Anda di halaman 1dari 32

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Teoretis

1. Kemampuan Komunikasi Matematis

a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis

Agar memahami pengertian dari kemampuan komunikasi

matematis, terlebih dahulu yang harus dipahami adalah pengertian

dari komunikasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan

komunikasi sebagai pengiriman dan penerimaan pesan atau berita

antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga

dipahami apa yang sedang dimaksud.1

Komunikasi menurut Baird sebagaimana dikutip oleh Heris

Hendriana,dkk adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan

hasil pemikiran individu melalui simbol kepada oranglain. 2 Selain

itu, Hendriana mengemukakan bahwa komunikasi merupakan suatu

keterampilan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan

merupakan suatu alat bagi manusia untuk berhubungan dengan orang

lain di lingkungannya baik secara verbal maupun tertulis.3 Beberapa

ahli mendefinisikan pengertian komunikasi dengan berbagai

pendapat, namun pada intinya menjelaskan pengertian yang sama.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dapat disimpulkan,


1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa ,
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, h. 745
2
Heris Hendriana dkk, Hard Skills dan Soft Skills Matematik Siswa, Bandung: PT Refika
Aditama, 2017, h. 60
3
Ibid.

15
16

komunikasi ialah proses simbolik pertukaran informasi baik secara

lisan maupun tulisan untuk membangun hubungan antarsesama

manusia.

Setelah memahami pengertian dari komunikasi, selanjutnya akan

dibahas mengenai kemampuan komunikasi matematis. Komunikasi

matematis menurut Zubaidah Amir adalah kemampuan siswa

mengilustrasikan dan menginterprestasikan berbagai masalah dalam

bahasa dan pernyataan-pernyataan matematika serta dapat

menyelesaikan masalah tersebut menurut aturan atau kaedah

matematika.4 Karunia Eka menyatakan kemampuan komunikasi

matematis sebagai kemampuan menyampaikan gagasan/ide

matematis, baik secara lisan maupun tulisan serta kemampuan

memahami dan menerima gagasan/ide matematis oranglain secara

cermat, analitis, kritis, dan evaluatif untuk mempertajam

pemahaman.5 NCTM (National Council of Teacher of Mathematics)

menyatakan bahwa, komunikasi matematis adalah satu kompetensi

dasar matematis yang esensial dari matematika dan pendidikan

matematika, tanpa komunikasi yang baik, maka perkembangan

matematika akan terhambat.6

4
Zubaidah Amir, Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Melalui
Pembelajaran dalam Kelompok Kecil (TAI) Berbasis Masalah Secara Klasikal, Prosiding Seminar
Pendidkan Matematika Program Studi Pendidkan Matematika ISBN: 978-602-9039-03-0
Desember 2010, h.17
5
Karunia Eka Lestari dan Mokhammad Ridwan, Penelitian Pendidikan Matematika,
Bandung: PT Refika Aditama, 2017, h. 83.
6
Heris Hendriana dkk, Loc.Cit.
17

Demikian pula Maisaroh mengemukakan bahwa kemampuan

komunikasi matematis merupakan kemampuan seseorang dalam

mengkomunikasikan gagasan atau ide-ide matematika dengan

simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan

atau masalah serta mendiskusikannya dengan orang lain.7

Dari pengertian-pengertian tersebut, maka dapat kita pahami

bahwa kemampuan komunikasi matematis merupakan suatu

kemampuan siswa dalam mengorganisasikan dan menyampaikan

permasalahan matematika ke dalam bentuk lisan maupun tulisan

untuk menyelesaikan berbagai persoalan matematika di dalam

kehidupannya sehari-hari.

b. Peranan Kemampuan Komunikasi Matematis

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu yang bersifat

abstrak maka diperlukan suatu simbol-simbol dan bahasa

matematika yang bersifat konkrit untuk mengomunikasikan

keabstrakan tersebut menjadi suatu keteraturan yang indah dan dapat

dipahami secara universal oleh siapa saja, kapan saja dan di mana

saja. 8

Untuk mengomunikasikan hal tersebut, diperlukanlah suatu

kemampuan yang disebut kemampuan komunikasi matematis, yaitu

suatu kemampuan yang esensial dari matematika untuk

7
Maisaroh Rezekiyah, Pengaruh Model Pembelajaran Connecting, “Organizing,
Reflexting, Extending Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa”, dalam jurnal :
Jurnal Matematics Paedagogic, Vol II. No. 2, Maret 2018, h. 18
8
Heris Hendriana dan Utari Soemarmo, Penilaian Pembelajaran Matematika, Bandung:
PT Refika Aditama, 2014, h. 30
18

menyampaikan, menerjemahkan, memahami dan menyelesaikan

berbagai permasalahan matematika di dalam kehidupan sehari-hari

ke dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Beberapa peran penting komunikasi matematis dalam

pembelajaran matematika juga dikemukakan oleh Asikin di

antaranya adalah:9

1) Melalui komunikasi ide matematika dapat digali dalam


berbagai perspektif;
2) Mempertajam cara berpikir untuk meningkatkan kemampuan
melihat keterkaitan antara konten matematika;
3) Untuk mengukur pemahaman matematis;
4) Mengorganisa cara berpikir;
5) Mengonstruksikan pengetahuan matematika,
mengembangkan pemecahan masalah, meningkatkan
penalaran, menumbuhkan rasa percaya diri, serta
meningkatkan keterampilan sosial;
6) Menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis, rasional,
pemecahan masalah, dan keterampilan dalam bersosialisasi,
melalui Writing and Talking.

