH):
Hutang PPH = PKP x 28%

b. Penghitungan PPH untuk Wajib Pajak Pribadi (Menggunakan Tarif Progresif – Pasal 17 (1)
PPH)
Hutang PPH = PKP x Tarif Progresif

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
24
56. CONTOH SOAL
1) Berapa PPH Terhutang untuk PKP sebesar Rp600 Juta?
Jawab:
- Lapisan 1: Penghasilan s/d 50 Juta = 5% : Rp.50 juta x 5 % = Rp2.500.000
- Lapisan 2: Penghasilan 50 Juta – 250 Juta = 15% : Rp200 Juta x 15% = Rp30.000.000
- Lapisan 3: Penghasilan 250Juta – Rp500 Juta = 25% : Rp250 Juta x 25% = Rp62.500.000
- Lapisan 4: Penghasilan >Rp500Juta = 30% : Rp100 Juta x 30% = Rp30.000.000
TOTAL HUTANG PPH = Rp125.000.000

2) Tuan A Penghasilan Nettonya adalah Rp800Juta, status Kawin dengan istrinya 1, dan anak 5, dan
menanggung orang tua 2. Berapa PPH Terutang?
Jawab:
a. PN = Rp800 Juta
b. PTKP:
- WP Orang Pribadi : Rp15.840.000
- Mempunyai Istri : Rp1.320.000
- Mempunyai lebih dari 3 tanggungan: 3xRp1.320.000 : Rp3.960.000
TOTAL PTKP : Rp21.120.000
c. PKP = PN – PTKP
= Rp800 Juta – Rp21.120.000

PKP = Rp778.880.000
d. Hutang PPH (Tarif Progresif) untuk PKP Rp778.880.000:
- Lapisan 1: Penghasilan s/d 50 Juta = 5% : Rp.50 juta x 5 % = Rp2.500.000
- Lapisan 2: Penghasilan 50 Juta – 250 Juta = 15% : Rp200 Juta x 15% = Rp30.000.000
- Lapisan 3: Penghasilan 250Juta – Rp500 Juta = 25% : Rp250 Juta x 25% = Rp62.500.000
- Lapisan 4: Penghasilan >Rp500Juta = 30% : Rp278.880.000 x 30% = Rp83.664.000
TOTAL HUTANG PPH = Rp178.664.000

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
25
57. PENGHITUNGAN PBB
1) OBJEK PAJAK:
2) SUBJEK PAJAK: Subjek pajak untuk PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki atau
memperoleh manfaat dari objek tersebut. Sehingga, meski seseorang bukan pemilik dari objek tapi
memanfaatkannya seperti menyewa atau mengontrak, maka seseorang tersebut wajib membayar PBB ini
3) RUMUS DASAR: Rumus dasar penghitungan Hutang PBB adalah NJOPKP Kena Pajak (“NJOPKP”)
dikalikan dengan Tariff. Dan ada beberapa Perhitungan yang dilakukan sebelum mendapatkan nilai
NJOPKP ini.
4) NILAI JUAL OBJEK PAJAK (“NJOP”) GABUNGAN BUMI & BANGUNAN: Langkah pertama
adalah menjumlahkan NJOP dari bumi danNJOP bangunan.
5) NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (“NJOPTKP”): Setelah mendapatkan NJOP,
selanjutnya menentukan nilai dari NJOPTKP-nya sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku.
Contoh dari NJOPTKP daerah berbagai daerah
- Depok: Rp.10 Juta, sesuai dengan Pasal 58(4) Perda 7/2010 Depok.
- Jakarta: Rp.15 Juta
6) NJOPKP: Setelah mendapatkan nilai NJOP dan NJOPTKP, maka kedua nilai tersebut diselisihkan untuk
mendapat nilai NJOPKP ini
NJOPKP = NJOP – NJOPTKP

7) TARIFF & HUTANG PBB: Setelah nilai NJOPKP didapatkan, barulah kita menentukan Tarifnya
sebagaimana yang telah diatur dalam berbagai macam peraturan daerah, yaitu:
a. Depok (Pasal 61 Perda 7/2010 Depok):
- 0,125%, untuk NJOP < Rp.1 Milyar
- 0,25%, untuk NJOP > Rp.1 Milyar
b. Jakarta (Pasal 6 Perda 16/2011 DKI)
- 0,01%, untuk NJOP < Rp.200juta
- 0,1%, untuk Rp.200Juta<NJOP<Rp.2Milyar
- 0,2%, untuk Rp.200Juta<NJOP<Rp.10Milyar
- 0,3%, untuk NJOP > Rp.10 Milyar

