Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN RADIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 19 Februari 2022

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

NEFROLITHIASIS

OLEH :
Anjani Berliana Alitu
11120212031

PEMBIMBING :
dr. Lidya Cristina P., Sp.Rad.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka telaah jurnal ini
dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah
pada baginda Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat-
sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau hingga akhir zaman.
Referat yang berjudul “Nefrolithiasis” ini disusun sebagai persyaratan
untuk memenuhi kelengkapan bagian. Penulis mengucapkan rasa terimakasih
sebesar- besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara
langsung maupun tidak langsung selama penyusunan referat ini hingga selesai.
Secara khusus rasa terimakasih tersebut penulis sampaikan kepada dokter
pembimbing klinik saya yaitu dr. Lidya Cristina P., Sp.Rad. sebagai
pembimbing dalam penulisan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini belum sempurna, untuk saran dan
kritik yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan penulisan
referat ini. Terakhir penulis berharap, semoga referat ini dapat memberikan hal
yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi
penulis juga.

Makassar, Februari 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAGIAN RADIOLOGI REFERAT............................................................................................ 1
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................................................2
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................3
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................4
BAB I ..........................................................................................................................................5
PENDAHULUAN ........................................................................................................................5
1.1. LATAR BELAKANG .................................................................................................... 5
BAB II .........................................................................................................................................8
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................................8
2.1 DEFINISI .....................................................................................................................8
2.2 EPIDEMIOLOGI ..........................................................................................................8
2.3 ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI ...............................................................................9
2.4 KLASIFIKASI ...............................................................................................................9
2.5 MANIFESTASI KLINIS ..............................................................................................11
2.6 DIAGNOSA................................................................................................................12
2.7 PENATALAKSANAAN ..............................................................................................21
2.8 KOMPLIKASI .............................................................................................................24
2.9 PROGNOSIS .............................................................................................................27
BAB III ......................................................................................................................................28
KESIMPULAN ..........................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................29

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Ginjal adalah organ penyaringan tubuh. Ginjal terletak di sisi perut yang

berfungsi untuk filtrasi darah melalui nefron, dan menghasilkan urin (air ekstra

yang mengandung urea, ion, amonia beracun, karbon dioksida, natrium) sebagai

produk buangan. Dengan lebih sedikit cairan dalam tubuh, ion, dan produk limbah

lainnya mengendapkan massa keras di ginjal yang dikenal sebagai batu ginjal.

Batu urinarius dapat di temukan dimana saja pada saluran kemih. Nefrolitiasis

atau Kalkulus Ginjal adalah istilah ilmiah untuk batu ginjal. Dalam dunia medis,

kondisi ini disebut Nephrolithiasis atau batu saluran kemih.(1)

Batu ginjal dapat terjadi pada kelompok usia 20 sampai 50 tahun atau pada

bayi prematur. Meskipun setiap orang dapat menghadapi masalah batu ginjal, ada

beberapa kondisi yang meningkatkan terjadinya batu ginjal seperti asupan air

yang tidak mencukupi, konsumsi makanan yang kaya natrium, gula, dan protein,

faktor genetik (riwayat penyakit batu dalam keluarga), kelebihan berat badan,

asupan obat diuretik atau antasida berbasis kalsium, operasi bypass

gastrointestinal, dan adanya penyakit ginjal polikistik. (1)

Gejala batu ginjal berkaitan dengan lokasi dari batu tersebut, di ginjal, ureter,

atau kandung kemih. Nefrolitiasis adalah batu yang terbentuk dari endapan

mineral di kandung kemih. Terkadang, pembentukan batu tidak menimbulkan

gejala apapun. Ketika batu kandung kemih menyumbat saluran kemih, maka akan

timbul gejala berupa kesulitan dan nyeri saat buang air kecil, kencing berdarah

(hematuria), kolik ginjal (nyeri kram hebat), nyeri flank, obstruktif system urinarius

5
(penyakit saluran kemih), infeksi saluran kemih, penyumbatan saluran urinarius,

dan hidronefrosis (dilatasi ginjal). Kondisi ini juga dapat menyebabkan mual dan

muntah. Nefrolitiasis dapat terjadi pada siapa saja, termasuk anak-anak. Namun,

penyakit ini lebih sering terjadi pada pria berusia di atas 52 tahun, dan risiko

terkena batu kandung kemih meningkat jika pria mengalami pembesaran

prostat.(2,3)

Diagnosis awal untuk nefrolitiasis yaitu foto polos KUB (kidney ureter bladder).

