Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang (cari informasi tentang kasus pelecehan seksual pada anak usia remaja
seperti apa dampaknya terhadap korban)
Secara umum pelecehan seksual merujuk pada perilaku yang ditandai dengan
komentar-komentar seksual yang tidak diinginkan dan tidak pantas atau pendekatan-
pendekatan fisik berorientasi seksual yang dilakukan di tempat situasi kerja,
profesional atau sosial lainnya (Rusyidi dkk.2019). Sementara, pengertian kekerasan
seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas
seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan
oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang
usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak
memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual (CASAT
Programme, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA).  Bab II
Pada tahun 2018, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat 206
kasus kekerasan seksual pada anak. Sedangkan, pada tahun 2019 tercatat 350 kasus kekerasan
seksual pada anak yang terjadi. Jumlah ini meningkat 70 persen dibandingkan tahun
sebelumnya (LPSK, 2020). Sementara itu, data terbaru dari SIMFONI PPA menunjukkan
bahwa pada 1 Januari sampai dengan 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan
terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan
seksual (KPPPA, 2020).
Pelecehan seksual memiliki beberapa dampak pada korbannya, salah satunya adalah
Post-traumatic Stress Disorder (PTSD). Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, (DSM-IVTR), Post-traumatic Stress Disorder didefinisikan sebagai suatu
kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh
seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, cidera serius, ancaman terhadap
integritas fisik atas diri seseorang (Hera Wahyuni, 2016).
Pemerintah telah bertindak untuk menanggulangi kasus pelecehan seksual pada
anak dengan membentuk berbagai lembaga hukum yang menangani kasus kekerasan
seksual pada anak seperti Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia
untuk Keadilan (LBH-APIK). Selain itu, pemerintah juga menyediakan terapi oleh
psikolog kepada anak yang mengalami trauma akan kekerasan seksual secara gratis.
Terapi ini bertujuan untuk memulihkan korban, memberikan berbagai pengarahan
dan ajakan untuk tidak mengingat kejadian yang telah terjadi serta memberikan
pemahaman dan pendampingan (Safrida dan Desi Maulida, 2020). Selain itu, ada
metode lain yang dapat digunakan untuk menanggulangi kasus kekerasan seksual pada
anak yaitu art therapy. Metode ini dilakukan dengan melepaskan ketidaksadaran
melalui ekspresi seni secara spontan sebagai akar transfer hubungan antara pasien dan
terapis pada dorongan asosiasi bebas yang merujuk pada teori psikoanalisa. Dalam
prakteknya, art therapy melibatkan proses dan membuat gambar (dari bentuk
mentah yang kemudian dibentuk dalam ekpresi symbol) dan menyediakan
hubungan teraupetik. Dari hubungan terapis-klien yang ekplorasi secara ekplisit
dari gambar dan objek yang dibuat oleh subjek, ini membuat terapis dapat
memperoleh pemahaman diri dan sifat, kesulitan maupun tekanan yang dialami
oleh klien dengan lebih baik yang pada gilirannya dapat mengakibatkan
perubahan positif dan menetap pada diri klien, hubungan saat ini dan kualitas
kehidupan klien secara keseluruhan (Naumberg, 2004).  BAB II
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis melakukan studi literatur mengenai
Penerapan Art Therapy sebagai Sarana Pengobatan Trauma Pelecehan Seksual pada
Anak Usia Remaja. Penulis berharap bahwa art therapy dapat menjadi salah satu solusi
pengobatan trauma pelecehan seksual pada anak remaja.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penulisan studi literatur ini sebagai berikut :
1. Bagaimana langkah kerja Penerapan Art Therapy sebagai Sarana Pengobatan Trauma
Pelecehan Seksual pada Anak Usia Remaja ?
2. Bagaimana Dampak dari Penerapan Art Therapy terhadap korban dari Pelecehan Seksual
pada Anak Usia Remaja ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari studi literatur ini sebagai berikut :
1. Mengkaji langkah kerja Penerapan Art Therapy sebagai Sarana Pengobatan Trauma
Pelecehan Seksual pada Anak Usia Remaja
2. Mengkaji dampak dari Penerapan Art Therapy terhadap korban dari Pelecehan Seksual
pada Anak Usia Remaja

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari studi literatur ini diharapkan dapat:
1. Menambah pengetahuan dan masyarakat mengenai Penerapan Art therapy sebagai sarana
pengobatan trauma pelecehan seksual pada anak usia remaja (judul dikapitalkan)
2. Menjadi referensi untuk penelitian-penelitian di masa mendatang mengenai penerapan
art therapy khususnya sebagai sarana pengobatan trauma pelecehan seksual pada anak
usia remaja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penerapan Art Therapy sebagai Sarana Pengobatan Trauma Pelecehan Seksual pada
Anak Usia Remaja
2.1 Beberapa Penelitian Terkait
Tabel 2.1 Beberapa Penelitian Terkait
No
Nama Peneliti Tahun Penelitian Terkait
.
Kekerasan Seksual terhadap Anak:
1. Ivo Noviana 2015 Dampak dan Penanganannya
Child Sexual Abuse: Impact and Hendling

Alysa Stivanie Kania Psikodrama Untuk Menurunkan Tingkat


2. 2015
Damanik Stres Pada Siswa Akselerasi
Isna Ni’matus Kajian Teoritis Penggunaan Art Therapy
3. 2017 Dalam Pelaksanaan Layanan Bimbingan
Sholihah
dan Konseling di SMK
Intervensi Play Therapy untuk Mengatasi
4. Hartanto, dkk 2017
Trauma Kekerasan Pada Anak Usia Dini

Menari Sebagai Media Dance Movement


5. Lestari, dkk 2018
Therapy (DMT)

Intervensi Resiliensi Melalui Play Therapy


6. Yasmin Nuraini 2019 Untuk Menurunkan Gejala Post-Traumatic
Stress Disorder (PTSD)

7. Nurul Aiyudape 2019 Art Therapy

Kayus Kayowuan
Lewoleba dan Studi Faktor-Faktor Terjadinya Tindak
8. 2020
Muhammad Helmi Kekerasan Seksual Pada Anak-Anak
Fahrozi

