Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Osteoarthritis merupakan suatu kelainan pada sendi yang bersifat

kronik dan progresif biasanya didapati pada usia pertengahan hingga usia

lanjut ditandai dengan adanya kerusakan kartilago yang terletak di persendian

tulang. Kerusakan kartilago ini bisa disebabkan karena stress mekanik atau

perubahan biokimia pada tubuh. Bagian sendi yang sering terkena adalah

bagian lutut yang paling besar, selain itu bagian lain seperti pinggul. Secara

anatomis maupun fungsional berhubungan dengan adanya beban yang harus

disangga oleh sendi lutut, seperti pada saat posisi berjalan menumpu berat

badan, naik turun tangga, aktivitas sehari-hari yang secara terus menerus

(Singh, 2015).

Menurut Wolrd Health Organization (WHO), Satu dari tiga wanita dan

satu dari lima pria berusia 50 tahun menderita Osteoporosis, yang berarti

diseluruh dunia terdapat 200 juta orang mengalami osteoporosis. Pada tahun

2050, diperkirakan lebih dari 50% kejadian patah tulang akibat dari

osteoporosis akan muncul di Asia. (WHO, 2019).

Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2018,

prevalensi penyakit sendi di Indonesia tercatat sekitar 7,3% dan osteoarthritis

(OA) atau radang sendi merupakan penyakit sendi yang umum terjadi

(Riskesdas, 2018).

1
2

Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2018

menunjukkan bahwa sebanyak 13.036 orang (5,30%) yang mengalami

kelainan sendi atau osteoarhtritis. Penyakit sendi atau osteoarthritis

merupakan gangguan nyeri pada persendian yang disertai kekakuan, merah,

dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena benturan/kecelakaan

(Dinas Kesehatan Provinsi NTB, 2018).

Berdasarkan data yang diperoleh di Puskesmas Sakra tahun 2020

menunjukkan bahwa prevalensi osteoartritis sebanyak 200 orang. Angka

kejadian osteoartritis di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra tidak hanya terjadi

pada lansia dengan umur lebih dari 60 tahun keatas, tapi osteoarthritis juga

terjadi pada orang usia produktif yaitu 45 tahun sedangkan jumlah lansia yang

mengalami osteoarhtritis dari pada tahun 2021 sebanyak 49 orang yanng

terdiri dari perempuan sebanyak 20 orang (40,82%) dan laki-laki sebanyak 29

orang (59,18%) (Puskesmas Sakra, 2021).

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada tanggal 20

Desember 2021 terhadap 10 orang lansia yang menderita osteoartritis, 7 orang

lansi mengatakan bahwa mengeluhkan nyeri pada bagian persendian kaki serta

sering mengalami kakukaku pada lutut yang dapat menyebabkan

terganggunya aktivitas sehari-hari. Mereka juga mengatakan bahwa tidak

paham tentang penyakit osteoartritis. Akibat dari kurangnya informasi dan

pengetahuan dan sikap tentang penyakit osteoartritis, maka dari itu penderita

sering mengalami kekambuhan. Kemudian 3 orang lansia lainnya mengatakan

bahwa pernah mendapatkan sedikit informasi tentang penyakit osteoartritis.


3

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Endang Yuswatiningsih, 2017

tentang : “Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap Sikap Lansia Tentang

Perawatan Osteoarthritis (Studi Di Posyandu Lansia Desa Tembelang

Kecamatan Tembelang Jombang)”. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa

sebelum diberikan penyuluhan kesehatan tentang perawatan osteoarthritis

sebagian besar lansia yaitu 66% (21 responden) mempunyai sikap negative

dan setelah dilakukan penyuluhan kesehatan tentang perawatan osteoarthritis

sebagian besar lansia yaitu 69% (22 responden) mempunyai sikap positif.

Hasil analisis didapatkan nilai p = 0,00 < alpha 0,05 maka H1 diterima.

Kesimpulan penelitian ini adalah ada pengaruh penyuluhan kesehatan

terhadap sikap lansia tentang perawatan osteoarthritis.

Pengetahuan tentang osteoarthritis merupakan hal penting bagi

keluarga, karena semakin banyaknya pengetahuan tentang penyakit OA akan

sangat membantu untuk menekan kekambuhannya. Sehingga prinsip

pencegahan osteoarthritis sangat penting dan utama dari pada mengobati

akibatnya. Apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan dan penanganan

dengan baik maka kondisi ini akan mempengaruhi kualitas hidup yang buruk,

gangguan psikologis pada lanjut usia dan menambah tingkat angka

ketergantungan di masyarakat (Chasanah, 2017)

Pengetahuan kesehatan tentang penyakit osteoartritis sangat penting

diketahui oleh masyarakat, karena penyakit osteoartritis merupakan penyakit

yang umum dan sering terjadi di usia produktif maupun usia lanjut terutama

pada sesorang yang bekerja berat. Maka dari itu sangat penting untuk
4

memberikan informasi dan pendidikan kesehatan tentang osteoartritis kepada

masyarakat. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu tindakan

keperawatan yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam

memberikan informasi maupun pengetahuan kepada klien tentang suatu

penyakit, sehingga nantinya keluarga maupun penderita osteoarthritis dapat

mencegah munculnya kembali tanda gejala osteoarthritis (Notoatmodjo,

2018).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang. Selain pengetahuan yang dapat

mempengaruhi pencegahan osteoporosis adalah sikap. Sikap yang dimiliki

oleh seseorang secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi

terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu

reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial, termasuk bagaimana

lansia dalam bersikap mengenai osteoporosis (Notoatmodjo, 2018).

Berdasarkan data di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang : “Pengaruh Edukasi tentang Osteoatritis terhadap Pengetahuan dan

Sikap Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian Latar belakang diatas maka dapat dirumuskan

pertanyaan yaitu apakah ada pengaruh edukasi tentang osteoatritis terhadap

pengetahuan dan sikap lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun

2021?”
5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh edukasi tentang osteoatritis terhadap

pengetahuan dan sikap lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun

2021.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik lansia di Wilayah Kerja Puskesmas

Sakra Tahun 2021.

b. MengIdentifikasi pengetahuan lansia tentang pencegahan osteoatritis

di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.

c. Mengidentifikasi sikap lansia tentang pencegahan osteoatritis di

Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.

d. Mengidentifikasi pencegahan osteoarthritis pada lansia di di Wilayah

Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.

e. Menganalisis hubungan pengetahuan dan sikap lansia terhadap

pencegahan osteoarthritis di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun

2021.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah

informasi dan wawasan tentang pengetahuan dan sikap lansia dengan


6

pencegahan osteoatritis yang harus disampaikan kepada lansia yang

mengalami osteoatritis agar bisa menjaga kesehatannya dengan baik.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Tenaga Kesehatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah referensi

bacaan untuk bidan dan tenaga kesehatan lainnya, agar selalu

memberikan informasi kesehatan terutama tentang pencegahan

osteoatritis.

b. Bagi Masyarakat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan masyarakat terutama lansia yang mengalami osteoatritis.

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1. Keaslian Penelitian


Peneliti Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
Leo Hubungan Jenis penelitian Hasil penelitian Persamaannya Perbedaannya
Yosmidati Antara yang digunakan menunjukkan yaitu sama- yaitu pada
R, dkk Pengetahuan adalah deskriptif bahwa sama meneliti penelitian
(2016) Osteoporosis dengan pengetahuan variabel yang
dengan Perilaku pendekatan Cross osteoporosis pengetahuan dilakukan
Pencegahan Sectional. pada lansia baik oleh Leo
Osteoporosis 11,7 %, jenis
Pada Lansia di pengetahuan penelitianya
Desa Bantaran cukup 50 %, menggunakan
Kecamatan dan deskriptif
Bantaran pengetahuan sedangkan
Kabupaten kurang 44,1 % pada
Probolinggo dengan perilaku penelitian
osteoporosis yang akan
positif 20,5 % peneliti
dan perilaku lakukan jenis
negatif 79,4 % penelitiannya
memiliki menggunakan
tingkat yang survey
signifikan ρ= analitik
0.002
7

Tutuk Hubungan Jenis penelitian Hasil penelitian Persamaannya Perbedaannya


widowati, Tingkat ini adalah analitik menunjukkan yaitu sama- yaitu pada
dkk (2019) Pengetahuan Dan observasional ada hubungan sama meneliti penelitian
Sikap Dengan dengan tingkat variabel yang
Pencegahan pendekatan pengetahuan pengetahuan dilakukan
Osteoporosis crosssectional. dan sikap dan sikap oleh Tutuk
Pada Lansia dengan Widowati
Desa Sranten pencegahan jenis
Kecamatan osteoporosis penelitianya
Karanggede pada lansia menggunakan
Desa Sranten deskriptif
Kecamatan sedangkan
Karanggede pada
dengan nilai t penelitian
hitung = -1,96 yang akan
dan t tabel = peneliti
3,15 lakukan jenis
penelitiannya
menggunakan
survey
analitik
Regina Hubungan Penelitian ini Hasil penelitian Persamaannya Perbedaannya
Johana Pengetahuan dan dilakukan dengan menunjukkan yaitu sama- yaitu pada
(2019) Sikap dengan metode ada hubungan sama meneliti penelitian
Tindakan obsevasional antara tentang yang
Pencegahan analitik dengan pengetahuan pengetahuan dilakukan
Osteoporosis menggunakan dengan tindakan dan sikap oleh Regina
pada Wanita rancangan cross WUS terhadap Johana jenis
Usia Subur di sectional pencegahan penelitianya
Kecamatan osteoporosis menggunakan
Babakan Ciparay memiliki nilai observasional
Kota Bandung P=0.303 dan r=- analitik
0.177. sedangkan
Sedangkan pada
hubungan sikap penelitian
dengan tindakan yang akan
pencegahan peneliti
osteoporosis lakukan jenis
memiliki nilai penelitiannya
P=0,750 dan menggunakan
r=0,051. survey
analitik
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Osteoatritis

a. Pengertian Osteoatritis

Osteoarthritis merupakan suatu gangguan kesehatan degeneratif

dimana terjadi kekakuan dan peradangan pada persendian yang

ditandai dengan kerusakan rawan sendi sehingga dapat menyebabkan

nyeri pada sendi tangan, leher, punggung, pinggang, dan yang paling

sering adalah pada sendi lutut (Kalim & Wahono, 2019).

b. Etiologi

Terjadinya osteoartritis disebabkan karena beberapa hal seperti

yang dikemukakan oleh Sellam J (2013) yaitu :

1) Perubahan metabolik seperti akibat dari penyakit wilson, artritis

kristal, akromegali, hemokromatosis.

2) Kelainan anatomi atau struktur sendi seperti panjang tungkai tidak

sama, deformitas valgus atau varus, dislokasi koksa kongenital.

3) Trauma: trauma sendi mayor, fraktur pada sendi atau

osteonekrosis, akibat bedah tulang.

4) Inflamasi: semua artropati inflamasi dan artritis septik

8
9

c. Faktor Resiko

Faktor resiko pada osteoartritis menurut Ganong (2011), terdiri

dari :

1) Usia

Usia sangat mempengaruhi osteoarthritis karena berkaitan

dengan akumulasi gangguan sendi, penurunan fungsi

neuromuscular, dan menurunnya mekanisme perbaikan.

2) Aktivitas

Aktivitas dalam pekerjaan seperti jongkok, naik turun

tangga, mengangkat beban dapat meningkatkan resiko

osteoarthritis karena aktivitas tersebut dapat membebani sendi.