8) CONTOH PERHITUNGAN
Pak Daya mempunyai tanah di Jakarta seluas 200m2 dengan harga jual Rp.500rb/m2 dan bangunan seluas
100m2 dengan harga jual Rp.400rb/m2. Berapa PBB Terhutang?
Jawab:
- NJOP Tanah : 200 x Rp.500rb = Rp.100.000.000
- NJOP Bangungan: 100xRp900rb = Rp. 90.000.000
TOTAL NJOP = Rp.190.000.000
- NJOTKP Jakarta = Rp. 15.000.000
NJOPKP (Selisih NJOP – NJOPTKP) = Rp.175.000.000

- Tarif < Rp200juta: 0,01%


Maka, besarnya Pajak PBB :
0,01 % x Rp.175.000.000 = Rp.17.500

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
26
58. MENGHITUNG BPHTB (PAJAK PEMBELI ATAU PAJAK MEMPEROLEH)
1) OBJEK PAJAK:
2) SUBJEK PAJAK: Subjek pajak untuk PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki atau
memperoleh manfaat dari objek tersebut. Sehingga, meski seseorang bukan pemilik dari objek tapi
memanfaatkannya seperti menyewa atau mengontrak, maka seseorang tersebut wajib membayar PBB ini
3) RUMUS DASAR: Rumus dasar penghitungan Hutang BHTPB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak (“NPOPKP”) dikalikan dengan Tariff. Dan ada beberapa Perhitungan yang dilakukan
sebelum mendapatkan nilai NPOPKP ini.

4) NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (“NPOPTKP”): NPOTKP ini adalah
nilai yang besarannya sudah ditetapkan oleh masing-masing daerah melalui Peraturan Daerahnya.
NPOTKP ini digunakan untuk mencari nilai NPOKP, yaitu dengan cara menguranginya NPOPKP dengan
NPOPTKP.
Contoh dari NPOPTKP daerah berbagai daerah
- Depok: Rp.60 Juta, sesuai dengan Pasal 69(4) Perda 7/2010 Depok.
- Jakarta: Rp.80 Juta
5) NPOPKP: Setelah mengetahui NPOPTKP yang berlaku di daerah tertentu, barulah mencari nilai
NPOPKP dengan cara mengurangi nilai Nilai Transaksi atauu Nilai Perolehan atas suatu objek (“NPOP”)
yang dikurangi dengan nilai NPOPTKP
NPOPKP = NPOP – NPOPTKP

6) TARIFF & HUTANG BPHTB: Setelah nilai NPOPKP didapatkan, barulah kita menentukan Tarifnya
sebagaimana yang telah diatur dalam berbagai macam peraturan daerah, yaitu:
a. Depok (Pasal 70 Perda 7/2010 Depok): 5%
b. Jakarta (Pasal 6 Perda 16/2011 DKI): 5%

7) CONTOH PERHITUNGAN
Pak Daya menjual tanah beserta bangunannya didaerah Depok kepada Pak Udin seharga Rp.1 Milyar.
Pajak-pajak apa saja yang harus dibayarkan pada transaksi tersebut?
Jawab:
Pajak yang akan dikenakan pada transaksi tersebut adalah PPH Final (Pajak Penjual) yang akan
ditanggung oleh Pak Daya dan BPHTB (Pajak Pembeli) yang akan ditanggung oleh Pak Udin.
a. PPH FINAL = Harga Transaksi x 5%
= Rp.1 Milyar x 5%
= Rp50 Juta

b. BPHTB
- NPOP = Rp.1.000.000.000
- NPOPTKP = Rp. 60.000.000
NPOPKP = Rp. 940.000.000

- Tarif BPHTB: 5%
Maka, besarnya Pajak BPHTB :
5 % x Rp.940.000.000 = Rp.47.000.000

Rangkuman Materi Hukum Pajak you’re never too old to set another goal or to dream a new dream
Daya Perwira Dalimi – 3010 215 021 (Kelas Karyawan)
27

Anda mungkin juga menyukai