OLEH:
Dwi Evryl Sambolangi
Nim: K021221076
Dosen Pengampu:
Dr. Wadzibah Nas, SE.,MM
1.1 Pendahuluan
Pendidikan kewarganegaraan adalah sebuah mata pelajaran yang
mendasar yang diajarkan pada seluruh jenjang pendidikan yang ada di Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan memiliki tujuan untuk memberikan pemahaman
serta menumbuhkan nilai-nilai dari ideologi bangsa Indonesia yang tertuang
dalam ideologi pancasila sebagai dasar atau pandangan hidup bangsa Indonesia.
Secara umum pendidikan kewarganegaraan berperan penting dalam
menumbuhkan rasa nasionalisme warga negara Indonesia (Resfira, 2019).
Pendidikan kewarganegaraan merupakan sebuah mata pelajaran yang
bertujuan untuk membentuk karakter warga negara Indonesia yang baik. Warga
negara yang baik yang dimaksud yaitu warga negara yang sadar akan hak dan
kewajiban dalam berbangsa dan bernegara yang tercermin dalam sikap kritis,
partisipatif dan bertanggung jawab. Pembetukan karakter warga negara yang baik
sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh suatu negara. Bangsa Indonesia
memiliki ideologi nasional yaitu Pancasila yang dijadikan sebagai acuan dalam
membina dan membentuk karakter warna negara Indonesia yang baik (Izma, T.
dan Kesuma, V,Y. 2019)
Fungsi Pendidikan kewarganegaraan yang ada di Indonesia yaitu
memberdayakan seluruh warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sejalan dengan ideologi pancasila seperti keberanian dan
berpegang teguh terhadap ideologi bangsa dan tidak terpengaruh bangsa dan
negara lain. Dengan demikian pentingnya peran Pendidikan kewarganegaran
dalam membangun dan menumbuhkan rasa serta sikap nasionalisme warga
negara Indonesia (Aulia, S,S dan Arpannudin. 2019)
1.2 Tujuan
Bertujuan untuk mengetahui peran penting pendidikan kewarganegaran dalam
membangun karakter bangsa.
1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh yaitu mengetahui peran penting pendidikan
kewarganegaran dalam membangun karakter bangsa.
BAB II
DASAR TEORI
4.1 Kesimpulan
Pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan mutu
warga negara melalui pendidikan. Bangsa yang berkarakter lahir dari warga negara yang
mempunyai kredibilitas tinggi dalam melakukan tindakan yang berbudi luhur sesuai
dengan ideologi berbangsa dan bernegara. Melihat kondisi dimasyarkat saat ini generasi
muda bangsa Indonesia yang berkarakter pancasila mulai terkikis oleh perkembangan
jaman yang semakin moderninasi saat ini. Jika hal tersebut terus dibiarkan dapat
memberikan dampak yang buruk bagi bangsa dan negara tercinta kita. Oleh karena itu
dengan adanya pendidikan kewarganegaraan diharapkan mampu meningkatkan
kesadaran generasi muda terhadap karakter bangsanya, menjadikan mereka warga negara
yang baik yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi terhadap bangsanya dan
terpandang di mata dunia.
4.2 Saran
Saran yang dapat diberikan yaitu pentingnya peningkatan kesadaran masyarakat
Indonesia terhadap nilai-nilai berbangsa dan bernegara yang berlandaskan pancasila
sebagai ideologi bangsa Indonesia. Terkusus untuk generasi muda pengemban dan
penerus bangsa ini penting untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai
kewarganegaraan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Sehinggah dengan
bertambahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat indonesia dapat menciptakan
suatu kondisi dimana tujuan dari ideologi bangsa kita dapat terealisasikan melalu diri kita
masing-masing. Kalau bukan kita siapa lagi?
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, S,S. Arpannudin. (2019). Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Lingkup Sosio-
Kultural Pendidikan Non-Formal. Jurnal Civic Education. Vol. 3. No. 1
Izma, T. Kesuma, V, Y. (2019). Peran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam
Membangun Karakter Bangsa. Wahana Didaktika Vol. 17 No. 1
Resfira. (2019). Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam membangun masyarakat
berjiwa nasional. Journal of Civic Education (ISSN:2622-237X) Volume 2 No 2
LAMPIRAN ARTIKEL PADA JURNAL ILMIAH YANG DIRUJUK:
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
ABSTRAK
1
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
2
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
yang mencakup perasaan bahwa yang dari sebuah kegiatan. Sejak Indonesia
bersangkutan memiliki self-efficacy, baik memasuki era reformasi atau pasca orde baru
secara internal maupun eksternal; (3) dan ketika BP7 dibubarkan dengan
menjalin relasi aktif, yang mencakup koneksi penghentian program penataran P4, maka
dan komitmen; (4) kemauan untuk pendidikan kewarganegaraan sebagai
melakukan transformasi; dan (5) kemauan program sosial kultural dapat dikatakan tidak
dan kemauan untuk melakukan dialog, yang mendapat perhatian. Hingga saat ini belum
mencakup empathy dan kemampuan dialogis. ada pengganti PKn model penataran P4.
Secara konseptual-epistemologik, Dalam kondisi saat ini pendidikan
dalam konteks pengembangan body of kewarganegaraan sebagai program sosial
knowledge keilmuan, pendidikan kultural lebih banyak berupa bentuk yang
kewarganegaraan merupakan suatu wahana kedua.
pendidikan demokrasi yang mengandung
empat dimensi konseptual interaktif, yakni METODE
kajian ilmiah kewarganegaraan dalam ilmu Artikel ini mencoba mengurai secara
pendidikan, program kurikuler teoretis beberapa aspek mengenai pendidikan
kewarganegaraan di lembaga pendidikan kewarganegaraan dalam konteks sosio-
formal dan nonformal, sebagai kultural yang berada diluar jalur pendidikan
pembudayaan atau enkulturasi dalam formal di sekolah. Pendekatan yang
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara digunakan adalah pendekatan kualitatif
(aktivitas sosio-kultural kewarganegaraan) dengan metode studi literatur. Riset ini
(Winataputra, 2001, 2015) dan pendidikan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk
kewarganegaraan dalam dimensi birokrasi memperoleh data penelitiannya (Zed, 2004).
(civic for government) (Sapriya, 2015) Tegasnya riset pustaka membatasi
Salah satu domain pendidikan kegiatannya hanya pada bahan- bahan koleksi
kewarganegaraan menurut Sapriya (2015) pustaka saja tanpa memerlukan riset lapangan
adalah ”sebagai program sosial kultural yang untuk memperoleh kerangka filosofis, yuridis
maksudnya adalah program PKn yang dan filosofis pendidikan kewarganegaraan
dikembangkan untuk pembinaan dalam konteks sosio-kultural.
warganegara yang ada di lingkungan
masyarakat tertentu di luar program sekolah”. HASIL DAN PEMBAHASAN
Program ini pun tidak kurang pentingnya bila Landasan filosofis pendidikan
dibandingkan dengan dimensi pendidikan kewarganegaraan konteks non-formal
kewarganegaraan lainnya. Lingkungan Manusia dan kebudayaan merupakan
masyarakat merupakan kumpulan individu dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
yang pluralis baik tingkat pendidikan, Keduanya secara bersama-sama menyusun
pengetahuan, persepsi, kepentingan, bahkan kehidupan. Manusia menghimpun diri
cita-cita dan harapannya. Tantangan yang menjadi satuan sosial-budaya, menjadi
dihadapinya pun dari hari ke hari semakin masyarakat. Dari manusia ke masyarakat
menunjukkan kompleksitas yang meningkat. melahirkan, menciptakan, menumbuhkan,
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai dan mengembangkan kebudayaan: tak ada
program sosial kultural memang telah dan manusia tanpa kebudayaan, dan sebaliknya
sedang berjalan dan terjadi di Masyarakat. tak ada kebudayaan tanpa manusia; tak ada
Namun pelaksanaan dari program tersebut masyarakat tanpa kebudayaan, tak ada
sedikitnya ada dua bentuk, yakni yang kebudayaan tanpa masyarakat.
