Anda di halaman 1dari 44

PERSEPSI PETANI TEBU TERHADAP PENERAPAN SISTEM

PEMBELIAN TEBU (SPT) DI KABUPATEN SITUBONDO

PROPOSAL SKRIPSI

diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Studi Agribisnis (S1) dan mencapai
gelar Sarjana Pertanian

Dosen Pembimbing
Ebban Bagus Kuntadi, SP.,M.Sc.

Oleh
Annur Galih Yusvianto NIM.171510601109

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii


DAFTAR TABEL................................................................................................. iii
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar belakang.................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 8
1.3 Tujuan dan Manfaat .......................................................................... 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 10
2.1 Penelitian Terdahulu........................................................................ 10
2.2 Landasan Teori.................................................................................. 13
2.2.1 Komoditas Tebu ........................................................................ 13
2.2.2 Budidaya Tanaman Tebu .......................................................... 14
2.2.3 Kemitraan .................................................................................. 18
2.2.4 Sistem Pembelian Tebu (SPT) .................................................. 20
2.2.5 Teori Persepsi ............................................................................ 21
2.2.6 Skala Linkert ............................................................................. 22
2.2.7 Regresi Linier ............................................................................ 22
2.2.8 Uji-T .......................................................................................... 23
2.3 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 24
2.4 Hipotesis ............................................................................................. 27
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 28
3.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian .............................................. 28
3.2 Metode Penelitian .............................................................................. 28
3.3 Metode Pengambilan Sampel ........................................................... 29
3.4 Metode Pengumpulan Data .............................................................. 30
3.5 Metode Analisis Data ........................................................................ 31
3.6 Definisi Operasional .......................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 38

ii
DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Hal


Tabel 1.1 Produksi Tanaman Perkebunan di Indonesia Tahun 2015-
2019.......................................................................................... 3
Tabel 1.2 Produksi dan Luas Area Tebu menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 2019............................................................................... 4
Tabel 1.3 Produksi Tebu menurut Kabupaten di Jawa Timur Tahun
2015-2019 (Ton)...................................................................... 4
Tabel 1.4 Produksi Tanaman Perkebunan di Kabupaten Situbondo
Tahun 2015-2019..................................................................... 5
Tabel 3.1 Jumlah Usahatani Tebu Menurut Kecamatan di Situbondo
Tahun 2013............................................................................... 29
Tabel 3.2 Kategori Dan Bobot Skala Likert............................................. 32
Tabel 3.3 Variabel Dan Indikator Persepsi Petani Tebu........................... 32

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pembangunan sektor pertanian di Indonesia saat ini termasuk dalam
pembangunan nasional yang penting bagi masa depan negara. Indonesia berpotensi
dalam sektor pertanian dengan kondisi tanah yang sangat subur dibandingkan
dengan negara lain. Pembangunan yang dilakukan harus didukung oleh segenap
komponen secara dinamis, ulet dan mampu mengoptimalkan sumberdaya, modal,
tenaga, serta teknologi sekaligus mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi yang berperan penting
dalam pertumbuhan ekonomi. Ada lima peran penting dari sektor pertanian dalam
kontribusi pembangunan ekonomi antara lain meningkatkan produksi pangan untuk
konsumsi domestik, penyedia tenaga kerja terbesar, memperbesar pasar untuk
industri, meningkatkan supply uang tabungan dan meningkatkan devisa. Dengan
pembangunan di bidang pertanian yang baik maka perekonomian negara Indonesia
diharapkan dapat lebih meningkat (Rahayu dan Setyowati 2016).
Pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai potensi untuk
kegiatan perekonomian. Pembangunan pertanian di Indonesia tetap dianggap
terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi, beberapa alasan yang
mendasari pentingnya pertanian di Indonesia adalah: (1)Potensi sumberdayayang
besar dan beragam, (2) Pangsa terhadap pendapatan nasional cukup besar,
(3)Besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, (4)
Menjadi basis pertumbuhan di pedesaan Sektor pertanian meliputi beberapa
subsektor yaitu subsektor tanaman bahan makanan, subsektor holtikultura,
subsektor perkebunan, subsektor perikanan, subsektor peternakan dan subsektor
kehutanan. (Rompas dkk, 2015).
Menurut Junaidi et al., (2015), subsektor perkebunan merupakan sektor
andalan Indonesia dalam kancah perdagangan internasional. Subsektor perkebunan
memiliki arti penting dalam menjaga kesetabilan perekonomian Indonesia, oleh
karena itu sektor perkebunan mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Subsektor perkebunan mengalami perkembangan yang signifikan dari tahun ke
1
2

tahun. Peningkatan teknologi dan infrastruktur sangat menunjang kegiatan


pertanian pada subsektor perkebunan ini. Subsektor perkebunan di Indonesia dapat
tumbuh dengan optimal di Indonesia karena kondisi Iklim dan Geografis yang
sesuai untuk tanaman perkebunan. Faktor iklim mencakup curah hujan dan
distribusinya, suhu, panjang penyinaran, evaporasi, dan kecepatan angin. Letak
geografis Indonesia yang berada di garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia
memiliki iklim tropis dan hanya memiliki dua musim. Namun perubahan iklim
yang mulai terjadi memberi tantangan dalam pengembangan subsektor perkebunan
pada masa mendatang dalam hal untuk mendapatkan tanaman yang cocok dengan
kondisi daerah atau kondisi alamnya.
Menurut Wulandari dan Nida (2016), Subsektor perkebunan menjadi salah
satu subsektor dari pertanian yang berpengaruh besar terhadap pembangunan
pertanian di Indonesia. Perkebunan adalah kegiatan yang mengusahakan tanaman
tertentu pada lahan dan media tumbuh lainnya. Perkebunan setiap tahunnya
mengalami peningkatan dan perkembangan, dimana perkebunan memiliki lahan
yang luas dan biasanya terletak pada daerah tropis ataupun subtropis yang dapat
menghasilkan komoditas pertanian dalam skala besar. Subsektor perkebunan
Indonesia merupakan salah satu perkebunan yang memiliki areal terluas di dunia,
yaitu sebesar 14 juta hektar lebih yang terbagi atas sekitar 11,2 juta hektar (80
persen) merupakan perkebunan rakyat. Selebihnya adalah perkebunan besar milik
swasta (PBS) dan perkebunan besar negara (PBN).
Tanaman perkebunan memiliki keunggulan komperatif yang didasarkan
pada kelompok industri primer. Tanaman perkebunan yang diusahakan oleh
perkebunan meliputi tanaman tahunan dan tanaman semusim. Tanaman tahunan
yaitu tanaman yang terus-menerus tumbuh dan tidak terbatas, pertumbuhan barunya
tiap tahun dengan sedikit kerusakan dari bagian atas tanah. Jenis tanaman tahunan
yang dominan ditanam di Indonesia antara lain karet, kelapa, kelapa sawit, kopi.
Tanaman semusim merupakan tanaman yang lingkaran siklus hidupnya dalam satu
musim tanam. Jenis tanaman semusim yang dominan di Indonesia antara lain tebu,
tembakau, kapas, nilam dan kapulaga. Berikut merupakan data produksi tanaman
perkebunan di Indonesia Tahun 2015-2019 :
3

Tabel 1.1 Produksi Tanaman Perkebunan di Indonesia Tahun 2015-2019


Produksi Tanaman Perkebunan (Ribu Ton)
Komoditas
2015 2016 2017 2018 2019
Kelapa Sawit 31.070,00 31.731,00 34.940,30 42.883,50 45.861,00
Kelapa 2.920,70 2.904,20 2.854,30 2.840,20 2.828,40
Karet 3.145,40 3.307,10 3.680,40 3.630,40 3.449,00
Kopi 639,40 663,90 716,10 756,00 761,10
Teh 132,60 122,50 140,60 140,10 137,80
Kakao 593,30 658,40 585,20 767,40 784,10
Tebu 2.498,00 2.332,50 2.191,00 2.171,70 2.258,20
Tembakau 196,20 126,70 180,90 195,50 197,40
Sumber : BPS, 2020
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diketahui jumlah produksi beberapa komoditas
tanaman perkebunan di Indonesia tahun 2015-2019 cenderung fluktuatif. Kelapa
sawit merupakan komoditas tanaman perkebunan yang memiliki jumlah produksi
tertinggi selama 2015-2019 dengan produksi diatas 30 juta ton pertahun. Produksi
terendah pada komoditas tanaman perkebunan dialami oleh produksi tanaman teh,
dimana dibanding dengan komoditas lainnya, teh tidak mampu mencapai angka
produksi 150 ribu ton dalam tahun 2015-2019. Komoditas tebu merupakan
komoditas yang memiliki jumlah produksi tertinggi setelah kelapa sawit, karet dan
kelapa, dengan rata-rata produksi pertahun diatas 2 juta ton. Selama 2015-2018
komoditas tebu mengalami penurunan produksi dari 2,49 juta ton menjadi 2,17 juta,
namun pada tahun 2019 mengalami peningkatan produksi menjadi 2,25 ton.
Menurut Tunjungsari (2014), tebu merupakan salah satu komoditas yang
cukup strategis dan berperan penting di sektor pertanian dalam perekonomian
nasional. Komoditas tebu dapat disejajarkan dengan dengan tanaman pangan terkait
dengan urgensi penyediaannya, dikarenakan komoditas tebu merupakan bahan
baku pembuatan gula. Gula sebagai sumber bahan pemanis, telah digunakan secara
luas dan dominan baik dalam lingkup konsumsi rumah tangga maupun dalam
lingkup industri pengolahan makanan dan minuman. Sehingga peningkatan
permintaan gula berdampak langsung dalam pengembangan perkebunan komoditas
tebu. Dalam pemenuhan permintaan akan tebu, Indonesia didukung oleh beberapa
daerah sentra produksi tebu. Berikut merupakan data produksi dan luas area daerah
sentra produksi tebu di Indonesia tahun 2019 :
4

Tabel 1.2 Produksi dan Luas Area Tebu menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2019
Jumlah
Provinsi
Produksi (Ton) Luas Area (Ha)
Sumatera Utara 15.882 6.818
Sumatera Selatan 90.422 23.007
Lampung 742.123 129.482
Jawa Barat 32.488 10.135
Jawa Tengah 182.738 41.687
D.I. Yogyakarta 9.423 3.009
Jawa Timur 1.050.874 176.871
Nusa Tenggara Timur 2.487 665
Sulawesi Selatan 46.535 12.312
Gorontalo 54.079 9.068
Indonesia 2.227.051 413.054
Sumber : BPS, 2020
Berdasarkan tabel 1.2 dapat diketahui bahwa pada tahun 2019, Indonesia
memproduksi 2.227.051 ton tebu dengan luas area 413.054 ha dan tidak semua
provinsi di Indonesia memproduksi komoditas tebu. Hanya terdapat 10 provinsi
yang memproduksi tebu yang terdiri dari Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Lampung, Jawa Barat, Jawa tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Provinsi Jawa Timur merupakan pronvinsi
dengan produksi tebu tertinggi sebesar 1.050.874 ton dengan luas area tebu
mencapai 176.871 Ha. Dengan jumlah produksi sebesar itu, provinsi Jawa Timur
telah memproduksi 47% dari jumlah total produksi tebu di Indonesia. Produksi
tebu Jawa Timur yang tinggi tersebut tercapai akibat dukungan dari beberapa
kabupaten/kota yang memiliki potensi untuk memproduksi tebu. Berikut
merupakan produksi tebu di kabupaten di provinsi Jawa Timur :
Tabel 1.3 Produksi Tebu menurut Kabupaten di Jawa Timur Tahun 2015-2019
(Ton)
Tahun
Kabupaten
2015 2016 2017 2018 2019
Malang 277.489 221.205 218.361 238.152 237.256
Kediri 163.921 144.363 143.519 156.831 156.204
Lumajang 70.481 100.885 100.041 102.366 101.750
Jombang 55.062 49.227 46.479 53.060 52.440
Mojokerto 51.814 51.165 48.417 56.581 55.016
Magetan 47.876 42.156 41.408 41.331 40.122
Situbondo 47.563 39.052 38.304 48.625 48.012
5

Jember 44.296 47.218 46.374 38.152 36.010


Blitar 36.630 37.152 36.724 39.256 39.028
Ngawi 32.556 31.568 30.820 28.152 28.086
Lainnya 379.645 271.166 260.000 264.122 256.950
Jawa Timur 1.207.333 1.035.157 1.010.447 1.066.628 1.050.874
Sumber : BPS, 2020
Berdasarkan tabel 1.3 dapat diketahui bahwa terdapat 10 kabupaten yang
memiliki potensi untuk memproduksi tebu dengan rata2 produksi diatas 30.000 ton
pertahunnya dan mampu menopang produksi tebu Jawa Timur. Kabupaten Malang
merupakan salah satu Kabupaten yang dapat memproduksi tebu tertinggi dibanding
sembilan Kabupaten lainnya yang mencapai rata-rata produksi sebesar 238.493 ton
selama 2015-2019. Kabupaten Situbondo sebagai salah satu kabupaten penghasil
tebu tertinggi di Jawa timur dengan produksi pada tahun 2018 sebesar 48.625 ton
membuat Situbondo menjadi produksen tebu terbesar ke-6 se Jawa Timur. Capaian
tersebut didukung oleh keadaan alam dan sosial daerah. Kabupaten Situbondo
merupakan wilayah yang masih memiliki lahan pertanian yang luas serta
matapencaharian masyarakatnya mayoritas sebagai petani. Komoditas tebu
merupakan komoditas unggulan dan berpotensi di Situbondo, hal tersebut dapat
dilihat dari tabel berikut:
Tabel 1.4 Produksi Tanaman Perkebunan di Kabupaten Situbondo Tahun 2015-
2019
Produksi (Ton)
Komoditas
2015 2016 2017 2018 2019
Tebu 47.563 39.052 38.304 48.625 48.012
Kelapa 381 378 3.364 4.982 4.985
Kopi 1.722 675 332 637 646
Tembakau 3.314 2.389 3.379 9.028 9.552
Total 52.980 42.494 45.379 63.272 63.195
Sumber : BPS Kab. Situbondo, 2020
Berdasarkan tabel 1.4, produksi komoditi tanaman perkebunan mengalami
fluktuasi pada tahun 2015-2019. Dari empat komoditi tanaman perkebunan yang
dibudidayakan di Kab. Situbondo, terdapat satu komoditi yang progres produksinya
sangat signifikan, yaitu komoditi tebu. Pada tabel, dapat diketahui pada tahun 2015,
produksi tebu di Kab. Situbondo sebesar 47.563 ton lalu pada 2019 telah meningkat
sebesar 48.012 ton, meskipun pada tahun 2016 dan 2017 sempat mengalami
6

penurunan. Jumlah produksi tebu pada tahun 2019 bahkan mencapai hingga 80%
dari total produksi tanaman perkebunan di kabupaten Situbondo. Hal tersebut dapat
menjadi salah satu indikator bahwa tanaman tebu merupakan komoditas
perkebunan yang memiliki potensi produksi dan mampu memberikan sumbangan
terbesar jika dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya terhadap
perekonomian di Kabupaten Situbondo, serta potensi tersebut didukung dengan
adanya fasilitas pascapanen salah satunya adalah terdapat empat pabrik gula di
Kabupaten Situbondo yang terdiri dari PG. Panji, PG. Asembagus, PG. Olean, dan
PG.Wringin dimana keempat pabrik gula tersebut berada dibawah satu naungan
BUMN yaitu PTPN XI.
PG Asembagus merupakan pabrik gula terbesar yang berada di Situbondo.
Pabrik gula yang terletak di Jl Raya 17 Asembagus, Kecamatan Asembagus,
Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur ini telah mengalami beberapa kali
revitalisasi atau peningkatan kapasitas produksi yang terakhir terjadi pada sekitar
tahun 2018-2019 dengan total kapasitas giling 6.000 TCD (Ton Cane Day).
Pemenuhan bahan baku produksi gula di PG Asembagus sebagian besar berasal dari
tebu rakyat (TR) dan tebu sendiri (TS). Tebu sendiri (TS) merupakan usahatani tebu
yang dikelola langsung oleh PG Asembagus pada sebidang lahan sewa dengan
status hak guna usaha (HGU). Luas lahan tebu sendiri (TS) PG Asembagus tersebar
di tiga wilayah, yaitu di HGU Asembagus seluas 540 Ha, HGU Baluran Indah
seluas 367 Ha, dan HGU Benculuk Banyuwangi seluas 850 Ha. Sedangkan tebu
rakyat (TR) merupakan usahatani tebu yang dikelola oleh petani/masyarakat umum
dan menjual hasil panennya pada pabrik gula. Luas lahan tebu rakyat (TR) yang
bermitra dengan PG Asembagus seluas 4.450 Ha, yang berada di Kecamatan
Asembagus, Kecamatan Banyuputih dan Kecamatan Jangkar.
Petani tebu rakyat dalam menjual hasil panennya pada PG Asembagus pada
umumnya sejak dulu dilakukan melalui sistem bagi hasil (SBH). Sistem bagi hasil
dilaksanakan sesuai dengan SK Menteri Pertanian Nomor:
04/SK/Menta/Bimas/IV/1992 tentang ketentuan bagi hasil tebu rakyat (TR) yang
diolah pabrik gula. Persentase bagi hasil yang diterapkan sesuai SK menteri dimana
untuk petani sebesar 66% dan untuk PG Asembagus sebesar 34%. Petani yang
7

bermitra dengan pabrik gula dengan sistem bagi hasil (SBH) akan mendapatkan
beberapa keuntungan yang diberikan oleh PG Asembagus. Beberapa keuntungan
yang akan didapat dari sistem kemitraan ini antara lain adalah pengadaan pupuk
subsidi, subsidi alsintan, pembagian natura dan kepastian pasar bagi petani saat
panen. Pada sistem pembagian hasil (SBH), proses pembelian tebu oleh PG
Asembagus dilakukan secara sistem DO (Delivery Order) dimana petani akan
menerima uang saat gula hasil pengolahan tebu petani telah laku dijual saat
pelelangan. Petani mitra akan menerima uang hasil panen tebu minimal paling cepat
sekitar dua minggu setelah diserahkan ke PG Asembagus. (Astuti dkk, 2016)
Pada tanggal 19 Juli 2019, Kementrian Pertanian mengeluarkan Surat
Edaran No. 593/TI.050/E/7/2019 perihal Penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT).
Surat edaran tersebut berisikan perihal sistem baru yang disebut sistem beli putus.
Sistem Pembelian Tebu (SPT) dalam jangka panjang akan menggantikan sistem
bagi hasil (SBH) yang telah lama dijalankan. Sistem beli putus ini akan secara
merata akan diterapkan kepada semua PG, baik PG yang dinaungi oleh BUMN
maupun Swasta, termasuk PG Asembagus. PG Asembagus merupakan satu-satunya
pabrik gula di Situbondo yang telah menerapkan dan mensosialisasikan Sistem
Pembelian Tebu (SPT) pada musim giling 2020.
Penerapan sistem pembelian tebu (SPT) di PG Asembagus tersebut akan
sangat berdampak pada usahatani tebu khususnya petani tebu. Hal tersebut
disebabkan oleh mekanisme Sistem Pembelian Tebu (SPT), dimana pada sistem ini
meskipun penerimaan hasil penjualan tebu lebih cepat serta mendapat kepastian
harga jual minimal bersarkan harga pembelian tebu pekebun (HPP) yang ditetapkan
pemerintah, namun sistem ini membuat hubungan petani dan PG Asembagus hanya
sekedar hubungan transaksional atau jual beli biasa dan menghilangkan prinsip-
prinsip kemitraaan yang telah dibangun oleh petani dan PG Asembagus. Sistem
Pembelian Tebu (SPT), dalam pelaksaaannya, akan menghilangkan atau
meniadakan fasilitas yang diberikan pada sistem bagi hasil (SBH) berupa
penyediaan sarana produksi yang meliputi bantuan penyediaan bibit varietas
unggul, pemberian bantuan analisa kemasakan, peminjaman traktor dan
pengupayaan tersedianya pupuk. Selain itu dengan penerapan sistem pembelian
8

tebu (SPT), petani tidak lagi memperoleh bimbingan teknis serta pelatihan tentang
budidaya tebu dari PG serta tidak mendapatkan pembagian natura, pembagian tetes
dan kepastian pasar bagi petani saat panen. Penerapan sistem pembelian tebu (SPT)
juga akan mempengaruhi petani dalam pengadaan modal usaha, dimana pada sistem
bagi hasil (SBH) PG membantu petani dengan meminjamkan modal kerja (kredit)
petani kepada bank dimana PG bertindak sebagai avalis (penjamin dana) namun
fasilitas tersebut tidak terdapat pada sistem pembelian tebu (SPT) atau dengan kata
lain dengan Sistem Pembelian Tebu (SPT) petani tebu menjalankan usahataninya
secara mandiri tanpa ada bantuan dari PG.
Berdasarkan fenomena diatas, dapat diketahui bahwa penerapan sistem
pembelian tebu (SPT) akan memunculkan berbagai perubahan atau permasalahan
pada usahatani tebu, terutama pada penghapusan fasilitas-fasilitas yang ada di
sistem sebelumnya dan berdampak kepada petani tebu di Kabupaten Situbondo
secara langsung maupun tidak langsung. Fenomena tersebut tentunya akan
membentuk persepsi petani tebu terhadap penerapan sistem pembelian tebu (SPT)
yang dapat berpengaruh pada cara petani untuk mengambil keputusan dalam
berusahatani. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk meneliti terkait persepsi petani
tebu terhadap penerapan sistem pembelian tebu (SPT) di Kabupaten Situbondo.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana persepsi petani tebu terhadap penerapan Sistem Pembelian Tebu
(SPT) di Kabupaten Situbondo?
2. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi petani tebu terhadap penerapan
Sistem Pembelian Tebu (SPT) di Kabupaten Situbondo?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1.3.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui persepsi petani tebu terhadap penerapan Sistem Pembelian
Tebu (SPT) di Kabupaten Situbondo.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani tebu terhadap
penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT) di Kabupaten Situbondo.
9

1.3.2 Manfaat
1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam pembuatan dan perbaikan kebijakan terkait pembangunan
pertanian komoditas tebu
2. Bagi petani tebu, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan kemitraan dengan PG
3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
referensi untuk penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dibidang
pembangunan pertanian komoditas tebu
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Menurut penelitian oleh Rizal dan Sofia (2018) yang berjudul ‘Persepsi dan
Perilaku Sosial Petani Tebu Terhadap Penentuan Rendemen Tebu (Studi Kasus;
Petani Tebu PTPN XI PG Asembagus di Kabupaten Situbondo)”, Penelitian ini
dilakukan di Kecamatan Asembagus, Kecamatan Banyuputih, dan Kecamatan
Jangkar yang dipilih berdasarkan banyaknya petani tebu serta asosiasi petani tebu
rakyat di daerah tersebut. Metode penentuan informan menggunakan metode
purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode yaitu metode
wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model Miles
and Huberman dan uji keabsahan data mengunakan teknik triangulasi. Hasil
penelitian menujukkan persepsi petani tebu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
fungsional dan faktor struktural. Berdasar faktor struktural, petani tebu berpersepsi
bahwa hasil rendemen tebu telah dimanipulasi dan tidak sesuai dengan kualitas tebu
yang digiling. Berdasarkan faktor fungsional yaitu petani tidak terlibat dalam
penentuan rendemen dan kepercayaan petani terhadap PG berkurang. Persepsi
petani tebu tersebut memepengaruhi niat dalam berusaha tani, seperti melakukan
budidaya tebu secara baik bahkan juga melakukan complain dan pasrah terhadap
rendemen rebu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Virianita dkk. (2019) yang
berjudul “Persepsi Petani terhadap Dukungan Pemerintah dalam Penerapan Sistem
Pertanian Berkelanjutan”, penelitian ini dilakukan di Kelurahan Situgede dan
Kelurahan Cimahpar, Kota Bogor, serta Desa Benteng dan Desa Purwasari,
Kabupaten Bogor. Pemilihan responden menggunakan metode purposive sampling
dengan pertimbangan bahwa responden merupakan anggota kelompok tani/wanita
tani yang aktif dalam kegiatan kelompoknya masing-masing dengan jumlah total
201 orang. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan dibantu kuesioner
dan wawancara berstruktur. Metode analisis yang digunakan adalah skala likert dan
rank spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian petani memiliki
persepsi yang cenderung negatif terhadap dukungan pemerintah dalam penerapan
10
11

sistem pertanian berkelanjutan. Petani lebih mengharapkan dukukangan pemerintah


dalam hal ketersediaan modal usaha, kelancaran pemasaran (terjual dengan harga
layak),jaminan harga pasar hasil usaha tani, dan ketersediaan sarana dan prasarana
transportasi, dikarekana hal-hal tersebut dirasa kurang mendapatkan dukungan dari
pemerintah. Faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi petani terhadap
dukungan pemerintah dalam penerapan sistem pertanian berkelanjutan adalah
pendidikan formal dan luas penguasaan lahan.
Berdasarkan penelitian Tanauma dkk. (2019) yang berjudul ”Persepsi
Petani Padi Sawah Terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Di Desa Tatengesan
Kecamatan Pusomaen Kabupaten Minahasa Tenggara”, penelitian ini dilakukan di
Desa Tatengesan, Kecamatan Pusomaen Kabupaten Minahasa Tenggara. Metode
pengumpulan sampel dilakukan dengan metode random sampling dimana dari 195
populasi petani dimabil 20 responden secara acak. Jenis data yang digunakan adalah
data primer yang bersumber dari hasil wawancara dan data sekunder yang
bersumber dari instansi tekait. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif dengan menggunakan Skala Likert. Skala likert digunakan mengukur
sikap, pendapat dan persepsi petani atau kelompok tentang suatu fenomena. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari sembilan indikator yang sudah ditetapkan
petani merasa sangat puas terhadap program penyuluhan pertanian dan rencana
kerja penyuluh pertanian. Petani merasa puas terhadap peta wilayah untuk
pengembangan teknologi dan perwilayahan komoditi unggul, penyebatan teknologi
pertanian dan upaya penyuluh pertanian lapangan untuk meningkatkan daya saing
petani. Petani merasa tidak puas terhadap upaya penyuluh pertanian lapngan untuk
menjalin kemitraan petani dengan pengusaha, upaya penyuluh pertanian lapangan
membuka akses petani ke lembaga keuangan, informasi, sarana produksi dan
pemasaran, upaya peningkatan produktifitas agibisnis komoditas unggul, dan upaya
peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan petani padi sawah.
Berdasarkan penelitian Suharyanto dkk. (2017) yang berjudul “Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani Terhadap Kebijakan Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Provinsi Bali”, penelitian ini dilakukan
di Kabupaten Tabanan, Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Badung Provinsi Bali
12

yang dipilih karena daerah tersebut merupakan sentra produksi padi sawah di
Provinsi Bali, namun konversi lahan sawahnya paling luas. Pemilihan responden
menggunakan metode purposive sampling dengan pertimbangan bahwa responden
merupakan anggota kelompok tani. Jumlah responden sebanyak 90 orang dengan
30 orang dimasing-masing kecamatan dan desa lokasi penelitian. Penelitian ini
menggunakan data primer yang diperoleh dari proses wawancara dan didukung
oleh data sekunder. Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier
dengan metode ordinary least square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persepsi petani dipengaruhi oleh budaya bertani, sikap terhadap perubahan,
keyakinan kemampuan diri, tingkat keberanian berisiko, tingkat intelegensia,
rasionalitas, kerjasama, peran dalam kelompok tani serta intensitas penyuluhan
ataupun sosialisasi terkait perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Berdasarkan penelitian Jampur dkk. (2019) yang berjudul “Fakor-Faktor
Yang Mempengaruhi Persepsi Petani Terhadap Peran Sertifikasi Indikasi Geografis
Kopi Arabika Di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli”, penelitian
ini dilakukan di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli dengan
pertimbangan bahwa Desa Catur merupakan salah satu lokasi sertifikasi indikasi
geografis yang memiliki produksi kopi arabika terbesar dan populasi petani.
Pemilihan responden menggunakan metode sample random sampling agar data
yang diperoleh lebih representative. Jumlah respondon sebanyak 72 orang petani
kopi arabika. Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh dari proses
wawancara dan metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan skala likert
untuk mengukur persepsi petani dan analisis kuantitatif dengan menggunakan uji
validitas dan reabilitas serta uji beda t. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
persepsi petani terhadap peran sertifikasi indikasi geografis kopi arabika berada
pada indeks persepsi sangat baik yaitu 87%. Faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi petani terdiri dari harga jual kopi dan di ikuti produksi, modal, tenaga kerja
dan luas lahan.
Berdasarkan penelitian Moroki dkk. (2018) yang berjudul “Analisis Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Petani Di Kecamatan Amurang Timur”,
penelitian ini berlokasi di Kecamatan Amurang Timur Kabupaten Minahasa
13

Selatan. Pemilihan responden menggunakan metode sample random sampling


dengan jumlah responden sebanyak 50 petani. Data yang digunakan adalah data
cross section, sumber data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan data
primer diperoleh dari proses observasi dan wawancara. Metode analisis data yang
digunakan adalah analisis linier berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pendapatan petani, faktor yang diuji terdiri dari jumlah luas
lahan, tingkat pendidikan dan usia petani. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ketiga faktor yang diuji berpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani dengan
nilai koefisien regresi yaitu jumlah luas lahan sebesar 0,171; tingkat pendidikan
sebesar 0,020; dan usia petani sebesar 0,002.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Komoditas Tebu
Menurut Jamsari dkk (2019), tanaman tebu adalah sumber bahan baku
utama gula yang ditanam di daerah tropik hingga sub tropik termasuk di Indonesia.
Tanaman tebu sendiri tergolong dalam tanaman perdu dengan nama latin
Saccharum officinarum. Terdapat berbagai istilah penamaan tanaman tebu di
Indonesia, di daerah Jawa Barat tebu disebut tiwu, di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur disebut tebu atau Rosan. Menurut klasifikasi ilmiah tanaman tebu adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledone
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum officinarum L.
Tanaman tebu memiliki morfologi batang yang padat, tegak, dan tidak
bercabang serta beruas-ruas yang dibatasi dengan buku-buku yang menjadi tempat
mata tunas. Batang tanaman tebu tumbuh dari mata tunas yang ditanam. Diameter
batang tanaman tebu dapat tumbuh hingga 3-5 cm dengan tinggi batang antara 2-5
meter. Akar tanaman tebu memiliki karakteristik akar serabut yang tidak panjang
14

serta tumbuh dari cincin tunas anakan. Akar tanaman tebu memiliki fungsi sebagai
penyuplai kebutuhan air dan nutrisi untuk tanaman tebu. Akar tanaman tebu dibagi
menjadi tiga bagian yang terdiri atas akar bagian atas atau akar superficial yang
berfungsi sebagai tempat tumbuh dan menyerap kelembaban dan nutrisi yang dapat
tumbuh sepanjang dua meter, akar penopang tanaman tabu dapat tumbuh panjang
mencapai 0,5 – 1,0 meter dibawah tanah yang berfungsi sebagai penopang tanaman.
Akar halus atau rope sistem yang berfungsi untuk penyuplai unsur hara yang dapat
tumbuh hingga 3,0 – 6,0 meter saat dilanda musim kering. Daun tanaman tebu
memiliki tulang daun sejajar. Daun tebu berbentuk busur panah seperti pita,
berseling kanan dan kiri, berpelepah seperti daun jagung dan tak bertangkai. Bunga
tebu berupa malai dengan panjang antara 50 – 80 cm dan terdapat benangsari, putik
dengan dua kepala putik dan bakal biji. (BPTP Lampung, 2014)

