MAKALAH
diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Perekonomian Indonesia
Disusun oleh:
Kelompok 5
Misnaeni 1203476
BANDUNG
2015
BAB I
PEMBAHASAN
1
(http://www.artikata.com n.d.).
2
(http://www.artikata.com/arti-336486-krisis.html n.d.)
3
(http://docs.google.com n.d.)
1
kerusakan yang disebabkan oleh suatu goncangan eksogen yang dapat menyebabkan
kemerosostan kesejahteraan masyarakatnya.
2
kea rah menurunnya seluruh kegiatan ekonomi dan menurunnya indikator-indikator
makroekonomi.
Menurut teori ini, sebab utama adalah konsumsi yang tidak bisa membengkak terus
sesuai dengan pembengkakan kapasitas produksinya. Maka menurut kelompok teori ini, cara
untuk memperbaiki krisis adalah dengan meningkatkan konsumsi dengan cara memompa atau
menambah daya beli kepada masyarakat, kalau perlu dengan deficit spending. Biasanya yang
menjadi sasarannya adalah pembangunan proyek-proyek prasarana oleh pemerintah. Kalau pola
krisis dan resesi seperti ini, investasi proyek-proyek besar disyukuri.
Para pencetus atau penganut teori ini dengan nuansa dan variasinya masing-masing
adalah Samuelson melalui teori akselerasi dan multiplier. Aftalion dengan memasukkan unsure
gestation period. Hicks, Harrod dan Haberler yang melihat mentoknya unsur manusia sebagai
faktor produksi. Kaldor dan Kalecki yang melihatnya dari segi psikologis, yaitu faktor
kejenuhan manusia, dan Schumpeter yang menjelaskannya dari segi kurangnya inovasi untuk
berinvestasi.
Jadi, jika ditelaah di antara kedua teori tersebut jelas terdapat perbedaan. Dalam teori
overinvestment melihat bahwa cikal bakal krisis muncul selama gelombang pasang sedang
berlangsung, karena kuatnya keinginan untuk investasi, sehingga akhirnya pertumbuhan
investasi ini mentok pada pembiayaannya, yang selalu ditutup oleh kredit bank. Kredit bank ini
ada batasnya, sehingga pada saat pembiayaan oleh bank tersendat, akan terjadi krisis. Oleh
karena itu, kelompok teori ini berpendapat bahwa usaha menghindarkan diri dari krisis harus
dilakukan selama gelombang pasang sedang berjalan. Tidak boleh ditunggu sampai krisis
terjadi. Bahkan banyak penganut teori ini mengatakan bahwa apabila krisis sudah terjadi, kita
tidak dapat berbuat lain kecuali menyerahkan penyembuhannya pada proses alamiah yang
sangat menyakitkan. Artinya, kita tidak dapat berbuat lain kecuali membiarkan resesi ekonomi
sampai mencapai titk balik yang terndah, dan proses gelombang pasang dimulai lagi
berdasarkan titik keseimbangan baru yang teletak pada tingkat “the lower turning point”.
Dalam teori underconsumption, cikal bakal krisis adalah pertumbuhan konsumsi yang
kurang sepadan dengan pertumbuhan kapasitas produksi dari barang-barang konsumsi ini. Oleh
karena itu, penanganan krisis adalah dengan meningkatkan konsumsi setelah krisis terjadi. Jadi,
dalam teori underconsumption, krisis harus diatasi dengan meningkatkan konsumsi. Sedangkan
dalam teori overinvestment, krisis hendaknya diperlunak dengan cara mengurangi konsumsi dan
investasi, agar bisa memperbesar tabungan. Tindakannya pun harus cukup dini selama
glombang pasang masih berlangsung. Alau sudah terlambat, tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali menjalani proses yang sangat menyakitkan. Contoh kecilnya, jika ada mega proyek
dalam bidang property yang biayanya mencapa jumlah puluhan milyar US$. Lalu, proyek ini
sudah dibangun setengah jalan. Kalau akan diteruskan tidak ada uangnya. Dan kalau dihentikan
akan menjadi besi tua. Inilah antara lain yang diartikan sebagai proses menyakitkan.
Namun, karena buku tersebut ditulis pada tahun 1956 maka teoirnya dianggap sudah
kuno, using dan tidak berlaku lagi. Sehingga, Witteveen beserta orang-orang yang mempercayai
teori tersebut dianggap sebagai para ekonom masa lalu atau past tense economist. Sehingga,
muncullah pandangan yang dikenal present time economist yang diungkapkan oleh Paul
Krugman. Ia menulis sebuah artikel pada majalah Time terbitan 21 Juni 1999. Dalam artikel
3
tersebut, Paul Krugman menyatakan baahwa penyebab krisis di Asia semuanya sama, yaitu
karena investor yang kebanyakan bank asing, yang memberikan pinjaman jangka pendek,
sekaligus ramai-ramai menarik kembali modalnya. Bank-bank negara pengutang tidak dapat
menjadikan asetnya ke dalam uang tunai dalam waktu singkat. Maka terjadillah krisis
perbankan. Uang tunai seadanya ramai-ramai dijadikan dollar, sehingga terjadi krisis moneter.
Namun, yang pandangannya ini sekilas mirip dengan teori overinvestment yang digambarkan
oleh past tense economists.
4
(BI 2009)
4
rating yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung
underpricing terhadap resiko dari produk-produk derivatif di atas.
Pada pertengahan 2004, AS mengalami perubahan moneter yang sangat ketat.
Peningkatan suku bunga mulai terjadi dan terus berkembang sampai tahun 2006. Hal tersebut
berdampak pada pasar perumahan AS yang ditandai dengan adanya debitur yang mengalami
gagal bayar. Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah AS.
Akibatnya akan menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan ke
dalam persoalan likuiditas yang sangat besar.
Pengumuman BNP Paribas pada Agustus 2007 secara tiba-tiba memicu krisis
kepercayaan di pasar keuangan global. Sulitnya mendeteksi bank atau institusi mana yang
memiliki aset yang terkait dengan subprime mortgage dari AS menyebabkan munculnya
perilaku menghindar dari resiko (risk aversion) yang berlebihan dari pelaku pasar. Kondisi ini
menyebabkan kekeringan yang sangat parah likuiditas di pasar keuangan global. Dalam
mengatasi masalah tersebut, Federal Reserve (The Fed) dan ECB memberikan likuiditas ke
pasar sebesar masing-masing USD 24 miliar dan € 95 miliar pada Agustus 2007. Selain
menambah likuiditas, The Fed juga mengambil langkah menurunkan suku bunga. Namun
tindakan tersebut tidak mampu meredak gejolak pasar keuangan.
Setelah pengumuman BNP Paribas di Agustus 2007, berturut-turut terungkap kerugian
besar yang dialami bank maupun lembaga-lembaga pada subprime mortgage dari AS. Bank
sentral di negara-negara maju terus berusaha menenangkan pasar. Selanjutnya, laporan kerugian
dari berbagai lembaga keuangan berskala besar terus bermunculan yang dibarengi dengan
kekeringan likuiditas di pasar keuangan berbagai negara, khususnya AS dan Eropa.Akhirnya
pada September 2008 Fanjie Mae dan Freddie Mac, dua lembaga penyalur kredit perumahan
yang menguasai hampir separuh outstanding kredit perumahan di AS juga terkena imbas krisis.