disengaja sebagai program pendidikan Setiap masyarakat memiliki budaya.
sehingga menimbulkan dampak pembelajaran Namun, jika dikembalikan pada fungsinya
(instructional effects) dan yang tidak bahwa budaya itu diciptakan oleh manusia
disengaja yang hasilnya dapat dikategorikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ini
sebagai dampak pengiring (nurturant effects) menunjukkan bahwa setiap masyarakat juga
3
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
memiliki budayanya yang khas yang berbeda 2) Masyarakat sendiri telah menyadari
dengan budaya masyarakat lainnya. Tidak pentingnya pendidikan bagi kemajuan
ada satu pun budaya universal yang dapat masyarakat.
mengatur dan memenuhi kebutuhan hidup 3) Masyarakat sendiri telah merasa memiliki
semua orang. Bahkan, kenyataan di dalam pendidikan sebagai potensi kemajuan
kehidupan masyarakat terdapat sejumlah sub- mereka.
sistem budaya yang dimiliki oleh komunitas 4) Masyarakat sendiri telah mampu
yang berbeda-beda, misalnya sub-sistem menentukan tujuan-tujuan pendidikan
budaya untuk komunitas ekonomi, komunitas yang relevan bagi mereka.
regional, komunitas sosial, dan sebagainya 5) Masyarakat sendiri telah aktif
(Suyitno, 2015, hal. 406). berpartisipasi di dalam penyelenggaraan
Pendidikan merupakan pewarisan nilai- pendidikan.
nilai dalam peradaban manusia. Artinya 6) Masyarakat sendiri yang menjadi
pendidikan tidak akan terlepas dari pewarisan pendukung pembiayaan dan pengadaan.
budaya dalam satu masyarakat. Adanya Pendidikan masyarakat dalam latar
keterkaitan yang erat antara pendidikan budaya menekankan bahwa pendidikan itu
dengan kebudayaan berkenaan dengan satu tidak dapat dipisahkan dari kultur dan
urusan yang sama, dalam hal ini ialah masyarakat tempat pendidikan itu terjadi. Ia
pengembangan nilai dan tidak ada proses senantiasa berkaitan dengan pemberdayaan
pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat (empowerment of communities)
adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada (Suharto, 2005). Pendidikan masyarakat
kebudayaan dalam pengertian proses tanpa berpusat pada kemampuan peserta didik
adanya pendidikan (Supriyoko, 2003). untuk mengenali dan mendukung kebutuhan
Pendidikan masyarakat sebagai bagian masyarakat sekitar sehingga menjadi
dari pendidikan nonformal dan informal bertanggung jawab untuk memberikan nilai-
memegang peranan penting dalam setiap nilai yang berasal dari kebebasan mereka
pendidikan di berbagai negara. Pendidikan untuk mengekspresikan, mengembangkan,
masyarakat merupakan pendidikan yang dan memecahkan masalah (Schutt, 2000).
dilembagakan, disengaja dan direncanakan Pemberdayaan melibatkan masyarakat
oleh masyarakat dengan ciri ada tambahan, sebagai subjek yang memungkinkan diri
alternatif dan / atau pelengkap untuk untuk berkembang. Pemberdayaan adalah
pendidikan formal dalam proses salah satu strategi atau merupakan paradigma
pembelajaran seumur hidup, segala usia, pembangunan yang dilaksanakan dalam
durasi jangka pendek, dan mengarah pada kegiatan pembangunan masyarakat,
kualitas yang tidak disediakan oleh khususnya pada negara-negara yang sedang
pendidikan formal (Yasunaga, 2014). berkembang. Friedmann (1992) menawarkan
Konsep pendidikan berbasis konsep atau strategi pembangunan yang
masyarakat dalam konteks kebudayaan populer disebut dengan empowerment atau
merupakan usaha peningkatan rasa pemberdayaan. Konsep pemberdayaan ini
kesadaran, kepedulian, kepemilikan, adalah sebagai suatu konsep alternatif
keterlibatan, dan tanggung jawab masyarakat. pembangunan yang pada intinya memberikan
Surakhmad (Suharto, 2005) menawarkan tekanan pada otonomi dalam mengambil
enam kondisi yang dapat menentukan keputusan di suatu kelompok masyarakat
terlaksananya konsep pendidikan berbasis yang dilandaskan pada sumber daya pribadi,
masyarakat sebagai pewarisan nilai-nilai bersifat langsung, demokratis dan
kebudayaan yakni: pembelajaran sosial melalui pengalaman
1) Masyarakat sendiri memiliki kepedulian langsung. Fokus utama pemberdayaan,
dan kepekaan mengenai pendidikan. menurut Friedmann, adalah sumber daya
lokal, namun bukan berarti mengabaikan
unsur-unsur lain yang berada di luar
4
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
kelompok masyarakat, bukan hanya ekonomi orang memilih untuk terlibat secara langsung
akan tetapi juga politik, agar masyarakat mempengaruhi kehidupan mereka di tingkat
memiliki posisi tawar menawar yang lokal, sementara yang lain mungkin ingin
seimbang, baik di tingkat lokal, nasional melakukan sesuatu untuk membuat
maupun internasional. perbedaan pada penyebab yang berdampak
Pembelajaran non-formal dianggap secara global.
sebagai kebalikan dari sistem pendidikan Secara garis besar pengelompokan
formal, yang dilihat sebagai pelatihan yang warga negara aktif sebagai modal bagi active
dikembangkan oleh masyarakat dan berakhir citizenship tersebut pada level lokal, nasional
dengan sertifikasi khusus keterampilan yang dan global. Pada level lokal untuk merujuk
diperoleh (Tudor, 2013). Pendidikan non pada warga yang terlibat aktif dalam
formal seringkali diberikan pada orang kehidupan komunitas mereka; mengatasi
dewasa. Pendidikan orang dewasa terjadi masalah, membawa perubahan atau menolak
dalam pengaturan formal dan informal di perubahan yang tidak diinginkan. Warga
berbagai lokasi seperti di masyarakat, tempat yang aktif adalah mereka yang dari waktu ke
kerja, lingkungan kelembagaan formal, dan waktu mengembangkan keterampilan,
di rumah (Duguid, Mündel, & Schugurensky, pengetahuan, dan pemahaman untuk dapat
2013). Dalam konteks pembelajaran, maka membuat keputusan berdasarkan informasi
pembelajaran non formal adalah metode tentang komunitas dan tempat kerja mereka
pembelajaran yang sangat efektif dan dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup
mungkin yang paling umum di antara orang di dalamnya. Di tingkat regional dan
dewasa (Tudor, 2013). nasional, ia dapat bergerak dari pemungutan
Implikasinya, pembelajaran orang suara dalam proses demokrasi, untuk terlibat
dewasa berangkat dari pemaknaan terhadap dalam kelompok-kelompok kampanye, dan
pengalaman pembelajar sehingga untuk menjadi anggota partai politik.
memengaruhi persepsi dan situasi masa Sementara pada level
depan yang akan mereka alami. Dalam global/internasional, warga negara yang aktif
konteks pendidikan kewarganegaraan, secara global dapat dilibatkan dalam gerakan
pengalaman-pengalaman tersebut untuk mempromosikan kelestarian
direfleksikan pada pendidikan orang dewasa lingkungan atau perdagangan yang adil,
untuk bertindak demokratis dalam kehidupan untuk mengurangi kemiskinan atau untuk
di masyarakat. Dengan demikian, belajar menghilangkan perdagangan orang dan
merupakan proses pengalaman belajar yang perbudakan.
menghubungkan pembelajaran dengan Warga yang aktif tidak selalu
kehidupan-kehidupan dan pengalaman merupakan warga negara yang baik karena
pembelajar dan merefleksikan pengaman itu mereka mungkin tidak mengikuti aturan atau
menjadi sumber belajar. berperilaku dengan cara tertentu. Acapkali,
Untuk membentuk masyarakat warga negara mungkin menentang aturan dan
demokratis melalui pemberdayaan struktur yang ada, meskipun umumnya akan
masyarakat dalam kajian kewarganegaraan tetap dalam batas-batas proses demokrasi dan
dikenal istilah active democratic citizenship. tidak menjadi terlibat dalam tindakan
Kewarganegaraan aktif (active citizenship) kekerasan. Mereka biasanya merangkul
didefinisikan oleh Komisi Eropa sebagai serangkaian nilai yang terkait dengan
"memberdayakan individu, memungkinkan kewarganegaraan demokratis yang aktif
mereka merasa nyaman dalam budaya termasuk menghormati keadilan, demokrasi
demokratis, dan merasa bahwa mereka dapat dan supremasi hukum; keterbukaan;
membuat perbedaan dalam komunitas yang toleransi; keberanian untuk mempertahankan
mereka jalani" (Komisi Eropa, 2005). Setiap sudut pandang; dan kesediaan untuk
individu (citizen) mungkin aktif di komunitas mendengarkan, bekerja dengan, dan membela
mereka dengan berbagai cara. Beberapa orang lain.
5
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
Untuk membentuk active democratic includes both active and ‘passive’ elements;
citizenship, ruang lingkup kurikulum (5) involves active dimensions of citizenship
menentukan ide dasar, konsep, prinsip, from skills development as well as a base of
keterampilan, dan kualitas afektif yang akan knowledge and understanding; (6) citizenship
terjadi dalam kurikulum. Dari perspektif based on theoretical approaches from
Pendidikan Kewarganegaraan maka harus liberal, communitarian and civic republican
menjawab atas pertanyaan yang pengetahuan, traditions where activity ranges from
keterampilan, nilai-nilai dan sikap individualistic and challenge driven
kewarganegaraan harus dimasukkan dalam approaches to more collective actions and
kurikulum. Berdasarkan pada literatur yang approaches (Audigier, 2000; Dalton, 2008;
ada (Audigier, 2000; Bîrzéa, 2000; Cox, Hoskin, Barber, Nijlen, & Villalba, 2011;
Jaramillo, & Reimers, 2005; Engle & Ochoa, Hoskins & Deakin-Crick, 2010; Print, 2013).
1988; Gibson & Levine, 2003; Parker & Active citizenship ini akhirnya menunjukkan
Jerolimek, 1984; Veldhuis, 1997) maka pemahaman warga negara dalam proses
kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan politik dan pemerintahan, lokal dan nasional
untuk membentuk active democratic yang mengerti hak dan kewajibannya dan
citizenship yakni harus didasarkan pada tiga selalu berpartisipasi secara efektif dalam
dimensi utama. Dimensi pengetahuan kehidupan bermasyarakat lokal, nasional dan
pertama berisi subkategori yaitu politik, internasional (Partnership for 21st Century
sosial, budaya, ekonomi dan bentuk Skills, 2014; Salpeter, 2008).
partisipasi. Dimensi kedua yang mencakup Selanjutnya salah satu prasyarat warga
area afektif terdiri dari subkategori yaitu negara yang baik adalah bersikap demokratis.
nilai, sikap, dan disposisi. Keterampilan Mengenai hal tersebut, De Groot (2011)
dimensi terakhir terdiri dari dua subkategori mengelaborasi lima prasyarat untuk
yaitu keterampilan umum dan keterampilan terbentuknya sikap demokratis warga negara,
partisipasi yaitu: (1) elaborasi pemahaman akan nilai-
Warga negara yang baik setidaknya nilai demokrasi dan keberagaman (refleksi
tercermin dari tiga aspek utama. Ketiga aspek dan sensitivitas moral); (2) kapasitas (efikasi
itu meliputi: (1) pengetahuan internal dan eksternal); (3) hubungan-
kewarganegaraan (civic knowledge); (2) hubungan aktif (komitmen dan koneksi); (4)
kecakapan kewarganegaraan (civic skills); Kemauan transformasi (bersifat terbuka
dan (3) watak-watak kewarganegaraan (civic terhadap kritik); dan (5) kemampuan
dispositions). Pengetahuan kewarganegaraan berdialog (empati dan kompetensi dialogis).
antara lain berkaitan dengan apa yang Kelima sikap positif tersebut sebenarnya
seharusnya diketahui oleh warga negara. sudah dipraktikkan di dalam budaya
Kecakapan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat Indonesia hanya tidak secara
negara dapat berupa kecakapan intelektual tegas dinyatakan bahwa sikap tersebut adalah
dan partisipatoris. Watak kewarganegaraan sikap positif terhadap demokrasi.
merupakan sifat-sifat publik dan privat utama Proses pembentukan warga negara
yang dimiliki warga negara untuk yang baik ternyata tidak bisa dilakukan
pemeliharaan dan pengembangan demokrasi dengan pendekatan kebijakan yang bersifat
konstitusional. top down (dari Pemerintah Pusat), tetapi
Sementara beberapa ahli harus bersifat bottom up (dari bawah-akar
mengidentifikasi warga negara aktif pada rumput). Dengan kata lain, harus bersifat
abad 21 dari berbagai konsep yang dijelaskan kontekstual. Daerah tertentu dengan
para ahli diantaranya (1) engagement and karakteristik alam dan kultur khas, harus
participation of people in their society; (2) mendapat perhatian khusus sehingga program
participation is not only political but also pembentukan warga negara yang baik bisa
about civic and civic society; (3) learning in efektif. Pendekatan one size fits all sudah
school is part of a lifelong experience; (4) saatnya ditinggalkan. Logika berpikir ini
6
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
hanya cocok untuk dunia industri yang pendidikan kewajiban dan hak warganegara.
berorientasi pada produksi massal dengan Selanjutnya dalam Pasal 56 Undang-Undang
standar dan mekanisme yang seragam. Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan
Keseragaman mengingkari hukum alam. Tinggi kembali dikukuhkan wajib adanya
Alam bersifat heterogen, demikian juga mata kuliah Pancasila dan kewarganegaraan,
seharusnya proses pendidikan, baik cara yang masing-masing merupakan entitas utuh
maupun penekanan tujuannya. psikopedagogis/andragogis.
Pendidikan non-formal merupakan Sementara itu, pendidikan non formal
proses memanusiakan manusia untuk menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun
meningkatkan kualitas berpikir, moral dan 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional
mental sehingga mampu memahami, pasal 26 ayat (1) Pendidikan nonformal
mengungkapkan, membebaskan. dan diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
menyesuaikan dirinya terhadap realitas yang memerlukan layanan pendidikan yang
melingkupinya. Pendidikan nonformal berfungsi sebagai pengganti, penambah,
sebagai pendidikan bagi orang dewasa dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam
menekankan pada pembelajaran mandiri rangka mendukung pendidikan sepanjang
yang berbeda dengan pendidikan bagi anak- hayat. Ayat (2) Pendidikan nonformal
anak. Perbedaan antara pendidikan untuk berfungsi mengembangkan potensi peserta
anak-anak dan orang dewasa adalah mengacu didik dengan penekanan pada penguasaan
pada upaya yang bertujuan untuk mendorong pengetahuan dan keterampilan fungsional
pembelajaran oleh orang-orang, yang telah serta pengembangan sikap dan kepribadian
menjadi bertanggung jawab untuk kehidupan profesional.
mereka sendiri, karena itu, sepenuhnya
kompeten untuk menjalankan masa depan Landasan sosiologis pendidikan
mereka sendiri, termasuk keputusan kewarganegaraan konteks non-formal
mendasar tentang belajar “jika, apa, kapan Dari kenyataan bahwa pendidikan
dan bagaimana” (Duerr, Spajic-Vrkaš, & kewarganegaraan juga terjadi dan hidup
Martins, 2000). ditengah-tengah masyarakat merupakan suatu
keniscayaan bahwa pada dasarnya
Landasan Yuridis pendidikan pendidikan kewarganegaraan memang
kewarganegaraan konteks non-formal diperlukan oleh sebuah bangsa dalam hidup
Secara konstitusional, upaya sistemis bernegara. Dengan kata lain, proses
dan berkelanjutan untuk mencerdaskan pendidikan untuk warganegara merupakan
kehidupan bangsa merupakan imperatif yang proses yang alamiah sejalan dengan alur
tersurat dalam alinea keempat Pembukaan, kehidupan berorganisasi bagi masyarakat
dan Pasal 31 Undang-Undang dasar Negara modern. Anggota sebuah organisasi memiliki
Republik Indonesia, Selanjutnya secara hak dan kewajiban sekalipun sederhananya
instrumental dijabarkan dalam Pasal 2, 3, 37 sebuah organisasi tersebut. Negara adalah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. sebuah organisasi yang memiliki tingkat
Lebih tegas lagi secara operasional dalam kompleksitas tinggi sehingga sering disebut
Penjelasan pasal 37 dinyatakan bahwa: sebagai organisasi tertinggi. Tentu saja
“...pendidikan kewarganegaraan masalah hak dan kewajiban anggotanya yang
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik disebut warganegara, dimana pun dia berada
menjadi manusia yang memiliki rasa perlu mendapat pendidikan sesuai dengan
kebangsaan dan cinta tanah air”. Pendidikan fungsi dan perannya. Program nasional
kewarganegaraan yang dimaksuddalam berkelanjutan memang seharusnya ada terus
Undang- Undang tersebut mencakup di rumah dan di sekolah maupun dalam
substansi dan proses pendidikan nilai masyarakat. Namun pendidikan
ideologis Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan sebagai program sosial
kewarganegaraan yang menekankan pada kultural di Indonesia masih menunjukkan
7
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
titik kelemahan baik pada tataran program Apabila demokrasi mulai diterapkan dalam
maupun operasional. Kelemahan ini dapat pendidikan, maka pendidikan tidak akan
diidentifikasi dari kenyataan praktik menjadi alat penguasa. Rakyat atau
kehidupan bernegara. Terutama dalam masyarakat diberikan haknya secara penuh
praktik kehidupan masyarakat Indonesia untuk ikut menentukan kebijakan pendidikan
sekarang yang jauh dari moral, etika dan tata- nasional. Semua pihak yang berkepentingan
krama. dengan pendidikan diharapkan dapat
Praktik main hakim sendiri, pemerasan, berpartisipasi dalam penentuan kebijakan
pemerkosaan, penjarahan, dan berbagai kasus pendidikan.
kriminal lain di lingkungan masyarakat kerap Konsep pendidikan kewarganegaraan
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Praktik berorientasi masyarakat ini menghendaki
kehidupan tersebut tentu akan semakin adanya keterlibatan masyarakat dalam upaya
berakumulasi apabila tidak ada penanganan pengambilan kebijakan-kebijakan pendidikan
yang cepat dan tepat dari upaya pendidikan. dan politik. Keterlibatan atau partisipasi
Tantangan yang dihadapi bukan hanya masyarakat dalam pendidikan di Indonesia
berbentuk masalah melainkan akan dan bukanlah hal yang baru, ia telah dilaksanakan
bahkan telah mencapai pada tingkatan oleh yayasan-yayasan swasta, kelompok
tumpukan masalah yang multidimensional. sukarelawan, organisasi-organisasi non-
Semua kenyataan ini menunjukkan adanya pemerintah, dan bahkan oleh perseorangan.
korelasi dengan lemahnya proses pendidikan Pendidikan kewarganegaraan
kewarganegaraan dalam domain program berorientasi masyarakat merupakan
sosial kultural meskipun disadari pula bahwa pendidikan yang dirancang, dilaksanakan,
munculnya permasalahan yang sudah dinilai dan dikembangkan oleh masyarakat
multidimensional tersebut bukanlah yang mengarah pada usaha menjawab
persoalan yang menjadi porsi pendidikan tantangan dan peluang yang ada di
kewarganegaraan semata. Karena masalah lingkungan masyarakat tertentu dengan
telah berada pada semua lapisan masyarakat berorientasi pada masa depan. Dengan kata
dari mulai kelas bawah hingga kelas atas, lain, pendidikan kewarganegaraan
maka pendidikan kewarganegaraan perlu berorientasi masyarakat adalah konsep
dirancang secara komprehensif, mencakup pendidikan “dari masyarakat, oleh
semua lapisan melalui berbagai program, masyarakat dan untuk masyarakat”.
melibatkan berbagai instansi pemerintah Pengorganisasian pendidikan
maupun swasta, LSM dan dilaksanakan dikemukakan oleh UNESCO ke dalam tiga
secara sinergis serta berkesinambungan. bagian, yaitu formal, non-formal, dan
Masalah pendidikan kewarganegaraan informal yakni:
berorientasi masyarakat di Indonesia muncul 1) Formal learning takes place in education and
berkaitan dengan reformasi pendidikan yang training institutions, leading to diplomas and
menghendaki adanya pergeseran paradigma other qualifications recognized by relevant
pendidikan dari sentralistik ke desentralistik, national authorities. Formal learning is
bergeser dari praktik pendidikan yang otoriter structured according to educational
ke praktik pendidikan demokratis yang arrangements such as curricula
membebaskan, serta dari konsep pendidikan qualifications and teaching-learning
yang berorientasi pemerintah (state oriented) requirements.
ke konsep pendidikan yang berorientasi 2) Non-formal learning is learning that is in
masyarakat (community oriented). addition or alternative to formal learning. In
Demokrasi pendidikan, dapat some cases, it is also structured according to
diwujudkan di antaranya melalui penerapan educational and training arrangements, but
konsep pendidikan kewarganegaraan in a more flexible manner. It usually takes
berorientasi masyarakat dalam sebuah place in community-based settings, the
penyelenggaraan pendidikan nasional.
8
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
workplace and through the activities of civil education is but one part, albeit a very
society organizations. important part, of one’s development as
3) Informal learning is learning that occurs in citizen”.
daily life, in the family, in the workplace, in Dari pembedaan di atas, dapat ditarik
communities and through the interests and persepsi lain bahwa citizenship education
activities of individuals. In some cases, the atau education for citizenship merupakan
term experiential learning is used to refer to suatu konsep yang lebih luas dimana civic
informal learning that focuses on learning education termasuk bagian penting di
from experience (UNESCO Institute for dalamnya. Istilah citizenship education, yang
Lifelong Learning, 2012). digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk
Namun demikian, Singh berpendapat character education atau pendidikan watak,
bahwa tidak mendikotomi pendidikan formal, karakter dan teaching personal ethics and
non-formal dan parsial, melainkan sebagai virtues atau pendidikan etika dan kebajikan.
bagian yang tidak terpisahkan dan berkaitan Dari uraian tersebut tampak bahwa istilah
satu sama lain dalam "rangkaian citizenship education lebih cenderung
pembelajaran" (2015). digunakan dalam visi yang lebih luas untuk
menunjukkan instructional effects dan
Domain sosio-kultural pendidikan nurturing effects dari keseluruhan proses
kewarganegaraan dalam konteks pendidikan terhadap pembentukan karakter
pendidikan non-formal individu sebagai warganegara yang cerdas
Pendidikan kewarganegaraan (PKn) dan baik.
dikenal dengan istilah civic education dan Pendidikan Kewarganegaraan di
citizenship education. Pada dasarnya sejumlah negara dipahami secara berbeda-
keduanya merupakan program pembelajaran beda. Dari kajian Print (1999) terhadap
yang memiliki tujuan utama mengembangkan pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan di
pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk Asia dan Pasifik, ditemukan ada yang
menjadi warganegara yang baik, melalui menyebut pendidikan kewarganegaraan
pengalaman belajar yang dipilih dan sebagai civic education yang mencakup
diorganisasikan. Sementara itu berkaitan kajian tentang pemerintahan, konstitusi, rule
dengan perbedaan antara keduanya, of law, serta hak dan tanggung jawab warga
Cogan dan Derricot (1998) mencoba negara. Untuk yang lainnya, pendidikan
menjernihkan dan sekaligus mempertegas kewarganegaraan disebut dengan “citizenship
pengertian civic education versus citizenship education” dengan cakupan dan penekanan
education. Maksudnya adalah bahwa civic kajian meliputi proses-proses demokrasi,
education ini diperlakukan sebagai suatu partisipasi aktif warga negara, dan
mata pelajaran dasar di sekolah yang keterlibatan warga dalam suatu civil society
dirancang untuk mempersiapkan para (masyarakat warga). Namun, bagi
pemuda warganegara untuk dapat melakukan kebanyakan, kajian civic education
peran aktif dalam masyarakat, kelak setelah memasukan pembelajaran-pembelajaran yang
mereka dewasa. Sedangkan citizenship berhubungan dengan institusi-institusi dan
education atau education for citizenship sistem yang melibatkan pemerintah,
dipandang sebagai istilah generik yang budaya politik (political heritage), proses-
mencakup pengalaman belajar di sekolah dan proses demokratis, hak-hak dan tanggung
di luar sekolah, seperti yang terjadi di jawab warga negara, administrasi publik dan
lingkungan keluarga, dalam organisasi sistem peradilan (Print, 1999, hal. 11–12).
keagamaan, dalam organisasi Dalam bagian lain, pendidikan
kemasyarakatan, dan dalam media. Oleh kewarganegaraan tidak dapat berdiri sendiri,
karena itu oleh Cogan menyimpulkan bahwa independen dari norma-norma budaya,
“…education for citizenship is the larger prioritas politik, harapan sosial, aspirasi
overarching concept here while civic pembangunan ekonomi nasional, konteks
9
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
REFERENSI
Arrowood, C. F. (1930). Thomas Jefferson and education in a republic. New York: McGraw-Hill.
Audigier, F. (2000). Basic concepts and core competencies for education for democratic
citizenship. Strasbourg: Council of Europe.
Bîrzéa, C. (2000). Education for democratic citizenship: A lifelong learning perspective. Project
On “Education for Democratic Citizenship” (Vol. 21). Strasbourg.
Cogan, J., & Derricott, R. (Ed.). (1998). Citizenship for the 21st century: an international
perspective on education. London: Kogan Page.
Cox, C., Jaramillo, R., & Reimers, F. (2005). Education for citizenship and democracy in the
Americas: An agenda for action. Washington, DC: Inter-American Development Bank.
Dalton, R. (2008). The good citizen: how a younger generation is reshaping American politics.
Washinton DC: CQ Press.
De Groot, I. (2011). Why we are not democratic yet: The complexity of developing a democratic
attitude. In W. Veugelers (Ed.), Education and humanism: Linking autonomy and humanity
(hal. 79–94). Roterdam, Boston, Taipe: Springer Science & Business Media.
Doğanay, A. (2012). A curriculum framework for active democratic citizenship education. In M.
Print & D. Lange (Ed.), School, curriculum and civic education for building democratic
citizens (hal. 19–39). Roterdam, Boston, Taipe: Sense Publisher.
10
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
Duerr, K., Spajic-Vrkaš, V., & Martins, I. F. (2000). Project on “education for democratic
citizenship”: Strategies for Learning democratic Citizenship. Strasbourg.
Duguid, F., Mündel, K., & Schugurensky, D. (2013). Volunteer work and informal learning: A
conceptual discussion. In F. Duguid, K. Mündel, & D. Schugurensky (Ed.), Volunteer work,
informal learning and social action (hal. 17–36). Rotterdam: Sense Publishers.
Engle, S. H., & Ochoa, A. (1988). Education for democratic citizenship: decision making in the
social studies. New York: Teachers College Press, Teachers College, Columbia University.
Freire, P. (2007). Politik pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Friedmann, J. (1992). Empowerment: the politics of alternative development. New York: John
Wiley & Sons.
Gibson, C., & Levine, P. (2003). The civic mission of schools. New York.
Hoskin, B., Barber, C., Nijlen, D. Van, & Villalba, E. (2011). Comparing civic competence
among European youth: composite and domain-specific indicators using IEA civic
education study data. Coparative Educational Review, 55(1), 82–110.
Hoskins, B., & Deakin-Crick, R. (2010). Competences for learning to learn and active citizenship:
different currencies or two sides of the same coin? European Journal of Education, 45(1),
Part II.
Kartono, K. (1997). Tinjauan politik mengenai sistem pendidikan nasional: Beberapa kritik dan
sugesti. Jakarta: Pradnya Paramita.
Lee, W. O., Grossman, D. L., Kennedy, K. J., & Fairbrother, G. P. (Ed.). (2004). Citizenship
education in Asia and the Pacific. concepts and issues. Hong Kong, China: Springer.
Parker, W., & Jerolimek, J. (1984). Citizenship and the critical role of the social studies.
Washington DC: NCSS.
Partnership for 21st Century Skills. (2014). Reimagining citizenship for the 21st century: a call to
action for policymakers and educators. Diambil dari
http://www.p21.org/storage/documents/Reimagining_Citizenship_for_21st_Century_webve
rsion.pdf
Prewitt, K., Dawson, R. E., & Dawson, K. (1977). Political socialization. Boston: Little Brown
and Company.
Print, M. (1999). Introduction civic education and civil society in the Asia-Pacific. In M. Print, J.
Ellickson-Brown, & A. R. Baginda (Ed.), Civic Education for Civil Society (hal. 9–18).
London: ASEAN Academic Press.
Print, M. (2013). Competencies for democratic citizenship in europe. In M. Print & D. Lange
(Ed.), Civic Education and Competences for Engaging Citizens in Democracies (hal. 37–
50). Roterdam, Boston, Taipe: Sense Publishers.
Salpeter, J. (2008). 21st century skills: will our students be prepared? Diambil 1 Januari 2016,
dari http://www.techlearning.com/article/13832%0ALearning
Sapriya. (2015). Pengembangan kurikulum program studi PKn sebagai disiplin ilmu terintegrasi
berbasis KKNI. In Sapriya, C. Darmawan, Syaifullah, M. M. Adha, & C. Cuga (Ed.),
Prosiding Seminar Nasional Penguatan Komitmen Akademik dalam Memperkokoh Jatidiri
Pendidikan Kewarganegaraan (hal. 76–94). Bandung: Laboratorium Pendidikan
Kewarganegaraan-Universitas Negeri Yogyakarta.
Schutt, B. G. (2000). Community-based education. Scholl Community Journal, 10(1), 121–126.
https://doi.org/10.1097/00000446-196711000-00026
Singh, M. (Ed.). (2015). Global perspectives on recognising non-formal and informal learning:
Why recognition matters. Hamburg: UNESCO Institute for Lifelong Learning and Springer
Open. https://doi.org/10.1007/978-3-319-15278-3
Suharto, T. (2005). Konsep dasar pendidikan berbasis masyarakat. Cakrawala Pendidikan,
XXIV(3), 323–346. Diambil dari http://eprints.uny.ac.id/3789/1/A01-toto.pdf
11
Jurnal Civic Education, Vol. 3 No. 1 Juni 2019
Supriyoko, K. (2003). Sistem pendidikan nasional dan peran budaya dalam pembangunan
berkelanjutan. In Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Denpasar.
Suyitno, I. (2015). Pendekatan budaya dalam pemahaman perilaku budaya etnik. In D. Agung
(Ed.), Contribution of History for Social Science and Humanities. Fakultas Ilmu sosial
Universitas Negeri Malang.
Tilaar, H. (2002). Pendidikan kebudayaan dan masyarakat madani Indonesia. Strategi reformasi
pendidikan nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tudor, S. L. (2013). Formal – non-formal – informal in education. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 76(April 2013), 821–826.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.04.213
UNESCO Institute for Lifelong Learning. (2012). UNESCO guidelines for the recognition,
validation and accreditation ofthe outcomes of non-formal and informal learning.
Hamburg: UIL.
Veldhuis, R. (1997). Education for democratic citizenship: Dimensions of citizenship, core
competences, variables and international activities. Strasbourg.
Winataputra, U. S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi.
Disertasi. Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Winataputra, U. S. (2015). Pendidikan kewarganegaraan: Refleksi historis- epistemologis dan
rekonstruksi untuk masa depan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Yasunaga, M. (2014). Non-formal education as a means to meet learning needs of out-of-school
children and adolescents.
Zed, M. (2004). Metode peneletian kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia.
12
Wahana Didaktika Vol. 17 No.1 Januari 2019 : 84-92
Abstrak
Tujuan penelitian ini menemukan peran Pendidikan kewarganegaraan
dalam membimbing setiap warga negara dalam menjalankan hidupnya. Hal ini
menunjukan bahwa adanya Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran yang
penting dalam membentuk karakter pribadi generasi muda.Pembelajaran kita
selama ini berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada
penguasaan isi dari mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pengamatan
terhadap praktek pembelajaran sehari-hari menunjukkan bahwa pembelajaran
difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi
pelajaran dan kemudian dievaluasi seberapa jauh penguasaan itu dicapai oleh
siswa. Seakan-akan pembelajaran bertujuan untuk menguasai isi dari mata
pelajaran tersebut. Bagaimana keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-
hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan
problema kehidupan, kurang mendapat perhatian. Pembelajaran seakan terlepas
dari kehidupan sehari-hari, oleh karena itu siswa tidak mengetahui manfaat apa
yang dipelajari, seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang telah
dipelajari dalam kehidupan siswa. Pendidikan Kewarganegaraan diberikan
kepada peserta didik supaya dapat menjadikan mereka warga Negara yang baik.
Bagaimanakah pendidikan kewarganegaraan berperan dalam pembangunan dan
pengembangan karakter dalam diri generasi muda, tentu dapat terjawab jika
kontribusi yang diberikan pendidikan kewarganegaraan berhasil mengarahkan
generasi muda saat ini untuk berpartisipasi mengusung karakter bangsa. Dalam
hal ini pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu alat pasif untuk
membangun dan memajukan sistem demokrasi suatu bangsa.
Abstract
The aim of this research finds role of citizenship education in guiding for
every citizen in carrying out his life. This shows that the existence of Citizenship
Education has an important role in shaping the personal character of the younger
generation. Our learning so far has been verbalistic and has been oriented solely
to mastering the contents of citizenship education subjects. Observation of the
practice of daily learning shows that learning is focused so that students master
the information contained in the subject matter and then evaluated how far the
84
Peran Pendidikan Kewarganegaraan….(Tri Izma & Yolanda Kesuma)
A. PENDAHULUAN
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional
yang menyatakan bahwa disetiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib
memuat pelajaran yang terdiri dari Pendidikan Bahasa, Pendidikan Agama, dan
Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini menunjukan bahwa adanya Pendidikan
Kewarganegaraan memiliki peran yang penting dalam membentuk karakter
pribadi generasi muda.
Pembelajaran kita selama ini berjalan dengan verbalistik dan berorientasi
semata-mata kepada penguasaan isi dari mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan. Pengamatan terhadap praktek pembelajaran sehari-hari
menunjukkan bahwa pembelajaran difokuskan agar siswa menguasai informasi
yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi seberapa jauh
penguasaan itu dicapai oleh siswa. Seakan-akan pembelajaran bertujuan untuk
menguasai isi dari mata pelajaran tersebut. Bagaimana keterkaitan materi ajar
dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan
untuk memecahkan problema kehidupan, kurang mendapat perhatian.
Pembelajaran seakan terlepas dari kehidupan sehari-hari, oleh karena itu siswa
tidak mengetahui manfaat apa yang dipelajari, seringkali tidak tahu bagaimana
menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan siswa.
Pendidikan Kewarganegaraan diberikan kepada peserta didik supaya dapat
menjadikan mereka warga Negara yang baik. Bagaimanakah pendidikan
85
Wahana Didaktika Vol. 17 No.1 Januari 2019 : 84-92
B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dalam rangka untuk menemukan
esensi dari setiap fenomena.Salah satu strategi penelitian kualitatif yang
dikembangkan adalah studi kasus. Oleh Noeng Muhadjir yang dimaksud studi
kasus adalah “menemukan kebenaran ilmiah secara mendalam dan dalam jangka
waktu yang lama untuk menemukan kecenderungan, pola, arah dan interaksi
banyak faktor yang dapat memacu atau menghambat perubahan”.Studi kasus
sangat bermanfaat untuk memahami suatu kasus secara komprehensif dan untuk
mengetahui prospeknya di masa depan (Moleong, 2004).
Studi kasus sangat bermanfaat untuk memahami suatu kasus secara
komprehensif dan untuk mengetahui prospeknya di masa depan. Terlihat dari
banyaknya masalah yang sedang marak perkembangannya di berbagai negara
khususnya Indonesia, yaitu ideologi-ideologi baru yang dibawa oleh organisasi-
organisasi mahasiswa seperti Gema Pembebasan (GP). Hal ini bertujuan terutama
tentang sikap mereka terhadap ideology bangsa Indonesia yaitu Pancasila.Teknik
pengumpulan datanya dengan menggunakan dokumentasi, berupa buku-buku,
media social maupun pernyataan resmi organisasi. Analisis data menggunakan
Triangulasi data yang merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan data
atau sebagai pembanding terhadap data itu.