Diperlukan foto polos abdomen dengan posisi anterior-posterior mulai dari

xiphisternum hingga simfisis pubis, karena metode pencitraan ini

menggambarkan kalkulus hanya dari satu arah sehingga akurasinya berkurang,

yang mengakibatkan penurunan spesifisitas dan sensitivitas. Foto polos abdomen

digunakan untuk memvisualisasikan banyak batu tetapi batu jenis sistein sering

kurang terlihat dibandingkan dengan asam urat dan batu campuran tidak terlihat

sama sekali. Untuk mengatasi masalah ini, biasanya radiografi polos abdomen

digabungkan dengan ultrasonografi untuk mendeteksi batu ginjal, namun gas

usus dan feses dapat menyembunyikan kalkulus. Foto polos KUB tidak dapat

memvisualisasikan batu radiolusen sehingga membatasi nilai diagnostik rontgen

polos. Namun, pada beberapa pasien, foto polos KUB sudah cukup untuk

mendiagnosis bentuk, lokasi, dan ukuran kalkulus yang tepat. Keuntungan utama

foto polos KUB adalah pemeriksaan ini berguna untuk follow-up kalkulus radiopak

yang diketahui dan membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk dilakukan foto

polos KUB bahkan untuk pasien rawat jalan.(4)

IVU adalah prosedur pilihan untuk mendiagnosis urolithiasis saluran kemih.

Dalam dua decade terakhir, CT (computed tomography) telah menggantikan IVU

6
dalam deteksi baru, terutama pada pasien dengan kolik ginjal. IVU hanya dapat

mendiagnosis batu gambaran radiopak. CTU (computed tomography urography)

dapat digunakan untuk diagnosis batu ginjal, bahkan untuk batu dengan

gambaran radiolusen dapat di dapatkan pada CTU, dapat mendeteksi komposisi

batu, dan lebih baik daripada IVU dalam merencanakan nefrolitotomi perkutan.(5)

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Nefrolitiasis adalah batu yang terbentuk dari endapan mineral di kandung

kemih. Ketika batu kandung kemih menyumbat saluran kemih, maka akan timbul

keluhan berupa kesulitan dan nyeri saat buang air kecil, bahkan kencing

berdarah (hematuria). Nefrolitiasis dapat terjadi pada siapa saja, termasuk anak-

anak. Namun, penyakit ini lebih sering terjadi pada pria berusia di atas 52 tahun,

dan risiko terkena batu kandung kemih meningkat jika pria mengalami

pembesaran prostat.(2)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Secara global, prevalensi penyakit batu ginjal dan tingkat kekambuhan

meningkat, disertai pilihan obat efektif yang terbatas. Urolitiasis mempengaruhi

sekitar 12% dari populasi dunia pada tahap tertentu dalam hidup mereka. Batu

ginjal mempengaruhi semua usia, jenis kelamin, dan ras, tetapi lebih sering

terjadi pada pria daripada wanita dalam usia 20-49 tahun.(3)

Jika pasien tidak menerapkan metafilaksis, tingkat kekambuhan

pembentukan batu sekunder diperkirakan 10-23% per tahun, 50% dalam 5-10

tahun, dan 75% dalam 20 tahun. Namun, tingkat kekambuhan seumur hidup

lebih tinggi pada laki-laki, meskipun kejadian nefrolitiasis juga terjadi pada

perempuan. Oleh karena itu, manajemen profilaksis sangat penting untuk

mengelola urolitiasis.(3)

Dengan IMT yang lebih tinggi dan kenaikan berat badan 35 pon atau 15 kg

atau lebih sejak awal masa dewasa secara signifikan meningkatkan risiko

8
terkena batu ginjal. Riwayat diabetes melitus tipe 2 juga meningkatkan risiko

perkembangan batu ginjal. Ada beberapa faktor risiko nondietary lainnya yaitu

riwayat keluarga, dengan adanya riwayat keluarga meningkatkan risiko 2,5 kali

lipat terjadinya batu ginjal, penyakit sistemik: hiperparatiroidisme primer, asidosis

tubulus ginjal, dan penyakit Crohn meningkatkan risiko, riwayat gout

meningkatkan kemungkinan terjadinya pembentukan batu asam urat dan atau

batu kalsium, dan bekerja (atau tinggal) di lingkungan yang panas.(6)

2.3 ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI

Patogenesis Urolitiasis sangat kompleks untuk dijelaskan, mencakup

beberapa peristiwa fisikokimia yang terjadi secara berurutan atau bersamaan.

Meskipun penelitian meningkat dalam dekade terakhir mekanisme dimana kristal

kalsium oksalat dipertahankan di ginjal dan membentuk batu ginjal masih belum

sepenuhnya dipahami.(7)

Pembentukan batu membutuhkan urin ionik jenuh. Tingkat supersaturasi

juga tergantung pada pH urin, kekuatan ion, konsentrasi zat terlarut dalam urin

dan komplikasi. Ada tiga kondisi yang harus terjadi bersamaan dalam

pembentukan batu Struvite.(7)

1) Ph alkalin urin,

2) Ketersediaan urea atau amonia dalam urin

3) Jumlah mineral yang tinggi dalam urin

2.4 KLASIFIKASI

Ada empat jenis utama batu yang mengendap di ginjal yaitu kalsium (75-

85%), struvit (2-15%), asam urat (6-10%) dan batu sistin (1-2%). Distribusi dan

frekuensi batu-batu ini tergantung pada lokasi geografis makhluk hidup dan

9
populasi yang diteliti. Meskipun jarang ditemukan penggunaan obat jangka

panjang dapat menyebabkan batu ginjal yaitu hanya sekitar 1%.(7)

A) Batu kalsium

Batu kalsium oksalat, kalsium urat dan kalsium fosfat berhubungan dengan

hiperkalsiuria yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme. Orang

menghubungkan penyakit ini, peningkatan absorbsi kalsium dari usus

menyebabkan kebocoran kalsium dan fosfat ginjal, hyperuricosuria,

hyperoxaluria, hypocitraturia dan hypomagnesuria berkembang.