3) Obesitas

Semakin berat seseorang maka resiko terjadinya

osteoarthritis semakin besar khususnya pada sendi lutut karena

sendi bekerja lebih berat untuk menopang beban sehingga

menimbulkan stress mekanis abnormal dan meningkatkan

frekuensi penyakit.

4) Jenis kelamin

Wanita memiliki resiko lebih besar terkena osteoarthritis

dibandingkan pria. Hal tersebut dikarenakan berkaitan dengan

hormonal. Estrogen dan pembentukan tulang memiliki peran dalam

perkembangan progresivitas penyakit OA (Prices & Wilson, 2013).


10

Estrogen berpengaruh terhadap pembentukan osteoblast dan

sel endotel. Jika terjadi penurunan estrogen maka transforming

growth factor β (TGFβ) yang dihasilkan oleh osteoblast dan nitric

oxide yang dihasilkan sel endotel akan ikut menurun sehingga

mengakibatkan diferensiasi dan maturasi osteoklas meningkat.

Pada wanita menopause akan terjadi penurunan estrogen oleh

karena itu wanita memiliki lebih besar terkena osteoarthritis.

d. Klasifikasi Osteoarthritis

Osteoartritis berdasarkan penyebabnya diklasifikasikan menjadi

2 yaitu osteoartritis primer dan sekunder (Moskowitz, Altman,

Hochberg, Buckwalter, & Goldberg, 2012).

1) Idiopatik (Primer)

Pada osteoarthritis primer tidak diketahui penyebabnya dan

tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses

perubahan lokal sendi.

2) Sekunder

Osteoarthritis sekunder disebabkan karena adanya perubahan

degeneratif yang terjadi pada sendi yang sudah deformitas,

perubahan metabolik, kelainan anatomi/struktur sendi, trauma, dan

inflamasi. Sedangkan menurut Rekomendasi IRA untuk Diagnosis

dan Penatalaksanaan Osteoartritis tahun 2014 mengklasifikasikan

osteoartritis berdasarkan lokasi sendi yang terkena yaitu :


11

a) OA tangan

Biasanya terjadi pada usia > 45 tahun dan lebih banyak

terjadi pada wanita postmenopause. Pada OA tangan sendi

yang terkena yaitu sendi distal interfalang, proksimal

interfalang, dan karpometakarpal.

b) OA lutut

Pada OA lutut dapat menyerang medial tibiofemoral,

lateral tibiofemoral, dan bagian femoropatellar.

c) OA panggul

Lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita.

Osteoartritis panggul dapat terjadi unilateral atau bilateral.

Nyeri dapat dirasakan di panggul saat berdiri dan dapat

menjalar kebawah menuju bagian anterior. OA panggul ini

bersifat destruktif.

d) OA vertebra

Biasanya mengenai vertebra servikal dan lumbal dimana

osteofit pada vertebra dapat menyebabkan penyempitan

foramen vertebra lalu menekan serabut saraf dan menyebabkan

nyeri punggung hingga pinggang.

e) OA kaki dan pergelangan kaki

Umumnya mengenai sendi I metatarsofalang. Dapat

terjadi bursitis dan deformitas valgus. Pada gambaran radiologi

ditemukan osteofit dan dapat terjadi pada usia < 40 tahun.


12

f) OA bahu

Osteoartritis ini paling jarang ditemukan. Nyeri terjadi

saat pergerakan dan sulit di lokalisasi.

g) OA siku

Osteoartritis siku terjadi karena paparan getaran

berulang, trauma, dan metabolik artropati.

h) OA temporomandibular

OA temporomandibular ditandai dengan krepitasi, nyeri

saat chewing

e. Penatalaksanaan Osteoarthritis

Strategi penatalaksanaan pasien dan pilihan jenis pengobatan

ditentukan oleh letak sendi yang mengalami OA, sesuai dengan

karakteristik masing-masing serta kebutuhannya (Lane, Miller, &

Parker, 2017). Tujuan dari penatalaksanaan OA ini yaitu :

1) Mengurangi/mengendalikan nyeri

2) Mengoptimalkan fungsi gerak sendi

3) Mengurangi keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari

(ketergantungan pada orang lain) dan meningkatkan kualitas hidup.

4) Menghambat progresivitas penyakit.

5) Mencegah terjadinya komplikasi.

Berdasarkan Rekomendasi Guidelines American College

Rheumatology (ACR) pada tahun 2017, penatalaksanaan osteoarthritis

meliputi terapi farmakologi dan non farmakologi.


13

1) Terapi farmakologi

a) Pada OA dengan gejala nyeri ringan sampai sedang dapat

diberikan salah satu obat :

(1) Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari)

(2) Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)

b) Pada OA dengan gejala nyeri sampai sedang dengan resiko

sistem pencernaan (usia > 60 tahun, disertai riwayat ulkus

peptikum, riwayat perdarahan saluran cerna, mengkonsumsi

kortikosteroid atau antikoagulan) dapat diberikan :

(1) Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).

(2) Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) topical.

(3) Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) non selektif

dengan pemberian obat pelindung gaster (gastro-protective

agent).

c) Untuk nyeri sedang hingga berat serta pembengkakan sendi,

aspirasi dan tindakan injeksi glukokortikoid intraartikular

(misal triamsinolon hexatonide 40mg) untuk penanganan nyeri

jangka pendek (satu sampai 3 minggu) dapat diberikan.

d) Injeksi intraartikular/intra lesi

Dalam penggunaan terapi ini, sangat diperlukan kehati-

hatian dikarenakan dapat menimbulkan efek merugikan yang

bersifat lokal maupun sistemik.


14

2) Terapi Non Farmakologi

a) Edukasi pasien

b) Program penatalaksanaan mandiri (self-management programs)

engan modifikasi gaya hidup.

c) Bila berat badan berlebih (BMI > 25), anjurkan program

penurunan berat badan (minimal penurunan 5% dari berat

badan) dengan target BMI 18,5-25.

d) Program latihan aerobic (low impact aerobic fitness exercise).

e) Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi,

menggunakan splint dan alat bantu gerak sendi untuk aktivitas

fisik.

f) Hold Relax Exercise

Latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan otot-otot

(quadriceps/pangkal paha) dan alat bantu gerak sendi (assistive

devices for ambulation), latihan isometrik.

2. Lansia

a. Pengertian Lansia

Lansia adalah seseorang yang mengalami tahap akhir dalam

perkembangan kehidupan manusia. UU No. 13/Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang

berusia lebih dari 60 tahun (Dewi, 2014). Proses menua adalah proses

alamiah kehidupan yang terjadi mulai dari awal seseorang hidup, dan

memiliki beberapa fase yaitu anak, dewasa, dan tua (Kholifah, 2016).
15

Lansia adalah tahap akhir dalam proses kehidupan yang terjadi

banyak penurunan dan perubahan fisik, psikologi, sosial yang saling

berhubungan satu sama lain, sehingga berpotensi menimbulkan

masalah kesehatan fisik maupun jiwa pada lansia (Cabrera, 2015).

Lansia mengalami penurunan biologis secara keseluruhan, dari

penurunan tulang, massa otot yang menyebabkan lansia mengalami

penurunan keseimbangan yang berisiko untuk terjadinya jatuh pada

lansia (Susilo, 2017)

b. Batasan Usia Lanjut

Menurut WHO (2013), klasifikasi lansia adalah sebagai berikut :

1) Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45-54 tahun.

2) Lansia (elderly), yaitu kelompok usia 55-65 tahun.

3) Lansia muda (young old), yaitu kelompok usia 66-74 tahun.

4) Lansia tua (old), yaitu kelompok usia 75-90 tahun.

5) Lansia sangat tua (very old), yaitu kelompok usia lebih dari 90

tahun

c. Karakteristik Lansia

Menurut pusat data dan informasi, kementrian kesehatan RI (2016),

karakteristik lansia dapat dilihat berdasarkan kelompok berikut ini :

1) Jenis kelamin

Lansia lebih didominasi oleh jenis kelamin perempuan.

Artinya, ini menunjukan bahwa harapan hidup yang paling tinggi

adalah perempuan.
16

2) Status perkawinan

Penduduk lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian

besar berstatus kawin 60% dan cerai mati 37%

3) Living arrangement

Angka beban tanggungan adalah angka yang menunjukan

perbandingan banyaknya orang tidak produktif (umur <15 tahun

dan >65 tahun) dengan orang berusia produktif (umur 15-64

tahun). Angka tersebut menjadi cermin besarnya beban ekonomi

yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai

penduduk usia nonproduktif.

4) Kondisi kesehatan

Angka kesakitan merupakan salah satu indikator yang

digunakan untuk mengukur derajat kesehatan penduduk. Angka

kesakitan bisa menjadi indikator kesehatan negatif. Artinya,

semakin rendah angka kesakitan menunjukan derajat kesehatan

penduduk yang semakin baik

d. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

Menurut Sevilla (2013), perubahan-perubahan yang terjadi pada

lansia terdiri dari :

1) Sistem Integumen

Pada lansia sudah mengalami perubahan yang terjadi

hilangnya elastisitas kulit, perubahan pigmentasi, atrofi kelenjar,

penipisan rambut dan pertumbuhan kuku yang lambat.


17

2) Sistem Pendengaran

Terjadinya presbicusis atau hilangnya kemampuan

pendengaran sekitar 50% terjadi pada usia diatas 65 tahun.

3) Sistem Penglihatan

Terjadinya penurunan daya akomodasi mata (presbyopia),

hilangnya respon terhadap sinar, penurunan adaptasi terang gelap

dan lensa mata sudah mulai menguning.

4) Sistem Respirasi

Penurunan reflex batuk, pengeluaran lendir, debu, iritan

saluran napas berkurang dan terjadi peningkatan infeksi saluran

nafas.

5) Muskuloskeletal

Terjadinya penurunan massa otot dan kekuatan otot,

kekakuan pada sendi serta terjadi penurunan produksi cairan

sinovial. Otot pada lansia mengalami pengecilan akibat kurangnya

aktivitas, proses pembentukan tulang mengalami perlambatan.

Tulang menjadi berongga yang disebabkan penyerapan kalsium

oleh vitamin D mengalami penurunan akibatnya rawan untuk

terjadi patang tulang pada lansia. Penurunan fungsi sistem

muskuloskeletal pada lansia dapat menyebabkan beberapa

perubahan seperti osteoarthritis, osteoporosis yang dapat

memunculkan keluhan nyeri, kekauan pada sendi, hilangnya


18

pergerakan, dan muncul tanda-tanda inflamasi, pembengkakan

serta mengakibatkan gangguan mobilitas.

3. Sikap

a. Pengertian Sikap

Sikap (attitude) merupakan konsep paling penting dalam

psikologi social yang membahas unsur sikap baik sebagai individu

maupun kelompok. Banyak kajian dilakukan untuk merumuskan

pengertia sikap, proses terbentuknya sikap, maupun perubahan.

Banyak pula penelitian telah dilakukan terhadap sikap kaitannya

dengan efek dan perannya dalam pembentukan karakter dan sistem

hubungan antar kelompok serta pilihan-pilihan yang ditentukan

berdasarkan lingkungan dan pengaruhnya terhap perubahan. Sikap

adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu

stimulus atau objek (Wawan dan Dewi, 2018). .

b. Komponen Sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2018), struktur sikap terdiri atas 3

komponen yang saling menunjang yaitu :

1) Komponen kognitif merupakan representrasi apa yang dipercayai

oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan

stereotipe yang dimilki individu mengenai sesuatu dapat

disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut

masalah isu atau problem yang kontroversial.


19

2) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek

emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling

dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling

bertahan terhadap pengaruh- pengaruh yang mungkin adalah

mengenai sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan

perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.

3) Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku

tertentu sesuai dengan sikap yang dimilki oleh seseorang. Dan

bersisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak /bereaksi

terhadap sesuatu dengan cara- cara tertentu. Dan berkaitan dengan

objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa

sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi

perilaku.

c. Tingkatan Sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2018), sikap terdiri dari berbagai

tingkatan yakni :

1) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

2) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap

karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau


20

mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau

salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut.

3) Menghargai (valuing)

Pada tingkat ini individu sudah mampu untuk mengajak

orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah,

berarti individu sudah mempunyai sikap positif terhadap suatu

objek tertentu.

4) Bertanggung jawab (responsible)

Pada tingkat ini individu sudah mampu untuk mengajak

orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah,

berarti individu sudah mempunyai sikap positif terhadap suatu

objek tertentu.

d. Ciri-Ciri Sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2018), ciri–ciri sikap terdiri dari :

1) Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari

sepanjang perkembangan itu dalam hubungan dengan obyeknya.

Sifat ini membedakannya dengan sikap motif-motif biogenis

seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.

2) Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan

sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-

keadaan dan syarat syarat tertentu yang mempermudah sikap pada

orang itu.
21

3) Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan

tertentu terhadap suatu objek dengan kata lain, sikap itu terbentuk,

dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek

tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.

4) Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga

merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

5) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat

alamiah yang membedakan sikap dak kecakapan-kecakapan atau

pengetahuan- pengetahuan yang dimiliki orang.

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap

obyek sikap antara lain :

2) Pengalaman Pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman

pribadi haruslah meningggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap

akan lebih mudah terbnetuk apabila pengalaman pribadi tersebut

terjadi dalam dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

3) Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memilih sikap

yang konformis atau searah dengan sikap yang diangap penting.

Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk

berafiliasi keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang

dianggap penting tersebut.


22

f. Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun

tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat

atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung

dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian

ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2012).

Sikap diukur dengan berbagai item pertanyaan yang dinyatakan

dalam kategori respon dengan metode Likert. Untuk mengetahui sikap

responden digunakan lima alternatif jawaban yang kemudian diberikan

skor untuk dapat dihitung.

Menurut Arikunto (2013) skor dihitung dan dikelompokkan ke

dalam dua kategori positif dan negatif, sebagai berikut :

1. Pernyataan positif diungkapkan dengan kata-kata : Sangat Setuju

(SS) mendapat skor 5, Setuju (S) mendapat skor 4, Ragu-Ragu

mendapat skor 3, Tidak Setuju (TS) mendapat skor 2, dan Sangat

Tidak Setuju (STS) mendapat skor 1.

2. Pernyataan negatif diungkapkan dengan kata-kata : Sangat Setuju

(SS) mendapat skor 1, Setuju (S) mendapat skor 2, Ragu-Ragu

mendapat skor 3, Tidak Setuju (TS) mendapat skor 4, dan Sangat

Tidak Setuju (STS) mendapat skor 5


23

4. Pengetahuan

a. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu.

Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2014).

b. Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai enam

tingkatan (Notoatmodjo, 2014), yaitu:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini

adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling

rendah.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat


24

mengintrepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap obyek atas materi dapat mnejelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

terhadap obyek yang dipelajari.

3) Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real

(sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau

pengguanaan hukum-hukum, metode, prinsip, dan sebagainya

dalam konteks atau yang lain.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di

dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama

lain.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu

bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah

suatu bentuk kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-

formulasi yang baru.


25

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justfikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang

ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah

ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

menggunakan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi

materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden.

Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur

dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan

seseorang, yaitu:

1) Faktor Internal meliputi:

a) Umur

Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja dari

segi kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih

percaya dari pada orang yang belum cukup tinggi

kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman jiwa

(Nursalam, 2016).
26

b) Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experience is

the best teacher), pepatah tersebut bisa diartikan bahwa

pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman

itu merupakan cara untuk memperoleh suatu kebenaran

pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat

dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal

ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan

yang diperoleh dalam memecahkan persoalan yang dihadapai

pada masa lalu (Notoadmodjo, 2018).

c) Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin

banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya semakin

pendidikan yang kurang akan mengahambat perkembangan

sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan

(Nursalam, 2016).

d) Pekerjaan

Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan

terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan

keluarganya. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi

lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang

membosankan berulang dan banyak tantangan (Nursalam,

2016).
27

e) Jenis Kelamin

Istilah jenis kelamin merupakan suatu sifat yang melekat

pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksikan

secara sosial maupun kultural.

2) Faktor eksternal

a) Informasi

Menurut Nursalam dan Pariani (2015) informasi

merupakan fungsi penting untuk membantu mengurangi rasa

cemas. Seseorang yang mendapat informasi akan mempertinggi

tingkat pengetahuan terhadap suatu hal.

b) Lingkungan

Menurut Notoatmodjo (2018), hasil dari beberapa

pengalaman dan hasil observasi yang terjadi di lapangan

(masyarakat) bahwa perilaku seseorang termasuk terjadinya

perilaku kesehatan, diawali dengan pengalaman-pengalaman

seseorang serta adanya faktor eksternal (lingkungan fisik dan

non fisik)

c) Sosial budaya

Semakin tinggi tingkat pendidikan dan status sosial

seseorang maka tingkat pengetahuannya akan semakin tinggi

pula.
28

d. Cara Memperoleh Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2018), terdapat beberapa cara

memperoleh pengetahuan, yaitu:

1) Cara kuno atau non modern

Cara kuno atau tradisional dipakai untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah,

atau metode penemuan statistik dan logis. Cara-cara penemuan

pengetahuan pada periode ini meliputi:

a) Cara coba salah (trial and error)

Cara ini dilakukan dengan mengguanakan kemungkinan

dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan tersebut

tidak bisa dicoba kemungkinan yang lain.

b) Pengalaman pribadi

Pengalaman merupakan sumber pengetahuan untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan.

c) Melalui jalan fikiran

Untuk memeperoleh pengetahuan serta kebenarannya

manusia harus menggunakan jalan fikirannya serta

penalarannya. Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-

tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran

apakah yang dilakukan baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan

seperti ini biasanya diwariskan turun-temurun dari generasi ke


29

generasi berikutnya. Kebiasaan-kebiasaan ini diterima dari

sumbernya sebagai kebenaran yang mutlak.

2) Cara modern

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan lebih

sistematis, logis, dan alamiah. Cara ini disebut “metode penelitian

ilmiah” atau lebih populer disebut metodologi penelitian, yaitu:

a) Metode induktif

Mula-mula mengadakan pengamatan langsung terhadap

gejala-gejala alam atau kemasyarakatan kemudian hasilnya

dikumpulkan atau diklasifikasikan, akhirnya diambil

kesimpulan umum.

b) Metode deduktif

Metode yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih

dahulu untuk seterusnya dihubungkan dengan bagian-

bagiannya yang khusus.

e. Kriteria Pengetahuan

Menurut Arikunto (2016), pengetahuan seseorang dapat

diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif,

yaitu:

1) Baik, bila subyek menjawab benar 76%-100% seluruh pertanyaan.

2) Cukup, bila subyek menjawab benar 56%-75% seluruh

pertanyaan.
30

3) Kurang, bila subyek menjawab benar <56% seluruh pertanyaan

B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah merupakan abstraksi yang terbentuk oleh

generalisasi dari hal-hal yang khusus. Sedangkan kerangka konsep penelitian

pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin di

amati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmojo,

2012).

Variabel Independent Variabel Depenent

Faktor yang Pengetahuan Edukasi tentang Sikap Faktor yang


mempengaruhi Osteoatritis mempengaruhi
pengetahuan pengetahuan
1. Faktor internal 1. Pengalaman
a. Umur pribadi
b. Pendidikan 2. Pengaruh
c. Pekerjaan orang lain
d. Pengalaman yang
e. Jenis dianggap
kelamin penting
2. Faktor eksternal Pencegahan
a. Informasi Osteoatritis
b. Lingkungan
c. Sosial
budaya
31

Keterangan :
____________ : Diteliti

------------------ : Tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Sumber : (Modifikasik Notoatmodjo, 2014 dan Wahono, 2019)

C. Hipotesis

Secara etimologis, hipotesis berasal dari dua kata hypo yang berarti

“kurang dari” dan thesis yang brarti pendapat. Jadi hipotesis adalah suatu

pendapat atau kesimpulan yang belum final, yang harus diuji kebenarannya

(Notoadmojo, 2018).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Ada pengaruh edukasi tentang osteoarthritis terhadap pengetahuan lansia

di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.

2. Ada pengaruh edukasi tentang osteoarthritis terhadap sikap lansia di

Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.

3. Ada pengaruh edukasi tentang osteoarthritis terhadap pencegahan

osteoarthritis pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.

4. Ada hubungan antara pengetahuan dengan pencegahan osteoarthritis pada

lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.


32

5. Ada hubungan antara sikap dengan pencegahan osteoarthritis pada lansia

di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.


33

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif yaitu

penelitian yang dilakukan untuk mencari berbagai variabel dan menganalisis

setiap variabel yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini juga digunakan

untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data

menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau

statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

Dinamakan penelitian kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka

dan analisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2018).

Penelitian ini menggunakan rancangan quasi experimtanl pre-post test

design. Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi

tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar

yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen tetapi sebelumnya dilakukan

pengumpulan data dan pengamatan terhadap responden tersebut, dan kembali

dilakukan pengamatan dan pengumpulan data akhir setelah diberikan

perlakuan.

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Menurut Sugiyono (2017), populasi adalah wilayah generalisasi

objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

32
34

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang mengalami

osteoarthritis yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021

sebanyak 38 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari sejumlah karakteristik yang dimiliki oleh

populasi yang digunakan untuk penelitian. Untuk itu sampel yang diambil

dari populasi harus betul-betul mewakili dan harus valid, yaitu bisa

mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2018).

Sampel dalam penelitian ini adalah semua lansia yang mengalami

osteoarthritis yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021

sebanyak 38 orang. Sampel kemudian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu

kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kasus dalam penelitian

ini adalah lansia yang mengalami osteoarthritis dan melakukan

pencegahan osteoarthritis sebanyak 19 orang. Kelompok kontrol dalam

penelitian ini adalah lansia yang mengalami osteoarthritis dan tidak

melakukan pencegahan osteoarthritis sebanyak 19 orang. Jadi total sampel

yang akan digunakan dalam penelitian ini sebanyak 38 orang.

3. Tehnik Pengambilan Sampel

Tehnik sampling adalah cara yang dilakukan untuk menentukan

jumlah sampel yang dipakai dalam suatu penelitian. Tekhnik sampling

yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan total

sampel yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi

digunakan sampel (Sugiyono, 2018)


35

C. Variabel dan Definisi Operasinal Penelitian

1. Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas (Variabel Independent)

Variabel bebas (independen) adalah variabel yang berpengaruh

yang menyebabkan berubahnya nilai dari variabel terikat dan

merupakan variabel bebas pada penelitian ini adalah pengetahuan dan

sikap lansia

b. Variabel terikat (Variabel Dependent)

Variabel terikat (dependen) adalah variabel yang diduga nilainya

akan berubah karena pengaruh dari variabel bebas. Variabel terikatnya

adalah pencegahan osteoatritis.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara

operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan

peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat

terhadap suatu objek/fenomena (Hidayat, 2017).

