Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KAJIAN TEORI

1. Strategi Pembelajaran
a. Pengertian Strategi Pembelajaran
Strategi adalah seni merancang operasi di dalam peperangan seperti cara-cara mengatur
posisi atau siasat dalam berperang, seperti dalam angkatan darat atau angkatan laut. 1 Secara
umum, strategi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan.
Sebagagaimana di sampaikan oleh Pringgawida, strategi merupakan ilmu dan seni
menggunakan semua sumber daya bangsa-bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan
tertentu dalam perang dan damai.2 Sementara itu Gulo menyatakan bahwa strategi adalah
seperangkat alat yang melibatkan individu secara langsung untuk mengembangkan
kemampuan manajemen.3 Sejalan dengan pendapat Iskandar yang mendeskripsikan strategi
sebagai kemampuan objek untuk menggunakan sumber daya yang ada. Joni berpendapat
bahwa strategi dalam pembelajaran adalah salah satu cara dalam model pembelajaran,
untuk menyelenggarakan suatu kegiatan belajar mengajar yaitu pola umum kegiatan yang
harus diikuti dengan baik oleh pengajar dan pembelajar. Dengan istilah lain strategi belajar
mengajar yaitu kerangka konseptual, menggambarkan konsep yang teratur dalam
menyusun pengalaman belajar untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang lebih baik. 4
Strategi belajar dapat digambarkan sebagai sifat dan tingkah laku yang sejalan dengan
sintak metode secara prosedural.5 Oxford mendefinisikan strategi belajar sebagai tingkah
laku yang dipakai oleh pembelajar agar pembelajaran bahasa berhasil, terarah, dan
menyenangkan.6 Strategi belajar mengacu pada perilaku dan proses berfikir yang
digunakan serta mempengaruhi apa yang dipelajari.7 Dalam kaitannya dengan belajar
mengajar, pemakaian istilah strategi dimaksudkan sebagai daya upaya guru dalam

1
Gulo, W, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Grasindo, 2022), 24.
2
Pringgawidagda, Suwarna, Strategi Penguasaan Berbahasa, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2020),91.
3
Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo
4
Joni, T. Raka. 1984. Strategi BelajarMengajar, Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta: Departeman Pendidikan dan
Kebudayaan
5
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar,(Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal. 5
7
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar (SBM), (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1997), hal. 11
menciptakan suatu system lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses mengajar.
Maksudnya agar tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. dapat tercapai secara berdaya
guna dan berhasil guna, guru dituntut untuk memiliki kemampuan mengatur secara umum
komponenkomponen pengajaran sedemikian rupa sehingga terjalin keterkaitan fungsi antar
komponen pengajaran dimaksud.8
Dalam pandangan jumhur, strategi dikaitkan dengan istilah pendekatan dan metode. 9
Sehubungan dengan strategi pembeajaran, Pringgawigada memaknai pendekatan sebagai
proses, perbuatan, atau cara mendekati. Pendekatan dijadikan sebagai landasan sikap atau
pandangan tentang sesuatu, yang biasanya berupa asumsi. Sedangkan metode adalah
rencana keseluruhan bagi penyajian bahan bahasa secara rapi dan tertib.10 Hal ini mejadi
penting untuk diketahui sebab strategi pembelajaran menjadi alternatif model, metode,
serta cara dalam menyelengarakan kegiatan belajar dan mengajar yang juga merupakan
pola umum dalam kegiatan yang harus diikuti oleh guru dan peserta didik agar mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
b. Langkah-Langkah Strategi Pembelajaran
Secara umum, terdapat empat langkah strategi dasar dalam belajar yang menjadi
tumpuan guru untuk menentukan jenis pendekatan yang diberlakukan kepada siswa.
Pertama, pengajar melakukan identifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi
perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik. Kedua, tenaga ajar memilih system
pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.
Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang
dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat memperoleh tujuan. Keempat, guru
menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan.11 Koordinasi dari keempat
langkah ini dapat memberikan kemudahan agar siswa menjalani proses kerjasama antara
guru dan peserta didik, baik potensi yang bersumber dari dalam diri peserta didik seperti
bakat, minat dan kemampuan dasar yang dimiliki maupun potensi yang berasal dari luar
misalnya lingkungan, sarana dan sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan
belajar.
8
Blogger – Evo, Strategi Pembelajaran dalam www.sarjanaku.com/ diakses Tanggal 17
Januari 2016
9
Gulo, W, Strategi Belajar Mengajar…, 71.
10
Susanto, Ahmad. 2016. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Prenada MediaGroup
11
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar…, 15
Penerapan rancangan dari strategi pembelajaran dalam situasi belajar mengajar
mengalami perbedaan pendapat. Pendapat pertama menyatakan strategi pembelajaran
adalah ketetapan yang melakukan tindakan dari pengajar dengan menggunakan
kemampuan dan sumber daya pendidikan yang telah disediakan untuk mendapatkan hasil
maksimal dengan menempuh hubungan, secara baik dengan lingkungan sekitar dan kondisi
yang saling menguntungkan satu sama lain. Kedua, strategi pembelajaran adalah garis
besar untuk mengambil keputusan dalam menyelenggarakan suatu proses interaksi antara
guru dengan peserta didik untuk mencapai hasil akhir yang ingin dicapai. Ketiga, strategi
merupakan suatu runtutan perubahan yang harus disiapkan dengan baik agar mendapatkan
hasil yang diinginkan dengan maksimal.12 Definisi tersebut memberikan kesimpulan bahwa
strategi pembelajaran merupakan alternatif model, metode, serta cara dalam
menyelengarakan kegiatan belajar dan mengajar yang juga merupakan pola umum dalam
kegiatan yang harus diikuti oleh guru dan peserta didik agar mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
c. Berbagai Unsur dalam Strategi Pembelajaran
Agar dapat merancang serta melaksanakan strategi pembelajaran yang efektif perlu
memperhatikan unsur-unsur strategi dasar atau tahapan langkah sebagai berikut:13
1. Menetapkan spesifikasi dari kualifikasi perubahan perilaku, tujuan selalu dijadikan
acuan dasar dalam merancang dan melaksanakan setiap kegiatan pembelajaran. Oleh
sebab itu tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara spesifik dalam arti mengarah
kepada perubahan perilaku tertentu dan operasional dalam arti dapat diukur.
2. Memilih pendekatan pembelajar, suatu cara pandang dalam menyampaikan yang telah
direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan
kegiatan pembelajaran harus dipertimbang dan dipilih jalan pendekatan utama yang
dipandang paling ampuh, paling tepat, dan paling efektif guna mencapai tujuan.
3. Memilih dan menetapkan metode, teknik, dan prosedur pembelajaran. Metode
merupakan cara yang dipilih untuk menyampaikan bahan sesuai dengan tujuan
pembelajaran (2) Teknik merupakan cara untuk melaksanakan metode dengan sarana
penunjang pembelajaran yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kecepatan dan

12
Iskandarwassid, Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2020),
30.
13
Ahmadi, Abu. dan Tri Prasetya, Joko, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1977), 12.
ketepatan belajar untuk mencapai tujuan (3) Merancang Penilaian (4) Merancang
Remedial (5) Merancang Pengayaan.
d. Ruang Lingkup Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran aktualisasinya berwujud serangkaian dari keseluruhan
tindakan strategis guru dalam rangka mewujudkan kegiatan pembelajaran yang efektif
dan efisien. Efektifitas Strategi dapat diukur dari tingginya kuantitas dan kualitas hasil
belajar yang dicapai anak. Sedangkan efisien dalam arti penggunaan Strategi yang
dimaksud sesuai dengan waktu, fasilitas, maupun kemampuan yang tersedia. Secara
singkat, menurut Slameto strategi pembelajaran mencakup 8 unsur perencanaan
tentang:14
1. Komponen sistem yaitu guru/dosen, siswa/mahasiswa baikdalam ikatan kelas,
kelompok maupun perorangan yang akan terlibat dalam kegiatan belajar mengajar
telah disiapkan,
2. Jadwal pelaksanaan , format dan lama kegiatan telah disiapkan,
3. Tugas-tugas belajar yang akan dipelajari dan yang telah diidentifikasikan,
4. Materi/bahan belajar, alat pelajarandan alat bantu mengajar yang disiapkan dan
diatur,
5. Masukan dan karakteristik siswa yang telah diidentifikasikan,
6. Bahan pengait yang telah direncanakan,
7. Metode dan teknik penyajian telah dipilih, misalnya ceramah, diskusi dan lain
sebagainya serta media yang akan digunakan.
Keseluruhan tindakan strategis guru dalam upaya merealisasikan kegiatan
pembelajaran, mencakup dimensi yang bersifat makro (umum) maupun bersifat mikro
(khusus). Secara makro, strategi pembelajaran berkait dengan tindakan strategis guru
dalam: (a) memilih dan mengoperasionalkan tujuan pembelajaran (b) memilih dan
menetapkan setting pembelajaran (c) pengelolaan bahan ajar (d) pengalokasian waktu
(e) pengaturan bentuk aklivitas pembelajaran (f) metode teknik dan prosedur
pembelajaran (g) pemanfaatan penggunaan media pembelajaran (h) penerapan prinsip-
prinsip pembelajaran (i) penerapan pendekatan pola aktivitas pembelajaran (j)
pengemabangan iklim pembelajaran (k) pemilihan pengembangan dan pelaksanaan

14
Jamrah, Syaiful Bahri, Strategi Belajar Mengajaar. (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 89.
evaluasi. Bertolak dari jabaran tentang tindakan strategis guru tersebut di atas, kiranya
dapat dimengerti bahwa secara makro, strategi pembelajaran berhubungan dengan
pembinaan dan pengembangan program pembelajaran. Oleh karena itu, strategi
pembelajaran mengaktual pada strategi perencanaan, pelaksanaan dan strategi penilaian
pembelajaran. Sedangkan tindakan guru yang bersifat mikro, berkaitan langsung
dengan tindakan-tindakan operasional-interaktif guru di kelas.Tindakan guru yang
dimaksud berhubungan dengan pelaksanaan siasat dan taktik dalam
mengoperasionalkan pelaksanaan metode, teknik, prosedur pembelajaran maupun siasat
dan taktik operasional dalam penggunaan media dan sumber pembelajaran.
e. Macam-Macam Strategi Pembelajaran
Reigeluth15 dan Degeng mengklasifikasikan strategi sebagai cara-cara yang
berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda dibawah kondisi berbeda. Ia
membaginya kedalam tiga jenis yaitu strategi pengorganisasian, strategi penyampaian
materi, dan strategi evaluasi atau lebih dikenal dengan strategi penilaian.16
a) Strategi pengorganisasian
Strategi pengorganisasian merupakan cara untuk menata isi suatu materi
pembelajaran, dan kegiatan ini berhubungan dengan tindakan pemilihan isi/materi,
penataan isi, pembuatan diagram, format, dan sejenisnya. Strategi pengorganisasian
pembelajaran menjadi satu komponen sistem pembelajaran yang dipilih dan
dilaksanakan oleh guru dengan jalan mengkobinasikan lima komponen sistem
pembelajaran, yaitu yang terdiri dari pebelajar, pesan, bahan, alat, dan lingkungan,
agar tercapai tujuan belajar.17
b) Penyampaian materi
Strategi penyampaian merupakan cara untuk menyampaiakan pembelajaran pada
siswa atau untuk menerima serta merespon masukan dari siswa. Strategi
penyampaian isi pembelajaran menjadi komponen variabel metode untuk
melaksanakan proses pembelajaran.18 Fungsi strategi penyampaian pembelajaran

