Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KELAINAN PADA SISTEM IMUN


2.1.1 Alergi
Alergi (hipersentivitas) yaitu respon imun tubuh berlebih terhadap
alergen (benda asing dan antigen) baik yang membahayakan maupun tidak.
Alergi di negara berkembang umumnya dipicu debu yang dihasilkan tungau,
sedangkan di negara maju dipicu serbuk sari. Gejala yang ditimbulkan alergi
misalnya ruam, hidung berlendir, mata berair dan bersin.
Proses terjadinya alergi diawali dengan masuknya alergen kedalam
tubuh. Alergen tersebut akan merangsang sel-sel B plasma untuk
menyekresikan antibodi IgE. Alergen yang masuk kedalam tubuh pertama
kali tidak akan menimbulkan gejala alergi. Namun, IgE yang terbentuk akan
berikatan dengan matosit. Akibatnya, ketika alergen masuk kedalam tubuh
untuk kedua kalinya, alergen akan terikat pada IgE yang telah berikatan
dengan mastosit.
2.1.2 Ketidakcocokan Rhesus (Rh)
Rhesus adalah jenis golongan darah, sama seperti golongan darah
ABO. Rhesus ada dua macam, yaitu Rh (+) dan Rh (-). Jumlah orang
dengan Rh (+) jauh lebih banyak daripada Rh (-). Rhesus penting diketahui
pada ibu hamil karena ada resiko ketidakcocokan jika berbeda antara ibu
dan bayi. Jika golongan darah (Rhesus) ayah dan ibu sama, tidak perlu
khawatir akan terjadi ketidakcocokan Rhesus. Ketidakcocokan rhesus terjadi
jika ibu memiliki Rh (-) dan bayinya Rh (+), ini berarti ayahnya harus
memiliki Rh (+).
Dampak dari ketidakcocokan Rhesus (Rh) antara ibu dan bayi yaitu
jika darah bayi masuk ke sirkulasi darah ibu, maka ibu akan memproduksi
antibodi yang bisa masuk kembali ke sirkulasi darah janin. Antibodi ini
akan menyerang sel darah merah janin, sehingga pecah dan menyebabkan
anemia (kurang darah) ringan sampai berat pada janin. Bayi pada kehamilan
pertama biasanya aman, karena biasanya terjadi percampuran darah ibu dan
bayi saat kelahiran. Pada kehamilan kedua, antibodi ibu sudah terbentuk
sehingga bisa menyerang darah bayi sejak dini.
Cara mencegah ketidakcocokan Rhesus (Rh) yaitu ibu hamil dengan
Rhesus (-) akan mendapat suntikan obat untuk mencegah ketidakcocokan
Rhesus. Jadi obat akan membunuh sel darah bayi yang masuk ke darah ibu
mencegah sistem kekebalan tubuh ibu membentuk antibodi. Obat ini juga
diberikan pada kondisi-kondisi yang bisa menyebabkan tercampurnya darah
ibu dan bayi. Akan tetapi, kemungkinan ketidakcocokan rhesus sebenarnya
kecil untuk orang Indonesia, karena kejadian Rh (-) mungkin < 3%.

2.1.3 Autoimun
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri
yang disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan self tolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi untuk
autoimunitas ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat
mengekspresikan reseptor spesifik untuk banyak self antigen. Autoimunitas
terjadi karena self antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi
serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan
kerusakan jaringan dari berbagai organ, baik antibodi maupun sel T atau
keduanya dapat berperan dalam patogenesis penyakit autoimun. Penyakit
autoimun yaitu gagalnya sistem imun membedakan antigen asing dengan
antigen dalam tubuh. Akibat dari penyakit autoimun adalah sistem imun
menyerang tubuh sendiri.
Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal:
(1) Senyawa yang ada dibadan yang normalnya dibatasi di area tertentu
(dan kemudian disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan
kedalam aliran darah.
(2) Senyawa normal ditubuh berubah
(3) Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin
memasuki badan.
(4) Sel yang mengontrol produksi antibodi.
Penyebab penyakit autoimun adalah:
(1) kegagalan autoantibodi dan sel T mengenali sel sendiri (toleransi diri
hilang)
(2) autoantibodi dan sel T menyerang sel-sel sendiri jika T helper limfosit
terlalu aktif.
(3) Gangguan klinis yang diproduksi oleh respon imun ke komponen
jaringan normal dari tubuh
(4) Ketidakmampuan untuk menghilangkan antigen penyebab inflamasi
kronis.