Tabel 3.1 Definsi Operasonal


Definisi
No Variabel Parameter Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
1 Edukasi Upaya 1. Pendekatan Kuesioner a. Ya Nominal
yang perorangan a. Tidak
dilaku 1. Pendekatan
kan kelompok
untuk
memp
engaru
hi
orang
lain,
baik
secara
36

indivi
du,
kelom
pok
maupu
n
masya
rakat
secara
umum
2 Pengetahuan Segala 2. Tahu tentang Kuesioner b. Baik : 76- Ordinal
sesuat osteoarthritis 100%
u yang 3. Cara c. Cukup : 56-
diketa menangani 75%
hui osteoarthritis d. Kurang :
oleh <56%
lansia
tentan
g
pence
gahan
osteoa
tritis
3 Sikap Reaksi atau 1. Sikap positif Kuesioner a. Baik : 76- Ordinal
respon lansia 2. Sikap negatif 100%
yang masih b. Cukup :
tertutup 56-75%
terhadap c. Kurang :
pencegahan <56%
osteoatritis
4 Pencegahan Proses, cara, 1. Usia Kusioner a. Melakukan Nominal
osteoatritis tindakan atau 2. Aktivitas pencegahan
upaya yang 3. Obesitas osteoartritis
dilaukan oleh 4. Jenis b. Tidak
lansia untuk kelamin melakukan
mencegah pencegahan
terjadinya osteoartritis
osteoatritis

D. Instrumen Penelitian

Pada prinsipnya melakukan penelitian adalah melakukan pengukuran,

maka harus ada alat ukur yang baik. Alat ukur dalam penelitian biasa

dinamakan instrumen penelitian. Instrumen penelitian adalah suatu alat yang

digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono,

2019).
37

Adapun instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner berupa pertanyaan tertutup dan terbuka.

E. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli 2022.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra.

F. Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari

sumber asli. Data primer dapat berupa opini subyek secara individual atau

kelompok, dan observasi. Metode yang digunakan untuk mendapatkan

data primer yaitu metode wawancara dan observasi (Sugiyono, 2019).

a. Data tentang tingkat pengetahuan lansia tentang osteoatritis di Wilayah

Kerja Puskesmas Sakra diperoleh dari responden dengan

menggunakan alat bantu kuesioner.

b. Data tentang sikap lansia tentang osteoatritis di Wilayah Kerja

Puskesmas Sakra diperoleh dari responden dengan menggunakan alat

bantu kuesioner.

c. Data tentang pencegahan osteoatritis pada lansia di Wilayah Kerja

Puskesmas Sakra diperoleh dari responden dengan menggunakan alat

bantu kuesioner.
38

2. Data Sekunder

Data Sekunder adalah sumber data yang diperoleh peneliti secara

tidak langsung melalui media perantara. Data sekunder umumnya berupa

bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip

(Sugiyono, 2019).

Data sekunder dalam penelitian ini yaitu data tentang gambaran

umum Puskesmas Sakra diperoleh dari buku Profil.

G. Cara Pengolahan Data

Pengolahan data terdiri dari beberapa tahap yaitu :

1. Editing

Editing yaitu kegiatan pengecekan hasil pengukuran untuk dilihat

kembali apakah ada kesalahan memasukkan data.

2. Scoring

scoring merupakan penentuan jumlah skor, dalam penelitian ini

menggunakan skala ordinal. Oleh karena itu hasil kuesioner yang telah di

isi bila benar diberi skor 1 dan bila salah diberi skor 0. Kemudian di

prosentasikan dengan cara jumlah jawaban benar dibagi jumlah soal dan

dikalikan 100%

3. Coding

Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi

data berbentuk angka/ bilangan.

a. Edukasi
39

1) Ya : diberi kode 2

2) Tidak : diberi kode 1

b. Pengetahuan

1) Baik : diberi kode 3

2) Cukup : diberi kode 2

3) Kurang : diberi kode 1

c. Sikap

1) Baik : diberi kode 3

2) Cukup : diberi kode 2

3) Kurang : diberi kode 1

d. Pencegahan Osteoatritis

1) Melakukan pencegahan osteoatritis : diberi kode 2

2) Tidak melakukan pencegahan osteoatritis : diberi kode 2

4. Tabulating

Tabulating merupakan kegiatan menggambarkan jawaban responden

dengan cara tertentu. Tabulasi juga dapat digunakan untuk menciptakan

statistik deskriptif variabel-variabel yang diteliti atau yang variabel yang

akan di tabulasi silang.

5. Entri

Entri data yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam computer untuk

selanjutnya dapat dilakukan analisis data.


40

H. Analisis Data

Analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan karakteristik setiap

variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung jenis datanya.

Untuk data numerik digunakan mean (rata-rata), median dan standar

deviasi (Notoatmodjo, 2018).

Analisis univariat pada penelitian ini meliputi: pengetahuan, sikap

lansia dan pencegahan osteoatritis dengan menggunakan tabel distribusi

frekuensi dengan bantuan SPSS.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi. Meliputi satu variabel independen

(pengetahuan dan sikap lansia) dan variabel dependen (Pencegahan

Osteoatritis). Kemudian untuk analisis pengaruh edukasi tentang

osteoarthritis terhadap pengetahuan dan sikap lansia menggunakan uji

t-sample independent, uji ini dapat digunakan untuk mengetahui seberapa

besar pengaruh variabel x dan y. Kemudian untuk analisis hubungan

pengetahuan dan sikap dengan pencegahan osteoarthritis pada lansia

menggunakan uji mann whitney, uji ini dapat digunakan untuk menguji

seberapa besar hubungan variabel x dan y.

I. Etika Penelitian
41

Penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan etika penelitian. Prinsip

etik diterapkan dalam kegiatan penelitian dimulai dari penyusunan proposal

hingga penelitian ini di publikasikan (Notoatmodjo, 2018).

1. Persetujuan (Inform Consent)

Prinsip yang harus dilakukan sebelum mengambil data atau

wawancara kepada subjek adalah didahulukan meminta persetujuannya.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti memberikan lembar persetujuan

(inform consent) kepada responden yang diteliti, dan responden

menandatangani setelah membaca dan memahami isi dari lembar

persetujuan dan bersedia mengikuti kegiatan penelitian. Peneliti tidak

memaksa responden yang menolak untuk diteliti dan menghormati

keputusan responden. Responden diberi kebebasan untuk ikut serta

ataupun mengundurkan diri dari keikutsertaannya (Notoatmodjo, 2018).

2. Tanpa Nama (Anonimity)

Etika penelitian yang harus dilakukan peneliti adalah prinsip

anonimity. Prinsip ini dilakukan dengan cara tidak mencantumkan nama

responden pada hasil penelitian, tetapi responden diminta untuk mengisi

inisial dari namanaya dan semua kuesioner yang telah terisi hanya akan

diberi nomer kode yang tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi

identitas responden. Apabila penelitian ini di publikasikan, tidak ada satu

identifikasi yang berkaitan dengan responden yang dipublikasikan

(Notoatmodjo, 2018)

3. Kerahasiaan (Confidentiality)
42

Prinsip ini dilakukan dengan tidak mengemukakan identitas dan

seluruh data atau informasi yang berkaitan dengan responden kepada

siapapun. Peneliti menyimpan data di tempat yang aman dan tidak terbaca

oleh orang lain. Setelah penelitian selesai dilakukan makan peneliti akan

memusnahkan seluruh informasi (Notoatmodjo, 2018).

J. Alur Penelitian

Surat Pengantar dari Direktur


Kampus Bappeda Puskesmas Sakra

Penelitian Populasi Pengambilan Data


dan Sampel Awal

Penyusunan Proposal Ujian Proposal Revisi Proposal


Penelitian Penelitian Penelitian

Penyusunan Skripsi Pengolahan Data Turun ke lahan untuk


pengambilan data

Ujian Skripsi

Gambar 3.1 Alur penelitian pengaruh edukasi tentang osteoartritis terhadap


pengetahuan dan sikap di Wilayah Kerja Pukesmas Sakra
Tahun 2021.

K. Tahapan Penelitian
43

Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian dijelaskan secara umum

sebagai berikut :

1. Survey Literatur

Tahap ini adalah melakukan pengumpulan bahan literatur dan

informasi berkaitan dengan judul penelitian.

2. Identifikasi Masalah

Melakukan identifikasi tentang masalah apa yang akan dibahas

berkaitan dengan hubungan pengetahuan dan sikap lansia dengan

pencegahan osteoatrisi berdasarkan literatur dan informasi yang telah

diperoleh.

3. Studi Pustaka

Mempelajari literatur yang akan digunakan sebagai kajian teori

dalam penelitian ini.

4. Hipotesis

Mengemukakan pertanyaan awal yaitu hubungan pengetahuan dan

sikap lansia dengan pencegahan osteoatritis.

5. Menentukan variabel dan sumber data

Menentukan variabel-variabel dan data-data seperti apa yang

dibutuhkan berdasarkan populasi, sampel dan cara pengambilan sampel.

Kemudian menentukan subyek penelitian dan respondennya

6. Menentukan dan Menyusun Instrumen Penelitian

Tahap ini adalah penentuan instrumen penelitian yaitu dengan

mengisi kuesioner.
44

7. Observasi Lapangan dan Perizinan

Melakukan pencarian sumber data dan perizinan penelitian kepada

pihak-pihak yang berkompeten.

8. Mengumpulkan data

Melakukan observasi kepada responden dan perizinan untuk

menghemat waktu, biaya dan tenaga.

9. Pengolahan Data

Pengolahan data terdiri dari pemberian kode variabel, tabulasi,

perhitungan dengan program SPSS untuk kemudian dilakukan tabulasi

kedua.

10. Analisa Data

Merupakan analisa hasil pengolahan data berdasarkan hasil

penelitian dan teori yang ada.

11. Menarik Kesimpulan

Menarik kesimpulan adalah kesimpulan diambil berdasarkan analisa

data dan diperiksa apakah sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian
45

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Puskesmas Sakra

a. Kondisi Geografis

Puskesmas Sakra merupakan salah satu puskesmas yang

terletak di Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa

Tenggara Barat yang berada di bagian selatan Lombok Timur,

secara administratif batas-batas Wilayah Puskesmas Sakra Kecamatan

Sakra Kabupaten Lombok Timur adalah:

Batas-batas wilayah :

1) Utara : Kecamatan Selong, wilayah kerja Puskesmas Denggen.

2) Selatan : Kecamatan Sakra Barat wilayah kerja Puskesmas

Rensing

3) Timur : Kecamatan Sakra Timur, wilayah kerja Puskesmas

Lepak.

4) Barat : Kecamatan Sikur wilayah kerja Puskesmas Sikur

b. Topografi Wilayah

Berdasarkan topografi wilayah, Puskesmas Sakra Kabupaten

Lombok Timur terletak pada ketinggian < 100 meter diatas

permukaan laut yang menunjukkan wilayah dataran rendah.


46

Dari kondisi yang relative datar keadaan wilayah hamparan

dataran rendah terletak di bagian tengah hingga ke bagian selatan

dengan sedikit wilayah berbukit-bukit di bagian selatan yang

berbatasan dengan Kecamatan Sakra Barat dan Kecamatan Sikur.

Wilayah Kecamatan Sakra berbatasan langsung dengan wiayah

kecamatan lain berupa daratan. Hal ini salah satu bentuk karakteristik

potensi letak strategis dan mudah dijangkau dari berbagai wilayah.

c. Visi dan Misi

1) Visi :

“Menjadikan Puskesmas Sakra terdepan dalam pelayanan

Kesehatan menuju Kecamatan Sehat ”.