B) Batu struvit

Struvit terdiri dari batu magnesium amonium fosfat yang mengisi sistem

pengumpul (staghorn calculi parsial ataupun komplit). Tahap ini berkembang

karena infeksi saluran kemih kronis yang disebabkan oleh bakteri baccilus Gram-

negatif pemecah urea termasuk spesies Proteus, Pseudomonas dan Klebsiella.

C) Batu asam urat

Pembentukan batu asam urat tergantung pada asupan obat purin yang tinggi

atau pergantian sel yang tinggi (misalnya keganasan) yang banyak ditemukan

pada penderita asam urat. Batu asam urat sebagian besar terbentuk dalam urin

yang sedikit asam (pH 5,5). Batu asam urat tampak radiolusen pada gambaran

foto polos.

D) Batu sistin

Batu sistin terbentuk karena memiliki gangguan metabolisme intrinsik

herediter yang disebut sistinuria di mana reabsorpsi sistin di tubulus ginjal

terganggu. Batu-batu ini sulit ditemukan pada sinar-X karena kandungan

belerang yang tinggi. Pada batu yang diinduksi obat, beberapa obat dapat

10
menyebabkan pembentukan batu ginjal.

E) Batu yang diinduksi obat

Beberapa obat juga ikut serta dalam pembentukan batu ginjal yang dapat

digunakan untuk penyakit lain. Seperti obat indinavir, atazanavir guaifenesin,

triamterene, silikat (antasida) dan sulfa. Batu-batu ini jarang ditemukan dan

selalu terlihat pada sinar-X dengan tampakan radiolusen.

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang paling umum dari nephrolithiasis adalah onset mendadak, kolik

ginjal akut muncul sebagai kram dan nyeri perut dan nyeri flank intermiten saat

batu ginjal berjalan melalui ureter dari ginjal ke vesica urinaria. Rasa sakit

bertambah dan berkurang pada fase akut dan pasien sering tidak dapat

menemukan posisi yang nyaman. Nyeri sering disertai mual, muntah, dan

malaise; demam dan menggigil juga dapat terjadi.(6,8)

Rasa sakit atau nyeri juga bisa menjadi tekanan tumpul atau sensasi yang

tumpul. Rasa sakit yang konstan pada permulaan menimbulkan kekhawatiran

akan obstruksi yang lebih parah. Awalnya, rasa sakit sering menjalar ke inguinal.

Saat batu turun, rasa sakit bisa terlokalisasi ke perut. Saat batu mendekati

persimpangan vesikoureteral, nyeri dapat dirasakan di ujung uretra,

menyebabkan disuria (rasa nyeri atau tidak nyaman saat berkemih) dan

keinginan untuk buang air kecil terus-menerus.(6)

Nyeri dengan palpasi sudut costovertebral dan/atau kuadran bawah sering

terjadi. Hematuria, baik makroskopis maupun mikroskopis, terdapat pada hampir

90% kasus, tetapi tidak adanya hematuria tidak mengesampingkan penyakit

batu. Lebih dari 10% dari penyakit batu terbukti telah ditemukan tanpa

11
hematuria.(6)

Takikardia dan hipertensi dapat terlihat dan sekunder terhadap nyeri. Pasien

lanjut usia lebih cenderung memiliki gejala yang atipikal. Dalam satu penelitian

yang melibatkan lebih dari 1500 pasien yang simptomatik, bertambahnya usia

dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk muncul dengan gejala

atipikal atau tanpa nyeri, demam, gejala gastrointestinal, piuria, dan ISK.

Bertambahnya usia juga dikaitkan dengan diameter batu yang lebih besar dan

peningkatan kebutuhan akan intervensi bedah.(6)

2.6 DIAGNOSA

1) Tes hematologi: Tes hematologi mengukur banyaknya kalsium atau asam

urat dalam darah. Hasil tes hematologi membantu memantau kesehatan

ginjal dan dapat mengarahkan dokter untuk memeriksa kondisi medis

lainnya(7)

2) Tes urin: Tes pengumpulan urin 24 jam dapat menunjukkan bahwa ginjal

mengeluarkan terlalu banyak mineral pembentuk batu atau terlalu sedikit zat

pencegah batu. Untuk tes ini, dokter dapat meminta setidaknya melakukan

tes sebanyak dua kali selama dua hari berturut-turut(7)

