Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS JURNAL

PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ASMA DI


RUANGAN INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)

OLEH
Fadlin Rimpansa (841721028)
Feby Soraya Lasanudin (841721048)
Sukmawati Passi (841721008)
Jihan Adhalin Harun (841721018)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS OLAH RAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang.
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan Analisis Jurnal dengan judul PELAKSANAAN TINDAKAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN ASMA DI RUANGAN INSTALASI
GAWAT DARURAT (IGD)
Analisis Jurnal ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan analisis
jurnal ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan Analisis Jurnal ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki Analisis Jurnal ini.
Akhir kata kami berharap semoga Analisis Jurnal ini dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak.

Gorontalo, Mei 2022


   

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Tujuan....................................................................................................... 2
1.3 Manfaat..................................................................................................... 2
BAB II METODE DAN TINJAUAN TEORITIS.......................................... 4
2.1 Metode Pencarian..................................................................................... 4
2.2 Konsep tentang Tinjauan Teoritis............................................................ 4
A. Instalasi Gawat Darurat (IGD)........................................................... 4
B. Asma................................................................................................... 8
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... 17
3.1 Hasil........................................................................................................ 17
3.2 Pembahasan............................................................................................. 20
3.3 Implikasi Keperawatan............................................................................ 24
BAB IV PENUTUP........................................................................................... 25
4.1 Kesimpulan............................................................................................ 25
4.2 Saran....................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 26

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan bagian dari pelayanan Rumah
Sakit yang dilengkapi dengan peralatan medis yang berstandar nasional buka 24
jam dengan tenaga medis yang handal siap membantu menangani kasus gawat
darurat. Dengan didukung tata ruang yang baik memungkinkan dilakukan
tindakan resusitasi, observasi atau tindakan lainnya diruang yang berbeda tetapi
masih didalam ruang Instalasi Gawat Darurat. Beberapa pasien yang dirawat di
IGD umumnya adalah pasien kecelakaan, pasien dengan penyakit akut maupun
kronis yang mengancam nyawa, atau keadaan darurat yang memerlukan
perawatan segera. Beberapa kondisi yang harus segera mendapatkan penanganan
khusus salah satunya yaitu pasien dengan serangan asma. (Tety, 2018)
Asma merupakan penyakit inflamasi jalan nafas kronik dengan banyak sel
dan elemen seluler yang berperan di dalamnya. Inflamasi kronik ini berhubungan
dengan hiper-responsivitas jalan nafas yang mengakibatkan episode berulang dari
mengi, sesak, perasaan berat di dada, dan batuk, terutama saat malam hari atau
dini hari. Episode serangan akut ini biasanya berhubungan dengan obstruksi aliran
udara pada paru yang reversible. (Merey, 2021)
Asma merupakan masalah kesehatan global. Prevalensi asma menurut
World Healt Organization (WHO) tahun 2019 sekitar 235 juta. Asma merupakan
masalah kesehatan diseluruh dunia, yang mempengaruhi kurang lebih 1-18%
populasi diberbagai negara di dunia. Menurut WHO yang bekerja sama dengan
Global Asthma Network (GAN) yang merupakan organisasi asma di dunia,
memprediksikan pada tahun 2025 akan terjadi kenaikan populasi asma sebanyak
400 juta dan terdapat 250 ribu kematian akibat asma. Penyakit ini merupakan
salah satu penyakit utama yang menyebabkan pasien memerlukan perawatan, baik
dirumah sakit maupun di rumah (WHO, 2017)
Angka kejadian asma di Indonesia yang dilaporkan oleh Puskesmas melalui
sistem informasi surveilans Penyakit Tidak Menular (PTM) yaitu sebanyak
18.748 jiwa. Jumlah orang dengan penyakit asma menurut kelompok umur paling

4
banyak pada kelompok umur 35-59 tahun sebesar 7.694 jiwa (Kementerian
Kesehatan RI, 2017). Terdapat berbagai macam faktor pemicu terjadinya serangan
asma yang sering dijumpai antara lain alergen, exercise (latihan), polusi udara,
faktor kerja (occupational factors), infeksi pernapasan, masalah hidung dan sinus,
sensitif terhadap obat dan makanan, penyakit refluk gastroesophageal
(Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) dan faktor psikologis (stres emosional)
(Indri, 2018).
Tindakan yang dapat kita lakukan untuk mencegah atau mengatasi
kekambuhan masalah pola napas tidak efektif pada penderita asma adalah
manajemen jalan napas dan pemantauan respirasi (PPNI, 2018). Frekuensi
Pernapasan atau Respiratory Rate (RR) pada asma meningkat sebagai upaya untuk
mengkompensasi volume alun napas yang kecil. Sedangkan Penurunan saturasi
oksigen (SpO2) merupakan gejala hipoksemia dan hiperkapnia, disebabkan oleh
gangguan ventilasi dan perfusi ditambah hipoventilasi alveolar (Merey, 2021)
Modalitas fisioterapi yang dapat digunakan dalam penanganan kasus Asma,
salah satunya yaitu dengan tehnik pernapasan buteyko, respiratory muscle
streaching, posisi orthopeneic, brochial termoplasty. (Indri, 2018).