Tujuan mengembangkan kemampuan komunikasi matematis


dalam pembelajaran dikemukakan juga oleh NCTM, sebagai
berikut:10
1) Mengorganisasikan dan menggabungkan cara berpikir
matematik, mendorong belajar konsep baru dengan cara
menggambar objek, menggunakan diagram, menulis, dan
menggunakan simbol matematis;
2) Mengomunikasikan pemikiran matematika secara logis dan
jelas sehingga mudah dimengerti;
3) Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematik dan
strategi lain;
4) bereksplorasi mencari cara dan strategi lain dalam
menyelesaikan masalah;
5) Menggunakan bahasa matematik untuk mengekspresikan
ide-ide dengan benar.

9
Heris Hendrna dkk, Loc.Cit.
10
Heris Hendriana dkk, Op.Cit., h. 61
19

c. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

Sumarmo mengidentifikasi indikator komunikasi matematis

meliputi kemampuan:11

1) Mempresentasikan benda nyata, gambar, dan diagram ke


dalam bentuk ide atau simbol matematika;
2) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan
atau tulisan, dengan benda nyata, gambar, grafik, dan
ekspresi aljabar;
3) Menyusun model matematika suatu peristiwa;
4) Menyusun konjektur, menyusun argumen, merumuskan
definisi dan generalisasi;

Berdasarkan indikator yang dikemukakan oleh Sumarmo, tampak

bahwa mendengarkan dan melakukan diskusi tentang matematika

bersama orang lain merupakan bentuk kegiatan komunikasi

matematis. Sehingga kegiatan komunikasi bukan hanya

menyampaikan suatu masalah matematika ke dalam bentuk tulisan

tapi juga bisa melalui lisan yaitu dengan cara diskusi.

Indikator kemampuan komunikasi matematis lainnya

dikemukakan oleh National Council of Teachers of Mathematics

(NCTM), menurut NCTM indikator kemampuan komunikasi

matematis pada pembelajaran matematika sebagai berikut.12

1) Memodelkan situasi-situasi dalam kehidupan sehari-hari


dengan menggunakan gambar, grafik, dan ekspresi aljabar;
2) Mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran tentang ide-ide
dan situasi-situasi matematis baik menggunakan lisan
maupun tulisan;
3) Menjelaskan ide dan definisi matematis;
4) Membaca, mendengarkan, menginterpretasikan, dan
mengevaluasi ide-ide matematis;

11
Heris Hendriana dan Utari Soemarmo, Op.Cit., h. 30
12
Heris Hendriana dkk, Op.Cit., h.62
20

5) Mendiskusikan ide-ide matematis dan membuat dugaan-


dugaan dan alasan yang meyakinkan;
6) Serta menghargai nilai, notasi matematika, dan perannya
dalam masalah sehari-hari dalam pengembangan ilmu
maematika dan disiplin ilmu lainnya.

Pada penelitian ini, peneliti mengacu pada indikator kemampuan

komunikasi matematis yang dikemukan oleh Sumarmo, alasan

peneliti mengambil indikator ini karena indikator yang dikemukakan

lebih sistematis dan terperinci pada setiap indikatornya. Alasan

lainnya mengapa peneliti memilih indikator ini karena peneliti

hanya mengukur kemampuan komunikasi secara tulisan. Adapun

indikator komunikasi matematis yang dikemukan oleh Sumarmo

yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah:13

1) Mempresentasikan benda nyata, gambar, dan diagram ke


dalam bentuk ide atau simbol matematika;
2) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara
tulisan, dengan benda nyata, gambar, grafik, dan ekspresi
aljabar;
3) Menyusun model matematika suatu peristiwa;
4) Menyusun konjektur, menyusun argumen, merumuskan
definisi dan generalisasi.

Adapun pedomen penskoran komunikasi matematis siswa

ditunjukkan pada tabel II.1.14

TABEL II.1
PEDOMAN PENSKORAN KOMUNIKASI MATEMATIS
SKOR Penjelasan
0 Tidak ada respons, komunikasi tidak efisien,

13
Ibid.
14
Heris Hendriana dan Utari Soemarmo, Op.Cit., h.74
21

misinterpretasi

Respons kurang lengkap dan kurang jelas,

ragu-ragu, diagram kurang lengkap,


1
komunikasi kurang efisien, sajian kurang

logis, ada gap cukup besar

Respons hampir lengkap/jelas, namun ragu-

ragu, diagram kurang lengkap, komunikasi


2
tidak efisien, sajian kurang logis, ada gap

cukup serius.

Respons hampir lengkap dan jelas, tidak ragu-

3 ragu, diagram hampir lengkap, komunikasi

efisien, sajian logis, gap kecil

Respons lengkap dan jelas, tidak ragu-ragu,

4 diagram lengkap, komunikasi efisien, sajian

logis, disertai dengan contoh


22

Berdasarkan pedoman penskoran tersebut menunjukkan bahwa kemampuan


komunikasi matematis bukan hanya kemampuan menyelesaikan permasalahan
matematika secara benar saja, namun lebih kepada kemampuan menyelesaikan
permasalahan matematika secara lengkap, jelas, sistematis menggunakan kaidah
dan bahasa matematika yang sesuai.

Dalam menentukan keberhasilan siswa mengerjakan soal

komunikasi matematis perindikator, dibutuhkan pedoman dalam

menentukan kelompok kemampuan komunikasi matematis siswa.