15
Reigeluth, C. M., Instructional Design Theories and Models: an Overview of their Current Status,
Instructional Design: What is it? New Jersey, (Publishers Hildshale, 1983), 162.
16
Degeng, I N. S, Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable, (Jakarta: Depdikbud, 1989), 109.
17
Bell & Stevenson, Education Policy : Process, Themes and Impact., (London : Routledge – Taylor &
Francis Group, 2006, 298..
18
Iskandarwassid, Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa…, 35.
adalah menyampaiakan isi pembelajaran kepada pembelajar, menyediakan
informasi atau bahan- bahan yang diperlukan pembelajar untuk menampilkan unjuk
kerja.
c) Strategi evaluasi
Strategi evaluasi merupkan upaya yang dilakukan oleh pendidik dalam mengukur
kemampuan siswa. Beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam ranah ini
diantaranya mencakup kemampuan sikap spiritual, sikap social, ranah pengetahuan,
dan keterampilan.19
2. Pendidikan Agama
a. Pengertian Pendidikan Agama
Harus diakui sejak awal bahwa pendidikan agama memegang peranan penting di
Indonesia. Ini telah diterapkan baik di bidang pendidikan formal maupun informal. Michael
Grimmit20 mengusulkan beberapa makna pendidikan agama. Secara komprehensif ia
membedakan pendidikan agama sebagai “belajar agama, belajar tentang agama, dan belajar
dari agama”. Pertama, pendidikan agama sebagai “belajar agama” berarti transmisi budaya,
kepercayaan, dan nilai-nilai agama dari satu generasi ke generasi berikutnya. Fungsi
pendidikan agama dalam perspektif ini adalah untuk melestarikan dan mewariskan nilai-
nilai dan tradisi keagamaan (multikultur). Kedua, pendidikan agama sebagai “belajar
tentang agama” berarti mempelajari agama secara murni objektif dan deskriptif, tidak
semata-mata menyerap atau menerima nilai-nilai agama. Pendekatan ini bisa disebut
sebagai bentuk objektif dari pengajaran agama. Terakhir, ketiga, “belajar dari agama”, yang
mengacu pada hal-hal berikut: keuntungan apa yang akan diperoleh individu yang belajar
agama; bagaimana mungkin agama dapat berkontribusi untuk menerangi masalah-masalah
umat manusia; dan bagaimana agama dapat membentuk karakter dalam diri peserta didik.
Tidak seperti Grimmit yang lebih suka memilih arti terakhir sebagai definisi pendidikan
agama, namun demikian, ketiga definisi di atas dapat diterapkan pada pendidikan agama di
Indonesia.

19
Sukamto, Pengaruh Strategi Pengorganisasian dan Kemandirian Mahasiswa terhadap Prestasi Belajar
Pengembangan Kurikulum Fakultas Tarbiyah IAIN Sumut. Tesis Medan: Unimed, 2006.
20
Michael Grimmit, Religious Education and Human Development, (Essex: McCrimmons, 1987), 67.
Dalam konteks ini, Jurgen Habermas21 dengan jelas membedakan tiga mode
pengetahuan: pengetahuan teknis, interpretatif, dan emansipatoris. Hal yang menarik
adalah betapa mungkin menempatkan pendidikan agama sebagai salah satu disiplin
emansipatoris dalam ilmu-ilmu sosial kritis yang tujuannya adalah kebebasan manusia,
sebagaimana dikemukakan oleh Habermas. Ketika pendidikan agama ditempatkan sebagai
salah satu disiplin ilmu emansipatoris, maka perannya tidak hanya mencakup studi agama,
tetapi juga mengungkap ambiguitas agama, membuka khazanah agama, aspek pembebasan
dan peneguhan kehidupan manusia. Pendidikan agama dalam pengertian ini memiliki
kekuatan baik untuk mendukung atau menurunkan ideal masyarakat yang majemuk; itu
tergantung pada bagaimana itu dibangun, dirumuskan, dan disampaikan. Jika pendidikan
agama ingin dipandang demikian, maka pendidikan agama harus mengambil sikap kritis.
Lebih lanjut, Donna M Gollich menyatakan bahwa pendidikan agama pada masyarakat
multikultural harus dibangun di atas nilai-nilai bersama masyarakat, jika ingin
mendapatkan hasil positif dari pembelajarannya, baik dalam pendidikan formal maupun
informal.22
Teori pendidikan agama lain yang ingin digunakan dalam makalah ini adalah teori
model pendidikan agama yang dikemukakan oleh Jack Seymour. Jack Seymour membagi
model pendidikan agama menjadi dua: (a) religious education “in the wall” dan (b)
religious education “at the wall”.23 Secara khusus, Jack Seymour menyatakan bahwa
pendidikan agama “in the wall” adalah model pendidikan agama yang hanya menyangkut
satu agama sendiri, tanpa menghubungkannya dengan agama lain. 24 Agama hanya
dijadikan sebagai kebenaran individu yang mutlak tanpa menghormati agama lain.25 Selain
itu, Jack Seymour juga menyatakan bahwa model berikutnya, “at the wall”, adalah model
pendidikan agama yang tidak hanya mementingkan agamanya sendiri, tetapi juga
mengaitkan dengan agama lain dan telah menggunakan istilah umum untuk berbicara

21
Jurgen Habermas, Human Knowledge and Interest ,(Boston: Beacon, 1971), 103.
22
Donna M. Gollich, Multicultural Education in Society, Pluralistik, (London: The CV Mosby Company,
1993), 195.
23
Jack Seymour. (ed.), Mapping Christian Education: Approaches to Congregational Learning (Nashville:
Abingtodon Press, 1997), 51.
24
Jack Seymour. (ed.), Mapping Christian Education: Approaches to Congregational Learning…, 58
25
Lynn Revell, “Religious Education, Conflict and Diversity: An Exploration of Young Children‟s
Perceptions of Islam,” Journal Educational Studies, Vol. 36/No. 2 (2010), 17
kepada dunia atau agama lain.26 Ini adalah fase transformasi iman dengan belajar dan
menghargai orang-orang yang berbeda keyakinan dan melakukan dialog antaragama.
Dalam pandangan Hyun-Sook Kim, pendidikan agama menghadapi tekanan untuk
menjaga keseimbangan antara persatuan dan keragaman di satu sisi dan membangun
budaya sipil global yang bertujuan untuk kesetaraan sipil, kebebasan, toleransi dan
pengakuan dalam komunitas global dan transnasional.27 Sedangkan, Tabita K. Christiana28
mengungkapkan teori model pendidikan agama untuk melawan tekanan terebut. Dia
mengedepankan model dengan menambahkan gagasan “beyond the wall”. Dengan kata
lain, inilah model praksis pendidikan agama. Pendidikan agama “beyond the wall” berarti
membantu siswa untuk bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda keyakinan untuk
perdamaian, keadilan, dan kerukunan. Ini adalah fase praksis iman, yaitu menghubungkan
antara teori dan praktik, iman dan tindakan, agar agama lebih bermakna bagi kehidupan
manusia dan untuk membuat dunia yang lebih baik. Perbedaan keyakinan pada tataran
eksoteris tidak berarti menjadi penghalang untuk bekerja sama memerangi musuh utama
agama, seperti kemiskinan, kekerasan, korupsi, manipulasi, dan sejenisnya.
Pendidikan agama sering dianggap sebagai mata pelajaran yang dapat memberikan
kontribusi bagi inisiatif seluruh sekolah, meskipun Lien memperingatkan bahwa, sebagai
akibatnya, pendidikan agama dapat kehilangan fokusnya sebagai mata pelajaran yang
terpisah.29 Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan kuat telah dibangun antara pendidikan
agama dan bentuk pengembangan pribadi, sosial, dan kesehatan, pendidikan moral dan
nilai-nilai, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan spiritual. Dalam hal demikian,
pendidikan agama berfungsi sebagai pengganti bentuk-bentuk pendidikan lainnya. Ini
merupakan langkah yang sejajar dengan pergeseran filosofis serupa dalam pendekatan
terhadap bahasa agama, terbukti dari pertengahan abad kesembilan belas dan menemukan
suara yang kuat, yang menyarankan bahwa bahasa agama berfungsi sebagai bentuk bahasa
moral yang tereifikasi. Bisa dibilang, hubungan semacam itu membantu menjelaskan

26
Tabita K. Cristiana, “Cristian Education for Peacebuilding in the Pluralistic Indonesian Context,” In
Religion, Civil Society and Conflict in Indonesia (Zurich: LIT Verlag GmbH & Co. Kg Wien, 2009), pp. 173-191.
27
Hyun Sook Kim, “Multicultural Religious Education in a Trinitarian Perspective,” Journal Religious
Education, Vol.107/No.3 (2012), 73
28
Tabita K. Cristiana, “Cristian Education for Peacebuilding in the Pluralistic Indonesian Context,” In
Religion, Civil Society and Conflict in Indonesia,” (Zurich: LIT Verlag GmbH & Co. Kg Wien, 2009), 173-191
29
Lynn Revell, “Religious Education, Conflict and Diversity: An Exploration of Young Children‟s
Perceptions of Islam,” Journal Educational Studies, Vol. 36/No. 2 (2010), 17.
ekspektasi persaingan pendidikan agama dari pemangku kepentingan yang berbeda di
masyarakat dan pendidikan sekolah- ekspektasi yang tidak hanya terkait dengan hasil ujian
dan penyerapan mata pelajaran oleh murid sekolah tetapi lebih terkait dengan berbagai
konstruksi nilai.
Masyarakat sipil dapat menyimpan harapan bahwa subjek harus melahirkan toleransi
dan rasa saling menghormati antara kelompok agama dan budaya yang berbeda. Orang tua
dapat mengharapkan subjek untuk memberikan latar belakang dan literasi dalam agama
yang banyak dari mereka tidak lagi mampu atau mau berikan. Komunitas agama sering
mengharapkan pendidikan agama di sekolah untuk membantu mereka dalam pembentukan
dan pengembangan identitas agama dan dapat mencoba untuk memaksakan representasi
ortodoks agama mereka secara eksklusif untuk memastikan kepatuhan dan kesinambungan
dalam tradisi mereka.30
b. Sejarah Penddikan Agama di Indonesia
Secara historis, dinamika perkembangan pendidikan agama di Indonesia dimulai dari
Soekarno, Soeharto, dan era reformasi. Pendidikan agama telah diperkenalkan di sekolah-
sekolah formal sejak awal kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1946, BPKNIP (Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) memutuskan bahwa agama pendidikan harus
menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional dan harus dimasukkan ke dalam kurikulum
nasional. Pada tahun yang sama, pemerintah melalui Departemen Agama dan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan keputusan bersama yang menyebutkan bahwa
pendidikan agama hanya akan diajarkan dari kelas 4 hingga kelas 6 SR (Sekolah Rakyat).
Namun SKB ini tidak efektif karena kondisi Indonesia yang belum stabil, terbukti dengan
pendidikan agama di luar Jawa diajarkan sejak kelas 1 SD. Untuk itu pemerintah
membentuk Majelis Pertimbangan Ajaran Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki
Hajar Dewantoro dan Abdullah Sigit, untuk mendesain ulang pendidikan agama di sekolah
formal.31
Pada tahun-tahun berikutnya, terjadi gejolak politik sejak Soekarno mengeluarkan
dekrit pada 5 Juli 1959, dan perubahan politik ini turut andil dalam perubahan pendidikan
agama. Dalam rapat paripurna MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada

30
Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme
Paradigma Baru Islam Indonesia, (Jakarta: LSAF and Paramadina, 2010), 492- 494.
31
Zuhairini, et al., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 154.
bulan Februari 1960, tentang pendidikan agama (Bab III pasal 3) diputuskan bahwa
“pendidikan agama menjadi mata pelajaran yang diajarkan di sekolah umum, dari sekolah
dasar hingga universitas,” dengan syarat orang tua mengizinkan anak-anak mereka
mengambil mata pelajaran itu. Sebaliknya, jika orang tua mereka tidak mengizinkan
mereka untuk mengambil, mereka mungkin meninggalkan kelas. Hal ini berbeda dengan
UUPP No. 4 Tahun 1950 pasal 20 butir 1 yang menyatakan bahwa pendidikan agama
hanya diajarkan di sekolah umum sejak SD hingga SMP.
Setelah itu, pada awal rezim Soeharto terjadi perubahan radikal dalam hal pendidikan
agama. Pada masa sebelumnya, pendidikan agama hanya bersifat opsional, artinya hanya
dapat ditempuh dengan izin orang tua. Sebaliknya, di era Soeharto, pendidikan agama
menjadi mata pelajaran wajib dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kebijakan ini,
mungkin didasarkan pada dua alasan: pertama, untuk mencegah mahasiswa dari pengaruh
komunisme, musuh bersama negara; dan kedua, untuk menunjukkan semakin pentingnya
agama dalam politik nasional.16 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan
agama telah digunakan oleh Soeharto untuk melawan komunisme dan untuk menunjukkan
sikapnya terhadap agama. Memperhatikan semua peristiwa di atas, sebenarnya dasar
pengaturan yang mewajibkan pendidikan agama adalah ketetapan TAP MPRS No. XXII/
MPRS 1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan, Angka 1 yang menyatakan
bahwa pendidikan agama adalah wajib dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi negeri. 32
Oleh karena di atas, sejak tahun 1966, di mana Soeharto sudah berkuasa, pendidikan
agama menjadi wajib. Pada tanggal 23 Oktober 1967, Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan keputusan bersama yang memutuskan siswa
kelas 1, dan 2 SD diajarkan pendidikan agama dua jam seminggu, kelas 3, 3 jam seminggu,
dan kelas 4-6, 4 jam seminggu. Karel Steenbrink33 mengatakan bahwa pada tahun 1970
Menteri Agama berupaya menambah jam pelajaran agama di tingkat SD dan SMP menjadi
6 jam seminggu. Hal ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan kementerian untuk
memperluas pendidikan agama di sekolah, meskipun Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan tidak memberikan izin.

32
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-dasar Pendidikan pada
Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), 422.
33
Karel Stenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern.., 19.
Ada banyak bagian menarik dalam Undang-Undang Pendidikan No. 20 Tahun 2003
tentang pendidikan agama. Pasal 12, ayat 1, bagian a, misalnya, mengatakan bahwa “Setiap
siswa di setiap satuan pendidikan berhak untuk (a) menerima pendidikan agama menurut
keyakinannya sendiri dari seorang guru yang beragama itu.” Pasal ini kemudian diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Pasal 3 Ayat 1 yang
mengatakan bahwa “Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama” dan Pasal 4 Ayat 2 menyatakan,
“Setiap siswa pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak memperoleh
pendidikan agama menurut keyakinannya sendiri.
Namun, pernyataan “setiap siswa berhak menerima pendidikan agama menurut
keyakinannya sendiri dari seorang guru yang menganut agama tersebut” merupakan
pernyataan yang kontroversial. Sebelum Undang-Undang Pendidikan No. 20 Tahun 2003
diterbitkan dan dilaksanakan, telah terjadi aksi unjuk rasa yang pro dan kontra terhadap
undang-undang tersebut, dan khususnya terkait dengan pasal ini. Bagi yang mendukung
memiliki. keyakinan." undang-undang yang sebagian besar beragama Islam berpendapat
bahwa undangundang itu ideal, karena dapat melindungi hak individu untuk menerima
pendidikan agama dari guru agama itu, terlepas dari sekolah apa yang dia ambil. Faktanya,
banyak orang tua Muslim mengirim anak-anak mereka ke sekolah Kristen, dengan alasan
bahwa yang terakhir dapat memberikan kualitas pendidikan yang baik, tetapi mereka
khawatir tentang dua hal: anak itu mungkin masuk Kristen atau menjadi Muslim yang
skeptis dan tidak berkomitmen.
Untuk menghindari siswa Muslim masuk Kristen atau membuat mereka skeptis
terhadap agama mereka sendiri, beberapa pemimpin Muslim terkemuka menyarankan tiga
hal: pertama, mereka meminta komunitas muslim untuk tidak belajar di sekolah Kristen;
kedua, umat Islam harus berusaha membangun dan mengembangkan sekolah swasta Islam
yang lebih berkualitas untuk bersaing dengan sekolah Kristen; ketiga, mereka menuntut
pemerintah untuk membuat peraturan yang mewajibkan setiap sekolah swasta untuk
memberikan mata pelajaran agama sesuai dengan agama para siswanya. 34 Untuk
menghindari hal tersebut terjadi, mereka tidak mengizinkan anak-anaknya mengenyam

34
Mujiburrahman, “Kebijakan Negara tentang Keberagaman Umat Beragama di Indonesia…, 127.
pendidikan agama di luar agama yang dianutnya agar nilai-nilai pendidikan islam tidak
ternodai oleh paham lain.
Membicarakan mengenai Pendidikan Agama Islam, ia dihadirkan sebagai upaya
sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, mememahami,
mengimani, bertakwa, berakhalak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari al-Quran
dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan
pengalaman.35 Sejalan dengan itu, Mujtahid menyatakan bahwa Pendidikan Agama Islam
merupakan kajian yang berisi ajaran pokok, meliputi permasalahan aqidah, syari'ah, dan
akhlak. Tiga ajaran pokok kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, islam, dan
ihsan. Dari ketiganya lahirlah ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu akhlak. Terdapat pro dan
kontra dalam hal ini, ada yang mnyatakan bahwa ajaran tersebut belum mampu
menjadikan peserta didik memiliki keunggulan yang utuh dan integratif dalam dirinya,
sedang pihak lain menyatakan bahwa ajaran ini cukup untuk dijadika sebagai pegangan. 36
Perbedaan pandangan ini cukup dijadikan sebagai alasan bahwa pendidikan Agama Islam
seharusnya bersentuhan dengan segala aspek kehidupan manusia yang bersumber pada al-
Qur'an, hadits, serta penalaran logis dari hasil observasi yang kaya dengan pengetahuan dan
pengalaman kehidupan.
c. Dimensi Pemikiran Pendidikan Agama
Para ulama memiliki dimensi yang berbeda dalam merumuskan pemikiran Pendidian
Agama Islam. Perbedaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama dimensi
penciptaan, pada ranah ini pendidikan Islam diarahkan kepada pencapaian target yang
berkaitan dengan hakekat penciptaan manusia oleh Allah SWT yang bertujuan untuk
membimbing perkembangan peserta didik secara optimal agar menjadi pengabdi kepada
Allah yang setia. Kedua dimensi tauhid, pada ranah ini disebutkan bahwa tujuan
Pendidikan Islam diarahkan kepada upaya pembentukan sikap takwa. Ketiga dimensi
moral, bagian ini manusia dipandang sebagai sosok individu yang memiliki potensi
fitriyah. Maksudnya bahwa sejak dilahirkan, pada diri manusia sudah ada sejumlah potensi
bawaan yang diperoleh secara fitrah. Menurut M. Quraish Shihab, potensi ini mengacu
kepada tiga kecenderungan utama yaitu benar, baik dan indah. Dalam hubungan dengan

35
Muhaimin, et al., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, (Bandung: Rosdakarya, 2001).
36
Mujtahid, Kurikulum Pendidikan Agama Islam.., 2011.
dimensi moral ini, maka pelaksanaan pendidikan ditujukan kepada upaya pembentukan
manusia sebagai pribadi yang bermoral. Tujuan pendidikan dititikberatkan pada upaya
pengenalan terhadap nilai-nilai yang baik dan kemudian menginternalisasikannya, serta
mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam sikap dan perilaku melalui pembiasaan.37
Tafsir mengemukakan bahwa dalam merumuskan materi pendidikan Islam harus
mempertimbangkan lima prinsip. Pertama, mata pelajaran ditujukan untuk mendidik rohani
atau hati, artinya, materi itu berhubungan dengan kesadaran ketuhanan yang mampu
diterjemahkan ke dalam setiap gerak dan langkah manusia. Kedua, mata pelajaran yang
diberikan berisi tentang tuntunan cara hidup yang tidak melulu membahas ilmu fiqh dan
akhlak tetapi ilmu yang menuntun manusia untuk meraih kehidupan yang unggul dalam
segala dimensinya. Ketiga, mata pelajaran yang disampaikan hendaknya mengandung
ilmiah sebagai ilmu yang mendorong rasa ingin tahu manusia terhadap segala sesuatu yang
perlu diketahui. Keempat, mata pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis
bagi kehidupan, intinya bahwa materi mengajarkan suatu pengalaman, keterampilan, serta
cara pandang hidup yang luas. Kelima, mata pelajaran yang disampaikan harus
membingkai terhadap materi lainnya. Jadi, ilmu yang dipelajari berguna untuk ilmu
lainnya.38 Untuk itu individu perlu diberi kemampuan mengkonsep, kreativitas, tanggung
jawab, dan keterampilan,39 sebab mereka adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi
dengan lingkungan sesamanya.
Dalam menentukan kelancaran lima prinsip tersebut, maka diperlukan strukur
kurikulum yang kokoh untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kurikulum
PAI sebagai kumpulan rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan, serta cara
pembelajaran digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran dalam ranah al-
Qur‟an Hadits, Aqidah Akhlaq, Fiqih, Tarikh, dan Kebudayaan Islam. 40 Hadirnya
dicantumkan dalam kesatuan yang integral bersamaan dengan bidang studi lainnya pada
satuan kurikulum sekolah. Setiap guru agama diharapkan dapat mempelajari dengan baik
melalui teknik pengajaran interaktif dan komunikatif, bertindak sebagai pembimbing, dan
dapat mengkoordinir lingkungan serta menyediakan fasilitas agar anak dapat belajar

37
Naizar, Tantangan Pendidikan di Era 4.0, (Jakarta: Widya Pustaka, 2018), 21.
38
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda karya, 1994)
39
Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah Menengah, (Bandung: Sinar Baru, 2019)
40
Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
mandiri.41 Kurikulum PAI di sekolah dimaksudkan agar peserta didik berkembang sebagai
manusia yang beriman dan bertaqwa, memiliki pengetahuan agama yang luas, dan
berakhlaqul karimah.42 Untuk itu, dibutuhkan kurikulum PAI yang kontekstual yang
beradaptasi dengan permasalahan kontekstual.
Dalam menghadapi perkembangan zaman yang terus mengalami perubahan, hanya
sebagian kecil sekolah saja yang mampu menyesuaikan diri.43 Pembelajaran PAI yang
memiliki peran besar dalam ranah pendidikan akhlak belum sepenuhnya
berhasil.membetuk peserta didik yang beradab.44 Fenomenaa ini dapat kita amati dari
tingginya kasus kekerasan yang dilakukan oleh kalagan peserta didik, khusunya jenjang
setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Data yang diunggah KPAI sebagaimana yang
dikutip oleh Malvinas mennjelaskan, banyak kasus perkelahian antar pelajar seperti
pelecehan,45 tawuran,46 pemerkosaan,47 dan bullying.48 Pada tahun 2014, terdapat 67 kasus
dimana anak melakukan tindakan kriminal. Pada tahun 2015 jumlah tersebut meningkat
menjadi 79 dengan kasus kekerasan. Sedang tahun 2016 terdapat 530 anak sebagai pelaku
kekerasan dan 477 anak yang menjadi korban. Asbab cakupan materi PAI meliputi etika
dan budi pekerti,49 maka fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, dimanakah peran
PAI sejauh ini.
d. Menyusun Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Asbab mayoritas pelaku tindak kriminalitas di kalangan pelajar adalah mereka yang
duduk di bangku SMA sederajat, maka kurikulum PAI harus mengalami perubahan-
perubahan paradigma yang dapat menyelesaikan permasalahan konntemporer. Satu
diantaranya adalah dengan mengimplementasikan teori Moh Yamin yang menawarkan lima
41
Rahmat Raharjo, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Magnum Pustaka, 2010),
35.
42
Rahmat Raharjo, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam,... 94.
43
Drajat, Zaskiah, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 40.
44
Rahmat Raharjo, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, ....73.
45
Malvinas Rahman and Aliman Aliman, “Model Analysis of Religious Character Education in State-
Owned Islamic School‟, Journal of Educational Management and Leadership, 1.1 (2020), 14–21,
https://doi.org/10.33369/jeml.1.1.14-21.
46
Elly Malihah, Bunyamin Maftuh, and Rizki Amalia, “Tawuran Pelajar: Solidarity in the Student Group
and Its Influence on Brawl Behaviour‟, Jurnal Komunitas: Research & Learning in Sociology and Antrhropology,
6.2 (2015), 212–21 https://doi.org/10.15294/komunitas.v6i2.3301.
47
Lidwina Hana, “Kasus Pemerkosaan Dan Pembunuhan Yuyun Dalam Kacamata Kultur Patriarki‟,
An1mage,” Jurnal Studi Kultural, 2016, https://www.academia.edu/25805861/Kasus_Pemerkosaan_dan_Pem.
48
Krisshania, Studi Kasus Bullying Sman 1 Semarang Ditinjau Dari Teori Tindakan Manusia Dan Tatanan
Moral Subjektif, (Madiun: Universitas Katolik Widya Mandala, 2018)
49
Moh. Yamin, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, (Yogyakarta: Diva Press, 2009), 12.
perubahan pada ranah pendidikan Agama di SMA, diantaranya,50 (1) perubahan dari
tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran- ajaran Agama Islam,
serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari Timur Tengah, kepada
pemahaman tujuan, makna dan motivasi beragama Islam untuk mencapai tujuan
pembelajaran, (2) perubahan dari cara berpikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada
cara berpikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-
ajaran dan nilai-nilai agama Islam; (3) perubahan dari tekanan pada produk atau hasil
pemikiran keagamaan Islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinga
sehingga menghasilkan produk tersebut; dan (4) perubahan pada pola pengembangan
kurikulum PAI yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun
isi kurikulum PAI kearah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik,
masyarakat untuk mengidensifikasi tujuan PAI dan cara-cara mencapainya.
Selain di atas, kurikulum Pendidikan Islam haruslah bersifat intergrated dan
komprehensif yang menjadikan al-Qur‟an dan hadis sebagai sumber utama dalam
penyusunan materi pembelajaran. Hal ini dapat diselaraskan dengan teori pendidikan Al-
Ghozali yang menggunakan keteladanan, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-
sifat keutamaan kepada siswa. Theori pendidikan Ghozal mengatakan bahwa pendidikan
adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan erat antara dua pribadi, yaitu guru dan
murid.51 Pendidikan agama dan akhlak merupakan sasaran Al Ghazali yang paling penting.
Dia memberikan metode yang benar untuk pendidikan agama, pembentukan akhlak dan
pensucian jiwa. Dia berharap dapat membentuk individu-individu yang mulia dan
bertaqwa, selanjutnya dapat menyebarkan keutamaan-keutamaan kepada seluruh umat
manusia.
Sejalan dengan ungkapan Ghozali, didalam al-Quran dan hadis ditemukan kerangka
dasar yang dapat dijadikan sebagai perwujudan pedoman operasional dalam penyusunan
dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Kerangka dasar tersebut adalah tauhid
dan perintah membaca.52 Tauhid sebagai dasar utama kurikulum harus dimantapkan
semenjak masih bayi. Dimulai dengan menperdengarkan kalimat-kalimat tauhid seperti

50
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006). 82.
51
Amie Primarni dan Khairunnas, Pendidikan Holistik Formata Baru Pendidikan Islam Membentuk
Karakter paripurna, (Jakarta AMP Press, PT Al Mawardi Prima), 129.
52
Rachman Shaleh, Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Dasar, (Jakarta: Bulan Bintang, 2017), 21.
azan atau iqamah terhadap anak yang baru lahir. Tauhid sebagai falsafah dan pandangan
hidup umat Islam meliputi konsep ke Maha Esaan Allah, serta ke unikan Allah atas semua
makhluknya, Allah SWT, unik dan Esa dalam perbuatan. Tauhid merupakan prinsip utama
dalam seluruh dimensi kehidupan manusia baik hubungan vertikal dengan Allah maupun
hubungan horizontal dengan manusia dengan alam. Tauhid seperti inilah yang dapat
menyusun pergaulan yang harmonis sesamanya. Kita dapat mewujudkan tata dunia yang
harmonis kosmos yang penuh tujuan, persamaan sosial, persamaan kepercayaan,
persamaan jenis dan ras, persamaan dalam segala aktivitas dan kebebasan bahkan seluruh
masyarakat dunia adalah sama yang disebut “ummatan wahidah”.
Firman Allah SWT tentang perintah membaca termaktub dalam Alquran Surah ke 96
ayat 1-5. Perintah membaca ini merupakan bahan pokok pendidikan yang mencakup
seluruh ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia. Membaca selain melibatkan
proses mental yang tinggi, pengenalan (cognition), ingatan (memory), pengamatan
(perception), pengucapan (verbalization), pemikiran (reasoning), daya cipta (creativity)
juga sekaligus merupakan bahan pendidikan itu sendiri. Kurikulum sebagai salah satu
komponen pendidikan yang sangat berperan dalam mengantarkan pada tujuan pendidikan
yang diharapkan, harus mempunyai dasar-dasar yang merupakan kekuatan utama yang
mempengaruhi dan membentuk materi kurikulum, susunan dan organisasi kurikulum.
Dasar-dasar dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam dinisbatkan pada dasar agama,
falsafah, social, psikologis, dan organisatoris.53

3. Post truth sebagai Budaya Baru di Era Informasi Teknologi


Pada tahun 2016, post truth dinyatakan sebagai Word of the Year oleh Oxford
Dictionaries.54 Ada perbedaan mendasar antara konsep seperti post-natal, post-surgery, dan
post-sexualism hingga sampai pada kata Post truth.55 Post pada pengertian sebelumnya
menunjukkan urutan kronologis, sesaat setelah situasi atau peristiwa tertentu terjadi.
sedangkan konsep awalan post dalam kata post truth mengacu pada waktu di mana ide
yang ditentukan dalam kasus kebenaran telah menjadi berlebihan. Seperti yang dijelaskan
oleh Kamus Oxford, alih-alih hanya merujuk pada waktu setelah situasi atau peristiwa

53
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara), hal. 95.
54
Leith, Sam . 2017. “Nothing Like the Truth.” Times Literary Supplement, August 16, 2017.
55
Foucault, Michael . 1979. The History of Sexuality, Vol. 1. London: Allen Lane, 1979.
tertentu seperti dalam post-war atau post-match, awalan dalam post truth memiliki arti di
mana waktu yang ditentukan konsep menjadi tidak penting atau tidak relevan. Nuansa ini
tampaknya berasal pada pertengahan abad ke-20, dalam formulasi seperti post-national
pada 1945 dan post-rasial tahun 1971.56 Demikian pula, awalan post dalam post truth
bukanlah referensi kronologis untuk sesuatu. yang terjadi setelah kebenaran, melainkan
pernyataan tentang fakta bahwa kebenaran tidak lagi esensial, bahwa kebenaran telah usang
dan kebenaran telah digantikan oleh realitas baru.57
a. Definisi Post Truth
Kamus Oxford mendefinisikan post truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu
berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. 58
Fenomena ini menurut Kapolkas dapat mengubah cara pandang publik akan suatu hal,
imbasnya setelah informasi beredar, publik tidak mencari kebenaran atas berita tersebut.
Namun, publik mencari pembenaran atas keyakinan pribadinya berkaitan dengan informasi
yang diterimanya. Suatu berita bohong yang disebarkan oleh banyak orang memiliki
potensi yang tinggi untuk dipercaya oleh publik. Dalam teorinya, Keyes mengatakan bahwa
post truth adalah pengaburan batas antara kebohongan dan pengungkapan kebenaran, fakta
dan fiksi.59 Hal ini sejalan dengan teori Llorente yang mengemukakan bahwa merebaknya
post truth menimbulkan persepsi bahwa kebohongan merupakan hal yang biasa. Michael
A. Peters menceritakan bahwa kebohongan yang dilakukan terus menerus akan dianggap
menjadi sebuah kebenaran.60
Oxford English Dictionary (OED) memberikan definisi post truth sebagai kata sifat
yang menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk
opini publik daripada menarik emosi dan kepercayaan pribadi.61 Definisi ini tidak salah,
dan merupakan titik awal yang berguna untuk analisis konseptual post truth, tetapi ada
lebih banyak post truth daripada yang disarankan oleh definisi ini. Definisi OED berpusat

56
Dikutip pada laman https://en.oxforddictionaries.com/word-of-the-year/word-of-the-year-2016.
57
Bozóki, András, Hegedűs, Dániel 2018. “An Externally Constrained Hybrid Regime: Hungary in the
European Union.” Democratization 25, no. 7: 1173–89.
58
Eken, M. Evren. 2019. “How Geopolitical Becomes Personal: Method Acting, War Films and Affect.”
Journal of International Political Theory, doi:1755088219832328.
59
Kapolkas, I, A Political Theory of Post Truth, Klaipeda, (Lithuania: Palgrave Macmillan, 2018).
60
Michael A. Peters, S. R, Post-Truth, Fake News Viral Modernity & Higher Education, (Singapore:
Springer Nature, 20018).
61
Cooke, Maeve . 2019. “Discourse Ethics.” In Routledge Companion to the Frankfurt School, edited by
Gordon, Peter E., Hammer, Espen, 65–81. London: Routledge.
pada sifat subjektif dari post truth berbeda dengan sifat objektif dari kebenaran, yang
berpotensi menyesatkan. Sementara subjektivisme merupakan fitur penting dari Post truth,
ini belum tentu merupakan karakteristik utama atau khasnya. Untuk melihat apa yang
membuat Post truth menjadi konsep politik yang mengganggu, perlu dibedakan Post truth
dari dua konsep lain yang dapat dengan mudah dikacaukan: kebohongan, dan omong
kosong.
Kita dapat melihat perbedaan antara post truth dan kebohongan dengan
membandingkan dua pernyataan oleh dua capres presiden Amerika. Yang pertama adalah
tweet Donald Trump, pada 6 November 2012;62
“Konsep peringatan global dibuat oleh dan untuk China agar manufaktur AS tidak
kompetitif'.”
Yang kedua adalah kesaksian Bill Clinton, pada 26 Januari 1998;
“Saya ingin mengatakan satu hal kepada orang-orang Amerika, saya ingin Anda
mendengarkan saya, saya akan mengatakan lagi, saya tidak melakukan hubungan seksual
dengan wanita itu, Nona Lewinsky.”
Pernyataan Clinton memperlihatkan adanya kemungkinan bahwa dengan menarik secara
teknis Clinton tidak menganggap interaksi intimnya dengan Monica Lewinsky sebagai
hubungan seksual yang membutuhkan kecerdikan untuk mempertahankan integritasnya.
Tweet Trump juga menggelisahkan, tetapi untuk alasan yang berbeda. Dalam kasus
Clinton, dia berbohong, sedangkan pernyataan Trump adalah contoh paradigmatik post
truth. Hingga dapat disimpukan bahwa pembohong akan menerima bahwa ada kebenaran,
tahu apa itu kebenaran, tetapi memutuskan untuk menceritakan kisah yang berbeda.
Kebohongan mengacu pada fakta spesifik yang memiliki koordinat spatio-temporal yang
tepat, oleh karena itu, seperti yang ditunjukkan oleh Richard,63 pembohong menghormati
kebenaran dengan menyangkalnya. Kasus Trump berbeda. Dia tidak mengacu pada fakta,
tetapi pada konsep. Inilah yang dilakukan Post truth, ia tidak hanya menyangkal atau
mempertanyakan fakta tertentu, tetapi bertujuan untuk merusak infrastruktur teoretis yang

62
Diunduh dari laman https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0191453719896382 pada 7 Maret
2022.
63
Richard, Mark, When Truth Gives Out., Oxford: Oxford University Press, 2008.
memungkinkan terjadinya percakapan tentang kebenaran.64 Dalam pengertian ini, Post
truth mirip dengan apa yang Miranda Fricker sebut ketidakadilan hermeneutis, yang
mengacu pada kasus-kasus ketika seseorang tidak mampu memahami pengalaman karena
kekurangan prasangka dalam sumber daya bersama untuk interpretasi sosial, atau dengan
kata lain, ketika seseorang dirugikan oleh semacam kesenjangan dalam pemahaman
kolektif yang membuat pengalaman sendiri tidak dapat dipahami.65
Atas dasar perbedaan konseptual antara post truth dan kebohongan, Blucburn
mendefinisikan post truth sebagai strategi yang disengaja dengan tujuan untuk menciptakan
lingkungan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik, di
mana kerangka teoretis dirusak untuk membuat seseorang tidak mungkin memahami
peristiwa, fenomena, atau pengalaman tertentu, dan di mana kebenaran ilmiah
didelegitimasi.66 Dibandingkan dengan apa yang diungkap OED, definisi ini memiliki dua
keunggulan. Pertama, ia mencakup dimensi ketidakadilan epistemik, di mana Post truth
digunakan dengan maksud merusak hubungan seseorang dengan kebenaran. Kedua, Post
truth berada di garis depan krisis legitimasi baru, sejauh Post truth mendelegitimasi klaim
sains tentang kebenaran. Berdasarkan definisi ini, sekarang kita dapat membahas masalah
mengapa Post truth menjadi masalah besar saat ini, asal-usulnya, dan apa yang harus
dilakukan untuk mengatasinya.
b. Posh Truth sebagai Sebuh Fenomena
Kita telah melihat bahwa Post truth adalah penemuan yang kuat, bukan yang tidak
berdaya. Itu datang dari atas, khususnya dengan maksud untuk merusak Kebenaran, yang
menurut Hannah Arendt bersifat memaksa, dan mungkin tidak nyaman bagi mereka yang
berkuasa.67 Ciri khas dari fenomena Post truth adalah ia menggunakan persenjataan
kebenaran melawan kebenaran itu sendiri, dengan kata lain post truth secara ironis
menemukan validasi dalam teori-teori kebenaran. Post truth mengacu pada gagasan
konsensus untuk melemahkan konsensus seputar kebenaran. Di sinilah letak paradoksnya:
Post truth meminjam landasan teoretis Kebenaran yang sama untuk meruntuhkan fondasi
64
Hannah Arendt‟s perceptive and timeless observations on „Truth and Politics‟, originally published in
1967.
65
Elkin, Jeremy, Norris, Andrew, eds Truth and Democracy. Philadelphia: University of Pennsylvania
Press, 2012.
66
Blackburn, Simon, Simmons, Keith. “Introduction.” In Truth, edited by Blackburn, S., Simmons, K., 1–
28. Oxford: Oxford University Press, 1998.
67
Ball, James, Post-Truth: How Bullshit Conquered the World. (London: Biteback, 2017).
Kebenaran. Post truth menggunakan gagasan konsensus, yang merupakan pusat literatur
tentang Kebenaran, untuk melemahkan konsensus seputar Kebenaran dan melegitimasi
gagasan post truth.
Untuk memahami fenomena Post truth, kita harus mulai dengan memahami kebenaran,
dan khususnya landasan filosofis kebenaran. Salah satu konsepsi kebenaran yang
berpengaruh, yang didukung oleh Habermas, adalah dalam hal konsensus hipotetis dan
rasional. Teori kebenaran konsensus Habermas, dan situasi bicara ideal yang terkait erat,
telah menjadi subyek banyak pujian dan beberapa perdebatan kritis dalam beberapa dekade
terakhir.68 Apa yang telah berlalu perlu disoroti sebagai sebuah konsensus yang sama-sama
menggunakan pendekatan berbasis post truth. Dengan kata lain, beberapa teori kebenaran
dan post truth memiliki asal-usul yang sama: konsensus. Ini, sebagian, dapat membantu
menjelaskan kebangkitan post truth saat ini. Ide post truth secara filosofis tidak serumit dan
sehalus teori kebenaran mana pun, atau pendukungnya secanggih apa pun, namun ia juga
menarik konsensus untuk pembenaran dan validasinya. Kelihatannya aneh, post truth
mewakili jenis konsensus, yang dibangun di atas paradoks: ia menarik konsensus sebagai
cara untuk merusak konsensus lain.
Post truth tidak akan pernah hilang. Jika ada ruang untuk kebenaran dalam wacana
ilmiah dan sosial kita, akan selalu ada seseorang yang siap untuk mempromosikan post
truth. Juga tidak ada gunanya membuang energi dalam permainan menyalahkan yang
kurang lebih canggih: selalu ada, dan akan selalu ada, pendukung post truth. Arendt
mengatakan bahwa kebenaran dibenci oleh para tiran karena mereka takut akan persaingan
kekuatan koersif yang tidak dapat mereka monopoli.69 Dia benar, tetapi hanya sebagian.
Lebih tepat dikatakan bahwa kebenaran dibenci (hampir) semua politisi, bukan hanya tiran.
Demokrasi liberal tumbuh subur di atas ketidaksepakatan, dan konflik. Di mana tidak ada
ketidaksepakatan, ada kediktatoran, tetapi di mana ada ketidaksepakatan, ada potensi untuk
banyak konsensus, dan seperti yang telah kita lihat, banyak konsensus adalah lahan subur
bagi Post truth untuk tumbuh. Mengingat Post truth akan tetap ada di sini, masalahnya
adalah bersiap untuk itu ketika ia mengangkat kepalanya, seperti yang pasti akan terjadi,
dan memiliki mekanisme untuk memeranginya.

68
Cooke, Maeve . 1993. “Habermas and Consensus.” European Journal of Philosophy 1, no. 3: 247–67.
69
Arendt, Hannah, “Truth and Politics.” In The Portable Hannah Arendt, edited by Baehr, Peter , 545–575.
Harmondsworth: Penguin, 2000.
Post truth dapat diperjuangkan di tiga front yang berbeda: institusional, moral dan
filosofis. Pada tingkat institusional, ancaman Post truth dapat dikurangi dengan dua cara
terpisah. Pertama, melalui konsolidasi checks and balances dalam konstitusi campuran
antara tiga cabang utama pemerintahan: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam beberapa
tahun terakhir, kita telah menyaksikan serangan yang meningkat terhadap pemisahan
cabang-cabang pemerintahan yang berbeda dari politisi yang tidak bermoral yang secara
keliru percaya bahwa mereka yang memegang kendali kekuasaan eksekutif memiliki hak
untuk melakukan kontrol atas peradilan. Perkembangan terakhir di Hungaria, misalnya,
menunjukkan bahwa Perdana Menteri Viktor Orbán mencoba membatasi independensi
peradilan dengan membatasi kebebasan hakim untuk menafsirkan undang-undang, yang
merupakan ancaman serius bagi supremasi hukum di Hungaria. 70
Permasalahan utama pendidikan di era post trurh adalah bagaimana cara sebuah
informasi disampaikan kepada orang lain daripada apa isi informasi yang disampaikan.
Fokusnya adalah kepada bagaimana melihat, mendengarkan serta membaca fakta yang
lebih dekat dengan ideologi dan pendapat pribadi setiap manusia. Sehingga setiap orang
memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai sebuah informasi, tergantung pada
ideologi dan pendapat personal.71 Post truth berkembang pesat di kalangan masyarakat
yang sudah diwarnai arus informasi, sedang mereka mengalami ketidakpuasan dan
kekecewaan terhadap politik. Apa yang terjadi dalam post truth adalah relativisasi
kebenaran dengan objektivitas data, dramatisasi pesan jauh lebih penting daripada isi pesan
itu sendiri. Era post truth membuat narasi selalu mengalami kemenangan mutlak terhadap
data dibandingkan dengan fakta, era ini sangat memerlukan fact-checking atau pemeriksaan
terhadap suatu fakta.72
Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media
arus utama dan para pembuat opini. Fakta-fakta bersaing dengan hoax dan kebohongan
untuk dipercaya publik. Media mainstream yang dulu dianggap salah satu sumber
kebenaran harus menerima kenyataan semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan ke-
70
Bozóki, András, Hegedűs, Dániel 2018. “An Externally Constrained Hybrid Regime: Hungary in the
European Union.” Democratization 25, no.7.
71
Keyes, R. (2004). The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life, (New York: St.
Martin's Publishing Group).
72
Fathul Wahid, Musa Asy‟arie, Haryatmoko, „‟Etika Media Sosial di Era Post-Truth‟‟ (Diskusi publik,
Jogjakarta, 12 Desember 2018), https://www.youtube.com/watch?v=eF0dieNrSE8, diakses: 10/12/2021 Pkl. 20.00
WIB.
bohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi.Secara sederhana, post-truth dapat
diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran dari pada kebenaran. Di Ukraina
tumbangnya presiden Ukraina diawali dengan sebuah status di medsos yang dibuat seorang
jurnalis di Facebook yang dilanjutkan dengan seruan berkumpul di Lapangan Maidan di
Kiev, di Rusia, Presiden Putin memanfaatkan medsos sebagai kampanye terselubung
kepada negeri tetangganya seperti Ukraina, Prancis, dan Jerman.Bahkan Senat Amerika
pernah memanggil perwakilan Google, Facebook dan Twitter dalam kasus mengarahkan
suara pemilih dan memecah belah masyarakat yang diduga melibatkan Rusia.Di Inggris
referendum Brexit secara efektif menggunakan medsos seperti Facebook untuk memasang
iklan. Trump juga menggunakan medsos untuk kampanye mempengaruhi pemilih dengan
membuat 50.000-60.000 iklan yang berbeda di medsos, utamanya di Facebook.
Post-truth sengaja dikembangkan dan menjadi alat propaganda dengan
tujuan mengolah sentimen masyarakat sehingga bagi yang kurang kritis akan dengan
mudah terpengaruh yang diwujudkan dalam bentuk empati dan simpati terhadap agenda
politik tertentu yang sedang diskenariokan. Berita/informasi yang disampaikan, meskipun
menjanjikan sesuatu yang indah dan menyenangkan, belum dapat dikatakan suatu
kebenaran, sebaliknya, bukan pula sesuatu yang nyata akan terjadi, apabila diungkapkan
berupa ancaman atau sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan dan ketakutan serta
menciptakan kondisi yang tidak produktif. Salah satu faktor yang menjadi
katalisator berkembangnya post –truth adalah kehadiran teknologi informasi yang
berimplikasi pemanfaatan media sosial yang tidak tepat, teknologi digital- telah mampu
menciptakan realitas sendiri, sesuai dengan agenda setting kelompok kepentingan atau
menurut ilmu simiotika, keadaaan ini berdampak pada terpisahnya antara
penanda(signifier) dengan petanda(signified).
Peran media sosial melalui algoritma secara tidak langsung juga memiliki kontribusi
yang signifikan dalam membentuk masyarakat post-truth. Algoritma media sosial berperan
dalam menciptakan kondisi yang disebut echo-chamber. Echo-chamber( ruang gema)
adalah kondisi di mana seseorang menerima informasi, ide, dan gagasan yang homogen
secara terus-menerus, sedangkan pandangan lain tidak masuk dalam „ruang‟ tersebut.
Algoritma seolah-olah menjadi“filter buble. Algoritma filter buble mengkondisikan
pengguna mendapat informasi sesuai dengan riwayat penggunaannya, secara perlahan tapi
pasti informasi yang dipasok disesuaikan dengan dengan preferensi yang dikehendaki,
sedangkan yang tidak sesuai akan tersortir secara otomatis. Eksternalitas dari algoritma
tersebut tak dibayangkan adalah masyarakat akan hanya mendapat informasi yang bersifat
banal dan parsial. Dampaknya adalah penguatan identitas dan polarisari masyarakat yang
semakin tajam dan berpotensi memantik konflik yang berkepanjangan.
c. Sosial Media dan Post Truth
Mencermati perkembangan sosial media dan fenomena post truth yang berkembang
akhir-akhir ini, menjadikan media sosial sangat berperan mempercepat mengalirnya
informasi, semakin berlimpah ruahnya informasiyang berseliweran di ruang publik, yang
tidak selalu berdasarkan fakta, semakin tipis batas pembenaran dan kebenaran, untuk itu
diperlukan kesiapan yang matang dari masyarakat dalam memanfaatkan media sosial,
gerakan bijak bermedia sosial di Indonesia perlu terus digelorakan. Hal ini menjadi
semakin relavan bila kita cermati perkembangan pemanfaatan media sosial di Indonesia,
ditengah fenomena masih rendahnya minat baca buku di Indonesia, namun disisi lain,
merujuk data wearesocial per Januari 2017, terungkap bahwa orang Indonesia bisa
menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari, aktivitas kicauan dari akun Twitter yang
berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York.73
Hal ini menjadikan warganet di Indonesia seyogyanya memiliki peran yang besar
untuk memerangi hoax, false newsmaupun fake newsatau minimal tidak ikut berperan
menyebarluaskan hoax, yang intensitasnya semakin meningkat ditengah fenomena post-
truth.Langkah-langkah nyata dengan “saring baru sharing”fact checking sebagai
intrumen utama melawan post-truth perlu terus ditingkatkan dikalangan
warganet, Warganet memiliki peran penting dalam mendukung kesuksesan kerja setiap
pemerintahan, siapapun yang mendapat mandat dari rakyat, karena sejatinya, siapapun
pemerintahan tujuan mulianya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Literasi
digital yang digagas akan sangat berguna dalam memberikan pencerahan terkait dengan
hak digital (digital rights), kecerdasan emosional digital (digital emotional
intelligence) dan penggunaan penggunaan digital (digital use) yang “sehat” dan
berkontribusi positip dalam menyongsong perubahan positip, dan yang tak kalah

73
Arendt, Hannah, “Truth and Politics.” In The Portable Hannah Arendt, edited by Baehr, Peter , 545–575.
Harmondsworth: Penguin, 2000
pentingnya dengan literasi digital akan mendorong masyarakat untuk berpikir kritis
(critical thinking), yaitu kemampuan untuk membedakan antara informasi nyata dan
bohong, konten baik dan berbahaya, dan kontak online yang dapat dipercaya maupun yang
diragukan.
Fenomena Post truth menghadirkan jenis fakta atas suatu peristiwa
yang kebenarannya dapat dimanipulasi sesuai dengan kemauan dan kepentingan pengirim
berita. Proses kerjanya sangat terfasilitasi oleh kecanggihan teknologi informasi digital.
Dalam konteks alam sosisal politik, kekuasaan yang saling berebut ruang pengaruh atas
penguatan identitas kolektif, fasilitas teknologi informasi justru memperkuat dan
mempercepat penyebaran post truth sehingga berpotensi memecah belah sendi kehidupan
masyarakat multikultur. Terhadap domain ini, sikap bijaksana dan waspada dalam
pemanfaatan teknologi digital khususnya media sosial harus disadari sepenuhnya tentang
pentingnya merawat dan menghargai perbedaan. Hal ini kemudian berpengaruh pada cara
pandang masyarakat atas pluralisme di dalam masyarakat.74
Ada enam konteks gelagat zaman yang menuntut kebaruan dalam menandai era post
truth. Pertama, luasnya akses ke konten informasi berkat digitalisasi komunikasi; kedua,
masyarakat bisa membuat informasi sendiri melalui media sosial. Ketiga, demokratisasi
media dan jurnalisme wargamengkompensasi ketidakpuasan masyarakat terhadap
informasi media massa dan kekecewaan terhadap politik; keempat; masyarakat lebih rentan
menerima informasi yang keliru karena berkembang komunitas-komunitas seideologi dan
memiliki keyakinan yang sama; kelima, teknologi telah mengacaukan kebenaran karena
viral dianggap lebih penting daripada kualitas informasi dan etika; keenam, kebenaran
tidak lagi difalsifikasi atau dibantah, tapi jadi nomor dua. Gagasan para demagog yang
selalu bermain dibalik payung semantik yang mencari alternatif kebenaran alternatif dan
berujung pada berita hoaks.75
Emosi yang memihak pada realitas menjadi dasar lahirnya Post-truth, meskipun
sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda. Hal semacam ini sudah menjadi kebiasan
lazim dalam lingkungan masyarakat post-modern. Kehadiran post truth, dikarenakan

74
Bdk. Setyo Wibowo, „‟Meneropong Bohong à la Post-Truth, Majalah Basis, Nomor 05-06, tahun ke-68,
2019, 2
75
Haryatmoko, „‟Mencari Kebijakan di Era Post-Truth: Menghadapi Hoaks, Emosi Sosial dan Populisme
Agama,‟‟ Majalah Basis: Nomor 05-06, tahun ke-68, 2019, hlm. 30, juga dalam Diskusi Publik bertajuk, „‟Etika
Media Sosial di Era Post-Truth dan Disrupsi Informasi,‟‟ Yogyakarta 12 Desember 2018.
beberapa kondisi yang ada dimasyarakat saat ini, seperti pesatnya perkembangan teknologi
yang menyebabkan masyarakat merasa nyaman dengan berbagai macam informasi yang
diproduksi dan di terima dapat dipilih. Ditambah dengan sensasi tinggi nan spektakuler,
membuat post truth tumbuh subur di kalangan masyarakat. Dari hasil analisisnya, Hamad
menyatakan bahwa post truth melibatkan tiga elemen pembentukan wacana, yaitu pertama,
Framing atau seleksi muatan wacana, baik dalam aspek masalah atau tema, situasi atau
waktu, atribusi atau karakter, argumen atau alibi, alur cerita maupun risiko dan tanggung
jawab.
Kedua, signing atau pemilihan tanda (sign) dalam bentuk kata, istilah, gambar, symbol,
frasa sloga, termasuk dalam urutan, ukuran, tipe, dan warna. Dalam wacana post truth,
tanda bahasa lebih dari sebatas mewakili realitas, tetapi jurstru mengkonstruksi realitas
Ketiga, priming atau penonjolan, yaitu wacana itu sebisa mungkin sampai ke audien
melalui langkah-langkah secara simultan; memperbesar peluang untuk diakses, peluang
untuk dibaca, peluang untuk diingat dan peluang untuk dibagi. 76 Dari sudut pandang
psikologi, Brome menyatakan bahwa post truth berakar dalam jiwa manusia yang mudah
jatuh dalam cognitive bias, prasangka ditingkat pengetahuan yang sifatnya berat sebelah.
Manusia tidaklah selalu rasional. Di depan kebenaran yang tidak mengenakkan, manusia
cenderungjatuh dalam prasangka yang berat sebelah, dan mencari pembenaran yang
membuat nyaman.77 Sedang Johnson menyebutkan bahwa prasangka bisa muncul karena
adanya repetition effect78 yang membuat orang lupa membedakan sumber yang valid dari
apa yang disebut hoaks.
Wajah pendidikan era post truth menjadi personal melalui modalitas visual yang
menyampaikan register emosional kepada netizen. 79 Nissen berpendapat, bentuk kesadaran
pendidikan melibatkan peningkatan kesadaran kita tentang apa yang tidak

