Anda di halaman 1dari 30

MATERI BAB V

RESESI, KRISIS DAN KERENTANAN EKONOMI INDONESIA

MAKALAH

diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Perekonomian Indonesia

Dosen Pengampu DR. A. Jajang Warya Mahri, M.Si.

Disusun oleh:

Kelompok 5

Misnaeni 1203476

Dede Santika 1203477

Anne Septiana 1203480

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2015
BAB I
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Resesi, Krisis, dan Kerentanan Ekonomi


Kondisi perekonomian suatu bangsa tidak akan selamanya baik. Karena berbagai faktor
permasalahan pasti akan timbul kondisi ekonomi yang buruk. Baik buruknya kondisi suatu
perekonomian salah satunya dapat terlihat dari tingkat PDB (Produk Domestik Bruto) dari
negara tersebut. Penurunan dan peningkatan PDB dan juga PDB tetap (steadu-state) adalah
bagian dari siklus ekonomi yang pasti akan dialami oleh negara-negara berkembang maupun
negara maju. Kondisi yang buruk dalam perekonomian dikenal istilah resesi, krisis dan
kerentanan ekonomi. Dalam bagian ini akan dijelaskan pengertian dari ketiga istilah tersebut.
Kata resesi mengandung arti sebagai kelesuan dalam ekonomi atau kelesuan dalam kegiatan
dagang, industri dan lain sebagainya. 1 Berdasarkan makna tersebut, maka resesi dapat disebut
juga sebagai penurunan kegiatan perekonomian suatu negara yang salah satunya bisa dilihat dari
tingkat pendapatan nasional.
Adapun yang dimaksud dengan kata krisis dalam ekonomi adalah kemerosotan dalam
kegiatan ekonomi yang dapat menimbulkan depresi, sebagai akibat dari kepekaan konjungtur
ekonomi bebas.2 Krisis keuangan akan terjadi ketika jumlah permintaan uang melebihi jumlah
penawaran uang.3 Artinya, bank-bank dan lembaga keuangan non bank mengalami kehabisan
likuiditas. Jika sebuah negara dilanda krisis ekonomi, pasti akan tejadi penurunan tingkat PDB,
pengeringan likuiditas, dan harga-harga akan naik (inflasi) atau menurun (deflasi). Jadi dapat
diartikan bahwa krisis ekonomi global merupakan peristiwa pada saat seluruh sektor ekonomi
pasar dunia mengalami keruntuhan atau degresi dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh
dunia. Krisis ekonomi global terjadi diakibatkan oleh permasalahan ekonomi pasar di seluruh
dunia dan tidak dapat terelakkan karena kebangkrutan ataupun terdapat situasi kacau.
Menurut Adger, dkk. (2004) dan Briguglio, dkk. (2008) dalam (T. T. Tambunan 2011),
kerentanan bukanlah suatu konsep yang langsung berbeda dengan konsep kemiskinan. Secara
umum, kerentanan merujuk kepada potensi kerugian atau kerusakan. Di bidang ekonomi,
kerentanan ekonomi merujuk kepada risiko-risiko yang disebabkan oleh goncangan eksogen.
(bisa dari sumber-sumber internal maupun eksternal) terhadap tiga sistem kunci dari ekonomi,
yaitu produksi, distribusi (dari outpu dan input-input, dan konsumsi. Sedangkan Guillaumon
(2007) dalam (T. T. Tambunan 2011), mendefinisikan kerentanan ekonomi dari sebuah negara
dengan risiko kehancuran ekonomi atau terhentinya pembangunan ekonomi yang dihadapi oleh
negara tersebut yang disebabkan oleh suatu goncangan eksogen. Adapun pendapat Hoddinott
dan Quisumbing (2003) dalam (T. T. Tambunan 2011) mendefinisikan kerentanan sebagai
kemungkinan pada suatu waktu tertentu di masa depan kesejahteraan dari seseorang atau sebuah
RT akan merosot ke suatu tingkat di bawah tingkat normal. Jadi, dari beberapa definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa kerentanan adalah potensi suatu negara akan mengalamikerugian atau

1
(http://www.artikata.com n.d.).
2
(http://www.artikata.com/arti-336486-krisis.html n.d.)
3
(http://docs.google.com n.d.)

1
kerusakan yang disebabkan oleh suatu goncangan eksogen yang dapat menyebabkan
kemerosostan kesejahteraan masyarakatnya.

1.2 Penyebab Resesi dan Krisis Ekonomi Global


Pada 1956 Prof. Witteveen, ahli ekonomi yang pernah menjabat sebagai Direktur Dana
Moneter International (IMF) selama 10 tahun, menulis buku kecil yang berjudul Structur en
conjuctuur (Gie 2009). Dalam buku tersebut ia membedakan antara penyebab resesi dan krisis
ekonomi karena overinvestment dan underconsumption. Inti dari teori-teori overinvestment
dijelaskan bahwa investasi yang selama gelombang pasang selalu lebih besar daripada
tabungan, dilakukan dengan menggunakan kredit bank yang semakin lama semakin besar.
Artinya, selama gelombang pasang, pembentukan modal sendiri atau equity capital tertinggal
dibandingkan dengan kesempatan dan gairah investasi. Maka investasi dilakukan dengan kadar
kredit dari bank yang semakin lama semakin membengkak. Kesediaan dan kemampuan bank
tidak akan berkelanjutan tanpa batas. Pada suatu saat, kredit bank akan berkurang. Dengan
demikian investasi akan berkurang, dan krisis dimulai. Pemikiran ini tampak jelas pada
Machlup.
Witteveen juga mengatakan bahwa selama kesempatan bisnis atau kesempatan untuk
investasi masih ada, walaupun investasi dibiayai oleh kredit bank pada mulanya, peningkatan
investasinya sendiri akan mengakibatkan kenaikan pendapatan yang berganda lewat multiplier.
Pendapatan yang meningkat akan membentuk pula tabungan yang meningkat akan membentuk
pula tabungan yang meningkat, dan tabungan ini akan cukup untuk menutup investasi yang
pada mulanya dibiayai dengan kredit bank. Maka selama kita masih belum mentok pada salah
satu faktor roduksi, investasi bisa dilakukan terus.
Namun kelompok teori overinvestment menekan bahwa walaupun kredit bank bisa
dipakai sebagai pembiayaan investasi, yang nantinya akan ditutup dengan tabungan yang akan
dibentuk, pasti akan ada faktor produksi yang menjadi kendala di dalam gelombang pasang.
Faktor produksi ini menjadi rebutan dan harganya akan naik. Maka untuk mempertahankan
volume investasi, dibutuhkan lebih banyak lagi modal, karena adanya peningkatan harga pada
faktor-faktor produksi yang sudah mnjadi langka. Dengan demikian, kebutuhan akan
pembiayaan oleh bank akan menjadi membengkak, sehingga akhirnya banknya sendiri akan
tersendat, investasinya tentunya akan tersendat pula, dan dengan menurunnya investasi, krisis
dimulai. Jadi yang mentok akhirnya akan berpulang pada faktor modal lagi.
Adapun menurut pendapat dari kelompok teori underconsumption, dijelaskan bahwa
ckal bakal krisis adalah kenaikan dari permintaan untuk barang-barang konsumsi yang tidak
setimpal dengan kenaikan kapasitas produksi dari barang-barang konsumsi yang tidak setimpal
dengan kapasitas produksi dari barang-barang konsumsi tersebut. Permintaan masih meningkat,
tetapi naiknya tidak setimpal dengan membesarnya kapasitas produksinya. Karena permintaan
tidak dapat menyerap volume produksi, tidak ada gunanya memperluas kapasitas lebih lanjut.
Gairah untuk investasi berkurang. Di sini awal krisis, karena dengan berkurangnya gairah
investasi, menyebabkan investasi akan menurun dan akibatnya pendapatan pun akan menurun.
Dengan menurunnya konsumsi berarti permintaan terhadap barang-barang konsumsi pun akan
menurun, sehingga gairah untuk berinvestasi akan semakin menurun. Sehingga, terjadilah spiral

2
kea rah menurunnya seluruh kegiatan ekonomi dan menurunnya indikator-indikator
makroekonomi.
Menurut teori ini, sebab utama adalah konsumsi yang tidak bisa membengkak terus
sesuai dengan pembengkakan kapasitas produksinya. Maka menurut kelompok teori ini, cara
untuk memperbaiki krisis adalah dengan meningkatkan konsumsi dengan cara memompa atau
menambah daya beli kepada masyarakat, kalau perlu dengan deficit spending. Biasanya yang
menjadi sasarannya adalah pembangunan proyek-proyek prasarana oleh pemerintah. Kalau pola
krisis dan resesi seperti ini, investasi proyek-proyek besar disyukuri.
Para pencetus atau penganut teori ini dengan nuansa dan variasinya masing-masing
adalah Samuelson melalui teori akselerasi dan multiplier. Aftalion dengan memasukkan unsure
gestation period. Hicks, Harrod dan Haberler yang melihat mentoknya unsur manusia sebagai
faktor produksi. Kaldor dan Kalecki yang melihatnya dari segi psikologis, yaitu faktor
kejenuhan manusia, dan Schumpeter yang menjelaskannya dari segi kurangnya inovasi untuk
berinvestasi.
Jadi, jika ditelaah di antara kedua teori tersebut jelas terdapat perbedaan. Dalam teori
overinvestment melihat bahwa cikal bakal krisis muncul selama gelombang pasang sedang
berlangsung, karena kuatnya keinginan untuk investasi, sehingga akhirnya pertumbuhan
investasi ini mentok pada pembiayaannya, yang selalu ditutup oleh kredit bank. Kredit bank ini
ada batasnya, sehingga pada saat pembiayaan oleh bank tersendat, akan terjadi krisis. Oleh
karena itu, kelompok teori ini berpendapat bahwa usaha menghindarkan diri dari krisis harus
dilakukan selama gelombang pasang sedang berjalan. Tidak boleh ditunggu sampai krisis
terjadi. Bahkan banyak penganut teori ini mengatakan bahwa apabila krisis sudah terjadi, kita
tidak dapat berbuat lain kecuali menyerahkan penyembuhannya pada proses alamiah yang
sangat menyakitkan. Artinya, kita tidak dapat berbuat lain kecuali membiarkan resesi ekonomi
sampai mencapai titk balik yang terndah, dan proses gelombang pasang dimulai lagi
berdasarkan titik keseimbangan baru yang teletak pada tingkat “the lower turning point”.
Dalam teori underconsumption, cikal bakal krisis adalah pertumbuhan konsumsi yang
kurang sepadan dengan pertumbuhan kapasitas produksi dari barang-barang konsumsi ini. Oleh
karena itu, penanganan krisis adalah dengan meningkatkan konsumsi setelah krisis terjadi. Jadi,
dalam teori underconsumption, krisis harus diatasi dengan meningkatkan konsumsi. Sedangkan
dalam teori overinvestment, krisis hendaknya diperlunak dengan cara mengurangi konsumsi dan
investasi, agar bisa memperbesar tabungan. Tindakannya pun harus cukup dini selama
glombang pasang masih berlangsung. Alau sudah terlambat, tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali menjalani proses yang sangat menyakitkan. Contoh kecilnya, jika ada mega proyek
dalam bidang property yang biayanya mencapa jumlah puluhan milyar US$. Lalu, proyek ini
sudah dibangun setengah jalan. Kalau akan diteruskan tidak ada uangnya. Dan kalau dihentikan
akan menjadi besi tua. Inilah antara lain yang diartikan sebagai proses menyakitkan.
Namun, karena buku tersebut ditulis pada tahun 1956 maka teoirnya dianggap sudah
kuno, using dan tidak berlaku lagi. Sehingga, Witteveen beserta orang-orang yang mempercayai
teori tersebut dianggap sebagai para ekonom masa lalu atau past tense economist. Sehingga,
muncullah pandangan yang dikenal present time economist yang diungkapkan oleh Paul
Krugman. Ia menulis sebuah artikel pada majalah Time terbitan 21 Juni 1999. Dalam artikel

3
tersebut, Paul Krugman menyatakan baahwa penyebab krisis di Asia semuanya sama, yaitu
karena investor yang kebanyakan bank asing, yang memberikan pinjaman jangka pendek,
sekaligus ramai-ramai menarik kembali modalnya. Bank-bank negara pengutang tidak dapat
menjadikan asetnya ke dalam uang tunai dalam waktu singkat. Maka terjadillah krisis
perbankan. Uang tunai seadanya ramai-ramai dijadikan dollar, sehingga terjadi krisis moneter.
Namun, yang pandangannya ini sekilas mirip dengan teori overinvestment yang digambarkan
oleh past tense economists.

