Anda di halaman 1dari 11

Sore Tugu Pancoran Di kantong safarimu kami titipkan

Si Budi kecil kuyup menggigil Masa depan kami dan negeri ini
Menahan dingin tanpa jas hujan Dari Sabang sampai Merauke
Di simpang jalan Tugu Pancoran Saudara dipilih bukan dilotre
Tunggu pembeli jajakan koran Meski kami tak kenal siapa saudara
Menjelang Magrib, hujan tak reda Kami tak sudi memilih para juara
Si Budi murung menghitung laba Juara diam, juara he-eh, juara hahaha
Surat kabar sore dijual malam Untukmu yang duduk sambil diskusi
Selepas Isya, melangkah pulang Untukmu yang biasa bersafari
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Di sana, di gedung DPR
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu Di hati dan lidahmu kami berharap
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal Jangan ragu, jangan takut karang menghadang
Cepat langkah waktu pagi menunggu Bicaralah yang lantang, jangan hanya diam!
Si Budi sibuk siapkan buku Wakil rakyat seharusnya merakyat
Tugas dari sekolah selesai setengah Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Sanggupkah si Budi diam di dua sisi? Wakil rakyat bukan paduan suara
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Hanya tahu nyanyian lagu "setuju"
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu Wakil rakyat seharusnya merakyat
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal Wakil rakyat bukan paduan suara
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Hanya tahu nyanyian lagu "setuju"
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu Wakil rakyat seharusnya merakyat
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju"
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Surat Buat Wakil Rakyat
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju"
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Untukmu yang biasa bersafari
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Di sana, di gedung DPR
Wakil rakyat kumpulan orang hebat Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju"
Bukan kumpulan teman-teman dekat
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Apalagi sanak famili
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Di hati dan lidahmu kami berharap
Wakil rakyat bukan paduan suara
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju"
Jangan ragu, jangan takut karang menghadang
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Bicaralah yang lantang, jangan hanya diam!
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju"
Ibu Sarjana Muda
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh Berjalan seorang pria muda
Lewati rintang untuk aku, anakmu Dengan jaket lusuh di pundaknya
Ibuku sayang, masih terus berjalan Di sela bibir tampak mengering
Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah Terselip sebatang rumput liar
Seperti udara Jelas menatap awan berarak
Kasih yang engkau berikan Wajah murung semakin terlihat
Tak mampu ku membalas Ibu Dengan langkah gontai tak terarah
Ibu Keringat bercampur debu jalanan
Ingin kudekap Engkau sarjana muda
Dan menangis di pangkuanmu Resah mencari kerja
Sampai aku tertidur Mengandalkan ijazahmu
Bagai masa kecil dulu Empat tahun lamanya
Lalu doa-doa Bergelut dengan buku
Baluri sekujur tubuhku 'Tuk jaminan masa depan
Dengan apa membalas Ibu? Langkah kakimu terhenti
Ibu Di depan halaman sebuah jawatan
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh Tercenung lesu engkau melangkah
Lewati rintang untuk aku, anakmu Dari pintu kantor yang diharapkan
Ibuku sayang, masih terus berjalan Tergiang kata tiada lowongan
Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah Untuk kerja yang didambakan
Seperti udara Tak peduli berusaha lagi
Kasih yang engkau berikan Namun kata sama kau dapatkan
Tak mampu ku membalas Ibu
Jelas menatap awan berarak
Ibu
Wajah murung semakin terlihat
Engkau sarjana muda
Resah tak dapat kerja
Tak berguna ijazahmu
Empat tahun lamanya
Bergelut dengan buku
Sia-sia semuanya
Setengah putus asa dia berucap
"Maaf, Ibu ..."