2.2 Art Therapy


2.2.1 Definisi Art Therapy
Art Therapy adalah integrasi dua disiplin keilmuan yaitu kesenian dan psikologi yang
menghasilkan suatu teknik yang menarik. Integrasi yang dihasilkan dua teori ini lebih
berfokus pada bagaimana dan mengapa Art Therapy berguna sebagai intervensi primer
dan sebagai modalitas. Art Therapy dapat dinilai sebagai suatu bentuk bahasa visual
individu untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan yang tidak bisa mereka ungkapkan.
Selain itu Art Therapy dapat menjadi cara dalam mengkomunikasikan pengalaman yang sulit
untuk diverbalisasi, seperti kekerasan fisik atau seksual, trauma, kesedihan, serta pengalaman
emosional yang komplek (Sholihah, 2017).
Menurut The American Art Therapy Association, Art Therapy adalah sebuah proses
penyembuhan yang dilakukan dengan membuat sebuah karya seni yang kreatif. Proses
penyembuhan ini berguna dalam meningkatkan kualitas kehidupan. Art Therapy sangat
membantu dalam mengatasi gangguan emosi, menyelesaikan konflik, menambah wawasan,
mengurangi perilaku bermasalah, serta meningkatkan kebahagiaan hidup (Sholihah, 2017).
Art Therapy adalah bentuk terapi yang dilakukan dengan menggunakan potensi manusia
agar dapat menjadi lebih kreatif melalui proses menghasilkan suatu karya seni. Pengertian
dan ruang lingkup Art Therapy dipengaruhi oleh berbagai aturan yang ada dalam kesehatan
mental dimana Art Therapy digunakan sebagai bentuk intervensi Art Therapy bila dilihat
berdasar pada historisnya digunakan sebagai fasilitas perawatan kejiwaan namun, seiring
dengan perkembangan kebutuhan manusia Art Therapy memiliki fungsi preventif yaitu
mengembangkan suatu sikap yang dapat meningkatkan suatu kualitas hidup (Sholihah, 2017).
2.2.2 Jenis-jenis Art Therapy
Berdasarkan jenis-jenisnya, Art Therapy dapat dibagi menjadi (Sholihah, 2017) :
(1) Terapi Menggambar atau Melukis (Seni Visual)
Terapi menggambar merupakan suatu proses terapeutik verbal-nonverbal yang terdiri
dari dua kegiatan yaitu kegiatan menggambar dilanjutkan dengan konseling. Aktivitas
seni ini sendiri membutuhkan beberapa peralatan seperti kertas, pensil, pensil warna, dan
krayon. Kegiatan menggambar akan dilakukan pada sesi kedua sampai sesi keenam.
Setiap sesi menggambar akan dilakukan berdasarkan instruksi dan tujuan masing-masing
sesi. Sarana-prasarana yang digunakan masing-masing sesi akan berbeda antara satu sesi
dengan sesi lainnya.
Pada bagian ini, terapis memberikan kesempatan kepada subjek untuk
mengekspresikan kondisi psikisnya melalui tulisan dan memberi konseling terhadap
gambar dengan menggunakan skill konseling, antara lain probing, reflecting,
paraphrasing, focusing, clarifying, summarizing, dan supporting. Konseling yang
dilakukan merupakan bagian yang pokok yang menyertai Art Therapy gambar.
Melukis juga dapat meningkatkan konsentrasi/fokus, kemampuan visual/ spatial,
kemampuan kinetik (gerak) tubuh, mengekpresikan imajinasi/emosi secara positif, dan
membuat konseli lebih rileks.
(2) Terapi Menari
Menari dapat meningkatkan konsentrasi atau fokus, kemampuan ritmik, kemampuan
kinetik tubuh, kemampuan memproses informasi, mengikuti arahan, dan menambah
kepercayaan diri.
(3) Terapi Drama
Kegiatan drama dapat meningkatkan kemampuan verbal dan bahasa, kemampuan
kinetik tubuh, kemampuan interpersonal (interaksi sosial), melatih kerjasama tim,
kemampuan memproses informasi, mengikuti arahan, dan menambah kepercayaan diri.
Terapi drama ini bisa dilakukan dengan bermain peran (role playing).
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memotivasi pasien, menarik minat dan
perhatian konseli, memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi situasi dimana mereka
mengalami emosi, perbedaan pendapat dan permasalahan dalam lingkungan sosial,
memberi kesempatan untuk bertanya, mengembangkan kemampuan komunikasi dan
melatih konseli berperan aktif dalam kehidupan nyata.
(4) Terapi Musik
Musik dapat meningkatkan konsentrasi atau fokus, kemampuan ritmik serta
musikalitas, kemampuan verbal atau bahasa, kemampuan kinetik (gerak) tubuh,
mengekspresikan imajinasi/emosi secara positif dan membuat lebih rileks. Terapi musik
membantu orang-orang yang memiliki masalah emosional dalam mengeluarkan perasaan
mereka, membuat perubahan positif dengan suasana hati, membantu memecahkan
masalah dan memperbaiki konflik.Terapi musik adalah terapi yang universal dan bisa
diterima oleh semua orang karena kita tidak membutuhkan kerja otak yang berat untuk
menginterpretasi alunan musik. Terapi musik sangat mudah diterima organ pendengaran
kita dan kemudian melalui saraf pendengaran disalurkan ke bagian otak yang memproses
emosi (sistem limbik).
(5) Terapi Puisi
Menulis puisi dapat meningkatkan konsentrasi atau fokus, kemampuan verbal serta
bahasa, mengekpresikan imajinasi atau emosi secara positif, melatih kecerdasan emosi
dan membuat konseli lebih rileks. Terapi puisi memiliki tujuan yaitu mengembangkan
ketepatan pemahaman dalam mempersepsikan diri dan orang lain, untuk
mengembangkan kreativitas, ekspresi dan harga diri yang lebih tinggi, untuk menguatkan
keterampilan interpersonal dan komunikasi, menjadi ventilasi bagi emosi yang
berlebihan dan untuk melepas ketegangan, untuk menemukan makna baru melalui ide
baru, untuk menguatkan perubahan dan meningkatkan kemampuan koping dan fungsi
adaptif.