2) Misi :

a) Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan;

b) Menggerakkan pemberdayaan masyarakat berwawasan;

kesehatan oleh SDM kesehatan yang profesional;

c) Memperkuat kerjasama lintas program dan lintas sektoral

dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat;

d) Meningkatkan profesionalisme SDM kesehatan.

d. Motto

Memberikan Pelayanan Kesehatan secara “SEHAT” (Senyum, Empati,

Harmonis, Arif dan Tanggap).

Senyum : Ungkapan rasa senang ataupun bahagia dalam diri yang

bisa membuat orang disekitarnya senang.


47

Empati : Turut merasakan perasaan orang lain baik suka maupun

duka, seolah-olah merasakan atau mengalami apa yang

dirasakan dan dialami orang lain.

Harmonis : Bersama-sama berjalan selaras, serasi, tolong-menolong

dan saling menghargai.

Arif : Memahami keilmuannya dalam menggunakan akal budi,

pengalaman, pengetahuan dan potensi-potensi dirinya

dalam menjalankan tugas.

Tanggap : Segera dan memahami dengan sungguh-sungguh dalam

melaksanakan tugas berdasarkan kemampuan

intelektualitas dan professional.

e. Tata Nilai

Melayani dengan menerapkan budaya “Jujur, Disiplin, Kerjasama

dan Tanggung Jawab” .

1) Jujur : Berkata atau berbuat sesuatu dengan sebenar-

benarnya.

2) Disiplin : Ketaatan pada aturan dan tata tertib.

3) Kerjasama : Bersama-sama berjalan selaras, serasi,

tolong-menolong dan saling menghargai.

4) Tanggung Jawab : Kewajiban untuk menanggung segala sesuatu

akibat dari sikap dan perbuatan.


48

2. Identifikasi Karakteristik Lansia

a. Umur

Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sakra, umur lansia

dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu : umur 45-54, 55-65, 66-74

dan 75-90. Untuk mengetahui lebih jelas tentang karakteristik lansia

dari segi umur dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut :

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di


Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021
No Umur n %
1 45 – 54 24 63,2
2 55 – 65 13 34,2
3 66 – 74 1 2,6
Jumlah 38 100

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa dari 38

lansia yang diteliti di Puskesmas Sakra, sebagian besar berada pada

kelompok umur 45 – 54 sebanyak 24 orang (63,2%) dan sebagian kecil

berada pada kelompok umur 66 – 74 sebanyak 1 orang (2,6%).

b. Pendidikan

Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sakra, pendidikan

lansia dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu : Dasar (SD dan SMP),

Menengah (SMA) dan Tinggi (D3). Untuk mengetahui lebih jelas

tentang karakteristik lansia dari segi pendidikan dapat dilihat pada

Tabel 4.2 berikut :


49

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan


di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021
No Pendidikan n %
1 Dasar (SD, SMP) 33 86,8
2 Menengah (SMA) 3 7,9
3 Tinggi (D3) 2 5,3
Jumlah 38 100

Berdasarkan Tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa dari 38

lansia yang diteliti di Puskesmas Sakra, sebagian besar berpendidikan

dasar (SD, SMP) sebanyak 33 orang (86,8%) dan sebagian kecil

berpendidikan tinggi (D3) sebanyak 2 orang (5,3%).

c. Pekerjaan

Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sakra, pekerjaan

lansia dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu : bekerja dan tidak

bekerja. Untuk mengetahui lebih jelas tentang karakteristik lansia dari

segi pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut :

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di


Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021
No Pekerjaan n %
1 Bekerja 20 52,6
2 Tidak Bekerja 18 47,4
Jumlah 38 100

Berdasarkan Tabel 4.3 di atas dapat diketahui bahwa dari 38

lansia yang diteliti di Puskesmas Sakra, lebih banyak yang bekerja

sebanyak 20 orang (52,6%) dibandingkan dengan yang tidak bekerja

sebanyak 18 orang (47,4%).


50

3. Identifikasi Edukasi Tentang Osteoatritis

Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sakra, dukasi tentang

osteoarthritis dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu : diberikan edukasi

dan tidak diberikan edukasi. Untuk mengetahui lebihnya, edukasi tentang

osteoarthritis dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut :

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Edukasi tentang


Osteoarthritis di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021
No Edukasi n %
1 Diberikan edukasi 24 63,2
2 Tidak diberikan edukasi 14 36,8
Jumlah 38 100

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa dari 38 lansia

yang diteliti di Puskesmas Sakra, lebih banyak yang diberikan edukasi

sebanyak 24 orang (63,2%) dibandingkan dengan yang tidak diberikan

edukasi sebanyak 14 orang (36,8%).

4. Identifikasi Pengetahuan Lansia Tentang Pencegahan Osteoatritis

Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sakra, pengetahuan

lansia tentang pencegahan osteoarthritis dikelompokkan menjadi 3

kategori yaitu : baik, cukup dan kurang. Untuk mengetahui lebih jelas

tentang sikap lansia tersebut, maka dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut :

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan


tentang Pencegahan Osteoarthritis di Wilayah Kerja
Puskesmas Sakra Tahun 2021
No Pengetahuan n %
1 Baik 7 18,4
2 Cukup 18 47,4
3 Kurang 13 34,2
Jumlah 38 100
51

Berdasarkan Tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa dari 38 lansia

yang diteliti di Puskesmas Sakra, sebagian besar berpengetahuan cukup

sebanyak 18 orang (47,4%) dan sebagian kecil berpengetahuan baik

sebanyak 7 orang (18,4%)

5. Identifikasi Sikap Lansia Tentang Pencegahan Osteoatritis

Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sakra, sikap lansia

tentang pencegahan osteoarthritis dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu

: baik, cukup dan kurang. Untuk mengetahui lebih jelas tentang

pengetahuan lansia tersebut, maka dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut :

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap tentang


Pencegahan Osteoarthritis di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra
Tahun 2021
No Sikap n %
1 Baik 8 21,1
2 Cukup 18 47,4
3 Kurang 12 31,6
Jumlah 38 100

Berdasarkan Tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa dari 38 lansia

yang diteliti di Puskesmas Sakra, sebagian besar memiliki sikap yang

cukup sebanyak 18 orang (47,4%) dan sebagian kecil memiliki sikap yang

baik sebanyak 8 orang (21,1%).

6. Identifikasi Pencegahan Osteoatritis

Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sakra, pencegahan

osteoarthritis pada lansia dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu :

melakukan pencegahan dan tidak melakukan pencegahan. Untuk


52

mengetahui lebih jelas tentang pencegahan osteoarthritis tersebut, maka

dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut :

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pencegahan


Osteoarthritis Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra
Tahun 2021
No Pencegahan Osteoarthritis n %
1 Melakukan Pencegahan 19 50,0
2 Tidak Melakukan Pencegahan 19 50,0
Jumlah 38 100

Berdasarkan Tabel 4.7 di atas dapat diketahui bahwa dari 38 lansia

yang diteliti di Puskesmas Sakra, yang melakukan pencegahan dan yang

tidak melakukan pencegahan osteoarthritis masing-masing sebanyak 19

orang (50,0%).

7. Analisis Pengaruh Edukasi Tentang Osteoatritis Terhadap


Pengetahuan Lansia tentang Pencegahan Osteoarthritis

Untuk mengetahui lebih jelas tentang pengaruh edukasi tentang

osteoathritis terhadap pengetahuan lansia di Puskesmas Sakra tahun 2021

dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut :

Tabel 4.8 Pengaruh Edukasi tentang Osteoarthritis Terhadap


Pengetahuan Lansia tentang Pencegahan Osteoarthritis di
Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.
Pengetahuan P
Total
No Edukasi Baik Cukup Kurang valu
n % n % n % n % e
1 Ya 4 10,5 14 36, 6 15,8 24 63,2
8
2 Tidak 3 7,9 4 10, 7 18,4 14 36,8
0,000
5
Jumlah 7 18,4 18 47, 13 34,2 38 100
4
53

Berdasarkan Tabel 4.8 di atas dapat dilihat bahwa dari 24 responden

yang diberikan edukasi, sebagian besar memiliki pengetahuan yang cukup

tentang pencegahan osteoarthritis sebanyak 14 orang (36,8%) dan

sebagian kecil berpengetahuan baik sebanyak 4 orang (10,5%) sedangkan

dari 14 responden yang tidak diberikan edukasi sebagian besar memiliki

pengetahuan yang kurang tentang pencegahan osteoarthritis sebanyak 7

orang (18,4%) dan sebagian kecil berpengetahuan baik sebanyak 3 orang

(7,9%).

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji t-sample independent

diperoleh nilai p value sebesar 0,000 dengan menggunakan taraf

signifikansi 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada

pengaruh antara edukasi tentang osteoarthritis terhadap pengetahuan lansia

tentang pencegahan osteoarthritis di Puskesmas Sakra Tahun 2021.

8. Pengaruh Edukasi Tentang Osteoatritis Terhadap Sikap Lansia


tentang Pencegahan Osteoarthritis

Untuk mengetahui lebih jelas tentang pengaruh edukasi tentang

osteoathritis terhadap sikap lansia tentang pencegahan ostaoarthritis di

Puskesmas Sakra tahun 2021 dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut :

Tabel 4.8 Pengaruh Edukasi tentang Osteoarthritis Terhadap Sikap


Lansia tentang Pencegahan Osteoarthritis di Wilayah Kerja
Puskesmas Sakra Tahun 2021.
Sikap P
Total
No Edukasi Baik Cukup Kurang valu
n % n % n % n % e
1 Ya 7 18,4 12 31, 5 13,2 24 63,2 0,002
6
2 Tidak 1 2,6 6 15, 7 18,4 14 36,8
8
54

Jumlah 8 21,1 18 47, 12 31,6 38 100


4

Berdasarkan Tabel 4.8 di atas dapat dilihat bahwa dari 24 responden

yang diberikan edukasi, sebagian besar memiliki sikap yang cukup tentang

pencegahan osteoarthritis sebanyak 12 orang (31,6%) dan sebagian kecil

berpengetahuan kurang sebanyak 5 orang (13,2%) sedangkan dari 14

responden yang tidak diberikan edukasi sebagian besar memiliki sikap

yang kurang tentang pencegahan osteoarthritis sebanyak 7 orang (18,4%)

dan sebagian kecil memiliki sikap yang baik sebanyak 1 orang (2,6%).

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji t-sample independent

diperoleh nilai p value sebesar 0,002 dengan menggunakan taraf

signifikansi 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada

pengaruh antara edukasi tentang osteoarthritis terhadap sikap lansia

tentang pencegahan osteoarthritis di Puskesmas Sakra Tahun 2021.

9. Pengaruh Edukasi Tentang Osteoatritis Terhadap Pencegahan


Osteoarthritis

Untuk mengetahui lebih jelas tentang pengaruh edukasi tentang

osteoathritis terhadap pencegahan ostaoarthritis di Puskesmas Sakra tahun

2021 dapat dilihat pada Tabel 4.9 berikut :

Tabel 4.9 Pengaruh Edukasi tentang Osteoarthritis Terhadap Pencegahan


Osteoarthritis di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.
Pencegahan
Total P value
Osteoarthritis
Melakukan Tidak
No Edukasi pencegahan Melakukan
pencegaha
n
n % n % n %
55

1 Ya 13 34,2 11 31,6 24 63,2


2 Tidak 6 15,8 8 21,1 14 36,8 0,002
Jumlah 19 50,0 19 50,0 38 100

Berdasarkan Tabel 4.9 di atas dapat dilihat bahwa dari 24 responden

yang diberikan edukasi, lebih banyak yang melakukan pencegahan

sebanyak 13 orang (34,2%) dibandingkan dengan yang tidak melakukan

pencegahan sebanyak 11 orang (28,9%) dan dari 14 responden yang tidak

diberikan edukasi, lebih banyak yang tidak melakukan pencegahan

sebanyak 8 orang (21,1%) dibandingkan dengan yang melakukan

pencegahan sebanyak 6 orang (15,8%).