2.1.4 Penolakan Terhadap Organ Transpalan

Penolakan transplantasi dikarenakan tubuh menganggap organ


transplantasi sebagai benda asing atau antigen. Agar tubuh dapat menerima
transplantasi, biasanya pasien diberikan imunosupresan untuk menekan
sistem imun sementara.

Penolakan terbagi menjadi 2:

(1) Penolakan pertama dan kedua


Sel Th dan Tc resipien mengenal antigen MHC alogenik, sehingga
memacu imunitas humoral dan membunuh sel sasaran. Makrofag juga
dikerahkan ke tempat tandur atas pengaruh limfokin yang dihasilkan
oleh Th.
(2) Penolakan hiperakut, akut dan kronik
a) Penolakan hiperakut terjadi segera setelah transplantasi
berlangsung atau pada saat transplantasi sedang dilakukan.
Disebabkan oleh destruksi antibodi yang sudah ada pada resipien
akibat transplantasi/transfusi darah atau kehamilan sebelumnya.
b) Penolakan akut terjadi setelah beberapa hari transplantasi
dilakukan. Umumnya terjadi 5-10 hari setelah pencakokan dan
dapat menghancurkan cangkokan tersebut. Obat penekan sistem
imun sangat efektif mencegah tipe penolakan ini. Hal ini berhasil
60 -75% pencangkokan ginjal pertama, 50-60% pada
pencangkokan hati.
c) Penolakan kronik timbul setelah organ transplantasi berfungsi
normal selama beberapa bulan dan saat pengobatan imunosupresi
dihentikan. Disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap
antigen tandur karena timbulnya intoleransi terhadap sel T,
terkadang juga diakibatkan sesudah pemberian imunosupresan
dihentikan. Hal ini dapat terjadi pada semua tipe cangkokan.

2.1.5 Defisiensi Sistem Imun

Defisiensi imun yaitu tidak bekerja atau terganggunya salah satu atau
seluruh komponen sistem imun. Defisiensi imun juga merupakan Keadaan
dimana terjadi penurunan atau ketidak adaan respon imun normal. Contoh:

(1) SCID (Severe Combined Immunodeficiency), adalah kegagalan


imunitas humoral dan imunitas diperantarai sel untuk bekerja.
(2) AIDS (Acquired Immunodeficiency Virus), yaitu penyakit yang
disebabkan oleh HIV yang menyerang sel T helper yang menurunkan
kekebalan tubuh, sehingga rentan terkena penyakit.

Defisiensi imun Dapat terjadi secara primer (kelainan genetik yang


diturunkan) dan sekunder (infeksi, radiasi, sitostatika, akibat pengobatan
kemoterapi, imunosupresan). Defisiensi imun dapat dibedakan berdasarkan
komponen sistem imun yang terjangkit, yaitu:

(1) Defisiensi imunitas humoral (sel B)


(2) Defisiensi imunitas seluler (sel T)
(3) Defisiensi imunitas humoral dan seluler (sel B dan sel T)
(4) Defisiensi komplemen
(5) Defisiensi sistem fagositik
2.1.6 Erithroblastosis fetalis
Erithroblastosis fetalis, yaitu kelainan yang muncul akibat perkawinan
suami-istri beda Rhesus (istri dengan Rhesus –), biasanya terjadi pada
kehamilan setelah kehamilan bayi dengan Rhesus +.
2.1.7 Rematik artritis
Sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang menempel
dipersendian. Sel sistem kekebalan menyerang sendi, menyebabkan
peradangan, bengkak, nyeri dan jika tidak segera diatasi, maka akan
menyebabkan kerusakan sendi permanen. Pengobatan dengan injeksi dan
oral yang mengurangi kelebihan sistem imunitas.