Kriteria pengelompokan kemampuan komunikasi matematis siswa

bisa dilihat pada tabel II.2 berikut :15

TABEL II.2
KRITERIA PENGELOMPOKAN
KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA
Kriteria Komunikasi Matematis Keterangan
~
x ≥( x+ SD) Tinggi
( ~x−SD ) < x<( ~x +SD ) Sedang
x ≤( ~x−SD) Rendah
(Sumber : Dimodifikasi dari Slameto)
Keterangan:
x : Kemampuan komunikasi matematis
~
x : rata-rata skor/nilai siswa
SD : Simpangan baku dari skor/nilai siswa
2. Model Pembelajaran CORE (connecting, organizing, reflecting,
extending)
a. Pengertian Model Pembelajaran CORE
CORE adalah suatu model pembelajaran yang memiliki desain

mengonstruksi kemampuan siswa dengan cara menghubungkan dan

mengorganisasikan pengetahuan, kemudian memikirkan kembali

konsep yang sedang dipelajari. Melalui pembelajaran ini, siswa

15
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta:Rineka Cipta,
2003, h.42
23

diharapkan dapat memperluas pengetahuan mereka selama proses

pembelajaran.16

Menurut Aris Shoimin, model pembelajaran CORE yaitu model

pembelajaran yang mencakup empat aspek kegiatan yaitu:

connecting, organizing, reflecting, dan extending. Adapun keempat

aspek tersebut adalah :17

1) Connecting (C), merupakan kegiatan mengoneksikan

informasi lama dan informasi baru antar konsep. Connect

menurut bahasa berarti menghubungkan atau

menyambungkan. Menghubungkan suatu konsep yang akan

dipelajari dengan yang sudah diketahui oleh siswa. Pada

tahap ini, guru membimbing siswa untuk mengaitkan materi

sebelum atau yang sudah diketahui siswa untuk mengetahui

materi baru.

2) Organizing (O), Merupakan kegiatan mengorganisasikan ide-

ide untuk memahami materi. Organize secara bahasa berarti

mengatur, mengorganisasikan, mengorganisir, mengadakan.

Maksudnya, pada tahapan ini siswa mengorganisasikan

informasi - informasi yang telah diperoleh dari guru untuk

menyusun suatu ide atau strategi dalam menyelesaikan

masalah. Kegiatan ini dalam proses pembelajaran meliputi

penyusunan ide-ide setelah siswa menemukan keterkaitan


16
Karunia Eka Lestari dan Mokhammad Ridwan, Op.Cit., h. 52
17
Aris Shoimin, 68 Model Pembelajaran Inovatif , Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014,
h.39
24

dalam masalah yang diberikan, sehingga terciptanya strategi

dalam menyelesaikan masalah. Kegiatan ini dilakukan setelah

penyampaian informasi diawal dari guru serta melalui

pembentukkan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil

yang terdiri dari 4-5 orang.

3) Reflecting (R), Merupakan kegiatan memikirkan kembali,

mendalami, dan menggali informasi yang sudah didapat.

Reflect secara bahasa berarti menggambarkan,

membayangkan, mencerminkan, mewakili, memantulkan,

dan memikirkan. Refleksi merupakan respon terhadap

kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima.

Dalam pembelajaran, kegiatan ini dilakukan ketika siswa

sudah berada dalam satu kelompok kemudian saling

berdiskusi memaparkan informasi kepada anggota

kelompokknya, dan yang lain memperhatikan dengan

menyimpulkan materi baru tersebut, sehingga siswa bisa

saling menghargai, memperoleh informasi dan bertukar

informasi.

4) Extending (E), Merupakan kegiatan untuk mengembangkan,

memperluas, menggunakan, dan menemukan. Extend secara

bahasa berarti memperpanjang, menyampaikan,

mengulurkan, memberikan dan memperluas. Dalam proses

pembelajaran, siswa dapat memperluas pengetahuannya


25

lewat berdiskusi lebih dalam melalui kegiatan presentasi

perwakilan kelompok di depan kelas, sehingga diperoleh

pemahaman-pemahaman baru yang berasal dari hasil diskusi

tersebut. Pada fase ini, diberikan kesempatan bagi siswa

untuk mensintesis pengetahuan mereka lebih dalam,

mengorganisasikannya dengan cara yang baru dan

mengubahnya menjadi aplikasi yang baru. Oleh karena itu

siswa harus bekerja sama secara efektif dan kooperatif untuk

mencapai kesuksesan agar nantinya siswa dapat menerapkan

pengetahuannya untuk menyelesaikan soal secara individu.

Menurut Azizah, model pembelajaran CORE adalah model

pembelajaran alternatif yang dapat digunakan untuk mengaktifkan

siswa dalam mebangun pengetahuannya sendiri, CORE (connecting,

organizing, reflecting, extending), merupakan model pembelajaran

yang menggabungkan empat unsur penting konstruktivis, yaitu

terhubung ke pengetahuan siswa, mengtur pengetahuan baru siswa,

memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksikan ide yang

diperoleh, dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk

mengembangkan/memperluas pengetahuannya.18

Pengertian dari model pembelajaran CORE juga dikemukakan

oleh Asmariani yaitu, CORE merupakan salah satu model

pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivisme


18
Azizah,dkk, “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model CORE Bernuansa
Konstruktivistik untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis”, UNNES Journal of
Mathematics Education Research: ISSN 2252-6455), h. 102
26

dengan kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa dan guru

bertindak sebagai fasilitator.19

Dari pengertian-pengertian tersebut, maka dapat kita pahami

bahwa model pembelajaran CORE adalah model pembelajaran yang

menekankan kemampuan berpikir siswa untuk menghubungkan,

mengorganisasikan, mendalami, mengelola, dan mengembangkan

informasi yang didapat. Dalam model ini aktivitas berpikir sangat

ditekankan kepada siswa. Siswa dituntut untuk dapat berpikir kritis

terhadap informasi yang didapatnya.

