Disusun Oleh :
Kelompok 14 (Empat Belas)
1. Sri Lestari (190106007)
2. Eva Nursoleha (190106011)
3. Redi Arif Muzani (190106047)
4. Nadia Dwi Oktaviani
(190106048)
5. Aprilia Ristanti (190106059)
6. Hany Arishandi (190106087)
7. Ambar Nurul Aini (190106100)
ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama ALLAH SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami Panjatkan puja dan puji syukur kita atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Akhlakul Kharimah tentang
Akhlak Bernegara.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenkan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami
miliki. Oleh karena itu,kami mengharapkan segala bentuk saran bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
2.1 Pengertian Akhlak...................................................................................... 3
2.2 Pengertian Negara....................................................................................... 3
2.3 Pengertian Akhlak Bernegara..................................................................... 3
2.4 Ruang Lingkup Akhlak Bernegara............................................................. 4
2.4.1 Musyawarah dalam Bernegara......................................................... 4
2.4.2 Menegakkan Keadilan dalam Bernegara.......................................... 8
2.4.3 Hubungan Pimpinan dengan yang Dipimpin.................................... 13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
3. Apa yang dimaksut dengan akhlak bernegara?
4. Apa saja ruang lingkup dari akhlak bernegara?
5. Bagaimana pentingnya musawarah dalam bernegara?
6. Bagaimana menegakkan keadilan dalam negara?
7. Bagaimana hubungan pemimpin dengan yang dipimpin?
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
2.4 Ruang Lingkup Akhlak Bernegara
2.4.1 Musyawarah dalam Bernegara
Secara etimologis, musyawarah (musyawarah) berasal dari kata
syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang
lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu
yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat.
Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata
musyawarah pada dasarnya hanya digunakan pada hal-hal yang baik, sejalan
dengan makna dasarnya. Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar
dari kata kerja syawara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja
mufa’alah (perbuatan yang dilakukan timbal balik), maka musyawarah
harus bersifat dialogis, bukan monologis. Semua anggota musyawarah
bebas mengeluarkan pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah
diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang dikemukakan,
sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan
(Kadir, 2017).
a) Arti Penting Musyawarah
Musyawarah atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna
menciptakan peraturan didalam masyarakat manapun. Setiap negara
maju yang menginginkan keamanan, ketentraman, kebahagiaan dan
kesuksesan bagi rakyatnya, tetap memegang prinsip musyawarah ini.
Tidak aneh jika islam sangat memperhatikan dasar musyawarah ini.
Islam menanamkan salah satu surat dalam Al-Qur’an dengan Asy-
Syura, di dalamnya dibicarakan tentang sifat-sifat kaum mukminin,
antara lain, bahwa kehidupan mereka itu berdsarkan atas musyawarah,
bahkan segala urusan mereka diputuskan berdasarkan musyawarah
diantara mereka. Sesuatu hal yang menunjukan betapa pentingnya
musyawarah adalah bahwa aat tentang musyawarah itu dihubungkan
dengan kewajiban sholat dan menjauhi perbuatan keji (Asy-Syawi,
2012). Allah SWT berfirman :
4
“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi
maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang kami berikan kepada mereka.” (Q.S Asy-Syura 42:37-
38).
Dalam ayat diatas, Syura’ atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi
masyarakat Islam dituturkan sesudah Iman dan sholat. Menurut Taufik
Asy-Syawi, hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai
martabat sesudah ibadah terpenting, yaitu sholat, sekaligus memberikan
pengertian bahwa Musyawarah merupan salah satu ibadah yang
tingkatannya sama dengan sholat Dan Zakat. Maka masyarakat
mengabaikannya dianggap suatau masyarakat yang tidak menetapi
salah satu ibadah (Djatnika. 2015).
b) Lapangan Musyawarah
Berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya, di mana segala
sesuatu bisa dan harus dimusyawarahkan supaya terwujud kehendak
mayoritas dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat, maka isalam
memberi batasan hal-hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan. Karena
musyawarah adalah pendapat orang, maka apa-apa yang sudah
ditetapkan oleh nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) tidak boleh
dimusyawarahkan, sebab pendapat orang tidak boleh mengungguli
Wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) jadi musyawarah hanyalah terbatas
pada hal hal yang bersifat Ijtihadiyah. Para sahabat pun jika dimintakan
pendapat tentang suatu hal, terlebih dahulu mereka menanyakannya
5
kepada Rasulullah SAW, apakah masalah yang dibicarakan telah
diwahyukan oleh Allah atau meruakan ijtihad Nabi, maka mereka
mengemukakan pendapat.
c) Tata Cara Musyawarah
Tentang tata cara musyawarah serta keharusan mengikuti tata cara
itu, tidak ada nash AlQur’an dan As-Sunnah yang menerangkannya,
juga tidak ada nasH yang mengharuskan ditetapkannya jumlah anggota
majlis permusyawaratan dan cara menghadirkan para anggota.
Tata cara musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah ternyata
sangat bervariasi :
1) Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau,
lalu beliau melihat pendapat itu benar, maka beliau
mengamalkannya. Seperti pendapat Al-Hubab ibn al-Mundzir
tentang pemilihan tempat yang strategis dalam perang Badar dan
pendapat Salman al-Farisi tentang penggalian parik pertahanan
dalam perang Khandak;
2) Kadang-kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga
orang saja. Kebanyakan dengan Abubakar dan Umar;
3) Kadang kala beliau bermusyawarag denga seluruh massa dan
melalui cara perwakilan, seperti yang terjadi setelah perang
Hunain tentang rampasan perang dan permohonan bantuan
melalui utusan Hawazin.
(Djatnika, 2015).
Dari beberapa peristiwa bervariasi diatas kita dapat menyimpulkan
bahwa tatacara musyawarah, anggota Musyawarah, bisa selalu
berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, tetapi
hakekat musyawarah harus selalu tegak ditengah masyarakat dan
negara.
Ada hal-hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh ummat,
baik langsung maupun lewat perwakilan, dan ada hal-hal yang cukup
dimusyawarahkan dengan pemimpin (ulil amri), ulama, cendikiawan
dan pihak-pihak yang berkompeten lainnya, tetapi tetap dan tidak boleh
6
tidak harus dengan semangat dan kejujuran, buka dengan semangat
kepentingan dan ketidak jujuran. Yang dicari dalam musyawarah adalah
kebenaran, bukan kemenangan.
d) Sikap Bermusyawarah
Supaya musyawarah berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan,
Allah SWT berfirman :
7
bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-
kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal itu masuk
kedalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan
mengubah musyawarah menjadi pertengkaran.
3) Memohon Ampunan Allah SWT
Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah, hubungan
dengan tuhanpun harus harmonis. Oleh sebab itu, semua anggota
musyawarah harus senantiasa selalu membersihkan diri dengan
cara memohon ampun kepada Allah SWT baik untuk diri sendiri
maupun untuk anggota musyawarah yang lainnya.
8
Di dalam Al – Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan
supaya manusia berlaku adil dalam menegakkan keadilan. Perintah itu
ada yang bersifat umum ada yang bersifat khusus dalam bidang-bidang
tertentu. Yang bersifat umum misalnya :
9
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha Melihat.” (Q.S An-Nissa : 58).
Keadilan hukum harus ditegakkan walau terhadap diri sendiri, atau
terhadap keluarga dan orang-orang yang dicintai. Tatkala seorang
sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW meminta “keistimewaan”
hukum untuk seorang wanita bangsawan yang mencuri, Rasulullah
SAW menolaknya dengan tegas :
“Apakah anda hendak meminta keistimewaan dalam pelaksanaan
hukum allah? Sesungguhnya kehancuran ummat yang terdahulu karena
mereka menghukum pencuri yang lemah, dan membiarkan pencuri
yang elit. Demi allah yang memelihara jiwa saya, kalaulah Fatimah
binti Muhammad mencuri, pastilah aku sendiri yang akan memotong
tangannya.” (H.R. Ahmad, Muslim dan Nasa’i).
c) Keadilan dalam Segala Hal
Disamping keadilan hukum, islam memerintahkan kepada ummat
manusia, terutama orang-orang yang beriman untuk bersifat adil dalam
segala aspek kehidupan, baik terhadap diri, dan keluarganya sendiri,
apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun seorang
musuh harus tetap berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa nash
berikut ini :
1) Adil terhadap diri sendiri
10
kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
Karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (Q.S An-Nisa’
4:135).
2) Adil terhadap istri dan anak – anak
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.” (Q.S Al-Hujurat 49:9).
11
4) Adil dalam berkata
12
2.4.3 Hubungan Pimpinan dengan yang Dipimpin
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin
bagi orang-orang yang beriman :
13
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Q.S AlMa’idah 5:55).
a) Kriteria Pemimpin
Pemimpin ummat atau dalam ayat diatas diistilahkan dengan waliy
dan dalam ayat lain (Q.S An-Nisa’ 4:59) disebut dengan ulil amri
adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW setelah beliau
meninggal dunia. Sebagai Nabi dan Rasul, nabi Muhammad Saw tidak
bisa digantikan, tapi sebagai kepala negara, pemimpin ummat, ulil amri
tugas beliau dapat digantikan.
Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai
pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagaimana
dijelaskan dalam surat Al-Ma’idah ayat 55 diatas.
1) Beriman kepada Allah SWT
Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah Saw,
sedangkan Rasul sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah
Swt, maka tentu saja yang pertama sekali harus dimiliki adalah
keimanan (iman kepada Allah Swt,kepada Rasulullah dan rukun
iman yang lainnya). Tanpa keimanan kepada Allah Swt dan
Rasulnya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memimpin
ummat menempuh jalan Allah Swt diatas permukaan bumi ini.
2) Mendirikan Sholat
Sholat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah Swt.
Seorang pemimpin yang mendirikan sholat diharapkan memiliki
hubungan yang baik dengan Allah Swt. Diharapkan nilai-nilai
kemulian dan kebaikan yang terdapat dalam sholat dapat
tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai Kejujuran.
3) Membayarkan Zakat
14
Zakat adalah ibadah Mahdhah yang merupakan simbol kesuciaan
dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang bezakat
diharapkan selalu mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan
mencari dan menikmati harta dari jalan yang tidak halal (misalnya
dengan korupsi, kolusi dan nepotisme).dan lebih dari apada itu
dia mempunyai kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum
dhu’afa’ dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela
orangorang yang lemah.
4) Selalu Tunduk dan Patuh Kepada Allah SWT
Dalam ayat diatas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang
yang selalu Ruku’. Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak
kepada Allah dan Rasulnya, yang secara kongkret
dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah
(total), baik dalam aspek akidah, ibadah, akhlak maupun
mu’amalat.
b) Kepatuhan Kepada Pemimpin
Kepemimpinan Allah SWT dan Rasul-Nya adalah kepemimpinan
yang mutlak diikuti dan dipatuhi. Sedangkan kepemimpinan orang-
orang yang beriman adalah kepemimpinan yang nisbi (relatif).
Kepatuhan kepadanya tergantungan dengan paling kurang dua faktor :
1) Faktor kualitas dan integritas pemimpin tersebut;
2) Faktor arah dan corak kepemimpinannya. Kemana ummat yang
dipimpinnya akan dibawah, apakah untuk menegakkan Dinullah
atau tidak.
Perbedaan kepatuhan itu telah diisyaratkan di dalam firman-Nya :
15
hanya diikutkan kepada perintah sebelumnya. Artinya kepatuhan
kepada ulil amri itu sendiri tergantung kepatuhan Ulil amri itu kepada
Allah dan rasulnya.
Untuk hal-hal yang sudah diatur dan diterapkan oleh Al-Qur’an dan
Al-Hadis, sikap pemimpin dan yang dipimpin sudah jelas, harus sama-
sama tunduk pada hukum Allah. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat
ijtihadi, ditetapkan secara musyawarah dengan mekanisme yang telah
disepakati bersama. Akan tetapi, apabila terjadi perbedaan pendapat
yang tidak dapat disepakati antara pemimpin dan yang dipimpin, maka
yang diikuti adalah pemimpin. Yang dipimpin kemudian tidak boleh
menolaknya dnegan alasan pendapatnya tidak dapat diterima.
c) Persaudaraan Pemimpin Dengan Yang Dipimpin
Sekalipun dalam struktur bernegara (dan juga pada level
dibawahnya) ada hirarki kepemimpinan yang mengharuskan ummat
atau rakyat patuh pada pemimpinnya, tetapi dala hubungan sehari-hari
hubungan pemimpin dan yang dipimpintetaplah dilandaskan pada
prinsip ukhuwah-ukhuwah islamiyah, buka prinsip atasan dengan
bawahan, atau majikan dengan buruh,, tetapi prinsip sahabat dengan
sahabat.demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Kaum muslimin yang ada disekitar beliau waktu itu dipanggil
dengan sebutan sahabatsahabat, suatu panggilan yang menunjukkan
hubungan yang horisontal, sekalipun ada kewajiban untuk patuh
sepenunya kepada beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul. Hubungan
persaudaraan seperi itu dalam praktiknya tidaklah melemahkan
kepemimpinan Rasulullah saw, tetapi malah semakin kokoh karena
tidak hanya didasari hubungan formal, tetapi juga didasari dengan
hubungan hati yang penuh dengan kasih sayang.
16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, dalam bernegara kita
seharusnya bisa menjalankan aturan-aturan sebagaimana yang dianjurkan
oleh Rasulullah SAW, yaitu akhlak bernegara, seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW dalam kepemimpinannya. Dan salah satu yang diajarkan
Rasul dalam bernegara, yaitu menyelesaikan persoalan negara dengan
musyawarah guna untuk mencapai sebuah mufakat, karena persoalan negara
tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu, makanya dibutuhkan
musyawarah. Tapi perlu kita pahami dalam musyawarahpun ada aturanaturan
main yang harus dijalankan. Yang kedua, dalam kepemimpinan disebuah
negara dibutuhkan sebuah sifat adil, keadilan sangat diperlukan karena dalam
Al-Qur’an sendiri keadilan harus dijalankan dalam kepemimpinan negara
bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya itu, bahkan terhadap
musuhpun kita dianjurkan untuk adil. Yang ketiga, sebagai orang yang
dipimpin, kita mau menjalankan apa saja yang diperintahkan oleh pemimpin,
selama apa yang diperintahkan tidak melanggar hukum syariat.
17
DAFTAR PUSTAKA
18