1.2 Tujuan
Untuk menganalisis jurnal tentang “Tindakan Keperawatan Pada Pasien Asma Di
Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD)”
1.3 Manfaat
A. Manfaat Praktis
1. Bagi program Studi Ners
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan materi, teori
dan bahan bacaan tentang “Tindakan Keperawatan Pada Pasien Asma Di
Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD)’’
2. Bagi Perawat
Dapat memberikan suatu alternatif untuk dapat dijadikan sebagai
bahan masukan bagi perawat dalam melakukan “Tindakan Keperawatan
Pada Pasien Asma Di Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD) ’’

5
3. Bagi rumah sakit
Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi bahan masukan bagi
rumah sakit dalam melaksanakan penatalaksanaan mengenai ““Tindakan
Keperawatan Pada Pasien Asma Di Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD) ’’

B. Manfaat Teoritis
1. Diharapkan analisis jurnal ini dapat memberikan suatu pengetahuan
tentang “Tindakan Keperawatan Pada Pasien Asma Di Ruangan Instalasi
Gawat Darurat (IGD)’’
2. Diharapkan bisa menjadi konstribusi yang baik bagi dunia ilmu
pengetahuan pada umumnya dan juga bisa memberikan ilmu
khusus bagi keperawatan.

6
BAB II
METODE DAN TINJAUAN TEORITIS

2.1 Metode Pencarian

Analisis jurnal dilakukan dengan mengumpulkan artikel hasil publikasi

ilmiah tahun 2017 – 2022 dengan penelusuran menggunakan data based

Google cendekia/scholar.

2.2 Konsep Tentang Tinjauan Teoritis

A. Definisi Instalasi Gawat Darurat (IGD)

1) Definisi

IGD adalah salah satu unit pelayanan di Rumah Sakit yang

menyediakan penanganan awal (bagi pasien yang datang langsung ke

rumah sakit)/lanjutan (bagi pasien rujukan dari fasilitas pelayanan

kesehatan lain), menderita sakit ataupun cedera yang dapat mengancam

kelangsungan hidupnya. IGD berfungsi menerima, menstabilkan dan

mengatur Pasien yang membutuhkan penanganan kegawatdaruratan

segera, baik dalam kondisi sehari-hari maupun bencana (Permenkes RI

No. 47 tahun 2018).

Secara garis besar kegiatan di IGD rumah sakit dan menjadi

tanggung jawab IGD secara umum terdiri dari:

a. Menyelenggarakan pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan

menangani kondisi akut atau menyelamatkan nyawa dan/atau

kecacatan pasien.

b. Menerima pasien rujukan yang memerlukan penanganan

lanjutan/definitif dari fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

7
c. Merujuk kasus – kasus gawat darurat apabila rumah sakit tersebut

tidak mampu melakukan layanan lanjutan.

IGD rumah sakit harus dikelola dan diintegrasikan dengan

instalasi/unit lainnya di dalam sumah sakit. Kriteria umum IGD rumah

sakit (Permenkes RI No. 47 tahun 2018) :

a. Dokter/dokter gigi sebagai kepala IGD rumah sakit disesuaikan

dengan kategori penanganan.

b. Dokter/dokter gigi penanggung jawab pelayanan kegawat

daruratan

ditetapkan oleh kepala/direktur rumah sakit.

c. Perawat sebagai penanggung jawab pelayanan keperawatan

kegawatdaruratan.

d. Semua dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan lain, dan tenaga

nonkesehatan mampu melakukan teknik pertolongan hidup dasar

(Basic Life Support).

e. Memiliki program penanggulangan pasien massal, bencana

(disaster plan) terhadap kejadian di dalam rumah sakit maupun di

luar rumah sakit.

f. Jumlah dan jenis serta kualifikasi tenaga di IGD rumah sakit sesuai

dengan kebutuhan pelayanan.

8
2) Triage

Rumah sakit harus dapat melaksanakan pelayanan triase, survey primer,

survei sekunder, tatalaksana definitif dan rujukan. Apabila diperlukan

evakuasi, rumah sakit yang menjadi bagian dari SPGDT dapat

melaksanakan evakuasi tersebut. Setiap rumah sakit harus memiliki

standar triase yang ditetapkan oleh kepala/direktur rumah sakit

(Permenkes RI No. 47 tahun 2018).

a. Triase merupakan proses khusus memilah pasien berdasarkan beratnya

cedera atau penyakit untuk menentukan jenis penanganan/intervensi

kegawatdaruratan.

b. Triase tidak disertai tindakan/intervensi medis.

c. Prinsip triase diberlakukan sistem prioritas yaitu

penentuan/penyeleksian mana yang harus di dahulukan mengenai

penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul

berdasarkan (Permenkes RI No. 47 tahun 2018):

- Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit

- Dapat mati dalam hitungan jam

- Trauma ringan

- Sudah meninggal

3) Prosedur Triase (Permenkes RI No. 47 tahun 2018)

a. Pasien datang diterima tenaga kesehatan di IGD rumah sakit

b. Di ruang triase dilakukan pemeriksaan singkat dan cepat untuk

9
menentukan derajat kegawatdaruratannya oleh tenaga kesehatan dengan

cara:

- Menilai tanda vital dan kondisi umum Pasien

- Menilai kebutuhan medis

- Menilai kemungkinan bertahan hidup

- Menilai bantuan yang memungkinkan

- Memprioritaskan penanganan definitive

c. Namun bila jumlah pasien lebih dari 50 orang, maka triase dapat

dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD rumah sakit).

d. Pasien dibedakan menurut kegawatdaruratannya dengan memberi

kode warna:

- Kategori merah: prioritas pertama (area resusitasi), pasien

cedera berat mengancam jiwa yang kemungkinan besar dapat

hidup bila ditolong segera. Pasien kategori merah dapat

langsung diberikan tindakan di ruang resusitasi, tetapi bila

memerlukan tindakan medis lebih lanjut, pasien dapat

dipindahkan ke ruang operasi atau di rujuk ke rumah sakit lain.

- Kategori kuning: prioritas kedua (area tindakan), pasien

memerlukan tindakan defenitif tidak ada ancaman jiwa segera.

Pasien dengan kategori kuning yang memerlukan tindakan

medis lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan

menunggu giliran setelah pasien dengan kategori merah selesai

ditangani.

10
- Kategori hijau: prioritas ketiga (area observasi), pasien degan

cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau

mencari pertolongan. Pasien dengan kategori hijau dapat

dipindahkan ke rawat jalan, atau bila sudah memungkinkan

untuk dipulangkan, maka pasien diperbolehkan untuk

dipulangkan.

- Kategori hitam : prioritas nol pasien meninggal atau cedera fatal

yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi. Pasien kategori hitam

dapat langsung dipindahkan ke kamar jenazah.

A. Asma

1. Definisi

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA, 2020), asma adalah

gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang

berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu

yang rentan inflamasi, mengakibatkan gejala episode mengi yang

berulang, sesak napas, dada terasa tertekan, dan batuk khususnya pada

malam atau dini hari.

Asma merupakan penyakit inflamasi jalan nafas kronik dengan

banyak sel dan elemen seluler yang berperan di dalamnya. Inflamasi

kronik ini berhubungan dengan hiper-responsivitas jalan nafas yang

mengakibatkan episode berulang dari mengi, sesak, perasaan berat di

dada, dan batuk, terutama saat malam hari atau dini hari. Episode

11
serangan akut ini biasanya berhubungan dengan obstruksi aliran udara

pada paru yang reversible. (Merey, 2021)

2. Klasifikasi

Adapun klasifikasi asma menurut GINA (2020), antara lain:

a. Step 1 (Intermitten)

Gejala perhari ≤ 2X dalam seminggu. Nilai PEF normal dalam

kondisi serangan asma. Exacerbasi: Bisa berjalan ketika bernapas,

bisa mengucapkan kalimat penuh. Respiratory Rate (RR) meningkat.

Biasanya tidak ada gejala retraksi dinding dada ketika bernapas.

Gejala malam ≤ 2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV 1

Variabel PEF ≥ 80% atau < 20%

b. Step 2 (Mild Intermitten)

Gejala perhari ≥ 2X dalam seminggu, tapi tidak 1X sehari. Serangan

asma diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: membaik ketika duduk,

bisa mengucapkan kalimat frase, RR meningkat, kadang-kadang

menggunakan retraksi dinding dada ketika bernapas. Gejala malam ≥

2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF tau PEV1 Variabel PEF ≥ 80%

ATAU 20%-30%

c. Steep 3 (Moderate Persistent)

Gejala perhari bisa setiap hari, serangan asma diakibatkan oleh

aktivitas. Exaserbasi: Duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat

mengucapkan kata per kata, RR 30x/menit, biasanya menggunakan

retraksi dinding dada ketika bernapas. Gejala malam ≥ 1X dalam

12
seminggu. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF 60%-80% atau

> 30%.

d. Step 4 (Severe Persistent)

Gejala perhari, sering dan aktivitas fisik terbatas. Eksacerbasi:

Abnormal pergerakan thoracoabdominal. Gejala malam sering

muncul. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≤60% atau >30%.

3. Etiologi

Menurut Global Initiative for Asthma tahun 2020, faktor resiko penyebab

asma bronchial di bagi menjadi tiga kelompok yaitu:

a. Faktor genetic

1) Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum

diketahui bagaimana cara penurunannya.

2) Hipereaktivitas bronkus

Saluran nafas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen

maupun iritan.

3) Jenis kelamin

Anak laki-laki sangat beresiko terkena asma bronchial sebelum

usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2

kali dibanding anak perempuan.

4) Ras/etnik

5) Obesitas

13
Obesitas atau peningkatan/body mass index (BMI), merupakan

faktor resiko asma. Baru-baru ini juga diketahui bahwa obesitas

merupakan faktor risiko asma karena obesitas menyebabkan

peningkatan leptin, TNF-α, dan IL-6, yang mengerahkan aksi non-

eosinofil pro-inflamasi. Selain itu, kurangnya aktivitas fisik serta

penambahan berat badan berkontribusi terhadap determinasi

penyakit.

b. Faktor lingkungan

1) Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,

serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain

sebagainya).

2) Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

Faktor lingkungan yang paling terlibat dalam timbulnya asma

terjadi pada anak-anak yang diwakili oleh alergen, asap rokok, infeksi

pernapasan dan polusi udara.

c. Faktor lain

1) Alergen dari makanan.

2) Alergen obat-obatan tertentu

3) Exercise-induced asthma

4. Patofisiologi

Menurut Yudhawati dan Krisdanti (2017) keterbatasan aliran udara

pada asma bersifat recurrent dan disebabkan oleh berbagai perubahan

dalam saluran napas, meliputi:

14
a. Bronkokonstriksi

Kejadian fisiologis dominan yang mengakibatkan timbulnya gejala

klinis asma adalah penyempitan saluran napas yang diikuti oleh

gangguan aliran udara. Pada asma eksaserbasi akut, kontraksi otot

polos bronkus (bronkokonstriksi) terjadi secara cepat, menyebabkan

penyempitan saluran napas sebagai respons terhadap paparan berbagai

stimulus termasuk alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut yang

diinduksi oleh alergen ini merupakan hasil IgEdependent release of

mediators dari sel mast, yang meliputi histamin, tryptase, leukotrien,

dan prostaglandin yang secara langsung mengakibatkan kontraksi otot

polos saluran napas.

b. Edema Jalan Napas

Saat penyakit asma menjadi lebih persisten dengan inflamasi yang

lebih progresif, akan diikuti oleh munculnya faktor lain yang lebih

membatasi aliran udara. Faktor - faktor tersebut meliputi edema,

inflamasi, hipersekresi mucus dan pembentukan mucous plug, serta

perubahan struktural termasuk hipertrofi dan hiperplasia otot polos

saluran napas.

c. Airway Hyperresponsiveness

Mekanisme yang dapat memengaruhi airway hyperresponsiveness

bersifat multiple, diantaranya termasuk inflamasi, dysfunctional

neuroregulation, dan perubahan struktur, dimana inflamasi merupakan

faktor utama dalam menentukan tingkat airway hyperresponsiveness.

15
Pengobatan yang ditujukan pada inflamasi dapat mengurangi airway

hyperresponsiveness serta memperbaiki tingkat kontrol asma.

d. Airway Remodeling

Keterbatasan aliran udara dapat bersifat partially reversible pada

beberapa penderita asma. Perubahan struktur permanen dapat terjadi

di saluran napas, terkait hilangnya fungsi paru secara progresif yang

tidak dapat dicegah sepenuhnya dengan terapi yang ada. Airway

remodeling melibatkan aktivasi banyak sel yang menyebabkan

perubahan permanen dalam jalan napas. Hal ini akan meningkatkan

obstruksi aliran udara, airway hyperresponsiveness dan dapat

membuat pasien menjadi kurang responsif terhadap terapi yang

diberikan. Biopsi bronkial dari pasien asma dapat menunjukkan

gambaran infiltrasi eosinofil, sel mast serta sel T yang teraktivasi.

Karakteristik perubahan struktural mencakup penebalan membran

sub-basal, fibrosis subepitel, hiperplasia dan hipertrofi otot polos

saluran napas, proliferasi dan dilatasi pembuluh darah, serta

hiperplasia dan hipersekresi kelenjar mukus. Hal ini menunjukkan

bahwa epithelium saluran napas mengalami perlukaan secara kronis

serta tidak terjadi proses perbaikan yang baik, terutama pada pasien

yang menderita asma berat.

5. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang muncul yaitu hipoventilasi, dyspnea,

wheezing, pusing-pusing, sakit kepala, nausea, peningkatan nafas pendek,

16
kecemasan, diaphoresis, dan kelelahan. Hiperventilasi adalah salah satu

gejala awal dari asma. Kemudian sesak nafas parah dengan ekspirasi

memanjang disertai wheezing (di apeks dan hilus). Gejala utama yang

sering muncul adalah dipsnea, batuk dan mengi. Mengi sering dianggap

sebagai salah satu gejala yang harus ada bila serangan asma muncul

(Anisa, 2019).

Sedangkan menurut Zullies (2016), tanda dan gejala pada penderita

asma dibagi menjadi 2, yakni :

a. Stadium dini

Faktor hipersekresi yang lebih menonjol :

1) Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek

2) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya

hilang timbul

3) Wheezing belum ada d. Belum ada kelainana bentuk thorak

4) Ada peningkatan eosinofil darah dan IGE 21

5) Blood gas analysis (BGA) belum patologis

Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan :

1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum

2) Wheezing

3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi

4) Penurunan tekanan parial O2

b. Stadium lanjut/kronik

1) Batuk, ronchi

17
2) Sesak nafas berat dan dada seolah-olah tertekan

3) Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan

4) Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)

5) Thorak seperti barel chest

6) Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus

7) Sianosis

8) Blood gas analysis (BGA) Pa O2 kurang dari 80 %

9) Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan

dan kiri

10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis repiratorik

6. Penatalaksanaan

Prinsip umum dalam pengobatan serangan asma, antara lain (Ardhi

utama, 2018) :

a. Menghilangkan obstruksi pada jalan nafas

b. Kenali dan hindari factor pencetus asma

c. Menjelaskan kepada penderita dan keluarga tentang pengobatan

maupun penjelasan penyakit asma

Adapun penatalaksanaan pada asma dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Pengobatan farmakologi atau menggunakan obat

1) Beta agonist ( beta adregenik agent )

2) Methylxanlines ( enphy bronkodilator )

3) Antikolinergik ( bronkodilator )

4) Kortikosteroid

18
5) Mast cell inhibitor ( lewat inhalasi )

b. Tindakan yang spesifik tergantung dari penyakitnya

1) Oksigen 4-6 liter/menit

2) Inhalasi nebulizer yang pemberiannya 30 menit-1 jam

3) Aminovilin bolus IV 5-6 mg/kg BB, jika penggunaanya sudah 12

jam

4) Kortikosteroid hidrokortison jika pasien dalam kondisi serangan

berat

7. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang menurut Padila (2015) yaitu :

a. Spirometri Untuk mengkaji jumlah udara yang dinspirasi

b. Uji provokasi bronkus

c. Pemeriksaan sputum

d. Pemeriksaan cosinofit total

e. Pemeriksaan tes kulit Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan

berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada

asma.

f. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum

g. Foto thorak untuk mengetahui adanya pembengkakan, adanya

penyempitan bronkus dan adanya sumbatan

h. Analisa gas darah Untuk mengetahui status kardiopulmoner yang

berhubungan dengan oksigenasi.

19
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil

Author/Tahun Judul Metode Hasil Penelitian


Eric D Tenda, Bronchial Thermoplasty sebagai Penelitian ini menggunakan Dalam studi terandomisasi yang dilakukan pada
Terapi Asma penelitian deskriptif Data primer pasien asma yang mendapat prosedur bronchial
2017
diperoleh melalui anamnesis thermoplasty, didapatkan hasil yang signifikan.
(autoanamnesis) dan pemeriksaan Sebanyak 32% pasien mengalami penurunan
fisik. serangan asma, terjadi penurunan sebesar 84%
untuk kunjungan pasien ke unit gawat darurat
karena gangguan pernapasan, terdapat penurunan
66% waktu yang hilang dari tempat kerja atau
sekolah, serta penurunan sebesar 73% untuk
perawatan inap dengan gangguan pernapasan.
Novita Amri, Penerapan Posisi Orthopenic Penelitian ini menggunakan Dalam studi Penerapan Posisi Orthopenic yang
untuk mengatasi penelitian Eksperiment One Group dilakukan pada pasien asma untuk mengatasi
2021
Ketidakefektifan Pola Napas Pretest-Posttest. Ketidakefektifan Pola Napas, Berdasarkan data
Pada Pasien Dengan Asma menunjukkan hasil uji paired t test menunjukkan
Bronkhial adanya perbedaan ketidakefektifan pola napas
yang signifikan sebelum dan sesudah diberikan
intervensi penerapan posisi orthopneic dengan p
value = 0,033 < 0,05. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh penerapan
posisi orthopneic untuk mengatasi
ketidakefektifan pola napas pada pasien asma.
Marlin Pengaruh Teknik Pernapasan Penelitian ini menggunakan Berdasarkan hasil penelitian ditemukan ada
Sutrisna, 2018. Buteyko Terhadap Act (Asthma Penelitian quasi eksperimental pengaruh latihan teknik pernapasan buteyko

20
Control Test) dengan pendekatan pretest and post terhadap ACT (asthma control test) dengan Skor
test one group design yang terdiri ACT setelah diberikan teknik pernapasan buteyko
dari 14 pasien asma dengan lebih tinggi daripada sebelum diberikan teknik
consecutive sampling. pernapasan buteyko. Perbedaan yang signifikan
Instrumen ACT (Asthma Control antara skor ACT setelah diberikan teknik
Test) di lakukan secara time series pernapasan buteyko dengan skor ACT pada
artinya diukur pada saat pretest, minggu III, minggu II, minggu I, dan pretest
minggu pertama, kedua, ketiga, dan (p=0,00). Post hoc analisis menemukan skor post
keempat. Data yang terkumpul test minggu ke empat signifikan lebih tinggi
dianalisis secara deskriptif dan (p=0,00) daripada posttest minggu III, minggu II,
inferensial yaitu dengan minggu I, dan pretest.
menggunakan uji Repeated ANOVA
dan dilanjutkan dengan analisis uji
Post Hoc dengan skala signifikansi
p<0,05.
Widyaningsih, pengaruh respiratory muscles Penelitian ini menggunakan mean rank saturasi oksigen pasien asma sebelum
penelitian kuantitatif menggunakan
yunani, M. stretching terhadap saturasi intervensi adalah 0.00 % dan sesudah intervensi
desain Quasy experiment dengan
Jamaluddin, oksigen pasien asma rancangan randomized pretest 7.50 %. penelitian menunjukkan ada pengaruh
posttest design without control
2018 latihan respiratory muscles stretching terhadap
Sampel penelitian ini adalah 15
pasien Asma yang memenuhi saturasi oksigen pasien asma
kriteria inklusi: usia 20-60 tahun
dengan hemodinamik pasien stabil
(tekanan darah sistolik 90-130
mmHg, nadi 60-100 kali/menit,
suhu normal). Kriteria eksklusi
dalam penelitian ini adalah pasien

21
dengan riwayat penyakit jantung.
Teknik pemilihan sampel
menggunakan Purposive Sampling.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pulse oxymeter
untuk mengukur saturasi oksigen
dan lembar observasi saturasi
oksigen..

22
3.2 Pembahasan

Pada penelitian yang dilakukan oleh Eric D Tenda, 2017 yang bertujuan
untuk mengetahui pengaruh terapi Bronchial Thermoplasty terhadap pasien Asma.
Bronchial thermoplasty ialah salah satu prosedur baru untuk terapi
nonfarmakologis asma. Pada pasien asma kronik, ukuran otot polos bertambah
akibat inflamasi berkepanjangan. Bronchial thermoplasty adalah prosedur invasif
minimal yang memanfaatkan hantaran panas melalui gelombang radio untuk
menyusutkan ukuran otot polos saluran napas sehingga menghindarkan
bronkokonstriksi. Sebelum prosedur, pasien diberi anestesi ringan terlebih dahulu.
Teknik ini menggunakan bronkoskopi fiberoptik dalam tiga prosedur yang
masing-masing berlangsung selama kurang-lebih satu jam. Bronchial
thermoplasty hanya boleh dilakukan oleh dokter internis subspesialis pulmonologi
yang telah mendapat pelatihan khusus. Setelah prosedur dilakukan, pasien akan
dikembalikan ke dokter yang merujuk untuk mengatur pengobatan asma pasien.
Dalam studi terandomisasi yang dilakukan pada pasien asma yang mendapat
prosedur bronchial thermoplasty, didapatkan hasil yang signifikan. Sebanyak 32%
pasien mengalami penurunan serangan asma, terjadi penurunan sebesar 84%
untuk kunjungan pasien ke unit gawat darurat karena gangguan pernapasan,
terdapat penurunan 66% waktu yang hilang dari tempat kerja atau sekolah, serta
penurunan sebesar 73% untuk perawatan inap dengan gangguan pernapasan.
Meski merupakan metode pengobatan terbaik untuk asma saat ini, bronchial
thermoplasty tidak begitu saja dapat diterapkan pada semua pasien Indikasi dan
kontraindikasi.
Data dari uji klinis menunjukkan bahwa pasien yang mendapat pengobatan
bronchial thermoplasty akan mengalami peningkatan kualitas hidup dan
pengurangan tingkat eksaserbasi parah, kunjungan gawat darurat, dan gangguan
aktivitas sosial. Bronchial thermoplasty ialah salah satu pilihan yang terbaik
dalam pengobatan asma pada pasien dewasa yang tidak dapat dikontrol dengan
obat.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Novita Amri, 2021 yang bertujuan
untuk mengetahui hasil penerapan posisi orthopneic untuk mengatasi

23
ketidakefektifan pola nafas pada Tn.M dan Tn.R dengan Asma Bronkhial di
Ruang Paru RSU Mayjen H.A Thalib Kabupaten Kerinci. Metode penelitian yang
digunakan yakni metode Eksperiment One Group Pretest-Posttest. Populasi dalam
penelitian ini adalah pasien vertigo di RSU Mayjen H.A.Thalib Kabupaten
Kerinci Tahun 2020 dengan jumlah 62 orang. Sampel dalam penelitian ini
sebanyak 8 orang dengan menggunakan teknik purposive sampling. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah headset dan handphone untuk memutar
vidio murottal dan lembar observasi. Murottal dilakukan selama 3 malam
berturut-turut sebelum tidur pada malam hari. Analisa statistik menggunakan
distribusi frekuensi untuk univariat dan uji paired t test untuk bivariat.
Dari Hasil penelitian ini Penerapan Posisi Orthopneic Untuk Mengatasi
Ketidakefektifan Pola Nafas Pada Klien Tn.M Dengan Asma Bronkhial dapat
membantu Mengatasi Ketidakefektifan Pola yang terjadi pada Tn.M, sesuai
dengan respon klien yang sudah tidak sesak nafas. Penerapan Posisi Orthopneic
Untuk Mengatasi Ketidakefektifan Pola Nafas Pada Klien Tn.R Dengan Asma
Bronkhial dapat membantu Mengatasi Ketidakefektifan Pola yang terjadi pada
Tn.R, sesuai dengan respon klien yang sudah tidak sesak nafas. 3. Terdapat
perbedaan hasil terhadap penerapan Posisi Orthopneic untuk mengatasi
ketidakefektifan pola nafas pada Tn.M dan Tn.R, sesuai dengan respon kedua
klien yang sudah tidak sesak nafas dan pernafasan klien normal. Di temukan
perbedaan pernafasan kantara kedua klien yaitu pernafasan Tn.M lebih cepat
dibandingkan dengan pernafasan Tn.R, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor emosi
dan kecemasan yang dialami oleh Ny.M.
Hasil Penelitian ini Di dukung Teori bahwa Asma bronkhial adalah suatu
penyakit dengan ciri meningkatnya respons trakhea dan bronkhus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil
pengobatan. Pola nafas merupakan proses pergerakan gas ke dalam dan keluar
paru dipengaruhi oleh tekanan dan volume. Pola nafas juga diartikan sebagai
gabungan aktivitas berbagai mekanisme yang berperan dalam proses suplai
oksigen ke seluruh tubuh dan pembuangan karbondioksida. Orthopneic

24
merupakan adaptasi dari posisi fowler tinggi, klien duduk di tempat tidur atau
samping tempat tidur dengan meja yang menyilang di atas tempat tidur, Tujuan
tindakan ini Membantu mengatasi masalah kesulitan pernapasan dengan
memberikan ekspansi dada minimum. Membantu klien yang mengalami ekspansi
dada. Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan posisi orthopneic memberikan
pengaruh terhadap keefektifan pola nafas pada pasien.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Marlin Sutrisna 2018,
bahwa peneliti membuktikan teknik pernapasan buteyko berpotensi untuk
memberikan pengaruh positif secara subjektif yang di ukur dengan ACT (asthma
control test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata skor
ACT sebelum dan sesudah latihan teknik pernapasan buteyko selama 4 minggu.
ACT menunjukkan kontrol asma yang baik atau buruk pada pasien. Hal ini
dikarenakan teknik pernapasan buteyko merupakan teknik yang menggabungkan
pernapasan hidung, diafragma, dan control pause. Pasien asma dianjurkan untuk
bernapas melalui hidung dan menutup mulut, karena alergen masuk melalui mulut
dapat memicu terjadinya bronkospasme sehingga terjadi sesak napas. Respon
alami ketika sesak napas adalah usaha bernapas lebih dalam melalui mulut,
sehingga memungkinkan menghirup alergen lebih banyak dan memicu
bronkospasme lebih lanjut.
Penelitian ini di dukung oleh Hassan, Riad, dan Ahmed (2012), didapatkan
bahwa teknik pernapasan buteyko mencegah tingkat keparahan asma,
meningkatkan perbaikan PEFR dan kontrol asma yang di ukur dengan asthma
control questionare (ACQ). Menurut Cowie, Conley, Underwood, dan Reader
(2008), teknik pernapasan buteyko dapat mengurangi penggunaan terapi
kortikosteroid inhalasi. Pada penelitian ini, teknik pernapasan buteyko diberikan
secara berkelanjutan setiap dua kali dalam seminggu selama 4 minggu. Hal
tersebut disesuaikan dengan alat ukur kontrol asma yang mengukur control asma
setelah 4 minggu.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Widiyaningsih , Yunani , dan M.
Jamaluddin, 2018 yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan respiratory
muscles stretching terhadap saturasi oksigen pasien Asma. Populasi adalah semua

25
pasien Asma yang dirawat di RSUD Kota Semarang dengan Sampel penelitian ini
adalah 15 pasien Asma yang memenuhi kriteria inklusi: usia 20-60 tahun dengan
hemodinamik pasien stabil (tekanan darah sistolik 90-130 mmHg, nadi 60-100
kali/menit, suhu normal). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah pasien
dengan riwayat penyakit jantung. Teknik pemilihan sampel menggunakan
Purposive Sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pulse
oxymeter untuk mengukur saturasi oksigen dan lembar observasi saturasi oksigen.
Cara pengumpulan data: Dilakukan pengukuran saturasi oksigen sebelum latihan
peregangan otot pernafasan dengan pulse oximeter. Kemudian melakukan latihan
respiratory muscles stretching. Latihan respiratory muscles stretching yang
diberikan meliputi peregangan otot sternocleidomastoid, otot pectoralis mayor dan
trapezius, otot tricep brachii dan otot serratus anterior selama 10-15 menit
(masing-masing 2 x 10 hitungan). Dilakukan pengukuran saturasi oksigen setelah
latihan peregangan otot pernafasan dengan pulse oximeter. Analisis data
dilakukan untuk mengetahui perbedaan mean saturasi oksigen sebelum dan
sesudah intervensi menggunakan uji T paired dengan uji hipotesis two tail dengan
derajat kemaknaan 0.05. Hasil penelitian menunjukkan ada peningkatan saturasi
oksigen sebelum dan sesudah dilakukan latihan respiratory muscles stretchingada
sehingga ada pengaruh latihan respiratory muscles stretching terhadap saturasi
oksigen pasien asma.
Hasil penelitian ini didukung teori bahwa pada pasien asma yang melakukan
latihan ini dapat merelaksasikan otot, dan asam laktat yang terjadi sebagai hasil
dari metabolism anaerob akibat iskemik dapat dikeluarkan dengan baik sehingga
akan mengurangi nyeri pada otot-otot pernafasan. Latihan respiratory muscles
stretching dapat mengembalikan fungsi otot-otot pernafasan tersebut sehingga
dapat meningkatkan saturasi pasien asma.

26
3.3 Implikasi Keperawatan
Provesi Keperawatan : Menyajikan suatu lingkup praktik keperawatan
yang profesional
Klien : Dapat menerapkan penatalaksanaan-
penatalaksanaan pada penyakit asma
Perawat :
1. Meningkatkan kepuasan dalam bekerja dan
meningkatkan perkembangan profesionalisme.
2. Meningkatkan hubungan antara perawat dengan
klien
3. Meningkatkan suatu pengembangan dan
kreatifitas dalam penyelesaian masalah klien

27
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Asma merupakan penyakit inflamasi jalan nafas kronik dengan banyak sel
dan elemen seluler yang berperan di dalamnya. Inflamasi kronik ini berhubungan
dengan hiper-responsivitas jalan nafas yang mengakibatkan episode berulang dari
mengi, sesak, perasaan berat di dada, dan batuk, terutama saat malam hari atau
dini hari. Berdasarkan jurnal yang didapatkan diperoleh hasil antara lain : Pasien
asma yang mendapat prosedur bronchial thermoplasty, didapatkan hasil yang
signifikan. Sebanyak 32% pasien mengalami penurunan serangan asma, Ada
pengaruh penerapan posisi orthopneic untuk mengatasi ketidakefektifan pola
napas pada pasien asma. Ada pengaruh latihan teknik pernapasan buteyko
terhadap ACT (asthma control test) dengan Skor ACT setelah diberikan teknik
pernapasan buteyko lebih tinggi daripada sebelum diberikan teknik pernapasan
buteyko, dan Ada pengaruh latihan respiratory muscles stretching terhadap
saturasi oksigen pasien asma.

4.2 Saran
a. Bagi program Studi Ners
Diharapkan mahasiswa dapat memperbanyak pengetahuan mengenai
“Tindakan Keperawatan Pada Pasien Asma Di Ruangan Instalasi Gawat
Darurat (IGD)’’
b. Bagi Perawat
Dapat memberikan suatu alternatif untuk dapat dijadikan sebagai
bahan masukan bagi perawat dalam melakukan “Tindakan Keperawatan
Pada Pasien Asma Di Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD) ’’
c. Bagi rumah sakit
Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi bahan masukan bagi
rumah sakit dalam melaksanakan penatalaksanaan mengenai ““Tindakan
Keperawatan Pada Pasien Asma Di Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD) ’’

28
DAFTAR PUSTAKA

Anisa, K. (2019). Peran Keluarga Dalam Perawatan Penderita Asma Di Desa


Sukoreno Wilayah Kerja Puskesmas Sentolo I Kulon Progo. 9–25.

GINA (2020) Pocket Guide for Asthma Management and Prevention (for adults
and children older than 5 years), Global Initiative for Asthma.
Available at: www.ginasthma.org.

Ikawati Zullies. (2016). Penatalaksanaan Terapi : Penyakit Sistem Pernafasan.


Yogyakarta : Bursa Ilmu

Indri Runtuwene. 2018. Prevalensi dan faktor faktor resiko yang menyebabkan
asma di RSU GMIM Bethesda Tomohon. Jurnal e-Clinik (eCi). Volume 4
No 2 Hal.45-50

Kemenkes RI. (2013).Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Kemenkes RI

Merey M & Hendro B. 2021. Faktor Resiko Yang Berhubungan Dengan Riwayat
Serangan Pada Penderita Asma Di Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal
Keperawatan. Volume 9 No.2

Novita Amri, 2020. Penerapan Posisi Orthopenic untuk mengatasi


Ketidakefektifan Pola Napas pada pasien dengan Asma Bronkhial. Jurnal
Kesehatan Saintika Meditory

Padila. 2015. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha medika

Permenkes., 2016, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun


2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta

Sutrisna, Marlin. 2018. Pengaruh Teknik Pernapasan Buteyko Terhadap Act


(Asthma Control Test). Jurnal Keperawatan Silampari (JKS) Volume 1, No
2.
Tety Thaib. 2017.Kualitas pelayanan pasien di instalasi gawat darurat di rumah
sakit umum daerah aloesaboe. Jurnal manajemen sumber daya manusia,
administrasi dan pelayanan publik. Volume 2 No.2

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan(Ist ed). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI

Utama, Saktya Yudha Ardhi. (2018). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Sistem Respirasi. Sleman: Budi Utama.

29
Widyaningsih, Yunani & M.Jamaludin. 2018. Pengaruh Respiratory Muscles
Streching Terhadap Saturasi Oksigen Pasien Asma. Jurnal Urecoll.

World Health Organization (WHO). (2017). Asthma.

Yudhawati, R.,Krisdanti, D.P.A. (2017). Imunopatogenesis Asma. Jurnal


Respirasi Vol. 3 No. 1

30

Anda mungkin juga menyukai