b. Langkah-langkah Model Pembelajaran CORE

Menurut Aris Shoimin, ada enam langkah pembelajaran CORE,

yaitu:20

1) Membuka pelajaran dengan kegiatan yang menarik siswa


misalnya dengan bercerita hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan yang berkaitan dengan materi yang akan
diajarkan.
2) Penyampaian konsep lama yang akan dihubungkan dengan
konsep baru oleh guru kepada siswa. Connecting (C).
3) Pengorganisasian ide-ide untuk memahami materi yang
dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Organizing
(O).
4) Pembagian kelompok secara heterogen (campuran antara
yang pandai, sedang,dan kurang), terdiri dari 4-5 orang.
5) Memikirkan kembali, mendalami, dan menggali informasi
yang sudah didapat dan dilaksanakan dalam kegiatan belajar
kelompok siswa. Reflecting (R).
6) Pengembangan, memperluas, menggunakan, dan
menemukan,melalui tugas individu melalui kegiatan
presentasi dan mengerjakan tugas. Extending (E).

19
Nur Asma,dkk, “Pengaruh Model Pembelajaran CORE terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis dan Disposisi Matematis ditinjau dari Kemampuan Awal Matematika Siswa SMA Negeri di
Jakarta Timur”, JPPM vol.11, No,1 tahun, 2018, h. 190
20
Aris Shoimin, Op.Cit., h.39-40
27

c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran CORE

Menurut Aris Shoimin, kelebihan dan kekurangan dari model

pembeajaran CORE yaitu:21

1) Kelebihan model pembelajaran CORE:


a) Mengembangkan keaktifan siswa dalam belajar.
b) Mengembangkan dan melatih daya ingat siswa tentang
suatu konsep/informasi dalam materi pembelajaran.
c) Mengembangkan daya pikir kritis siswa terhadap suatu
masalah.
d) Memberikan pengalaman belajar kepada siswa, karena
siswa banyak berperan aktif dalam pembelajaran
sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan siswa
lebih mandiri dalam belajar.
Dari beberapa poin kelebihan tersebut, model pembelajaran

CORE dapat mengembangkan keaktifan siswa dan

mengembangkan daya ingat siswa. Model pembelajaran ini juga

dapat mengembangkan daya pikir kritis siswa terhadap suatu

masalah serta memberikan pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Melalui pengalaman belajar yang menuntut siswa untuk berperan

aktif ini, maka siswa akan lebih mandiri dalam belajar.

2) Kelemahan model pembelajaran CORE:


a) Membutuhkan persiapan matang dari guru untuk
menggunakan model ini.
b) Menuntut siswa untuk terus berpikir kritis.
c) Memerlukan banyak waktu.
d) Tidak semua materi pelajaran dapat menggunakan
model CORE.
Dari beberapa poin kelemahan tersebut, model pembelajaran

CORE ini memerlukan persiapan yang matang, menuntut siswa

untuk kritis dan banyak memakan waktu. Agar model pembelajaran

21
Aris Shoimin, Op.Cit., h. 40
28

ini tepat digunakan dalam pembelajaran, guru harus mempersiapkan

pembelajaran dengan matang serta memperhatikan waktu sebaik

mungkin saat melakukan diskusi agar siswa seluruhnya aktif.

Sehingga, tujuan dari pembelajaran ini dapat tercapai dan siswa

memahami apa yang dipelajari saat berdiskusi. Selain itu, materi

pelajaran yang lebih banyak memerlukan pembuktian lebih tepat

dalam model pembelajaran CORE karena melalui kegiatan diskusi

siswa dapat mempersingkat waktu dalam memahami,

menyelesaikan, membuktikan permasalahan yang diberikan seperti

pembuktian volume bangun ruang, membuat kerangka kubus dan

balok, pembuktian teorema phytagoras, dan berbagai materi yang

memerlukan kerjasama antar kelompok untuk memudahkan siswa

memahami materi.22

3. Kemandirian Belajar (Self Regulated Learning)

a. Pengertian Kemandirian Belajar

Menghadapi perkembangan dunia yang semakin pesat dan

suasana bersaing yang semakin ketat, pendidikan harus bisa

mendidik generasi yang tak hanya cerdas dan berkemampuan tapi

juga berprilaku positif dan benar. Salah satu sikap positif yang harus

dimiliki oleh siswa yang menempuh pendidikan adalah kemandirian

dalam belajar.

22
Windu Wardika, Penerapan Model CORE Pada Perakitan Bangun Ruang SMK Negeri
Sisingamangaraja, e-journal JPTE Universitas Pendidikan Ganesha (Volume: 4 No.1 Tahun
20115), h. 5-10
29

Kemandirian belajar menurut Hargis dan Kerlin sebagaimana

dikutip oleh Heris Hendriana,dkk adalah Suatu proses perancangan

dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan

afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik23

Karunia Eka dan Ridwan mengemukakan bahwa kemandirian

belajar adalah kemampuan memonitor, meregulasi, mengontrol

aspek kognisi, motivasi, dan perilaku diri sendiri dalam belajar.24

Pengertian kemandirian belajar juga dikemukakan oleh Thoha

dan Surya yaitu suatu aktivitas belajar yang didorong oleh kemauan

sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri tanpa bantuan

orang lain serta mampu mempertanggung jawabkan tindakannya

tanpa adanya tekanan dan pengaruh asing di luar dirinya.25

Dari pengertian-pengertian tersebut, maka dapat kita pahami

bahwa kemandirian belajar merupakan suatu kondisi aktivitas belajar

yang mandiri tidak tergantung pada orang lain, memiliki kemauan

serta bertanggung jawab sendiri dalam menyelesaikan masalah

belajarnya. Kemandirian belajar akan terwujud apabila siswa aktif

mengontrol sendiri segala sesuatu yang dikerjakan, mengevaluasi

dan selanjutnya merencanakan sesuatu yang lebih dalam

pembelajaran yang dilalui dan siswa juga mau aktif dalam proses

pembelajaran.

b. Indikator Kemandirian Belajar


23
Heris Hendriana dkk, Op.Cit., h. 228
24
Karunia Eka Lestari dan Mokhammad Ridwan, Op.Cit., h. 94
25
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Belajar,1996, h. 54
30

Indikator kemandirian belajar diperlukan untuk mengukur

kemandirian belajar. Beberapa Indikator kemandirian belajar yang

dirangkum oleh Karunia Eka dan Ridwan yaitu:26

1) Inisiatif belajar.
2) Memiliki kemampuan menentukan diri atau bertanggung
jawab terhadap diri sendiri
3) Mendiagnosis kebutuhan belajar.
4) Kreatif dan inisiatif dalam memanfaatkan sumber belajar dan
memilih strategi belajar.
5) Memonitor, mengatur, dan mengontrol belajar.
6) Mampu menahan diri.
7) Membuat keputusan-keputusan sendiri.
8) Mampu mengatasi masalah.

Untuk itu peneliti mengambil suatu kriteria untuk menentukan

kemandirian belajar siswa. Kriteria pengelompokan kemandirian

belajarnya bisa dilihat pada tabel berikut :27

TABEL II.3
KRITERIA PENGELOMPOKAN
KEMANDIRIAN BELAJAR
Kriteria Kemandirian Belajar Keterangan
~
x ≥( x+ SD) Tinggi
~ ~
( x−SD ) < x<( x +SD ) Sedang
~
x ≤( x−SD) Rendah

Keterangan:
x : Kemandirian belajar
~
x : rata-rata skor/nilai siswa
SD : Simpangan baku dari skor/nilai siswa
4. Pembelajaran Langsung
Model pembelajaran langsung adalah salah satu pendekatan

mengajar untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan

pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang sesuatu yang dapat berupa

fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi) dan pengetahuan prosedural


26
Karunia Eka Lestari dan Mokhammad Ridwan, Op.Cit., h. 94-95
27
Slameto, 2003. Loc.Cit.
31

(pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan sesuatu) yang

terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan

bertahap, selangkah demi selangkah. Pembelajaran langsung atau direct

instruction atau dikenal juga dengan active teaching, penyebutan ini

mengacu pada gaya mengajar di mana guru terlibat aktif dalam

mengusung isi pelajaran kepada seluruh kelas.28

Berdasarkan pengertian pembelajaran langsung, dapat disimpulkan

bahwa pembelajaran langsung adalah pengajaran yang berpusat pada

guru, dan harus menjamin terjadinya keterlibatan siswa. Dalam hal ini,

guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur,

mengarahkan kegiatan para siswa, dan menguji keterampilan tahap

demi tahap.

Tahapan pelaksanaan model pembelajaran langsung adalah sebagai

berikut :29

a. Guru menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa

Tujuan langkah awal ini untuk menarik dan memusatkan perhatian

siswa, serta memotivasi mereka untuk berperan serta dalam

pembelajaran. Kegiatan ini bertujuan untuk menarik perhatian

siswa, memusatkan perhatian siswa pada pokok pembicaraan, dan

mengingatkan kembali pada hasil belajar yang telah dimilikinya,

yang relevan dengan pokok pembicaraan yang akan dipelajari.

b. Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan


28
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Inovatif dan Konseptual,
Jakarta: Kencana Prenada, 2013, h. 41
29
Abdul Majid, Strategi Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014, h.76
32

Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar atau

menyampaikan informasi tahap demi tahap. Kunci keberhasilan

dalam tahap ini adalah mempresentasikan informasi sejelas

mungkin dan mengikuti langkah-langkah demonstrasi yang efektif.

Pada fase ini guru dapat menyajikan materi pelajaran, baik berupa

konsep-konsep maupun keterampilan. Penyajian keterampilan dapat

berupa :

1) Penyajian materi dalam langkah-langkah kecil, sehingga materi

dapat dikuasai siswa dalam waktu relatif pendek;

2) Pemberian contoh-contoh konsep;

3) Pemodelan atau peragaan keterampilan dengan cara demonstrasi

atau penjelasan langkah-langkah kerja terhadap tugas;

4) Menjelaskan ulang hal-hal sulit.

c. Membimbing pelatihan

Bimbingan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan

untuk menilai tingkat pemahaman siswa dan mengoreksi kesalahan

konsep. Pada fase ini guru memberikan kesempatan kepada siswa

untuk berlatih konsep atau keterampilan. Latihan terbimbing ini

baik juga digunakan oleh guru untuk menilai kemampuan siswa

dalam melakukan tugasnya. Pada fase ini peran guru adalah

memonitor dan memberikan bimbingan jika diperlukan. Agar dapat

mendemonstrasikan sesuatu dengan benar, diperlukan latihan yang


33

intensif dan memerhatikam aspek-aspek penting dari keterampilan

atau konsep yang didemonstrasikan.

d. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik

Guru memeriksa atau mengecek kemampuan siswa seperti memberi

kuis terkini, dan memberi umpan balik seperti membuka diskusi

untuk siswa. Guru memberikan review terhadap hal-hal yang telah

dilakukan siswa, memberikan umpan balik terhadap respons siswa

yang benar, dan mengulang keterampilan jika diperlukan.

e. Memberikan kesempatan untuk latihan lanjutan dan penerapan

konsep

Guru dapat memberikan tugas tugas mandiri kepada siswa untuk

meningkatkan pemahamannya terhadap materi yang telah mereka

pelajari. Guru juga mempersiapkan kesempatan melakukan

pelatihan kelanjutan, dengan perhatian khusus terhadap penerapan

pada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari.

Tahapan-tahapan pembelajaran langsung tersebut dapat dilihat


pada tabel berikut :30
TABEL II.4
TAHAPAN-TAHAPAN PEMBELAJARAN LANGSUNG

No Fase Peran Guru


Menjelaskan tujuan, materi
Menyampaikan tujuan dan
1 prasyarat, memotivasi dan
mempersiapkan siswa
mempersiapkan siswa
Mendemonstrasikan
Mendemonstrasikan keterampilan atau
2
pengetahuan dan keterampilan menyajikan informasi tahap
demi tahap
3 Membimbing pelatihan Guru memberikan latihan
30
Abdul Majid, Op.Cit., h.78
34

No Fase Peran Guru


terbimbing
Mengecek kemampuan
Mengecek pemahaman dan
4 siswa dan memberikan
memberikan umpan balik
umpan balik
Mempersiapkan latihan
untuk siswa dengan
Memberikan latihan dan
5 menerapkan konsep yang
penerapan konsep
dipelajari pada kehidupan
sehari-hari
Sumber : Abdul Majid

5. Hubungan antara Model Pembelajaran CORE, Kemampuan


Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar
Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu

kemampuan matematis yang wajib dimiliki siswa. Karena, salah satu

fungsi pelajaran matematika adalah sebagai cara untuk

mengkomunikasikan gagasan secara praktis, sistematis, dan efisien.

Hubungan antara model pebelajaran CORE dengan kemampuan

komunikasi matematis siswa dapat dilihat pada tahap organizing dan

reflecting pada model pembelajaran CORE. Tahap organizing dan

reflecting adalah tahap dimana guru mengelompokkan siswa menjadi

beberapa kelompok untuk mengorganisasikan ide-ide matematika dan

menggali informasi yang sudah di dapat secara lebih mendalam melalui

kegiatan diskusi. Pada tahap ini siswa dituntun menyusun strategi untuk

menemukan konsep dan memecahkan masalah yang diberikan secara

bersama-sama melalui diskusi kelompok. Tahapan ini dapat

memberikan kesempatan setiap siswa untuk melakukan aktivitas dan

komunikasi secara bersama-sama melalui diskusi kelompok. Hal ini

diperkuat dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Abdul Qohar


35

yaitu dengan adanya kelompok-kelompok kecil, maka intensitas

seseorang siswa dalam mengemukakan pendapatnya akan semakin

tinggi. Hal ini akan memberi peluang yang besar bagi siswa untuk

mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya baik secara

lisan maupun tulisan.31

Selain menerapkan model pembelajaran CORE dalam

pembelajaran, ternyata kemandirian belajar juga berpengaruh terhadap

kemampuan komunikasi matematis siswa. Karena, belajar merupakan

salah satu proses kognitif yang dipengaruhi oleh beberapa faktor salah

satunya keadaan individu yaitu kemandirian belajar. Meningkatnya

kemandirian belajar matematika secara akumulatif akan meningkatkan

kemampuan dan disposisi matematika lainnya pada siswa, termasuk

kemampuan komunikasi matematis siswa. Sejalan dengan hal tersebut,

Abdul Qohar menegaskan bahwa kemandirian belajar akan

mempengaruhi kemampuan komunikasi matematis siswa. Siswa yang

kemandirian belajar matematikanya tinggi, maka kemampuan

komunikasi matematisnya cenderung tinggi.32 Dengan demikian

kemandirian belajar siswa dapat mempengaruhi kemampuan

komunikasi matematis siswa.

B. Penelitian Yang Relevan

31
Abd. Qohar, “Asosiasi Antara Koneksi Matematis dan Komunikasi Matematis serta
Kemandirian Belajar Matematika”, (LSM XIX- ISBN : 978-979-17763-3-2, Dosen Jurusan
Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang, h.35.

32
Abdul Qohar, Op.Cit., h.42
36

Beberapa Hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan implementasi

model pembelajaran Connecting Organizing Reflexting Extending (CORE)

yaitu:

1. Skripsi

Penelitian yang dilakukan oleh Agata Intan Putri Mahasiswi

Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Lampung dengan judul “Pengaruh

Pembelajaran Kooperatif Tipe CORE terhadap Kemampuan

Komunikasi Matematis Siswa” di SMP Negeri 9 Bandarlampung pada

siswa kelas VII. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran

kooperatif tipe CORE berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan

komunikasi matematis siswa kelas VII di SMP Negeri 9

Bandarlampung tahun ajaran 2015/2016 dengan rata-rata kelas

eksperimen adalah 84,9 sedangkan rata-rata kelas kontrol adalah 76,8

dengan KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah adalah 75.33

2. Jurnal

Penelitian yang dilakukan oleh Hariyanto dengan judul “Penerapan

Model CORE dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa” di MAN 2 Jember pada

siswa kelas XII pada tahun 2016. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa model pembelajaran CORE berpengaruh secara signifikan

terhadap kemampuan komunikasi matmatis siswa dibandingkan dengan


33
Agata Intan Putri, “Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe CORE terhadap
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa”, Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas
Lampung, 2015.
37

pembelajaran konvensional. Dibuktikan dari hasil rata-rata setiap

indikator menunjukkan hasil bahwa rata-rata komunikasi matematis

menulis kelas eksperimen lebih tinggi yaitu 77,12 daripada nilai rata-

rata kelas kontrol yaitu 64,4234

Selain itu penelitian lain yang dilakukan oleh Fadhilah Al-Humaira

pada tahun 2013 dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran CORE

pada Pembelajaran Matematika Siswa Kelas X SMAN 9 Padang” pada

siswa kelas X tahun ajaran 2013/2014 menunjukkan bahwa kemampuan

komunikasi matematis siswa yang belajar menggunakan model

pembelajaran CORE lebih baik daripada kemampuan komunikasi

matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional

terbukti dari hsil uji-t yang menunjukkan hasil bahwa t-hitung = 2,090

dan t-tabel = 1,669 atau t hitung ≥ t tabel, artinya kemampuan

komunikasi matematis siswa yang belajar menggunakan pembelajaran

midel CORE lebih baik dari kemampuan komunikasi matematis siswa

yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional.35

Adapun yang membedakan penelitian yang dilakukan peneliti

dengan penelitian yang dilakukan oleh Agata Intan Putri, Hariyanto

dan Fadhilah Al-Humaira terletak pada variabel moderat yang

digunakan. Penelitian yang sedang peneliti lakukan memiliki tambahan

34
Hariyanto, “Penerapan Model Core Dalam Pembelajaran Matematika Untuk
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa”, Jurnal Gammath, Volume I Nomor
2, September 2016, e-ISSN : 2541-2612
35
Fadhilah, Al Humaira, “Penerapan Model Pembelajaran Core Pada Pembelajaran
Matematika Siswa Kelas X Sman 9 Padang”, Jurnal Pendidikan Matematika Vol. 3, No. 1
38

variabel, yaitu kemandirian belajar peserta didik sebagai variabel

moderat sedangkan dalam penelitian relevan hal ini belum ada.

Selain kemampuan komunikasi matematis penelitian yang

dilakukan oleh Siti Munawaroh dengan judul “Pengaruh Model

Pembelajaran CORE terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau dari

Kemandirian Belajar bagi Siswa Kelas VIII SMP N 1 Bancak

Kabupaten Semarang” pada siswa kelas VIII SMP N 1 Bancak tahun

ajaran 2016/2017 menunjukkan hasil bahwa terdapat interaksi efek

model pembelajaran CORE dan kemandirian belajar terhadap hasil

belajar matematika siswa kelas VIII SMP N 1 Bancak kabupaten

Semarang. Karena model pembelajaran CORE mengajak siswa untuk

aktif untuk berdiskusi pada kegiatan pembelajaran sehingga melibatkan

siswa untuk mengalami pengalaman belajarnya secara langsung, saling

mengemukakan pendapat untuk membentuk dan menyusun solusi dari

permasalahan yang diberikan dan melatih daya ingat terhadap suatu

konsep atau informasi sehingga mengembangkan kemandirian

belajarnya.36

Penelitian ini juga memiliki kesamaan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Siti Munawaroh yaitu sama-sama menggunkan variabel

moderat yaitu kemandirian belajar siswa. Yang membedakannya

adalah, pada penelitian variabel terikat yang digunakan adalah

kemampuan komunikasi matematis siswa.


36
Siti Munawaroh, “Pengaruh Model Pembelajaran CORE terhadap Hasil Belajar
Matematika ditinjau dari Kemandirian Belajar bagi Siswa Kelas VIII SMPN 1 Bancak Kabupaten
Semarang”, Jurnal Universitas Kristen Satya Wacana, 2016.
39

Berdasarkan keberhasilan penelitian yang telah diperoleh, maka

peneliti mengambil judul “Pengaruh Model Pembelajaran CORE

terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa berdasarkan

Kemandirian Belajar Siswa MTs Darul Hikmah Pekanbaru”.

C. Kerangka Pemikiran

Pembelajaran matematika perlu dirancang sedemikian sehingga dapat

menstimulus siswa untuk melakukan komunikasi matematika dengan baik.

Berbagai cara telah dilakukan guru untuk melaksanakan proses

pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kemampuan belajar

siswanya. Namun, penerapan model-model pembelajaran tersebut belum

menunjukkan hasil yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan

belajar siswa. Kondisi peserta didik yang masih kesulitan dalam

mengkomunikasikan permasalahan matematis ke dalam bahasa

matematika baik secara lisan maupun tulisan. Membentuk siswa ke dalam

kelompok-kelompok kecil akan memudahkan pengembangan kemampuan

komunikasi matematis. Dengan adanya kelompok-kelompok kecil, maka

intensitas seseorang siswa dalam mengemukakan pendapatnya akan

semakin tinggi. Hal ini akan memberi peluang yang besar bagi siswa untuk

mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya. Salah satu model

pembelajaran yang membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil

adalah model pembelajaran CORE. Selain itu, kemandirian belajar juga

berperan penting dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis

siswa. Karena, belajar merupakan salah satu proses kognitif yang


40

dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya keadaan individu yaitu

kemandirian belajar. Meningkatnya kemandirian belajar matematika

secara akumulatif akan meningkatkan kemampuan dan disposisi

matematika lainnya pada siswa, termasuk kemampuan komunikasi

matematis siswa

Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai

berikut:
41

Rendahnya Kemampuan Komunikasi


Matematis Siswa Siswa

Menerapkan model pembelajaran yang


dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi matematis siswa

Kelas Eksperimen

Model Pembelajaran CORE

Kemandirian Belajar

Tinggi Sedang Rendah

Kemampuan Komunikasi
Matematis
Bagan II.1
Skema kerangka berpikir
D. Konsep Operasional

Konsep yang dioperasionalkan dalam penelitian ini adalah model

pembelajaran CORE, kemampuan komunikasi matematis, dan

kemandirian belajar.
42

1. Model Pembelajaran CORE sebagai Variabel Bebas.

Model pembelajaran CORE sebagai variabel bebas yang

mempengaruhi komunikasi matematis sebagai variabel terikat. Adapun

langkah-langkah model pembelajaran CORE yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kegiatan Pendahuluan

1) Menyiapkan kondisi peserta didik untuk mengikuti pembelajaran,

seperti berdo’a, menanyakan kabar dan mengabsen peserta didik.

2) Melakukan Apersepsi, menyampaikan judul materi dan gambaran

pembelajaran yang akan dilakukan hari ini, menyampaikan

tujuan pembelajaran, dan motivasi untuk mendorong rasa ingin

tahu siswa sebelum memulai pembelajaran

b. Kegiatan Inti

1) Connecting, Menghubungkan konsep lama atau materi

pembelajaran sebelumnya dengan konsep baru. Proses ini ditandai

dengan memberi pertanyaan, memberikan informasi yang

berhubungan dengan pengetahuan sebelumnya.

2) Organizing, Mengorganisasikan informasi yang sudah di dapat

serta mendiskusikan permasalahan yang diberikan, namun tetap

dalam bimbingan dan pengawasan guru dengan membentuk siswa

ke dalam kelompok heterogen yang terdiri atas 4-5 orang.

3) Reflecting, Siswa bersama-sama teman sekelompoknya berdiskusi

menyelelesaikan masalah yang diberikan, saling bekerjasama


43

untuk lebih memperdalam informasi melalaui kegiatan diskusi

yang dilakukan

4) Extending, Setelah kegiatan diskusi, perwakilan kelompok

mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas, sedangkan siswa

lain mendengarkan dan memberi tanggapan terhadap hasil

presentasi yang dijelaskan. Hal ini bertujuan untuk memperluas

infromasi yang sudah didapatkan sebelumnya.

c. Kegiatan Penutup

1) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang

materi yang belum mengerti dan memberikan latihan jika

diperlukan.

2) Guru mengajak siswa bersama-sama menyimpulkan mengenai

materi yang telah dipelajari

3) Guru menyampaikan pesan agar membaca, mempelajari, dan

memahami materi selanjutnya

4) Guru mengakhiri kegiatan belajar dan mengucapkan salam.

2. Kemampuan Komunikasi Matematis sebagai Variabel Terikat

Kemampuan komunikasi matematis sebagai variabel terikat yang

dipengaruhi oleh model pembelajaran CORE. Untuk mengetahui

kemampuan komunikasi matematis siswa akan dilihat dari hasil tes soal

yang berisi soal-soal komunikasi matematis. Kemudian

membandingkan hasil tes dengan soal tersebut pada kelas eksperimen

dan kelas kontrol. Perbandingan hasil tes yang signifikan dari kedua
44

kelas tersebut akan memperlihatkan pengaruh dari penerapan

pembelajaran CORE. Adapun indikator komunikasi matematis yang

dikemukan oleh Sumarmo sebagai variabel terikat adalah sebagai

berikut:

1) Mempresentasikan benda nyata, gambar, dan diagram ke


dalam bentuk ide atau simbol matematika;
2) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara
tulisan, dengan benda nyata, gambar, grafik, dan ekspresi
aljabar;
3) Menyusun model matematika suatu peristiwa;
4) Menyusun konjektur, menyusun argumen, merumuskan
definisi dan generalisasi.

3. Kemandirian Belajar sebagai Variabel Moderat

Kemandirian belajar sebagai variabel moderat yang digunakan

untuk mempengaruhi (memperkuat atau memperlemah) hubungan

antara variabel bebas dan variabel terikat oleh model pembelajaran

CORE. Beberapa Indikator kemandirian belajar yang dirangkum

oleh Karunia Eka dan Ridwan yaitu:

a. Inisiatif belajar.
b. Memiliki kemampuan menentukan diri atau bertanggung
jawab terhadap diri sendiri
c. Mendiagnosis kebutuhan belajar.
d. Kreatif dan inisiatif dalam memanfaatkan sumber belajar dan
memilih strategi belajar.
e. Memonitor, mengatur, dan mengontrol belajar.
f. Mampu menahan diri.
g. Membuat keputusan-keputusan sendiri.
h. Mampu mengatasi masalah.
D. Hipotesis Penelitian

Hipotsis dalam penelitian ini adalah jawaban sementara dari rumusan

masalah yang akan diuji kebenarannya. Adapun hipotesis penelitian yakni

sebagai berikut :
45

Hipotesis I

H : Tidak terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis

o antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model

pembelajaran CORE dengan siswa yang memperoleh

pembelajaran langsung di MTs Darul Hikmah Pekanbaru.

H : Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara

a siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model

pembelajaran CORE dengan siswa yang memperoleh

pembelajaran langsung di MTs Darul Hikmah Pekanbaru.

Hipotesis II

H : Tidak terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis

o siswa berdasarkan kemandirian belajar tinggi, sedang dan rendah

di MTs Darul Hikmah Pekanbaru.

H : Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa

a berdasarkan kemandirian belajar tinggi, sedang dan rendah di MTs

Darul Hikmah Pekanbaru.

Hipotesis III

H : Tidak terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran

o CORE dengan kemandirian belajar terhadap kemampuan


46

komunikasi matematis siswa.

H : Terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran CORE

a dengan kemandirian belajar terhadap kemampuan komunikasi

matematis siswa.

Anda mungkin juga menyukai