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji t-sample independent

diperoleh nilai p value sebesar 0,001 dengan menggunakan taraf

signifikansi 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada

pengaruh antara edukasi tentang osteoarthritis terhadap pencegahan

osteoarthritis di Puskesmas Sakra Tahun 2021.

10. Hubungan Pengetahuan tentang Osteoarthritis dengan Pencegahan


Osteoarthritis Pada Lansia

Untuk mengetahui lebih jelas tentang hubungan pengetahuan dengan

pencegahan ostaoarthritis pada lansia di Puskesmas Sakra tahun 2021

dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut :

Tabel 4.9 Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Osteoarthritis


Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.
No Pengetahuan Pencegahan
Total P value
Osteoarthritis
Melakukan Tidak
pencegahan Melakukan
pencegaha
n
56

n % n % n %
1 Baik 7 18,4 0 0 7 18,4
2 Cukup 12 31,6 6 15,8 18 47,4
0,000
3 Kurang 0 0 13 34,2 13 34,2
Jumlah 19 50,0 19 50,0 38 100

Berdasarkan Tabel 4.9 di atas dapat dilihat bahwa dari 7 responden

yang berpengetahuan baik, seluruhnya melakukan pencegahan sebanyak 7

orang (18,4%), dan dari 18 responden yang berpengetahuan cukup, lebih

banyak yang melakukan pencegahan sebanyak 12 orang (31,6%)

dibandingkan dengan yang tidak melakukan pencegahan sebanyak 6 orang

(15,8%) sedangkan dari 13 responden yang berpengetahuan kurang

seluruhnya tidak melakukan pencegahan.

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji mann whitney

diperoleh nilai p value sebesar 0,000 dengan menggunakan taraf

signifikansi 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan antara pengetahuan tentang osteoarthritis dengan pencegahan

osteoarthritis pada lansia di Puskesmas Sakra Tahun 2021.

11. Hubungan Sikap tentang Osteoarthritis dengan Pencegahan


Osteoarthritis Pada Lansia

Untuk mengetahui lebih jelas tentang sikap dengan pencegahan

ostaoarthritis pada lansia di Puskesmas Sakra tahun 2021 dapat dilihat

pada Tabel 4.11 berikut :

Tabel 4.11 Hubungan Sikap dengan Pencegahan Osteoarthritis Pada


Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra Tahun 2021.
No Sikap Pencegahan
Total P value
Osteoarthritis
Melakukan Tidak
pencegahan Melakukan
57

pencegahan
n % n % n %
1 Baik 6 15,8 2 5,3 8 21,1
2 Cukup 13 34,2 5 13,2 18 47,4
0,000
3 Kurang 0 0 12 31,6 12 31,6
Jumlah 19 50,0 19 50,0 38 100

Berdasarkan Tabel 4.9 di atas dapat dilihat bahwa dari 8 responden

yang sikapnya baik tentang osteoarthritis, lebih banyak yang melakukan

pencegahan sebanyak 6 orang (15,8%) dibandingkan dengan yang tidak

melakukan pencegahan sebanyak 2 orang (5,3%), dari 18 responden yang

sikapnya cukup tentang osteoarthritis, lebih banyak melakukan

pencegahan sebanyak 13 orang (34,2%) dibandngkan dengan yang tidak

melakukan pencegahan sebanyak 5 orang (13,2%) sedangkan dari 12

responden yang sikapnya kurang seluruhnya tidak melakukan pencegahan.

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji mann whitney

diperoleh nilai p value sebesar 0,000 dengan menggunakan taraf

signifikansi 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan antara sikap tentang osteoarthritis dengan pencegahan

osteoarthritis pada lansia di Puskesmas Sakra Tahun 2021.

B. Pembahasan

1. Karakteristik Lansia

a. Umur

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sakra

menunjukkan bahwa dari 38 lansia yang diteliti di Puskesmas Sakra,

sebagian besar berada pada kelompok umur 45 – 54 sebanyak 24 orang


58

(63,2%) dan sebagian kecil berada pada kelompok umur 66 – 74

sebanyak 1 orang (2,6%).

Berdasasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dijelaskan

bahwa usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

terjadinya osteoarthritis pada lansia. Tingginya angka kejadian

osteoarthritis pada lansia yang berumur 45-54 di Puskesmas Sakra

disebabkan karena pada usia 45 tahun ke atas terjadi proses degeneratif

dan menurunnya kemampuan fungsional yang disebabkan adanya

penurunan protein di tulang rawan sendiri dan beban kerja yang

berlebihan pada sendi lutut, sehingga akan menimbulkan nyeri di area

lutut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arissa

(2018), dalam penelitiannya tersebut diketahui bahwa proporsi kasus

osteoarthrisi terbanyak dialami oleh kelompok usia 45-54 tahun, yang

berarti distribusi penderita osteoarthritis terbanyak terdapat pada usia

50 tahun.

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Chaganti

(2017), yang mengatakan bahwa proses penuaan memiliki efek buruk

terhadap kemampuan sendi dalam melindungi diri dari paparan stres

biomekanik, hal ini dikarenakan terjadinya proses perubahahan dalam

tulang rawan artikular, seperti penipisan tulan rawan nonkalsifikasi.

b. Pendidikan

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sakra

menunjukkan bahwa dari 38 lansia yang diteliti di Puskesmas Sakra,


59

sebagian besar berpendidikan dasar (SD, SMP) sebanyak 33 orang

(86,8%) dan sebagian kecil berpendidikan tinggi (D3) sebanyak 2

orang (5,3%).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dijelaskan bahwa

pendidikan juga termasuk salah satu variabel yang dapat

mempengaruhi terjadinya osteoarthritis pada lansia. Hal ini berkaitan

dengan informasi yang diterima oleh lansia tentang pencegahan

osteoarthritis. Tingginya akan kejadian osteoarthritis pada lansia yang

berpendidikan rendah (SD, SMP) disebabkan karena kurangnya

informasi yang didapatkan oleh lansia tentang osteoarthritis, sehingga

ketika lansia mengalami osteoarthritis, lansia cenderung tidak

melakukan pencegahan karena minimnya informasi yang didapatkan

oleh lansia tentang osteoarthritis, sehingga lansia tidak bisa melakukan

pencegahan terhadap penyakit osteoarthritis yang dideritanya.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin banyak pula pengetahuan

yang dimiliki. Sebaliknya semakin pendidikan yang kurang akan

mengahambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang

baru diperkenalkan (Nursalam, 2016).

c. Pekerjaan

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sakra

menunjukkan bahwa dari 38 lansia yang diteliti di Puskesmas Sakra,


60

lebih banyak yang bekerja sebanyak 20 orang (52,6%) dibandingkan

dengan yang tidak bekerja sebanyak 18 orang (47,4%).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dijelaskan

bahwa pekerjaan merupakan aktivitas utama yang dilakukan oleh

seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dalam hal

ini pekerjaan yang terlalu berat di usia lanjut dapat mempengaruhi

terjadinya osteoarthritis, semakin berat beban pekerjaan yang

dilakukan oleh lansia, maka resiko terjadinya osteoarthritis akan

semakin tinggi. Oleh karena itu, disarankan kepada lansia agar tidak

melakukan pekerjaan yang terlalu berat. Tingginya akan kejadian

osteoarthritis pada lansia yang di Puskesmas Sakra disebabkan karena

sebagian besar lansia masih bekerja sebagai petani. Pekerjaan sebagai

petani membutuhkan tenaga yang cukup dalam menjalankan

aktivitasnya, tentunya hal ini sangat beresiko bagi lansia mengalami

osteoarthritis. Karena pada umumnya seseorang yang sudah memasuki

usia lanjut fungsi tubuhnya mengalami penurunan dan apabila dipaksa

melakukan aktivitas atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi

tubuhnya maka resiko terjadinya osteoarthritis akan semakin tinggi.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kegiatan

kerja yang memberikan beban pada sendi terutama berjongkok

sepanjang hari pada saat bekerja serta mengangkat beban berat secara

teratur berperan dalam terjadinya osteoarthritis dan dapat

memperburuk perkembangan serta semakin memperparah gejala


61

osteoarthritis. Saat melakukan pekerjaan yang menggunakan tumpuan

pada sendi lutut terutama berjongkok, maka berat badan dibebankan

pada lutut akan meningkat hingga 10 kali (Palmer, 2016).

Menurut Nursalam (2016), pekerjaan adalah kebutuhan yang

harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan

kehidupan keluarganya. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi

lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan

berulang dan banyak tantangan.

2. Edukasi Tentang Osteoatritis

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sakra

menunjukkan bahwa dari 38 lansia yang diteliti di Puskesmas Sakra, lebih

banyak yang diberikan edukasi sebanyak 24 orang (63,2%) dibandingkan

dengan yang tidak diberikan edukasi sebanyak 14 orang (36,8%).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa

pemberian edukasi tentang osteoarthritis melalui penyuluhan dan

sosialisasi merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk

meningkatkan pengetahuan lansia tentang osteoarthritis. Dengan

memberikan edukasi melalui berbagai macam metode seperti media cetak,

metode ceramah maupun audio visual dapat memberikan pemahaman

yang baik bagi lansia dalam meningkatkan pengetahuannya tentang

osteoarthritis. Jika dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan di

Puskesmas Sakra, sebagian besar lansia yang diteliti diberikan edukasi

sebesar 61,2%. Tidak semua responden diberikan edukasi tentang


62

osteoarthritis, hal ini disebabkan karena ada beberapa lansia yang memiliki

kesibukan tersendiri seperti lansia yang bekerja sebagai petani namun ada

juga bebeberapa lansia yang tidak bekerja namun menolak untuk diberikan

edukasi tentang osteoarthritis.

Pemberian edukasi tentang osteoarthritis sangat penting bagi lansia

dalam upaya melakukan pencegahan terhadap osteoarthritis. Salah satu

upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya osteoarthritis yaitu

dengan modifikasi gaya hidup seperti olahraga, menurunkan berat badan

dan diet rendah kalori. Progresifitas penyakit dan komplikasinya dapat

dihambat dengan fisioterapi dan modifikasi gaya hidup. Kontrol rutin

perlu diperlukan selama 1 tahun sekali atau sesuai dengan kesepakatan

dokter dengan pasien. Tes laboratorium untuk cek fungsi hati dan ginjal

dilakukan setiap 3-6 bulan sekali setelah pengobatan. Pasien harus segera

kontrol apabila mengalami perburukan gejala (mengalami nyeri berlebih

hampir setiap hari dalam 1 bulan) atau nyeri tidak membaik dengan obat-

obatan yang diberikan.

