Anda di halaman 1dari 9

KARAKTERISTIK ANAK DENGAN HAMBATAN PENDENGARAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Anak Berkebutuhan Khusus

Dosen Pengampu: Dadan Harjana. M.Pd.

Disusun oleh :

Dwi Anggit Wibowo (19144600060)

A2-19

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan fungsi

pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks dalam

kehidupannya. Anak tunarungu secara fisik terlihat seperti anak normal, tetapi bila

diajak berkomunikasi barulah terlihat bahwa anak mengalami gangguan

pendengaran. Anak tunarungu tidak berarti anak itu tunawicara, akan tetapi pada

umumnya anak tunarungu mengalami ketunaan sekunder yaitu tunawicara.

Anak tunarungu memiliki tingkat intelegensi bervariasi dari yang rendah

hingga jenius. Anak tunarungu yang memiliki intelegensi normal pada umumnya

tingkat prestasinya di sekolah rendah. Hal ini disebabkan oleh perolehan informasi

dan pemahaman bahasa lebih sedikit bila dibanding dengan anak mampu dengar.

Anak tunarungu mendapatkan informasi dari indera yang yang masih berfungsi,

seperti indera penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dalam mini paper ini masalah

yang diangkat adalah bagaimana karakteristik anak dengan hambatan

pendengaran?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Anak Tungarungu

Tunarungu merupakan keadaan yang menunjukkan kelainan pada aspek

pendengaran dan mengalami kesulitan kompleks yang berpengaruh dalam

pendidikan serta kehidupan sehari-hari (Haenudin, 2013: 53; Sadja’ah, 2013a: 45).

Sejalan dengan pendapat tersebut anak tunarungu merupakan individu yang

memiliki hambatan dengan organ pendengaran secara keseluruhan maupun

sebagiansehingga membutuhkan layanan secara khusus.Hambatan dalam

pendengaran membuat anak kesulitan dalam berpartisipasi di sekolahsehingga

anak enggan bermain dengan teman lain

(Bobzien,Richels,Raver,Hester,Browning, & Morin,2013: 343).

Menurut Tin Suharmini mengemukakan tunarungu dapat diartikan

sebagai keadaan dari individu yang mengalami kerusakan pada indera

pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai rangsang

suara, atau rangsang lain melalui pendengaran (Laila, 2013 : 10). Dalam sumber

berbeda, tunarungu dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan

pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai

rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya (Sutjihati Somantri, 2012:

93).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran baik


sebagian atau seluruhnya, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat

pendengarannya secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari.

2. Karakteristik Anak Tunarungu

Pada umumnya anak tunarungu mengalami pertumbuhan fisik secara

normal, namun mereka mengalami hambatan dalam perkembangan. Anak

tunarungu biasanya mengalami hambatan dalam komunikasi karena mereka

memiliki keterbatasan dalam kegiatan berbahasa. Pertumbuhan fisik yang

normal ini menyebabkan ketunaan para anak tunarungu tidak dapat terlihat

secara langsung. Penampilan anak tunarungu tidak akan jauh berbeda dengan anak

normal pada umumnya. Kekurangan mereka baru bisa diketahui setelah

mereka diajak berkomunikasi. Apabila dicermati, ternyata terdapat beberapa

ciri atau karakteristik yang dimiliki anak tunarungu.

3. Karakteristik Akademik dan Tantangan Belajar Pembelajaran Anak

Tunarungu

Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi anak

normal karena dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti

pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak

tunarungu memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan anak normal.

Ketidakmampuan tersebut dialami anak tunarungu karena

terbatas dalam memproses informasi abstrak dan verbal saat membaca serta

berhitung (Westwood, 2011: 47). Namun, prestasi yang rendah bukan

disebabkan karena intelegensi/kognitif yang rendah. Anak tunarungu bisa


mengembangkan intelegensi/kognitif melalui bahasa visual. Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Lieberman, Hatrak, & Mayberry (2014: 15) menyatakan

bahwa bahasa visual anak tunarungu sangat kuat untuk menggabungkan

kemampuan linguistik, non linguistik dan kemampuan kognitif. Anak

tunarungu akan memiliki perhatian lebih pada komunikasi dan interaktif

visual di lingkungan. Contohnya keterlambatan anak dalam menyelesaikan

tugas multiplikatif (soal matematikasi dengan simbol yang banyak), anak

tunarungu harus dibantu (Nunes, Bryant, Burman, Bell, Evans,& Hallet,

2009: 274). Anak tunarungu seharusnya memiliki kesempatan untuk berpikir

kreatif, mandiri , kompleks dengan cara kolaborasi dan komunikasi konkret

dengan lingkungan (Cheng, Hu, & Sin, 2016: 385)

Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada

umumnya. Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui

pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih

memudahkan tunarungu menyerap informasi. Oleh karena itu guru harus bisa

memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati

terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan

mudah, terutama untuk guru regular, seorang guru juga harus bisa menggunakan

metode pembelarjan yang sesuai, agar anak tunarungu dapat mengikuti

pembeljaran dengan baik, selain itu seorang guru harus mampu menggunakan

prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip


keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip

kekonkritan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ketunarunguan memberikan dampak terhadap perkembangan bahasa dan

bicaranya terutama bagi anak tunarungu sejak lahir (prabahasa). Perkembangan

berbahasa dan berbicara mereka menjadi terhambat, sehingga berakibat juga pada

keterhambatan dalam pengembangan potensinya. Jika anak sehat mampu

menghubungkan pengalaman dan lambang bahasa melalui pendengaran, pada anak

tunarungu tidak. Hal ini disebabkan karena adanya fungsi pada pendengarannya.

Jadi, anak tunarungu memperoleh bahasanya lebih difokuskan melalui fungsi

penglihatannya. Namun,tidak menutup kemungkinan dengan memaksimalkan

fungsi pendengarannya, bagi siswa tunarungu yang kurang dengar.


DAFTAR PUSTAKA

Bobzien, J., Richels, C., Raver, S. A., Hester, P., Browning, E., & Morin, L.

(2013). An Observational Study of Social Communication Skills in Eight

Preschoolers with and Without Hearing Loss During Cooperative Play.

Journal Early Childhood Education, (41), 339–346.

https://doi.org/10.1007/s10643-012-0561-6

Cahya,Laili S. 2013. Buku Anak Untuk ABK,Yogyakarta: Familia.

Cheng, S., Hu, X., & Sin, K. F. (2016). Thinking styles of university deaf or hard

of hearing students and hearing students. Research in Developmental

Disabilities, 55, 377–387. https://doi.org/10.1016/j.ridd.2016.04.004

Haenudin. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu. Jakarta:

Luxima.

Lieberman, A. M., Hatrak, M., & Mayberry, R. I. (2014). Learning to Look for

Language: Development of Joint Attention in Young Deaf Children.

Language Learning and Development, 10(1), 19–35.

https://doi.org/10.1080/15475441.2012.760381

Sutjihati Somantri. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika

Aditama.

Nunes, T., Bryant, P., Burman, D., Bell, D., Evans, D., & Hallett, D. (2009). Deaf

children’s informal knowledge of multiplicative reasoning. Journal of Deaf

Studies and Deaf Education, 14(2), 260–277.

https://doi.org/10.1093/deafed/enn040
Westwood, P. (2011). Commonsense Methods for Children with Special

Educational Needs. New York: Routledge.

Anda mungkin juga menyukai