Berdasarkan teori diatas, terapi menggambar memberikan kesempatan kepada korban


untuk mengekspresikan kondisi psikisnya melalui tulisan dan memberi konseling
terhadap gambar dengan menggunakan skill konseling, antara lain "probing",
"reflecting", "paraphrasing", "focusing", "clarifying", "summarizing", dan "supporting".
Terapi menari merupakan gerakan ritmis disertai irama yang bertujuan mengekspresikan
perasaan, meningkatkan konsentrasi, kemampuan ritmik, kemampuan kinetik tubuh,
kemampuan memproses informasi, mengikuti arahan, dan menambah kepercayaan diri.
Terapi drama dikembangkan oleh J.L Moreno pada tahun 1946 yang merupakan suatu
bentuk variasi terapi kelompok dimana terapi ini dilakukan dengan bermain peran untuk
meningkatkan kemampuan verbal dan bahasa, kemampuan kinetik tubuh, kemampuan
interpersonal (interaksi sosial), melatih kerjasama tim, kemampuan memproses informasi,
mengikuti arahan, dan menambah kepercayaan diri. Terapi drama dapat dilakukan
dengan bermain peran (role playing). Terapi musik adalah terapi yang universal dan bisa
diterima oleh semua orang karena tidak membutuhkan kerja otak yang berat untuk
menginterpretasi alunan musik. Terapi puisi merupakan perlakuan yang diberikan
dengan menggunakan puisi sebagai alat bantunya dengan tujuan mengembangkan
ketepatan pemahaman dalam mempersepsikan diri dan orang lain, mengembangkan
kreativitas, ekspresi dan harga diri yang lebih tinggi, menguatkan keterampilan
interpersonal dan komunikasi, menjadi ventilasi bagi emosi yang berlebihan dan untuk
melepas ketegangan, menemukan makna baru melalui ide baru serta menguatkan
perubahan dan meningkatkan kemampuan koping dan fungsi adaptif.
2.2.3 Tujuan Art Therapy

Tujuan Art Therapy tidak hanya untuk menghasilkan bentuk-bentuk artistik namun dapat
digunakan sebagai sarana bagi korban untuk mengungkapkan atau menuangkan emosi yang
tidak dapat diungkapkan oleh perkataan (Council, 2003; John Dewey).
Tujuan art therapy juga dapat bervariasi sesuai dengan kebutuhan khusus individu dan dengan
terapis yang menangani kasusnya. Kebutuhan ini kemudian mungkin akan mengubah
perkembangan hubungan terapeutik, dalam satu proses Art Therapy mungkin melibatkan ahli
Art Therapy dengan mendorong klien untuk berbagi dan mengeksplorasi kesulitan emosional
melalui penciptaan gambar dan diskusi, sedangkan disisi lain klien bisa diarahkan untuk
memegang krayon dan membuat tanda, hal ini dianggap mengembangkan cara-cara baru untuk
memberikan bentuk perasaan sebelumnya yang tidak bisa diekpresikan (Aiyuda, 2019).

2.2.4 Manfaat Art Therapy (DAMPAK)

Menurut American Art Therapy Association (2013) Art Therapy dapat dipraktekkan dalam
berbagai bidang seperti kesehatan mental, rehabilitasi, kesehatan, bidang pendidikan, forensik
dan lainnya.
Beberapa manfaat terapi ini merujuk pada American Art Therapy Association (2013) antara lain
yaitu :
(1) Art Therapy dianggap efektif dalam memberikan pengobatan yang efektif untuk orang-
orang yang mengalami gangguan psikologis, perkembangan, kesehatan, pendidikan
sampai pada gangguan sosial.
(2) Individu yang bisa menggunakan manfaat terapi ini diantaranya pada terapi ini antara
lain mereka yang trauma akibat pertempuran, penyalahgunaan, dan bencana alam, orang
dengan kesehatan fisik seperti kanker, cedera otak, atau cacat kesehatan lainnya.
(3) Penyandang autis, demensia, depresi, dan gangguan lainnya.
(4) Terapi ini juga membantu orang menyelesaikan konflik meningkatkan keterampilan
interpersonal, mengelola perilaku bermasalah, mengurangi stress.
(5) Mencapai wawasan pribadi serta memberikan kesempatan untuk menikmati kesenangan
hidup dari pembuatan seni.
LANGKAH KERJA
2.3 Trauma Pelecehan Seksual

2.3.1 Definisi Trauma


Caruth (dalam Hartanto dkk, 2017) mendefinisikan trauma sebagai sebuah respon yang
tertunda pada peristiwa atau kejadian yang luar biasa dalam bentuk halusinasi, mimpi, pikiran,
atau perilaku yang berasal dari peristiwa tersebut. Sedangkan World Health Organization
(dalam Hartanto dkk, 2017) mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan fisik atau tenaga
yang disengaja untuk mengancam atau melawan seseorang atau kelompok yang mengakibatkan
luka, kematian, bahaya psikologis, perkembangan buruk, atau perampasan. Maka dapat diambil
kesimpulan bahwa trauma kekerasan adalah respon yang tertunda dalam bentuk halusinasi,
mimpi, pikiran, atau perilaku yang berasal dari peristiwa penggunaan fisik atau tenaga yang
disengaja untuk mengancam. Kekerasan dapat berupa kekerasan fisik yang melibatkan melukai
tubuh dengan tindakan seperti menendang, meninju, menusuk, atau memukul. Kekerasan
emosional yaitu melibatkan melukai seorang dengan berteriak, mengancam, atau merendahkan
(Hartanto dkk, 2017).
Menurut Doctor dan Shiromoto (dalam Hartanto dkk, 2017) trauma memiliki 3 tingkatan,
yaitu :
(1) Trauma Tipe I
Ditandai oleh reaksi akut terhadap pengalaman tunggal yang tidak terduga dan sangat
traumatis yang sulit dilupakan karena adanya flashback, perilaku penghindaran, dan
tingkat gairah yang tinggi.
(2) Trauma Tipe II
Melibatkan kejadian kronis atau berulang terhadap kejadian traumatis selama periode
waktu tertentu. Karena sifatnya kronis, korban sering bergantung pada keterampilan
mengatasi seperti penyangkalan besar, mati rasa, disosiasi, atau kemarahan. kategori
kedua didasarkan pada banyak peristiwa kekerasan yang meluas yang dimulai sejak usia
dini dan berlanjut selama bertahun-tahun. Adanya pelanggaran batas yang parah seperti
melibatkan banyak pelaku, penggunaan kekerasan, dan sadis. Biasanya pelecehan fisik dan
seksual terjadi bersamaan dengan penyiksaan dan tindak kekerasan fisik dan seksual yang
parah.
(3) Trauma Tipe III
Korban mungkin merasa ingin bunuh diri dan putus asa tanpa alasan yang jelas. Gejala
biasanya hebat, namun ingatan, emosi, dan sensasi tubuh individu sulit dikenali karena
perilaku disosiatif otomatis mereka. Riwayat hidup klien dengan trauma tipe III biasanya
dikotori dengan hubungan yang mengecewakan dan kasar, penghindaran keintiman, dan
masalah kepercayaan utama. Sering ada pola somatisasi dan sering sakit kepala dan
seringkali penyalahgunaan zat atau ketergantungan juga.

2.3.2 Definisi Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism
(ECPAT) Internasional (dalam Lewoeba dan Fahrozi, 2020) merupakan hubungan atau interaksi
antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing,
saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan
seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan
bahkan tekanan. Kegiatan-kegiatan kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus
melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak sebagai korban. Bentuk-bentuk kekerasan
seksual itu sendiri bisa dalam tindakan perkosaan ataupun pencabulan (Noviana, 2015).
Pelecehan seksual, penyerangan seksual, kekerasan hingga perkosaan yang dialami oleh
seorang anak sebagai korban (victim) secara psikologis merupakan pengalaman traumatik.
Kekerasan seksual tersebut lebih merupakan trauma psikis dari pada fisik. Karena dapat
menimbulkan gangguan jiwa yang disebut Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya paling
sedikit satu dari hal berikut, ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa tersebut, mimpi-
mimpi berulang dari peristiwa tersebut, timbulnya secara tiba-tiba perlaku atau perasaan seolah-
olah peristiwa traumatik itu timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau
stimulus/rangsangan lingkungan (Hertinjung, 2012).
2.3.3 Dampak Trauma Pelecehan Seksual
Finkelhor dan Browne (dalam Noviana, 2015) mengkategorikan empat jenis dampak trauma
akibat pelecehan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:
(1) Pengkhianatan (Betrayal)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban pelecehan seksual. Sebagai seorang
anak, mempunyai kepercayaan kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan
dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam
anak.
(2) Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization)
Russel (dalam Noviana, 2015) menemukan bahwa perempuan yang mengalami
kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya
menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor ( dalam Noviana,
2015)) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap
laki-laki tidak dapat dipercaya.
(3) Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness)
Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami
oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu
merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja.
Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain
memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne,
Briere dalam Noviana, 2015).
(4) Stigmatization
Korban pelecehan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk.
Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka
tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Anak sebagai korban sering merasa
berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat
penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman
alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha
menghindari memori kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Noviana, 2015).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Metode penelitian yang dipakai adalah metode studi literatur dalam bentuk deskriptif.
Studi literatur adalah alat pengumpul data untuk mengungkapkan berbagai teori yang relevan
dengan permasalahan yang sedang dihadapi atau diteliti sebagai bahan pembahasan hasil
penelitian yang diambil dari berbagai buku-buku yang dianggap relevan terhadap isi
penelitian. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan suatu
variabel yang berkenan dengan penggunaan art therapy sebagai sarana pengobatan trauma
pelecehan seksual pada anak.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian ini adalah studi pustaka dari
kumpulan jurnal 10 tahun terakhir untuk mengumpulkan data-data yang relevan.

3.3 Teknik Pengolahan Data


Teknik pengolahan data pada penelitian ini adalah teknik analisis data melalui metode
kualitatif. Metode pengolahan data di lakukan dengan menguraikan data data dalam betuk
kalimat teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan
pemahaman interpretasi data. Dengan metode ini, dapat diperoleh informasi dan data
mengenai art therapy dan bagaimana pengaplikasian art therapy dalam pengobatan trauma
pelecehan seksual pada anak.

3.4 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data merupakan proses penerapan secara sistematis teknik statistik dan
logis untuk menggambarkan dan mengilustrasikan, menyingkat dan merekap, serta
mengevaluasi data. Teknik ini menjadi metode atau cara untuk mendapatkan sebuah data agar
menjadi informasi dengan karakteristik data yang mudah dipahami dan dapat bermanfaat
dalam menemukan solusi dalam sebuah permasalahan. Analisis data dapat dilakukan sebagai
berikut ini :
(a) Perencanaan
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Penulis menentukan masalah yang akan diteliti dan latar belakangnya.
2) Penulis mengidentifikasi dan merumuskan masalah.
3) Penulis melakukan telaah pustaka dari masalah yang akan diteliti.
4) Penulis merumuskan tujuan dan hipotesis penelitian.
5) Penulis menyusun rencana penelitian.
(b) Pelaksanaan
Pada tahap ini kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Penulis mengumpulkan dan mengolah data dari jurnal-jurnal yang valid.
2) Penulis menganalisis dan menentukan instrumen penelitian dari masalah yang
akan diteliti.
(c) Evaluasi
Pada tahap ini, penulis melakukan analisis data dari jurnal-jurnal yang memuat
mengenai permasalahan yang akan diteliti dan menafsirkan hasil dari analisis tersebut
melalui metode yang telah ditentukan sebelumnya.
(d) Penyusunan Laporan
Pada tahap akhir ini, penulis membuat laporan secara tertulis mengenai masalah yang diteliti
dengan menyusun data-data yang telah dikumpulkan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Penyebab Pelecehan Seksual pada Anak