Pada 15 September 2008 Lehman Brothers/ bank investasi dinyatakan bangkrut,
menjadikannya sebagai bank investasi bersar pertama yang benar-benar mengalami keolaps
sejak terjadinya krisis. Sementara itu dampak keuangan telah semakin berimbas pada sektor riil,
angka penjualan eceran di AS dan berbagai negara Eropa tercatat terus menurun. Sementara
angka pengangguran terus bergerak naik. Sejalan dengan kelesuan di sektor riil, perkembangan
harga komoditas dunia juga mengalami penurunan yang signifikan. Kebangkrutan ini segera
meningkatkan intensitas dampak krisis ke seluruh dunia. Hilangnya kepercayaan terhadap
investor dan kreditur pada kemampuan pelaku bisnis untuk memenuhi kewajibannya,
menyebabkan akses pelaku bisnis ke pasar modal dan pasar pembiayaan jangka pendek menjadi
terhambat dan semakin meningkatkan ketidakpastian prospek sektor keuangan dan ekonomi
secara keseluruhan.
Kondisi di atas menyebabkan harga saham yang semakin menurun di bursa saham
seluruh dunia. Selain itu, ketatnya likuiditas dan pelaku risk aversionmendorong terjadinya
realokasi dan rekomposisi struktur aset para pemodal, dari aset yang dipandang beresiko ke aset
yang dianggap lebih aman, yang memicu outflows dari negara-negara emerging markets.
Sebagai akibatnya, yield bond negara-negara berkembang terus meningkat bersamaan dengan
melemahnyan nilai tukar di negara-negara tersebut. Upaya untuk mengatasi hal tersebut,
sejumlah negara menggunakan cadangan devisanya.
5
Menurut (BI 2009)5 krisis global berlangsung sampai pada akhir Januari 2009 Inggris
secara resmi dinyatakan telah memasuki periode resesi menyusul pertumbuhan PDB triwulan
IV-2008 yang kembali negatif pada dua triwulan terakhir. Pada Februari 2009 Senat AS
menyetujui paket penyelematan ekonomi sebesar USD 38 miliar. Pada bulan yang sama US
Treasury mengumumkan paket penyelamatan bank senilai USD 1,5 triliun.Di tengah berbagai
upaya penyelamatan berbagai negara, gelombang kebangkrutan bisnis perbankan maupun
industi yang diikuti dengan pemutusan hubungan kerja dan terus terjai di berbagai belahan
dunia.
6
Sedangkan di Portugal, sejak tahun 1974 pemerintah mencatat pengeluaran besar-
besaran untuk keperluan yang tidak perlu, hal ini bisa dikatakan sebagai pemborosan APBN,
seperti pembayaran pihak-pihak tertentu yang menjadi makelar atau konsultan pada proyek-
proyek pemerintah yang dikerjakan secara bersama-sama dengan pihak swasta. Selama hampir
40 tahun, pemerintah terus saja merekrut PNS hingga mencapai jumlah yang tidak efektif dan
membayar gaji tunjangan yang cukup besar bagi para pejabat tinggi negara, belum termasuk
gaji besar untuk para eksekutif di BUMN. Pemborosan anggaran tersebut sebenarnya sudah
dikritisi oleh publlik Portugal sejak lama, namun pemerintah tidak melakukan tindakan apapun
untuk mencegah terjadinya krisis, hingga akhirnya negara harus menghadapi kemungkinan
terjadinya kebangkrutan pada awal tahun 2011.Ketika Portugal menerima paket bail outdari
IMF, Portugal juga diharuskan untuk menghemat anggaran, salah satunya dengan menghapus
pembagian deviden pada Portugal Telecom (Telkom-nya Portugal). Seperti Irlandia, Moody’s
juga menurunkan rating utang Portugal menjadi junk status. Lebih parah, Moody’s bahkan
memperkirakan bahwa Portugal bisa saja membutuhkan bail out kedua agar negara tersebut
terhindar dari default.
Krisis Eropa merupakan bentuk krisis utang berasal dari Yunani, yang kemudian
menjalar ke Irlandia dan Portugal serta menimbulkan efek domino ke beberapa Negara Uni Erpa
lainnya. Yunani jika dilihat dari kecamata sejarah merupakan negara dengan peradaban yang
sangat berkembang pesat tetapi saat ini ketika melihat Yunani maka yang didapati adalah
sebuah negara dengan corruption perpections index berada pada peringkat 71 dari 180 negara.
Adanya ketidakjujuran pemerintah Yunani yang mengutak-atik nilai pertumbuhan ekonomi
makronya pun merupakan awal jatuhnya perekonomian Yunani dimana pemerintah Yunani
berusaha menutup-nutupi angka defisit negara yang disebabkan oleh banyak kasus penggelapan
pajak, yang diperkirakan telah merugikan negara hingga US$ 20 miliar per tahun.
Krisis ekonomi Eropa bisa dikatakan sebagai krisis euro akhirnya terangkat
dipermukaan sebagai isu yang panas, setelah stimulu krisis Yunani berhasil menarik banyak
perhatian dunia internasional. Bagaimana tidak, jika ternyata rentetan negara tidak mau
ketinggalan mencuat dengan kabar adanya krisis yang terlihat dari bagaimana mereka mencari
dana pinjaman baik dari negara lain maupun juga dari IMF, seperti Italia dan Spanyol, ditambah
indikasi krisis yang diperkirakan dialami oleh Portugis dan Irlandia.
Setelah Yunani, Italia tergolong yang krisinya begitu disoroti dunia internasional,
terlebih dengan adanya ‘skandal’ kegagalan Belusconi yang menyebabkan keterpurukan
ekonomi namun sempat teguh menolak untuk mengundurkan diri. Kegagalan mengentaskan
Yunani dari krisis akan menyeret negara uni Eropa lain ke dalam krisis yang semakin dalam,
yang ternyata tidak anya disebabkan oleh persamaan mata uang. Uni Eropa, yang konon kini
menyisakan tiga negara kuat: Yaitu Belanda, Perancis dan Jerman telah berupaya memberikan
dana talangan, baik teratasnamakan negara maupun komisi Uni Eropa.
7
Pertumbuhan ekonomi pun masih lumayan, dimana pada semester pertama 2011, tercatat 6,5%.
Inflasi aman terkendali di 4,8% per tahun.Kemisikinan di Indonesia pada Maret 2011 hanya
13,3% dari jumlah penduduk. Masalahnya, standar kemiskinan yang di pakai adalah dengan
pengeluaran kurang dari Rp. 263.000 per bulan. Artinya apabila ada orang Indonesia yang
mengeluarkan pengeluaran bulanannya Rp. 300.00, maka dia dianggap sebagai orang kaya. Jika
berdasarkan standar kemiskinan PBB yaitu US$ 2 per hari, maka penduduk miskin di Indonesia
mungkin lebih dari 40%.
Sepanjang April 2012 nilai ekspor Indonesia turun dibandingkan periode yang sama
tahun lalu, sementara impor makin marak. Hal ini menyebabkan neraca perdagangan Indonesia
defisit US$ 641,1 juta. Nilai ekspor IndonesiaUS$ 15,9 miliar, turun 3,46 dibandingkan April
2011 dan turun 7,36 dibandingkan Maret 2012. Baik migas maupun non migas mengalami
penurunan, migas mengalami penurunan 3,56% dari US$ 3,49 miliar di Maret 2012, menjadi
US$ 3,36 miliar. Sedangkan non migas turun dari US$ 13,77 miliar pada Maret menjadi 12,62
miliar. Secara total Januari-April 2012, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 64,5 miliar atau
tetap mengalami kenaikan sebesar 4,31% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Untuk
non migas senilai 51,15 miliar atau naik 2,25% setiap tahun. Ekspor terbesar masih komoditas
bahan bakar mineral untuk April 2012 senilai US$ 9,29 miliar dan lemak serta hewan/ nabati
senilai 7,52 miliar. Negara tujuan ekspor terbesar Indonesia masih didominasi China US$ 7,04
miliar, Jepang US$ 5,74 miliar, dan Amerika Serikat US$ 4,8 miliar. Ekspor non migas ke
ASEAN sebesar US$ 10,36 miliar atau 20,25% dan Uni Eropa sebsar US$ 6,06 miliar.