Celoteh Camar Tolol & Cemar


Api menjalar dari sebuah kapal Tampomas, sebuah kapal bekas
Jerit ketakutan Tampomas, terbakar di laut lepas
Keras melebihi gemuruh gelombang Tampomas, tuh penumpang terjun bebas
Yang datang Tampomas, beli lewat jalur culas
Sejuta lumba-lumba mengawasi cemas Tampomas, hati siapa yang tak panas
Risau camar membawa kabar Tampomas (tampomas, tampomas)
Tampomas terbakar Tampomas, kasus ini wajib tuntas
Risau camar memberi salam Tampomas, koran koran seperti amblas
Tampomas Dua tenggelam Tampomas, pahlawanmu kurang tangkas
Asap kematian Tampomas, cukup tamat bilang naas
Dan bau daging terbakar
Terus menggelepar dalam ingatan
Hatiku rasa 22 Januari
Bukan takdir Tuhan
22 Januari kita berjanji
Karena aku yakin itu tak mungkin
Coba saling mengerti apa di dalam hati
Korbankan ratusan jiwa
22 Januari tidak sendiri
Mereka yang belum tentu berdosa
Aku berteman iblis yang baik hati
Korbankan ratusan jiwa
Jalan berdampingan tak pernah ada tujuan
Demi peringatan manusia
Membelah malam, mendung yang selalu datang
Korbankan ratusan jiwa
Kudekap erat, kupandang senyummu
Mereka yang belum tentu berdosa
Dengan sorot mata yang keduanya buta
Korbankan ratusan jiwa
Lalu kubisikkan
Demi peringatan manusia
Sebaris kata-kata
Bukan, bukan itu
Pu—tus a—sa
Aku rasa kita pun tahu
Sebentar lagi hujan
Petaka terjadi
Dua buku teori kau pinjamkan aku
Karena salah kita sendiri
Tebal tidak berdebu, kubaca selalu
Datangnya pertolongan
Empat lembar fotomu dalam lemari kayu
Yang sangat diharapkan
Kupandang dan kujaga sampai kita jemu
Bagai rindukan bulan
Jalan berdampingan tak pernah ada tujuan
Lamban engkau pahlawan
Membelah malam, mendung yang selalu datang
Celoteh sang camar
Kudekap erat, kupandang senyummu
Bermacam alasan
Dengan sorot mata yang keduanya buta
Tak mau kami dengar
Lalu kubisikkan
Di pelupuk mata hanya terlihat
Sebaris kata-kata
Jilat api dan jerit penumpang kapal
Pu—tus a—sa
Sebentar lagi hujan
Buku Ini Aku Pinjam Yang Terlupakan
Dia tahu, dia rasa Denting piano kala jemari menari
Cinta ini milik kita Nada merambat pelan di kesunyian malam
Di kantin depan kelasku Saat datang rintik hujan
Di sana kenal dirimu Bersama sebuah bayang
Yang kini tersimpan di hati Yang pernah terlupakan
Jalani kisah sembunyi Hati kecil berbisik untuk kembali padanya
Di halte itu kutunggu S'ribu kata menggoda
Senyum manismu kekasih S'ribu sesal di depan mata
Usai dentang bel sekolah S'perti menjelma waktu aku tertawa
Kita nikmati yang ada Kala memberimu dosa
Seperti hari yang lain (Na-na-na-na-na) oh, maafkanlah
Kau senyum tersipu malu (Na-na-na-na-na) oh, maafkanlah
Ketika kusapa engkau Rasa sesal di dasar hati
Genggamlah jari Diam, tak mau pergi
Genggamlah hati ini Haruskah aku lari dari kenyataan ini?
Memang usia kita muda Pernah ku mencoba 'tuk sembunyi
Namun cinta soal hati Namun senyummu tetap mengikuti
Biar mereka bicara (La-la-la-la)
Telinga kita terkunci (La-la-la-la)
Dia tahu, dia rasa (La-la-la-la)
Maka tersenyumlah, kasih (La-la-la-la)
Tetap langkah, jangan hentikan Hati kecil berbisik untuk kembali padanya
Cinta ini milik kita S'ribu kata menggoda
Buku ini aku pinjam S'ribu sesal di depan mata
'Kan kutulis sajak indah Seperti menjelma waktu aku tertawa
Hanya untukmu seorang Kala memberimu dosa
Tentang mimpi-mimpi malam Rasa sesal di dasar hati
Dia tahu, dia rasa Diam, tak mau pergi
Maka tersenyumlah, kasih Haruskah aku lari dari kenyataan ini?
Tetap langkah, jangan hentikan Pernah ku mencoba 'tuk sembunyi
Cinta ini milik kita Namun senyummu tetap mengikuti
Dia tahu, dia rasa (Rasa sesal di dasar hati)
Maka tersenyumlah, kasih (Diam, tak mau pergi)
Tetap langkah, jangan hentikan (Haruskah aku lari dari kenyataan ini?)
Cinta ini milik kita Pernah ku mencoba 'tuk sembunyi
Cinta ini milik kita Namun senyummu tetap mengikuti
(Rasa sesal di dasar hati)
(Diam, tak mau pergi)
(Haruskah aku lari dari kenyataan ini?)
Pernah ku mencoba 'tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti
(Rasa sesal di dasar hati)
(Diam, tak mau pergi)
(Haruskah a...)
1910 Lihat Sugali menari
Di lokasi WTS kelas teri
Apakabar kereta yang terkapar di senin
pagi Asyik lembur sampai pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati Usai garong hambur uang
Hancurkan mimpi bawa kisah Peduli setan
Air mata... air mata... Di-di-du di-du-da-di-du
Belum usai peluit belum habis putaran roda Di-di-du di-du-du
Aku dengar jerit dari Bintaro Di-di-du di-du-da-di-du
Satu lagi catatan sejarah Di-du-da-di-du-di-da-di-du-di-da-du
Air mata... air mata... Ramai gunjing tentang dirimu
Berdarahkan tuan yang duduk di belakang Yang tak juga hinggap rasa jemu
meja Suram hari depanmu
Atau cukup hanya ucapkan belasungkawa Rasa was-was, mata beringas
aku bosan Menunggu datang peluru yang panas
Lalu terangkat semua beban dipundak Di waktu hari naas
Semudah itukah luka-luka terobati... Oh, bisik jangkrik di tengah malam
Nusantara... tangismu terdengar lagi Tenggelam dalam suara letusan
Nusantara... derita bila terhenti Kata berita di mana-mana
Bilakah... bilakah... Tentang Sugali tak tenang lagi
Sembilan belas oktober tanah Jakarta Dan lari sembunyi
berwarna merah
Tar-ter-tor suara senapan
Meninggalkan tanya yang tak terjawab
Sugali anggap petasan
Bangkai kereta lemparkan amarah
Tiada rasa ketakutan
Air mata... air mata...
Punya ilmu kebal senapan
O o o o o o o o o...
Sugali makin keranjingan
Nusantara langitmu saksi kelabu
Lihat Sugali menari
Nusantara terdengar lagi tangismu
Ho... ho... ho... Di lokasi WTS kelas teri
Nusantara kau simpan kisah kereta Asyik joget sampai lecet
Nusantara kabarkan marah sang duka Genit kitik cewek binal paling busyet
Saudaraku pergilah dengan tenang Di-di-du di-du-da-di-du
Sebab luka sudah tak lagi panjang Di-di-du di-du-du
Di-di-du di-du-da-di-du
Di-du-da-di-du-di-da-di-du-di-da-du
Ramai gunjing tentang dirimu
Sugali
Yang tak juga hinggap rasa jemu
Sua-sua-sua-suara berita
Suram hari depanmu
Tertulis dalam koran
Rasa was-was, mata beringas
Tentang seorang lelaki
Menunggu datang peluru yang panas
Yang sering keluar-masuk bui
Di waktu hari naas
Jadi buronan polisi
Oh bisik jangkrik di tengah malam
Dar-der-dor suara senapan
Tenggelam dalam suara letusan
Sugali anggap petasan
Kata berita di mana-mana
Tiada rasa ketakutan
Tentang Sugali tak tenang lagi
Punya ilmu kebal senapan
Dan lari sembunyi
Semakin lupa daratan
Barang Antik Bongkar
Berjalan tersendat di antara sedan-sedan licin Kalau cinta sudah dibuang
mengkilat Jangan harap keadilan akan datang
Dengan warna pucat dan badan penuh cacat sedikit Kesedihan hanya tontonan
berkarat Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Hai, oplet tua dengan bapak supir tua Wo o ya o ya o ya bongkar
Cari penumpang di pinggiran ibu kota Wo o ya o ya o ya bongkar
Sainganmu mikrolet, bajaj, dan bis kota Sabar, sabar, sabar dan tunggu
Kini kau tersingkirkan oleh mereka Itu jawaban yang kami terima
Bagai kutu jalanan di tengah-tengah kota Ternyata kita harus ke jalan
metropolitan Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Cari muatan untuk nguber setoran sisanya buat Wo o ya o ya o ya bongkar
makan Wo o ya o ya o ya bongkar
Hai, oplet tua dengan bapak supir tua Wo o ya o ya o ya bongkar
Cari penumpang di pinggiran ibu kota Wo o ya o ya o ya bongkar
Sainganmu mikrolet, bajaj, dan bis kota Penindasan serta kesewenang-wenangan
Kini kau tersingkirkan oleh mereka Banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan
Berjalan zig-zag ngebut nggak perduli walau mobil Hoi hentikan, hentikan jangan diteruskan
sudah butut Kami muak dengan ketidakpastian dan
Suara bising ribut yang keluar dari knalpotmu bagai keserakahan
kentut Di jalanan kami sandarkan cita-cita
Hai, oplet tua dengan bapak supir tua Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Cari penumpang di pinggiran ibu kota Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Sainganmu mikrolet, bajaj, dan bis kota Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta
Kini kau tersingkirkan oleh mereka O-o-oh!
Oh, bapak tua pemilik oplet tua Wo o ya o ya o ya bongkar
Tunggu nanti di tahun 2001 Wo o ya o ya o ya bongkar
Mungkin mobilmu jadi barang antik Wo o ya o ya o ya bongkar
Yang harganya selangit Wo o ya o ya o ya bongkar
Oh, bapak tua pemilik oplet tua Penindasan serta kesewenang-wenangan
Tunggu nanti di tahun 2001 Banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan
Mungkin opletmu jadi barang nyentrik Hoi hentikan, hentikan jangan diteruskan
Yang harganya selangit Kami muak dengan ketidakpastian dan
Oh, bapak tua pemilik oplet tua keserakahan
Tunggu nanti di tahun 2001 Wo o ya o ya o ya bongkar
Mungkin mobilmu jadi barang antik Wo o ya o ya o ya bongkar
Yang harganya selangit Wo o ya o ya o ya bongkar
Oh, bapak tua pemilik oplet tua Wo o ya o ya o ya bongkar
Tunggu nanti di tahun 2001 Di jalanan kami sandarkan cita-cita
Mungkin opletmu jadi barang antik Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Yang harganya selangit Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Oh, bapak tua pemilik oplet tua Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta
Wo o ya o ya o ya bongkar
Wo o ya o ya o ya bongkar
Wo o ya o ya o ya bongkar
Wo o ya o ya o ya bongkar
Bung Hatta Entah
Tuhan, terlalu cepat semua Entah mengapa aku tak berdaya
Kau panggil satu-satunya yang tersisa Waktu kau bisikkan
Proklamator tercinta "Jangan aku kau tinggalkan!"
Jujur, lugu, dan bijaksana Tak tahu di mana ada getar terasa
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa Waktu kau katakan
Rakyat Indonesia "Ku butuh dekat denganmu!"
Hujan air mata dari pelosok negeri Seperti biasa aku diam tak bicara
Saat melepas engkau pergi Hanya mampu pandangi
Berjuta kepala tertunduk haru Bibir tipismu yang menarik
Terlintas nama seorang sahabat Seperti biasa aku tak sanggup berjanji
Yang tak lepas dari namamu Hanya mampu katakan
Terbayang baktimu, terbayang jasamu "Aku cinta kau saat ini!"
Terbayang jelas jiwa sederhanamu Entah esok hari
Bernisan bangga, berkafan doa Entah lusa nanti
Dari kami yang merindukan orang Entah ...
Sepertimu Seperti biasa aku diam tak bicara
Hujan air mata dari pelosok negeri Hanya mampu pandangi
Saat melepas engkau pergi Bibir tipismu yang menarik
Berjuta kepala tertunduk haru Seperti biasa aku tak sanggup berjanji
Terlintas nama seorang sahabat Hanya mampu katakan
Yang tak lepas dari namamu "Aku cinta kau saat ini!"
Terbayang baktimu, terbayang jasamu Entah esok hari
Terbayang jelas jiwa sederhanamu Entah lusa nanti
Bernisan bangga, berkafan doa Entah ...
Dari kami yang merindukan orang Sungguh mati, betinaku
Sepertimu Aku tak mampu beri sayang yang cantik
Seperti kisah cinta di dalam komik
Sungguh mati, betinaku
Buang saja angan-angan itu
Lalu cepat peluk aku
Lanjutkan saja langkah kita
Rasalah
Rasalah
Apa yang terasa
Sungguh mati, betinaku
Aku tak mampu beri sayang yang cantik
Seperti kisah cinta di dalam komik
Sungguh mati, betinaku
Kereta Tiba Pukul Berapa Pesawat Tempurku
Hilang sabar di hati Waktu kau lewat, aku sedang mainkan gitar
Dan tak terbendung lagi waktu itu Sebuah lagu yang kunyanyikan tentang dirimu
Lama memang kutunggu Seperti kemarin, kamu hanya lemparkan senyum
Kedatanganmu sobat karibku Lalu pergi begitu saja bagai pesawat tempur
Datang telegram darimu Hei, kau yang manis, singgahlah, dan ikut bernyanyi
Dua hari yang lalu (tunggu aku) Sebentar saja, Nona, sebentar saja, hanya sebentar
Di stasiun kereta itu pukul satu Rayuan mautku tak membuat kau jadi galak
Kupacu sepeda motorku Bagai seorang diplomat ulung, engkau mengelak
Jarum jam tak mau menunggu Kalau saja aku bukanlah penganggur
Maklum rindu Sudah kupacari kau
Traffic light aku lewati Jangan bilang tidak, bilang saja iya
Lampu merah tak peduli Iya lebih baik daripada kau menangis
Jalan terus (asyik) Penguasa, penguasa
Di depan ada polantas Berilah hambamu uang
Wajahnya begitu buas Beri hamba uang
Tangkap aku Beri hamba uang
Tawar-menawar harga pas tancap gas Penguasa, penguasa
Sampai stasiun kereta pukul setengah dua Berilah hambamu uang
Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga Beri hamba uang
Kereta tiba pukul berapa? Beri hamba uang
Biasanya kereta terlambat Beri hamba uang
Dua jam mungkin biasa Beri hamba uang
Tiba kabar darimu Oh, ya, andai kata dunia tak punya tentara
Dua hari yang lalu tunggu aku Tentu tak ada perang yang makan banyak biaya
Di stasiun kereta itu pukul satu Oh, ya, andai kata dana perang buat diriku
Kupacu sepeda motorku Tentu kau mau singgah, bukan cuma tersenyum
Jarum jam tak mau menunggu Kalau hanya senyum yang engkau berikan
Maklum rindu Westerling pun tersenyum
Traffic light aku lewati Oh, singgahlah, Sayang, pesawat tempurku
Lampu merah tak peduli Mendarat mulus di dalam sanubariku
Jalan terus Penguasa, penguasa
Di muka ada polantas Berilah hambamu uang
Wajahnya begitu buas Beri hamba uang
Tangkap aku Beri hamba uang
Tawar-menawar harga pas tancap gas Penguasa, penguasa
Sampai stasiun kereta pukul setengah dua Berilah hambamu uang
Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga Beri hamba uang
Kereta tiba pukul berapa? Beri hamba uang
Biasanya kereta terlambat Beri hamba uang
Dua jam cerita lama Beri hamba uang
Sampai stasiun kereta pukul setengah dua
Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga
Kereta tiba pukul berapa?
Tikus Tikus Kantor Bento
Kisah usang tikus-tikus kantor Namaku Bento rumah real estate
Yang suka berenang di sungai yang kotor Mobilku banyak harta berlimpah
Kisah usang tikus-tikus berdasi Orang memanggilku bos eksekutif
Yang suka ingkar janji lalu sembunyi Tokoh papan atas, atas segalanya
Di balik meja teman sekerja (Asyik!)
Di dalam lemari dari baja Wajahku ganteng banyak simpanan
Kucing datang cepat ganti muka Sekali lirik oke sajalah
Segera menjelma bagai tak tercela Bisnisku menjagal, jagal apa saja
Masa bodoh hilang harga diri Yang penting aku senang, aku menang
Asal tak terbukti ah tentu sikat lagi Persetan orang susah karena aku
Tikus-tikus tak kenal kenyang Yang penting asyik
Rakus, rakus, bukan kepalang Sekali lagi
Otak tikus memang bukan otak udang (Asyik!)
Kucing datang tikus menghilang Khotbah soal moral omong keadilan
Kucing-kucing yang kerjanya molor Sarapan pagiku
Tak ingat tikus kantor datang menteror Aksi tipu-tipu, lobying, dan upeti
Cerdik, licik, tikus bertingkah tengik Wow, jagonya
Mungkin karena sang kucing pura-pura mendelik Maling kelas teri, bandit kelas coro
Tikus tahu sang kucing lapar Itu kantong sampah
Kasih roti jalan pun lancar Siapa yang mau berguru datang padaku
Memang sial sang tikus teramat pintar Sebut tiga kali namaku
Atau mungkin si kucing yang kurang ditatar Bento! Bento! Bento!
Tikus-tikus tak kenal kenyang (Asyik!)
Rakus, rakus, bukan kepalang Namaku Bento rumah real estate
Otak tikus memang bukan otak udang Mobilku banyak harta berlimpah
Kucing datang tikus menghilang Orang memanggilku bos eksekutif
Tokoh papan atas, atas segalanya
(Asyik!)
Wajahku ganteng banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal, jagal apa saja
Yang penting aku senang, aku menang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik
Sekali lagi
(Asyik!)
Khotbah soal moral omong keadilan
Sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu, lobying, dan upeti
Wow, jagonya
Maling kelas teri bandit kelas coro
Itu kantong sampah
Siapa yang mau berguru datang padaku
Sebut namaku
Bento! Bento! Bento!
(Asyik!)
Bento!
Ujung Aspal Pondok Gede Galang Rambu Anarki
Di kamar ini, aku dilahirkan Galang Rambu Anarki, anakku
Di balai bambu buah tangan bapakku Lahir awal Januari menjelang pemilu
Di rumah ini, aku dibesarkan Galang Rambu Anarki, dengarlah
Dibelai mesra lentik jari Ibu Trompet tahun baru menyambutmu
Nama dusunku Ujung Aspal Pondok Gede Galang Rambu Anarki, ingatlah
Rimbun dan anggun, ramah senyum penghuni Tangisan pertamamu
dusun Ditandai BBM membumbung tinggi
Kambing sembilan, motor tiga bapak punya Maafkan kedua orang tuamu kalau
Ladang yang luas habis sudah s'bagai gantinya (Tak mampu beli susu)
Sampai saat tanah moyangku BBM naik tinggi (susu tak terbeli)
Tersentuh sebuah rencana Orang pintar tarik subsidi
Dari serakahnya kota Mungkin bayi kurang gizi
Terlihat murung wajah pribumi Galang Rambu Anarki, anakku
Terdengar langkah hewan bernyanyi Cepatlah besar matahariku
Di depan masjid, samping rumah wakil Pak Lurah Menangis yang keras janganlah ragu
Tempat dulu kami bermain, mengisi cerahnya hari Tinjulah congkaknya dunia buah hatiku
Namun, sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri Doa kami di nadimu
Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah Galang Rambu Anarki, dengarlah
kembali Trompet tahun baru menyambutmu
Sampai saat tanah moyangku Galang Rambu Anarki, ingatlah
Tersentuh sebuah rencana Tangisan pertamamu
Dari serakahnya kota Ditandai BBM melambung tinggi
Terlihat murung wajah pribumi Maafkan kedua orang tuamu kalau
Terdengar langkah hewan bernyanyi (Tak mampu beli susu)
BBM naik tinggi (susu tak terbeli)
Orang pintar tarik subsidi
Anak kami kurang gizi
Galang Rambu Anarki, anakku
Cepatlah besar matahariku
Menangis yang keras janganlah ragu
Tinjulah congkaknya dunia buah hatiku
Doa kami di nadimu
Cepatlah besar matahariku
Menangis yang keras janganlah ragu
Hantamlah sombongnya dunia buah hatiku
Doa kami di nadimu
"Mimpi Yang Terbeli"
Berjalan di situ...di pusat pertokoan
Melihat-lihat barang-barang yang jenisnya
beraneka ragam
Cari apa di sana....pasti tersedia
Asal uang di kantong cukup
Itu tak ada soal

Aku ingin membeli..kamu ingin membeli


Kita ingin membeli...semua orang ingin membeli
Apa yang dibeli...mimpi yang terbeli...
Tiada pilihan selain mencuri..

Sampai kapan mimpi-mimpi itu kita beli


Sampai nanti sampai habis terjual harga diri
Sampai kapan harga-harga itu melambung tinggi
Sampai nanti sampai kita tak bisa bermimpi

Segala produksi ada disini


Menggoda kita 'tuk memiliki
Hari-hari kita berisi hasutan
Hingga kita tak tau diri sendiri

Melihat anak kecil mencuri mainan


Yang bergaya tak terjangkau olh bapaknya
Yang maling

Anda mungkin juga menyukai