Anda di halaman 1dari 4

MENEROPONG FENOMENA PENGEMIS SEBAGAI PERILAKU MENYIMPANG

DARI KACAMATA TEORI KONFLIK

A. Deskripsi Foto
Foto ini memperlihatkan seorang pengemis berkaos hitam kuning sedang
melakukan aksinya dengan meminta-minta uang kepada pembeli makanan di
Angkringan Om Anto yang terletak di Jalan Jenderal Soedirman, Purwokerto. Untuk
pemotrennya, dilakukan pada malam hari jam 20.16 WIB di tanggal 21 Juni 2022.
Sebelumnya, penulis telah mengamati terlebih dahulu mengenai daerah tersebut, yang
mana penulis sendiri sering kali menemukan berbagai masyarakat jalanan seperti
pengemis, gelandangan, pengamen, dan sebagainya di waktu malam pada tempat
tersebut. Untuk itu, penulis mengambil bahan pengamatan mengenai fenomena
pengemis di Jalan Jenderal Soedirman, khususnya di Angkringan Om Anto. Adapun dari
foto ini, penulis menangkap bahwa pengemis tersebut mengganggu ketertiban dan
suasana di Angkringan Om Anto, dimana pengemis ini melakukan aksinya di tengah
masyarakat yang sedang menikmati hidangan dan berbincang. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa adanya sitausi terganggu pada saat pengemis beraksi.
B. Analisis Foto
Kegiatan mengemis merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial karena
kegiatan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat.
Merujuk pada KUHP pasal 504 dijelaskan bahwa mengemis masuk ke dalam
pelanggaran tindakan pidana, dimana kegiatan mengemis sendiri dikenakan ancaman
pidana selama paling lama enam minggu kurungan penjara. Dikarenakan masuk ke
dalam KUHP, maka dapat dikatakan kegiatan pengemis ini masuk ke dalam
penyimpangan sosial. Hal ini selaras dengan definisi penyimpangan sosial yang
berdasar pada perspektif normative, yang mana penyimpangan sosial adalah setiap
perilaku yang mengarah pada ketidakberhasilan dalam penyesuaian diri dengan
kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Dengan kata lain,
sebuah tindakan dikatakan menyimpang atau tidak, ditentukan oleh batasan-batasan
norma kemasyarakatan atau budaya. dengan demikian, kegiatan mengemis termasuk
dalam bentuk penyimpangan sosial karena telah bertentangan dengan norma yang
berlaku di masyarakat.
Apabila meninjau kembali pandangan Merton mengenai kategorisasi perilaku
menyimpang, maka kegiatan mengemis termasuk dalam bentuk penyimpangan sosial
yang didasarkan pada inovation. Perilaku menyimpang dalam bentuk inovation adalah
perilaku seseorang yang menerima tujuan secara budaya tetapi menolak cara-cara yang
diterima masyarakat untuk menggapai tujuan tersebut, sehingga cara yang dilakukan
mengarah pada makna negatif karena mendapat penolakan masyarakat. Hal ini tentu
selaras dengan kegiatan mengemis, dimana kegiatan mengemis dijadikan sebagai
pilihan untuk mendapatkan uang karena caranya yang mudah tanpa harus bekerja
keras, padahal mengemis sendiri dipandang negatif dan mendapat penolakan dari
masyarakat sebagai pilihan cara untuk mendapatkan uang. Dipandang negatif oleh
masyaraka karena mengemis adalah cara yang sangat memalukan dan mengemis tidak
jauh berbeda dengan merampas hak orang lain. Dengan demikian, Inilah bentuk sebuah
inovation dalam perilaku yang dimaksud Merton, dimana mengemis sebagai cara
alteratif untuk menggantikan kegiatan bekerja keras untuk mendapatkan uang.
Setelah menyinggung mengenai tujuan dalam melakukan kegiatan mengemis
sebagai sarana mendapatkan uang, maka perlu juga kita perlu mengetahui faktor
penyebab para pengemis ini memilih mengemis untuk mendapatkan uang. Menurut
Mardiyati (2015: 82) bahwasannya kegiatan mengemis dilatarbelakangi oleh krisis
ekonomi yang berkepanjangan, dimana seseorang yang mengemis sedang berada di
tengah kemiskinan lokal secara kultural maupun struktural. Dengan kata lain, kegiatan
mengemis yang dilakukan mereka ini disebabkan oleh faktor perekonomian sehingga
memaksa mereka untuk melakukan perilaku mengemis. Kondisi kemiskinan yang
mereka alami tentu merupakan sebuah tekanan bagi kehidupan mereka, karena kondisi
kemiskinan menarik mereka dalam perangkap keterbatasan dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Akhirnya, mereka berusaha keluar dari kondisi ketertekanan itu
melalui segala langkah yang menurutnya dianggap paling mudah, maka munculah
lanngkah alternatif berupa kegiatan mengemis.
Dikarenakan kondisi kemiskinan mendorong seseorang melakukan kegiatan
mengemis, maka kita bisa analisis kegiatan mengemis sebagai perilaku menyimpang
berdasarkan kacamata teori konflik. Kegiatan mengemis dapat dianalisis sebagai
perilaku menyimpang dari kacamata teori konflik karena asumsi dasar teori konflik
yang bersandar pada sumber daya. Maksudnya, dalam asumsi dasar teori konflik
dikatakan bahwa penyimpangan merupakan respon yang normal terhadap kompetisi
dan konflik terhadap sumberdaya yang terbatas. Apabila kita kaitkan dengan kondisi
para pengemis yang berada pada lingkaran kemiskinan, maka mereka melakukan
kegiatan mengemis ini karena keterbatasan sumber daya yang mereka miliki sehingga
mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, kondisi keterbatasan
(kemiskinan) mereka mendorong dirinya untuk melakukan kegiatan mengemis dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup dan untuk keluar dari tekanan frustrasi.

C. Solusi Penanggulangan Fenomena Pengemis


Fenomena pengemis ini merupakan salah satu permasalahan sosial yang ada dalam
masyarakat. Bahkan, fenomena pengemis menyangkut masalah kesejahteraan sosial.
Dalam mengatasi permasalah kesejahteraan, solusi yang paling tepat untus meberantas
fenomena pengemis ialah pemberdayaan. Sebab, pemberdayaan menjadi suatu langkah
yang efektif dalam menangani permasalahn kesejahteraan sehingga pemberdayaan ini
diharapkan dapat meningkatkan taraf kesejahteraan agar fenomena pengemis yang
bersandar pada kemiskinan dapat teratasi,
Adapun dalam proses pemberdayaan terdapat 3 tahapan, yaitu penyadaran,
pengkapasitasan, peningkatan. Dalam tahap penyadaran, pengemis diberikan
bimbingan mental yang harus dilakukan secara intensif. Tahap ini merupakan tahap
terpenting karena pada tahap ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa percaya diri
serta spiritualitas para pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat
dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya. Selain itu,
mereka juga memiliki potensi yang cukup besar, hanya saja belum memiliki penyaluran
atau sarana penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Tahap
selanjutnya ialah tahap pengkapasitasan, dalam tahap pengkapasitasan ini para
pengemis diberikan pelatihan skill serta modal untuk menunjang mereka agar mampu
bersaing dalam memperoleh sumber daya. Dengan pelatihan skill, mereka dapat
bekerja keras untuk mendapatkan uang dan menciptakan kemandirian dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Selanjutnya ada tahap peningkatan, tahap ini tidak
jauh berbeda dengan tahap pengkapasitasan, hanya berbeda pada peningkatan skill
yang telah dimiliki oleh mereka.

Anda mungkin juga menyukai