3. Pengetahuan Lansia Tentang Pencegahan Osteoatritis

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sakra

menunjukkan bahwa dari 38 lansia yang diteliti di Puskesmas Sakra,

sebagian besar berpengetahuan cukup sebanyak 18 orang (47,4%) dan

sebagian kecil berpengetahuan baik sebanyak 7 orang (18,4%).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa

pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dapat mempengaruhi tindakan


63

dalam mengambil suatu keputusan. Pada umumnya, seseorang yang

memiliki pengetahuan baik cenderung akan berfikir rasional dan logis

sebelum mengambil keputusan. Jika dilihat dari hasil penelitian yang

dilakukan di Puskesmas Sakra, sebagian besar responden atau lansia yang

diteliti memiliki pengetahuan yang cukup tentang osteoarthritis, hal ini

disebabkan karena lansia sering bertukar pikiran tentang berbagai macam

penyakit dialaminya termasuk osteoarthritis, diantara sekian banyak lansia

yang diteliti ternyata banyak lansia yang memiliki pengalaman yang cukup

terkena osteoarthritis dan tahu cara melakukan pencegahannya. Sehingga

berdasarkan tukar pikiran atau pendapat tersebut, akhirnya banyak lansia

yang sudah mulai mengerti dan memahami tentang osteoarthritis. Namun

informasi yang didapatkan dari teman sejawat tersebut tidak cukup untuk

meningkatkan pengetahuan lansia tentang osteoarthritis. Oleh karena itu,

agar lansia mendapatkan informasi yang lebih akurat tentang

osteoarthritis, maka disarankan untuk berkonsultasi ke petugas kesehatan.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pengalaman

merupakan guru yang terbaik (experience is the best teacher), pepatah

tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber

pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan cara untuk memperoleh

suatu kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun

dapat dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini

dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh


64

dalam memecahkan persoalan yang dihadapai pada masa lalu

(Notoadmodjo, 2018).

4. Sikap Lansia Tentang Pencegahan Osteoatritis

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sakra

menunjukkan bahwa dari 38lansia yang diteliti di Puskesmas Sakra,

sebagian besar memiliki sikap yang kurang sebanyak 18 orang (47,4%)

dan sebagian kecil memiliki sikap yang baik sebanyak 8orang (21,1%)

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa

sikap yang dimiliki oleh seseorang dapat mempengaruhi tindakannya.

Semakin positif sikap yang ditunjukkan oleh seseorang, maka semakin

baik pula tindakan yang dilakukannya terhadap berbagai hal yang dialami

termasuk penyakit osteoarthritis begitu juga sebaliknya seseorang yang

memiliki sikap negatif terhadap sesuatu cenderung mengambil tindakan

yang memperburuk keadaannya. Dalam hal ini, jika dilihat dari hasil

penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sakra diketahui bahwa

sebagian besar lansia yang mengalami osteoarthritis memiliki sikap yang

kurang sebanyak 25 orang (51,0%) dan sebagian kecil memiliki sikap

yang baik sebanyak 7 orang (14,3%). Hal ini menunjukkan bahwa

sebagian besar lansia masih beranggapan bahwa penyakit osteorthritis

yang dideritanya merupakan penyakit yang disebabkan karena

bertambahnya usia sehingga lansia cenderung bersikap kurang baik

terhadap penyakit osteoatrhitis yang dialaminya. Kurangnya pengetahuan

lansia tentang osteoartrhitis menjadi faktor yang menyebabkan rendahnya


65

sikap yang ditunjukkan oleh lansia tentang penyakit osteoartrhitis yang

dialaminya. Oleh karena itu, lansia perlu diberikan pemahaman yang baik

tentang osteoarthritis agar lansia bisa memiliki sikap yang baik dalam

melakukan pencegahan terhadap osteoarhritis.

Menurut Wawan dan Dewi (2018), sikap (attitude) merupakan

konsep paling penting dalam psikologi social yang membahas unsur sikap

baik sebagai individu maupun kelompok. Banyak kajian dilakukan untuk

merumuskan pengertia sikap, proses terbentuknya sikap, maupun

perubahan. Banyak pula penelitian telah dilakukan terhadap sikap

kaitannya dengan efek dan perannya dalam pembentukan karakter dan

sistem hubungan antar kelompok serta pilihan-pilihan yang ditentukan

berdasarkan lingkungan dan pengaruhnya terhap perubahan. Sikap adalah

reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus

atau objek

5. Pencegahan Osteoatritis

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sakra

menunjukkan bahwa dari 38 lansia yang diteliti di Puskesmas Sakra, yang

melakukan pencegahan dan yang tidak melakukan pencegahan masing-

masing sebanyak 19 orang (50,0%).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa

pencegahan terhadap osteoarthritis pada lansia sangat penting untuk

dilakukan untuk meningkatkan derajat kesejahatannya. Dalam hal ini, jika

dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sakra sebagian


66

besar lansia tidak melakukan pencegahan terhadap osteoarthritis, hal ini

disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan sikap yang dimiliki oleh

lansia belum cukup untuk meningkatkan kesadaran lansia dalam

melakukan pencegahan terhadap osteoarthritis. Oleh karena itu, untuk

meningkatkan kesadaran lansia akan pentingnya melakukan pencegahan

terhadap osteoarthritis, maka perlu dilakukan sosialisasi dalam rangka

memberikan informasi yang akurat tentang cara melakukan pencegahan

osteoarthritis.

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit yang menyerang sendi-

sendi tulang. Penyakit degeneratif ini bisa dan sebaiknya dicegah sejak

dini agar tidak terjadi lebih cepat dan meningkatkan kualitas hidup di masa

tua. Osteoarthritis dinilai berbahaya karena dapat menyebabkan penipisan

tulang rawan yang mampu memicu terjadinya gesekan antar tulang.

Kondisi itu akan membuat seseorang merasakan nyeri, kekakuan, dan sulit

untuk bergerak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan sedini

mungkin dengan cara diet, menjaga berat badan, rutin berolahraga, kontrol

gula darah dan istirahat yang cukup.

6. Pengaruh Edukasi Tentang Osteoatritis Terhadap Pengetahuan


Lansia tentang Pencegahan Osteoarthritis

Hasil analisis statistik menunjukkan ada pengaruh antara edukasi

tentang osteoarthritis terhadap pengetahuan lansia tentang pencegahan

osteoarthritis di Puskesmas Sakra Tahun 2021 dengan nilai p value sebesar

0,000 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian edukasi tentang

osteoarthritis dapat mempengaruhi pengetahuan lansia tentang pencegahan


67

osteoarthritis dan tentunya hal ini juga dapat memberikan pengaruh yang

cukup besar terhadap kejadian osteoarthritis pada lansia. Karena semakin

tinggi pengetahuan yang dimiliki oleh lansia tentang pencegahan

osteoarthritis, maka resiko terjadinya osteoarthritis akan semakin kecil.

Kemudian jika dilihat dari hasil distribusi silang antara edukasi

tentang osteoarthritis dengan pengetahuan tentang pencegahan

osteoarthritis di Wilayah Kerja Puskesmas Sakra diketahui bahwa dari 30

responden yang diberikan edukasi, sebagian besar memiliki pengetahuan

yang cukup tentang pencegahan osteoarthritis sebanyak 15 orang (30,6%)

dan sebagian kecil berpengetahuan baik sebanyak 2 orang (4,1%).

sedangkan dari 19 responden yang tidak diberikan edukasi sebagian besar

memiliki pengetahuan yang kurang tentang pencegahan osteoarthritis

sebanyak 16 orang (32,7%) dan sebagian kecil berpengetahuan baik

sebanyak 1 orang (2,0%). Hal ini menunjukkan bahwa lansia yang

diberikan edukasi tentang osteoarthritis memiliki pengetahuan yang lebih

baik dibandingkan lansia yang tidak diberikan edukasi. Ini berarti bahwa

edukasi tentang osteoarthritis sangat penting untuk diberikan kepada

lansia. Dengan adanya edukasi, lansia menjadi lebih mudah untuk

memahami dan mengerti tentang osteorathritis dan cara pencegahannya.

Menurut Notoatmodjo (2018), pemberian edukasi dapat

mempengaruhi pengetahuan seseorang untuk mengetahui tentang langkah-

langkah yang penting dalam upaya melakukan pencegahan terhadap

osteoarthritis. Selain itu, pengetahuan atau kognitif merupakan domain


68

yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over

behavior). Tindakan perawatan yang didasari pengetahuan akan lebih baik

daripada tindakan perawatan yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik, akan melakukan

akses terhadap sarana pelayanan kesehatan lebih banyak mengenai upaya-

upaya perawatan untuk mencegah terjadinya osteoarthritis dibandingkan

dengan seseorang yang tingkat pengetahuannya kurang.

7. Pengaruh Edukasi Tentang Osteoatritis Terhadap Sikap Lansia


tentang Pencegahan Osteoarthritis

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square

menunjukkan ada pengaruh antara edukasi tentang osteoarthritis terhadap

sikap lansia tentang pencegahan osteoarthritis di Puskesmas Sakra Tahun

2021 dengan nilai p value sebesar 0,002 < 0,05. Hal ini berarti bahwa

edukasi tentang osteoarthritis juga memiliki pengaruh yang cukup

signifikan terhadap sikap lansia dalam melakukan pencegahan terhadap

osteoarthritis. Semakin sering lansia diberikan edukasi tentang

osteoarthritis, maka semakin baik pula sikap yang ditunjukkan oleh lansia

dalam melakukan pencegahan terhadap osteoarthritis.

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Sakra

menunjukkan bahwa dari 30 responden yang diberikan edukasi, sebagian

besar memiliki sikap yang cukup tentang pencegahan osteoarthritis

sebanyak 13 orang (26,5%) dan sebagian kecil memiliki sikap yang baik

sebanyak 6 orang (12,2%) sedangkan dari 19 responden yang tidak

diberikan edukasi sebagian besar memiliki sikap yang kurang tentang


69

pencegahan osteoarthritis sebanyak 14 orang (28,6%) dan sebagian kecil

memiliki sikap yang baik sebanyak 1 orang (2,0%). Hal ini menunjukkan

bahwa sikap yang ditunjukkan oleh lansia dalam melakukan pencegahan

terhadap osteoarthritis tidak terlepas dari pengetahuan yang dimilikinya.

Semakin baik pengetahuan yang didapatkan dari edukasi yang diberikan

oleh petugas kesehatan, maka semakin baik pula sikap yang dimilikinya

dalam melakukan pencegahan terhadap osteoarthritis.

Edukasi atau promosi kesehatan tentang osteoarthritis dapat

membantu lansia mengambil sikap yang bijaksana terhadap kesehatan dan

kualitas hidup. Pemberian edukasi tentang osteoarthritis merupakan

metode dalam pendidikan kesehatan yang dapat merubah sikap seseorang

menjadi lebih baik. Hal ini terbukti dari sikap yang ditunjukkan oleh

setelah diberikan edukasi tentang osteoarthritis, sikap lansia menjadi lebih

baik. Sikap lansia dalam melakukan pencetahan terhadap osteoarthritis

juga dipengaruhi oleh pengetahuan lansia terhadap hal yang sama serta ada

kemungkinan bahwa sikap yang dimiliki sudah terbentuk dari faktor sosial

budaya di lingkungan tempat tinggalnya (Indramukti, 2017).

8. Pengaruh Edukasi Tentang Osteoatritis Terhadap Pencegahan


Osteoarthritis pada Lansia

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji uji t-sample

independent menunjukkan ada pengaruh antara edukasi tentang

osteoarthritis terhadap pencegahan osteoarthritis pada lansia di Puskesmas

Sakra Tahun 2021 dengan nilai p value sebesar 0,001 < 0,05. Hal ini

berarti bahwa edukasi tentang osteoarthritis juga memiliki pengaruh yang


70

cukup signifikan terhadap pencegahan osteoarthritis. Semakin sering

lansia diberikan edukasi tentang osteoarthritis, maka semakin baik pula

pencegahan yang dilakukan oleh lansia terhadap penyakit osteoarthritis

yang dialaminya.

Edukasi tentang osteoarthritis (OA) merupakan salah satu komponen

terpenting dalam tatalaksana pencegahan osteoarthritis. Pencegahan

terhadap OA juga sebaiknya dilakukan sejak dini, terutama pada pasien

yang memiliki faktor risiko. Edukasi pasien osteoarthritis yang harus

dilakukan yaitu : memberikan penjelasan perjalanan dan karakteristik

osteoarthritis yang tidak dapat sembuh, kemudian memberikan edukasi

mengenai efek samping obat, terutama AINS dan Tramadol, mengenai

tanda bahaya (red flags), pilihan terapi dan penggunaan alat bantu gerak.