2.2.2 Budidaya Tanaman Tebu


Menurut Khaerudin dalam Devy (2019), proses budidaya tanaman tebu
yang diterapkan di Indonesia secara garis besar dibagi menjadi 2 cari yaitu budidaya
tanaman tebu baru (plant cane) dan budidaya tanaman tebu keprasan (ratoon cane).
Budidaya tanaman tebu baru adalah budidaya tanaman tebu dengan cara menanam
bibit tebu baru, sehingga pada teknik budidaya ini memerlukan proses penyiapan
lahan dan pengolahan tanah agar lahan memenuhi syarat tumbuh tanaman tebu.
Sedangkan budidaya tanaman tebu keprasan merupakan budidaya tanaman tebu
yang memanfaatkan tunas yang tumbuh dari tunggak pada lahan yang sebelumnya
telah dipanen atau dengan kata lain tidak menanami lahan dengan bibit tanaman
tebu baru. Budidaya tanaman tebu keprasan dapat menekan biaya operasional
dikarenakan teknik budidaya ini tidak membutuhkan proses penyiapan lahan dan
pengolahan tanah.
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (2012) proses
budidaya tanaman tebu harus memperhatian memperhatikaan beberapa hal agar
tanaman tebu dapat tumbuh dengan maksimal yang meliputi pengadaan bahan
tanam, penyiapan lahan, penanaman, pemupukan, pengendalian hama penyakit,
panen dan pascapanen. Berikut penjelasan budidaya tanaman tebu:
15

a. Pengadaan bahan tanam


Pengadaan bahan tanam merupakan proses menyiapkan bahan tanam tebu
yang berupa bibit tebu. Proses menyiapkan bibit tebu harus memperhatikan
beberapa hal, salah satunya pemilihan varietas bibit tebu unggul yang memiliki
potensi produksi gula yang tinggi; memiliki produktivitas yang stabil; memiliki
ketahan yang tinggi terhadap kekeringan, ham dan penyakit. Varietas bibit tebu
dari varietas unggul harus memenuhi standar kualitas bibit yaitu:
 Daya kecambah lebih dari 90%, segar, tidak berkerut dan tidak kering
 Panjang ruas 15-20 cm dan tidak ada gejala hambatan pertumbuhan
 Diameter batang lebih dari 2 cm dan tidak mengkerut
 Mata tunas masih dorman, segar dan tidak rusak
 Bebas dari penyakit pembuluh
Menurut Sijabat dkk (2017), terdapat tiga bentuk bibit tanaman tebu yaitu
berupa bagal, budset dan bud chips. Bagal merupakan bibit berasal dari batang tebu
yang matanya belum berkecambah dan dipotong dalam bentul bagal dua atau tiga
mata. Budset atau bibit mata ruas tunggal merupakan bibit yang diperoleh dari
batang tebu dalam bentuk setek satu mata, dengan panjang minimal 5 cm, posisi
mata terletak di tengahtengah dari panjang setek. Bud chips atau bibit mata ruas
tunggal merupakan Benih tebu dalam bentuk mata tebu yang diambil dari batang
tebu dengan alat tertentu dan mengikutsertakan sebagian dari primordia akar.
b. Penyiapan lahan
Menurut Ardiyansyah dan Purwono (2015), Penyiapan lahan merupakan
proses mengkondisikan lahan agar pertumbuhan tanaman maksimal. Budidaya
tanaman tebu dapat dilakukan di dua tipe lahan yaitu lahan sawah dan lahan tegalan.
Tipe lahan sangat mempengaruhi produktivitas tebu, dikarenakan tanaman tebu
merupakan tanaman yang memerlukan banyak air terutama pada fase vegetatif awal
dan tengah. Meskipun tebu dapat ditanam di dua tipe lahan, namun secara umum
kegiatan penyiapan lahan tanaman tebu terdiri dari kegiatan pembajakan,
penggaruan dan pembuatan guludan. Pembajakan pada tanaman tebu bertujuan
untuk membalik tanah serta membersihkan sisa tanaman. Penggaruan bertujuan
untuk menghancurkan bongkahan tanah dan meratakan permukaan tanah.
16

Pembuatan guludan bertujuan untuk menyediakan tempat tumbuh tanaman tebu dan
sekaligus pembuatan saluran air serta lubang tanam. Ukuran kedalaman tebu rata-
rata sedalam 30-40 cm.
c. Penanaman
Penanaman merupakan proses pemindahan bibit dari kebun pembibitan ke
lahan yang sudah disiapkan. Sebelum dipindahkan ke lahan produksi, bibit tebu
harus disortasi yang bertujuan untuk memisahkan bibit tebu dari jenis yang tidak
dikehendaki atau tidak sehat. Bibit yang telah disortasi kemudian ditanaman merata
pada lubang tanam yang telah disiapkan. Pada tanaman tebu ratoon atau keprasan,
tidak perlu dilakukan penanaman bibit tebu seperti pertama kali, namun cukup
dilakukan penggarapan tanah dan diairi seminggu setelah dilakukan pengeprasan.
Penggarapan ini bertujuan untuk peremajaan akar tua atau akar putus sehingga
mempercepat pertumbuhan tunas dan anakan. Bibit tebu yang telah ditanam tidak
semuanya akan tumbuh, untuk mengatasi hal itu maka diperlukan proses
penyulaman. Penyulama pada tanaman tebu dilakukan setelah bibit tebu berusia
dua minggu dan empat minggu setelah tanam
d. Pemupukan
Pemupukan merupakan proses untuk pembenahan kesubuhan tanah dengan
pemberian pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman yang dibudidayakan serta
keadaan lahan. Pemberian pupuk pada tanaman yang tidak sesuai kebutuhan dapat
menghambat pertumbuhan bahkan meracuni tanaman tebu. Jenis pupuk yang
biasanya digunakan pada tanaman tebu adalah Urea, SP-36 dan KCl. Pemupukan
tanaman tebu dilakukan sebanyak dua kali. Pada tanaman tebu yang baru tanam,
pemupukan pertama dilakukan bersamaan saat tanam bibit, pemupukan kedua
dilakukan setelah 1 – 1,5 bulan setelah pemupukan pertama. Pemupukan pada
tanaman keprasan, pemupukan pertama dilakukaan setelah dua minggu setelah
kepras, pemupukan kedua dilakukan enam minggu setelah pemupukan pertama.
Selain ketiga pupuk tersebut, tanaman tebu juga memerlukan N, P, dan K untuk
memaksimalkan produktivitas tanaman tebu. Unsur N pada tanaman tebu berfungsi
untuk membantu meningkatkan produktivitas tanaman. Unsur P pada tanaman tebu
berfungsi untuk membantu memacu pertumbuhan akar serta memacu pertumbuhan
17

generatif. Unsur kalium berfungsi untuk mengingkatkan resistensi terhadap


penyakit serta menjadi penyeimbang dari unsur N dan P. (Rikardo, 2015)
e. Pengendalian hama penyakit
Pengendalian hama penyakit merupakan suatu proses untuk mengendalikan
jumlah populasi hama dan penyakit yang dapat mengganggu atau merusak
pertumbuhan tanaman tebu. Beberapa hama yang sering menyerang tanaman tebu
adalah penggerek pucuk, uret, penggerek batang, kutu bulu putih, belalang dan
tikus. Sedangkan penyakit yang sering menyerang tanaman tebu adalah penyakit
mosaik, penyakit busuk akar, penyakit blendok, dan penyakit pokkahbung. Untuk
menekan jumlah populasi hama penyakit tersebut dapat melakukan tindakan
pengendalian seperti monitoring hama secara intensif, penanaman benih tebu yang
tahan penyakit, pengolahan tanah yang baik, pergiliran tanaman, pengaturan waktu
tanam, penanaman varietas toleran hama, pengendalian hayati dan pestisida nabati
(Subiyakto, 2016)
f. Panen dan pascapanen
Masa panen pada budidaya tanaman tebu dapat dilakukan saat tanaman tebu
sudah mencapai fase masak optimal. Masa fase masak optimal tanaman tebu dapat
dibedakan berdasarkan varietas tebu yang ditanam. Beberapa varietas yang
umumnya ditanam adalah varietas genjah, varietas sedang dan varietas dalam. Tebu
varietas genjah atau tebu masak awal depat mencapai masak optimal pada usia 8-
10 bulan. Tebu varietas sedang atau tebu masak tengahan dapat dipanen pada usia
10-12 bulan. Tebu verietas dalam atau tebu masak lambat dapat mencapai masak
optimal pada usia lebih dari 12 bulan. Penentuan masa panen tebu, selain dari
varietas yang ditanam, dapat diketahui dengan menganalisis kemasakan tebu.
Analisis kemasakan tebu bertujuan untuk memperkirakan waktu yang tepat untuk
pemanenan tebu agar tebu dipanen pada keadaan optimum.
Tanaman tebu yang telah memasuki fase masak optimal akan dipanen
dengan cara ditebang. Penebangan tanaman tebu dapat dilakukan dengan sistem
tebu hijau yaitu tebu ditebang tanpa diberi perlakukan sebelemnya dan dengan
sistem tebu bakar yaitu penebangan tebu dengan dilakukan pembakaran untuk
mengurangi sampah daun dan memudahkan penebangan. Teknik penebangan tebu
18

dapat dilakukan dengan teknik tebu ikat yaitu teknik penebangan dengan cara
manual, tebu urai yaitu penebangan semi mekanis dimana proses penebangan
dilakukan secara manual dengan tenaga manusia namun proses pengangkutan
dilakukan menggunakan mesin yang bernama grab loader dan tebu cacah yaitu
teknik penebangan tebu yang full mekanis dengan mesin panen tebu atau cane
harvvester. Hasil penebangan tebu lalu diangkut kedalam truk untuk dikirim ke
pabrik gula. Truk yang digunakan untuk mengangkut tebu biasanya berkapasitas
angkut 6-8 ton atau 10-12 ton.

2.2.3 Kemitraan
Kemitraan merupakan suatu bentuk kerja sama dalam usaha, baik langsung
maupun tidak langsung, yang berlandaskan prinsip saling memerlukan,
mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan serta menjungjung etika bisnis
yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dengan usaha besar.
Kemitraan, dalam pelaksanaanya, harus memenuhi hal-hal yang telah diatur oleh
pemerintah baik dalam bentuk Undang-Undang maupun PP. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 17 Tahun 2013 tentang pelaksanaan Undang-
Undang nomor 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah. Pasal 11
ayat (1) menyebutkan “Kemitraan mencakup proses alih keterampilan bidang
produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan
teknologi sesuai dengan pola Kemitraan.” Pola kemitraan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal tersebut terdiri dari beberapa pola yang diantaranya :
a. Inti-plasma
Merupakan pola kemitraan yang dimana perusahaan mitra atau usaha
menengah dan besar bertindak sebagai inti dan kelompok mitra sebagai plasma.
Perusahaan mitra sebagai inti memiliki tugas atau kewajiban untuk membina dan
mengembangkan kelompok mitranya serta memenuhi kebutuhan kelompok mitra
seperti penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis, pembiayaan dan
bantuan lainnya yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha.
Sebagai timbal baliknya kelompok mitra wajib untuk menjual hasil produksinya
kepada perusahaan mitra.
19

b. Subkontrak
Merupakan pola kemitraan yang dimana kelompok mitra yang
memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari
hasil produksinya. Pola ini ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak
bersama yang menyangkut volume, harga, mutu, dan waktu. Pola ini sangat
bermanfaat dalam transfer alih teknologi, modal, ketrampilan, dan produktifitas.
c. Dagang Umum
Merupakan pola kemitraan yang dimana kelompok mitra dengan
perusahaan mitra, yang di dalamnya perusahaan mitra memasarkan hasil produksi
kelompok mitra atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan
perusahaan mitra
d. Kerjasama Operasional Agribisnis
Merupakan pola kemitraan yang dimana kemitraan antara kelompok mitra
dengan pemisahaan mitra usaha yang di dalamnya kelompok mitra menyediakan
lahan, sarana dan tenaga, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau
modal usaha dengan sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu
komoditas pertanian
Menurut Alam dan Heri (2017), Kemitraan memiliki peranan yang penting
dalam pengembangan sektor pertanian khususnya pertanian skala kecil. Kemitraan
pada sektor pertanian dianggap dapat menagatasi permasalahan yang ada seperti
pengusahaan skala ekonomi kecil dengan penguasaan lahan yang kecil , teknologi
budidaya yang sederhana, dan permodalan yang terbatas serta pasar yang tidak
sempurna seperti biaya transaksi yang tinggi dan ketidakjelasan informasi pasar.
Penerapan kemitraan diharapkan dapat mengintegrasikan petani dalam sektor-
sektor yang lebih modern, yaitu sektor industri. Selain itu, kemitraan diharapkan
juga dapat memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan
produktif.
Menurut Larasati dan Hapsari (2020), sebagai upaya untuk mewujudkan
kemitraan yang mengembangkan sektor pertanian, perlu adanya kejelasan peran
dari masing-masing pihak yang terkait dan semua pihak harus mematuhi hak dan
kewajiban yang telah diatus dalam kontrak kemitraan sebelum kesepakatan
20

kemitraan dilaksakanan. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir akan


terjadinya pelanggaran yang dilakukan baik olek perusahaan mitra maupun
kelompok mitra. Pelanggaran dalam kemitraan dapat terjadi dikarenakan kurangnya
monitoring dari pihak perusahaan mitra dan pelaksanaan kemitraan tidak dilakukan
secara transparan.

2.2.4 Sistem Pembelian Tebu (SPT)


Sistem pembelian tebu atau yang disingkat SPT adalah salah satu bentuk
kemitraan dalam sektor pertanian komoditas tebu, dimana kemitraan pada
komoditas tebu melibatkan petani tebu sebagai kelompok mitra dan PG sebagai
perusahaan mitra. Dikutip dari Kementrian.go.id, Sistem pembelian tebu
merupakan merupakan sistem kemitraan baru yang dikeluarkan oleh Pemerintah
melalui Kementerian Pertanian (Kementan) dalam hal ini Direktorat Jenderal
Perkebunan yang rencananya dalam jangka panjang sistem pembelian tebu akan
mengantikan mekanisme kemitraan petani tebu dengan PG sebelumnya yaitu sistem
bagi hasil (SBH). Penerapan sistem pemebelian tebu ini bertujuan untuk
memperbaiki harga tebu di tingkat petani serta petani tidak lagi ikut menanggung
resiko kehilangan hasil pengolahan tebu oleh PG.
Dikutip dari alinea.id, penerapan sistem pembelian tebu (SPT) memiliki
perbedaan yang cukup signifikan jika dibanding dengan SBH. Pada SPT, petani
mendapat kepastian harga jual dari pemerintah berdasarkan harga pembelian tebu
pekebun (HPP) yang ditetapkan sebesar 510.000/ton pada rendemen 7% sedangkan
pada SBH petani tidak mendapatkan hasil dari penjualan tebunya melainkan dari
hasil penjualan gula oleh PG dengan perbandingan 66% untuk petani dan 34%
untuk PG. Selain itu, SPT memungkinkan petani untuk memperoleh hasil
penjualannya lebih cepat maksimal tujuh hari setelah penerimaan tebu oleh PG,
sedangkan pada SBH petani memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mendapatkan hasil penjualan dikarenakan petani harus menunggu bagi hasil dari
hasil lelang gula oleh PG dimana petani minimal memerlukan waktu dua minggu
untuk menerima hasil tebunya. Sistem pembelian tebu (SPT) mengubah sistem
kemitraan dan pembinaan antara PG dan petani menjadi bersifat transaksional.
21

2.2.5 Teori Persepsi


Menurut Morgan dalam Dahlan (2017), persepsi merupakan aktifitas
sesorang dalam mendeteksi dan menginterpretasikan berbagai macam informasi
dari lingkungannya yang sesuai dengan pengalaman. Aktifitas tersebut terdiri dari
berfikir, menerima, mengingat, merencanakan dan memilih sesuatu. Dengan kata
lain, persepsi merupaan kemampuan seseorang dalam menerjemahkan stimulus
yang masuk melalui alat indera manusia sehingga menjadi sesuatu yang berarti.
Persepsi memungkinkan seseorang mendeteksi dan menginterpreatasikan stimulus
atau rangsangan dari luar dengan cara dan hasil yang berbeda-beda.
Menurut Subakti (2018), persepsi merupakan salah satu aspek psikologis
yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di
sekitanya. Persepsi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana seseorang
mengorganisasikan dan menginterpretasikan rangsangan dari luar yang diterima
oleh panca indera lalu diolah oleh otak untuk memberi arti pada lingkungan mereka.
Persepsi dapat menjadi suatu motivasi seseorang dalam mengambil tindakan pada
situasi tertentu. Dari penjelasan diatas dapat ditarik suatu kesamaan bahwa persepsi
merupakan proses yang dimulai dari panca indera hingga terbentuk suatu tanggapan
yang terjadi dalam diri seseorang sehingga orang tersebut sadar tentang segala
sesuatu yang terjadi dalam lingkungannya.
Persepsi seseorang terhadap sesuatu objek tidak berdiri sendiri sendiri akan
tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam maupun dari luar dirinya.
Faktor yang mempengaruhi dari dalam contohnya seperti perasaan, sikap dan
kepribadian individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses
belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, dan
motivasi. Sedangkan faktor yang mempengaruhi dari luar contohnya latar belakang
keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas,
ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak
asingan suatu objek. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat faktor utama yang
memberi pengaruh terhadap pembentukan persepsi seseotang dan faktor tersebut
adalah faktor penerima, situasi dan objek sasaran. (Listyana, 2015)
22

2.2.6 Skala Linkert


Skala likert merupakan skala pengukuran yang ditemukan dan
dikembangkan oleh Likert. Skala likert memiliki minimal empat atau lebih
pertanyaan yang dikombinasikan sehinggal menghasilkan sebuah skor/nilai yang
merepresentasikan sifat individu, seperti pengetahuan, sikap, persepsi, dan
perilaku. Komposit skor atau proses analisis data pada skala likert dapat
menggunakan jumlah atau rataam dari semua butir pertanyaan. Penggunaan jumlah
dari semua pertanyaan dapat dianggap valid karena setiap pertanyaan merupakan
salah satu indikator dari variabel yang akan direpresentasikan. (Budiaji, 2013)
Skala likert adalah suatu skala psikometrik yang dapat digunakan dalam
kuesioner dan penggunaanya paling sering dijumpai dalam riset berupa survei.
Skala likert dapat digunakan untuk mengukur sikap, persepsi dan pendapat
seseorang atau kelompok mengenai sebuah peristiwa atay fenomena sosial. Dalam
skala likert, responden menanggapi pertanyaan dengan cara menentukan tingkat
persetujuan mereka terhadap suatu pernyataan dengan memilih salah satu dari
pilihan yang tersedia. Pada umumnya disediakan lima pilihan skala dengan format
sepeti : Sangat setuju; Setuju; Netral; Tidak setuju; Sangat tidak setuju. Untuk
keperluan analisis kuantitatif, skala jawaban pada skala likert dapat diberi skor
misalnya: Sangat setuju (5); Setuju (4); Netral (3); Tidak setuju (2); Sangat tidak
setuju (1). Pertanyaan penelitian yang menggunakan skala likert pada umumnya
disusun dalam bentuk ceklist ataupun pilihan ganda. (Maryuliana dkk, 2016)

2.2.7 Regresi Linier


Regresi linier merupakan analisis yang mengkaji hubungan antara satu
variabel, yaitu variabel yang diterangkan atau variabel terikat (y) dengan satu atau
lebih variabel, yaitu variabel yang menerangkan atau variabel bebas (x). Terdapat
dua jenis regresi linier berdasarkan variabel bebasnya. Apabila variabel bebasnya
hanya satu, maka analisis regresinya disebut dengan regresi sederhana. Apabila
variabel bebasnya lebih dari satu, maka analisis regresinya dikenal dengan regresi
linear berganda. Dikatakan berganda karena terdapat beberapa variabel bebas yang
mempengaruhi variabel terikat. (Yuliara,2016)
23

Regresi linier berganda merupakan analisis yang berfungsi untuk


mengetahui arah hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas, apakah
masing-masing variabel bebas berhubungan positif atau negatif. Regresi linier
bergada juga dapat digunakan untuk memprediksi nilai dari variabel bebas
mengalami kenaikan atau penurunan. Data yang digunakan dalam regresi linier
berganda biasanya berskala interval atau rasio. Untuk meramalkan variabel terikat
(Y) dengan semua variabel bebas sudah diketahui dapat menggunakan persamaan
regresi linier berganda. Model persamaan regresi linier berganda yaitu : (Syahputra
et al., 2018)
𝑌 = 𝑎 + 𝑏1 𝑥1 + 𝑏2 𝑥2 + ⋯ + 𝑏𝑛 𝑥𝑛
Keterangan:
Y = Variabel dependen (variabel terikat)
x1,x2 = Variabel Independen (variabel bebas)
a = Konstanta (Nilai Y jika X1, X2 ... Xn = 0)
b1,b2 = Koefisien regresi (nilai kenaikan dan penurunan)

2.2.8 Uji-T
Menurut Magdalena dan Maria (2019), Uji-T atau T-Test adalah salah
metode pengujian dari uji statistik parametrik.. Uji t adalah suatu uji yang
menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variable independent secara individual
dalam menerangkan variabel dependen. Pengujian statistik t atau t-test pada
umumnya dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi sebesar 0,05
(α=5%). Penerimaan atau penolakan uji hipotesis ini dilakukan dengan kriteria
sebagai berikut:
1) Jika nilai siginifikan > 0,05, maka hipotesis nol (H0) diterima dan hipotesis
alternatif (H1) ditolak. Hal ini berarti, secara parsial variabel independen
tersebut tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variable
dependen.
2) Jika nilai signifikan < 0,05 maka hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis
alternatif (H1) diterima. Hal ini berarti secara parsial variavel independen
tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variable dependen.
24

2.3 Kerangka Pemikiran


Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang
memiliki produksi tebu terbanyak keenam yaitu sebesar 48.625 ton pada tahun 2018
dan 48.012 ton pada tahun 2019. Kondisi ini tentunya membuat Kabupaten
Situbondo menjadi salah satu pemasok bahan baku gula yang cukup besar serta
menjadi pemberi sumbangsih bagi perekonomian dibidang perkebunan. Jumlah
produksi tebu yang dibudidayakan cenderung konsisten berada diata angka 35.000
ton setiap tahunnya. Usahatani tebu di Kabupaten Situbondo menjadi salah satu
komoditas pertanian yang penting dikarenakan sebagai bahan baku produksi Pabrik
Gula yang berada di Kabupaten Situbondo serta dibudidayakan oleh banyak petani
di Kabupaten Situbondo. Komoditas tebu dibudidayakan di semua kecamatan yang
beradai di Kabupaten Situbondo. Kecamatan Asembagus adalah kecamatan yang
memiliki jumlah petani terbesar jika dibandingkan dengan kecamatan lain di
Kabupaten Situbondo, yaitu sebesar 2.490 orang.
Petani tebu dalam mejual hasil panen usahataninya dapat melalui berbagai
mekanisme, salah satunya adalah dengan menjual ke PG. Terdapat empat pabrik
gula yang berada di Kabupaten Situbondo, yaitu PG Wringin, PG Olean, PG Panji
dan PG Asembagus. PG Asembagus merupakan pabrik gula terbesar yang berada
di Situbondo. Pabrik gula yang terletak di Jl Raya 17 Asembagus, Kecamatan
Asembagus, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur ini telah mengalami
beberapa kali revitalisasi atau peningkatan kapasitas produksi yang terakhir terjadi
pada sekitar tahun 2018-2019 dengan total kapasitas giling 6.000 TCD (Ton Cane
Day). Pemenuhan bahan baku produksi gula di PG Asembagus berasal dari tebu
sendiri (TS) dan sebagian besar berasal dari tebu rakyat (TR). Tebu sendiri (TS)
merupakan usahatani tebu yang dikelola langsung oleh PG Asembagus pada
sebidang lahan sewa dengan status hak guna usaha (HGU). Sedangkan tebu rakyat
(TR) merupakan usahatani tebu yang dikelola oleh petani/masyarakat umum dan
menjual hasil panennya pada pabrik gula dengan cara menjalin kemitraan.
Sejak musim giling 2020, PG Asembagus telah menerapkan sistem
kemitraan baru, yaitu bernama Sistem Pembelian Tebu (SPT) namun belum
menghapuskan Sistem Bagi Hasil (SBH). Berdasar pada Surat Edaran No.
25

593/TI.050/E/7/2019 perihal Penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT). Surat


edaran tersebut berisikan perihal sistem baru yang disebut sistem beli putus. Sistem
Pembelian Tebu (SPT) dalam jangka panjang akan menggantikan sistem bagi hasil
(SBH) yang telah lama dijalankan. Sistem beli putus ini akan secara merata akan
diterapkan kepada semua PG, baik PG yang dinaungi oleh BUMN maupun Swasta.
Pada sistem bagi hasil (SBH) petani harus menunggu tebunya selesai
diproses menjadi gula baru mendapat pembayaran akan tebunya dengan persentase
66% untuk petani dan 34% untuk PG, pada sistem pembelian tebu (SPT) petani
tidak lagi menerima pembayaran atas gula, namun benar-benar menerima
pembayaran atas tebunya dangan berdasarkan Harga Pembelian Tebu Pekebun
(HPP) sebesar Rp. 510.000/ton pada tingkat rendemen 7%. Sistem Pembelian Tebu
(SPT) secara langsung akan menghilakan atau menghapus fasilitas-fasilitas yang
terdapat di Sistem Bagi Hasil (SBH) seperti pembagian tetes, gula natura, bantuan
operasional dan bantuan modal kerja. Penerapan sistem pembelian tebu (SPT)
dirasa akan mengubah hubungan petani dengan PG menjadi sebatas transaksi jual
beli. Hubungan transaksional tersebut dapat menghilangkan hubungan kemitraan
yang telah dibangun petani dan PG sejak lama serta membuat petani menjalankan
usahatani tenaman tebu secara mandiri tanpa pendampingan teknis.Namun pada
sistem pembelian tebu (SPT), petani dapat harga yang jelas akan tebunya.
Penerapan sistem pembelian tebu (SPT) tentunya menimbulkan berbagai
perubahan dalam usahatani tebu yang tentunya berdampak pada petani selaku
pelaku usahatani. Dampak tersebut dapat mempengaruhi perilaku petani dalam
berusahatani yang diperantarai oleh persepsi. Persepsi petani selaku individu
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun ekternal dan bersifat subjektif
yang membuat persepsi tiap petani berbeda-beda. Sifat persepsi yang merupakan proses
pemahaman dan interpretasi petani menjadi salah satu faktor petani dalam berperilaku
dan mengahasilkan suatu keputusan dalam berusahatani, sehingga dapat dijadikan
acuan bagi pihak-pihak terkait dalam memutuskan kebijakan dan menjalin kemitraan.
26

Komoditas tebu di Kabupaten Situbondo

Potensi komoditas tebu di Kabupaten Situbondo dimana menjadi


komoditas perkebunan yang memiliki produksi yang tinggi

Kemitraan sistem pembelian tebu (SPT) sebagai pengganti


sistem bagi hasil (SBH)

Persepsi petani tebu terhadap sistem pembelian


tebu (SPT)

Skala Likert

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani


tebu

1. Usia petani 5. Status kepemilikan lahan


2. Pendidikan petani 6. Peran kelompok tani
3. Lama berusahatani
4. Luas Lahan

Regresi linier

Perilaku petani tebu terhadap penerapan sistem pembelian


tebu (SPT)
27

2.4 Hipotesis
1. Persepsi petani terhadap penerapan sistem pembelian tebu (SPT) cenderung
positif atau mendukung
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap sistem pembelian
tebu (SPT) adalah (1) Usia petani; (2) Pendidikan petani; (3) Lama
berusahatani; (4) Luas lahan; (5) Status kepemilikan lahan; (6) Peran kelompok
tani
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian


Metode penentuan lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik purposive method, yaitu di Kecamatan Asembagus. Teknik purposive method
adalah teknik penentuan lokasi penelitian yang dipilih dengan sengaja oleh peneliti.
Teknik purposive method dilakukan dengan cara penentuan lokasi penelitian secara
langsung oleh peneliti dengan pengetahuan peneliti terhadap lokasi penelitian yang
dirasa tepat dengan permasalahan yang diangkat. Pertimbangan peneliti memilih
Kecamatan Asembagus adalah fokus penelitian terkait persepsi petani tebu, sehingga
dasar peneliti menentukan daerah dengan mempertimbangkan jumlah petani tebu.
Jumlah rumah tangga usaha perkebunan komoditas tebu terbesar di Kabupaten
Situbondo terletak di Kecamatan Asembagus, yaitu sebesar 2.490 rumah tangga dari
total 5.060 rumah tangga. Kecamatan Asembagus juga merupakan kecamatan yang
memiliki jumlah produksi terbesar di Kabupaten Situbondo serta kecamatan yang
berdekatan langsung dengan PG. Asembagus, dimana PG Asembagus merupakan satu-
satunya PG di Kabupaten Situbondo yang telah menerapkan Sistem Pembelian Tebu
(SPT) sejak tahun 2020.

3.2 Metode Penelitian


Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dan
analitik. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk mencari
kebenaran dari suatu fenomena dengan cara mempelajari permasalahan yang ada di
lingkungan sosial maupun fisik, melalui hubungan, kegiatan, pandangan dan aktivitas
yang berlangsung pada lingkungan yang bersangkutan. Metode analitik merupkaan
metode yang digunakan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara dua variabel.
Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan rumusan masalah mengenai persepsi
petani tebu terhadap Sistem Pembelian Tebu (SPT). Persepsi petani digambarkan
melalui penjelasan variabel-variabel yang diperjelas dengan indikator variabel sebagai
acuan dalam mendefinisikan persepsi petani. Metode analitik digunakan untuk menetili
dan mendeskripsikan hubungan sebab akibat faktor-faktor yang mempempengaruhi
persepsi petani terhadap Sistem Pembelian Tebu (SPT). (Hardani, 2020)

28
29

3.3 Metode Pengambilan Sampel


Kabupaten Situbondo memiliki jumlah populasi petani tebu sebanyak 5.060
rumah tangga yang tersebar di 17 kecamatan dengan persebaran yang tidak merata.
Berikut merupakan jumlah populasi petani tebu serta pesebarannya:
Tabel 3.1 Jumlah Usahatani Tebu Menurut Kecamatan di Situbondo Tahun 2013
No Kecamatan Jumlah Usahatani Tebu
1 Sumbermalang 1
2 Jatibanteng 1
3 Banyuglugur 2
4 Besuki 6
5 Suboh 5
6 Mlandingan 7
7 Bungatan 4
8 Kendit 351
9 Panarukan 157
10 Situbondo 62
11 Mangaran 29
12 Panji 49
13 Kapongan 41
14 Arjasa 133
15 Jangkar 1.177
16 Asembagus 2.490
17 Banyuputih 545
Jumlah 5.060
Sumber: Sensus Pertanian, 2013
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode
simple random sampling. Simple random sampling merupakan suatu metode
penentuan sampel secara acak tanpa memperhatikan strata dari anggota populasi
sehingga setiap anggota popilasi mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan
sample. Penentuan jumlah sampel yang diteliti menggunakan rumus Slovin agar
memperkecil jangkauan peneliti dengan rumus sebagai berikut (Harahap, 2018):
𝑵
𝒏=
𝟏 + 𝑵(𝒆)𝟐
𝟐𝟒𝟗𝟎
𝒏=
𝟏 + 𝟐𝟒𝟗𝟎(𝟎, 𝟏)𝟐
𝒏 = 𝟗𝟔, 𝟏𝟑𝟖𝟗𝟗
𝒏 ≈ 𝟗𝟔
30

Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = Toleransi eror (10%)
Berdasarkan hasil perhitungan rumus Slovin, dari populasi total sebanyak
2.490 orang petani tebu di Kecamatan Asembagus Kabupaten Situbondo diperoleh
jumlah sampel sebanyak 96 orang. Jumlah sampel sebanyak 96 orang responden
dirasa sudah cukup mewakili populasi petani tebu di Kecamatan Asembagus.

3.4 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data merupakan strategi yang digunakan dalam
penelitian untuk mengumpulkan informasi dan memperoleh data yang dibutuhkan.
Data dalam penelitian ini terbagi atas dua jenis data yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data yang bersumber langsung dari informan. Data sekunder
merupakan sumber data yang telah diolah oleh pihak lain. Metode pengumpulan
data yang dugunakan pada penelitian ini menggunakan metode wawancara,
observasi dan studi pustaka. (Singestecia, 2018)
a. Metode observasi
Menurut Hasanah (2016), metode observasi merupakan proses pengamatan
sistematis dari aktivitas manusia dengan bantuan istrumen dan merekamnya dengan
tujuan ilmiah. Metode observasi dapat diartikan sebagai kegiatan pengamatan yang
berkaitan dengan perilaku manusia, persepsi dan gejala alam dengan bantuan daya
tangkap pancaindera manusia. Metode observasi pada penelitian ini dilakukan
dengan cara kunjungan lapang ke daerah penelitian yakni Kecamatan Asembagus
serta berinteraksi dengan narasumber.
b. Metode wawancara
Menurut Rosaliza (2015), metode wawancara merupakan salah satu teknik
pengumpulan data yang paling umum digunakan dalam penelitian sosial dengan
cara bertatap muka langsung dengan responden dalam proses mendapatkan
31

informasi untuk keperluan data primer. Metode wawancara dapat digunakan dalam
mendapatkan informasi yang berhubungan dengan fakta, kepercayaan, perasaan,
keingunan dan sebagainya yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan penelitian.
Metode wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi
data diri petani dan persepsi petani terhadap fenomena sebagai sumber data primer
peneliti dalam menganalisis fenomena yang diteliti.
c. Metode studi pustaka
Menurut Sari dan Asmendri (2020), metode studi pustaka merupakan
kegiatan penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan informasi dan data
dengan bantuan sumber yang ada di perpustakaan serta sumber pustaka yang dirilis
resmi oleh lembaga-lembaga terkait. Metode studi pustaka dilakukan secara
sistematis untuk mengumpulkan, mengolah dan menyimpulkan data guna mencari
jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Metode studi pustakan dalam penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan data-data sekunder pendukung yang bersumber
dari lembaga resmi seperti Badan Pusat Statistik Kabupaten Situbondo,
Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan dan penelitian terdahulu.
3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah alat analisis yang digunakan peneliti dalam
mengolah data penelitian dan untuk menjawab rumusan masalah agar sesuai dengan
tujuan penelitian. Rumusan masalah yang diteliti pada penelitian ini mencakup
persepsi petani tebu terhadap sistem pembelian tebu (SPT) dan faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi petani. Metode analisis data yang digunakan untuk
rumusan masalah pertama adalah skala likert dan untuk rumusan masalah kedua
adalah regresi linier berganda.

3.5.1 Metode Analisis Persepsi Petani


Rumusan masalah pertama penelitian adalah persepsi petani terhadap sistem
pembelian tebu (SPT) di Kecamatan Asembagus. Rumusan malasah dianalisis
menggunakan metode deskriptif dan analitik. Analisis deskriptif digunakan untuk
menjelaskan variabel yang menjadi indikator persepsi petani yang meliputi (1)
Kwalitas Tebu, (2) Pembayaran, (3) Fasilitas. Variabel utama tersebut akan
32

diuraikan menjadi variabel-variabel penjelas dalam mengidentifikasikan persepsi


petani yang dinilai dalam skala likert. Data yang dianalisis merupakan hasil
wawancara dan observasi dalam bentuk kuisioner penelitian. Penggunaan skala
likert bertujuan untuk menganalisis tingkat persepsi petani dalam bentuk angka atau
membantu peneliti dalam mengkuantitatifkan data kualitatif. Pengkategorian
jawaban pada skala likert terbagi pada rentang sangat setuju sampai sangat tidak
setuju yang kemudian dikuantitatifkan dalam bentuk angka dengan pemberian
bobot pada masing-masing jawaban. Adapun gradasi skala likert yang digunakan
dalam penelitian dijabarkan pada tabel 3.2.
Tabel 3.2 Kategori dan bobot skala likert
Kategori Bobot
Sangat setuju (SS) 5
Setuju (S) 4
Netral (N) 3
Tidak setuju (TS) 2
Sangat tidak setuju (STS) 1
Sumber : Maryuliana, 2016
Variabel utama yang ada meliputi kwalitas tebu, pembayaran, dan fasilitas
kemudia diuraikan menjadi beberapa indikator. Indikator ini akan menjadi
instrumen untuk menilai tingkat persepsi dari petani tebu. Beberapa indikator
tersebut dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 3.3 Variabel dan indikator persepsi petani tebu
Skala Likert
No. Variabel SS S N TS STS
(5) (4) (3) (2) (1)
1. Kwalitas tebu
Penentuan rendemen dilakukan tranparan
Rendemen tebu meningkat
Tebu dalam keadaan MBS
2. Pembayaran
Pembayaran dilakukan tepat waktu atau
maksimal 7 hari setelah timbang
Penghitungan pembayaran sesuai dengan
HPP
Harga tebu di petani meningkat
3. Fasilitas
Petani membutuhkan pembagian hasil
sharing gula
33

Petani membutuhkan pembagian hasil tetes


Petani mengalami kendala akses pupuk
subsidi
Petani mengalami kendala akses bantuan
alsintan
Sumber: Data primer
Peneliti membagi skor bobot persepsi menjadi 3 interval kelas. Ketiga
interval kelas tersebut yakni mendukung, netral, dan tidak mendukung. Data yang
didapat kemudia diolah rumus rentang skala yang bertujuan untuk menentukan
posisi respon narasumber kedalam tiga interval kelas yang telah ditentukan. Berikut
merupakan rumus perhitungan rentang skala likert:
𝑅(𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡)
𝑅𝑆 =
𝑀
Keterangan :
R (Bobot) : Bobot terbesar – Bobot terkecil
M : Jumlah Kategori
Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh nilai interval sebesar 1,33 dan rentang
kelas yang terdiri dari tidak mendukung (1-2,33), netral (2,34-3,67), dan
mendukung (3,68-5,00)
Menurut Setiawati dalam Aritonang (2020), untuk mengetahui secara
keseluruhan persepsi masyarakat terhadap sesuatu hal dinyatakan dalam bentuk
garis kontinum agar dapat mengetahui seberapa besar persepsi masyarakat terhadap
sesuatu hal itu apakah terletak pada kategori tidak mendukung, netral dan
mendukung. Untuk menentukannya, harus diketahui skor total sesuatu yang akan
dianalisis. Kemudian, data-data yang dikumpulkan dari hasil kuesioner akan
dimasukkan ke dalam garis kontinum atau jumlah skor dimasukan ke dalam garis
kontinum yang pengukurannya ditentukan dengan cara sebagai berikut :

Tidak Mendukung Netral Mendukung

Minimal Maksimal

 Nilai Maksimam :Skor/skala Tertinggi x Jumlah Soal/Item Pernyataan x


Jumlah Responden
34

 Nilai Minimum : Skor/Skala Terendah x Jumlah Soal/Item Pernyataan x


Jumlah Sampel
 Jarak Interval : (Nilai Maksimum – Nilai Minimum) : Jumlah Skala
 Persentase Skor: (Total Skor : Nilai Maksimal) x 100

3.5.2 Metode Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Peternak


Rumusan masalah kedua mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi petani terhadap sistem pembelian tebu (SPT) di Kecamatan Asembagus.
Rumusan masalah dianalisis menggunakan regresi linier berganda dengan variabel
dummy. Variabel Y atau variabel terikat pada persamaan regresi linier bergada di
penelitian ini adalah persepsi petani terhadap sistem pembelian tebu (SPT).
Variabel X atau variabel yang mempengaruhi persepsi petani meliputi usia petani
(tahun), pendidikan petani (tahun), lama berusahatani (tahun), luas lahan (ha),
status kepemilikan lahan (milik sendiri atau sewa), peran kelompok tani (berperan
atau tidak). Variabel-variabel tersebut lalu diolah menggunakan regresi linier
bergada dengan rumus sebagai berikut:
𝒀 = 𝑩𝟎 + 𝑩𝟏 𝑿𝟏𝒊 + 𝑩𝟐 𝑿𝟐𝒊 + ⋯ + 𝑩𝒏 𝑿𝒏𝒊 + 𝜺𝒊
𝑌 = 𝐵0 + 𝐵1 𝑋1 + 𝐵2 𝑋2 + 𝐵3 𝑋3 + 𝐵4 𝑋4 + 𝐵1 𝐷1 + 𝐵2 𝐷2 + 𝜀𝑖
Keterangan:
Y = Persepsi petani tebu
X1 = Usia petani
X2 = Pendidikan petani
X3 = Lama berusaha tani
X4 = Luas lahan
D1 = Status kepemilikan lahan
D2 = Peran kelompok tani
B0 = Konstanta
Bn = Koefisien regresi
ε = Random error
Menurut Purnomo (2017), persamaan regresi linier dapat dikatakan baik dan
dapat dipercaya apabila estimasi yang dihasilkan dengan memenuhi uji asumsi
35

klasik yang terdiri atas uji normalitas, multikolinearitas, heterokedastisitas dan


autokorelasi. Ujis asumsi klasik tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Uji normalitas
Persamaan regresi yang lulus uji normalitas menyatakan bahwa sampel
tersebut diambil dari populasi yang terdistribusi normal. Normalitas suatu
persamaan dapat diuji melalui beberapa cara, yakni Uji Chi Kuadrat, Uji
Kolmogorov-Smirnov, Uji Lilliefors, dan uji grafik. Persamaan dinyatakan
lolos uji normalitas apabila pada grafik plot histrogram mengikuti kurva. Hasil
uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dilakukan dengan
memperhatikan nilai signifikansi pada tabel.
2. Uji multikolinearitas
Persamaan regresi dikatakan memiliki model yang baik apabila tidak didapati
adanya hubungan antar variabel independen. Indikator apda uji
multikolinearitas adalah dengan nilai VIF dan nilai Tolerance.
a. VIF bernilai diantara 1-10, tidak terdapat multikolinearitas
b. Tolerance ≥ 0,10, tidak terdapat multikolinearitas
3. Uji heterokedastisitas
Persamaan regresi lulus uji heterokedatisitas apabila nilai variance dan residual
dari pengamatan satu ke pengamatam lainnya bersifat tetap atau
homokedastisitas. Heterokedastisitas dapat diketahui melalui grafik scatterplot
dengan titik-titik yang menyebar dan tidak membentuk suatu pola.
4. Uji autokorelasi
Persamaan regresi yang baik adalah tidak adanya autokorelasi pada model.
Persamaan dinyatakan lolos autokorelasi apabila tidak terdapat korelasi antara
pengganggu pada periode sekarang dengan kesalahan pengganggu pada
periode senelumnya. Autokorelasi positif dan negatif dapat diketahui melalui
Uji Durbin-Watson.
a. Autokorelasi positif
d < dL, terdapat autokorelasi
d > dU, tidak terdapat autokorelasi
dL < d < dU, tidak ada kesimpulan pasti
36

b. Autokorelasi negatif
(4-d) < dL, terdapat autokorelasi
(4-d) > dU, tidak terdapat autokorelasi
dL < (4-d) < dU, tidak ada kesimpulan pasti
Peneliti menggunakan uji F hitung dan t hitung untuk mengetahui pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji F digunakan untuk mengetahui
pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat, sedangkan
uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh secara terpisah antara variabel bebas
pada variabel terikat. Uji F dan uji t dijabarkan sebagai berikut:

1. Uji F hitung
Hipotesis :
H0 = secara bersama-sama terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel
bebas dan variabel terikat
H1 = secara bersama-sama tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara
variabel bebas dan variabel terikat
Cara uji :
a. Nilai signifikansi
Nilai signifikansi < 0,05, H0 diterima
Nilai signifikansi > 0,05, H0 ditolak
b. Nilai F hitung
Nilai F hitung > F tabel, H0 diterima
Nilai F hitung < F tabel, H0 ditolak
2. Uji t hitung
Hipotesis :
H0 = secara parsial terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel bebas
dan variabel terikat
H1 = secara parsial tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel
bebas dan variabel terikat
Cara uji :
a. Nilai signifikansi
37

Nilai signifikansi < 0,05, H0 diterima


Nilai signifikansi > 0,05, H0 ditolak
b. Nilai t hitung
Nilai t hitung > t tabel, H0 diterima
Nilai t hitung < t tabel, H0 ditolak