86
Peran Pendidikan Kewarganegaraan….(Tri Izma & Yolanda Kesuma)
87
Wahana Didaktika Vol. 17 No.1 Januari 2019 : 84-92
sistem, aturan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan
kenegaraan. Dengan pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan agar para
generasi muda dapat menjadi pribadi yang berbudi luhur, bertanggung jawab,
bermoral dan menjadi warga negara yang baik.
Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan
wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan
bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional
dalam diri para calon-calon penerus bangsa yang sedang mengkaji dan menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa serta seni. Mewujudkan warga negara
sadar belanegara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan
mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa. Selain
itu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi
luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, professional, bertanggung jawab
dan produktif serta sehat jasamani dan rohani. Fungsi pendidikan
kewarganegaraan adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang
cerdas, terampil dan berkepribadian yang setia kepada bangsa dan negara
Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak
sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas, 2001:1).
Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan
jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam
belanegara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara.
Standarisi pendidikan kewarganegaraan adalah pengembangan :
a. Nilai-nilai cinta tanah air
b. Kesadaran berbangsa dan bernegara
c. Keyakinan terhadap Pancasila sebagai ideologi Negara
d. Nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup
e. Kerelaan berkorban untuk masyarakat, bangsa, dan negara, serta
f. Kemampuan awal belanegara
Berdasarkan Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan mencakup :
88
Peran Pendidikan Kewarganegaraan….(Tri Izma & Yolanda Kesuma)
a) Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada
mahasiswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara serta
PPBN agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa dan negara.
untuk mengembangkan wawasan mahasiswa tentang makna pendidikan bela
negara sebagai salah satu kewajiban warganegara sesuai dengan Pasal 30
UUD 1945. Kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diikuti
oleh seluruh mahasiswa, yang mulai tahun 2000 disebut sebagai Mata Kuliah
Pembinaan Kepribadian atau MKPK.
b) Tujuan Khusus
1) Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban
secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas sebagawai WNI terdidik
dan bertanggung jawab.
2) Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat
mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang
berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional.
3) Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-
nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan
bangsa.
89
Wahana Didaktika Vol. 17 No.1 Januari 2019 : 84-92
laku yang berdasar pada nilai-nilai Pancasila serta budaya bangsa merupakan hal
yang diprioritaskan dalam pendidikan kewarganegaraan. Sebagaimana tujuan
utama pendidikan kewarganegaraan, hal itu semua guna menumbuhkan wawasan
dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan
kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para
generasi penerus bangsa. Melalui pendidikan kewarganegaraan, para generasi
penerus bangsa Indonesia diharapkan mampu memahami, menganalisis dan
menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa, dan
negaranya serta berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan
nasional seperti yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai pemeran penting, perlu mengenalkan
sebuah materi pendidikan kewarganegaraan yang dihubungkan dengan nilai-nilai
karakter sebuah bangsa. Demi kemajuan sebuah bangsa ada beberapa karakter
yang menjadi patokan dalam pengembangan karakter bagi generasi muda, yaitu:
1. Religious : sikap yang patuh terhadap ajaran agama yang dianutnya, namun
tidak meremehkan agama lain. Dengan karakter yang religious diharapkan
dapat menjadi landasan nilai, moral dan etika dalam bertindak.
2. Jujur : perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. Dengan
menjadi pribadi yang jujur maka akan kecil kemungkinan terjadi kesalah
pahaman dan saling menuduh, membenci karena merasa telah dibohongi.
3. Tanggung jawab : dengan adanya tanggung jawab di setiap tindakan yang
dilakukan, hal ini akan menunjukkan bahwa pribadi tersebut layak untuk
mendapatkan mandat dan dapat menanggung akibat dari tindakannya.
4. Toleransi : sikap dan tindakan yang menghargai adanya setiap perbedaan.
Dengan bertoleransi akan memudahkan tiap individu untuk saling berbaur
tanpa adanya diskriminasi.
5. Disiplin : menaati tiap aturan atau tata tertip yang berlaku. Hal ini
menunjukkan bahwa individu tersebut sangat menghargai dan munjunjung
tinggi setiap aturan yang telah disepakati.
90
Peran Pendidikan Kewarganegaraan….(Tri Izma & Yolanda Kesuma)
6. Kerja keras : dengan berusaha keras dalam setiap tindaka, mandiri, optimis
dan tegas akan memunjukkan bahwa pribadi tersebut merupakan pribadi yang
berkarakter dan layak diajak untuk bekerja sama.
7. Kreatif : dengan berpikir secara kreatif dan kritis akan menunjukkan sebagai
pribadi yang cerdas. Akan menghindarkan dari tindakanplagiatisme dan
memunculkansesuatu yang lebihinofatif.
8. Demokratis : cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama antara
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Mengetahui apa yang lebih penting
dan apa yang harus didahulukan.
9. Semangat kebangsaan dan cinta tanah air : hal ini deperlukan karena tanpa
adanya kesadaran, semangat kebangsaan dan cinta tanah air dari para warga
negara, maka sampai kapanpun bangsa yang berkarakter tidak akan pernah
terwujud karena karakter bangsa itu sendiri muncul dari para warga
negaranya.
10. Peduli lingkungan dan social : cerminan kepedulian terhadap lingkungan dan
masyarakat akan membawa tiap tiap individu menjadi pribadi yang disegani,
dicintai dan dilindungi oleh lingkungan-sosial tersebut.
Lembaga pendidikan yang dapat membaca situasi tentunya tidak akan
mengabaikan pentingnya karakter bangsa dan media pendidikan
kewarganegaraan. Beru[aya dan berkontribusi melalui sebuah pendidikan adalah
yang mungkin dan memberikan sebuah pengalaman agar tercapainya karakter
yang diidamkan. Kontribusi nyata dalam pendidikan dan dengan patokan yang
seperti itu, maka kontribusi pendidikan kewarganegaraan dalam pembentukan
karakter generasi muda dapat dilakukan melalaui tiga tahap yaitu:
1. Pembelajaran
Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan generasi
muda menguasai kompetensi yang ditargetkan, juga dirancang untuk
menjadikan peserta didik mengenal, menyadari, menginternalisasikan nilai-
nilai dan menjadikannya perilaku.
91
Wahana Didaktika Vol. 17 No.1 Januari 2019 : 84-92
D. SIMPULAN
Pendidikan kewarganegaraan sejatinya merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu warga negara melalui pendidikan. Sebagaimana yang
diketahui bahwa pendidikan sangatlah penting peranannya dalam membangun
karakter bangsa. Bangsa yang berkarakter lahir karena para warga negaranya
mempunyai kredibilitas dalam melakukan tindakan yang berbudi luhur sesuai apa
yang ada dalam ajaran bernegara.
Generasi muda Indonesia yang berkarakter Pancasila tampaknya sudah
mulai terkikis oleh perkembangan jaman. Jika dibiarkan hal ini dapat
meruntuhkan keyakinan masyarakat bahwa bangsanya sudah tidak tangguh dan
berkarakter. Oleh karenanya dengan pendidikan kewarganegaraan diharapkan
mampu meningkatkan kesadaran generasi muda terhadap karakter bangsanya,
menjadikan mereka warga negara yang baik dan terpandang di mata dunia.
DAFTAR PUSTAKA
92
P a g e | 15
Journal of Civic Education (ISSN:2622-237X)
Volume 2 Nomor 2 2019
Resfira
SMAN 1 Batang Anai
resfira.m.pd@gmail.com
Abstrak
Saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada suatu masa dimana bangsa ini
mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat pesat.
Perkembangan ini dikhawatirkan akan melunturkan nilai-nilai Pancasila
dalam diri setiap warga Negara Indonsia. Oleh karena itu, mata pelajaran
PKn sangat diperlukan. Dengan memunculkan kembali nilai-nilai utama
dalam PKn diharapkan dapat membangun jiwa nasionalisme yang
dilandasi oleh nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
keadilan sosial, kompetisi, menghormati orang lain, kemerdekaan dan
perdamaian. Nilai-nilai dasar ini penting untuk dikembangkan dalam
rangka mengembangkan semangat dan jiwa nasionalime agar dapat
berperan secara efektif dalam kancah global tanpa meninggalkan jati diri
sebagai bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai falsafah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai bangsa yang telah merdeka mempunyai jati diri
yang sangat luar biasa, yaitu Pancasila yang berperan sebagai idiologi,
pandangan hidup sekaligus dasar negara. Ideologi Pancasila
menyeimbangkan kehidupan individual dengan kehidupan social.
Pendidikan Kewarganegaraan (selanjutnya disebut dengan PKn)
merupakan sebuah mata pelajaran yang juga mengajarkan mengenai
ideology Pancasila. Mata pelajaran ini bertujuan salah satunya untuk
meyakinkan kepada semua pihak, khususnya WNI, bahwa Indonesia
mempunyai jati diri yang harus diaktualisasikan di tengah-tengah
kehidupan masyarakat internasional. Indonesia mempunyai falsafah
Pancasila, demokrasi Pancasila, berpegang teguh pada upaya
menegakkan kedaulatan rakyat bukan kedaulatan individu. Dengan
keyakinan itu, makan setiap WNI tidak mudah silau dan terpengaruh oleh
falsafah, demokrasi dan kedaulatan yang dianut oleh bangsa lain
kemudian menirunya.
16 |Peran Pendidikan Kewarganegaraan..
KAJIAN TEORI
1. Pendidikan Kewarganegaraan
Secara bahasa, istilah civic education oleh sebagian pakar
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan
Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kerr (Winataputra dan
Budimansyah, 2012) mengemukakan bahwa Citizenship education or civics
education didefinisikan sebagai berikut: Citizenship or civics education is
construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles
and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough
schooling, teaching, and learning) in that preparatory process. Maksud dari
pendapat Kerr ini bahwa PKn secara luas mencakup proses penyiapan
generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai
warga negara. Sedangkan secara khusus, peran pendidikan termasuk di
dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan
warga negara tersebut.
Cogan (1999) mengartikan civic education sebagai “the foundational
course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their
communities in their adult lives”, maksudnya adalah suatu mata pelajaran
dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara
P a g e | 17
Journal of Civic Education (ISSN:2622-237X)
Volume 2 Nomor 2 2019
2. Nasionalisme
Nation berasal dari bahasa Latin natio, yang dikembangkan dari kata
nascor (saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai
sebagai “sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama”
(group of people born ini the same place) (Ritter, 1986). Kata ‘nasionalisme’
menurut Abbe Barruel untuk pertama kali dipakai di Jerman pada abad
ke-15, yang diperuntukan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah
yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka itu (di kampus yang
baru dan daerah baru) tetap menunjukkan cinta mereka terhadap
bangsa/suku asal mereka (Ritter, 1986). Nasionalisme pada mulanya
terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa, bahasa dan
daerah asal usul semula. Rasa cinta seperti itu dewasa ini disebut
semangat patriotisme. Jadi pada mulanya nasionalisme dan patriotisme
itu sama maknanya.
Namun sejak revolusi Perancis meletus 1789, pengertian
nasionalisme mengalami berbagai pengertian, sebab kondisi yang
melatarbelakanginya amat beragam. Antara bangsa yang satu dengan
bangsa yang lain. Nasionalisme bukan lagi produk pencerahan Eropa
tetapi menjadi label perjuangan dinegara-negara Asia-Afrika yang dijajah
bangsa Barat.
18 |Peran Pendidikan Kewarganegaraan..
PEMBAHASAN
Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan memunculkan kembali nilai-
nilai yang kurang diperhatikan dalam PKn diharapkan muncul wawasan-
wawasan yang mengglobal dari setiap warga Negara tetapi tetap dijiwai
oleh rasa nasionalisme yang tinggi. Dengan adanya nasionalisme maka
seorang Warga Negara yang memilki wawasan keilmuan yang mampu
akan menggunakan semua kemampuannnya secara maksimal demi
kebaikan bangsa Indonesia. Hal-hal dasar tersebut yang harus dimiliki
oleh setiap warga Negara supaya dapat memunculkan kembali nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam PKn yang akan bermafaat bagi orang
banyak. Nilai-nilai dalam pembelajaran PKn harus dimunculkan serta
dimaksimalkan antara lain:
Pertama, pada nilai ketuhanan, manusia Indonesia selain mencintai
Tuhan, juga sanggup mencintai sesama tanpa memandang suku, agama,
ras, dan golongan. Butir sila Ketuhahan Yang Maha Esa. Hormat dan
menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-
penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan
hidup. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaan masing-masing, serta tidak memaksakan suatu
agama atau kepercayaannya kepada orang lain. Oleh karena itu kita
sebagai warga Negara yang sudah mengenyam pendidikan dan memiliki
wawasan lebih di dalam masyarakat bisa memberikan wawasan kepada
masyarakat untuk menekankan toleransi antarumat beragama, toleransi
sebagai bangsa yang berbhineka, dan merlarang berbagai bentuk
kekerasan, dan menekankan adanya pluralitas dan multikulturalisme.
Kedua, pada nilai kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan seperti saling
mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak
semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,
gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran
dan keadilan tidak hanya dipahami tetapi diaplikasikan dalam
kehidupan. Nilai-nilai tersebut sangat subur dalam kultur masyarakat
Indonesia. Setiap terjadi bencana nasional seperti gempa bumi, erupsi
gunung berapi, banjir, tanah longsor, rakyat sigap mengekspresikan nilai
Pancasila tersebut secara nyata. Masyarakat membuat dapur umum,
membungkusi nasi, mendistribusikan kepada korban tanpa dikomando.
Para dokter baik secara perorangan maupun lembaga, bersatu padu
menolong mereka yang sakit dan terluka.
P a g e | 19
Journal of Civic Education (ISSN:2622-237X)
Volume 2 Nomor 2 2019
KESIMPULAN
Dari kajian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ada nilai-
nilai dasar utama yang perlu dikembangkan dalam pendidikan
kewarganegaraan untuk membangun wawasan global warga Negara
yang dijiwai rasa nasionalisme. Nilai-nilai dasar yang perlu
dikembangkan dalam membangun wawasan global dalam konteks
Indonesia antara lain ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
keadilan sosial, kompetisi, menghormati orang lain, kemerdekaan dan
perdamaian. Nilai-nilai dasar ini penting untuk dikembangkan dalam
rangka mengembangkan wawasan global warga Negara yang semnagat
didalamnya tetap dijiwai oleh rasa nasionalime agar dapat berperan
secara efektif dalam kancah global tanpa meninggalkan jati diri sebagai
bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai falsafah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Winataputra &Budimansyah. PKn dalam Perspektif Internasional (Konteks,
Teori, dan Profil Pembelajaran).Bandung: Widya Aksara Pers. 2012
Cogan,J. J. Developing the civic society: the role of civic education.
Bandung. CICED. 1999
Djahiri, K. Pendidikan nilai moral dalam dimensi pendidikan
kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium PKn FPIPS UPI. 2006
Ritter, Herry. Dictionary of Concepts in History. New York: Greenwood
Press. 1986