1.3 Perkembangan Krisis Ekonomi Global


1.3.1. Krisis di Amerika Serikat
Berdasarkan (BI 2009)4 menyebutkan bahwa krisis ekonomi global mulai muncul
semenjak bulan Agustus 2007, yaitu pada saat salah satu bank terbesar di Perancis BNP Paribas
mengumumkan pembekuan terkait beberapa sekuritas yang terkait dengan kredit perumahan
beresiko tinggi AS (Subprime Mortgage). Hal ini merupakan pemicu krisis keuangan global
yang mempengaruhi perekonomian dunia. Subprime Mortgage merupakan istilah kredit
perumahan yang diberikan kepada debitur dengan sejarah kredit yang buruk dan belum
memiliki sejarah kredit yang beresiko tinggi. Penyaluran subprime mortgagedi AS mengalami
peningkatan pesat mulai di bawah USD 200 miliar pada tahun 2002 hingga menjadi sekitar
USD 500 miliar pada tahun 2005.
Kerugian yang terbesar bersumber berasal dari praktik pengemasan subprime mortgage
ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, kemudian diperdagangkan di pasar finansial global.
Tahap pertama sekuritisasi dilaksanakan terhadap sejumlah subprime mortgage sehingga
menjadi sekuritas yang disebut mortgage backed securities (MBS). Dalam sistem keuangan
modern, praktik sekuritisasi MBS ini merupakan suatu hal yang telah lazim, bahkan pada tahun
2006 jumlah kredit perumahan di AS yang disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir
60% dari seluruh outstandingkredit perumahan. Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga
baik institusi maupun pemerintah (antara lain Fannie Mae dan Freddie Mac), pihak ketiga
seringkali melakukan pengemasan dengan berbagai penggabungan sejumlah mortgage, yang
selanjutnya dijual kepada investor yang berminat. Untuk menanggulangi resiko gagal bayar,
maka pihak ketiga sekaligus sebagai penjamin.
Melalui rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian
diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt
Obligations (CDOs). Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat, persentase jumlah
MBS yang diresekutirisasi menjadi CDSOs juga mengalami peningkatan pesat. Dalam skala
global, total penerbitan CDOs pada tahun 2006 telah melibihi USD 500 miliar, dengan
separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS.
Pada tahun 2004 total penerbitan CDOs global baru berada pada level sekitar USD 150
miliar. Selain dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa bentuk sekuritas
lain yang sudah sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, diantaranya sekuritas SIV (Structured
Investment Vehicles). Maraknya perdagangan CDOs di pasar global juga mempengaruhi hasil

4
(BI 2009)

4
rating yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung
underpricing terhadap resiko dari produk-produk derivatif di atas.
Pada pertengahan 2004, AS mengalami perubahan moneter yang sangat ketat.
Peningkatan suku bunga mulai terjadi dan terus berkembang sampai tahun 2006. Hal tersebut
berdampak pada pasar perumahan AS yang ditandai dengan adanya debitur yang mengalami
gagal bayar. Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah AS.
Akibatnya akan menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan ke
dalam persoalan likuiditas yang sangat besar.
Pengumuman BNP Paribas pada Agustus 2007 secara tiba-tiba memicu krisis
kepercayaan di pasar keuangan global. Sulitnya mendeteksi bank atau institusi mana yang
memiliki aset yang terkait dengan subprime mortgage dari AS menyebabkan munculnya
perilaku menghindar dari resiko (risk aversion) yang berlebihan dari pelaku pasar. Kondisi ini
menyebabkan kekeringan yang sangat parah likuiditas di pasar keuangan global. Dalam
mengatasi masalah tersebut, Federal Reserve (The Fed) dan ECB memberikan likuiditas ke
pasar sebesar masing-masing USD 24 miliar dan € 95 miliar pada Agustus 2007. Selain
menambah likuiditas, The Fed juga mengambil langkah menurunkan suku bunga. Namun
tindakan tersebut tidak mampu meredak gejolak pasar keuangan.
Setelah pengumuman BNP Paribas di Agustus 2007, berturut-turut terungkap kerugian
besar yang dialami bank maupun lembaga-lembaga pada subprime mortgage dari AS. Bank
sentral di negara-negara maju terus berusaha menenangkan pasar. Selanjutnya, laporan kerugian
dari berbagai lembaga keuangan berskala besar terus bermunculan yang dibarengi dengan
kekeringan likuiditas di pasar keuangan berbagai negara, khususnya AS dan Eropa.Akhirnya
pada September 2008 Fanjie Mae dan Freddie Mac, dua lembaga penyalur kredit perumahan
yang menguasai hampir separuh outstanding kredit perumahan di AS juga terkena imbas krisis.
Pada 15 September 2008 Lehman Brothers/ bank investasi dinyatakan bangkrut,
menjadikannya sebagai bank investasi bersar pertama yang benar-benar mengalami keolaps
sejak terjadinya krisis. Sementara itu dampak keuangan telah semakin berimbas pada sektor riil,
angka penjualan eceran di AS dan berbagai negara Eropa tercatat terus menurun. Sementara
angka pengangguran terus bergerak naik. Sejalan dengan kelesuan di sektor riil, perkembangan
harga komoditas dunia juga mengalami penurunan yang signifikan. Kebangkrutan ini segera
meningkatkan intensitas dampak krisis ke seluruh dunia. Hilangnya kepercayaan terhadap
investor dan kreditur pada kemampuan pelaku bisnis untuk memenuhi kewajibannya,
menyebabkan akses pelaku bisnis ke pasar modal dan pasar pembiayaan jangka pendek menjadi
terhambat dan semakin meningkatkan ketidakpastian prospek sektor keuangan dan ekonomi
secara keseluruhan.
Kondisi di atas menyebabkan harga saham yang semakin menurun di bursa saham
seluruh dunia. Selain itu, ketatnya likuiditas dan pelaku risk aversionmendorong terjadinya
realokasi dan rekomposisi struktur aset para pemodal, dari aset yang dipandang beresiko ke aset
yang dianggap lebih aman, yang memicu outflows dari negara-negara emerging markets.
Sebagai akibatnya, yield bond negara-negara berkembang terus meningkat bersamaan dengan
melemahnyan nilai tukar di negara-negara tersebut. Upaya untuk mengatasi hal tersebut,
sejumlah negara menggunakan cadangan devisanya.

5
Menurut (BI 2009)5 krisis global berlangsung sampai pada akhir Januari 2009 Inggris
secara resmi dinyatakan telah memasuki periode resesi menyusul pertumbuhan PDB triwulan
IV-2008 yang kembali negatif pada dua triwulan terakhir. Pada Februari 2009 Senat AS
menyetujui paket penyelematan ekonomi sebesar USD 38 miliar. Pada bulan yang sama US
Treasury mengumumkan paket penyelamatan bank senilai USD 1,5 triliun.Di tengah berbagai
upaya penyelamatan berbagai negara, gelombang kebangkrutan bisnis perbankan maupun
industi yang diikuti dengan pemutusan hubungan kerja dan terus terjai di berbagai belahan
dunia.

1.3.2. Krisis di Eropa


Menurut (Gunawan tt)6 mengemukakan bahwa imbas dari krisis keuangan global tahun
2007 di AS. Salah satu faktor penting terjadinya krisis keuangan Eropa adalah faktor krisis
keuangan di negara Yunani. Krisis utang Eropa berasal dari Yunani, yang kemudian merembet
ke Irlandia dan Portugal. Ketiga negara tersebut memiliki utang yang lebih besar dari GDP-nya
dan juga sempat mengalami defisit. Krisi mulai terasa pada tahun 2009 dan semakin parah pada
pertengahan tahun 2010.
Dalam kejadian tersebut terlihat dari dampak kerugian yang ditimbulkan, baik itu oleh
pihak bank maupun pihak investor besar. Dimana pihak tersebut telah menyediakan dana yang
sangat besar dalam membantu Negara Eropa yang sedang dilanda krisis. Sedangkan dari pihak
bank dan investor akan dibiarkan menanggung sendiri kerugian dana yang telah ditanamkan di
Negara yang sedang dilanda krisis. Ketika IMF memberikan pinjaman, IMF mengajukan
beberapa syarat penghematan anggaran kepada pemerintah Yunani. Diantaranya pemotongan
tunjangan PNS dan pensiunan, peningkatan pajak PPN hingga 23%, peningkatan cukai pada
barang-barang mewah, bensin, rokok, dan minuman beralkohol, hingga perusaan BUMN harus
dikurangi dari 6,000 menjadi 2,000 perusahaan saja. Pada bulan yang sama pemerintah Yunani
mengumumkan kebijakan penghematan anggaran, namun terjadi unjuk rasa besar-besaran di
Athena untuk menolak kebijakan tersebut.
Kekhawatiran atas kemungkinan default segera merembet ke negara Eropa lainnya, dan
yang menjadi sasaran tembak pertama adalah Irlandia. Sejak awal tahun 2000-an, enam bank
terbesar di Irlandia telah menyalurkan kredit besar-besaran ke sektor properti, hingga
menyebabkan bubble. Ketika terjadi krisis mortgage di AS pada tahun 2008, seketika itu pula
bubble tersebut meledak. Pada tanggal 29 September 2008, pemerintah Irlandia menerbitkan
obligasi jangka waktu satu tahun untuk menghalangi kredit macet di enam bank di atas. Setahun
kemudian, obligasi tersebut diperpanjang, bersamaan dengan peluncuran “National Asset
Management Agency”(semacan BPPN kalau di Indonesia).
Pada Mei 2010 IMF turun tangan, dan Moody’s menurunkan rating utang bank-bank di
Irlandia menjadi junk status. Seperti kepada Yunani, IMF juga meminta syarat kebijakan
penghematan anggaran kepada pemerintah Irlandia. Pada September 2010, pemerintah Irlandia
masih belum mampu membayar obligasi tersebut dan kembali memperpanjang waktu jatuh
temponya. Hingga kini, belum ada kepastian mengenai kapan obligasi tersebut akan dilunasi.
5
(BI 2009)
6
(Gunawan tt)

6
Sedangkan di Portugal, sejak tahun 1974 pemerintah mencatat pengeluaran besar-
besaran untuk keperluan yang tidak perlu, hal ini bisa dikatakan sebagai pemborosan APBN,
seperti pembayaran pihak-pihak tertentu yang menjadi makelar atau konsultan pada proyek-
proyek pemerintah yang dikerjakan secara bersama-sama dengan pihak swasta. Selama hampir
40 tahun, pemerintah terus saja merekrut PNS hingga mencapai jumlah yang tidak efektif dan
membayar gaji tunjangan yang cukup besar bagi para pejabat tinggi negara, belum termasuk
gaji besar untuk para eksekutif di BUMN. Pemborosan anggaran tersebut sebenarnya sudah
dikritisi oleh publlik Portugal sejak lama, namun pemerintah tidak melakukan tindakan apapun
untuk mencegah terjadinya krisis, hingga akhirnya negara harus menghadapi kemungkinan
terjadinya kebangkrutan pada awal tahun 2011.Ketika Portugal menerima paket bail outdari
IMF, Portugal juga diharuskan untuk menghemat anggaran, salah satunya dengan menghapus
pembagian deviden pada Portugal Telecom (Telkom-nya Portugal). Seperti Irlandia, Moody’s
juga menurunkan rating utang Portugal menjadi junk status. Lebih parah, Moody’s bahkan
memperkirakan bahwa Portugal bisa saja membutuhkan bail out kedua agar negara tersebut
terhindar dari default.
Krisis Eropa merupakan bentuk krisis utang berasal dari Yunani, yang kemudian
menjalar ke Irlandia dan Portugal serta menimbulkan efek domino ke beberapa Negara Uni Erpa
lainnya. Yunani jika dilihat dari kecamata sejarah merupakan negara dengan peradaban yang
sangat berkembang pesat tetapi saat ini ketika melihat Yunani maka yang didapati adalah
sebuah negara dengan corruption perpections index berada pada peringkat 71 dari 180 negara.
Adanya ketidakjujuran pemerintah Yunani yang mengutak-atik nilai pertumbuhan ekonomi
makronya pun merupakan awal jatuhnya perekonomian Yunani dimana pemerintah Yunani
berusaha menutup-nutupi angka defisit negara yang disebabkan oleh banyak kasus penggelapan
pajak, yang diperkirakan telah merugikan negara hingga US$ 20 miliar per tahun.
Krisis ekonomi Eropa bisa dikatakan sebagai krisis euro akhirnya terangkat
dipermukaan sebagai isu yang panas, setelah stimulu krisis Yunani berhasil menarik banyak
perhatian dunia internasional. Bagaimana tidak, jika ternyata rentetan negara tidak mau
ketinggalan mencuat dengan kabar adanya krisis yang terlihat dari bagaimana mereka mencari
dana pinjaman baik dari negara lain maupun juga dari IMF, seperti Italia dan Spanyol, ditambah
indikasi krisis yang diperkirakan dialami oleh Portugis dan Irlandia.
Setelah Yunani, Italia tergolong yang krisinya begitu disoroti dunia internasional,
terlebih dengan adanya ‘skandal’ kegagalan Belusconi yang menyebabkan keterpurukan
ekonomi namun sempat teguh menolak untuk mengundurkan diri. Kegagalan mengentaskan
Yunani dari krisis akan menyeret negara uni Eropa lain ke dalam krisis yang semakin dalam,
yang ternyata tidak anya disebabkan oleh persamaan mata uang. Uni Eropa, yang konon kini
menyisakan tiga negara kuat: Yaitu Belanda, Perancis dan Jerman telah berupaya memberikan
dana talangan, baik teratasnamakan negara maupun komisi Uni Eropa.

1.4 Dampak Krisis Bagi Perekonomian di Indonesia


Berdasarkan data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik dalam (Gunawan tt)7
mengemukakan bahwa jumlah utang Indonesia masih relatif kecil, yaitu hanya 26% dari GNP.
7
(Gunawan tt)

7
Pertumbuhan ekonomi pun masih lumayan, dimana pada semester pertama 2011, tercatat 6,5%.
Inflasi aman terkendali di 4,8% per tahun.Kemisikinan di Indonesia pada Maret 2011 hanya
13,3% dari jumlah penduduk. Masalahnya, standar kemiskinan yang di pakai adalah dengan
pengeluaran kurang dari Rp. 263.000 per bulan. Artinya apabila ada orang Indonesia yang
mengeluarkan pengeluaran bulanannya Rp. 300.00, maka dia dianggap sebagai orang kaya. Jika
berdasarkan standar kemiskinan PBB yaitu US$ 2 per hari, maka penduduk miskin di Indonesia
mungkin lebih dari 40%.
Sepanjang April 2012 nilai ekspor Indonesia turun dibandingkan periode yang sama
tahun lalu, sementara impor makin marak. Hal ini menyebabkan neraca perdagangan Indonesia
defisit US$ 641,1 juta. Nilai ekspor IndonesiaUS$ 15,9 miliar, turun 3,46 dibandingkan April
2011 dan turun 7,36 dibandingkan Maret 2012. Baik migas maupun non migas mengalami
penurunan, migas mengalami penurunan 3,56% dari US$ 3,49 miliar di Maret 2012, menjadi
US$ 3,36 miliar. Sedangkan non migas turun dari US$ 13,77 miliar pada Maret menjadi 12,62
miliar. Secara total Januari-April 2012, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 64,5 miliar atau
tetap mengalami kenaikan sebesar 4,31% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Untuk
non migas senilai 51,15 miliar atau naik 2,25% setiap tahun. Ekspor terbesar masih komoditas
bahan bakar mineral untuk April 2012 senilai US$ 9,29 miliar dan lemak serta hewan/ nabati
senilai 7,52 miliar. Negara tujuan ekspor terbesar Indonesia masih didominasi China US$ 7,04
miliar, Jepang US$ 5,74 miliar, dan Amerika Serikat US$ 4,8 miliar. Ekspor non migas ke
ASEAN sebesar US$ 10,36 miliar atau 20,25% dan Uni Eropa sebsar US$ 6,06 miliar.
Sementara untuk impor April 2012, terjadi kenaikan 11,65% dibandingkan April 2011
menjadi US$ 16,62 miliar, atau naik 1,82 dibandingkan Maret 2012. Impor migas menurun
0,59% dari US$ 4 miliar menjai US$ 3,99 miliar, dan non migas naik 2,6% dari US$ 12,32
miliar atau naik 16,18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Untuk impor nin migas,
nilainya US$ 47,86 miliar atau naik 15,79% dibandingkan periode yang sama tahun 2011.
Impor terbesar Indonesia adalah mesin dan peralatan mekanik US$ 8,94 miliar, dan mesin dan
peralatan listrik US$ 6,1 miliar. Impor terbesar dari negara China US$ 9,09 miliar, Jepang US$
7,72 miliar, dan Thailand US$ 3,57 miliar dengan pangsa pasar ketiga tersebut sebesar 42,58%.
ASEAN senilai US$ 10,35 miliar dengan pangsa pasar 21,63 dan Uni Eropa sebesar US$ 4,24
miliar dengan pangsa pasar 8,87%.

1.4.1 Dampak Melalui Jalur Finansial


Dampak krisis melalui jalur finansial dimungkinkan secara langsung maupun tidak
langsung. Dampak langsung akan muncul apabila bank dan lembaga keuangan memiliki
eksposur langsung terhadap aset-aset yang bermasalah (toxic assets), atau meskipun tidak
memiliki aset yang bermasalah, namun memiliki kaitannya dengan lembaga keuangan yang
memiliki eksposur yang besar terhadap aset bermasalah. Selain itu, transmisi dampak krisis
melalui jalur finansial langsung juga muncul melalui aktivitas deleveraging, dimana investor
asing yang mengalami kesulitan likuiditas terpaksa menarik dana yang tadinya ditanamkan di
Indonesia. Selain melalui keterkaitan terhadap aset bermasalah dan deleveraging, dampak
langsung jalur finansial juga muncul melalui aksi flight to quality yaitu penyesuaian portofolio
dari aset yang dipandang beresiko ke aset yang lebih aman.

8
Sedangkan menurut (Tambunan 2011)8 mengemukakan bahwa daerah yang rentan
terhadap krisis berdasarkan angka kemiskinan di Indonesia menurut provinsi yaitu Papua dan
Papua Barat. Kedua provinsi ini adalah paling miskin di Indonesia, sedangkan DKI Jakarta
dengan berbagai keuntungannya, termasuk sebagai pusat adminispemerintahan dan keuangan,
memiliki paling banyak SDM berkualitas tinggi dan memiliki tingkat kemiskinan terendah.
Adapun tingkat kemiskinan pada tahun 2008 sebesar 35,1% di Papua Barat dan 37,1% di Papua.

1.4.1.1. Dampak Langsung


Hal tersebut tercermin dari kondisi di pasar modal dan pasar uang. Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) pada bulan Desember 2008 ditutup pada level 1.355,4, terpangkas hampir
separuhnya dari level pada awal tahun 2008 sebesar 2.627,3, bersamaan dengan jatuhnya nilai
kapitalisasi pasar dan penurunan tajam volume perdagangan saham. Arus keluar kepemilikan
asing saham, surat utang negar (SUN), maupun SBI masih sangat berlangsung. Hingga akhir
Desember 2008 yang sempat mencapai Rp.104,3 triliun. Sementara posisi asing di SBI tercatat
Rp.8,4 triliun, menurun tajam dibandingkan posisi Agustus 2008 sebesar Rp.68,4 triliun. Di
pasar saham volume perdagangan saham dan IHSG mengalami penekanan kuat hingga
memaksa otoritas BEI mengehentikan perdagangan (black out) pada Oktober 2008.
IHSG menurun drastis, dari sebesar 2.830 pada awal tahun menurun menjadi 1.355
pada akhir 2008. Kecepatan imbas krisis finansial global ini ke pasar keuangan domestik salah
satunya didukung oleh struktur pasar keuangan domestik yang telah terintegrasi dengan pasar
keuangan global. Selain itu, gejolak di pasar saham tidak terlepas dari cukup tingginya proporsi
asing dalam perdagangan saham selama ini. Gelombang kerugian di pasar finansial global
menyebabkan banyak investor asing yang mengalami kesulitan likuiditas terpaksa menarik
dananya (deleveraging) dari Indonesia. Selain disebabkan oleh kesulitas likuiditas yang memicu
deleveraging, anjloknya pasar saham juga diduga kuat didorong oleh perilaku risk aversiondari
investor yang kemudian memicu terjadinya flight to quality dari aset yang dipandang beresiko
ke aset yang lebih aman.
Selanjutnya, menurut hasil penelitian (Nezky 2013)9 menyimpulkan bahwa krisis di
Amerika Serikat berpengaruh signifikan terhadap pasar modal Indonesia. Pergerakan IHSG
terbukti memberikan respon yang searah terhadap gejokan Dow Jones Industrial Average (DJI).
Dalam kesimpulannya dinyatakan bawha pasar modal Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh
pasar modal asing, sehingga jika terjadi shockpada indeks saham besar luar negeri akan dengan
mudah menimbulkan kepanikan di kalangan investor domestik.
Hal yang sama juga terjadi pada SUN, dimana terjadi aksi jual SUN terutama oleh
investor asing. Aksi jual ini menyebabkan yield koreksi harga yang signifikan pada seri SUN
dengan porsi kepemilikan asing yang besar. Selain saham dan SUN, pelepasan porsi
kepemilikan dalam jumlah besar juga terjadi pada SBI. Di pasar uang antar bank, di tengah
kondisi uang domestik yang tersegmentasi, situasi ketidakpastian telah menciptakan persepsi
keketatan likuiditas dan mendorong perbankan untuk menahan likuiditasnya. Hal ini terlihat
dari perkembangan volume transkasi PUAB O/N yang cenderung menurun, terutama pada

8
(Tambunan 2011)
9
(Nezky 2013)

9
Oktober sampai dengan November 2008. Sejalan dengan itu, suku bunga PUAB untuk semua
tenor mengalami kenaikan, terutama pada PUAB dengan tenor di ata O/N.
Sejalan dengan kondisi di pasar uang, nilai tukar Rupiah pada Oktober 2008 juga
engalami pelemahan tajam, dipicu oleh aksi flight to quality dari investor asing ditambah lagi
adanyan konversi protofolio Rupiah ke dollar AS oeh pelaku domestik. Peningkatan risiko
likuiditas seperti yang tercermin di pasar uang antar bank telah memberikan tekanan kepada
kondisi perbankan. Tekanan likuiditas ini muncul tidak saja karena imbas ekonomi global,
namun karena tingginya pertumbuhan kredit sampai dengan Oktober 2008 yang sebagian besar
menggunakan dana secondary reservesdibandingan dengan pembiayaan yang berasal dari
kenaikan dana pihak ketiga. Selain itu, pelemahan nilai tukar Rupiah juga meningkatkan risiko
perbankan. Meskipun mendapat tekanan cukup berat, namun kinerja perbankan sebagai satu
industri masih cukup solid.
Dengan melihat perkembangan sampai akhir Desember 2008, terlihat bahwa dampak
krisis di Indonesia melalui jalur finansial secara langsung lebih banyak ditransmisikan melalui
faktor risk aversion yang memicu flight to quality, selain aksi deleveraging dari investor asing
terkait dengan kesulitan likuiditas global.

1.4.1.2. Dampak Tidak Langsung


Adapun dampak secara tidak langsung yaitu melalui munculnya hambatan terhadap
ketersedian pembiayaan ekonomi, baik dari sumber perbankan, lembaga keuangan lain maupun
pihak-pihak lainnya. Secara tradisional sumber pembiayaan berasal dari perbankan, sejalan
dengan perannya sebagai lembaga intermediasi. Meskipun demikian, kajian dengan
menggunakan data Neraca Arus Dana 1984-2007 mengungkapkan adanyan indikasi pergeseran
arus sumber pembiayaan bagi sektor bisnis antara masa sebelum dan sesudah krisis 1997.
Namun menurut penelitian yang dilakukan oleh (Sihono 2008)10 menyimpulkan bahwa
secara makro Indonesia cukup tegar dalam menghadapi dampak krisis finansial dari Amerika
Serikat. Hal ini terbukti oleh naiknya pasar bursa bullsh (10%), investasi modal baik dari US
$14,4 miliar (2007) menjadi US $ 16,59 miliar (2008). Investasi pertanian naik 56,15% (PMA)
dan 48,67% (PMDN). PDB pertanian naik dari 3% (2007) menjadi 4,3% (2008), kredit naik
22% sektor finansial terjadi surplus likuiditas, dan pertumbuhan ekonomi sekitar 6%. Namun
ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian yaitu BI rate akan menekan sektor riil,
naiknya harga minyak dunia akan menekan APBN, dan menignkatnya pengangguran dari 7%
(2007) menjadi 8% (2008).

1.5 Resesi, Krisis dan Kerentanan Ekonomi Indonesia

1.5.1 Krisis tahun 1997/1998 di Indonesia


Krisis indonesia diawali dari krisis asia yang pada saat itu Negara-negara asia dalam
situasi euphoria. Pertumbuhan ekonomi tinggi dalam kurun waktu yang lama seperti yang
digambarkan oleh bank dunia dalam salah satu laporannya perkembangan tersebut sebagai
economic miracle. Perkebangan ekonomi Negara-negara macan asia ditandai dengan ekspansi

10
(Sihono 2008)

10
pada real estate, serta pertumbuhan pasar saham yang terus meningkat sehingga mengakibatkan
masuknya dana luar negeri yang berjangka pendek yang berlebihan . keadaan tersebut
menyebabkan suatu keadaan distress yang kemudian berlanjut menjadi krisis. Krisis tersebut
semula terjadi di sector keuangan- perbankan kemudian melebar menjadi krisis ekonomi dan
meluas menjadi krisis social dan politik. Krisis keuangan atau krisis di asia terus berlangsung,
beberapa studi dan seminar dilakukan untuk memperdebatkan mengenai berbagai aspek dari
permasalahan ini. Menurut Djiwandono11 dalam laporan IMF, World Economics Outlook 1998,
krisis digolongkan menjadi berbagai jenis, yaitu currency crisis, banking crisis, systemic
financial crisis dan foreign debt crisis .
Dari segi timbulnya krisis laporan ini menjelaskan bahwa krisis timbul sebagai akibat dari
gejolak financial dan ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan. Kerawanan
perekonomian bisa terjadi karena unsure-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti
kebijakan makro yang tidak tepat, lemah atau hilangnya kepercayaan terhadap uang dan
lembaga keuangan dan ketidak pastian politik. Kerawanan dapat pula terjadi karena faktor
eksternal seperti keuangan global yang berubah, ketidak seimbangan atau missaligment nilai
tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), perubahan cepat dari sentiment pasar yang meluas
sebagai akibat dari perilaku herd instinct pelaku usaha. Pandangan-pandangan mengenai
penyebab timbulnya krisis menjadi beraneka ragam, yang kemudian digolongkan menjadi dua
kelompok12, yaitu :
Kelompok pertama, menurut paul krugman (ahli ekonomi dari MIT) menyatakan bahwa
sebab utama krisis adalah masalah internal ekonomi nasional, terutama lemahnya lembaga
keuangan (perbankan). Kelompok kedua, Jeffery Sach (ahli ekonomi dari Harvard university)
menyatakan bahwa krisis ekonomi timbul dari perubahan sentiment pasar, masalah eksternal
dari suatu perekonomian nasional, yang diperkuat dengan dampak penularan (contaign effects).
Krisis di indonesia terjadi karena timbulnya gejolak eksternal yang melalui proses
dampak penularan menjadi sistemik melanda ekonomi nasional secara keseluruhan. dengan
struktur ekonomi yang masih lemah pada masa itu indonesia belum mampu menghadapi
perkembangan yang begitu pesat sehingga menimbulkan krisis yang meluas. Krisis ekonomi
moneter manjadi awal penularan kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat indonesia. Proses
penularan ini terjadi karena lemahnya struktur ekonomi, tatanan social hukum dan politik yang
mendorong masalah ini menjadi masalah yang rumit dan menimbulkan krisis ekonomi.
Menurut (Hill 2002)12 ada empat ciri-ciri pra-krisis indonesia yaitu :
1. Pertumbuhan ekonomi kuat pada masa itu dan semua fakta yang ada membuktikan bahwa
semua keuantungan-keuantungan meluas.
Badan Pusat Statistik Indonesia memperkirakan persentase penduduk dalam kemiskinan
berangsur-angsur turun di era 1990-an. Dan 15,5 persen pada tahun 1990 menjadi 13,7
persen pada tahun 1993 dan 11,3 persen pada tahun 1996. Pengaruh kemiskinan yang
menurun terlihat di seluruh propindi di indonesia, baik itu wilayah pedesaan maupun
perkotaan. Kesenjangan antar individu rendah dan perbandingan ini tidak menunjukan
kecenderungan yang menaik. Upah riil naik di setiap sector dimana terdapat data kualitas

(Djiwandono, Bergulat dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia 2005)


11

12
(Hill 2002)

11
yang baik (manning,1998). Indicator-indikator social lainnya seperti pendaftaran sekolah-
sekolah, konsumsi gizi dan macam-macam indicator tentang status kesehatan, juga terus
membaik selama decade sebelum krisis. Perbandingan-perbandingan internasional
memperkuat hasil-hasil yang baik meskipun mengagarisbawahi kesimpulan bahwa
berdasarkan standar asia timur beberapa indicator social indonesia masih tertinggal.
2. Pertumbuhan ekonomi tampak kuat di dorong oleh faktor tambahan ketimbang
produktivitas faktor total (TFP).
Diantara beragam perhitungan TFP biasanya singapura, bukan indonesia yang terpilih
sebagai contoh utama dari pertumbuhan hebat di asia timur. Beragam perhitungan
menempatkan indonesia pada tingkat pertumbuhan TFP menengah sejak 1960an (chen
1997). Riset detail yang terfokus pada sector industri indonesia mempertegas hasil-hasil ini.
terlebih lagi penelitian terhadap berbagai kecenderungan yang ada telah menunjukan bahwa
pertumbuhan TFP meningkat pesat, dengan pertumbuhan lebih lambat selama era substitusi
impor yang didanai migas tahun 1970an. Dan membuka jalan pada peningkatan periode
deregulasi pada tahun 1980an. Aswicahyono (1998) menyimpulkan bahwa TFP pabrik non-
migas tumbuh 1,1 persen per tahun 1976-1980, 5,5 persen pertahun 1984-1988 dan 6 persen
pertahun 1989-1993. Timmer (1999) juga menyimpulkan bahwa TFP tumbuh secara kuat
setelah 1985, melewati periode tahun akhir lebih dari dua kali disbanding tahun 1975-1985,
dengan pertumbuhan yang tinggi terutama diawal tahun deregulasi 1986-1990.
3. Pergolakan politik yang meningkat dan ketidakpastian politik
selama periode sebelum krisis sampai pertengahan 1997 tidak ada pengaruh yang terlihat
pada bidang ekonomi atau indicator keuangan lainnya. Tahun 1996-1997 adalah keadaan
politik yang paing tidak stabil sejak 1967. (forrester dan may, 1998) tahun 1996 partai
demokrasi indonesia (PDI), sebuah partai oposisi menjadi menjadi subyek rekayasa kasar
guna menjamin agar pimpinannya mendukung rezim Soeharto, sedangkan para penentang
yang lebih mudan dan lebih radikal dipenjara dalam waktu yang lama. Ditahun 1996 akhir
dan 1997, awal satu seri insiden-insiden kekerasan dengan unsure etnik yang sengit terjadi
di beberapa kota di jawa. Kerusuhan meningkat di pertengahan smester pertama di tahun
1997, antara lain di kalimatan dengan konflik etnik yang sangat kejam antara penduduk asli
suku dayak dengan imigran Madura (dan terjadi lagi pada skala yang lebih mengerikan
bulan maret 1999). Pada bulan mei 1997 kampanye pemilu untuk memilih anggota DPR
diadakan, juga terjadi dengan latar belakang kekerasan yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Kemudian di pertengahan tahun, kebakaran hutan yang terburuk terjadi
dikarenakan oleh penebangan hutan yang sembarangan, musim panas yang panjang serta
pengawasan pengaturan yang lemah. Asapnya yang melanda sumatera dan Kalimantan juga
mengganggu beberapa bagian dari Malaysia dan singapura. Peristiwa-peristiwa politik ini
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap situasi perekonomian sampai pertengahan
1997. Pendapatan kapital terus naik, pasar saham meningkat, rupiah terus melaju pesat
melewati batas rendah garis intervensi, kurs mata uang dengan cepat dengan cepat menuju
batas bawah baru . meski ada banyak muncul ketidakpuasan, kebencian yang meluas
terhadap bisnis-bisnis anak soeharto, dan rasa frustasi karena tidak terwujudnya

12
keterbukaan politik awal 1990an, namun protes-protes politik tampak berkurang setelah
pemilu bulan juli dan soeharto kembali memegang kekuasaan.
4. Semua indicator ekonomi dan financial yang ada terlihat meningkat dan menunjukan situasi
pra-krisis yang baik.
Kebijakan fiscal adalah konservatif dimana anggaran berimbang dan berlaku selama 30
tahun, inflasi hanyalah 1 digit. Hutang luar negeri pada perbandingan GDP secara berangsur
menurun dan lebih rendah ketimbang periode penyesuaian pada pertengahan tahun 1980an,
defisit keuangan tampak dapat diatur. Pada indokator-indikator bisnis menunjukan
perbaiakan, dimana investasi dan tabungan naik, ICOR indonesia stabil pada 1990an, akhir
1996 dan 1997 tidak tercatat kehilangan antusiasme dari investor pada rupiah atau pasar
saham. Tingkat kesehatan perusahaan-perusahaan tampak memuaskan, industri bangunan
dan pasaran rumahan tampak tumbuh pesat. Diperkuat dengan perbangdingan-perbandingan
internasional (World Competitiveness Report) menempatkan posisi indonesia agak rendah
disbanding dengan ekonomi OECD. Tetapi diantara pasar-pasar yang baru muncul
indonesia diasumsikan pada posisi menengah dan termasuk Negara yang sedang
berkembang yang substansial. Kemusian proses pendalaman financial kelihatan maju,
kemampuan Bank Indonesia dalam menyusun peraturan kebijakan meningkat. Pada neraca
pembayaran terihat bahwa nilai tukar secara berangsur diperlonggar karena bank indonesia
memperbesar intervensinya, cadangan devisa meningkat, pertumbuhan ekspor menunjukan
fluktuasi besar dari tahun ke tahun tetapi tidak ada penurunan mendadak di tahun 1995 dan
1996.
Dari paparan ciri-ciri pra krisis di atas membuktikan bahwa tidak adanya tanda-tanda
krisis yang akan datang baik itu ekonomi, keuangan, social maupun politik sampai juli 1997
yang kemudian diikuti dengan krisis yang lebih hebat dibandingkan dengan krisis di negara
tetangga. Ini menjadi salah satu pembeda krisis indonesia dengan krisis di Negara lainnya di
asia timur dan afrika.

1.5.1.1 Dari krisis moneter ke krisis total di Indonesia


Penilaian tahunan bank dunia 1998 tentang Indonesia menyatakan (Hill 2002) :
“Indonesia sedang Dalam keadaan krisis yang parah. Sebuah Negara yang mencapai decade-
dekade pertumbuhan cepat, stabilitas dan pengurangan kemiskinan, sekarang mendekati
kehancuran ekonomi. …tidak ada Negara dalam sejarah sekarang ini kecuali indonesia, yang
pernah mengalami keterbalikan nasib dramatis sedemikian rupa.”
Sebelum memasuki masa krisi Indonesia mengalami masa pra kiris yang sangat
makmur, dimana pertumbuhan ekonomi kuat dan mengalami terus peningkatan secara
signifikan, kemiskinan dan pengangguran rendah karena upah riil naik di setiap sector serta
indicator social menunjukan peningkatan yang baik. Indicator ekonomi dan keuangan Indonesia
yang menunjukan situasi yang cukup baik. Tidak ada defisit anggran, inflasi rendah, investasi
dan tabungan terus naik, kinerja perusahaan-perusahaan menunjukan perkemangan yang baik
dan sehat. Kemudian cadangan devisa yang semakin meningkat sama halnya dengan kegiatan
dagang ekspor yang terus menunjukan fluktuatif yang positif membuat indonesia menjadi salah
satu Negara asia yang paling cepat pertumbuhannya pada saat itu. Tidak ada sama sekali tanda-

13
tanda krisis yang akan datang hingga pada pertengahan 1997 indonesia mulai di landa krisis
yang hebat.
Menurut (Djiwandono, Bergulat dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia
2005) Krisis di indonesia dimulai dari dampak penularan, dimana rupiah tertekan di pasar mata
uang mengikuti apa yang terjadi di Negara tetangga, dimulai dari depresiasi yang dramatis dari
bath Thailand pada awal juli 1997. Akan tetapi dengan kebijakan yang di lakukan tentang
kebijakan kurs intervensi BI dan pengambangbebasan rupiah, disertai intervensi pada pasar
valas serta pengetatan likuiditas ternyata kemudian terjadi proses deterioriasi keadaan
(downward spiral) melalui proses penularan, sehingga masalah yang awalnya berbentuk gejolak
kurs rupiah kemudian menjalar menjadi masalah rupiah yang tertekan (distress), karena masih
lemahnya sector ini. ketidak percayaan terhadap rupiah kemudian menjalar menjadi ketidak
percayaan terhadap perbankan yang mendorong timbulnya krisis perbankan. Pada puncak dari
krisis perbankan, bank-bank tidak hanya ditinggalkan deposan dan penabung, akan tetapi juga
oleh bank-bank lain. Pasar uang antar bank menjadi tersekat-sekat, terganggu jalannya. Bank-
bank usaha diluar negeri juga ikut meninggalkan dengan melakukan penolakan terhadap L/C
yang di keluarkan bank-bank nasional.
Krisis perbankan kemudian cepat menjalar kepada nasabah mereka, melalui
peningkatan suku bunga pinjaman dan pembatasan pemberian kresit. Sehingga masalah sector
keuangan langsung berpengaruh negative pada sector riil, baik bagian konsumsi, produksi,
perdagangan maupun investasi. Dalam proses tersebut secara cepat krisis keuangan menjalar
menjadi krisis ekonomi dan social. Perusahaan-perusahaan yang tidak memperoleh pinjaman
bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya. Akhirnya semua itu menimbulkan krisis
dalam kehidupan politik dan memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan yang
berkepanjangan. Perkembangan terjadinya krisis secara kronologis sejak awal juli 1997, sebagai
berikut :
1. Nilai tukar rupiah terhadap USD mulai tertekan setelah terjadi hal yang serupa terhadap
bath Thailand yang diikuti dengan pengambangan bath tanggal 2 juli 1997 dan peso
Filipina 11 juli 1997.
2. Dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8% menjadi 12% pada 11 juli 1997.
Setelah dilakukan pelebaran sebanyak enam kali sejak 1994. Ringgit Malaysia
diambangkan 14 juli 1997.
3. Dilakukan penghapusan rentang kurs intervensi atau pengembang bebasan rupiah pada
tanggal 14 agustus 1997.
4. Dilakukan intervensi pada pasar valas untuk menghadapi tekanan yang timbul baik
setelah pelebaran kurs intervensi maupun setelah 14 agustus 1997.
5. Dilakukan langkah –langkah pengetatan likuiditas untuk mendukung upaya
mempertahankan kurs yang antara lain dilakukan dengan intervensi pengetatan
likuiditas dilaksanakan melalui kebijakan moneter dn fiscal dengan berbagai bentuknya,
seperti penundaan pengeluaran anggaran, peningkatan suku bunga SBI sampai dua kali
lipat dan pengubahan deposito milik BUMN ke dalam SBI.
6. Langkah-langkah kebijakan makro dan sektoral 3 september 1997, suatu program
ekonomi yang dapat disebutkan sebagai self imposed IMF program.

14
7. Keputusan untuk meminta bantuan IMF, awal oktober 1997.
8. Perundingan dengan IMF yang menghasilkan letter of intent pertama, 31 oktober 1997,
dari precautionary menjadi stand by arrangement. Program yang akan
diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan nilai tukar rupiah,
langkah-langkah fiscal, restrukturisasi perbankan dan restrukturisasi sector riil.
9. Kebijakan pencabutan ijin usaha 16 bank pada tanggal 1 november 1997dan dampak
negative yang ditimbulkan.
10. Pencairan pinjaman pertama USD 10 milyar, sebagai bagian dari paket penyediaan dana
sebesar USD 43 milyar.
11. Intervensi pasar valas bersama jepang dan singapura yang berhasil, tetapi hanya
sebentar.
12. Implementasi program dengan dukungan IMF yang kurang lancar, tampak dari
ketidakjelasan pelaksanaan rencana pembangunan proyek-proyek pemerintah yang
semula ditunda, penuntunan menkeu dan Gubernur BI oleh pemilik bank Jakarta dan
bank Anromeda ke PTUN, serta pelaksanaan kebijakan moneter yang yang kurang baik
sehingga timbul reaksi pasar yang negative.
13. Reaksi pasar sangat negative terhadap pengumuman RAPBN pemerintah yang tidak
realistis.
14. Proses terjasinya letter of intent yang kedua, 15 januari 1998, didahului dengan desakan
G7.
15. Reaksi pasar yang negative terhadap berita mengenai pencalonan prof.B.J.Habibie
sebagai wapres.
16. Pembentukan DPK-EKU, pengankatan deputi MD IMF, Mr.Prabhakar Nverkar menjadi
penghubung langsung antara presiden RI dengan MD IMF M.Camdessus, dan
pengangkatan Prof. Steve Hanke sebagai penasehat DPK-EKU.
17. Langkah pemulaan pemberian status independen kepada BI dengan dikeluarkannya
kepres yang memberikan wewenang ke BI untuk menentukan sendiri tingkat suku
bunga, 21 januari 1998.
18. Pelaksanaan restrukturisasi perbankan dengan memberikan jaminan terhadap semua
deposito, giro, tabungan, dan pinjaman bank-bank komersial nasional (blanket
guarante). Dan pendirian BPPN tanggal 26 januari 1998.
19. Heboh CBS, usulan Steve Hanke dan implikasi yang ditimbulkan.
20. Pemberhentian J.Soedrajat Djiwandono sebagai gubernur BI, kurang dari 1 bulan
sebelum selesai masa jabatannya diganti dengan Dr.Syahril Sabirin.
21. Perundingan pemerintah dengan IMF yang menghasilkan “memorandum tambahan
tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan” , ditandatangani oleh Menko Ekuin 9
april 1998.
22. Keputusan BPPN membekukan 7 bank serta melaksanakan pengawasan intensif
terhadap 7 bank lain, April 1998.
23. Pencairan pinjaman tahap kedua sebesar 1 USD milyar.

15
24. Pertengahan mei 1998, kerusuhan di Jakarta dan berbagai kota setelah terjasi
demonstrasi terus-menerus, dimana terjadi banyak korban jiwa, harta dan pemerkosaan.
Rupiah mengalami depresiasi drastic dan terjadi penarikan dana deposan besar-besaran.
25. Lengsernya presiden soeharto setelah 32 tahun berkuasa dan digantikan oleh
B.J.Habibie pada 1 mei 1998.
26. Pengumuman cabinet reformasi dan pemberian status independen kepada BI dengan
menempatkan kedudukan gubernur BI diluar kabinet. (Djiwandono, Bergulat dengan
Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia 2005)

Dilihat secara makro indicator-indikator ekonomi indonesia mengalami penurunan saat


memasuki masa krisi pada juli 1997 hingga akhir 1997, berdasarkan data yang diperoleh dari
Badan Pusat Statistik pertumbuhan ekonomi indonesia pada tahun 1997 hanya sebesar 4,65%
setelah pada tahun-tahun sebelum nya pertumbuhan ekonomi indonesia berada pada 6-8 %.
Kemudian tingkat inflasipada tahun 1997 meningkat menjadi 11,6 % setelah pada tahun
sebelumnya hanya 6,63%. Neraca pembayaran indonesia melambung tinggi hingga US$10.021
pada 1997. Penurunan indicator-indikator ekonomi pada masa krisis ekonomi 1997/1998
dipengaruhi oleh tingginya nilai tukar rupiah yang pada akhirnya mengaharuskan pemerintah
indonesia mengambil langkah untuk menstabilkan perekonomian indonesia dengan pinjaman
utang luar negeri.

1.5.1.2 Utang luar negeri


Sejak terjadinya krisis ekonomi di indonesia, beban hutang indonesia terus menumpuk.
Hutang jumlah yang besar yang harus dibayarkan sebagai akibat dari pengelolaan ekonomi yang
buruk selama kepemimpinan orde baru ditambah lagi dengan proses pemulihan ekonomi yang
tidak komprehensif dan konsisten. Perekonomian pada masa orde baru dibangun atas dasar
prinsip “lebih besar pasak adri pada tiang” (Basri 2002). Keadaan ini ditandai dengan jumlah
konsumsi yanglebih besar dari pada jumlah produksi serta impor barang yang lebih besar
daripada ekspor barang. Terjadi kesenjangan yang kian membersar antara produksi-konsumsi
dan ekspor-impor sehingga mencapai puncaknya pada 1997. Laju investasi meningkat cepat
karena optimisme berlebihan tanpa disertai peningktan tabungan. Arus modal masuk ini pada
awalnya ditujukan sebagai stimulant agar perekonomian lebih produktif sehingga secara
perlahan dapat terlepas dari kondisi lebih besar pasak adri pada tiang. Namun pengelolaan
dana-dana asing yang tidak tepat mengantarkan bangsa ini pada krisis ekonomi yang
berkepanjangan.
Menurut Tabel 1 hingga bulan maret tahun 2000 total hutang luar negeri indonesia sebesar
USD 144,5 milyar yang terdiri dari utang sector public sebesar USD 85,9 milyar di dalamnya
termasuk pemerintah (USD 75,2 milyar), bank pemerintah (USD 4,7 milyar) dan Badan Usaha
Milik Negara (USD 6 milyar). Utang sector swasta sebesar USD 58,5 milyar terdiri dari utang
bank swasta sebesar USD 5,5 milyar dan utang perusahaan swasta ebesar USD 52,8 milyar.
Beberapa hal penting dari total akumulasi utang luar negeri indonesia adalah 13:

13
(Basri 2002)

16
1. 60 persen utang luar negeri adalah utang sektor public, yakni utang pemerintah 52
persen, bank pemerintah sebesar 3,24 persen dan BUMN sebesar 4,13 persen.
2. proporsi sector swasta cukup besar terhadap total utang luar negeri sebesar 40,5 persen.
Proporsi utang tersebar adalah dari perusahaan swasta penanaman modal asing (19,3
persen) dan perusahaan swasta PMDN (10 persen). Utang seasta yang besar
proporsinya ini karena optimism yang berlebihan akan prospek investasi, selain karena
banyak bidang-bidang usaha yang digeluti merupakan bidang usaha yang
mengharapkan rente ekonomi bukan keuantungan atas dasar efisiensi produksi atau
inovasi.
3. utang pemerintah terbesar berasal dari utang multilateral (21,2 persen) utang bilateral
(17,2) seta kresit ekspor (10,8 persen). Perjanjian utang-utang jenis ini banyak
dipengaruhi pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan rasional ekonomi.
Pemberian utang lembaga-lembaga multirateral atau utang bilateral pada masa-masa
awal pemerintahan orde baru sebetulnya didorong oleh suasana perang dingin.
Kemudian pemberian utang lebih didorong oleh kepentingan Negara-negara pemberi
utang untuk meningkatnka permintaan terhadap perekonomian domestiknya tanpa
mempertimbangkan dengan baik kebutuhan Negara penerima.

Table 1

Utang Luar Negeri Indonesia


(juta dollar AS)
    jumlah %
100,0
144.492
Total 0
A.Sektor Publik 85.940 59,48
1. pemerintah 75.292 52,11
  multilateral 1) 50.620 21,19
  Bilateral 25.695 17,78
  fasilitas kredit ekspor 15.629 10,81
  Leasing 717 0,05
  komersial orang asing  
2. BUMN 5.970 4,13
  kredit bank 5.145 3,56
surat berharga domestik yang dimiliki
825 0,57
  orang asing
B. sektor swasta 58.551 40,52
1. Bank Swasta 5.711 3,95
  Kredit Bank 5.711 3,95
2. Perusahaan Swasta 52.840 36,57
  penanaman modal asing 27.912 19,32
  lembaga keuangan bukan bank 9.666 6,69
  perusahaan swasta 7.032 4,87
  penanaman mosal dalam negeri 14.463 10,01
  surat berharga domestik yang dimiliki 2.467 1,71

17
orang asing

catatan :
1) termasuk dari IMF sebesar US$ 10 miliar
2) termasuk US$256 juta SBI yang dimiliki orang asing
sumber : Bank Indonesia, dikutip dari Jeffery A. Winters (Basri 2002)

1.5.1.3 Beban Cicilan Dan Bunga Utang Terhadap Perekonomian


Beban pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah berdampak pada beban APBN
yang semakin berat dan arus modal keluar yang semakin menurun, diimbangi peningkatan laju
ekspor. Investasi pemerintah (belanja pembangunan)semakin tertekan karena alokasi dana untuk
membayar cicilan utang dengan bunganya. Berdasarkan tabel 2, sejak tahun anggaran
1997/1998 APBN mulai mengalami defisit. Pada tahun anggaran 1999/2000 mengalami defisit
anggaran sebesar Rp44 triliun, defisit tersebut kembali dibiayai oleh utang baik dalam bentuk
bantuan program (program aid) maupun bantuan proyek (proyek aid). Indonesia telah terjebak
dalam perangkap utang dimana pembayaran cicilan dan bunganya ditutup kembali dengan utang
baru. Sumber pembiayaan defisit yang lain adalah pendapatan dari program privatisasi dan
penjualan asset-aset program restrukturisasi perbankan.
Table 2

Ringkasan Anggaran Pemerintah Pusat

1994/1995-2000/a
1994/ 1995/ 1996/ 1997/ 1998/ 1999/
  1995 1996 1997 1998 1999 2000 2000
64,42 70,85 87,63 107,9 146,87 181,04
1. Domestic Revenue 1 2 0 6 2 1 152,29
32,13 35,20 44,97 75,23 115,27 173,69 155,42
2. Current Expenditure 7 1 2 2 2 5 5
32,27 35,65 42,65 32,73
3. Government Saving 6 1 8 3 31,600 7,346 -2,528
28,43 27,20 32,92 36,31
4. Development Expenditure 0 1 8 1 52,824 51,560 41,606
- - -
Balance 3,846 8,450 9,730 3,578 21,224 44,214 -44,13

finace by :              

Program Aid 0 0 0 0 24,926 25,362 11,300


11,90 14,38
Project Aid 9,838 9,009 0 6 26,181 18,271 16,030
Change inBalance ( - - - -
=increase) -13,68 17,46 21,62 10,81 -29,81 582 16,804

18
sumber : menteri keuangan (dalam faisal
basri.2002)

Pembayaran cicilan utang, baik utang dalam negeri maupuan utang luar negeri memiliki
proporsi yang besar dalam APBN. Beban pembayaran cicilan dan bunga utang ini mencapai
sekitar 26 persen pada tahun anggaran 1998/1999, 20 persen (1999/2000), 28 persen (2000) dan
26 persen (2001). Secara nominalpun meningkat sangat tajam, apabila ditambah dengan beban
bunga obligasi untuk rekapitalisasi perbankan (Basri 2002). Secara tidak langsung masyarakat
terkena dampak dengan berkurangnnya proporsi pengeluaran untuk pos-pos yang berkaitan
dengan kesejahteraan masyarakat. Apabila pembayaran utang dan bunga semakin besar
proporinya maka akan mengakibatkan mengecilnya proporsi alokasi anggaran pembangunan,
gaji pegawai negeri semakin kecil proporsinya, pencabutan berbagai macam subsidi listrikn dan
bahan bakar minyak walaupun subsidi tersebut memang salah target. Sesungguhnya masyarakat
yang dibebankan atas besarnya beban utang pemerintah melalui pajak yang di tarik dari
masyarakat. Pajak pada dasarnya adalah pembayaran tidak langsung atas jasa-jasa yang telah
diberikan oleh pemerintah seperti penyediaan barang public yaitu jalan atau jasa keamanan yang
disediakan tentara atau polisi.

1.5.1.4 Peran World Bank dan IMF dalam Akumulasi Utang


Dimulai dengan keinginan untuk melakukan penjadwalan kembali utang-utang luar
negeri Indonesia, memperoleh pinjaman baru untuk pembangunan ekonomi indonesia yang
terpuruk, serta menarik investor asing ke indonesia, maka dimulailah serangkaian pertemuan.
Tiga pertemuan awal yang bersifat multilateral, yakni Tokyo Club (Tokyo, september 1966),
paris meeting (Paris, Desember 1966), diikuti dengan pertemuan Amsterdam bulan februari
1967. Pertemuan terakhir di belanda itulah yang menghasilkan konsorsium Negara-negara yang
memberikan pinjaman bagi Indonesia yang terkenal engan IGGI (Inter-Govermental Group on
Indonesia) pinjaman negara-negara itu diberikan kepada indonesia lewat Bank Dunia. Awalnya
IGGI mencakup 16 negara namun pada tahun 1992 pemerintah RI membubarkan IGGI dan
membentuk CGI (Consultative Group on Indonesia) dengan tujuan menguarkan belanda dari
konsorsium karena dianggap terlalu ikut campur dalam urusan pembangunan indonesia (Basri
2002).
Bank dunia sangat memiliki kepentingan terhadap pembangunan indonesia karena
indonesia adalah klien yang baik yang selalu membayar pinjaman dan bunganya tepat waktu.
Sehingga merupakan hal yang menguntungkan bagi Bank Dunia memberikan pinjaman kepada
Indonesia. Sehingga proyek pembangunan di Indonesia yang didanai oleh Bank Dunia terus
berlanjut. Kondisi ini justru dimanfaatkan oleh para oknum oknum dan politisi pemerintahan
untuk menggelapkan dana. Laporan Bank Dunia pada tahun 1997 (Basri 2002) memperkirakan
bahwa sekitar 20 persen sampai 30 persen pinjaman untuk Indonesia telah digelapkan oleh
beberapa pejabat dan politisi pemerintahan. Walaupun era orde baru telah berakhir praktik
penggelapan dana itu masih berlangsung. Menurut laporan terakhir bank dunia pada tanggal 17
desember 1998 sebagian dana gelap itu dicurigai digunakan untuk mempengaruhi jalannya

19
pemilihan umum pertama pada era sesudah kejatuhan Soeharto yang dilaksanakan bulan juni
1999.
Lembaga Multilateral lain yang turut serta mempercepat akumulasi utang indonesia
adalah IMF terutama pada dua tahun terakhir selama berlangsungnya krisis ekonomi indonesia.
Peran IMF tersebut tidak terlepas dari kepentingan IMF sendiri sebagai begara multilateral dan
negara-negara pemegang saham terbesar. Selama 30 tahun 1969-1999 jumlah pinjaman
indonesia dari Bank dunia hampir mencapai USD 27 miliar atau rata-rata mencapai USD 900
juta pertahun. Saat memasuki masa krisis indonesia mulai mengalami kesulitan likuiditas yang
nyata baik bagi pihak swasta maupun pihak pemerintah. Sehingga berakibat pada penambahan
utang indonesia kepada IMF menjadi sebesar USD 43 miliar. Upaya yang salah dalam
pemulihan ekonomi mengakibatkan krisis yang semakin dalam dan pada akhirnya memerlukan
dana (utang baru) sehingga akumulasi utang bertambah besar. Kesalahan yang dibuat IMF
dalam melakukan terapi adalah meminta Negara yang terkena krisis menghindari kebijakan
anggaran defisit dengan cara menaikan pajak dan menurunkan anggaran belanja. Selain itu IMF
juga mengharuskan Negara yang terkena krisis menerapkan kebijakan moneter kontradiktif
yang mengakibatkan suku bunga di indonesia melambung hingga mencapai 60 persen.
Ditambah dengan program penutupan bank yang tidak transparan membuat kepanikan luar biasa
mengakibatkan bank-bank kolabs dan kesulitan likuiditas.

1.5.2 Krisis Ekonomi Indonesia tahun 2008


Melambatnya ekonomi Amerika Serikat pada akhir tahun 2007 yang lalu mendorong
spekulasi bahwa Amerika Serikat berada di ambang resesi, terutama dampak krisis kredit yang
telah meluas dari sektor perumahan (saat ini berada dalam kondisi resesi) ke sector manufaktur
dan mengarah ke sektor tenaga kerja. Runtuhnya supremasi Amerika serikat yang kini
terancam resesi, dimungkinkan akan berdampak terhadap ekonomi negara-negara lain di dunia.
Amerika adalah negara adi daya (super power) yang memiliki kekuatan ekonomi terkuat di
dunia, dan memberikan kontribusi sekitar 20 – 30% dari perputaran ekonomi dunia. Ekonomi
Amerika Serikat memiliki PDB sebesar US $13, 1 triliun, setara 20% dari PDB dunia pada
tahun 2007. PDB Amerika Serikat mengalami kenaikan pada kuartal ke tiga sebesar 4,9%,
bahkan masih memiliki daya beli konsumen yang tinggi (IKK 90,6), ternyata tidak mampu
menopang ekonominya akibat krisis kredit pada pasar mortgage senilai US $1,8 triliun (Sihono,
Krisis Finansial Amerika Serikat dan perekonomian Indonesia 2008).
Krisis Amerika Serikat telah dimulai akibat kejatuhan sektor perumahan yang disebabkan
meningkatnya kredit perumahan yang berisiko tinggi (subprime mortgage) pada bulan Agustus
tahun 2007 menyebabkan kredit macet dan merosotnya harga saham global dalam beberapa
bulan terakhir. Krisis di Amerika Serikat tersebut menjalar ke Eropa, merontokkan harga saham
global dan melemahkan dollar Amerika Serikat ke rekor tertinggi US $1,4967 terhadap Euro,
pada waktu ditetapkan tahun 1999 US$1,16675 (Sihono, Krisis Finansial Amerika Serikat dan
Perekonomian Indonesia 2008). Bank-bank yang memiliki networking dalam ikatan investasi
perumahan dengan pelaku bisnis properti bereputasi buruk ikut kena dampaknya, sehingga
membuat kinerja perbankan mengalami kegoncangan hebat, dan diperparah saat pasar saham
global tidak kuasa menanggulangi dampak mortgage. Hal ini memukul pasar saham pada level

20
terpuruk, semakin sulit mendapat kepercayaan pelaku pasar modal, baik di pasar di Amerika
maupun di kawasan ekonomi dunia.
Sejak awal Maret 2008, telah terjadi lonjakan angka kerugian yang dialami bank bank
investasi dunia yang ditaksir mencapai US $160 miliar, para analis moneter memperkirakan
angka kerugian bisa mencapai lebih dari US $1 triliun. Masalah ini berawal turunnya pasar
perumahan pada tahun 2006, karena kenaikan suku bunga ke angka tertinggi 5,25 persen.
Kenaikan suku bunga ini menyebabkan repayment pinjaman rumah lebih mahal, memicu
penunggakan pembayaran dalam jumlah besar, dan menjadi ancaman kredit macet. Menurut
George Soro14, krisis finansial saat ini adalah yang terburuk semenjak depresi besar tahan 1929,
dan krisis ini menuju pada titik nadir (paling rendah). Amerika Serikat pada akhir tahun 2007
menyampaikan warning bahwa perekonomiaan Amerika serikat akan melamban sebelum akhir
tahun 2008, karena krisis kredit perumahan yang mempersulit sektor financial.

Gejala-gejala lain yang disandang Amerika Serikat yang sedang dilanda krisis antara lain:

1. turunnya industri konstruksi, manufaktur, jasa dan pasar properti minus 24% (tahun
2007), dan 4,6% (tahun 2009)
2. penurunan tingkat konsumsi tahun 2007 41,3% dan tahun 2009 36,9%
3. turunnya indeks kepercayaan konsumen (IKK) tahun 2007 90,6 tahun 2008 87,9 dan
tahun 2009 turun drastis ke 26,0
4. jatuhnya harga saham/sekuritas dan melemahnya pasar barang dan jasa
5. meningkatnya inflasi ( 4,3%) dan pengangguran (5%) pada Januari 2008
6. pertumbuhan ekonomi menurun ke arah 1% bahkan mendekati minus
7. modal perbankan terus tertekan, dan credit crunch (kredit tersumbat)
8. pasar properti turun minus 24,4% pada tahun 2008, dan tahun 2009 4,6%
9. lonjakan harga minyak (awal tahun 2008 US$110 per barel). (Sihono, Krisis Finansial
Amerika Serikat dan Perekonomian Indonesia 2008)

Semenjak kenaikan harga minyak dunia yang menembus kisaran US $110 perbarel pada
awal tahun 2008 yang menggoncangkan stabilitas ekonomi makro di banyak negara, dengan
kenaikan inflasi dan pengeluaran negara untuk kepentingan subsidi. Sementara Indonesia yang
kondisi ekonomi makronya relatif baik dalam tiga tahun terakhir sebelum krisis harus
melakukan penyesuaian anggaran. Konsumsi BBM di dalam negeri yang terus meningkat
hingga mencapai 1,3 juta barel per hari, dan pergeseran angka subsidi BBM dan listrik yang
semakin membebani APBN,hal ini nyaris menghabiskan seperempat alokasi anggaran APBN.
Kenaikan BBM dan tarif Listrik serta ancaman inflasi dapat berakibat fatal bagi perekonomian
rakyat, tingkat kemiskinan terancam terus meningkat. Mensikapi hal ini pemerintah menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi, stabilisasi makro dan sikap perhatian kepada rakyat,
(mempertahankan subsidi baik BBM, Listrik, BLT, dan lain sebagainya), dan kebijaksanaan
fiskal/pemotongan anggaran untuk jangka pendek.

Berikut adalah gambaran dari keadaan perekonomian Indonesia pada krisis ekonomi tahun 2008
(Sihono, Krisis Finansial Amerika Serikat dan Perekonomian Indonesia 2008) :
14
(Sihono, Krisis Finansial Amerika Serikat dan Perekonomian Indonesia 2008)

21
1. Resesi Amerika Serikat yang menghantam Bursa di Wall Street New York menyeret
jatuh IHSG. Karena sentiment negatif bursa Ameika Serikat dan regional sangat cepat
menyusupi para investor, harga komoditas yang merosot membuat harga saham-saham
komoditas merosot pula. Tahun 2007 penggerak indeks saham hanya tiga : CPO,
batubara dan nikel, (d) risiko lain yang menghadang bursa Jakarta yang berganti nama
Bursa Efek Indonesia (BEI) akhir tahun 2007 adalah harga minyak. Hal ini berefek
negatif terhadap anggaran, mata uang, margin perusahaan, petumbuhan ekonomi, inflasi
dan neraca pembayaran.
2. Mengenai ancaman resesi ekonomi Amerika Serikat, diperkirakan tidak banyak
berpengaruh pada investasi di Indonesia, mengingat ekonomi Indonesia di dominasi
oleh ekonomi lokal. Perdagangan hanya memberikan kontribusi terhadap PDB antar
24% - 26%, dan hampir 60% komoditas industri dikonsumsi untuk dalam negeri.
Namun secara keseluruhan diperkirakan sedikit akan mempengaruhi Indonesia. Dalam
menghadapi produk-produk China yang bersenjatakan “dumping” ke kawasan Asia
Tenggara, Indonesia harus mampu memproteksi industri dalam negeri, terutama dengan
mekanisme pasar yang baik.
3. Gejolak ekonomi global berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, namun tidak
mengkhawatirkan, mengingat pangsa pasar ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya
13%. perekonomian Indonesia relatif aman walaupun harga minyak dunia mengalami
kenaikan.
4. Kesiapan Indonesia dalam menghadapi masa krisis pangan telah membaik, suatu
pertanda kebangkitan pertanian Indonesia mulai menemukan momentumnya. Pada
tahun 2007 produksi padi naik 4,76% merupakan rekor dalam 15 tahun terakhir,
produksi jagung naik 14,5% dan berbagai komoditas lainnya naik 5%, kecuali kedelai.
Pada tahun 2007 PDB pertanian naik 4,3%, biasanya hanya naik 3% dan ini suatu
prestasi yang langka. Investasi pertanian naik 56,15% (PMDN) dan PMA naik 48,67%
per tahun. Pada tahun 2007 sektor pertanian penyumbang terbesar pada pertumbuhan
ekonomi nasional yang pada kuartal ketiga mencapai 6,5%. Data tersebut menjawab
berbagai isu negatif yang menyorot wajah pembangunan pertanian Indonesia dan
membuka optimistik dalam menyongsong era kebangkitan pertanian Indonesia.
5. Konsolidasi fiscal yang dilakukan menghadapi beban berat berupa: hutang publik yang
tinggi, subsidi yang semakin meningkat (terutama BBM), penerimaan pajak yang
kurang optimal, kenaikan harga minyak dunia yang diikuti penurunan kurs rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat, kenaikan BI rate, yang semakin menambah beban
APBN.
6. Penghapusan subsidi BBM diganti dengan “cash on hand” transfer” langsung dalam
bentuk: biaya sekolah, biaya kesehatan, tunjangan lauk-pauk, perbaikan gizi, dan yang
lain guna memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Hal ini berdampak inflasi, namun
masyarakat akan terbiasa mengikuti harga pasar.
7. Kebijakan pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke elpiji, bertujuan
mengurangi subsidi, dan ingin tetap mempertahankan subsidi, serta sebagai upaya
melepaskan ketergantungan terhadap minyak.

22
8. Melonjaknya harga komoditas pertambangan dan energi (minyak, gas, batu bara, nikel,
kelapa sawit, dan karet) di pasar internasional membuat margin di sector tersebut
meningkat tajam, maka sektor pertambangan dan perkebunan menjadi primadona
perbankan. Bank-bank BUMN didorong lebih aktif dalam penyaluran kredit ke sektor
produktif, termasuk sektor infrastruktur.
9. Mendorong peningkatan ekspor nonmigas secara keseluruhan. Indonesia punya peluang
besar untuk memacu ekspor ke China dan India, sejalan dengan masih kuatnya
permintaan komoditas tambang. Penurunan Fed funds rate ke level 3%, direspon oleh
Bank Indonesia dengan tetap mempertahankan BI rate pada tingkat 8%, yang
menyebabkan derasnya capital in flow ke Indonesia pada triwulan ke tiga mencapai
US$1,3 miliar. Kebijakan ini positif jika dilihat dari upaya mengurangi tekanan inflasi
yang disebabkan oleh imported inflation. Suku bunga yang tinggi efektif untuk
mengurangi tekanan inflasi, tetapi tidak memfasilitasi pergerakan sektor real domestik.
Cadangan devisa naik menjadi US$55 miliar, naiknya harga komoditas minyak, batu
bara, nikel, karet, timah, emas, dan CPO, menunjukkan membaiknya para emiten di
sektor tersebut. Penanaman modal asing di sektor real, foreign direct investment (FDI)
naik dari awal Januari 2007 sebesar Rp 53,79 triliun menjadi Rp 91,81 triliun pada
November 2007.
10. Kesiapan Indonesia telah dilakukan dalam tiga tahun terakhir berupa penurunan suku
bunga. Kondisi kondusif telah banyak membawa hasil positif pada permintan agregat
dan struktur penyaluran kredit yang meningkat 25%, dan telah menggerakkan sector
real, serta meningkatkan penerimaan pajak. Penghasilan devisa dari ekspor, tidak
tergantung ekspor terhadap negara maju seperti; Amerika Serikat, Jepang, Eropa dan
yang lain, karena kontribusinya hanya sekitar 7% terhadap PDB. Multiplier effect dari
merosotnya pertumbuhan ekonomi negara-negara maju berpotensi membawa dampak
pada sirkulasi ekonomi kawasan Asia. Turunnya ekspor kawasan Asia ke negara-negara
maju, akan berpengaruh juga pada pertumbuhan ekonomi kawasan Asia. Untuk
mengantisipasi penurunan ekspor, perlu dijaga eksistensi pasar domestik dalam negeri
agar tidak terdistorsi oleh membanjirnya produk dumping dari negara-negara Asia yang
melakukan crash program, dalam mengalihkan alokasi ekspor dari negara maju ke
negara berkembang.
11. Gejolak naiknya harga minyak berdampak pada kebijakan yang dilakukan, yaitu suku
bunga sulit diturunkan karena ancaman inflasi. Padahal sektor real sangat
mengharapkan Bank Indonesia menurunkan suku bunga, agar dapat menggeliat dan
berkembang. Kondisi inflasi yang tinggi sulit untuk menurunkan suku bunga, sementara
pertumbuhan kredit sudah sangat tinggi (22%). Pertumbuhan kredit yang tinggi jika
tidak diikuti dengan kenaikan suku bunga akan menimbulkan persoalan baru. Sehingga
pemerintah mempertahankan tingkat suku bunga pada saat itu

1.5.3 Kerentanan Ekonomi Indonesia


Faktor-faktor penyebab kerentanan ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Pada tahun 2008-2009 Ekonomi Indonesia semakin rentan terhadap setiap goncangan
ekonomi dunia. Hal ini disebabkan karena ekonomi Indonesia yang semakin terbuka,

23
terutama sejak reformasi ekonomi di[pengaruhi liberalisasi di sejumlah bidang. Sehingga
perekonomian Indonesia semakin terintegrasi ke ekonomi dunia
2. Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditi primer yang terdiri dari pertambangan
dan pertanian. Sehingga, ketika terjadi ketidakstabilan permintaan dunia terhadap komoditi
tersebut menyebabkan perekonomian Indonesia rentan terhadap goncangan terhadap harga-
harga komoditi tersebut.
3. Dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, negara Indonesia sangat tergantung pada impor.
Sehingga, ketika terjadi ketidakstabilan atau kenaikan harga-harga produk makanan pada
pasar internsional akan memberikan efek negatif bagi Indonesia. Ketika pengeluiaran
minimum rumah tangga terkena dampak negatif harga, hal tersebut akan mengancam
keamana pangan yang berujung pada kerusuhan sosial dan kejatuhan kabinet.
4. Indonesia adalah salah satu negara yang banyak mengirim TKI ke luar negeri. Ketika terjadi
krisis di negara penerima TKI, maka hal tersebut secara langsung akan berdampak negative
pada penghasilan yang diperoleh TKI dan terancam adanya pemutusan kerja.
5. Indonesia adalah negara agraris dengan kebutuhan konsumsi makanan domestic yang
tinggi, sehingga sektor pertanian dalam negeri menjadi sangat krusial dan dipengaruhi
beberapa faktor terutama faktor cuaca. Seperti fenomena elnino yang sering menyebabkan
kegagalan panen sehingga akan menyebabkan ketahanan pangan Indonesia terancam yang
dapat berakibat buruk pada indikator-indokator ekonomi lainnya seperti tingginya nilai
inflasi dll.
1.6 Strategi Dan Kebijakan Menghadapi Resesi, Krisis Dan Kerentanan Ekonomi
Indonesia
1.6.1 Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal memainkan peranan yang sangat besar dalam upaya penyehatan
perbankan dalam periode april 1998 sampai oktober 1999. Langkah utama yang dilaksanakan
diantaranya penutupan bank-bank yang tidak sehat (dengan tingkat kecukupan modal kurang
dari negative 25%), penambahan modal bank sehingga tingkat kecukupan modalnya menjadi
4%, serta penerbitan surat utang pemerintah (Subianto 2005). Sebagaimana telah diketahui surat
utang pemerintah yang secara keseluruhan berjumlah sekitar Rp 650 triliun diterbitkan untuk 3
tujuan15 . pertama adalah mengganti kewajiban bank yang ditutup, kedua menambah modal
bank, dan ketiga adalah sebagai pembayaran tagihan Bank Indonesia sehubungan dengan
adanya BLBI. Kebijakan atau langkah-langkah ini apabila dilakukan pada situasi yang normal
dianggap tidak lazim karena dilakukan oleh otoritas fiscal. Hakikatnya pada situasi
perekonomian yang normal kebijakan-kebijakan terkait perbankan dilakukan oleh pihak yang
berwenang dalam hal ini adalah Bank Indonesia.
Ketidaklaziman tersebut membuat otoritas fiscal perlu menjalankan peranan yang
sedemikian besar untuk mengatasi krisis moneter ini, terlebih karena semua upaya tersebut
harus dipikul oleh APBN. Dalam hal ini membuat otoritas fiscal terlalu terfokus pada upaya
penyehatan perbankan sehingga dianggap kurang memperhatikan fungsi fiscal dalam
mendukung sisi permintaan. Kemudian sisi pengeluaran APBN terjadi pengetatan tetapi di
masyarakat terdapat gejala peningkatan konsumsi terutama pada tahun 1999 yang disebabkan

15
(Subianto 2005)

24
oleh besarnya pengahasilan tambahan yang diterima masyarakat dari bunga tabungan dan
deposito. Bunga tabungan dan deposito yang dikonsumsi masyarakat itu sesungguhnya dibiayai
oleh Negara. Dananya memang dari perbankan tetapi bebannya diteruskan oleh Negara melalui
proses rekapitalisasi perbankan dan penerbitan obligasi. Dari segi pengelolaan keuangan
Negara, pemerintah menerbitkan obligasi (surat utang pemerintah) tahun 1998.
Beberapa kebijakan dilakukan dalam merespon anjloknya nilai rupiah agar nilai rupiah
dapat tertolong dan untuk mengembalikan kepercayaan pasar dan para investor terhadap
indonesia. kebijakan yang dimaksud adalah16 :
1. Kontraksi rupiah secara besar-besaran melalui kebijakan fiscal (APBN) dengan cara
menekan pengeluaran dan menunda pembayaran-pembayaran yang tidak mendesak.
2. Bank Indonesia meningkatkan suku bunga hingga suku bunga SBI mencapai 70%
dengan maksud membatasi ekspansi kredit perbankan dan menarik uang yang beredar
dari sistem perbankan yang di konversikan kedalam SBI pada Bank Indonesia.
3. Bank Indonesia melakukan intervensi pasar dengan menjual dolar pada saat diperlukan
jika rupiah menunjukan tanda-tanda penurunan yang benar-benar menghawatirkan.
4. Indonesia bersama dengan jepang dan singapura melakukan intervensi pasar bersama
untuk memperkuat nilai rupiah dengan cara bank sentral jepang dan otoritas moneter
singapura membeli rupiah di pasar.
5. Deposito berjangka yang berjumlah besar milik BUMN yang ditempatkan pada
berbagai perbankan untuk sementara waktu di konversikan pada SBI dan kemudian
dilepaskan secara berangsur-angsur.
6. Pembatalan dan penundaan berbagai mega proyek pemerintah guna memperketat
pengeluaran melalui APBN serta mengurangi laju impor barang agar cadangan devisa
tidak semakin terkuras
Berikut beberapa saran IMF17 :
Pada Maret 1999 IMF memberikan saran untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan
menerapkan kebijakan uang ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan
terhadap kebijakan ekonomi,dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas
dengan petunjuk IMF. Namun saran IMF ini tidak memecahkan permasalahan yang utama dan
yang paling mendesak secara langsung.
Kemudian IMF menyarankan untuk menghentikan dengan segera perlakuan
pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN, karena dalam
jangka pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal, anggaran
dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang
kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun. Subsidi listrik relatif lebih
mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silang sehingga masyarakat berpenghasilan
rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya
penagihan yang lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara
drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat luas

16
(Muhammad 2005)
17
(Wahyun 2015)

25
terhadap perekonomian rakyat kecil,meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan
dengan adanya jaringan keselamatan social.
Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa
diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan
rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi saat itu hampir tidak ada peluang
untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan
diturunkan secara berarti. Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan
dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah. Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang
tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan yang
pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru
menghitung besarnya subsidi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisa. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2002.

BI. Bank Indonesia. Januari 2009. http://www.bi.go.id (accessed September 15, 2015).

Djiwandono, J.Soedrajat. "Bergulat dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia." In


Pemikiran dan permasalahan Ekonomi Indonesia dalam Setengah Abad terakhir, by Hadi
Soesastro, Aida Budiman, Ninasapti Triaswati, Armida Alisjahbana and Sri Adiningsih, 327-
334. Yogyakarta: Kanisius, 2005..

Gunawan, Iwan. "Krisis Ekonomi Eropa dan Dampaknya Bagi Indonesia." Jurnal Online
Westphalia 11 (tt): 63.

Hill, Hal. Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Muhammad, Mar'ie. "Kebijakan Fiskal di Masa krisis 1997." In Pemikiran dan Permasalahan
Ekonomi Indonesia dalam Setengah Abad terakhir, by Hadi Soesastro, Aida Budiman,
Ninasapti Triaswati, Arminda Alisjahbana and Sri Adiningsih, 335-338. Yogyakarta: Kanisius,
2005.

Nezky, Mita. "Pengaruh Krisis Ekonomi Amerika Serikat Terhadap Bursa Saham dan
Perdagangan Indonesia." Depok, 2013, 101.

Sihono, Teguh. "Krisis Finansial Amerika Serikat dan perekonomian Indonesia." Jurnal
Ekonomi dan Pendidikan, 2008: 171-191.

Subianto, Bambang. "Kebijakan Fiskal dalam menghadapi Krisis." In Pemikiran dan


Permasalahan Ekonomi Indonesia dalam Stengah Abad Terakhir, by Hadi Soesastro, Aida
Budiman, Ninasapti Triaswari, Armida Alisjahbana and Sri Adiningsih, 339-354. Yogyakarta:
kanisius, 2005.

Tambunan, Tulus T. H. Perekonomian Indonesia Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2011.

Wahyun, Hadi. "Kilas Balik Krisis Ekonomi Tahun 1997-1998 di Indonesia." Artikel, 2015.

Indonesia, Outlook Ekonomi. "Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian
Indonesia." Januari 2009, Januari 2009-2014.

Gie, Kwik Kian. "Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar." Jakarta: KOMPAS, 2009.

http://docs.google.com. http://docs.google.com/document/d/1W03ZUd7EBNSXI6PzEjAT-
SEZRj3FkYyzDbX7FTTx5hl/preview (accessed September 18, 2015).

http://www.artikata.com. http://www.artikata.com (accessed September 18, 2015).

http://www.artikata.com/arti-336486-krisis.html. http://www.artikata.com (accessed September


18, 2015).

27
Index

bail out, 4 yield, 3, 7

black out, 7 Euphoria

bubble, 4 economic miracle

bullsh, 8 herd instinct

Collateralised Debt Obligations, 2 TFP

corruption perpections index, 4 Konservatif

deleveraging, 6, 7, 8 World Competitiveness Report

Dow Jones Industrial Average, 7 OECD

financial engineering, 2 Fluktuatif

flight to quality, 6, 7, 8 downward spiral

mortgage backed securities, 2 letter of intent

National Asset Management Agency”, 4 blanket guarantee

outflows, 3 program aid

outstanding, 2, 3 proyek aid

risk aversion, 3, 7, 8 subprime mortgage

secondary reserves, 7 dumping

shock, 7 Fed funds rate

Structured Investment Vehicles, 2 capital in flow

subprime mortgage, 2, 3 Multiplier effect

Subprime Mortgage, 2

toxic assets, 6

28

Anda mungkin juga menyukai