76
Hamad. (2017). Kritik Post Truth. https://mediaindonesia. com/read/detail/111766-kritik-post-truth
77
Bromme, R., & Goldman, S. R. 2014. The public‟s bounded understanding of science. Educational
Psychologist, 49(2), 2014. 59–69. https:// doi.org/10.1080/00461520.2014.921572
78
Johnson-Laird, Philip N., and Keith Oatley, Emotions, Music, and Literature.” In Handbook of Emotions,
edited by Michael Lewis, Jeannette M. Haviland-Jones and Lisa Feldman Barrett, New York and London: The
Guilford Press, 2008.
79
Eken, M. Evren, How Geopolitical Becomes Personal: Method Acting, War Films and Affect.” Journal
of International Political Theory, 2019, doi:1755088219832328.
menyenangkan.80 Sebuah pertanyaan mendesak mengenai penyelidikan yang lebih
substantif ke dalam visualisasi seksional gender dan ras sebagai bagian dari upaya budaya
populer untuk bergulat dengan lingkungan politik post truth. Era post truth hadir di setiap
sisi kehidupan tidak terkecuali pada dunia pendidikan, era ini seharusnya menyadarkan
para pendidik bahwa perubahan dan perkembangan hendaknya diikuti progresifitas dan
dinamisasi tiada henti dengan mawas diri disertai kesadaran yang utuh. Mawas diri
menjadikan individu manusia mahluk dengan kesadaran. Kesadaran itu yang menuntun ia
pada respon positif dengan kehidupan di sekitar dirinya,berupa empati, simpati, toleransi,
menghargai, loyal, serta dapat mengembangkan corak berpikir positif dan tidak mudah
menilai orang lain, kecuali dengan penuh kehati-hatian.
Dalam era post truth, terdapat beberapa faktor yang menjadi sumbangsih
berkembangya kebohongan publik. Pertama, post truth bersinggungan dengan emosi
melalui keyakinan pribadi, dengan orang-orang yang lebih cenderung mempercayai klaim
tertentu berdasarkan apakah yang mereka rasakan 'benar' atau tidak, meskipun tersedia
informasi sebaliknya.81 Dengan demikian politik personal dibuat eksplisit sebagai bagian
dari konstitusi sosial. Kedua, aspek terpenting di era post truth adalah peran media dan
televisi dalam memanipulasi politik dan pembuktian 'penyalahgunaan fakta yang
mengerikan.82 Sebagaimana John Kean saat menyatakan pendapatnya bahwa post truth
merupakan pertunjukan politik.83 Diarahkan melawan gaya konvensional pertunjukan, post
truth adalah tontonan publik yang dirancang untuk mengundang dan menghibur
jutaanorang sebab post truth dianggap sebagai pelukan afektif yang memiliki kekuatan
untuk melakukan penceritaan dan putaran politik,84 maka kita harus mempertimbangkan

80
Adler-Nissen, Rebecca, and Alexei Tsinovoi, International Misrecognition: The Politics of Humour and
National Identity in Israel‟s Public Diplomacy. European Journal of International Relations, 2019. 25 (1): 3–29.
doi:1354066117745365.
81
Hutchison, Emma, Affective Communities in World Politics, (Cambridge: Cambridge University Press,
2016), 76.
82
Davies, William. 2016. “The Age of Post-Truth Politics.” The New York Times, August 24, 2016,
https://www.nytimes.com/2016/08/24/opinion/campaign-stops/the-age-of-post-truth-politicshtml.
83
Kean, John. 2018. “Post-Truth Politics and Why the Antidote Isn‟t Simply „Fact-Checking‟ and Truth.”
The Conversation, March 22, 2018, https://theconversation.com/post-truth-politicsand-
why-the-antidote-isnt-simply-fact-checking-and-truth-87364.
84
Rowe, Cami. 2017. “Performance and Politics Fifty Years After „Society of the Spectacle‟.”
EInternational
Relations, February 27, 2017, http://www.e-ir.info/2017/02/27/performance-andpolitics-
fifty-years-after-society-of-the-spectacle/.
bagaimana budaya populer bergulat dengan lingkungan ini, bagaimana keduanya mencoba
membentuk subjektivitas politik.
Riset tentang pendidikan agama Islam di era post truth selama ini cenderung berbicara
pada tiga hal. Pertama, pendidikan agama Islam di era post truth dikaitkan dengan isu
parokial85, rasa defensif diri86, dan pengaruhya terhadap kebebasan berkelompok.87 Kedua,
penelitian mengenai pendidikan agama era post truth dikaitkan dengan perasaan
88 89
transendensi sebagai landasan intelektual, psikologis, dan spiritual dalam melawan
dampak negatif post truth.90 Ketiga, studi pendidikan di era post truth cenderung
diterapkan pada ranah penelitian politik,91 92
yang kemudian digunakan untuk mengukur
seberapa besar campur tangan pendidikan agama dalam memanfaatkan post truth untuk
menciptaan people power.93 Secara garis besar, penelitian tersebut membahas mengenai
studi agama yang wajib membutuhkan bimbingan keagamaan agar dampak negatif dari
post-trth dapat diminalisir. Upaya ini tergambar dalam serangkaian refleksi kritis tentang
keadaan studi agama dan sejarah yang dihubungkan dengan fenomena saat ini. 94 Padahal,
yang terpenting dalam upaya ini adalah melakukan upaya perbaikan pendidikan agama
Islam kepada remaja dengan psikolgi labil yang rawan dipengaruhi. 95 Oleh karena itu,
menjadi penting untuk dilakukan penelaahan terhadap pelaksanaan pendidikan agama
Islam di era post truth pada jenjang sekolah menengah atas yang mayoritas siswanya
berada pada fase usia remaja.

85
Song-Chong Lee, Boundary-Breaking Disposition against Post-Truth: Five Big Questions for Religious
Education, Religious Studies and Philosophy, The University of Findlay, 2018.
86
Buckingham, D., Teaching media in a „post-truth‟ age: Fake news, media bias and the challenge for
media/digital literacy education/ la ense~nanza medi_atica en la era de la posverdad: Fake news, sesgo medi_atico y
el reto para la educaci_on en materia dealfabetizaci_on medi_atica y digital. Cultura y Educaci_on, 2019, 31(2),
213–231. https://doi.org/10.1080/11356405.2019.1603814
87
Brashier, N. M., & Marsh, E. J. 2020, Judging truth. Annual Review of Psychology, 2020, 71(1), 499–
515. https://doi.org/10.1146/annurev-psych-010419-050807
88
Marga, Aspek Penting Pendidikan Islam, (Jakarta: Hames Media Grup, 2020), 43.
89
Zuhri, Pendidikan Agama Islam Abad 21, (Samarinda: Sandora Pres, 2019), 20.
90
Chinn, C. A., Barzilai, S., & Duncan, R. G, Education for a “post-truth” world: New directions for
research and practice. Educational Researcher. Advance online publication, 2020,
https://doi.org/10.3102/0013189X20940683
91
92
Welfer, Kebohongan dan Kebiasaan, (Jakarta: Tida Saudara, 2019), 62.
93
Bakshy, E., Messing, S., & Adamic, L. A, 2015, Exposure to ideologically diverse news and opinion on
Facebook. Science (New York, N.Y, 2015), 348(6239), 1130–1132. https://doi.org/10.1126/science.aaa1160
94
Buckingham, D., Teaching media in a „post-truth‟ age..., 7.
95
Sarit Barzilai, A review of educational responses to the “post-truth” condition: Four lenses on “post-
truth” problems, 2020
Dengan melihat langkah di atas, maka fenomena Post truth yang terjadi saat ini
mebawa masalah pada tiga aspek . Pertama, hoaks yang mengandung informasi yang
menyesatkan. Menurut McIntyre ada empat ragam kebohongan dalam menentukan
karakteristik masyarakat Post truth untuk menciptakan hoaks. Pertama, kebohongan yang
dilakukan karena terdesak setelah melakukan sebuah kesalahan dan mengatakan sesuatu
yang tidak benar untuk menutupinya. Kebohongan ini disebut falsehood, bukan penipuan,
karena kekeliruan yang tidak disengaja. Kedua, ketidaktahuan yang disengaja, tetapi
disebarkan. Orang tidak mengetahui secara benar suatu masalah, tapi tetap ingin
menceritakan, tanpa mau memverifikasi apakah benar atau salah. Ketiga, berbohong
dengan maksud untuk menipu. Bahwa setiap kebohongan ada audiensnya, arah beranjak
dari penafsiran fakta menjadi falsifikasi fakta. Keempat, berbohong yang melibatkan
penipuan diri dan delusi sampai seseorang bisa sungguh percaya sesuatu itu benar bahkan
ketika semua sumber yang kredibel mempertanyakannya. 96
Jika bersinggungan dengan ranah agama, permasalahan pelik yang disebutkan di atas
berpotensi menjadi awal kehancuran umat. Post truth menyeakan agama tidak lagi merujuk
pada kebenaran yang ada dalam wahyu tuhan, mereka cenderung membenarkan informas
yang digaungkn oleh kelompoknya, meskipun pada dasarnya semua yang disampaikan
hanyalah kepalsuan. Post truth menjadi senjata politik disinformasi dan instrumen persuasi
massa. Ini merupakan teknik mengolah pesan agar lebih menyentuh emosi sekaligus
membungkam pikiran kritis dan analitis masyarakat. Sebagaimana disebutkan Haryatmoko,
Post truth dalam ranah agama membidik empat hal. Pertama, bentuk rekayasa informasi
agar orang bingung menafsirkan realitas. Kedua, manajemen taktik konspirasi dengan
membangkitkan kecurigaan dan permusuhan diantara kelompok-kelompok masyarakat.
Ketiga, menciptakan mitos-mitos politik.97 Karena menyasar masyarakat dengan strategi
argumen emosional.
Pertanyaan subtilnya, mengapa harus agama? Menurut penulis jawaban
kontekstualnya karena agama merupakan ideologi terkuat yang mampu bertahan melintasi
zaman. Agama selalu jadi perdebatan sehari-hari. Di saat yang sama agama juga mampu