2.1.8 Inflammatory Bowel Disease/Penyakit radang usus (IBD)


Sistem kekebalan tubuh yang menyerang saluran usus, menyebabkan
serangkaian diare, pendarahan pada rektum/anus, pergerakan usus yang
cepat, sakit perut yang hebat, demam, penurunan berat badan. Jenis penyakit
ini termasuk Ulcerative Colitis dan Crohn’s disease. Pengobatannya dengan
injeksi penekan imun.
2.1.9 Multiple Sclerosis (MS)
Sistem kekebalan tubuh yang mneyerang sel-sel saraf, menyebabkan
gejala termasuk rasa sakit, kebutaan, kelemahan, koordinasi yang buruk, dan
kejang otot. Berbagai obat-obatan yang menekan sistem kekebalan tubuh
dapat digunakan untuk mengobati multiple sclerosis.
2.1.10 Hashimoto’s thyroiditis
Antibodi diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh menyerang kelenjar
tiroid, perlahan-lahan menghancurkan sel-sel yang memproduksi hormon
tiroid. Rendahnya tingkat hormon tiroid berkembang (hypothyroidism),
biasanya selama sebulan sampai setahun. Gejalanya termasuk kelalahan,
sembelit, berat badan, depresi, kulit kering, dan kepekaan terhadap dingin.
2.2 IMUNISASI
2.2.1 Defenisi Imunisasi
Imunisasi merupakan upaya pencegahan yang telah berhasil
menurunkan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian)
penyakit infeksi pada bayi dan anak. (Hidayat, 2005)

Imunisasi adalah memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan


memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk
mencegah terhadap suatu penyakit tertentu. Sedangkan vaksin adalah bahan
yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan
kedalam tubuh melalui suntikan, seperti vaksin, BCG, DPT, campak dan
melalui mulut seperti vaksin polio. (IGN Ranuh, 2008).

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan


kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit.
Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan
penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak
(Supartini, 2004).

2.2.2 Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu


pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok
masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari
dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir ini lebih
mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui
manusia, seperti penyakit difteria (Matondang, C.S, & Siregar, S.P, 2008).

Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada


seeorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat
atau populasi atau bahkan menghilngkan penyakit tertentu dari dunia seperti
pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir lebih mungkin terjadi
pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti
misalnya penyakit difteria.
2.2.3 Manfaat Imunisasi
1) Untuk anak
Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan
kemungkinan cacat atau kematian.

2) Untuk Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak
sakit. Mendorong pembentukan keluarga sejahtera apabila orang tua
yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang
nyaman. Hal ini mendorong penyiapan keluarga yang terencana, agar
sehat dan berkualitas.
3) Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat
dan berakal untuk melanjutkan pembangunan Negara.