Sementara untuk impor April 2012, terjadi kenaikan 11,65% dibandingkan April 2011
menjadi US$ 16,62 miliar, atau naik 1,82 dibandingkan Maret 2012. Impor migas menurun
0,59% dari US$ 4 miliar menjai US$ 3,99 miliar, dan non migas naik 2,6% dari US$ 12,32
miliar atau naik 16,18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Untuk impor nin migas,
nilainya US$ 47,86 miliar atau naik 15,79% dibandingkan periode yang sama tahun 2011.
Impor terbesar Indonesia adalah mesin dan peralatan mekanik US$ 8,94 miliar, dan mesin dan
peralatan listrik US$ 6,1 miliar. Impor terbesar dari negara China US$ 9,09 miliar, Jepang US$
7,72 miliar, dan Thailand US$ 3,57 miliar dengan pangsa pasar ketiga tersebut sebesar 42,58%.
ASEAN senilai US$ 10,35 miliar dengan pangsa pasar 21,63 dan Uni Eropa sebesar US$ 4,24
miliar dengan pangsa pasar 8,87%.
8
Sedangkan menurut (Tambunan 2011)8 mengemukakan bahwa daerah yang rentan
terhadap krisis berdasarkan angka kemiskinan di Indonesia menurut provinsi yaitu Papua dan
Papua Barat. Kedua provinsi ini adalah paling miskin di Indonesia, sedangkan DKI Jakarta
dengan berbagai keuntungannya, termasuk sebagai pusat adminispemerintahan dan keuangan,
memiliki paling banyak SDM berkualitas tinggi dan memiliki tingkat kemiskinan terendah.
Adapun tingkat kemiskinan pada tahun 2008 sebesar 35,1% di Papua Barat dan 37,1% di Papua.
8
(Tambunan 2011)
9
(Nezky 2013)
9
Oktober sampai dengan November 2008. Sejalan dengan itu, suku bunga PUAB untuk semua
tenor mengalami kenaikan, terutama pada PUAB dengan tenor di ata O/N.
Sejalan dengan kondisi di pasar uang, nilai tukar Rupiah pada Oktober 2008 juga
engalami pelemahan tajam, dipicu oleh aksi flight to quality dari investor asing ditambah lagi
adanyan konversi protofolio Rupiah ke dollar AS oeh pelaku domestik. Peningkatan risiko
likuiditas seperti yang tercermin di pasar uang antar bank telah memberikan tekanan kepada
kondisi perbankan. Tekanan likuiditas ini muncul tidak saja karena imbas ekonomi global,
namun karena tingginya pertumbuhan kredit sampai dengan Oktober 2008 yang sebagian besar
menggunakan dana secondary reservesdibandingan dengan pembiayaan yang berasal dari
kenaikan dana pihak ketiga. Selain itu, pelemahan nilai tukar Rupiah juga meningkatkan risiko
perbankan. Meskipun mendapat tekanan cukup berat, namun kinerja perbankan sebagai satu
industri masih cukup solid.
Dengan melihat perkembangan sampai akhir Desember 2008, terlihat bahwa dampak
krisis di Indonesia melalui jalur finansial secara langsung lebih banyak ditransmisikan melalui
faktor risk aversion yang memicu flight to quality, selain aksi deleveraging dari investor asing
terkait dengan kesulitan likuiditas global.
10
(Sihono 2008)
10
pada real estate, serta pertumbuhan pasar saham yang terus meningkat sehingga mengakibatkan
masuknya dana luar negeri yang berjangka pendek yang berlebihan . keadaan tersebut
menyebabkan suatu keadaan distress yang kemudian berlanjut menjadi krisis. Krisis tersebut
semula terjadi di sector keuangan- perbankan kemudian melebar menjadi krisis ekonomi dan
meluas menjadi krisis social dan politik. Krisis keuangan atau krisis di asia terus berlangsung,
beberapa studi dan seminar dilakukan untuk memperdebatkan mengenai berbagai aspek dari
permasalahan ini. Menurut Djiwandono11 dalam laporan IMF, World Economics Outlook 1998,
krisis digolongkan menjadi berbagai jenis, yaitu currency crisis, banking crisis, systemic
financial crisis dan foreign debt crisis .
Dari segi timbulnya krisis laporan ini menjelaskan bahwa krisis timbul sebagai akibat dari
gejolak financial dan ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan. Kerawanan
perekonomian bisa terjadi karena unsure-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti
kebijakan makro yang tidak tepat, lemah atau hilangnya kepercayaan terhadap uang dan
lembaga keuangan dan ketidak pastian politik. Kerawanan dapat pula terjadi karena faktor
eksternal seperti keuangan global yang berubah, ketidak seimbangan atau missaligment nilai
tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), perubahan cepat dari sentiment pasar yang meluas
sebagai akibat dari perilaku herd instinct pelaku usaha. Pandangan-pandangan mengenai
penyebab timbulnya krisis menjadi beraneka ragam, yang kemudian digolongkan menjadi dua
kelompok12, yaitu :
Kelompok pertama, menurut paul krugman (ahli ekonomi dari MIT) menyatakan bahwa
sebab utama krisis adalah masalah internal ekonomi nasional, terutama lemahnya lembaga
keuangan (perbankan). Kelompok kedua, Jeffery Sach (ahli ekonomi dari Harvard university)
menyatakan bahwa krisis ekonomi timbul dari perubahan sentiment pasar, masalah eksternal
dari suatu perekonomian nasional, yang diperkuat dengan dampak penularan (contaign effects).
Krisis di indonesia terjadi karena timbulnya gejolak eksternal yang melalui proses
dampak penularan menjadi sistemik melanda ekonomi nasional secara keseluruhan. dengan
struktur ekonomi yang masih lemah pada masa itu indonesia belum mampu menghadapi
perkembangan yang begitu pesat sehingga menimbulkan krisis yang meluas. Krisis ekonomi
moneter manjadi awal penularan kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat indonesia. Proses
penularan ini terjadi karena lemahnya struktur ekonomi, tatanan social hukum dan politik yang
mendorong masalah ini menjadi masalah yang rumit dan menimbulkan krisis ekonomi.
Menurut (Hill 2002)12 ada empat ciri-ciri pra-krisis indonesia yaitu :
1. Pertumbuhan ekonomi kuat pada masa itu dan semua fakta yang ada membuktikan bahwa
semua keuantungan-keuantungan meluas.
Badan Pusat Statistik Indonesia memperkirakan persentase penduduk dalam kemiskinan
berangsur-angsur turun di era 1990-an. Dan 15,5 persen pada tahun 1990 menjadi 13,7
persen pada tahun 1993 dan 11,3 persen pada tahun 1996. Pengaruh kemiskinan yang
menurun terlihat di seluruh propindi di indonesia, baik itu wilayah pedesaan maupun
perkotaan. Kesenjangan antar individu rendah dan perbandingan ini tidak menunjukan
kecenderungan yang menaik. Upah riil naik di setiap sector dimana terdapat data kualitas
12
(Hill 2002)
11
yang baik (manning,1998). Indicator-indikator social lainnya seperti pendaftaran sekolah-
sekolah, konsumsi gizi dan macam-macam indicator tentang status kesehatan, juga terus
membaik selama decade sebelum krisis. Perbandingan-perbandingan internasional
memperkuat hasil-hasil yang baik meskipun mengagarisbawahi kesimpulan bahwa
berdasarkan standar asia timur beberapa indicator social indonesia masih tertinggal.