96
Bdk. Haryatmoko, „‟Era Post-Truth dan Prasangka Negatif,‟‟ dalamPost-Truth dan Anti Pluralisme,
ed. Agus Suwignyo (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2019), 9
97
Haryatmoko, „‟Prasangka Negatif,‟‟ 9, juga dalam Diskusi Publik, „‟Disrupsi Informasi,‟‟ Yogyakarta 12
Desember 2018, juga dalam Kuliah Umum LSF, “Emosi Sosial,‟
merasuki peristiwa hidup setiap orang akan misteri Yang Maha Kuasa. Ia ditentang juga
diterima. Meskipun manusia juga tidak tahu keberadaanya, bahkan tidak dapat melihatnya.
Sebaliknya, semakin ditentang semakin besar pengaruhnya dalam realitas hidup manusia.
Semakin ditentang, semakin masuk dalam keyakinan individu, bahkan melampui itu, ikut
mengatur detik-detik hidup manusia. Berdasar hal ini, maka menjadi penting untuk diktahui
bagaimana kemudia peran pelaksanaan pendidikan Agama Islam dalam mengentaskan
permasalahan post truth sebagai senjata yang mengerikan bagi masa depan agama.
4. Pendidikan Islam Era Post Truth
a. Problematika Pendidikan Agama Islam di Era Post Trurh
Permasalahan utama pendidikan Islam di era post trurh adalah bagaimana cara sebuah
informasi disampaikan kepada orang lain daripada apa isi informasi yang disampaikan.
Fokusnya adalah kepada bagaimana melihat, mendengarkan serta membaca fakta yang
lebih dekat dengan ideologi dan pendapat pribadi setiap manusia. Sehingga setiap orang
memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai sebuah informasi, tergantung pada
ideologi dan pendapat personal.98 Post truth berkembang pesat di kalangan masyarakat
yang sudah diwarnai arus informasi, sedang mereka mengalami ketidakpuasan dan
kekecewaan terhadap politik. Apa yang terjadi dalam post truth adalah relativisasi
kebenaran dengan objektivitas data, dramatisasi pesan jauh lebih penting daripada isi pesan
itu sendiri. Era post truth membuat narasi selalu mengalami kemenangan mutlak terhadap
data dibandingkan dengan fakta, era ini sangat memerlukan fact-checking atau pemeriksaan
terhadap suatu fakta.99
Analisis pendidikan yang lebih luas, fenomena Post truth menghadirkan jenis fakta
atas peristiwa yang kebenarannya dapat dimanipulasi sesuai dengan kemauan dan
kepentingan pengirim berita. Proses kerjanya sangat terfasilitasi oleh kecanggihan
teknologi informasi digital. Dalam konteks alam sosial politik kekuasaan yang saling
berebut ruang pengaruh atas penguatan identitas kolektif, fasilitas teknologi informasi
justru memperkuat dan mempercepat penyebaran post truth sehingga berpotensi memecah
belah sendi kehidupan masyarakat multikultur. Terhadap domain ini, sikap bijaksana dan
98
Keyes, R. (2004). The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life, (New York: St. Martin's
Publishing Group).
99
Fathul Wahid, Musa Asy‟arie, Haryatmoko, „‟Etika Media Sosial di Era Post-Truth‟‟ (Diskusi publik,
Jogjakarta, 12 Desember 2018), https://www.youtube.com/watch?v=eF0dieNrSE8, diakses: 10/12/2021 Pkl. 20.00
WIB.
waspada dalam pemanfaatan teknologi digital khususnya media sosial harus disadari
sepenuhnya tentang pentingnya merawat dan menghargai perbedaan. Hal ini kemudian
berpengaruh pada cara pandang masyarakat atas pluralisme di dalam masyarakat.
Post truth menyebabkan siswa tidak memiliki rasa percaya atau keyakinan pada data
dan fakta ilmiah, ada anti intelektual, penolakan terhadap rasionalitas berpikir, dan
kebohongan yang terang-terangan.100 Kebohongan yang secara sistematis mengepung
ruang publik sampai menuai kepercayaan publik bahwa apa yang mereka utarakan adalah
yang sebenarnya. Terpilihnya Trump menjadikan frasa ini kian populer. Karena menurut
kubu pemenang Trump, tujuan utamanya adalah menang, jadi kita bohong dulu soal data
dan fakta bisa menyusul. Yang terpenting adalah pembenaran dan merasa diri benar.101
b. Urgensi Kebaruan Pendidikan Agama Islam dalam Menghadapi Post Truth
Ada enam konteks gelagat zaman yang menuntut kebaruan dalam menandai era post
truth dalam ranah pendidikan Islam. Pertama, luasnya akses ke konten informasi berkat
digitalisasi komunikasi; kedua, masyarakat bisa membuat informasi sendiri melalui media
sosial. Ketiga, demokratisasi media dan jurnalisme wargamengkompensasi ketidakpuasan
masyarakat terhadap informasi media massa dan kekecewaan terhadap politik; keempat;
masyarakat lebih rentan menerima informasi yang keliru karena berkembang komunitas-
komunitas seideologi dan memiliki keyakinan yang sama; kelima, teknologi telah
mengacaukan kebenaran karena viral dianggap lebih penting daripada kualitas informasi
dan etika; keenam, kebenaran tidak lagi difalsifikasi atau dibantah, tapi jadi nomor dua.
Gagasan para demagog yang selalu bermain dibalik payung semantik yang mencari
alternatif kebenaran alternatif dan berujung pada berita hoaks.102
Emosi yang memihak pada realitas menjadi dasar lahirnya post-truth, meskipun
sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda. Hal semacam ini sudah menjadi kebiasan
lazim dalam lingkungan masyarakat post-modern. Kehadiran post truth, dikarenakan
beberapa kondisi yang ada dimasyarakat saat ini, seperti pesatnya perkembangan teknologi

100
Davies, William. 2016. “The Age of Post-Truth Politics.” The New York Times, August 24, 2016,
https://www.nytimes.com/2016/08/24/opinion/campaign-stops/the-age-of-post-truth-politicshtml.
101
Bdk. Setyo Wibowo, „‟Meneropong Bohong à la Post-Truth, Majalah Basis, Nomor 05-06, tahun ke-68,
2019, 2
102
Haryatmoko, „‟Mencari Kebijakan di Era Post-Truth: Menghadapi Hoaks, Emosi Sosial dan Populisme
Agama,‟‟ Majalah Basis: Nomor 05-06, tahun ke-68, 2019, hlm. 30, juga dalam Diskusi Publik bertajuk, „‟Etika
Media Sosial di Era Post-Truth dan Disrupsi Informasi,‟‟ Yogyakarta 12 Desember 2018.
yang menyebabkan masyarakat merasa nyaman dengan berbagai macam informasi yang
diproduksi dan di terima dapat dipilih. Ditambah dengan sensasi tinggi nan spektakuler,
membuat post truth tumbuh subur di kalangan masyarakat. Dari hasil analisisnya, Hamad
menyatakan bahwa post truth melibatkan tiga elemen pembentukan wacana, yaitu pertama,
Framing atau seleksi muatan wacana, baik dalam aspek masalah atau tema, situasi atau
waktu, atribusi atau karakter, argumen atau alibi, alur cerita maupun risiko dan tanggung
jawab.
Kedua, signing atau pemilihan tanda dalam bentuk kata, istilah, gambar, symbol, frasa
sloga, termasuk dalam urutan, ukuran, tipe, dan warna. Dalam wacana post truth, tanda
bahasa lebih dari sebatas mewakili realitas, tetapi jurstru mengkonstruksi realitas Ketiga,
priming atau penonjolan, yaitu wacana itu sebisa mungkin sampai ke audien melalui
langkah-langkah secara simultan; memperbesar peluang untuk diakses, peluang untuk
dibaca, peluang untuk diingat dan peluang untuk dibagi.103 Dari sudut pandang psikologi,
Brome menyatakan bahwa post truth berakar dalam jiwa manusia yang mudah jatuh dalam
cognitive bias, prasangka ditingkat pengetahuan yang sifatnya berat sebelah. Manusia
tidaklah selalu rasional. Di depan kebenaran yang tidak mengenakkan, manusia
cenderungjatuh dalam prasangka yang berat sebelah, dan mencari pembenaran yang
membuat nyaman.104 Sedang Johnson menyebutkan bahwa prasangka bisa muncul karena
adanya repetition effect105 yang membuat orang lupa membedakan sumber yang valid dari
apa yang disebut hoaks.
Wajah pendidikan era post truth menjadi personal melalui modalitas visual yang
menyampaikan register emosional kepada netizen.106 Nissen berpendapat, bentuk
kesadaran pendidikan melibatkan peningkatan kesadaran kita tentang apa yang tidak
menyenangkan.107 Sebuah pertanyaan mendesak mengenai penyelidikan yang lebih

103
Hamad. (2017). Kritik Post Truth. https://mediaindonesia. com/read/detail/111766-kritik-post-truth
104
Bromme, R., & Goldman, S. R. 2014. The public‟s bounded understanding of science. Educational
Psychologist, 49(2), 2014. 59–69. https:// doi.org/10.1080/00461520.2014.921572
105
Johnson-Laird, Philip N., and Keith Oatley, Emotions, Music, and Literature.” In Handbook of
Emotions, edited by Michael Lewis, Jeannette M. Haviland-Jones and Lisa Feldman Barrett, New York and London:
The Guilford Press, 2008.
106
Eken, M. Evren, How Geopolitical Becomes Personal: Method Acting, War Films and Affect.” Journal
of International Political Theory, 2019, doi:1755088219832328.
107
Adler-Nissen, Rebecca, and Alexei Tsinovoi, International Misrecognition: The Politics of Humour and
National Identity in Israel‟s Public Diplomacy. European Journal of International Relations, 2019. 25 (1): 3–29.
doi:1354066117745365.
substantif ke dalam visualisasi seksional gender dan ras sebagai bagian dari upaya budaya
populer untuk bergulat dengan lingkungan politik post truth. Era post-truth hadir di setiap
sisi kehidupan tidak terkecuali pada dunia pendidikan, era ini seharusnya menyadarkan
para pendidik bahwa perubahan dan perkembangan hendaknya diikuti progresifitas dan
dinamisasi tiada henti dengan mawas diri disertai kesadaran yang utuh. Mawas diri
menjadikan individu manusia mahluk dengan kesadaran. Kesadaran itu yang menuntun ia
pada respon positif dengan kehidupan di sekitar dirinya,berupa empati, simpati, toleransi,
menghargai, loyal, serta dapat mengembangkan corak berpikir positif dan tidak mudah
menilai orang lain, kecuali dengan penuh kehati-hatian.
2. Kerangka Teori
Harnes menyebutkan fenomena posh truth dapat mendorong siswa untuk membagikan
pesan kebencian yang membawa nama kelompok melalui media sosial, sedang pesan tersebut
tidak didasarkakan pada fakta objektif, asalkan teman anggota geng yang membawa berita,
maka lasung dipercaya. Akibatnya banyak terjadi kasus tawuran yang membawa korban jiwa
seperti yang terjadi akhir tahun lalu di Sukabumi.108 Adapun tujuan Pendidikan Agama Islam
adalah menanamkan kepercayaan dalam pemikiran dan hati generasi muda, pemulihan akhlak
dan membangunkan jiwa rohani.109 Selama ini, kurikulum pendidikan agama Islam berisi
ajaran pokok yang meliputi permasalahan aqidah, syari'ah, dan akhlak. Tiga ajaran pokok
kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, Islam, dan ihsan yang meiliki goal untuk
menciptakan generasi yang berakhlah. Namun banyak penelitian yang menyatakakan bahwa
konten pendidikan Agama Islam semacam itu belum sepenuhnya menjadikan peserta didik
memiliki keunggulan yang utuh dan integratif dalam dirinya, 110 sehingga menjadi penting
untuk iketahui mengani pelaksanaan pendidikan Agama Islam di sekolah apakah sudah sesuai
dengan regulasi pendidikan, atau bahkan regulasi pendidikan yang belum tepat diterapkan
pada era post truth.

108
Hari Nau, Tawuran pelajar di Sukabumi Memakan Korban Jiwa, diunduh dari laman
https://www.tribunnews.com/regional/2021/10/29/tawuran-antarpelajar-di-sukabumi-satu-orang-meninggal-dunia,
pada 1 Januari 2022.
109
Muhaimin, et al., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Bandung: Rosdakarya, 2001.
110
Mujtahid, Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI), tp., 2011.
Gambar 1.1: Kerangka berfikir penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan teori pendidikan Malvinas Rahman dan Aliman yang
dipadukan dengan idikator pendidikan milik Benyamin S. Bloom. Malvinas menyebut bahwa
pendidikan Islam memiliki misi untuk memberikan pengetahuan aqidah, syariah, dan akhlak bagi
manusia untuk mencapai kebahagiaan. Sedangkan teori bloom digunakan untuk melihat ranah
afektif, kognitif, dan psikomotor sebagai alat untuk mengetahui apakah pelaksanaan pendidikan
Agama Islam dari tiga ranah terebut sudah sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Melalui
analisis mengenai wujud kurikulum, proses pelaksanaan pembelajaran, dan orientasi kompetensi
diharapkan dapat diperoleh data mengenai kesesuaian pendidikan Islam dalam menanggulangi
permasalahan Posh-truth.

Anda mungkin juga menyukai