ICD.10 = K40.0
HERNIA INGUINALIS
Penonjolan isi perut dari rongga yang normal melalui
anulus inguinalis internus yang terletak disebelah
1. Pengertian ( Definisi) lateral vasa epigastrika inferior, menyusuri kanalis
inguinalis dan keluar ke rongga perut melalui anulus
inguinalis eksternus.
1. Adanya penonjolan diselangkangan atau kemaluan
sering dikatakan turun bero/burut/kelingsir
2. Benjolan bisa mengecil atau menghilang pada
2. Anamnesis waktu tidur dan dapat timbul kembali jika
menangis, mengejan, mengangkat beban berat atau
bila posisi berdiri
3. Bila terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri.
1. Pemeriksaan fisik abdomen dan inguinalis, terlihat
adanya benjolan di area
inguinalis/kemaluan/skrotum
2. Jika tidak ditemukan pada keadaan berdiri pasien
diminta mengejan maka akan tampak benjolan dan
3. Pemeriksaan Fisik
bila sudah tampak diperiksa apakah benjolan dapat
dimasukan kembali
3. Pada auskultasi benjolan dapat didengarkan bunyi
usus
4. Pada palpasi kadang muncul nyeri tekan.
4. Kriteria Diagnosis Adanya benjolan di area inguinal atau kemaluan
5. Diagnosis Kerja Hernia inguinalis
1. Hidrokel
2. Limfadenopati inguinal
6. Diagnosis Banding 3. Testis ektopik
4. Orkitis
5. Lipoma
7. Pemeriksaan Penunjang USG skrotal dan inguinal
1. Pembedahan Herniotomi dan Herniorafi
8. Tata Laksana : 2. Pembiusan dengan Regional anastesi
3. Lama perawatan 2 hari
4. Antibiotik Profilaksis, Analgetik
1. Edukasi Komplikasi Hernia Inguinalis
9. Edukasi (Hospital Health
2. Edukasi Tindakan Herniotomi danHerniorafi
Promotion)
3. Edukasi Perawatan Luka pasca tindakan
10. Prognosis Ad vitam : bonam
1
Ad Sanationam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
11. Tingkat Evidens II
12. Tingkat Rekomendasi B
1. dr. Taufik Hidayat, SpB
13. Penelaah Kritis
2. dr. Ismar, SpB, SpBA
80% pasien yang dirawat dengan Hernia Inguinalis
14. Indikator
pulang sembuh
1. Kapita selekta kedokteran jilid 2 edisi 3 Editor :
Arif M, Suporaita, Wahyu IW, Wiwiek S . 2000;
313-7
15. Kepustakaan
2. 2. Nyhus LM, Bombeck CT, Klein MS. Hernia IN:
Sabiston DC. Texbook Of Surgery 14th ed.
Philadelphia: WB Sauders Company; 1991:958-65
2
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
ICD.10 = l.10
HIPERTENSI ESENSIAL
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama
atau melebihi 140 mmHg sistolik dan/ atau sama
1. Pengertian ( Definisi)
atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seorang yang
tidak sedang makan obat antihipertensi.
Keluhan :
1. Sakit kepala/ kepala terasa berat, terkadang
sensasi berputar
2. Mual (+) muntah (+)
3. Riwayat synkope
4. Dapat tidak bergejala
Faktor resiko kardiovaskuler:
1. Hipertensi
2. Merokok
3. Obesitas (IMT >30
4. Inaktivitas fisik
5. Dislipidemia
6. DM
7. Mikroalbuminuria atau < 60 ml/menit
2. Anamnesis
8. Usia (laki-laki >55 tahun, Perempuan >65
tahun)
9. Riwayat keluarga dengan penyakit
kardiovaskuler dini (laki-laki >55 tahun
Perempuan >65 tahun)
Kerusakan organ sasaran:
1. Jantung: hipertrofi ventrikel kiri, angina, atau
riwayat infark miokard, riwayat revaskularisasi
koroner, gagal jantung
2. Otak: Strok atau Transient ischemic attack
(TIA)
3. Penyakit ginjal kronik
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
3. Pemeriksaan Fisik 1. Antropometri: Berat badan,Tinggi badan.
2. Tekanan darah
Tekanan darah diukur minimal 2 kali tiap
kunjungan pada 2 kali atau lebih kunjungan yang
berbeda, dengan menggunakan cuff yang eliputi
minimal 80% lengan atas pada pasien dengan
posisi duduk dan telah beristirahat 5 menit.
3
- Tekanan sistolik = suara fase I dan tekanan
distolik =suara fase 5
- Pengukuran pertama harus pada kedua sisi
lengan untuk menghindarkan kelainan pada
pembuluh darah perifer
3. Frekuensi nadi : isi dan tegangan, regularitas
4. Mata : conjungtiva anemis
5. Pemeriksaan jantung: Heart rate, gallop, suara
jantung kedua mengeras, pembesaran ventrikel
kiri
6. Pemeriksaan Paru:sesak napas, ronchi
7. Abdomen: ascites, bising arteri renalis
8. Anggota gerak: kelemahan, motorik, edema
1. Sesuai kriteria anamnesis
2. Sesuai kriteria pemeriksaan fisik
Klasifikasi TD sistolik TD diastolic
(mmHg) (mmHg)
4. Kriteria Diagnosis
Normal < 20 dan < 80
Pre-hipertensi 120-139 atau 80 - 89
Hipertensi stage I 140 - 159 atau 90-99
Hipertensi stage 2 160 atau > 100
5. Diagnosis Kerja Hipertensi esensial
1. White collar hypertension
2. Nyeri akibat tekanan intraserebral
6. Diagnosis Banding
3. Ensefalitis
4. Akibat obat
1. Urinalisis rutin
2. Darah Perifer Lengkap
3. Kadar Gula Darah
4. Elektrolit darah: Na, K, Cl, Ca
5. Profil lipid: Kolesterol; Total, LDL, HDL,
7. Pemeriksaan Penunjang Trigliserida.
6. Asam Urat
7. X foto Thorak
8. EKG
9. USG Ginjal
10. Kadar Ureum, Creatinin
8. Tata Laksana :
1. Modifikasi gaya hidup
4
2. Hipertensi tanpa compelling indication
a. Hipertensi stage 1 dapat diberikan diuretik
(HCT 12.5-50 mg/hari, atau pemberian
penghambat ACE (captopril 3x12,5-50
mg/hari), atau nifedipin long acting 30-60
mg/hari) atau kombinasi.
b. Hipertensi stage 2
Bila target terapi tidak tercapai setelah
observasi selama 2 minggu, dapat diberikan
kombinasi 2 obat, biasanya golongan
diuretik, tiazid dan penghambat ACE atau
penyekat reseptor beta atau penghambat
kalsium.
c. Pemilihan anti hipertensi didasarkan ada
5
tidaknya kontraindikasi dari masing-masing
antihipertensi di atas. Sebaiknya pilih obat
hipertensi yang diminum sekali sehari atau
maksimum 2 kali sehari.
d. Bila target tidak tercapai maka dilakukan
optimalisasi dosis atau ditambahkan obat lain
sampai target tekanan darah tercapai
3. Obat-obat antihipertensi untuk pasien dengan
faktor risiko:
6
obatan dan minum obat teratur seperti yang
disarankan meskipun tak ada gejala.