2. Pertumbuhan ekonomi tampak kuat di dorong oleh faktor tambahan ketimbang
produktivitas faktor total (TFP).
Diantara beragam perhitungan TFP biasanya singapura, bukan indonesia yang terpilih
sebagai contoh utama dari pertumbuhan hebat di asia timur. Beragam perhitungan
menempatkan indonesia pada tingkat pertumbuhan TFP menengah sejak 1960an (chen
1997). Riset detail yang terfokus pada sector industri indonesia mempertegas hasil-hasil ini.
terlebih lagi penelitian terhadap berbagai kecenderungan yang ada telah menunjukan bahwa
pertumbuhan TFP meningkat pesat, dengan pertumbuhan lebih lambat selama era substitusi
impor yang didanai migas tahun 1970an. Dan membuka jalan pada peningkatan periode
deregulasi pada tahun 1980an. Aswicahyono (1998) menyimpulkan bahwa TFP pabrik non-
migas tumbuh 1,1 persen per tahun 1976-1980, 5,5 persen pertahun 1984-1988 dan 6 persen
pertahun 1989-1993. Timmer (1999) juga menyimpulkan bahwa TFP tumbuh secara kuat
setelah 1985, melewati periode tahun akhir lebih dari dua kali disbanding tahun 1975-1985,
dengan pertumbuhan yang tinggi terutama diawal tahun deregulasi 1986-1990.
3. Pergolakan politik yang meningkat dan ketidakpastian politik
selama periode sebelum krisis sampai pertengahan 1997 tidak ada pengaruh yang terlihat
pada bidang ekonomi atau indicator keuangan lainnya. Tahun 1996-1997 adalah keadaan
politik yang paing tidak stabil sejak 1967. (forrester dan may, 1998) tahun 1996 partai
demokrasi indonesia (PDI), sebuah partai oposisi menjadi menjadi subyek rekayasa kasar
guna menjamin agar pimpinannya mendukung rezim Soeharto, sedangkan para penentang
yang lebih mudan dan lebih radikal dipenjara dalam waktu yang lama. Ditahun 1996 akhir
dan 1997, awal satu seri insiden-insiden kekerasan dengan unsure etnik yang sengit terjadi
di beberapa kota di jawa. Kerusuhan meningkat di pertengahan smester pertama di tahun
1997, antara lain di kalimatan dengan konflik etnik yang sangat kejam antara penduduk asli
suku dayak dengan imigran Madura (dan terjadi lagi pada skala yang lebih mengerikan
bulan maret 1999). Pada bulan mei 1997 kampanye pemilu untuk memilih anggota DPR
diadakan, juga terjadi dengan latar belakang kekerasan yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Kemudian di pertengahan tahun, kebakaran hutan yang terburuk terjadi
dikarenakan oleh penebangan hutan yang sembarangan, musim panas yang panjang serta
pengawasan pengaturan yang lemah. Asapnya yang melanda sumatera dan Kalimantan juga
mengganggu beberapa bagian dari Malaysia dan singapura. Peristiwa-peristiwa politik ini
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap situasi perekonomian sampai pertengahan
1997. Pendapatan kapital terus naik, pasar saham meningkat, rupiah terus melaju pesat
melewati batas rendah garis intervensi, kurs mata uang dengan cepat dengan cepat menuju
batas bawah baru . meski ada banyak muncul ketidakpuasan, kebencian yang meluas
terhadap bisnis-bisnis anak soeharto, dan rasa frustasi karena tidak terwujudnya
12
keterbukaan politik awal 1990an, namun protes-protes politik tampak berkurang setelah
pemilu bulan juli dan soeharto kembali memegang kekuasaan.
4. Semua indicator ekonomi dan financial yang ada terlihat meningkat dan menunjukan situasi
pra-krisis yang baik.
Kebijakan fiscal adalah konservatif dimana anggaran berimbang dan berlaku selama 30
tahun, inflasi hanyalah 1 digit. Hutang luar negeri pada perbandingan GDP secara berangsur
menurun dan lebih rendah ketimbang periode penyesuaian pada pertengahan tahun 1980an,
defisit keuangan tampak dapat diatur. Pada indokator-indikator bisnis menunjukan
perbaiakan, dimana investasi dan tabungan naik, ICOR indonesia stabil pada 1990an, akhir
1996 dan 1997 tidak tercatat kehilangan antusiasme dari investor pada rupiah atau pasar
saham. Tingkat kesehatan perusahaan-perusahaan tampak memuaskan, industri bangunan
dan pasaran rumahan tampak tumbuh pesat. Diperkuat dengan perbangdingan-perbandingan
internasional (World Competitiveness Report) menempatkan posisi indonesia agak rendah
disbanding dengan ekonomi OECD. Tetapi diantara pasar-pasar yang baru muncul
indonesia diasumsikan pada posisi menengah dan termasuk Negara yang sedang
berkembang yang substansial. Kemusian proses pendalaman financial kelihatan maju,
kemampuan Bank Indonesia dalam menyusun peraturan kebijakan meningkat. Pada neraca
pembayaran terihat bahwa nilai tukar secara berangsur diperlonggar karena bank indonesia
memperbesar intervensinya, cadangan devisa meningkat, pertumbuhan ekspor menunjukan
fluktuasi besar dari tahun ke tahun tetapi tidak ada penurunan mendadak di tahun 1995 dan
1996.
Dari paparan ciri-ciri pra krisis di atas membuktikan bahwa tidak adanya tanda-tanda
krisis yang akan datang baik itu ekonomi, keuangan, social maupun politik sampai juli 1997
yang kemudian diikuti dengan krisis yang lebih hebat dibandingkan dengan krisis di negara
tetangga. Ini menjadi salah satu pembeda krisis indonesia dengan krisis di Negara lainnya di
asia timur dan afrika.
13
tanda krisis yang akan datang hingga pada pertengahan 1997 indonesia mulai di landa krisis
yang hebat.
Menurut (Djiwandono, Bergulat dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia
2005) Krisis di indonesia dimulai dari dampak penularan, dimana rupiah tertekan di pasar mata
uang mengikuti apa yang terjadi di Negara tetangga, dimulai dari depresiasi yang dramatis dari
bath Thailand pada awal juli 1997. Akan tetapi dengan kebijakan yang di lakukan tentang
kebijakan kurs intervensi BI dan pengambangbebasan rupiah, disertai intervensi pada pasar
valas serta pengetatan likuiditas ternyata kemudian terjadi proses deterioriasi keadaan
(downward spiral) melalui proses penularan, sehingga masalah yang awalnya berbentuk gejolak
kurs rupiah kemudian menjalar menjadi masalah rupiah yang tertekan (distress), karena masih
lemahnya sector ini. ketidak percayaan terhadap rupiah kemudian menjalar menjadi ketidak
percayaan terhadap perbankan yang mendorong timbulnya krisis perbankan. Pada puncak dari
krisis perbankan, bank-bank tidak hanya ditinggalkan deposan dan penabung, akan tetapi juga
oleh bank-bank lain. Pasar uang antar bank menjadi tersekat-sekat, terganggu jalannya. Bank-
bank usaha diluar negeri juga ikut meninggalkan dengan melakukan penolakan terhadap L/C
yang di keluarkan bank-bank nasional.