3.6 Definisi Operasional


1. Pabrik Gula (PG) adalah pabrik penggilingan tebu yang memproduksi produk
gula kristal putih.
2. Usahatani Tebu Rakyat (TR) adalah usahatani tebu yang dimiliki dan dikelola
oleh petani.
3. Petani tebu di Kecamatan Asembagus menjual hasil tebunya dengan cara
kemitraan sistem bagi hasil (SBH) dan sistem pembelian tebu (SPT).
4. Kemitraan adalah wujud hubungan antara petani dan PG dengan prinsip saling
memerlukan, saling menguatkan dan menguntungkan.
5. Sistem bagi hasil (SBH) merupakan kemitraan yang dilakukan petani tebu dan
PG dengan pembagian hasil 66% untuk petani tebu dan 34% untuk PG.
6. Sistem pembelian tebu (SPT) merupakan kemitraan yang dilakukan petani tebu
dan PG dengan mekanisme jual-beli secara terputus.
7. Produksi tebu adalah seluruh hasil usahatani tebu milik petani dengan satuan
kwintal
8. Rendemen adalah rata-rata kandungan gula pada 1 kwintal tebu dengan satuan
persentase
9. Harga pembelian tebu pekebun (HPP) merupakan ketetapan harga untuk tebu
uang dijual oleh petani dengan satuan rupiah per kwintal.
10. Gula natura adalah imbalan lain yang diterima oleh petani tebu pada sistem
bagi hasil
11. Tetes merupakan produk sampingan dari penggilingan tebu dan termasuk
imbalan lain yang diterima oleh petani tebu pada sistem bagi hasil
12. Persepsi merupakan pemahaman petani tebu terhadap fenomena penelitian.
13. Populasi penelitian merupakan seluruh petani tebu di Kecamatan Asembagus.
DAFTAR PUSTAKA

Alam, A. S. dan Heri H. 2017. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan


Kemitraan Antara Petani Budidaya Jamur Tiram Dengan Cv. Asa Agro
Corporation. Journal Agroscience. 7 (1): 214-219

Ardiyansyah, B. Dan Purwono. 2015. Mempelajari Pertumbuhan dan Produktivitas


Tebu (Saccharum Officinarum. L) dengan Masa Tanam Sama pada Tipologi
Lahan Berbeda. Agrohorti. 3 (3): 357-365

Aritonang, Buha. 2020. Penggunaan Bahasa Daerah Generasi Muda Provinsi


Maluku Utara dan Papua Barat. Ranah. 9(2): 160-177

Astuti, F. W., Nila R. J. dan Ismiasih. 2016. Kemitraan Usahatani Tebu (Saccharum
Officinarum L) Di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Jurnal
MASEPI. 1(1): 1-17

Badan Pusat Statistik. 2020. Kabupaten Situbondo Dalam Angka 2020. Situbondo:
Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik. 2020. Produksi Tanaman Perkebunan. Jakarta: Badan Pusat
Statistik

Badan Pusat Statistik. 2020. Provinsi Jawa Timur dalam Angka. Surabaya: Badan
Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik. 2020. Statistik Tebu Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2014. Petunjuk Tekik Budidaya Tebu.


Lampung: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung

Budiaji, W. 2013. Skala Pengukuran Dan Jumlah Respon Skala Likert. Jurnal Ilmu
Pertanian dan Perikanan. 2 (2): 127-133

Dahlan, R. 2017. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Nazhir Terhadap


Wakaf Uang. ZISWAF. 4 (1): 1-24

Devy, F. C. 2019. Perbandingan Produktivitas Pada Tanaman Tebu (Saccharum


Officinarum L.) Yang Ditanam Dengan Kategori Plant Cane Dan Ratoon Cane
Di Pg. Pesantren Baru Kediri. Skripsi. Yogyakarta: Budidaya Tanaman
Perkebunan

Harahap, M., Bambang S. Dan Djoko S. 2018. Analisis Tingkat Kematangan Gonad
Teripang Keling (Holothuria Atra) Di Perairan Menjangan Kecil,
Karimunjawa. Journal of Maquares. 7 (3): 263-269
38
Hardani, Nur Hikmatul A., Helmina A., Roushandy A. F., Jumari U., Evi F. U.,
Dhika J. S. Dan Ria R. I. 2020. Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif.
Yogyakarta: Pustaka Ilmu

Hasanah, H. 2016. Teknik-Teknik Observasi. Jurnal at-Taqaddum. 8 (1): 21-46

Jampur, R., Nyoman Y. dan Luh Putu K. P. 2019. Fakor-Faktor Yang


Mempengaruhi Persepsi Petani Terhadap Peran Sertifikasi Indikasi Geografis
Kopi Arabika Di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
AGRIMETA. 9 (18): 19-27

Jamsari, Rhenly D., Ishak M., dan Renfiyeni. 2019. Respon Diferensial Fisiologis
Tanaman Tebu (Saccharum Officinarum) Pada Kondisi Cekaman Kekurangan
Air. Jurnal Agrista. 23 (2): 100 – 111

Junaidi, Y. R. V Sambiring, dan T. H. S. Siregar. 2015. Pengaruh Perbedaan Letak


Geografi Terhadap Pola Produksi Tahunan Tanaman Karet : Faktor Penyebab
Perbedaan Pola Produksi Tahunan Tanaman Karet. Warta perkaretan, 34(2) :
137-146

Larasati, A. R. Dan Triana D. H. 2020. Kemitraan Petani Tebu Rakyat Mitra Kredit
Dengan Pg. Semboro Di Kabupaten Jember. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian.
13 (1): 16-37

Listyana, R. Dan Yudi H. 2015. Persepsi Dan Sikap Masyarakat Terhadap


Penanggalan Jawa Dalam Penentuan Waktu Pernikahan (Studi Kasus Desa
Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Tahun 2013). Jurnal
AGASTYA. 5 (1): 118-138

Magdalena, R. dan Maria A. K. 2019. Analisis Penyebab dan Solusi Rekonsiliasi


Finished Goods Menggunakan Hipotesis Statistik dengan Metode Pengujian
Independent Sample T-Test di PT.Merck, Tbk. Jurnal TEKNO. 16 (1): 35-48

Maryuliana, Imam M. I. S. dan Sam F. C. H. 2016. Sistem Informasi Angket


Pengukuran Skala Kebutuhan Materi Pembelajaran Tambahan Sebagai
Pendukung Pengambilan Keputusan Di Sekolah Menengah Atas
Menggunakan Skala Likert. Jurnal Transistor Elektro dan Informatika. 1 (2):
1-12

Moroki, S., Vecky A. J. M. Dan Josep B. K. 2018. Analisis Faktor-Faktor Yang


Mempengaruhi Pendapatan Petani Di Kecamatan Amurang Timur. Jurnal
Berkala Ilmiah Efisiensi. 18 (5): 132-142

Purnomo, R. A. 2017. Analisis Statistik Ekonomi dan Bisnis Dengan SPSS.


Ponorogo : UNMUH Ponorogo.

39
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perkebunan. 2012. Budidaya dan Pascapanen
Tebu. Bogor: IAARD Press

Rahayu, W. dan N. Setyowati. 2016. Dinamika Peranan Sektor Pertanian Dalam


Pembangunan Ekonomi Di Kawasan Solo Raya. Sustainable Agriculture,
31(1):11-17.

Rikardo, R., Ferry E. T. S dan Meiriani. 2015. Respons Pertumbuhan Bibit Bud
Chips Tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap Dosis dan Frekuensi
Pemberian Pupuk N, P dan K pada Wadah Pembibitan yang Berbeda. Jurnal
Online Agroekoteknologi. 3 (3): 1089-1098

Rizal, R. Z. N. Dan Sofia. 2018. Persepsi dan Perilaku Sosial Petani Tebu Terhadap
Penentuan Rendemen Tebu (Studi Kasus; Petani Tebu PTPN XI PG
Asembagus di Kabupaten Situbondo. Pembangunan Pertanian dan Peran
Pendidikan Tinggi Agribisnis: Peluang dan Tantangan di Era Industri 4.0.
03 November 2018. Universitas Jember: 534-539

Rompas, J., Deisy E. Dan Krest T. 2015. Potensi Sektor Pertanian Dan Pengaruhnya
Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal
Berkala Ilmuah Efisiensi. 15 (4): 124-136

Rosaliza, M. 2015. Wawancara, Sebuah Interaksi Komunikasi Dalam Penelitian


Kualitatif. Jurnal Ilmu Budaya. 11 (2): 71-79

Sari, M. Dan Asmendri. 2020. Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam


Penelitian Pendidikan IPA. Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA.
6 (1): 41-53

Sijabat, J. A., Meiriani dan Lisa M. 2017. Respons Pertumbuhan Bud Set Tebu
(Sacharum officinarum L.) Pada Beberapa Umur Bahan Tanam dan
Konsentrasi IBA. Jurnal Agroekoteknologi. 5 (4): 750-755

Singestecia, R. Eko H. Dan Noorocmat I. 2018. Partisipasi Politik Masyarakat


Tionghoa dalam Pemilihan Kepala Daerah di Slawi Kabupaten Tegal. Political
Science Journal. 2 (1): 63-72

Subakti, A. G., Darwin T dan Ari Tuniarso. 2018. Analisis Persepsi Konsumen
(Studi Kasus Molecular Mixology di Loewy, Jakarta). Tourism and Hospitality
Essentials. 8 (1): 31-38

Subiyakto. 2016. Hama Penggerek Tebu Dan Perkembangan Teknik


Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian. 35 (4): 179-186

Suharyanto, Jemmy R., Nyoman N. A., dan Ketut M. 2017. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Persepsi Petani Terhadap Kebijakan Perlindungan Lahan
40
Pertanian Pangan Berkelanjutan di Provinsi Bali. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. 20 (2): 111-124

Syahputra, T., Jufri H. dan Karunia P. A. 2018. Penerapan Data Mining Dalam
Memprediksi Tingkat Kelulusan Uji Kompetensi (UKOM) Bidan Pada STIKes
Senior Medan Dengan Menggunakan Metode Regresi Linier Berganda. Sains
dan Komputer. 17 (1): 1-7

Tanauma, A.R., Welson M. W. dan Elsje P. M. 2019. Persepsi Petani Padi Sawah
Terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Di Desa Tatengesan Kecamatan
Pusomaen Kabupaten Minahasa Tenggara. Agri-Sosio Ekonomi Unsrat. 15 (2):
243-253

Tunjungsari, R. 2014. Analisis Produksi Tebu Di Jawa Tengah. JEJAK. 7(2): 121-
133

Virianita, R., Tatie S., Siti A. dan Anna F. 2019. Persepsi Petani terhadap Dukungan
Pemerintah dalam Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia. 24 (2): 168-177

Wulandari S. A dan Nida K. 2016. Kajian Komoditas Unggulan Sub-sektor


Perkebunan di Provinsi Jambi. Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 16(1):
134-141.

Yuliara, I. M. 2016. Modul Regresi Linier Berganda. Bali: Universitas Udayana

41

Anda mungkin juga menyukai