3) Pencitraan: Tes pencitraan dapat menunjukkan ketersediaan batu ginjal di

saluran kemih. Pilihan berkisar dari rontgen abdomen sederhana, yang

dapat melewatkan batu ginjal kecil, hingga CT berkecepatan tinggi atau

energi ganda yang menangkap bahkan batu kecil. Pilihan pencitraan lainnya

termasuk ultrasound, tes non-invasif, dan urografi intravena, yang

melibatkan penyuntikan pewarna ke dalam pembuluh darah lengan dan

mengambil sinar-X (pielogram intravena) atau memperoleh gambar CT (CT

12
urogram) saat pewarna berjalan melalui ginjal dan kandung kemih.(7)

A. Foto polos abdomen

Bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radioopak pada

saluran kemih. Batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-

opak dan paling umum di antara jenis batu lainnya. Berikut urutan

radioopasitas beberapa jenis batu saluran kemih seperti kalsium

opak, MAP semi opak, asam urat non opak. Foto polos memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang terbatas, dalam kemampuannya

untuk menunjukkan beberapa batu dan anatomi pasien. Selain itu,

kebiasaan tubuh mempengaruhi kualitas film, seperti isi usus yang

mengganggu penglihatan batu.

Foto polos abdomen konvensional telah digunakan selama bertahun-

tahun untuk diagnosis batu ginjal. Namun, gas usus, tulang, dan

tulang rawan kosta dapat mengganggu diagnosis dan mengaburkan

batas ginjal. Selain itu, banyak struktur lain seperti kalsifikasi arteri,

kelenjar getah bening yang terkalsifikasi, tinja, massa perut dan

panggul juga dapat meniru kalkulus ginjal untuk lokasi dan

penampilannya. Yap et al melakukan penelitian dan menyimpulkan

bahwa sensitivitas radiografi film polos hingga 73%. (4)

13
Foto Polos Abdomen(9)
Pada gambar ini didapatkan adanya batu radiopak di ginjal kiri
setinggi lumbal 2

Foto Polos Abdomen(10)


Pada gambar ini didapatkan adanya gambaran radiopak staghorn
calculi di ginjal kanan

B. Pielogram Intravena (IVU / IVP)

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai anatomi dan fungsi ginjal.

Selain itu, IVU dapat mendeteksi batu semi-opak dan non-opak. Jika

IVU tidak dapat menjelaskan kondisi sistem perkemihan akibat

penurunan fungsi ginjal, dilakukan pemeriksaan pyelonografi

14
retrograde. Kontraindikasi IVU pada pasien yang alergi terhadap

bahan kontras, penurunan fungsi ginjal, dan wanita hamil. Batu asam

urat murni bersifat radiolusen, sehingga pada pemeriksaan IVU

tampak filling defect.(2)

IVP pada awalnya merupakan pemeriksaan standar pada kasus batu

saluran kemih. IVP dapat mengidentifikasi batu (ukuran, lokasi,

radiodensitas) dan juga kondisi sekitarnya seperti anatomi

pelvokalises, derajat obstruksi, ataupun fungsi renal kontralateral.

Kelebihan IVP terletak pada kemampuannya untuk mengidentifikasi

anatomi pelvokalises dengan adekuat yang tidak didapatkan melalui

pemeriksaan USG ataupun CT scan. Keakuratan IVP dapat

ditingkatkan dengan bowel preparation yang baik serta efek samping

kontras dapat diminimalisir dengan hidrasi yang baik. Bowel

preparation pada pemeriksaan IVP meliputi pemberian zat

laksatif untuk membersihkan kolon dari feses yang menutupi daerah

ginjal dan pasien harus dipuasakan. Film yang diambil sesaat setelah

penyuntikan kontras akan menggambarkan fase nefrogram yang

memperlihatkan parenkim ginjal dan batas-batasnya. Filmfilm yang

diambil 5, 10, 15 menit setelah penyuntikan akan memperlihatkan

sistem pelvicalyces, ureter, dan kandung kemih. Oleh karena itu,

prosedur IVP kurang sesuai pada kondisi gawat darurat. Zat kontras

pada prosedur IVP juga dapat menimbulkan efek samping seperti

nefrotoksik dan reaksi anafilaktik. Serum kreatinin di atas 1,5 mg/dL

memerlukan pertimbangan khusus sebelum tindakan IVP terutama

pada pasien diabetes melitus, penyakit kardiovaskuler, atau multipel

15
mieloma.(11)

Foto IVP(12)
Didapatkan adanya gambaran radiopak pada ginjal kiri dengan
bentuk staghorn calculi

Foto IVP(13)
Menunjukkan adanya gambaran batu radiopak pada ginjal kiri

16
Foto IVP(13)
Adanya gambaran batu staghorn radiopak pada ginjal kanan

C. USG Urologi

Ultrasonografi dilakukan jika pasien tidak mungkin menjalani

pemeriksaan IVU. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai batu di

ginjal atau kandung kemih (ditampilkan sebagai echoic shadow),

hidronefrosis, pionefrosis, atau kontraksi ginjal. Pada pemeriksaan

USG asam urat memberikan gambaran bayangan akustik.