4. Individu dan keluarga perlu diinformasikan juga
agar melakukan pengukuran kadar gula darah,
tekanan darah dan periksa urin secara teratur.
Pemeriksaan komplikasi hipertensi dilakukan
setiap 6 bulan atau minimal 1 tahun sekali.
Ad vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
1. dr. Dani Rosdiana, SpPD
2. dr. Ligat P Sembiring, SpPD
13. Penelaah Kritis
3. dr. Yohana Sitompul, Sp.PD
4. dr. Hendra Saputra, Sp.PD
80% Pasien hipertensi terkontrol tekanan darah
14. Indikator
dalam waktu 3 bulan pertama
1. JNC-7. (2003). The seventh report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood
15. Kepustakaan
Pressure.
2. Pedoman tatalaksana hipertensi pada penyakit
kardiovaskuler. (2015). PERKI.
ICD.10 = R.42
7
VERTIGO
Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa
gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan
gejala lain yang timbul, terutama dari jaringan
1. Pengertian ( Definisi)
otonomik yang disebabkan oteh gangguan alat
keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau
penyakit.
1. Bentuk serangan vertigo:
a. Pusing berputar
b. Rasa goyang atau melayang
2. Sifat serangan vertigo:
a. Periodik
b. Kontinu
c. Ringan atau berat
3. Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat
berupa:
a. Perubahan gerakan kepala atau posisi
b. Situasi: keramaian dan emosional
c. Suara
4. Gejala otonom yang menyertai keluhan vertigo:
2. Anamnesis
a. Mual, muntah, keringat dingin
b. Gejala otonom berat atau ringan
5. Ada atau tidaknya gejala gangguan pendegaran
seperti : tinitus atau tuli
6. Obat-obatan yang menimbulkan gejala vertigo
seperti: streptomisin, gentamisin, kemoterapi
7. Tindakan tertentu: temporal bone surgery,
transtympanal treatment
8. Penyakit yang diderita pasien: DM, hipertensi,
kelainan jantung
9. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah satu
sisi, perioral numbness, disfagia, hemiparesis,
penglihatan ganda, ataksia serebelaris
1. Umum: keadaan umum, anemia, tekanan darah
berbaring dan tegak, nadi, jantung, paru,
abdomen.
2. Pemeriksaan neurologis umum:
3. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran
b. Saraf-saraf otak: visus, kampus, okulomotor,
sensori dimuka, otot wajah, pendengaran,
dan menelan.
4. Kriteria Diagnosis Vertigo merupakan suatu sindroma atau kumpulan
gejala subjektif (symptoms) dan objektif (signs) dari
gangguan alat keseimbangan tubuh.
1. Gejala subjektif
Pusing, rasa kepala ringan
8
Rasa terapung, terayun
Mual
2. Gejala objektif
Keringat dingin
Pucat
Muntah
Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan
Nistagmus
3. Gejala tersebut di atas dapat
diperhebat/diprovokasi perubahan posisi kepala.
4. Dapat disertai gejala berikut:
Kelainan THT
Kelainan Mata
Kelainan Saraf
Kelainan Kardiovaskular
Kelainan Penyakit Dalam lainnya
Kelainan Psikis
Konsumsi obat-obat ototoksik
5. Diagnosis Kerja Vertigo
1. Migren
2. Meniere disease
6. Diagnosis Banding 3. Vestibular neuritis
4. Labirintitis bakterial
5. Neuroma akustik
Pemeriksaan penunjang sesuai dengan etiologi.
1. Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, kimia
darah, urin, dan pemeriksaaan lain sesuai
indikasi.
2. Pemeriksaan Radiologi: Foto tulang tengkorak
7. Pemeriksaan Penunjang
leher, Stensvers (pada neurinoma akustik).
3. Pemeriksaan neurofisiologi: elektroensefalografi
(EEG), elektromiografi (EMG).
4. Pemeriksaan Neuro-imaging: CT-scan kepala,
pneumoensefalografi, Transcranial Doppler.
8. Tata Laksana : 1. Terapi kausal: sesuai dengan penyebab
2. Terapi simptomatik:
Pengobatan simptomatik vertigo:
a. Ca-entry blocker (mengurangi aktivitas
eksitatori SSP dengan menekan pelepasan
glutamate, menekan aktivitas NMDA spesial
channel, bekerja langsung sebagai depressor
labirin): Flunarisin (Sibelium) 3x 5-10 mg/hr
b. Antihistamin (efek antikolinergik dan
merangsang inhibitory-monoaminergik
dengan akibat inhibisi n.vestibularis):
Cinnarizine 3x25 mg/hr, Dimenhidrinat
9
(Dramamine) 3x50 mg/hr.
c. Histaminik(inhibisi neuron polisinaptik pada
n. verstibularis lateralis): Betahistine
(Merislon) 3x8 mg
d. Fenotiazine (pada kemoreseptortrigger zone
dan pusat muntah di medulla oblongata):
Chlorpromazine (largaktil): 3x25 mg/hr
e. Benzodiazepine (Diazepam menurunkan
resting activity neuron pada n. vestibularis)
3x2-5 mg/hr
f. Antiepileptik: Carbamazepine (Tegretol)
3x200 mg/hr, Fenotoin (Dilantin) 3x100 mg
(bila ada tanda kelainan epilepsy dan
kelainan EEG)
g. Campuran obat-obat di atas
3. Pengobatan simptomatik otonom (mis.muntah):
Metoclopramide (Primperan, Raclonid) 3x10
mg/hr
4. Terapi rehabilitasi:
Latihan visual-vestibular, Metode Brandt-Daroff,
Gait exercise.
1. Istirahat cukup
9. Edukasi (Hospital Health 2. Menghindari pencetus vertigo
Promotion) 2. Menghindari aktivitas yang dapat memperberat
keluhan
Ad vitam : bonam
10. Prognosis Ad Sanationam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi B
13. Penelaah Kritis dr. Enny Lestari, Sp.S
1. Keluhan berkurang
2. Tidak terjadi komplikasi
14. Indikator
3. Lama hari rawat: 3-5 hari atau bisa lebih jika ada
komplikasi.
1.Mardjono,M. & Sidharta, P. 1978. Neurologi Klinis
10
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
ICD.10 = K30
DISPEPSIA
Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang
1. Pengertian ( Definisi) terdiri atas nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah,
rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa
11
1. Nyeri ulu hati yang dirasakan pasien daerah
epigastrium, garis temgah abdomen sampai
sampai garis tengah sebelah kiri abdomen.
2. Anamnesis
3. Mual, rasa kembung bahkan sampai disertai
muntah.
4. Rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa.
1. Nyeri tekan uluhati
3. Pemeriksaan Fisik
2. hipertimpani
Kiteria rome II : didapati gejala klinis sesuai
anamnesis diatas yang berlangsung dalam 3 bulan
atau dalam 12 bulan dengan:
1. Keluhan dispesia yang terus menerus atau
4. Kriteria Diagnosis sifatnya hilang timbul
2. Tidak ditemukan kelainan organik yang dapat
dibuktikan melalui endoskopi bagian atas.
3. Tidak ada gangguan dengan perubahan defiekasi
seperti irritable bowel
5. Diagnosis Kerja Dispepsia
1. Penyakit refluks gastroesopageal
2. IBS
6. Diagnosis Banding 3. Hepatitis
4. Pankreatitis
5. Karsinoma saluran cerna bagian atas
1. Darah perifer lengkap
2. Endoskopi bagian atas bila ditemukan
hematemesis atau melena dan dapat dilakukan
biopsi bila terlihat tukak
3. Helicobacter pylori dengan pemeriksaan urea
7. Pemeriksaan Penunjang breath test (UBT)
4. amilase, lipase bila diduga pakreatitis
5. SGOT&SGPT, alkali fosfatase, gama GT. Bil
tot/direk
6. USG abdomen bila diduga gangguan fungsi hati
dan saluran empedu maupun kandung empedu
Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain:
1. H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/kali,
Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800
8. Tata Laksana :
mg/kali)
2. PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali,
Lansoprazol 30 mg/kali), serta
3. Antasida dosis 3 x 5001000 mg/hari.
9. Edukasi (Hospital Health 1. Modifikasi gaya hidup
Promotion) 2. Pengaturan diet sesuai gizi
Ad vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
12
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
1. dr. Dani Rosdiana, SpPD
2. dr. Ligat P Sembiring, SpPD
13. Penelaah Kritis
3. dr. Yohana Sitompul, Sp.PD
4. dr. Hendra Saputra, Sp.PD
14. Indikator 80% dispepsia dirawatselama 5 hari.
1. Panduan pelayanan medis PAPDI tahun 2006
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV
15. Kepustakaan
3. Principles of Internal medicine, Harrisons 16th
edition volume II
ICD.10 = H.25
KATARAK
Kekeruhan pada lensa yang menyebabkan penurunan
tajam penglihatan (visus) yang paling sering
1. Pengertian ( Definisi)
berkaitan dengan proses degenerasi lensa pada
pasien usia di atas 40 tahun (katarak senilis).
2. Anamnesis 1. Penglihatan menurun secara perlahan seperti
tertutup asap/kabut.
2. Ukuran kacamata semakin bertambah, silau dan
sulit membaca.
3. Faktor Risiko
13
a. Usia lebih dari 40 tahun
b. Riwayat penyakit sistemik, seperti diabetes
mellitus
c. Pemakaian tetes mata steroid secara rutin
d. Kebiasaan merokok dan pajanan sinar
matahari
1. Visus menurun.
2. Refleks pupil dan Tekanan Intra Okular normal.
3. Tidak ditemukan kekeruhan kornea.
3. Pemeriksaan Fisik 4. Terdapat kekeruhan lensa yang tampak lebih
jelas setelah dilakukan dilatasi pupil dengan tetes
mata tropikamid 0.5%.
5. Pemeriksaan iris shadow test positif.
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan hasil
4. Kriteria Diagnosis yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan
ofthamologi.
5. Diagnosis Kerja Katarak
14
12. Tingkat Rekomendasi C
1. dr. Amiruddin, Sp.M
13. Penelaah Kritis
2. dr. Bagus Sidharto, Sp.M
1. Visus kembali normal
14. Indikator
2. Tidak terjadi komplikasi
1. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.
Jakarta: Erlangga. 2005.
2. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
15. Kepustakaan
3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan V.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000
ICD.10 = 042.9
KETUBAN PECAH DINI
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput
ketuban sebelum persalinan atau dimulainya tanda
1. Pengertian ( Definisi) inpartu. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia
kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini
pada kehamilan prematur.
2. Anamnesis 1. Keluhan
a. Terasa keluar air dari jalan lahir
b. Biasanya tanpa disertai dengan kontraksi
atau tanda inpartu, kadang-kadang disertai
tanda-tanda lain dari persalinan.
15
2. Wajib digali terkait: usia kehamilan, adanya
cairan yang keluar dari vagina, warna cairan yang
keluar dari vagina, dan adanya demam.
3. Faktor Risiko : Multiparitas, Hidramnion,
Kelainan letak ; sungsang atau melintang,
Kehamilan ganda , Cephalo Pelvic Disproportion,
Infeksi, Perdarahan antepartum
1. Tercium bau khas ketuban
2. Apakah memang air ketuban keluar dari kanalis
servikalis pada bagian yang sudah pecah, lihat
dan perhatikan atau terdapat cairan ketuban pada
forniks posterior.
2. Menentukan pecahnya selaput ketuban dengan
adanya cairan ketuban di vagina. Pastikan bahwa
cairan tersebut adalah cairan amnion dengan
3. Pemeriksaan Fisik
memperhatikan bau cairan ketuban yang khas.
3. Jika tidak ada cairan amnion, dapat dicoba
dengan menggerakkan sedikit bagian terbawah
janin atau meminta pasien batuk atau mengejan
4. Tidak ada tanda inpartu
5. 6. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai
adanya tanda-tanda infeksi pada ibu dengan
mengukur suhu tubuh (suhu ≥ 380C).
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis,
4. Kriteria Diagnosis
pemeriksaan fisik, dan penunjang.
5. Diagnosis Kerja Ketuban Pecah Dini
1. Infeksi
6. Diagnosis Banding 2. Vaginitis
3. Perdarahan antepartum
1. Pemeriksaan pH vagina (cairan ketuban) dengan
kertas lakmus (Nitrazin test) dari merah menjadi
biru , sesuai dengan sifat air ketuban yang alkalis
2. Pemeriksaan mikroskopis tampak gambaran
pakis yang mengering pada sekret serviko
7. Pemeriksaan Penunjang vaginal.
3. Dilakukan dengan meneteskan air ketuban pada
gelas objek dan dibiarkan mengering.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
gambaran daun pakis.
4. Pemeriksaan darah rutin, leukosit> 15.000/mm3.
8. Tata Laksana : 1. Pembatasan aktivitas pasien.
2. Apabila belum inpartu berikan Eritromisin 4x250
mg selama 10 hari.
3. Tatalaksana berdasarkan usia kehamilan:
a. Usia Kehamilan 34 minggu:Lakukan induksi
persalinan dengan oksitosin bila tidak ada
16
kontraindikasi
b. Usia Kehamilan 24-33 minggu:
- Bila terdapat amnionitis, abruptio
plasenta, dan kematian janin, lakukan
persalinan segera.
- Berikan Deksametason 6 mg IM tiap 12
jam selama 48 jam atau betametason 12
mg IM tiap 24 jam selama 48 jam.
- Lakukan pemeriksaan serial untuk menilai
kondisi ibu dan janin.
- Bayi dilahirkan di usia 34 minggu, bila
dapat dilakukan pemeriksaan kematangan
paru dan hasil menunjukan bahwa paru
sudah matang.
c. Usia kehamilan 24 minggu:
- Pertimbangan dilakukan dengan melihat
risiko ibu dan janin.
- Lakukan konseling pada pasien. Terminasi
kehamilan mungkin menjadi pilihan.
- Jika terjadi infeksi (koroiamnionitis),
lakukan tatalaksana koriamnionitis.
1. Memberikan informasi kepada ibu, adanya air
ketuban yang keluar sebelum tanda inpartu
2. Menenangkan ibu dan memberitahu kepada
9. Edukasi (Hospital Health
suami dan keluarga agar ibu dapat diberi
Promotion)
kesempatan untuk tirah baring.
3. Memberi penjelasan mengenai persalinan yang
lebih cepat dari hari perkiraan lahir.
Prognosis Ibu
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
10. Prognosis
Prognosis Janin
1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Ad functionam : Dubia ad bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
11. Penelaah Kritis Dr. Chandra Nurreza Fauzi Sp.OG
12. Tingkat Evidens IV
17
Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010: Hal 677-680.(Prawirohardjo, et al., 2010)
2. KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta:
KementerianKesehatan RI. 2013(Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
ICD.10 = N.73.9
18
2. Nyeri tekan dan nyeri goyang genitalia
interna(portio) unilateral ataupun bilateral
3. Daerah adneksa teraba kaku.
4. Mungkin pula teraba massa
5. Fluktuasi Suhu rektal dan aksiler
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
4. Kriteria Diagnosis
penunjang.
5. Diagnosis Kerja Penyakit radang panggul
1. Apendisitis akut
6. Diagnosis Banding 2. Abortus septik
3. Tumor ovarium terinfeksi
1. Pemeriksaan laboratorium : darah rutin
(leukositosis), LED (15 mm/jam), C-reactive
protein, kultur sekret endocervix (mikrobiologi).
2. USG : mengidentifikasi adanya abses tubo-
ovarium atau untuk mengeksklusi patologi
7. Pemeriksaan Penunjang
penyebab nyeri lainnya.
2. 3. Laparoskopi: hiperemi serosa tuba, edema
dinding tuba, eksudat purulen yang dihasilkan
dari ujung fimbria tuba fallopi, dan adanya
genangan cairan dalam rongga cul-de-sac.
8. Tata Laksana : Pada wanita dengan manifestasi klinis yang ringan
dapat pengobatan rawat jalan
Pilihan regimen untuk pemberian antibiotik per oral:
a. Levofloksasin 500 mg /24 jam selama 14 hari
atau
b. Ofloksasin 400 mg / 24 jam selama 14 hari
dengan atau tanpa metronidazol 500 mg / 12
jam selama 14 hari atau
c. Ceftriakson 250 mg IM 1x, ditambah
d. Doksisiklin 100 mg / 12 jam selama 14 hari
dengan atau tanpa metronidazol 500 mg / 12
jam selama 14 hari atau
e. Cefotaksim 1 gr IM 1x ditambah
f. Doksisiklin 100 mg / 12 jam selama 14 hari
dengan atau tanpa metronidazol 500 mg / 12
jam selama 14 hari.
19
h. Mual/muntah yang menghalangi penggunaan
obat secara oral
20
3 hari pengobatan.
2. Bila tidak, pasien harus dirawat bila sebelumnya
terapi rawat jalan.
3. Penilaian ulang terapi antibiotik.
1. Berek, J.S. Berek & Novak’s Gynecology, ed. 14.
Lippincott Williams & Wilkins; United States :
2007
15. Kepustakaan
2. Shaw RS, Luesley D, Monga A. Gynecology.
Elsevier; 2011 • Center for disease control. STD
treatment guideline 201
ICD.10 = H. 11. 0
PTERIGIUM
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.
1. Pengertian ( Definisi) Seperti daging berbentuk segitiga, yang tumbuh dari
arah temporal maupun nasal konjungtiva menuju
kornea pada arah intrapalpebra.
Tanpa Keluhan sampai dengan muncul keluhan
berupa:
1. Mata berair
2. Mata merah
3. Rasa mengganjal (terdapat benda asing)
2. Anamnesis
4. Astigmatisme
5. Tajam penglihatan menurun jika menutupi pupil
Informasi mengenai pekerjaan, lingkungan tempat
tinggal, dan kebiasaan hidupnya yang berhubungan
dengan besarnya paparan sinar ultraviolet.
21
Pada mata didapatkan penebalan konjungtiva
berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik
bagian nasal maupun temporal yang menjalar ke
3. Pemeriksaan Fisik
kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila
terkena suatu iritasi maka bagian pterigium ini akan
berwarna merah.
1. Memenuhi kriteria anamnesis
4. Kriteria Diagnosis
2. Memenuhi kriteria pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Pterigium
1. Pseudopterigium
6. Diagnosis Banding 2. Pannus
3. Kista dermoid
Pemeriksaan penunjang dalam menentukan diagnosis
pterigium tidak harus dilakukan, karena dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik kadang sudah dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis pterigium.
Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada jaringan
pterigium yang telah diekstirpasi. Gambaran
pterigium yang didapat adalah berupa epitel yang
7. Pemeriksaan Penunjang
irreguler dan tampak adanya degenerasi hialin pada
stromanya
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada
pterigium adalah pemeriksaan
slit lamp dan topografi kornea untuk menilai
seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme
ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
8. Tata Laksana : 1. Konservatif
2. Operatif : ekstirpasi pterigium
1. Penjelasan diagnosa, diagnosa banding,
pemeriksaan penunjang jika diperlukan.
9. Edukasi (Hospital Health
2. Penjelasan pengobatan, rencana tindakan, lama
Promotion)
tindakan, resiko dan komplikasi.
3. Penjelasan perkiraan lama rawat.
Ad vitam : bonam
10. Prognosis Ad Sanationam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
1. dr. Amiruddin, Sp.M
13. Penelaah Kritis
2. dr. Bagus Sidharto, Sp.M
1. Tidak terjadi Komplikasi
14. Indikator 2. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas kembali
setelah 48 jam post operasi.
15. Kepustakaan 1. Ilyas, S. 2008. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai
22
Penerbit FKUI.
2. Ilyas S, Mailangkay H.B., Taim H. 2002. Ilmu
Penyakit Mata Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto.
3. Miller, SJH. 2009. Pterygium. ParsonCs disease
of eye. London: Churchill livingstone edisi ke
18, hal 142-2.
ICD.10 = G72.3
PERIODE PARALISIS
Periodik paralisis merupakan kelainan pada
membran yang sekarang ini dikenal sebagai salah
satu kelompok kelainan penyakit chanellopathies
pada otot skeletal. Kelainan ini dikarakteristikkan
1. Pengertian ( Definisi)
dengan terjadinya suatu episodik kelemahan tiba-tiba
yang disertai gangguan pada kadar kalium serum.
Periodik paralisa ini dapat terjadi pada suatu keadaan
hiperkalemia atau hipokalemia.
1. Penderita terserang setelah periode istirahat
sehabis latihan otot berat setelah bangun tidur
pagi hari.
2. Anamnesis
2. Tanda awal berupa nyeri otot, sangat haus
disusul kelemahan otot, dimulai pada ekstremitas
bawah lalu ekstremitas atas, badan, dan leher.
23
1. Pemeriksaan sistem motoris meliputi bentuk
otot, tonus otot, kekuatan otot dan cara berdiri /
3. Pemeriksaan Fisik
berjalan
2. emeriksaan refleks tendon
Diagnosis didapatkan dari anamnesis seperti adanya
riwayat pada keluarga karena erat kaitannya dengan
4. Kriteria Diagnosis
genetik serta gejala klinis seperti yang tersebut di
atas, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
5. Diagnosis Kerja Periode paralisis
6. Diagnosis Banding Neuropati motor dan sensori herediter
1. Kadar K dalam serum.
2. Kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam.
3. Kadar Mg dalam serum.
4. Analisis gas darah.
5. Elektrokardiografi.
Penurunan kadar serum , tetapi tidak selalu dibawah
normal, selama serangan. Pasien punya pengalaman
retensi urin dengan penigkatan kadar sodium, kalium
7. Pemeriksaan Penunjang
dan klorida urin.
Penurunan kadar fosfor serum secara bertahap juga
terjadi.
Kadar fosfokinase (CPK) meningakat selama
serangan.
ECG bisa menunnjukkan sinus bradikardi dan bukti
hipokalemi (gelombang T datar, gelombang U di lead
II, V2,V3 dan V4 dan depresi segment ST).
8. Tata Laksana : 1. Pemberian kalium oral dengan dosis 20-30
mEq/L setiap 15-30 menit sampai kadar kalium
mencapai normal.
Kalium klorida (KCl) adalah preparat pilihan
untuk sediaan oral. Suplementasi kalium harus
diberikan hati-hati karena hiperkalemia akan
timbul saat proses redistribusi trans-selular
kalium berhenti.
2. Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau
dengan manifestasi perubahan EKG, harus
diberikan kalium intravena (IV) 0,5 mEq/ kg
selama 1 jam, infus kontinu, dengan pemantauan
ketat. Pasien yang memiliki penyakit jantung atau
dalam terapi digoksin juga harus diberi terapi
kalium IV dengan dosis lebih besar (1 mEq/kg
berat badan) karena memiliki risiko aritmia lebih
tinggi.
3. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam
24
pemberian kalium ialah kadar kalium plasma,
gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi pasien.
Suplementasi kalium dibatasi jika fungsi ginjal
terganggu. Pemberian oral lebih aman karena
risiko hiperkalemia lebih kecil.
4. Pemberian asetazolamid, inhibitor anhidrase
karbonat, dengan dosis 125-250 mg 2-3 kali
sehari pada anak terbukti cukup efektif me-
ngatasi serangan, mengurangi frekuensi serangan,
dan mengurangi derajat keparahan.
5. Spironolakton, dengan dosis 100-200 mg/hari
terbukti efektif.
6. Sebuah penelitian acak terkontrol pada tahun
2000 menunjukkan bahwa diklorfenamid dosis
50-200 mg/hari terbukti efektif menurunkan
serangan dibandingkan plasebo.
7. Triamteren bermanfaat karena dapat
meningkatkan ekskresi natrium dan menahan
kalium di tubulus ginjal.
9. Edukasi (Hospital Health Modifiksi diit dan gaya hidup untuk pencegahan
Promotion) kekambuhan.
Ad vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Enny Lestari, Sp.S
1. Keluhan berkurang.
14. Indikator
2. Jika disertai Imbalance elektrolit, telah terkoreksi.
1. Browmn RH, Mendell JR., Braundwald E, Fauci
AS, Kasper DL, Hauser SL, Longob DL, Jameson
JR. 2011. Muscular dystrophies and other muscle
diseases. Harrison’s 9.-Principles of internal
15. Kepustakaan medicine. 15 th Eds. USA: McGraw-Hill.
pp.2538.
2. Maurya PK, Kalita J, Misra UK. 2010. Spectrum
of hypokalaemic periodic paralysis in a tertiary
care centre in India. Postgrad Med J. 86:692
25
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
ICD.10 = S.00-S.09
26
1. Kesadaran (GCS) 9-13
2. Primary survey (airway, breathing, circulation,
disability, exposure)
3. TTV
4. Reflek cahaya pupil
5. Inspeksi visual dan palpasi kepala : tanda-tanda
trauma, jejas, hematom, vulnus pada kepala atau
regio maksilofasial
3. Pemeriksaan Fisik
6. Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti
hemi paresis
7. Inspeksi tanda fraktur basis kranii
a. Racoon’s eyes : periorbital echymoses
b. Battle’s sign : postauricular echymoses
c. CSF rhinorrhea/otorrhea
d. Hemotympanum atau laserasi kanalis
auditorius eksternus
1. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13.
2. Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah,
namun tidak memberi respon yang sesuai dengan
pernyataan yang di berikan.
3. Amnesia retrograde
4. Sakit kepala, Muntah
5. Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda
4. Kriteria Diagnosis
Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau
rinorea cairan serebro spinal)
6. Kejang
7. Ada pingsan lebih dari 10 menit tetapi kurang
dari 6 jam
8. Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan
saraf dan anggota gerak.
5. Diagnosis Kerja Cedera Kepala sedang
1. Cedera Kepala Ringan
6. Diagnosis Banding
2. Cedera Kepala Berat
1. Darah rutin
2. Analisa Gas Darah
3. elektrolit
7. Pemeriksaan Penunjang 4. Radiologis
– Foto polos kepala AP/Lateral
– Foto servikal lateral
– CT Scan kepala polos
8. Tata Laksana : Terapi Umum
1. Untuk kesadaran menurun - Lakukan Resusitasi -
Bebaskan jalan nafas (Airway), jaga fungsi
pernafasan (Breathing), Circulation (tidak boleh
terjadi hipotensi, sistolik sama dengan atau lebih
dari 90 mmHg), nadi, suhu (tidak boleh sampai
27
terjadi pireksia)
2. Keseimbangan cairan dan elektrolit dan nutrisi
yang cukup, dengan kalori 50% lebih dari normal
3. Jaga keseimbangan gas darah
4. Jaga kebersihan kandung kemih, kalau perlu
pasang kateter
5. Jaga kebersihan dan kelancaran jalur intravena
6. Rubah rubah posisi untuk cegah dekubitus
7. Posisi kepala ditinggikan 30 derajat
8. Pasang selang nasogastrik pada hari ke 2, kecuali
kontra indikasi yaitu pada fraktur basis kranii
9. Infus cairan isotonis
10. Berikan Oksigen sesuai indikasi
Terapi Khusus
Medikamentosa
1. Mengatasi tekanan tinggi intrakranial, berikan
Manitol 20%
2. Simptomatis : analgetik, anti emetik, antipiretik
3. Antiepilepsi diberikan bila terjadi bangkitan
epilepsi pasca cidera
4. Antibiotika diberikan atas indikasi
5. Anti stress ulcer diberikan bila ada perdarahan
lambung
6. Operasi bila terdapat indikasi
Rehabilitasi
1. Mobilisasi bertahap dilakukan secepatnya setelah
keadaan klinik stabil
2. Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi diberikan
sesuai dengan kebutuhan
1. Berikan penjelasan mengenai keadaan pasien
9. Edukasi (Hospital Health
2. Jika keluhan memburuk harus segera
Promotion)
memberitahu petugas medis
Ad vitam : dubia
10. Prognosis Ad Sanationam : dubia
Ad Fungsionam : dubia
28
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
ICD.10 = Z11.1
TB PARU
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi paru
1. Pengertian ( Definisi) yang disebabkan oleh kuman TB yaitu
Mycobacterium tuberkulosis.
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau
tanda TB. Gejala umum TB Paru adalah batuk
produktif lebih dari 2 minggu, yang disertai:
1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas,
2. Anamnesis
hemoptisis) dan/atau
2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan,
penurunan berat badan, keringat malam dan
mudah lelah).
Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada awal permulaan perkembangan
3. Pemeriksaan Fisik penyakit umumnya sulit sekali menemukan kelainan.
Pada auskultasi terdengar suara napas
bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas
29
melemah di apex paru, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum.
1. Pemeriksaan BTA sputum SPS terdapat minimal
satu hasil BTA (+) atau bila BTA (-) didapatkan
2. Rontgen toraks gambaran TB aktif
4. Kriteria Diagnosis
3. Bila TB ekstra paru : terdapat BTA (+) atau reaksi
jaringan positif terhadap kuman TB pada organ
tsb
5. Diagnosis Kerja Tuberkulosis Paru
1. Pneumonia
6. Diagnosis Banding
2. Jamur paru
1. Laboratorium : pemeriksaan BTA sputum
2. Radiologi : gambaran TB aktif
7. Pemeriksaan Penunjang 3. Pemeriksaan lain: analisis cairan pleura,
pemeriksaan histopatologi jaringan,
4. Uji tuberkulin
1. Oksigenasi
2. Perbaikan keadaan umum
3. Pemberian obat simtomatis (sesuai keadaan
pasien)
4. Pemberian obat anti tuberculosis (2 bulan tahap
intensif dilanjutkan 4 bulan tahap lanjutan)
dengan dosis sesuai table dibawah
8. Tata Laksana :
ICD.10 = J.45
ASMA BRONKIAL
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran
napas yang berhubungan dengan peningkatan
1. Pengertian ( Definisi) kepekaan saluran napas sehingga memicu episode
mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama
pada malam atau dini hari.
1. Terdapat lebih dari satu gejala ( mengi, sesak,
dada terasa berat) khususnya pada dewasa muda
2. Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi
dini hari
2. Anamnesis 3. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan
allergen, perubahan cuaca, tertawa atau iritan
seperti asap kendaraan, rokok atau bau yang
sangat tajam
3. Pemeriksaan Fisik 1. Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga
pemeriksaan jasmani dapat normal.
2. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar
pada waktu ekspirasi paksa.
31
3. Silent chest pada serangan yang sangat berat,
disertai sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
1. Rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi.
2. Reversibiliti, perbaikan VEP1 ≥ 12% dan 200 ml
secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah
pemberian kortikosteroid
4. Kriteria Diagnosis 2. (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Arus Puncak Ekspirasi (APE)
1. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15%
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator),
atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons
terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
2. 2. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang
dikenal dengan variabiliti APE harian selama 1-2
minggu.
Asma intermitten/ persisten (ringan/sedang/berat)
5. Diagnosis Kerja dengan eksaserbasi
ringan/sedang/berat
1. Bronkiolitis
2. Aspirasi benda asing
6. Diagnosis Banding
3. Pneumonia
4. PPOK
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
2. Bronkitis kronik
3. Gagal Jantung Kongestif
7. Pemeriksaan Penunjang 4. Batuk kronik akibat lain-lain
5. Disfungsi larings
6. Obstruksi mekanis (misal tumor)
7. Emboli Paru
8. Tata Laksana : Saat eksaserbasi
1. Oksigenasi
2. β2 agonis kerja singkat (inhalasi dan atau
intravena)
3. Kortikosteroid sistemik
4. Aminofilin intravena
Pengobatan saat stabil (tidak eksaserbasi)
1. Pemberian controller: kortikosteroid
(inhalasi/sistemik), Sodium kromoglikat,
Nedokromil sodium, Metilsantin, Agonis beta-2
kerja lama (inhalasi/oral), Leukotrien modifiers.
2. Pemberian pelega sesuai kebutuhan : Agonis
beta2 kerja singkat, aminofilin, antikolinergik,
32
adrenalin.
1. Tentang penyakitnya, pencetus serangan dan cara
9. Edukasi (Hospital Health mengatasi serangan akut
Promotion) 2. Pencegahan eksaserbasi
3. Menjaga fungsi paru terutama saat exercise
Ad vitam : bonam
10. Prognosis Ad Sanationam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Arlina Gusti, Sp.P
1. Keluhan mereda.
14. Indikator
2. Kekambuhan minimal.
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No 1023/MENKES/SK/XI/2008
15. Kepustakaan tentang Pedoman Penanggulangan Asma
2. PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Asma Di Indonesia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
ICD.10 = J.44.9
PPOK
Penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
1. Pengertian ( Definisi) aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
non reversible atau reversible parsial
2. Anamnesis 1. Keluhan
b. Sesak napas
c. Kadang-kadang disertai mengi
d. Batuk kering atau dengan dahak yang
produktif
e. Rasa berat di dada
2. Faktor risiko
a. Genetik
b. Pajanan partikel, asap rokok , debu kerja,
organik dan inorganic, polusi udara dalam
rumah dari pemanas atau biomassa rumah
tangga dengan ventilasi yang buruk , polusi
udara bebas
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru
d. Stres oksidatif
33
e. Jenis kelamin
f. Umur
g. Infeksi paru
h. Status sosial-ekonomi
i. Nutrisi.
j. Komorbiditas
1. Respiration Rate meningkat
2. Penggunaan otot bantu nafas
1. pelebaran sela iga
2. Barrel Chest
3. Pemeriksaan Fisik 3. Fremitus melemah
4. Perkusi hipersonor
5. Suara ekspirasi memanjang
6. Bunyi jantung terdengar jauh
terdapat rhonki atau mengi pada ekspirasi paksa
4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja PPOK
1. Asma bronchial
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculosis)
6. Diagnosis Banding
3. Gagal jantung kronis
4. Bronkiektasis
1. Rotgen Thorax
2. Darah lengkap
7. Pemeriksaan Penunjang 3. Test Faal paru (spirometri)
4. Analisa gas darah
5. Uji provokasi bronkus
8. Tata Laksana : Penatalaksanaan PPOK stabil
1. Obat-obatan dengan tujuan mengurangi laju
beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan
stabil.
2. Bronkodilator dalam bentuk oral, kombinasi
golongan β2 agonis (salbutamol) dengan
golongan xantin (aminofilin dan teofilin).
Masing-masing dalam dosis suboptimal, sesuai
dengan berat badan dan beratnya penyakit.
Untuk dosis pemeliharaan, aminofilin/teofilin
100-150 mg kombinasi dengn salbutamol 1 mg.
3. Kortikosteroid digunakan dalam bentuk inhalasi,
bila tersedia.
4. Ekspektoran dengan obat batuk hitam (OBH)
5. Mukolitik (ambroxol) dapat diberikan bila
sputum mukoid.
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi
1. Oksigen (bila tersedia)
2. Bronkodilator Pada kondisi eksaserbasi, dosis
34
dan atau frekuensi bronkodilator kerja pendek
ditingkatkan dan dikombinasikan dengan
antikolinergik. Bronkodilator yang disarankan
adalah dalam sediaan inhalasi. Jika tidak
tersedia, obat dapat diberikan secara injeksi,
subkutan, intravena atau perdrip, misalnya:
Adrenalin 0, 3 mg subkutan, digunakan dengan
hati-hati Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan
pengenceran) harus perlahan (10 menit) utk
menghindari efek samping.dilanjutkan dengan
perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
3. Kortikosteroid diberikan dalam dosis 30 mg/hari
diberikan maksimal selama 2 minggu.
Pemberian selama 2 minggu tidak perlu tapering
off.
4. Antibiotik yang tersedia di Puskesmas
5. Pada kondisi telah terjadi kor pulmonale, dapat
diberikan diuretik dan perlu berhati-hati dalam
pemberian cairan.
1. Edukasi ditujukan untuk mencegah penyakit
bertambah berat dengan cara menggunakan obat-
obatan yang tersedia dengan tepat,
menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta
mencegah eksaserbasi.
2. Pengurangan pajanan faktor risiko
3. Berhenti merokok
9. Edukasi (Hospital Health 4. Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan
Promotion) karbohidrat, dapat diberikan dalam porsi kecil
tetapi sering.
5. Rehabilitasi
a. Latihan bernapas dengan pursed lip
breathing
b. Latihan ekspektorasi
c. Latihan otot pernapasan dan ekstremitas
6. Terapi oksigen jangka panjan
Ad vitam : dubia
10. Prognosis Ad Sanationam : dubia
Ad Fungsionam : dubia
35
2. PPOK yang stabil, eksaserbasi minimal
3. Eksaserbasi teratasi
1. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Penyakit
paru obstruktif kronik. Diagnosis dan
penatalaksanaan. Jakarta. 2011.(Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2011)
15. Kepustakaan
2. Global strategy for the diagnosis, management
and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease. GOLD, Inc. 2013.(GLobal Initiatives
for COPD, 2013)
ICD.10 = E11.9
36
1. Antropometri : TB, BB, BMI, lingkar pinggang
2. Tanda vital :TD, frekuensi nadi, frekuensi
pernapasan, suhu
3. Pemeriksaan Fisik 3. Mata : Penurunan visus, lensa mata buram
4. Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan
mikrofilamen
5. Gangguan vaskuler ekstremitas
Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi
glukosa:
1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi)
+ glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1
mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan
hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir ATAU
2. Gejala Klasik DM + Kadar glukosa plasma
4. Kriteria Diagnosis
puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak
mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi
glukosa oral (TTGO)> 200 mg/dL (11,1
mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard
WHO, menggunakan beban glukosa anhidrus
75 gram yang dilarutkan dalam air.
5. Diagnosis Kerja Diabetes Mellitus Tipe II
6. Diagnosis Banding -
1. Gula Darah Puasa
2. Gula Darah 2 jam Post Prandial
3. Urinalisis rutin
4. 1. Kreatinin, ureum
7. Pemeriksaan Penunjang
5. 2. SGPT, Albumin/Globulin
6. 3. Kolesterol; Total, LDL, HDL, Trigliserida.
7. 4. HbA1C.
8. EKG
1. Diet DM : 30-40 kkal/kgBB/hari , protein 1
gram/ kgBB/hari
2. obat dapat tunggal/kombinasi sebagai berikut:
i. Metformin 2 – 3 x 500 mg/hari , dapat
8. Tata Laksana : seumur hidup
ii. Glimeperide 1 – 4 mg/ 24 jam, dapat seumur
hidup
iii. Acarbose 3 x 50-100 mg
3. bila tidak ada respon terhadap obat oral, maka
diberikan terapi insulin
37
Penjelasan mengenai perjalanan penyakit dan
rencana pengobatan :
9. Edukasi (Hospital Health 1. diet teratur sesuai anjuran ahli nutrisi
Promotion) 2. olah raga teratur dan adekuat
3. minum obat dan kontrol teratur
4. tidak minum obat diluar anjuran dokter
Ad vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
38
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
ICD.10 = M.15-M.19
OSTEOARTRITIS
Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan
kerusakan kartilago sendi. Pasien sering datang
1. Pengertian ( Definisi)
berobat pada saat sudah ada deformitas sendi yang
bersifat permanen.
Keluhan
1. Nyeri sendi
3. Hambatan gerakan sendi
4. Kaku pagi
5. Krepitasi
6. . Pembesaran sendi
2. Anamnesis 7. Perubahan gaya berjalan
Faktor Risiko
1. Usia > 60 tahun
8. Wanita, usia >50 tahun atau menopouse
9. Kegemukan/ obesitas
10. 4. Pekerja berat dengen penggunaan satu sendi
terus menerus
Tanda Patognomonis
1. Hambatan gerak
3. Pemeriksaan Fisik 2. Krepitasi
3. Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
4. Tanda-tanda peradangan sendi
39
5. Deformitas sendi yang permanen
1. 6. Perubahan gaya berjalan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
4. Kriteria Diagnosis
dan radiografi.
5. Diagnosis Kerja Osteoartritis
40
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
ICD.10 = B.35
TINEA CORPORIS
Infeksi jamur dermatofit (Microsporum spp.,
Trichophyton spp., Epidermophyton spp.) yang
menyerang bagian superfisial (stratum korneum)
1. Pengertian ( Definisi) kulit, rambut, dan kuku.
Terdapat 8 bentuk klinis tergantung lokasi infeksi,
yaitu tinea capitis, tinea barbae, tinea corporis, tinea
imbrikata, tinea cruris, tinea unguium
(onikomikosis), tinea pedis, dan tinea manuum.
Pada sebagian besar infeksi dermatofita, pasien
datang dengan bercak merah bersisik yang gatal.
Adanya riwayat kontak dengan orang yang
mengalami dermatofitosis.
2. Anamnesis Faktor Risiko
1. Lingkungan yang lembab dan panas
2. Imunodefisiensi
3. Obesitas
a. 4. Diabetes Melitus
41
Lesi kulit berbentuk infiltrat eritematosa, berbatas
3. Pemeriksaan Fisik tegas, dengan bagian tepi yang lebih aktif daripada
bagian tengah, dan konfigurasi polisiklik.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
4. Kriteria Diagnosis pemeriksaan fisik. Bila diperlukan dilakukan
pemeriksaan penunjang.
5. Diagnosis Kerja Tinea Korporis
1. Tinea capitis
2. Tinea cruris
6. Diagnosis Banding 3. Tinea pedis
4. Tinea manuum
5. Tinea unguium
Bila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan
7. Pemeriksaan Penunjang mikroskopis dengan KOH, akan ditemukan hifa
panjang dan artrospora.
Penatalaksanaan
1. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian
handuk/pakaian secara bersamaan harus
dihindari.
2. Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal,
yaitu dengan: antifungal topikal seperti krim
klotrimazol, mikonazol, atau terbinafin yang
diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2
minggu kemudian untuk mencegah rekurensi.
3. Untuk penyakit yang tersebar luas atau resisten
8. Tata Laksana :
terhadap terapi topikal, dilakukan pengobatan
sistemik dengan:
a. Griseofulvin dapat diberikan dengan dosis
0,5-1 g per hari untuk orang dewasa dan 0,25
– 0,5 g per hari untuk anak-anak atau 10-25
mg/kgBB/hari, terbagi dalam 2 dosis.
b. Golongan azol, seperti Ketokonazol: 200
mg/hari; Itrakonazol: 100 mg/hari atau
Terbinafin: 250 mg/hari. Pengobatan
diberikan selama 10-14 hari pada pagi hari
setelah makan.
1. Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan
penyakit.
9. Edukasi (Hospital Health
2. Edukasi pasien dan keluarga juga untuk menjaga
Promotion)
hygiene tubuh, namun penyakit ini bukan
merupakan penyakit yang berbahaya.
10. Prognosis Ad vitam : bonam
Ad Sanationam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
Pasien dengan imunokompromais, quo ad
42
sanationamnya menjadi dubia ad bonam.
ICD.10 = K.60.3
FISTULA PERIANAL
Fistula perianal adalah saluran abnormal yang
dibatasi oleh jaringan granulasi, yang
menghubungkan satu ruang (dari lapisan epitel anus
1. Pengertian ( Definisi)
atau rektum) ke ruang lain, biasanya menuju ke
epidermis kulit di dekat anus, tapi bisa juga ke organ
lainnya seperti kemaluan.
Manifestasi klinik tergantung pada kekhususan
defek. Pus atau feces dapat bocor secara konstan dari
lubang kutaneus. Gejala ini mungkin pasase flatus
atau feces dari vagina atau kandung kemih,
tergantung pada saluran fistula. Bisanya fistula
mengeluarkan nanah atau feces, berdarah, ekskoriasi,
2. Anamnesis
eritema pada kulit, indurasi, fluktuasi dan terdapat
eksternal opening. Gejala lain yang menyertai berupa
diare, nyeri perut, kehilangan berat badan dan
perubahan kebiasaan defekasi. Fistula yang tidak
teratasi dapat menyebabkan infeksi sistemik disertai
dengan gejala yang berhubungan.
43
1. terlihat satu atau lebih lubang fistula
2. keluar nanah ataupun kotoran dari fistula
3. Pada pemeriksaan fisik di daerah anus (dengan
pemeriksaan digital/rectal toucher) ditemukan
satu atau lebih eksternal opening fistula atau
teraba adanya fistula di bawah permukaan kulit.
Eksternal opening fistula tampak sebagai bisul
3. Pemeriksaan Fisik
(bila abses belum pecah) atau tampak sebagai
saluran yang dikelilingi oleh jaringan granulasi.
Internal opening fistula dapat dirasakan sebagai
daerah indurasi/ nodul di dinding anus setinggi
garis dentata. Terlepas dari jumlah eksternal
opening, terdapat hampir selalu hanya satu
internal opening.
Anoskopi dan sigmoidoskop untuk mengetahui
4. Kriteria Diagnosis
kedalaman fistula
5. Diagnosis Kerja Fistula perianal
ICD.10 = M.54.5
45
BB, penggunaan narkoba, kortikosteroid lama
immunusupressan, HIV, onset pada usia <20
tahun / >55 tahun, trauma mayor, osteoporosis,
demam, nyeri saat istirahat / malam hari,
gangguan BAB / BAK)
1. Pemeriksaan umum
a. Vital sign
b. Inspeksi : kurvatura, sikap
c. Palpasi
d. Perkusi
2. Pemeriksaan neurologis
a. Pemeriksaan motorik
b. Pemeriksaan sensorik
c. Pemeriksaan refleks
Pada HNP L4, 5 refleks patella (-)
3. Pemeriksaan Fisik Pada HNP L5, S1 refleks achiles (-)
d. Pemeriksaan range of movement
e. Lasegue test (+) → HNP
f. Lasegue test menyilang (+) → HNP
g. Naffziger test
h. Percobaan Valsava
i. Percobaan Patrick Nyeri → kelainan di sendi
panggul
j. Percobaan Kontra Patrick Nyeri → kelainan
di sendi panggul
3. Percobaan Perspirasi
4. Kriteria Diagnosis Kategori 1. LBP non-spesifik
1. LBP not attributed to recognizable, known
specific pathology
2. (seperti infeksi, tumor, osteoporosis, ankylosing
spondylitis, fraktur, inflamasi, sindrom radikuler
atau cauda equine).
3. Pemeriksaan imaging atau tes diagnostik lain
tidak diperlukan.
46
Kategori 3. LBP associated with another specific
spinal cause
1. Defisit neurologis yang berat atau bersifat
progresif
2. Terdapat underlying disease (seperti tumor,
infeksi, ankylosing spondylitis, fraktur kompresi,
atau sindrom cauda equina)
5. Diagnosis Kerja Low Back Pain
1. Kelainan-kelainan organ abdomen
6. Diagnosis Banding
2. Kelainan-kelainan organ rongga pelvis
1. Rontgen
7. Pemeriksaan Penunjang 2. CT
3. MRI
Farmakologis
1. Acetaminophen (analgetic non narcotics) atau
nonsteroidal anti- inflammatory drugs (NSAIDs)
adalah obat lini pertama → pereda nyeri ringan
2. Muscle relaxants → spasme akut
3. Narkotik → pereda nyeri sedang – hebat (jika
obat-obat diatas gagal)
8. Tata Laksana :
4. Antikonvulsan → nyeri neurogenik
Non Farmakologis
1. Manipulasi spinal → untuk LBP akut
2. Rehabilitasi, exercise, acupuncture, massage,
manipulasi spinal, yoga, cognitive-behavioral
therapy, atau progressive relaxation → untuk
LBP kronik atau subakut
9. Edukasi (Hospital Health 1. Bed rest selama 1 – 2 hari jika diperlukan
Promotion) 2. Hindari mengangkat beban berat
Ad Vitam : Bonam
10. Prognosis Ad Sanationam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam: Dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
1. Nyeri teratasi.
14. Indikator
2. Tidak terjadi komplikasi.
15. Kepustakaan 1. PPK RSDM
2. American College of Physicians. (2011).
Radiology Tests for patients with low back pain:
high-value health care advice from the American
47
College of Physicians. Annals of Internal
Medicine, 154(3), I-36.
3. Amarican College of Radiology. (2011). ACR
appropriateness criteria: low back pain.
Retrieved from
http://www.acr.org/SecondaryMainMenuCategor
ies/quality_safety/app_criteria/pdf/
ExpertPanelonNeurologicImaging/
LowBackPaonDoc7.aspx
48