Pelecehan seksual merupakan berbagai bentuk perilaku yang menyebabkan interaksi
seksual antara oknum dan korban tanpa adanya persetujuan dari korban. Pelecehan
seksual tidak hanya terjadi apabila oknum melakukan kontak badan namun juga dapat
terjadi secara verbal dari gestur dan perkataan yang membuat korban merasa tidak
nyaman. Pada interaksi seksual ini, korban seolah-olah menjadi pemuas bagi oknum
agar dapat memuaskan hasrat dan gairah seksual. Peristiwa ini terjadi terus menerus
dengan grafik yang selalu meningkat setiap tahunnya. Data dari Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan peningkatan sebesar 70% pada kasus
pelecehan seksual di tahun 2019 bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Diagram batang 4.1 Kasus Pelecehan Seksual Anak tahun 2016-2019


400
350
300
250
200
150
100
50
0
2016 2017 2018 2019

Tahun

Sumber : LPSK

Dibalik tingginya angka pelecehan seksual yang menjadikan anak sebagai korban,
ada faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi sasaran bagi oknum pelecehan
seksual. Pada dasarnya, manusia memiliki dorongan untuk memiliki keturunan
dikarenakan oleh libido atau dorongan yang dimiliki oleh semua orang untuk
melakukan aktivitas seksual. Namun, tuntutan untuk memuaskan libido seseorang tidak
selalu dapat direalisasikan karena adanya norma yang berlaku di masyarakat seperti
norma masyarakat, norma sosial, norma agama, norma asusila dan norma hukum. Pada
norma-norma tersebut mengajarkan bahwa gairah seksual tersebut tidak dapat
dicurahkan kepada sembarang orang. Adanya kecukupan umur, status hubungan dan
persetujuan pihak lain juga menjadi faktor yang menjadi batasan seseorang untuk
memuaskan libidonya. Akan tetapi, bila libido itu tidak dapat terpuaskan dan seseorang
telah kehilangan akal sehatnya, keinginan dan hasrat untuk melanggar normapun dapat
terjadi. Berdasarkan sudut pandang pelaku pelecehan seksual, faktor dapat terbagi
menjadi dua yaitu :

1) Faktor Internal
Faktor internal adalah segala sesuatu yang berasal dari dalam diri seseorang,
pada kasus ini faktor internal dalam diri seseorang membangkitkan hasrat dari
dirinya untuk melakukan tindakan tidak terpuji berupa pelecehan seksual.
Kejiwaan seseorang dapat memicu dirinya berfantasi sehingga memiliki nafsu
seks yang abnormal kepada anak-anak. Dalam faktor internal juga terdapat
faktor biologis yang menginginkan kebutuhan seksualnya terpenuhi sehingga
ketika hasrat tersebut tidak dapat ditahan membuat seseorang mencari
kesempatan untuk melampiaskan keinginan biologisnya. Dalam diri manusia
selalu tertanam moral yang dapat membimbing kehidupan agar jauh dari hal-hal
negatif dan melanggar norma-norma yang telah tertanam. Namun, apabila moral
dalam diri seseorang tidak kuat dan adanya dorongan biologis membuat ia
semakin melampiaskan keinginan seksualnya kepada subjek yang mudah untuk
diperdaya. Secara fisik, anak-anak dapat dibilang lemah untuk melakukan
perlawanan balik kemudian kurangnya edukasi yang dilakukan kepada anak
sejak dini mengenai bagian-bagian privat yang tidak boleh sembarang dipegang
oleh orang lain. Bahkan terkadang anak menganggap perlakuan seksual yang
dialaminya sebagai rasa sayang yang diberikan. Hal ini membuat pelaku
memiliki pola pikir bahwa ia memiliki kuasa untuk mengontrol dan bersikap
sesuai keinginannya. Trauma masa lalu juga menjadi faktor internal yang
mengakibatkan seseorang melakukan pelecehan seksual. Misalnya, saat kecil ia
mendapatkan perlakuan tersebut dari orang lain namun karena hal tertentu yang
menyebabkan ia tidak dapat meluapkan emosi dan perasaannya dari peristiwa
traumatik tersebut, secara tidak langsung di dalam dirinya terbentuk dendam dan
keinginan untuk melampiaskan kepada subjek yang memiliki kemiripan pada
dirinya dengan tujuan agar subjek dapat merasakan apa yang dirasakannya ketika
menjadi korban pelecehan seksual.

2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan segala sesuatu yang berasal dari luar diri
seseorang termasuk hal-hal yang berada di sekeliling kehidupannya. Berdasarkan
kehidupan ekonomi dapat menyebabkan peluang anak menjadi korban pelecehan
seksual meninggi terutama pada anak-anak yang hidup di lingkungan ekonomi
rendah. Dari beberapa kasus yang terjadi, orangtua yang tidak bertanggungjawab
menjadikan anaknya sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) atau bahkan
keadaan ekonomi yang mengharuskan istri menjadi Tenaga Kerja Wanita
(TKW) membuat suami merasakan kesepian dan justru melampiaskan hasrat
seksualnya kepada anaknya sendiri. Globalisasi juga termasuk ke dalam faktor
eksternal pelecehan seksual, semakin berkembangnya zaman semakin mudah
juga bagi pengguna internet berkenalan dan berinteraksi dengan berbagai macam
orang dari tempat yang berbeda. Hal yang harusnya membawa dampak positif ini
terkadang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan pelecehan secara
online (cyberporn) kepada anak-anak yang belum mengerti mengenai pelecehan
seksual dan rasa ingin tahu yang tinggi. Lemahnya penegakan hukum dan
ancaman hukum yang relatif ringan juga menjadi salah satu alasan mengapa
seseorang melakukan pelecehan seksual. Proses hukum yang berbelit-belit dan
kurang membantu bagi korban untuk melaporkan oknum membuat korban justru
merasa semakin dirugikan. Terkadang kasus-kasus pelecehan seksual yang
dilaporkan tidak diproses sehingga oknum yang dapat melakukan pelecehan bisa
mengulangi perbuatannya kepada orang lain dan menambah korban
membuktikan bahwa justru pelaku pelecehan seksual mendapatkan keuntungan
sementara korban semakin merasa bahwa mereka tidak mendapatkan
perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan.

4.2 Pengaruh Trauma Terhadap Psikis Anak


Pelecehan seksual merupakan peristiwa yang terjadi tanpa perizinan dan keinginan
seseorang yang menjadi korban. Secara psikologis, peristiwa pelecehan seksual
membuat korban merasakan luka secara fisik maupun nonfisik. Jika dibandingkan,
luka yang dialami korban secara fisik dapat sembuh dalam jangka waktu yang lebih
singkat dibandingkan luka yang menimpa kesehatan mental korban. Kejadian yang
menimpa korban akan membekas didalam otak dan reka ulang kejadian yang telah
terjadi akan sering terputar ulang sehingga membuat korban semakin susah untuk
pulih dan bangkit dari peristiwa tersebut. Perasaan yang dialami oleh korban setelah
mengalami pelecehan seksual dapat juga disebut sebagai trauma.
Trauma merupakan kecemasan secara berlebihan yang dialami seseorang setelah
mengalami kejadian atau peristiwa yang melampaui batas dirinya untuk bertahan
secara fisik maupun nonfisik. Trauma dibagi menjadi tiga tingkat. Trauma tingkat
satu ditandai dengan reaksi akut, trauma tingkat dua ditandai dengan korban yang
sering bergantung pada keterampilan mengatasi seperti penyangkalan besar, mati rasa,
disosiasi, atau kemarahan. Trauma tingkat tiga ditandai dengan korban merasa ingin
bunuh diri dan putus asa tanpa alasan yang jelas.
Psikis korban dipengaruhi oleh trauma mulai dari pengulangan pengalaman trauma
yang datang dalam berbagai bentuk seperti flashback mendadak yang menyebabkan
seolah-olah peristiwa itu terjadi kembali atau dalam bentuk nightmares pada saat
korban tidur yang disebabkan oleh kenangan atau peristiwa yang menyedihkan.
Korban juga akan merasakan kekurangan dalam interaksi sosial dengan orang lain
karena trauma yang ia alami menimbulkan rasa cemas berlebih sehingga daya
ketertarikan untuk mengenal dan berinteraksi dengan sesama menurun sehingga
korban menutup diri dari lingkungan. Emosi yang dirasakan oleh korban didominasi
rasa negatif sehingga perasaan korban tidak stabil dan susah untuk mengendalikan
amarahnya. Terlebih lagi apabila trauma telah dirasakan oleh seseorang sejak ia masih
kecil menyebabkan perubahan tingkah laku, emosi, dan pemikiran sehingga
berdampak pada masa pertumbuhan anak seperti pertumbuhan otak awal.
Anak yang mengalami trauma akan menunjukkan penurunan pada volume
hippocampal yang terdapat dalam hippocampus yang merupakan bagian kecil di otak
yang berperan penting dalam mengingat informasi dan menghubungkan emosi ke
dalam memori tersebut. Kejadian yang tertangkap melalui indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, perasa, dan sentuhan yang masuk ke dalam thalamus yang
berfungsi sebagai pemancar secara bersamaan mengantar rangsangan tersebut ke
amygdala dan hippocampus. Di dalam hippocampus informasi diproses secara
perlahan, dan kemudian membuat tafsiran yang benar tentang apa yang terjadi
kemudian diantar ke amygdala, dan kemudian direspon sesuai dengan informasi yang
dihantar oleh hippocampus. Bila informasi tersebut mengandungi unsur-unsur
berbahaya, maka amygdala akan mengeluarkan “penggerak tanda bahaya” berupa
adrenalin dan noradrenalina, dan jika informasi itu tidak berbahaya, maka amygdala
secara automatik memadamkan penggerak tanda bahaya dan akhirnya terjadilah
respons berupa menghindar atau melawan. Pada individu yang mengalami trauma,
fungsi hippocampus telah mengalami kerusakan sehingga tidak dapat memproses
informasi secara tepat. Akibatnya, informasi yang diberikan kepada amygdala akan
salah dan memberikan respon kurang tepat dengan menghidupkan penggerak bahaya
yang berupa adrenalin dan noradrenalin dalam dosis yang berlebihan, untuk menyahut
satu perkara yang tidak begitu mengancam. Hal inilah yang menyebabkan anak
bersikap berlebihan terhadap sesuatu ketika berhadapan dengan hal yang
mengingatkan ia terhadap traumanya.

4.3 Penerapan Art Therapy


Pelecehan seksual mengakibatkan korban mengalami berbagai macam dampak
negatif. Adanya dampak negatif ini dapat menghambat kinerja korban dalam
menjalankan kehidupan setelah mengalami peristiwa traumatik tersebut. Oleh karena itu,
agar korban dapat menjalani kehidupannya dibutuhkan pengobatan yang dapat
membantu korban supaya pulih dari luka batin yang menimpa mereka. Pengobatan yang
dapat dilakukan terutama pada korban anak-anak adalah art therapy. Pengobatan ini
merupakan jenis terapi hasil dari gabungan ilmu kesenian dan psikologi sehingga
menghasilkan proses penyembuhan dalam bentuk terapi visual. Dalam terapi ini
membantu individu mengeskpresikan pikiran dan perasaan yang sulit diungkapkan dalam
bentuk kata-kata ke dalam bentuk karya seni yang kreatif. Proses penyembuhan ini
berguna dalam meningkatkan kualitas kehidupan individu, membantu mengatasi
gangguan emosi, serta meningkatkan kebahagiaan hidup. Art therapy juga merupakan
suatu bentuk ungkapan simbolis dan cara menyalurkan emosi melalui pengalaman proses
pembuatan karya seni untuk meningkatkan kesejahteraan secara emosional, kognitif,
fisik dan spiritual. Art therapy yang mencakup seni visual, proses kreatif dan psikoterapi
berguna untuk meningkatkan kesejahteraan secara emosional, kognitif, fisik, dan
spiritual. Dalam aspek psikoterapi seni memegang posisi penting dan unik dalam
kesehatan mental. Seni dapat dilakukan dengan cara menyatukan perasaan dan dorongan
yang saling bertentangan dalam sebuah bentuk estetis melalui proses kreatif sehingga art
therapy bisa membantu klien untuk menyalurkan emosi melalui pengalaman proses
pembuatan karya seni. Tujuan utama art therapy bukan sekedar menghasilkan bentuk
seni visual namun kebebasan bagi korban untuk berkomunikasi ke dalam bentuk artistik
sebagai cara untuk menyampaikan perasaan dan emosinya yang tidak dapat tersampaikan
kepada terapis.
Art therapy memiliki beberapa jenis penerapan yaitu, terapi menggambar atau
melukis, terapi menari, terapi drama, terapi musik, dan terapi puisi. Setiap jenis art
therapy ini memiliki cara penyampaian dan cara terapi yang berbeda-beda. Misalnya
terapi menggambar memberikan kesempatan kepada korban untuk mengekspresikan
kondisi psikisnya melalui tulisan dan memberi konseling terhadap gambar dengan
menggunakan skill konseling, antara lain "probing", "reflecting", "paraphrasing",
"focusing", "clarifying", "summarizing", dan "supporting". Terapi yang membutuhkan
beberapa peralatan seperti pensil warna, krayon dan kertas ini dilakukan pada sesi kedua
sampai sesi keenam. Setiap sesi menggambar akan dilakukan berdasarkan instruksi dan
tujuan masing-masing sesi. Sarana-prasarana yang digunakan masing-masing sesi akan
berbeda antara satu sesi dengan sesi lainnya. Pada jenis art therapy ini, terapis berperan
sebagai fasilitator yang memandu subjek selama proses terapi. Hasil akhir dari terapi
menggambar ini tidak terpaku dengan bagus atau tidaknya gambar yang dibuat anak,
melainkan bagaimana mereka dapat mengkomunikasikan gambar.
Terapi menari merupakan gerakan ritmis disertai irama yang bertujuan
mengekspresikan perasaan, meningkatkan konsentrasi, kemampuan ritmik, kemampuan
kinetik tubuh, kemampuan memproses informasi, mengikuti arahan, dan menambah
kepercayaan diri. Suatu latihan pola gerak yang bervariasi dapat meningkatkan potensi
kemampuan fisik, emosi, sosialisasi, dan kognitif. Latihan pola gerak sangat berpengaruh
pada potensi gerak seseorang dalam keterampilan olah tubuh. Melalui kesadaran
terhadap pola gerak tubuh, seseorang akan mampu mencapai ketrampilan gerak tubuh
secara mandiri. Esensi dari pola gerak mampu meningkatkan potensi diri anak
berkebutuhan khusus dalam hal kreativitas. Oleh karena itu hal ini dapat merangsang
kemampuan kognitif dan sosial. Perkembangan kognitif dan sosial melalui kreativitas
gerak dapat menimbulkan kepercayaan diri pada diri setiap anak. Melalui pembelajaran
pola gerak memungkinkan otot-otot tubuh dapat dilatih, ditegangkan, dikendurkan. Otot
lebih kuat dan lentur, hal ini memberi kemampuan lebih pada fungsi persendian. Fungsi
optimal dari persendian itulah yang dapat meningkatkan kemampuan gerak suatu
individu.
Terapi drama merupakan suatu bentuk variasi terapi kelompok dimana terapi ini
dilakukan dengan bermain peran untuk meningkatkan kemampuan verbal dan bahasa,
kemampuan kinetik tubuh, kemampuan interpersonal (interaksi sosial), melatih
kerjasama tim, kemampuan memproses informasi, mengikuti arahan, dan menambah
kepercayaan diri. Terapi drama dapat dilakukan dengan bermain peran (role playing).
Terapi musik merupakan jenis terapi yang menggunakan musik sebagai media untuk
memperbaiki, memelihara serta mengembangkan mental dan kesehatan emosi. Proses
intervensi sistematis dengan terapis dapat membantu anak meningkatkan kesehatan
menggunakan pengalaman musik dan hubungan yang berkembang diantaranya. Terapi
yang termasuk universal ini bisa diterima oleh semua orang karena tidak membutuhkan
kerja otak yang berat untuk menginterpretasi alunan musik. Terapi musik sangat mudah
diterima organ pendengaran dan kemudian melalui saraf pendengaran disalurkan ke
bagian otak yang memproses emosi (sistem limbik). Saat ini banyak penelitian di
Indonesia yang menggunakan musik klasik barat sebagai musik yang digunakan sebagai
sarana intervensi dalam terapi musik terutama untuk mengatasi stress dan kecemasan.
Musik klasik merupakan musik yang dapat melatih otot-otot dan pikiran menjadi relaks.
Dengan mendengarkan musik, anak merasakan kondisi yang rileks dan perasaan yang
nyaman. Terapi musik klasik ini bekerja pada otak, dimana ketika didorong oleh
rangsangan dari luar (terapi musik klasik), maka otak akan memproduksi zat kimia yang
disebut neuropeptide. Molekul ini akan menyangkutkan ke dalam reseptor - reseptor
mereka yang ada di dalam tubuh dan akan memberikan umpan balik berupa ketenangan
dan menjadi rileks. Hal ini dapat membantu anak sebagai korban pelecehan seksual agar
ia mendapatkan ketenangan dan penyembuhan dari trauma.
Terapi puisi merupakan perlakuan yang diberikan dengan menggunakan puisi sebagai
alat bantunya dengan tujuan mengembangkan ketepatan pemahaman dalam
mempersepsikan diri dan orang lain, mengembangkan kreativitas, ekspresi dan harga diri
yang lebih tinggi, menguatkan keterampilan interpersonal dan komunikasi, menjadi
ventilasi bagi emosi yang berlebihan dan untuk melepas ketegangan, menemukan makna
baru melalui ide baru serta menguatkan perubahan dan meningkatkan kemampuan
koping dan fungsi adaptif. Terapi puisi menggunakan puisi dan media sejenis untuk
memfasilitasi diskusi mengenai isu-isu personal, biasanya dalam bentuk kelompok.
Terapi ini terdiri atas beberapa tahap yaitu, pertama adalah tahap menulis puisi. Tahap
ini dengan istilah trawling (menjangkarkan). Tahap ini memerlukan kemauan dan
keberanian untuk melakukan eksplorasi agar ide dapat tergambarkan. Kedua adalah
tahap pertengahan, pada tahap ini anak akan membaca ulang puisi yang dibuatnya dan
menanyakan dalam dirinya “Apakah aku benar-benar merasakan atau memikirkan hal
ini?” Beberapa pertanyaan dasar yang dapat digunakan untuk memeriksa kebenaran
makna dari puisi adalah siapa, apa, kapan, mengapa, bagaimana, seberapa besar atau
banyak. Ketiga adalah tahap terakhir, yaitu penulisan ulang naskah atau proses re-
drafting. Tahap ini lebih bersifat kognitif, dimana penulis memberikan makna ulang atas
apa yang telah mereka tuliskan pada tahap menulis. Makna yang terbangun mendorong
anggota untuk mulai menyusun kehidupan barunya. Terapi puisi membantu anak pada
proses eksternalisasi pengalaman yang tidak menyenangkan. Eksternalisasi membantu
meringankan beban psikologis ketika siswa memendam sebuah pengalaman tidak
menyenangkan. Menulis puisi serta membacakannya memberi kesempatan kepada anak
untuk meluapkan seluruh perasaannya dengan cara yang tidak menyakiti. Pada saat
menulis, anak menjangkarkan kembali kronologis dari sebuah permasalahan yang
dialami dimulai dari awal peristiwa terjadi hingga pengaruh terhadap diri anak.
Menuliskan pengalaman pahit ke dalam sebuah puisi akan mengawali sebuah proses
penerimaan diri atas kehidupan yang telah dan sedang Ia jalani. Keberanian mengingat
dan merunut kembali pengalaman pahit dengan penuh kesadaran membuat anak merasa
mampu menghadapi dan mengakui bahwa Ia telah merasakan emosi-emosi negatif
dampak dari pengalaman tersebut.
Adanya jenis-jenis dari penerapan art therapy dapat membantu individu memilih jenis
terapi yang sesuai dengan kepribadiannya. Art therapy diaplikasikan secara luas ke
dalam beberapa tipe trauma, termasuk sexual abuse. Art therapy dinilai lebih efektif
dalam mengatasi trauma karena seni dapat digunakan untuk menyatakan dan
mendokumentasikan felt sense dan peralihan perasaan. Media kreatif salah satunya art
atau seni merupakan hal yang di sukai oleh anak. Hal ini bermanfaat sebagai media bagi
anak untuk mengeksplorasi dan melakukan eksperimen sederhana melalui media seni
yang kreatif dan menarik. Dengan ini, anak dapat menyampaikan perasaan dan emosinya
dengan nyaman ke dalam bidang yang ia senangi (art).

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pelecehan seksual pada anak dapat terjadi oleh karena beberapa faktor. Faktor-faktor
ini dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Pelecehan seksual berdasarkan faktor
internal terjadi karena hal-hal yang berasal dari dalam diri pelaku sehingga mendorong
hawa nafsunya untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Sementara itu, pelecehan
seksual berdasarkan faktor eksternal terjadi karena hal-hal disekeliling pelaku yang
membuat ia merasa tertekan dan merangsang keinginannya untuk melakukan pelecehan
seksual.
Pelecehan seksual yang terjadi pada anak akan mengakibatkan dampak-dampak
negatif. Selain secara fisik, dampak negatif yang terjadi juga secara psikis dan bahkan
melalui tahap pemulihan jangka waktu yang lama. Kejadian anak saat ia dilecehkan akan
membekas didalam otak dan memori kejadian saat ia dilecehkan akan sering terputar
ulang sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan trauma pada anak. Trauma yang
dialami oleh anak tidak boleh dibiarkan begitu saja dan perlu penanganan.
Art Therapy dapat menjadi salah satu sarana pengobatan bagi anak-anak yang
mengalami trauma akibat pelecehan seksual. Dalam art therapy ini terdiri dari beberapa
jenis cara yang dibagi menyesuaikan hobi serta minat bakat anak. Pada setiap jenis
penerapan pada art therapy ini menciptakan suasana yang playful sehingga dapat
mengurangi tekanan dalam sesi terapi. Dengan menciptakan suasana yang membuat anak
merasa aman di dalam dunianya, dapat membantu anak agar lebih nyaman dalam
menyampaikan perasaaan dan emosi yang dipendam setelah mengalami trauma.
Art Therapy juga dapat membantu anak-anak yang mengalami kesulitan dalam
mengkomunikasikan perasaan serta emosinya dalam kata-kata secara langsung. Anak
dalam sesi terapi dapat memvisualisasikan hal-hal yang sulit disampaikan ke dalam
bentuk-bentuk artistik. Hasilnya kemudian akan diamati dan dikaji oleh terapis yang
menangani anak tersebut.
5.2 Saran

Penerapan art therapy dapat membantu menangani kasus-kasus pelecehan seksual


yang menyebabkan trauma pada anak terutama di daerah Kalimantan Barat, Indonesia.
Pengenalan mengenai art therapy dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi kepada
masyarakat agar dapat mengetahui sistem penerapan art therapy dan dengan harapan dapat
membantu anak-anak dalam mengobati trauma akibat pelecehan seksual.

Anda mungkin juga menyukai