Keterbatasan USG termasuk ketidakmampuan untuk

memvisualisasikan sebagian besar batu ureter.(2)

Ultrasonographi adalah modalitas pencitraan yang tersedia secara

luas yang tidak memaparkan pasien terhadap radiasi pengion. Batu

ginjal pada USG adalah hiperechoic dan menunjukkan bayangan

akustik posterior tergantung pada ukuran dan frekuensi transduser.

Umumnya, USG sangat efektif dalam menunjukkan batu besar (>5

mm), dengan sensitivitas hampir 100%, tetapi buruk dalam

memvisualisasikan batu yang lebih kecil dari 3 mm, USG juga dapat

memvisualisasikan hidronefrosis tetapi kurang baik untuk mendeteksi

17
batu ureter ukuran apa pun. (13) (15)

Ketika batu ginjal menyumbat ureter, USG sangat efektif dalam

menunjukkan tanda sekunder hidronefrosis. Meskipun USG dapat

mendeteksi batu ginjal yang terletak di ureter bagian atas atau distal

di junction dari ureterovesikal yang menyebabkan hidronefrosis,

sebagian besar batu ureter biasanya tertutup oleh gas usus.

Ultrasonografi memiliki sensitivitas hanya 37% untuk deteksi batu

ureter langsung, tetapi ketika hidronefrosis dimasukkan sebagai

tanda positif untuk batu ureter, maka sensitivitas meningkat menjadi

74%. Foto polos abdomen KUB tambahan atau CT meningkatkan

sensitivitas batu ureter hingga 100%.(14)

USG Longitudinal Abdomen menunjukkan adanya gambaran batu


hiperehoic pada ginjal (14)

18
USG Longitudinal Abdomen menunjukkan gambaran batu hiperehoic
pada ginjal dengan ukuran 0,51 cm.(14)

D. CT Scan

CT memvisualisasikan hampir semua jenis batu ginjal dan memiliki

sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 95%, yang jauh lebih baik

daripada pencitraan lainnya. Selain itu, CT memiliki keuntungan

dalam memberikan informasi anatomi tiga dimensi tentang ginjal dan

organ yang berdekatan, pertimbangan strategi manajemen yang

relevan seperti jarak antara kulit dan batu, dan karakteristik kepadatan

batu untuk membantu memandu pilihan terapi. (2)

Jika pasien pertama kali terkena penyakit batu ginjal, CT scan spiral

nonkontras diindikasikan, bahkan jika tidak ada kalkulus yang terlihat

pada foto polos abdomen. Hanya sekitar 50% dari batu ginjal terlihat

pada foto polos abdomen, sedangkan deteksi dengan CT sekitar

95%. Pemindaian CT sangat sensitif untuk mendeteksi bahkan

kalsifikasi kecil dan memberikan detail tambahan tentang penyebab

nyeri potensial lainnya, dan ukuran batu dapat diukur secara

akurat.(17)

19
A B

CT Scan Abdomen potongan coronal tanpa kontras(14)


Gambar A; menunjukkan adanya gambaran batu hiperdens pada ginjal kiri.
Gambar B; CT scan koronal posterior menunjukkan adanya batu hiperdens
pada ginjal kanan

CT Scan Abdomen potongan axial menunjukkan adanya batu hiperdens


dengan ukuran 4,7mm pada ginjal kanan(14)

20
2.7 PENATALAKSANAAN

Ada berbagai pilihan perawatan yang tersedia tergantung pada ukuran dan

jenis batu.(15)

A) Batu kecil

Batu-batu ini biasanya dikeluarkan dengan sendirinya dari tubuh

tanpa perawatan yang berarti. Asupan air yang cukup (4-5 lts sehari)

dapat membantu mengeluarkan batu yang mungkin dikeluarkan melalui

urin dengan jumlah asupan air yang cukup. Untuk menghilangkan rasa

sakit yang disebabkan oleh gerakan batu, digunakan obat analgesik.

Biasanya dokter meresepkan alphablocker, karena relaksasi otot ureter

dihasilkan melalui obat-obatan ini, juga membantu mengeluarkan batu

ginjal lebih cepat dan dengan nyeri yang ringan. Diuretik, obat yang

meningkatkan aliran urin, mungkin juga memiliki kesempatan untuk

mengeluarkan batu yang dikeluarkan dengan menggunakan diuretik

karena obat ini dilaporkan meningkatkan aliran urin. Batu berukuran <5

mm biasanya akan keluar, ada ekskresi spontan batu yang diamati

berukuran kurang dari 5 mm, batu berukuran >5 mm memerlukan

intervensi urologi untuk pengangkatannya. Untuk pengelolaan awal batu

dengan diameter <5 mm, diperbolehkan observasi beberapa saat untuk

keluarnya batu pada ketiadaan malformasi struktural. NSAID atau obat-

obatan narkotika telah ditemukan untuk menghilangkan rasa sakit.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan dapat

mempercepat waktu untuk perjalanan batu Pada pasien yang dipilih

dengan tepat, antagonis adrenoreseptor alpha-1, seperti tamsulosin,

telah dilaporkan untuk mempercepat keluarnya batu. Instruksi harus

21
diberikan kepada pasien untuk menyaring urin mereka untuk

mengumpulkan batu yang dikeluarkan untuk dilakukan pemeriksaan.