Krisis perbankan kemudian cepat menjalar kepada nasabah mereka, melalui
peningkatan suku bunga pinjaman dan pembatasan pemberian kresit. Sehingga masalah sector
keuangan langsung berpengaruh negative pada sector riil, baik bagian konsumsi, produksi,
perdagangan maupun investasi. Dalam proses tersebut secara cepat krisis keuangan menjalar
menjadi krisis ekonomi dan social. Perusahaan-perusahaan yang tidak memperoleh pinjaman
bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya. Akhirnya semua itu menimbulkan krisis
dalam kehidupan politik dan memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan yang
berkepanjangan. Perkembangan terjadinya krisis secara kronologis sejak awal juli 1997, sebagai
berikut :
1. Nilai tukar rupiah terhadap USD mulai tertekan setelah terjadi hal yang serupa terhadap
bath Thailand yang diikuti dengan pengambangan bath tanggal 2 juli 1997 dan peso
Filipina 11 juli 1997.
2. Dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8% menjadi 12% pada 11 juli 1997.
Setelah dilakukan pelebaran sebanyak enam kali sejak 1994. Ringgit Malaysia
diambangkan 14 juli 1997.
3. Dilakukan penghapusan rentang kurs intervensi atau pengembang bebasan rupiah pada
tanggal 14 agustus 1997.
4. Dilakukan intervensi pada pasar valas untuk menghadapi tekanan yang timbul baik
setelah pelebaran kurs intervensi maupun setelah 14 agustus 1997.
5. Dilakukan langkah –langkah pengetatan likuiditas untuk mendukung upaya
mempertahankan kurs yang antara lain dilakukan dengan intervensi pengetatan
likuiditas dilaksanakan melalui kebijakan moneter dn fiscal dengan berbagai bentuknya,
seperti penundaan pengeluaran anggaran, peningkatan suku bunga SBI sampai dua kali
lipat dan pengubahan deposito milik BUMN ke dalam SBI.
6. Langkah-langkah kebijakan makro dan sektoral 3 september 1997, suatu program
ekonomi yang dapat disebutkan sebagai self imposed IMF program.
14
7. Keputusan untuk meminta bantuan IMF, awal oktober 1997.
8. Perundingan dengan IMF yang menghasilkan letter of intent pertama, 31 oktober 1997,
dari precautionary menjadi stand by arrangement. Program yang akan
diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan nilai tukar rupiah,
langkah-langkah fiscal, restrukturisasi perbankan dan restrukturisasi sector riil.
9. Kebijakan pencabutan ijin usaha 16 bank pada tanggal 1 november 1997dan dampak
negative yang ditimbulkan.
10. Pencairan pinjaman pertama USD 10 milyar, sebagai bagian dari paket penyediaan dana
sebesar USD 43 milyar.
11. Intervensi pasar valas bersama jepang dan singapura yang berhasil, tetapi hanya
sebentar.
12. Implementasi program dengan dukungan IMF yang kurang lancar, tampak dari
ketidakjelasan pelaksanaan rencana pembangunan proyek-proyek pemerintah yang
semula ditunda, penuntunan menkeu dan Gubernur BI oleh pemilik bank Jakarta dan
bank Anromeda ke PTUN, serta pelaksanaan kebijakan moneter yang yang kurang baik
sehingga timbul reaksi pasar yang negative.
13. Reaksi pasar sangat negative terhadap pengumuman RAPBN pemerintah yang tidak
realistis.
14. Proses terjasinya letter of intent yang kedua, 15 januari 1998, didahului dengan desakan
G7.
15. Reaksi pasar yang negative terhadap berita mengenai pencalonan prof.B.J.Habibie
sebagai wapres.
16. Pembentukan DPK-EKU, pengankatan deputi MD IMF, Mr.Prabhakar Nverkar menjadi
penghubung langsung antara presiden RI dengan MD IMF M.Camdessus, dan
pengangkatan Prof. Steve Hanke sebagai penasehat DPK-EKU.
17. Langkah pemulaan pemberian status independen kepada BI dengan dikeluarkannya
kepres yang memberikan wewenang ke BI untuk menentukan sendiri tingkat suku
bunga, 21 januari 1998.
18. Pelaksanaan restrukturisasi perbankan dengan memberikan jaminan terhadap semua
deposito, giro, tabungan, dan pinjaman bank-bank komersial nasional (blanket
guarante). Dan pendirian BPPN tanggal 26 januari 1998.
19. Heboh CBS, usulan Steve Hanke dan implikasi yang ditimbulkan.
20. Pemberhentian J.Soedrajat Djiwandono sebagai gubernur BI, kurang dari 1 bulan
sebelum selesai masa jabatannya diganti dengan Dr.Syahril Sabirin.
21. Perundingan pemerintah dengan IMF yang menghasilkan “memorandum tambahan
tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan” , ditandatangani oleh Menko Ekuin 9
april 1998.
22. Keputusan BPPN membekukan 7 bank serta melaksanakan pengawasan intensif
terhadap 7 bank lain, April 1998.
23. Pencairan pinjaman tahap kedua sebesar 1 USD milyar.
15
24. Pertengahan mei 1998, kerusuhan di Jakarta dan berbagai kota setelah terjasi
demonstrasi terus-menerus, dimana terjadi banyak korban jiwa, harta dan pemerkosaan.
Rupiah mengalami depresiasi drastic dan terjadi penarikan dana deposan besar-besaran.
25. Lengsernya presiden soeharto setelah 32 tahun berkuasa dan digantikan oleh
B.J.Habibie pada 1 mei 1998.
26. Pengumuman cabinet reformasi dan pemberian status independen kepada BI dengan
menempatkan kedudukan gubernur BI diluar kabinet. (Djiwandono, Bergulat dengan
Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia 2005)
13
(Basri 2002)
16
1. 60 persen utang luar negeri adalah utang sektor public, yakni utang pemerintah 52
persen, bank pemerintah sebesar 3,24 persen dan BUMN sebesar 4,13 persen.
2. proporsi sector swasta cukup besar terhadap total utang luar negeri sebesar 40,5 persen.
Proporsi utang tersebar adalah dari perusahaan swasta penanaman modal asing (19,3
persen) dan perusahaan swasta PMDN (10 persen). Utang seasta yang besar
proporsinya ini karena optimism yang berlebihan akan prospek investasi, selain karena
banyak bidang-bidang usaha yang digeluti merupakan bidang usaha yang
mengharapkan rente ekonomi bukan keuantungan atas dasar efisiensi produksi atau
inovasi.
3. utang pemerintah terbesar berasal dari utang multilateral (21,2 persen) utang bilateral
(17,2) seta kresit ekspor (10,8 persen). Perjanjian utang-utang jenis ini banyak
dipengaruhi pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan rasional ekonomi.
Pemberian utang lembaga-lembaga multirateral atau utang bilateral pada masa-masa
awal pemerintahan orde baru sebetulnya didorong oleh suasana perang dingin.
Kemudian pemberian utang lebih didorong oleh kepentingan Negara-negara pemberi
utang untuk meningkatnka permintaan terhadap perekonomian domestiknya tanpa
mempertimbangkan dengan baik kebutuhan Negara penerima.
Table 1
17
orang asing
catatan :
1) termasuk dari IMF sebesar US$ 10 miliar
2) termasuk US$256 juta SBI yang dimiliki orang asing
sumber : Bank Indonesia, dikutip dari Jeffery A. Winters (Basri 2002)
1994/1995-2000/a
1994/ 1995/ 1996/ 1997/ 1998/ 1999/
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2000
64,42 70,85 87,63 107,9 146,87 181,04
1. Domestic Revenue 1 2 0 6 2 1 152,29
32,13 35,20 44,97 75,23 115,27 173,69 155,42
2. Current Expenditure 7 1 2 2 2 5 5
32,27 35,65 42,65 32,73
3. Government Saving 6 1 8 3 31,600 7,346 -2,528
28,43 27,20 32,92 36,31
4. Development Expenditure 0 1 8 1 52,824 51,560 41,606
- - -
Balance 3,846 8,450 9,730 3,578 21,224 44,214 -44,13
finace by :
18
sumber : menteri keuangan (dalam faisal
basri.2002)
Pembayaran cicilan utang, baik utang dalam negeri maupuan utang luar negeri memiliki
proporsi yang besar dalam APBN. Beban pembayaran cicilan dan bunga utang ini mencapai
sekitar 26 persen pada tahun anggaran 1998/1999, 20 persen (1999/2000), 28 persen (2000) dan
26 persen (2001). Secara nominalpun meningkat sangat tajam, apabila ditambah dengan beban
bunga obligasi untuk rekapitalisasi perbankan (Basri 2002). Secara tidak langsung masyarakat
terkena dampak dengan berkurangnnya proporsi pengeluaran untuk pos-pos yang berkaitan
dengan kesejahteraan masyarakat. Apabila pembayaran utang dan bunga semakin besar
proporinya maka akan mengakibatkan mengecilnya proporsi alokasi anggaran pembangunan,
gaji pegawai negeri semakin kecil proporsinya, pencabutan berbagai macam subsidi listrikn dan
bahan bakar minyak walaupun subsidi tersebut memang salah target. Sesungguhnya masyarakat
yang dibebankan atas besarnya beban utang pemerintah melalui pajak yang di tarik dari
masyarakat. Pajak pada dasarnya adalah pembayaran tidak langsung atas jasa-jasa yang telah
diberikan oleh pemerintah seperti penyediaan barang public yaitu jalan atau jasa keamanan yang
disediakan tentara atau polisi.
19
pemilihan umum pertama pada era sesudah kejatuhan Soeharto yang dilaksanakan bulan juni
1999.
Lembaga Multilateral lain yang turut serta mempercepat akumulasi utang indonesia
adalah IMF terutama pada dua tahun terakhir selama berlangsungnya krisis ekonomi indonesia.
Peran IMF tersebut tidak terlepas dari kepentingan IMF sendiri sebagai begara multilateral dan
negara-negara pemegang saham terbesar. Selama 30 tahun 1969-1999 jumlah pinjaman
indonesia dari Bank dunia hampir mencapai USD 27 miliar atau rata-rata mencapai USD 900
juta pertahun. Saat memasuki masa krisis indonesia mulai mengalami kesulitan likuiditas yang
nyata baik bagi pihak swasta maupun pihak pemerintah. Sehingga berakibat pada penambahan
utang indonesia kepada IMF menjadi sebesar USD 43 miliar. Upaya yang salah dalam
pemulihan ekonomi mengakibatkan krisis yang semakin dalam dan pada akhirnya memerlukan
dana (utang baru) sehingga akumulasi utang bertambah besar. Kesalahan yang dibuat IMF
dalam melakukan terapi adalah meminta Negara yang terkena krisis menghindari kebijakan
anggaran defisit dengan cara menaikan pajak dan menurunkan anggaran belanja. Selain itu IMF
juga mengharuskan Negara yang terkena krisis menerapkan kebijakan moneter kontradiktif
yang mengakibatkan suku bunga di indonesia melambung hingga mencapai 60 persen.
Ditambah dengan program penutupan bank yang tidak transparan membuat kepanikan luar biasa
mengakibatkan bank-bank kolabs dan kesulitan likuiditas.
20
terpuruk, semakin sulit mendapat kepercayaan pelaku pasar modal, baik di pasar di Amerika
maupun di kawasan ekonomi dunia.
Sejak awal Maret 2008, telah terjadi lonjakan angka kerugian yang dialami bank bank
investasi dunia yang ditaksir mencapai US $160 miliar, para analis moneter memperkirakan
angka kerugian bisa mencapai lebih dari US $1 triliun. Masalah ini berawal turunnya pasar
perumahan pada tahun 2006, karena kenaikan suku bunga ke angka tertinggi 5,25 persen.
Kenaikan suku bunga ini menyebabkan repayment pinjaman rumah lebih mahal, memicu
penunggakan pembayaran dalam jumlah besar, dan menjadi ancaman kredit macet. Menurut
George Soro14, krisis finansial saat ini adalah yang terburuk semenjak depresi besar tahan 1929,
dan krisis ini menuju pada titik nadir (paling rendah). Amerika Serikat pada akhir tahun 2007
menyampaikan warning bahwa perekonomiaan Amerika serikat akan melamban sebelum akhir
tahun 2008, karena krisis kredit perumahan yang mempersulit sektor financial.
Gejala-gejala lain yang disandang Amerika Serikat yang sedang dilanda krisis antara lain:
1. turunnya industri konstruksi, manufaktur, jasa dan pasar properti minus 24% (tahun
2007), dan 4,6% (tahun 2009)
2. penurunan tingkat konsumsi tahun 2007 41,3% dan tahun 2009 36,9%
3. turunnya indeks kepercayaan konsumen (IKK) tahun 2007 90,6 tahun 2008 87,9 dan
tahun 2009 turun drastis ke 26,0
4. jatuhnya harga saham/sekuritas dan melemahnya pasar barang dan jasa
5. meningkatnya inflasi ( 4,3%) dan pengangguran (5%) pada Januari 2008
6. pertumbuhan ekonomi menurun ke arah 1% bahkan mendekati minus
7. modal perbankan terus tertekan, dan credit crunch (kredit tersumbat)
8. pasar properti turun minus 24,4% pada tahun 2008, dan tahun 2009 4,6%
9. lonjakan harga minyak (awal tahun 2008 US$110 per barel). (Sihono, Krisis Finansial
Amerika Serikat dan Perekonomian Indonesia 2008)
Semenjak kenaikan harga minyak dunia yang menembus kisaran US $110 perbarel pada
awal tahun 2008 yang menggoncangkan stabilitas ekonomi makro di banyak negara, dengan
kenaikan inflasi dan pengeluaran negara untuk kepentingan subsidi. Sementara Indonesia yang
kondisi ekonomi makronya relatif baik dalam tiga tahun terakhir sebelum krisis harus
melakukan penyesuaian anggaran. Konsumsi BBM di dalam negeri yang terus meningkat
hingga mencapai 1,3 juta barel per hari, dan pergeseran angka subsidi BBM dan listrik yang
semakin membebani APBN,hal ini nyaris menghabiskan seperempat alokasi anggaran APBN.
Kenaikan BBM dan tarif Listrik serta ancaman inflasi dapat berakibat fatal bagi perekonomian
rakyat, tingkat kemiskinan terancam terus meningkat. Mensikapi hal ini pemerintah menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi, stabilisasi makro dan sikap perhatian kepada rakyat,
(mempertahankan subsidi baik BBM, Listrik, BLT, dan lain sebagainya), dan kebijaksanaan
fiskal/pemotongan anggaran untuk jangka pendek.
Berikut adalah gambaran dari keadaan perekonomian Indonesia pada krisis ekonomi tahun 2008
(Sihono, Krisis Finansial Amerika Serikat dan Perekonomian Indonesia 2008) :
14
(Sihono, Krisis Finansial Amerika Serikat dan Perekonomian Indonesia 2008)
21
1. Resesi Amerika Serikat yang menghantam Bursa di Wall Street New York menyeret
jatuh IHSG. Karena sentiment negatif bursa Ameika Serikat dan regional sangat cepat
menyusupi para investor, harga komoditas yang merosot membuat harga saham-saham
komoditas merosot pula. Tahun 2007 penggerak indeks saham hanya tiga : CPO,
batubara dan nikel, (d) risiko lain yang menghadang bursa Jakarta yang berganti nama
Bursa Efek Indonesia (BEI) akhir tahun 2007 adalah harga minyak. Hal ini berefek
negatif terhadap anggaran, mata uang, margin perusahaan, petumbuhan ekonomi, inflasi
dan neraca pembayaran.
2. Mengenai ancaman resesi ekonomi Amerika Serikat, diperkirakan tidak banyak
berpengaruh pada investasi di Indonesia, mengingat ekonomi Indonesia di dominasi
oleh ekonomi lokal. Perdagangan hanya memberikan kontribusi terhadap PDB antar
24% - 26%, dan hampir 60% komoditas industri dikonsumsi untuk dalam negeri.
Namun secara keseluruhan diperkirakan sedikit akan mempengaruhi Indonesia. Dalam
menghadapi produk-produk China yang bersenjatakan “dumping” ke kawasan Asia
Tenggara, Indonesia harus mampu memproteksi industri dalam negeri, terutama dengan
mekanisme pasar yang baik.
3. Gejolak ekonomi global berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, namun tidak
mengkhawatirkan, mengingat pangsa pasar ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya
13%. perekonomian Indonesia relatif aman walaupun harga minyak dunia mengalami
kenaikan.
4. Kesiapan Indonesia dalam menghadapi masa krisis pangan telah membaik, suatu
pertanda kebangkitan pertanian Indonesia mulai menemukan momentumnya. Pada
tahun 2007 produksi padi naik 4,76% merupakan rekor dalam 15 tahun terakhir,
produksi jagung naik 14,5% dan berbagai komoditas lainnya naik 5%, kecuali kedelai.
Pada tahun 2007 PDB pertanian naik 4,3%, biasanya hanya naik 3% dan ini suatu
prestasi yang langka. Investasi pertanian naik 56,15% (PMDN) dan PMA naik 48,67%
per tahun. Pada tahun 2007 sektor pertanian penyumbang terbesar pada pertumbuhan
ekonomi nasional yang pada kuartal ketiga mencapai 6,5%. Data tersebut menjawab
berbagai isu negatif yang menyorot wajah pembangunan pertanian Indonesia dan
membuka optimistik dalam menyongsong era kebangkitan pertanian Indonesia.
5. Konsolidasi fiscal yang dilakukan menghadapi beban berat berupa: hutang publik yang
tinggi, subsidi yang semakin meningkat (terutama BBM), penerimaan pajak yang
kurang optimal, kenaikan harga minyak dunia yang diikuti penurunan kurs rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat, kenaikan BI rate, yang semakin menambah beban
APBN.
6. Penghapusan subsidi BBM diganti dengan “cash on hand” transfer” langsung dalam
bentuk: biaya sekolah, biaya kesehatan, tunjangan lauk-pauk, perbaikan gizi, dan yang
lain guna memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Hal ini berdampak inflasi, namun
masyarakat akan terbiasa mengikuti harga pasar.
7. Kebijakan pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke elpiji, bertujuan
mengurangi subsidi, dan ingin tetap mempertahankan subsidi, serta sebagai upaya
melepaskan ketergantungan terhadap minyak.
22
8. Melonjaknya harga komoditas pertambangan dan energi (minyak, gas, batu bara, nikel,
kelapa sawit, dan karet) di pasar internasional membuat margin di sector tersebut
meningkat tajam, maka sektor pertambangan dan perkebunan menjadi primadona
perbankan. Bank-bank BUMN didorong lebih aktif dalam penyaluran kredit ke sektor
produktif, termasuk sektor infrastruktur.
9. Mendorong peningkatan ekspor nonmigas secara keseluruhan. Indonesia punya peluang
besar untuk memacu ekspor ke China dan India, sejalan dengan masih kuatnya
permintaan komoditas tambang. Penurunan Fed funds rate ke level 3%, direspon oleh
Bank Indonesia dengan tetap mempertahankan BI rate pada tingkat 8%, yang
menyebabkan derasnya capital in flow ke Indonesia pada triwulan ke tiga mencapai
US$1,3 miliar. Kebijakan ini positif jika dilihat dari upaya mengurangi tekanan inflasi
yang disebabkan oleh imported inflation. Suku bunga yang tinggi efektif untuk
mengurangi tekanan inflasi, tetapi tidak memfasilitasi pergerakan sektor real domestik.
Cadangan devisa naik menjadi US$55 miliar, naiknya harga komoditas minyak, batu
bara, nikel, karet, timah, emas, dan CPO, menunjukkan membaiknya para emiten di
sektor tersebut. Penanaman modal asing di sektor real, foreign direct investment (FDI)
naik dari awal Januari 2007 sebesar Rp 53,79 triliun menjadi Rp 91,81 triliun pada
November 2007.
10. Kesiapan Indonesia telah dilakukan dalam tiga tahun terakhir berupa penurunan suku
bunga. Kondisi kondusif telah banyak membawa hasil positif pada permintan agregat
dan struktur penyaluran kredit yang meningkat 25%, dan telah menggerakkan sector
real, serta meningkatkan penerimaan pajak. Penghasilan devisa dari ekspor, tidak
tergantung ekspor terhadap negara maju seperti; Amerika Serikat, Jepang, Eropa dan
yang lain, karena kontribusinya hanya sekitar 7% terhadap PDB. Multiplier effect dari
merosotnya pertumbuhan ekonomi negara-negara maju berpotensi membawa dampak
pada sirkulasi ekonomi kawasan Asia. Turunnya ekspor kawasan Asia ke negara-negara
maju, akan berpengaruh juga pada pertumbuhan ekonomi kawasan Asia. Untuk
mengantisipasi penurunan ekspor, perlu dijaga eksistensi pasar domestik dalam negeri
agar tidak terdistorsi oleh membanjirnya produk dumping dari negara-negara Asia yang
melakukan crash program, dalam mengalihkan alokasi ekspor dari negara maju ke
negara berkembang.
11. Gejolak naiknya harga minyak berdampak pada kebijakan yang dilakukan, yaitu suku
bunga sulit diturunkan karena ancaman inflasi. Padahal sektor real sangat
mengharapkan Bank Indonesia menurunkan suku bunga, agar dapat menggeliat dan
berkembang. Kondisi inflasi yang tinggi sulit untuk menurunkan suku bunga, sementara
pertumbuhan kredit sudah sangat tinggi (22%). Pertumbuhan kredit yang tinggi jika
tidak diikuti dengan kenaikan suku bunga akan menimbulkan persoalan baru. Sehingga
pemerintah mempertahankan tingkat suku bunga pada saat itu
23
terutama sejak reformasi ekonomi di[pengaruhi liberalisasi di sejumlah bidang. Sehingga
perekonomian Indonesia semakin terintegrasi ke ekonomi dunia
2. Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditi primer yang terdiri dari pertambangan
dan pertanian. Sehingga, ketika terjadi ketidakstabilan permintaan dunia terhadap komoditi
tersebut menyebabkan perekonomian Indonesia rentan terhadap goncangan terhadap harga-
harga komoditi tersebut.
3. Dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, negara Indonesia sangat tergantung pada impor.
Sehingga, ketika terjadi ketidakstabilan atau kenaikan harga-harga produk makanan pada
pasar internsional akan memberikan efek negatif bagi Indonesia. Ketika pengeluiaran
minimum rumah tangga terkena dampak negatif harga, hal tersebut akan mengancam
keamana pangan yang berujung pada kerusuhan sosial dan kejatuhan kabinet.