2.2.4 Imunisasi Dasar pada Bayi

1) Jenis – Jenis Imunisasi


Lima jenis imunisasi dasar yang diwajibkan pemerintah adalah
imunisasi terhadap tujuh penyakit yaitu TBC, difteri, pertusis, tetanus,
poliomyelitis, campak dan hepatitis B. Kelima jenis imunisasi dasar
yang wajib diperoleh adalah:
(1) Imunisasi BCG adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis
(TBC), yaitu penyakit paru-paru yang sangat menular yang
dilakukan sekali pada bayi sekali pada bayi usia 0-11 bulan.
(2) Imunisasi DPT yaitu merupakan imunisasi dengan memberikan
vaksin mengandung racun kuman yang telah dihilangkan
racunnya akan tetapi masih dapat merangsang pembentukan zat
anti(toxoid) untuk mencegah terjadinya penyakit
difteri,pertusis,dan tetanus,yang diberikan 3 kali pada bayi usia 2-
11 bulan dengan interval minimal 4 minggu.
(3) Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan terhadap penyakit poliomyelitis yang
dapat menyebabkan kelumpuhan pada kaki, yang diberikan 4 kali
pada bayi 0-11 bulan dengan interval minimal 4 minggu.
(4) Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan kekebalan aktif terhadap penyakit
campak karena penyakit ini sangat menular, yang diberikan 1 kali
pada bayi usia 9-11 bulan.
(5) Imunisasi hepatis B, adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B yaitu
penyakit yang dapat merusak hati, yang diberikan 3 kali pada bayi
usia 1-11 bulan, dengan interval minimal 4 minggu cakupan
imunisasi lengkap pada anak, yang merupakan gabungan dari tiap
jenis imunisasi yang didapatkan oleh seorang anak. Sejak tahun
2004 hepatitis-B disatukan dengan pemberian DPT menjadi DPT-
HB. (Proverati 2010).
2) Vaksinasi
Vaksinasi adalah merupakan suatu tindakan yang dengan
sengaja memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari
mokroorganisme patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat
demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu
mengaktivasi limfosit menghasilkan antibody dan sel memori yang
menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun
cukup memberikan kekebalan dengan tujuan memberikan infeksi
ringan yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon
imun.
3) Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I)
(a) Difteri
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium Diphtheriae. Penyebarannya adalah melalui kontak
fisik dan pernafasan. Daya tular penyakit ini tinggi. Gejala awal
penyakit adalah : gelisah, aktifitas menurun, radang tenggorokan,
hilang nafsu makan dan demam ringan. Dalam 2-3 hari timbul selaput
putih kebiru-biruan pada tenggorokan dan tonsil. Komplikasi difteri
berupa gangguan pernafasan yang berakibat kematian (Depkes, 2009).
Seorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan
kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang
menghambat sintesis protein seluler dan menyebabkan destruksi
jaringan setempat dan terjadilah suatu selaput/membran yang dapat
menyumbat jalan nafas. Toksin yang terbentuk pada membran
tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam aliran darah dan dibawa ke
seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa
miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan proteinuria
(Tumbelaka, A.R & Hadinegoro, S.R, 2008).
(b) Pertusis
Pertusis disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari adalah
penyakit pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh Bordetella
Pertussis. Penyebaran pertusis adalah melalui percikan ludah yang
keluar dari batuk atau bersin. Gejala penyakit adalah pilek, mata
merah, bersin, demam, dan batuk ringan yang lama-kelamaan menjadi
parah dan menimbulkan batuk menggigil yang cepat dan keras.
Komplikasi pertusis adalah Pneumania Bacterialis yang dapat
menyebabkan kematian (Depkes, 2009). Sebelum ditemukan
vaksinnya, pertusis merupakan penyakit tersering yang menyerang
anak dan merupakan penyebab kematian (diperkirakan sekitar 300.000
kematian terjadi setiap tahun).
(c) Tetanus
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh Clostridium
Tetani yang menghasilkan neurotoksin. Penyakit ini tidak menyebar
dari orang ke orang, tetapi melalui kotoran yang masuk kedalam luka
yang dalam. Gejala awal penyakit adalah kaku otot pada rahang,
disertai kaku pada leher, kesulitan menelan, kaku otot perut,
berkeringat, dan demam. Pada bayi terdapat juga gejala berhenti
menetek antara 3 sampai dengan 28 hari setelah lahir. Gejala
berikutnya adalah kejang yang hebat dan tubuh menjadi kaku
(Depkes, 2009, hlm.13).
(d) Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosa disebut juga batuk darah. Penyakit ini
menyebar melalui pernafasan lewat bersin atau batuk. Gejala awal
penyakit adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam, dan
keluar keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya adalah batuk
terus-menerus, nyeri dada dan mungkin batuk darah. Gejala lain
tergantung pada organ yang diserang. Komplikasi tuberkulosis dapat
menyebabkan kelemahan dan kematian (Depkes, 2009).
(e) Campak
Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Myxovirus
viridae measles. Disebarkan melalui udara (percikan ludah) sewaktu
bersin atau batuk dari penderita. Gejala awal penyakit adalah demam,
bercak kemerahan, batuk, pilek, konjunctivitis (mata merah)
selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke
tubuh dan tangan serta kaki. Komplikasi campak adalah diare hebat,
peradangan pada telinga, dan infeksi saluran nafas (pneumonia).
Prioritas utama untuk penanggulangan penyakit campak adalah
melaksanakan program imunisasi lebih efektif (Depkes, 2009).

(f) Poliomielitis
Poliomielitis adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan, yaitu virus
polio tipe 1, 2 atau 3. Secara klinis penyakit polio adalah anak di
bawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu akut
(acute flaccid paralysis=AFP). Penyebaran penyakit adalah melalui
kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan dimulai
dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu
pertama sakit. Komplikasi poliomielitis adalah kematian bisa terjadi
karena kelumpuhan otot-otot pernafasan terinfeksi dan tidak segera
ditangani (Depkes, 2009, hlm.13).
(g) Hepatitis B
Hepatitis B adalah penyakit kuning yang disebabkan oleh virus
hepatitis B yang merusak hati. Penularan penyakit secara horizontal
yaitu dari darah dan produknya melalui suntikan yang tidak aman
melalui tranfusi darah dan melalui hubungan seksual. Sedangkan
penularan secara vertikal yaitu dari ibu ke bayi selama proses
persalinan. Gejalanya adalah merasa lemah, gangguan perut, dan
gejala lain seperti flu. Warna urin menjadi kuning, tinja menjadi
pucat. Warna kuning bisa terlihat pula pada mata ataupun kulit.
Komplikasi hepatitis B adalah bisa menjadi hepatitis kronis dan
menimbulkan pengerasan hati (Cirrhosis Hepatis), kanker hati (Hepato
Cellular Carsinoma), dan menimbulkan kematian (Depkes, 2009,
hlm.14).

2.3 JENIS-JENIS INFLAMASI


Secara garis besar, inflamasi ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang
berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan
dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam
ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang
bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit
dan monosit kedalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan.
Adapun tanda – tanda inflamasi mencakup:
1) Rubor (kemerahan)
Merupakan hal pertama yang terlihat didaerah yang mengalami inflamasi.
Saat reaksi inflamasi timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai
darah kedaerah inflamasi. Sehingga lebih banyak darah yang mengalir ke
mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh
dengan darah. Keadaan ini disebut hipermia atau kongesti, menyebabkan
warna merah lokal karena inflamasi akut.
2) Kalor (rasa panas)
Terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi inflamasi akut, kalor
disebabkan oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang
memiliki suhu 37 derajat Celcius disalurkan ke permukaan tubuh yang
mengalami inflamasi lebih banyak daripada kedaerah normal.
3) Dolor (rasa sakit)
Rasa sakit terjadi karena adanya rangsangan saraf. Rangsangan saraf
sendiri terjadi akibat perubahan pH lokal, perubahan konsentrasi ion-ion
tertentu, atau engeluaran zat-zat kimia bioaktif lainnya. Selain itu,
pembengkakan jaringan yang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal
juga dapat menimbulkan rasa sakit.
4) Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi darah kejaringan-jaringan intersitial. Campuran cairan dan sel
yang tertimbun didaerah inflamasi disebut dengan eksudat.
5) Fungsio Lasea
Penurunan fungsi darah peradangan. Kerusakan jaringan dan peningkatan
rasa nyeri menyebabkan daerah peradangan diistirahatkan dengan
menurunkan fungsi gerak dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai