Bab 1-5
Bab 1-5
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang (cari informasi tentang kasus pelecehan seksual pada anak usia remaja
seperti apa dampaknya terhadap korban)
Secara umum pelecehan seksual merujuk pada perilaku yang ditandai dengan
komentar-komentar seksual yang tidak diinginkan dan tidak pantas atau pendekatan-
pendekatan fisik berorientasi seksual yang dilakukan di tempat situasi kerja,
profesional atau sosial lainnya (Rusyidi dkk.2019). Sementara, pengertian kekerasan
seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas
seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan
oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang
usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak
memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual (CASAT
Programme, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA). Bab II
Pada tahun 2018, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat 206
kasus kekerasan seksual pada anak. Sedangkan, pada tahun 2019 tercatat 350 kasus kekerasan
seksual pada anak yang terjadi. Jumlah ini meningkat 70 persen dibandingkan tahun
sebelumnya (LPSK, 2020). Sementara itu, data terbaru dari SIMFONI PPA menunjukkan
bahwa pada 1 Januari sampai dengan 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan
terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan
seksual (KPPPA, 2020).
Pelecehan seksual memiliki beberapa dampak pada korbannya, salah satunya adalah
Post-traumatic Stress Disorder (PTSD). Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, (DSM-IVTR), Post-traumatic Stress Disorder didefinisikan sebagai suatu
kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh
seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, cidera serius, ancaman terhadap
integritas fisik atas diri seseorang (Hera Wahyuni, 2016).
Pemerintah telah bertindak untuk menanggulangi kasus pelecehan seksual pada
anak dengan membentuk berbagai lembaga hukum yang menangani kasus kekerasan
seksual pada anak seperti Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia
untuk Keadilan (LBH-APIK). Selain itu, pemerintah juga menyediakan terapi oleh
psikolog kepada anak yang mengalami trauma akan kekerasan seksual secara gratis.
Terapi ini bertujuan untuk memulihkan korban, memberikan berbagai pengarahan
dan ajakan untuk tidak mengingat kejadian yang telah terjadi serta memberikan
pemahaman dan pendampingan (Safrida dan Desi Maulida, 2020). Selain itu, ada
metode lain yang dapat digunakan untuk menanggulangi kasus kekerasan seksual pada
anak yaitu art therapy. Metode ini dilakukan dengan melepaskan ketidaksadaran
melalui ekspresi seni secara spontan sebagai akar transfer hubungan antara pasien dan
terapis pada dorongan asosiasi bebas yang merujuk pada teori psikoanalisa. Dalam
prakteknya, art therapy melibatkan proses dan membuat gambar (dari bentuk
mentah yang kemudian dibentuk dalam ekpresi symbol) dan menyediakan
hubungan teraupetik. Dari hubungan terapis-klien yang ekplorasi secara ekplisit
dari gambar dan objek yang dibuat oleh subjek, ini membuat terapis dapat
memperoleh pemahaman diri dan sifat, kesulitan maupun tekanan yang dialami
oleh klien dengan lebih baik yang pada gilirannya dapat mengakibatkan
perubahan positif dan menetap pada diri klien, hubungan saat ini dan kualitas
kehidupan klien secara keseluruhan (Naumberg, 2004). BAB II
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis melakukan studi literatur mengenai
Penerapan Art Therapy sebagai Sarana Pengobatan Trauma Pelecehan Seksual pada
Anak Usia Remaja. Penulis berharap bahwa art therapy dapat menjadi salah satu solusi
pengobatan trauma pelecehan seksual pada anak remaja.
Kayus Kayowuan
Lewoleba dan Studi Faktor-Faktor Terjadinya Tindak
8. 2020
Muhammad Helmi Kekerasan Seksual Pada Anak-Anak
Fahrozi
Tujuan Art Therapy tidak hanya untuk menghasilkan bentuk-bentuk artistik namun dapat
digunakan sebagai sarana bagi korban untuk mengungkapkan atau menuangkan emosi yang
tidak dapat diungkapkan oleh perkataan (Council, 2003; John Dewey).
Tujuan art therapy juga dapat bervariasi sesuai dengan kebutuhan khusus individu dan dengan
terapis yang menangani kasusnya. Kebutuhan ini kemudian mungkin akan mengubah
perkembangan hubungan terapeutik, dalam satu proses Art Therapy mungkin melibatkan ahli
Art Therapy dengan mendorong klien untuk berbagi dan mengeksplorasi kesulitan emosional
melalui penciptaan gambar dan diskusi, sedangkan disisi lain klien bisa diarahkan untuk
memegang krayon dan membuat tanda, hal ini dianggap mengembangkan cara-cara baru untuk
memberikan bentuk perasaan sebelumnya yang tidak bisa diekpresikan (Aiyuda, 2019).
Menurut American Art Therapy Association (2013) Art Therapy dapat dipraktekkan dalam
berbagai bidang seperti kesehatan mental, rehabilitasi, kesehatan, bidang pendidikan, forensik
dan lainnya.
Beberapa manfaat terapi ini merujuk pada American Art Therapy Association (2013) antara lain
yaitu :
(1) Art Therapy dianggap efektif dalam memberikan pengobatan yang efektif untuk orang-
orang yang mengalami gangguan psikologis, perkembangan, kesehatan, pendidikan
sampai pada gangguan sosial.
(2) Individu yang bisa menggunakan manfaat terapi ini diantaranya pada terapi ini antara
lain mereka yang trauma akibat pertempuran, penyalahgunaan, dan bencana alam, orang
dengan kesehatan fisik seperti kanker, cedera otak, atau cacat kesehatan lainnya.
(3) Penyandang autis, demensia, depresi, dan gangguan lainnya.
(4) Terapi ini juga membantu orang menyelesaikan konflik meningkatkan keterampilan
interpersonal, mengelola perilaku bermasalah, mengurangi stress.
(5) Mencapai wawasan pribadi serta memberikan kesempatan untuk menikmati kesenangan
hidup dari pembuatan seni.
LANGKAH KERJA
2.3 Trauma Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism
(ECPAT) Internasional (dalam Lewoeba dan Fahrozi, 2020) merupakan hubungan atau interaksi
antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing,
saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan
seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan
bahkan tekanan. Kegiatan-kegiatan kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus
melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak sebagai korban. Bentuk-bentuk kekerasan
seksual itu sendiri bisa dalam tindakan perkosaan ataupun pencabulan (Noviana, 2015).
Pelecehan seksual, penyerangan seksual, kekerasan hingga perkosaan yang dialami oleh
seorang anak sebagai korban (victim) secara psikologis merupakan pengalaman traumatik.
Kekerasan seksual tersebut lebih merupakan trauma psikis dari pada fisik. Karena dapat
menimbulkan gangguan jiwa yang disebut Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya paling
sedikit satu dari hal berikut, ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa tersebut, mimpi-
mimpi berulang dari peristiwa tersebut, timbulnya secara tiba-tiba perlaku atau perasaan seolah-
olah peristiwa traumatik itu timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau
stimulus/rangsangan lingkungan (Hertinjung, 2012).
2.3.3 Dampak Trauma Pelecehan Seksual
Finkelhor dan Browne (dalam Noviana, 2015) mengkategorikan empat jenis dampak trauma
akibat pelecehan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:
(1) Pengkhianatan (Betrayal)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban pelecehan seksual. Sebagai seorang
anak, mempunyai kepercayaan kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan
dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam
anak.
(2) Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization)
Russel (dalam Noviana, 2015) menemukan bahwa perempuan yang mengalami
kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya
menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor ( dalam Noviana,
2015)) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap
laki-laki tidak dapat dipercaya.
(3) Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness)
Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami
oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu
merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja.
Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain
memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne,
Briere dalam Noviana, 2015).
(4) Stigmatization
Korban pelecehan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk.
Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka
tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Anak sebagai korban sering merasa
berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat
penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman
alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha
menghindari memori kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Noviana, 2015).
BAB III
METODE PENELITIAN
Tahun
Sumber : LPSK
Dibalik tingginya angka pelecehan seksual yang menjadikan anak sebagai korban,
ada faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi sasaran bagi oknum pelecehan
seksual. Pada dasarnya, manusia memiliki dorongan untuk memiliki keturunan
dikarenakan oleh libido atau dorongan yang dimiliki oleh semua orang untuk
melakukan aktivitas seksual. Namun, tuntutan untuk memuaskan libido seseorang tidak
selalu dapat direalisasikan karena adanya norma yang berlaku di masyarakat seperti
norma masyarakat, norma sosial, norma agama, norma asusila dan norma hukum. Pada
norma-norma tersebut mengajarkan bahwa gairah seksual tersebut tidak dapat
dicurahkan kepada sembarang orang. Adanya kecukupan umur, status hubungan dan
persetujuan pihak lain juga menjadi faktor yang menjadi batasan seseorang untuk
memuaskan libidonya. Akan tetapi, bila libido itu tidak dapat terpuaskan dan seseorang
telah kehilangan akal sehatnya, keinginan dan hasrat untuk melanggar normapun dapat
terjadi. Berdasarkan sudut pandang pelaku pelecehan seksual, faktor dapat terbagi
menjadi dua yaitu :
1) Faktor Internal
Faktor internal adalah segala sesuatu yang berasal dari dalam diri seseorang,
pada kasus ini faktor internal dalam diri seseorang membangkitkan hasrat dari
dirinya untuk melakukan tindakan tidak terpuji berupa pelecehan seksual.
Kejiwaan seseorang dapat memicu dirinya berfantasi sehingga memiliki nafsu
seks yang abnormal kepada anak-anak. Dalam faktor internal juga terdapat
faktor biologis yang menginginkan kebutuhan seksualnya terpenuhi sehingga
ketika hasrat tersebut tidak dapat ditahan membuat seseorang mencari
kesempatan untuk melampiaskan keinginan biologisnya. Dalam diri manusia
selalu tertanam moral yang dapat membimbing kehidupan agar jauh dari hal-hal
negatif dan melanggar norma-norma yang telah tertanam. Namun, apabila moral
dalam diri seseorang tidak kuat dan adanya dorongan biologis membuat ia
semakin melampiaskan keinginan seksualnya kepada subjek yang mudah untuk
diperdaya. Secara fisik, anak-anak dapat dibilang lemah untuk melakukan
perlawanan balik kemudian kurangnya edukasi yang dilakukan kepada anak
sejak dini mengenai bagian-bagian privat yang tidak boleh sembarang dipegang
oleh orang lain. Bahkan terkadang anak menganggap perlakuan seksual yang
dialaminya sebagai rasa sayang yang diberikan. Hal ini membuat pelaku
memiliki pola pikir bahwa ia memiliki kuasa untuk mengontrol dan bersikap
sesuai keinginannya. Trauma masa lalu juga menjadi faktor internal yang
mengakibatkan seseorang melakukan pelecehan seksual. Misalnya, saat kecil ia
mendapatkan perlakuan tersebut dari orang lain namun karena hal tertentu yang
menyebabkan ia tidak dapat meluapkan emosi dan perasaannya dari peristiwa
traumatik tersebut, secara tidak langsung di dalam dirinya terbentuk dendam dan
keinginan untuk melampiaskan kepada subjek yang memiliki kemiripan pada
dirinya dengan tujuan agar subjek dapat merasakan apa yang dirasakannya ketika
menjadi korban pelecehan seksual.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan segala sesuatu yang berasal dari luar diri
seseorang termasuk hal-hal yang berada di sekeliling kehidupannya. Berdasarkan
kehidupan ekonomi dapat menyebabkan peluang anak menjadi korban pelecehan
seksual meninggi terutama pada anak-anak yang hidup di lingkungan ekonomi
rendah. Dari beberapa kasus yang terjadi, orangtua yang tidak bertanggungjawab
menjadikan anaknya sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) atau bahkan
keadaan ekonomi yang mengharuskan istri menjadi Tenaga Kerja Wanita
(TKW) membuat suami merasakan kesepian dan justru melampiaskan hasrat
seksualnya kepada anaknya sendiri. Globalisasi juga termasuk ke dalam faktor
eksternal pelecehan seksual, semakin berkembangnya zaman semakin mudah
juga bagi pengguna internet berkenalan dan berinteraksi dengan berbagai macam
orang dari tempat yang berbeda. Hal yang harusnya membawa dampak positif ini
terkadang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan pelecehan secara
online (cyberporn) kepada anak-anak yang belum mengerti mengenai pelecehan
seksual dan rasa ingin tahu yang tinggi. Lemahnya penegakan hukum dan
ancaman hukum yang relatif ringan juga menjadi salah satu alasan mengapa
seseorang melakukan pelecehan seksual. Proses hukum yang berbelit-belit dan
kurang membantu bagi korban untuk melaporkan oknum membuat korban justru
merasa semakin dirugikan. Terkadang kasus-kasus pelecehan seksual yang
dilaporkan tidak diproses sehingga oknum yang dapat melakukan pelecehan bisa
mengulangi perbuatannya kepada orang lain dan menambah korban
membuktikan bahwa justru pelaku pelecehan seksual mendapatkan keuntungan
sementara korban semakin merasa bahwa mereka tidak mendapatkan
perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pelecehan seksual pada anak dapat terjadi oleh karena beberapa faktor. Faktor-faktor
ini dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Pelecehan seksual berdasarkan faktor
internal terjadi karena hal-hal yang berasal dari dalam diri pelaku sehingga mendorong
hawa nafsunya untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Sementara itu, pelecehan
seksual berdasarkan faktor eksternal terjadi karena hal-hal disekeliling pelaku yang
membuat ia merasa tertekan dan merangsang keinginannya untuk melakukan pelecehan
seksual.
Pelecehan seksual yang terjadi pada anak akan mengakibatkan dampak-dampak
negatif. Selain secara fisik, dampak negatif yang terjadi juga secara psikis dan bahkan
melalui tahap pemulihan jangka waktu yang lama. Kejadian anak saat ia dilecehkan akan
membekas didalam otak dan memori kejadian saat ia dilecehkan akan sering terputar
ulang sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan trauma pada anak. Trauma yang
dialami oleh anak tidak boleh dibiarkan begitu saja dan perlu penanganan.
Art Therapy dapat menjadi salah satu sarana pengobatan bagi anak-anak yang
mengalami trauma akibat pelecehan seksual. Dalam art therapy ini terdiri dari beberapa
jenis cara yang dibagi menyesuaikan hobi serta minat bakat anak. Pada setiap jenis
penerapan pada art therapy ini menciptakan suasana yang playful sehingga dapat
mengurangi tekanan dalam sesi terapi. Dengan menciptakan suasana yang membuat anak
merasa aman di dalam dunianya, dapat membantu anak agar lebih nyaman dalam
menyampaikan perasaaan dan emosi yang dipendam setelah mengalami trauma.
Art Therapy juga dapat membantu anak-anak yang mengalami kesulitan dalam
mengkomunikasikan perasaan serta emosinya dalam kata-kata secara langsung. Anak
dalam sesi terapi dapat memvisualisasikan hal-hal yang sulit disampaikan ke dalam
bentuk-bentuk artistik. Hasilnya kemudian akan diamati dan dikaji oleh terapis yang
menangani anak tersebut.
5.2 Saran