Pengobatan farmakologis: Diuretik tiazid (dengan pembatasan

natrium) dapat digunakan, untuk batu ca oksalat dan ca-fosfat, untuk

mengurangi kalsium urin. Suplemen alkali, seperti kalium sitrat, dapat

dilakukan untuk meningkatkan konsentrasi rendahnya kadar sitrat dalam

urin. PH urin dapat ditingkatkan dengan menggunakan suplemen Alkali,

yang berarti risiko pembentukan batu berpotensi meningkat; oleh karena

itu, pemantauan pH yang cermat harus dilakukan pada pasien ini. Jalur

batu telah ditemukan difasilitasi oleh penggunaan CCB dan prednisolon.

Pembatasan jangka panjang sistein dalam asupan makanan tidak

mungkin dan tidak manjur; Oleh karena itu, untuk mencegah batu sistin,

pengobatannya adalah melalui obat penicillamine dan tiopronin serta

dengan obat yang menaikkan pH urin.

B) Batu besar

Ekskresi batu besar keluar dari tubuh dengan sendirinya tidak dapat

difasilitasi karena ukurannya yang besar. Berbagai patologi seperti

hilangnya nefron, perdarahan, atau infeksi saluran kemih (ISK) yang

sedang berlangsung disebabkan oleh batu-batu ini. Adanya tanda-tanda

infeksi saluran kemih (ISK), kegagalan untuk mengambil cairan oral,

atau memerlukan indikasi rawat inap dan manajemen aktif adalah

adanya gambaran klinis infeksi ginjal, kegagalan asupan cairan atau

obstruksi ginjal tunggal yang berfungsi.

22
Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL): Batu ginjal

terfragmentasi menjadi bagian-bagian kecil dengan menggunakan

radiasi yang menghasilkan gerakan getaran yang kuat pada batu.

Fragmen kecil dapat dikeluarkan melalui buang air kecil. Di era saat ini,

ESWL adalah pengobatan pilihan, karena sifatnya yang non-invasif,

kebutuhan anestesi minimal dan tingkat penerimaan yang tinggi oleh

pasien dan dokter. Meskipun penggunaan prosedur ini dominan untuk

pengelolaan nefrolitiasis, prosedur ini tidak signifikan secara seragam

untuk semua jenis batu ginjal.

Perawatan bedah

Nefrolitotomi: Nefrolitotomi umumnya dilakukan oleh dokter jika

ditemukan batu besar di dalam atau di sekitar ginjal. Untuk prosedur ini,

pasien diberikan anestesi umum, kemudian batu ginjal dikeluarkan

dengan alat teleskopik. Dengan tingkat keberhasilan yang tinggi,

nefrolitotomi perkutan adalah teknik yang tidak berbahaya dan

operasional untuk eliminasi invasif minimal dari batu. Biasanya, batu

dengan lebar <4 mm lewat secara naluriah dan dengan lebar lebih dari

8 mm tidak mungkin keluar tanpa perawatan bedah.

Laproscopic pyelolithotomy: Laproscopic pyelolithotomy

(retroperitoneal) sangat ideal untuk batu keras di panggul (retrorenal),

terutama pada pasien kurus. Prosedur ini digunakan pada pasien yang

batu ginjalnya gagal merespon ESWL dan prosedur perkutan.

23
2.8 KOMPLIKASI

1) Obstruksi Saluran Kemih(2)

Obstruksi dapat menyebabkan dilatasi pelvis atau kaliks ginjal, yang

dikenal dengan hidronefrosis. Pada umumnya obstruksi saluran kemih

bagian bawah yang berkepanjangan akan menyebabkan obstruksi bagian

atas. Jika tidak ditangani dengan baik, obstruksi ini dapat menyebabkan

gangguan fungsi dan kerusakan permanen pada struktur ginjal, yang

dikenal sebagai nefropati obstruktif, yang jika mengalami infeksi saluran

kemih dapat menyebabkan urosepsis. Obstruksi saluran kemih akan

menyebabkan kerusakan ginjal, baik struktur maupun fungsinya.

Kerusakan ini tergantung pada panjang obstruksi, derajat obstruksi,

unilateral atau bilateral, dan adanya infeksi penyerta. Peningkatan

intrapelvis akibat obstruksi ditransmisikan ke sistem kaliks ginjal, sehingga

merusak struktur papila dan calyx ginjal. Pada keadaan normal, calyx minor

cekung dengan kedua tepi tajam, melalui pemeriksaan pyelonografi

intravena (IVU) dapat diamati perubahannya. Perubahan yang terjadi

adalah kedua tepi kaliks menjadi tumpul, kaliks menjadi rata (kecekungan

menghilang), kaliks menjadi cembung, dan semakin lama parenkim ginjal

terdesak ke perifer sehingga korteks menipis.

Anuria obstruktif adalah manifestasi dari obstruksi total aliran urin

pada sistem kemih bagian atas, yaitu penurunan produksi urin hingga

kurang dari 200 ml dalam 24 jam. Anuria obstruktif ini terjadi bila terdapat

obstruksi saluran kemih bilateral atau obstruksi saluran kemih unilateral

pada satu ginjal.

24
2) Cedera Ginjal Akut (AKI)(2)

Cedera ginjal akut (AKI) adalah penurunan tajam fungsi filtrasi ginjal,

yang dapat terjadi sebagai akibat dari penyakit yang mempengaruhi

vaskularisasi ginjal, parenkim ginjal, atau sistem pengumpulan urin.

Penurunan tersebut sering terbukti dengan peningkatan konsentrasi

kreatinin serum, yang mungkin disertai dengan output urin normal, oliguria,

atau anuria.

AKI dikategorikan menjadi prerenal, intrarenal, dan post renal. AKI

prerenal adalah kasus yang paling umum (60% kasus). Penurunan ringan

pada kinerja ginjal tidak mempengaruhi laju filtrasi glomerulus (GFR) karena

respon umpan balik kompensasi, seperti aktivasi sistem renin-angiotensin

dan pelepasan prostaglandin vasodilatasi. Dalam regulasi penurunan aliran,

mekanisme kompensasi gagal, dan filtrasi ginjal menurun. Namun, parenkim

ginjal tetap utuh dan fungsi normal dapat dipulihkan dengan penggantian

cairan intravaskular. Penyebab utama AKI prerenal termasuk diuretik

berlebihan, diare, muntah, perdarahan, luka bakar, curah jantung yang

buruk, gagal hati, hiperkalsemia, dan penggunaan NSAID pada pasien

dengan perfusi ginjal rendah. Pasien dengan AKI prerenal menunjukkan

tanda-tanda penurunan volume, seperti takikardia, hipotensi ortostatik, dan

membran mukosa kering. Pada AKI prarenal rasio BUN (Blood Urea

Nitrogen): rasio kreatinin dapat meningkat sebesar 20:1 mencerminkan

peningkatan reabsorpsi.

AKI intrarenal terjadi pada sekitar 35% kasus, mencerminkan

kerusakan langsung pada parenkim ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN)

adalah penyebab paling umum. ATN terjadi dengan adanya iskemia ginjal

25
berat atau kerusakan toksik langsung pada tubulus ginjal karena toksin

ekstrinsik (seperti aminoglikosida atau agen radiokontras) atau toksin

intrinsik (seperti mioglobin atau hemoglobin). Penyebab umum lainnya

adalah karena glomerulonefritis progresif akut, mikroangipati trombotik,

koagulasi intravaskular diseminata, hipertensi maligna, nefritis interstisial

akut, dan penolakan allograft ginjal pasca transplantasi.

Rasio BUN: Kreatinin berkisar antara 10 hingga 15: 1. Pada urinalisis,

hasil menunjukkan kerusakan glomerulus atau tubulus. ATN dapat

ditemukan gips granular berpigmen "coklat berlumpur (muddy brown)" atau

gips epitel tubulus. Pada GN gips sel darah merah ditampilkan. AIN (Acute

interstitial nephritis) memperoleh gips sel darah putih. Selain itu, didapatkan

proteinuria. AKI post renal hanya terjadi pada sekitar 5% kasus,

mencerminkan obstruksi aliran urin dari kedua ginjal. Penyumbatan bisa di

uretra, leher kandung kemih, atau di ureter. Pasien terkadang memiliki

riwayat output urin yang lemah atau pengosongan urin yang tidak lengkap.

Pada pemeriksaan dapat dirasakan adanya pembesaran kandung kemih

atau prostat (pada pria). Pada urinalisis, sel darah merah ditemukan pada

kasus nefrolitiasis.

Pada pasien nefrolitiasis dengan AKI, gejala dapat muncul dengan

hematuria, nyeri perut atau panggul, atau tanda-tanda uremia. Oligoanuria

menunjukkan obstruksi total, atau obstruksi parsial pada urin output yang

adekuat. Oligoanuria dapat mendiagnosis obstruksi saluran kemih, ATN

berat dengan nekrosis kortikal, atau oklusi vaskular bilateral. Jika

pertimbangan diagnostik diperlukan, sonografi ginjal sensitif dan spesifik (90

hingga 95%) dalam memastikan diagnosis hidronefrosis.

26
2.9 PROGNOSIS

Batu ginjal yang tidak lewat bisa menjadi obstruktif dan selanjutnya bisa

menyebabkan gagal ginjal akut, atau bisa juga menjadi nidus infeksi yang

akhirnya bisa mematikan. Jika pasien menjalani pemasangan tabung nefrostomi,

maka ada kemungkinan perdarahan, cedera sistem pengumpulan ginjal, cedera

organ visceral, komplikasi paru, komplikasi tromboemboli, dan migrasi batu

ekstrarenal.(16)

27
BAB III

KESIMPULAN

Batu ginjal bisa terjadi pada semua usia, jenis kelamin, tetapi lebih sering pada pria

dalam usia 20-49 tahun. Saat batu menyumbat kandung kemih yaitu ginjal maka akan

terjadi nyeri abdomen, nyeri flank dan 90% kasus disertai hematuria. Pemeriksaan

penunjang penyakit ini dapat ditegakkan dengan pemeriksaan radiologi yang

memberikan gambaran densitas dari batu saluran kemih tersebut. Apabila batu

berukuran kecil maka dapat keluar dengan sendirinya dibantu dengan farmakologi

dan batu besar dilakukan penanganan operasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Tripathy S, Sivakumar R, Nair S, Inbamalar TM. Analysis and detection of


nephrolithiasis using imaging techniques. International Journal of Biology and
Biomedical Engineering. 2021;15:36–46.
2. Nrp G, Arp G, Rnrp G, Rachmad Putra Gofur N. American Journal of Surgery
and Clinical Case Reports Nephrolithiasis, Diagnosis and Management: A
Review Article. Ame J Surg Clin Case Rep. 2021;2(7):1–4.
3. Alelign T, Petros B. Kidney Stone Disease: An Update on Current Concepts.
Vol. 2018, Advances in Urology. Hindawi Limited; 2018.
4. Iftikhar N, Maryam S, Rauf A, Fatima M, Ayaz S. Comparison of Kidney-Ureter-
Bladder Radiography with Computed Tomography Scout Film for the Diagnosis
of Renal Calculi Taking Axial Computed Tomography as Gold Standard.
5. El-Ghar MA, Refaie H, Sharaf D, El-Diasty T. Diagnosing urinary tract
abnormalities: Intravenous urography or CT urography? Vol. 7, Reports in
Medical Imaging. Dove Medical Press; 2014. p. 55–63.
6. Mayans L. Nephrolithiasis. Vol. 46, Primary Care - Clinics in Office Practice.
W.B. Saunders; 2019. p. 203–12.
7. Khan F, Haider MF, Singh MK, Sharma P, Kumar T, Neda EN. A comprehensive
review on kidney stones, its diagnosis and treatment with allopathic and
ayurvedic medicines. Urology & Nephrology Open Access Journal. 2019 Aug
2;7(4).
8. Fontenelle LF, & STD. Kidney stones: Treatment and prevention. American
family physician. 2019;99:490–6.
9. El-Feky M, Gaillard F. Renal calculus: pre- and post-ESWL. Radiopaedia.org
[Internet]. 2010 Dec 15 [cited 2022 Feb 14]; Available from:
http://radiopaedia.org/cases/renal-calculus-pre-and-post-eswl
10. Glick Y, Bickle I. Staghorn calculus. Radiopaedia.org [Internet]. 2017 Sep 13
[cited 2022 Feb 14]; Available from: http://radiopaedia.org/cases/staghorn-
calculus-11
11. Daniswara CL. Modalitas Pencitraan Terbaik untuk Kolik Renal [Internet]. Vol.
46. Available from: https://acsearch.acr.org/docs/69362/Narrative/
12. Moslemi MK, Safari A. A huge left Staghorn kidney, a case report of inevitable
open surgery: A case report. Cases Journal. 2009 Sep;2(9).

29
13. Tao J, Sheng L, Zhang H jie, Chen R, Sun Z quan, Qian W qing. Acute
Abdominal Compartment Syndrome as a Complication of Percutaneous
Nephrolithotomy: Two Cases Reports and Literature Review. Urology Case
Reports. 2016 Sep 1;8:12–4.
14. Sim KC. Ultrasonography of acute flank paina focus on renal stones and acute
pyelonephritis. Ultrasonography. 2018 Oct 1;37(4):345–54.
15. Mettler FA. Essentials of Radiology E-Book [Internet]. Elsevier Health Sciences;
2018. Available from: https://books.google.co.id/books?id=ga5mDwAAQBAJ
16. Brisbane W, Bailey MR, Sorensen MD. An overview of kidney stone imaging
techniques. Vol. 13, Nature Reviews Urology. Nature Publishing Group; 2016.
p. 654–62.
17. Mettler FA. Essentials of Radiology E-Book [Internet]. Elsevier Health Sciences;
2018. Available from: https://books.google.co.id/books?id=ga5mDwAAQBAJ
18. Akram M. Nephrolithiasis; Prevalence, Risk factors and Therapeutic Strategies:
A Review. Madridge Journal of Internal and Emergency Medicine. 2019 Jan
3;3(1):90–5.
19. Nojaba L, Guzman N. Nephrolithiasis. StatPearls [Internet]. 2021 Aug 11 [cited
2022 Feb 13]; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559227/

30

Anda mungkin juga menyukai