4. Indonesia adalah salah satu negara yang banyak mengirim TKI ke luar negeri. Ketika terjadi
krisis di negara penerima TKI, maka hal tersebut secara langsung akan berdampak negative
pada penghasilan yang diperoleh TKI dan terancam adanya pemutusan kerja.
5. Indonesia adalah negara agraris dengan kebutuhan konsumsi makanan domestic yang
tinggi, sehingga sektor pertanian dalam negeri menjadi sangat krusial dan dipengaruhi
beberapa faktor terutama faktor cuaca. Seperti fenomena elnino yang sering menyebabkan
kegagalan panen sehingga akan menyebabkan ketahanan pangan Indonesia terancam yang
dapat berakibat buruk pada indikator-indokator ekonomi lainnya seperti tingginya nilai
inflasi dll.
1.6 Strategi Dan Kebijakan Menghadapi Resesi, Krisis Dan Kerentanan Ekonomi
Indonesia
1.6.1 Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal memainkan peranan yang sangat besar dalam upaya penyehatan
perbankan dalam periode april 1998 sampai oktober 1999. Langkah utama yang dilaksanakan
diantaranya penutupan bank-bank yang tidak sehat (dengan tingkat kecukupan modal kurang
dari negative 25%), penambahan modal bank sehingga tingkat kecukupan modalnya menjadi
4%, serta penerbitan surat utang pemerintah (Subianto 2005). Sebagaimana telah diketahui surat
utang pemerintah yang secara keseluruhan berjumlah sekitar Rp 650 triliun diterbitkan untuk 3
tujuan15 . pertama adalah mengganti kewajiban bank yang ditutup, kedua menambah modal
bank, dan ketiga adalah sebagai pembayaran tagihan Bank Indonesia sehubungan dengan
adanya BLBI. Kebijakan atau langkah-langkah ini apabila dilakukan pada situasi yang normal
dianggap tidak lazim karena dilakukan oleh otoritas fiscal. Hakikatnya pada situasi
perekonomian yang normal kebijakan-kebijakan terkait perbankan dilakukan oleh pihak yang
berwenang dalam hal ini adalah Bank Indonesia.
Ketidaklaziman tersebut membuat otoritas fiscal perlu menjalankan peranan yang
sedemikian besar untuk mengatasi krisis moneter ini, terlebih karena semua upaya tersebut
harus dipikul oleh APBN. Dalam hal ini membuat otoritas fiscal terlalu terfokus pada upaya
penyehatan perbankan sehingga dianggap kurang memperhatikan fungsi fiscal dalam
mendukung sisi permintaan. Kemudian sisi pengeluaran APBN terjadi pengetatan tetapi di
masyarakat terdapat gejala peningkatan konsumsi terutama pada tahun 1999 yang disebabkan
15
(Subianto 2005)
24
oleh besarnya pengahasilan tambahan yang diterima masyarakat dari bunga tabungan dan
deposito. Bunga tabungan dan deposito yang dikonsumsi masyarakat itu sesungguhnya dibiayai
oleh Negara. Dananya memang dari perbankan tetapi bebannya diteruskan oleh Negara melalui
proses rekapitalisasi perbankan dan penerbitan obligasi. Dari segi pengelolaan keuangan
Negara, pemerintah menerbitkan obligasi (surat utang pemerintah) tahun 1998.
Beberapa kebijakan dilakukan dalam merespon anjloknya nilai rupiah agar nilai rupiah
dapat tertolong dan untuk mengembalikan kepercayaan pasar dan para investor terhadap
indonesia. kebijakan yang dimaksud adalah16 :
1. Kontraksi rupiah secara besar-besaran melalui kebijakan fiscal (APBN) dengan cara
menekan pengeluaran dan menunda pembayaran-pembayaran yang tidak mendesak.
2. Bank Indonesia meningkatkan suku bunga hingga suku bunga SBI mencapai 70%
dengan maksud membatasi ekspansi kredit perbankan dan menarik uang yang beredar
dari sistem perbankan yang di konversikan kedalam SBI pada Bank Indonesia.
3. Bank Indonesia melakukan intervensi pasar dengan menjual dolar pada saat diperlukan
jika rupiah menunjukan tanda-tanda penurunan yang benar-benar menghawatirkan.
4. Indonesia bersama dengan jepang dan singapura melakukan intervensi pasar bersama
untuk memperkuat nilai rupiah dengan cara bank sentral jepang dan otoritas moneter
singapura membeli rupiah di pasar.
5. Deposito berjangka yang berjumlah besar milik BUMN yang ditempatkan pada
berbagai perbankan untuk sementara waktu di konversikan pada SBI dan kemudian
dilepaskan secara berangsur-angsur.
6. Pembatalan dan penundaan berbagai mega proyek pemerintah guna memperketat
pengeluaran melalui APBN serta mengurangi laju impor barang agar cadangan devisa
tidak semakin terkuras
Berikut beberapa saran IMF17 :
Pada Maret 1999 IMF memberikan saran untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan
menerapkan kebijakan uang ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan
terhadap kebijakan ekonomi,dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas
dengan petunjuk IMF. Namun saran IMF ini tidak memecahkan permasalahan yang utama dan
yang paling mendesak secara langsung.
Kemudian IMF menyarankan untuk menghentikan dengan segera perlakuan
pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN, karena dalam
jangka pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal, anggaran
dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang
kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun. Subsidi listrik relatif lebih
mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silang sehingga masyarakat berpenghasilan
rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya
penagihan yang lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara
drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat luas
16
(Muhammad 2005)
17
(Wahyun 2015)
25
terhadap perekonomian rakyat kecil,meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan
dengan adanya jaringan keselamatan social.
Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa
diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan
rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi saat itu hampir tidak ada peluang
untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan
diturunkan secara berarti. Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan
dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah. Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang
tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan yang
pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru
menghitung besarnya subsidi.
26
DAFTAR PUSTAKA
BI. Bank Indonesia. Januari 2009. http://www.bi.go.id (accessed September 15, 2015).
Gunawan, Iwan. "Krisis Ekonomi Eropa dan Dampaknya Bagi Indonesia." Jurnal Online
Westphalia 11 (tt): 63.
Muhammad, Mar'ie. "Kebijakan Fiskal di Masa krisis 1997." In Pemikiran dan Permasalahan
Ekonomi Indonesia dalam Setengah Abad terakhir, by Hadi Soesastro, Aida Budiman,
Ninasapti Triaswati, Arminda Alisjahbana and Sri Adiningsih, 335-338. Yogyakarta: Kanisius,
2005.
Nezky, Mita. "Pengaruh Krisis Ekonomi Amerika Serikat Terhadap Bursa Saham dan
Perdagangan Indonesia." Depok, 2013, 101.
Sihono, Teguh. "Krisis Finansial Amerika Serikat dan perekonomian Indonesia." Jurnal
Ekonomi dan Pendidikan, 2008: 171-191.
Tambunan, Tulus T. H. Perekonomian Indonesia Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2011.
Wahyun, Hadi. "Kilas Balik Krisis Ekonomi Tahun 1997-1998 di Indonesia." Artikel, 2015.
Indonesia, Outlook Ekonomi. "Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian
Indonesia." Januari 2009, Januari 2009-2014.
Gie, Kwik Kian. "Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar." Jakarta: KOMPAS, 2009.
http://docs.google.com. http://docs.google.com/document/d/1W03ZUd7EBNSXI6PzEjAT-
SEZRj3FkYyzDbX7FTTx5hl/preview (accessed September 18, 2015).
27
Index
Subprime Mortgage, 2
toxic assets, 6
28