Pencegahan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup (olahraga,

penurunan berat badan, dan diet rendah kalori). Progresifitas penyakit dan

komplikasinya dapat dihambat dengan fisioterapi dan modifikasi gaya

hidup. Kontrol rutin perlu diperlukan selama 1 tahun sekali atau sesuai

dengan kesepakatan dokter dengan pasien. Tes laboratorium untuk cek

fungsi hati dan ginjal dilakukan setiap 3-6 bulan sekali setelah pengobatan.

Pasien harus segera kontrol apabila mengalami perburukan gejala

(mengalami nyeri berlebih hampir setiap hari dalam 1 bulan) atau nyeri

tidak membaik dengan obat-obatan yang diberikan.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pencegahan

osteoporosis pada lansia sangat diperlukan. Pencegah osteoporosis perlu


71

memperhatikan gaya hidup karena sangat berpengaruh pada masa tulang

seperti makanan yang banyak mengandung kalsium dan vitamin D, dan

berolahraga di bawah sinar matahari (Jakobsen, 2016).

9. Hubungan Pengetahuan Tentang Osteoatritis dengan Pencegahan


Osteoarthritis Pada Lansia

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji man whitney

menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan tentang osteoarthritis

dnegan pencegahan osteoarthritis pada lansia di Puskesmas Sakra Tahun

2021 dengan nilai p value sebesar 0,000 < 0,05. Hal ini berarti bahwa

pengetahuan lansia tentang osteoarthritis memiliki hubungan yang kuat

dengan pencegahan osteoarthritis. Semakin tinggi pengetahuan yang

dimiliki oleh lansia, maka semakin baik pula pencegahan osteoarthritis

yang dilakukan oleh lansia.

Pengetahuan merupakan stimulus dari tindakan yang dilakukan oleh

lansia dalam melakukan pencegahan osteoarthritis, maka seharusnya

ketika seorang lansia memiliki pengetahuan yang baik maka ia dapat

melakukan

tindakan pencegahan osteoporosis dengan baik. Dilihat dari hasil

penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sakra menunjukkan bahwa

sebagian besar lansia yang berpengetahuan baik melakukan pencegahan

osteoarthritis, hal ini menunjukkan bahwa dengan pengetahuan yang

dimilikinya lansia bisa melakukan tindakan pencegahan yang tepat dalam

menangani osteoarthritis yang dialaminya.


72

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan ditemukannya

hubungan antara pengetahuan dengan pencegahan osteoarthritis pada

lansia di Puskesmas Sakra yaitu tidak adanya faktor penghambat seperti

petunjuk yang diberikan sudah jelas, selalu berpikiran positif terhadap

individu sehingga tidak menolak nasihat yang diberikan oleh dokter dan

lingkungan

sekitar. Petunjuk yang jelas diberikan oleh tenaga kesehatan dalam

melakukan pencegahan osteoporosis dapat disebabkan karena banyaknya

informasi yang diterima oleh lansia, sehingga sebagai dokter dan profesi

lain yang bersangkutan dengan kesehatan harus semakin gencar

memberikan informasi mengenai pencegahan osteoporosis. Perilaku

berfikiran positif bisa mengubah pola pikir lansia mengambil keputusan

yang tepat dalam melakukan melakukan pencegahan (Notoatmodjo, 2018)

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Coman (2014)

yang menyatakan bahwa meningkatkan pengetahuan lansia terhadap

osteoporosis disertai dengan pengetahuan yang baik dalam melakukan

tindakan pencegahan osteoporosis diharapkan dapat menurunkan risiko

osteoporosis pada lansia. Oleh karena itu, perlu diketahui hubungan

tingkat

pengetahuan dengan pencegahan osteoporosis sangat erat.

Menurut Rohini (2018), pengetahuan yang positif memang tidak

selalu diikuti dengan tindakan yang positif dan begitu pula sebaliknya

yang berarti ketika mereka melakukan sebuah tindakan tidak selalu


73

didasari oleh pemahaman alasan mengapa dan untuk apa mereka

melakukan tindakan tersebut. Namun, tingkat pengetahuan yang baik

dapat membantu meningkatkan keinginan untuk merubah perilaku dan

perubahan tersebut cenderung bersifat langgeng sehingga diharapkan

nantinya dapat menjadi sebuah kebiasaan yang berlangsung dalam jangka

lama.

10. Hubungan Sikap Tentang Osteoatritis dengan Pencegahan


Osteoarthritis Pada Lansia

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang bemakna

antara sikap tentang osteoporosis dengan pencegahan osteoporosis pada

lansia di Puskesmas Sakra berdasarkan nilai p = 0,000 (p<0,05), hal ini

menunjukkan bahwa korelasi yang terbentuk sangat kuat. Berdasarkan

hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa lansia di Puskesmas Sakra

memiliki sikap yang diikuti oleh tindakannya.

Secara teori, suatu sikap memang belum otomatis terwujud dalam

bentuk tindakan karena untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan

nyata diperlukan banyak dukungan (support) dari pihak lain seperti teman

atau keluarga dan juga suatu kondisi yang memungkinkan yaitu fasilitas

(Notoatmodjo, 2018).

Sikap dan tindakan sebenarnya adalah bentuk penilaian dari domain

yang membentuk perilaku yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor.

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas manusia yang timbul karena

adanya stimulus atau respons dan dapat diamati secara langsung maupun

tidak langsung oleh pihak luar. Seacara garis besar bentuk perilaku ada
74

dua macam, yaitu perilaku pasif dan perilaku aktif. Perilaku pasif adalah

perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak

dapat diamati secara langsung atau singkatnya perilaku ini masih sebatas

sikap belum ada tindakan yang nyata. Perilaku aktif adalah perilaku yang

sifatnya terbuka. Perilaku aktif adalah perilaku yang diamati langsung,

berupa tindakan nyata (Sunaryo, 2016)

Terbentuknya perilaku baru, khususnya pada orang dewasa dimulai

pada domain kognitif, dimana individu tahu lebih dahulu terhadap

stimulus yang berupa materi sehingga menimbulkan pengetahuan baru

pada individu tersebut. Kemudian selanjutnya domain afektif yaitu

timbulnya respons batin dalam bentuk sikap dari individu tersebut

terhadap materi yang diketahui itu. Pada akhirnya, stimulus berupa materi

yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan

respon lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan terhadap stimulus tadi.

Namun, dalam kenyataannya tidak semua berjalan sesuai teori sikap

yang positif belum tentu menghasilkan tindakan yang positif. Seperti

halnya pada penelitian ini, ada beberapa responden yang sikapnya baik

namun tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan dalam melakukan

pencegahan osteoarthritis. Salah satu domain yang paling berperan dalam

pembentukan tindakan seseorang adalah keinginan atau kecenderungan

seseorang untuk berindak yang dapat dilihat dari sikapnya. Sikap adalah

respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus, baik yang bersifat

intern maupun ekstern, sehingga manifestasinya tidak dapat langsung


75

dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perlaku yang

tertutup tersebut. (Sunaryo, 2016)


76

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat

ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Ada pengaruh edukasi tentang osteoatritis terhadap pengetahuan lansia

tentang pencegahan osteoarthritis di Puskesmas Sakra Tahun 2021

(p value = 0,000 < 0,05).

2. Ada pengaruh edukasi tentang osteoatritis terhadap sikap lansia tentang

pencegahan osteoarthritis di Puskesmas Sakra Tahun 2021 (p value

= 0,002 < 0,05).

3. Ada pengaruh edukasi tentang osteoatritis terhadap pencegahan

osteoarthrtisi di Puskesmas Sakra Tahun 2021 (p value = 0,001 < 0,05).

4. Ada hubungan pengetahuan tentang osteoarthritis dengan pencegahan

osteoarthritis pada lansia di Puskesmas Sakra Tahun 2021 (p value = 0,000

< 0,05).

5. Ada hubungan sikap tentang osteoarthritis dengan pencegahan

osteoarthritis pada lansia di Puskesmas Sakra Tahun 2021 (p value = 0,000

< 0,05).

B. Saran

1. Bagi Tenaga Kesehatan


77

Disarankan kepada tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Sakra

agar meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat

khususnya lansia dengan cara memberikan informasi kesehatan terutama

tentang pencegahan osteoatritis melalui penyuluhan dan bimbingan

konseling agar pengetahuan dan sikap lansia tentang pencegahan

osteoarthritis dapat ditingkatkan dengan baik.

2. Bagi Masyarakat

Disarankan kepada masyarakat khususnya lansia yang tingkat

pengetahuan dan sikapnya tentang pencegahan osteoarthritis masih rendah

agar mau mengikuti kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan oleh petugas

kesehatan dalam upaya meningkatkan pengetahuan lansia tentang

pencegahan osteoarthritis.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian

lebih lanjut tentang pencegahan osteoarthritis dengan menggunakan

metode penelitian yang berbeda dan menambahkan jumlah variabel yang

belum diteliti untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.


78

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, 2016. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka


Cipta.

Cabrera, 2015. Theoris of human aging of molecules To society. MOJ


Immunology. 2(2). 00041.

Dewi, 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 1. Yogyakarta: Deepublish.


Kementrian Kesehatan RI.

Dinas Kesehatan Provinsi NTB, 2018. Prevalensi Kejadian Osteoartritis.


Mataram : NTB.

Ganong, 2011. Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Kalim H, & Wahono, 2019. Penyakit Sendi Degeneratif Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: UB Press.

Kementerian Kesehatan RI, 2016. INFODATIN Pusat Data dan Informasi


Kementerian Kesehatan RI Situasi Balita Pendek. Jakarta Selatan

Kholifah, 2016. Keperawatan Keluarga dan. Komunitas. Jakarta Selatan:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Notoatmodjo, 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nursalam, dan Siti Pariani. 2015. Pendekatan Praktis Metodologi Riset.


Keperawatan. CV. Agung Seto. Jakarta. Puspitasari.

Nursalam, 2017. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis.


Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.

Puskesmas Sakra, 2020. Prevalensi Kejadian Osteoartritis. Lombok Timur : NTB.

Price, S.A., Wilson, L.M, 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi VI. Jakarta: EGC.

Regina Johana, 2019. Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan


Pencegahan Osteoporosis pada Wanita Usia Subur di Kecamatan
Babakan. Ciparay Kota Bandung.

Riskesdas, 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian


RI tahun 2018.
79

Singh, 2015. Peran Intervensi Bedah Dalamtatalaksana Tuberkulosis Paru


Resisten Obat. Ina J CHEST Crit and EmergMed, 2 (3): 130-3.

Sugiyono, 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:


Alfabeta.

Sugiyono, 2018. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: CV


Alfabeta.

Susilo, 2017. Risiko Jatuh Pada Lansia Meningkat Dengan Bertambahnya Usia
Dan Tidak Dipengaruhi Jenis Kelamin. Journal of Medicine and Health
Vol.1 No.6.

Tutuk widowati, 2019. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Dengan


Pencegahan Osteoporosis Pada Lansia Desa Sranten Kecamatan
Karanggede.

Yosdimiyati, 2016. Hubungan Antara Pengetahuan Osteoporosis dengan Perilaku


Pencegahan Osteoporosis Pada Lansia di Desa Bantaran Kecamatan
Bantaran Kabupaten Probolinggo.

Wawan dan Dewi, 2018. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai