Anda di halaman 1dari 14

http://ritariata.blogspot.

com/2010/08/studi-efek-samping-
jahe-zingiberaceae.html
Minggu, 22 Agustus 2010
Studi Efek Samping Jahe (Zingiberaceae Officinaleae Roscoe) pada dosis
terapi

BAB I. PENDAHULUAN

Jahe (Zingiber officinale Roscoe, Zingiberaceae) adalah tumbuhan obat yang secara luas
digunakan sebagai pengobatan herbal China, Ayurveda, Tibunnani, serta di seluruh dunia.
Jahe telah luas digunakan di seluruh dunia sebagai makanan atau bumbu. Sejak jaman dahulu
secara luas digunakan dalam pengaturan penyakit seperti arthriris, reumathsm, kesleo, sakit
otot, sakit pinggang, sakit tenggorokan, kram, konstipasi, pencernaan, mual, hipertensi,
dimensia, demam, infeksi, dan penyakit cacingan.
Akhir-akhir ini penelitian terhadap jahe telah berubah dan beberapa peneliti telah melakukan
penelitian dengan tujuan mengisolsi dan mengidentifikasi senyawa aktif yang terdapat dalam
jahe. Penelitian ini dimaksudkan untuk dilaukan pembuktian terhadap aksi farmakologi dan
didasarkan kandungan aktifnya serta membuktikan dalam penyakit dan kondisi terentu.
Inti dari aksi farmakologi dari jahe dan hubungan dengan kandungan aktifnya adalah
immonomoduator, aksi tumor, antinflamasi, antiapoposis, antihiperglikemi, antilipedemia,
dan anti emetikum. Jahe adalah anti-oksidan kuat dapat mengurangi atau mencegah dari
senyawa radikal bebas. Dengan pertimbangan sebagai obat herbal yang aman dengan sedikit
atau efek samping yang tidak siqnifikan. Akan tetapi perlu kemudian kajian lebih lanjut serta
penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pernyataan tersebut. dikatakan bahwa tidak ada
satupun obat walaupun bahan alam yang aman dalam mengkonsumsinya karena jahe juga
terdiri dari senyawa kimia yang memberikan efek positif atau efek yang tidak diinginkan
dalam tubuh.
Untuk mempelajari jahe ini dilakukan pengujian terhadap hewan uji seta manusia dengan
analiasis kinetika, dan efek dengan mengkonsumsi jahe dalam jangka waktu tertentu.

BAB II. KIMIAWI

Konstituen dari jahe ini sangat bergantung dari tempat tanam serta kondisi rizome dalam
kondisi basah atau kering. Tidak semua kandungan kimia dilaparkan dalam review yang
berjudul beberapa “Fitokimia, Farmakologi dan Toksikologi Dari Jahe (Zingiber officinale
Roscoe) : Review dari Penelitian Akhir-Akhir Ini (Badreldin dkk, 2007), lebih diprioritaskan
pada komponen mayor yang berperan dalam aksi farmakologi yang diperoleh dari ekstrak
kasar.
Bau dari jahe ini bergantung dari kandungan minyak atsiri yang pada pemanenan biasanya
berkisar antara 1% dan 3%. Lebih dari 50 komponen minyak atsiri yang memiliki karakter
yang bervariasi dan biasanya adala monoterpenoids (β-phellandrene, (+)-champhene, sineol,
geraniol, curcumin, sitral, terpineol, borneol) dan sesquiterpen (α- Zingiberance 30-70%, β-
sesquiphellandrin 15-20%, β-bisabolene 10-15%, E-E-α-farnesene, ar-kurkumin,
zingiberazol). Beberapa komponen minyak sedikait berbau ketika diambil dari jahe yang
kering (Langner et al, 1998; Evans, 2002).
Ketajaman bau dari jahe ini dipengaruhi oleh gingerol yang merupakan homolog dari fenol.
Kebanyakan yang melimpah adalah (6)gingerol walaupun didapatkan dalam kuantitas yang
kecil dari gingerol yang lain dengan perbedaan pada panjang rantainya. Rasa pedas pada jahe
dipengaruhi oleh keberadaan sogaol sebagai contoh (6) sogaol yang merupakan dehidrasi dari
gingerol. Sogaol terbentuk dari perubahan bentuk sogaol slam proses pemanasan (Wohlmuth
et al., 2005). Degradasi (6) gingerol menjadi (6) sogaol ditentukan oleh pH pada media
dengan suhu 100 °C dan pH 1. Degradasi yang berulang dapat terjadi (Bhattarai et al., 2001)
Degradaasi panas dari gingerol menjadi gingerone, shogaol, dan kandungan lain yang mirip
dipublikasikan oleh Jolad et al (2004).
Jolad et al (2004) meneliti kandungan dari organ tumbuh (rizoma) dari jahe segar dan
mengidentifikasi 63 komponen dengan 31 komponen telah dilaporkan sebagai konstituen dari
jahe dan 20 komponen yang tersembunyi adalah komponen yang tidak diketahui. Komponen
yang diidentifikasi adalah gingerol. Sogaol, 3-dehidrosogaol, paradols, dihidroparadols, asetil
derivate dari gingerol, gigerdiol, mono- dan di- asetil derivate dari gingerdiol, 1-
dehidrogigerdion, diarileptanoid, dan metil eter derivate dari beberapa komponenini. Denagn
tambahan (6) gingerol, (4), (7), (8), dan (10)gingerol yang telah teridentifikasi, seperti juga
metil (4) gingerol, metil (8) gingerol (4),(6), (8), (10) dan (12)- sogaol, metil (4)-., metil (6)-
dan metal (8)- sogaol. Paradol dan 5-dioksigingerol. (6)- paradol, (6)-, (7)-, (8)-,(9)-,(10)-,
(11)-, dan (13)- paradol telah dideteksi pada jahe segar.
Jolad et al (2004) juga juga menguji pada jahe kering menggunakan teknik yang sama pada
studinya baru-baru ini (2004. Mereka mengidentifiakasi 115 komponen dengan 88 komponne
yang telah dipublikasikan. 45 sari komponen itu sam seperti pada jahe segar, dan 31 lainnya
merupakan kompnen yang baru, seperti metil (8)-paradol, metal (6)-isogingerol dan (6)-
isosogaol. 12 yang lain diisolasi oleh orang yang berbeda. (6)-,(8)-,(10)-,dan (12)gingerdion
telah dideteksi. Konsentrasi gingerol dalam jahe kering telah tereduksi disbanding dengan
jahe segar, akan tetapi kandungan sogaolnya meningkat.
Diareleptanoids berada pada jahe kering ataupun basah. Ma et al (2004) melaporkan 7
Diareleptanoids yang sebelumnya tidak diketahui dari ekstrak etanol jahe China lebih dari 25
komponen telah diketahui, termasuk didalamnya Diareleptanoids. Sebaga contoh 1 yang telah
dilaporkan adalah (3S, 5S)-3,5-diacetoksi-1,7-bis (4-hidroksi-3-metoksifenil)hepan. Wei et al
(2005) melaporkan ativitas sitotoksik dan apoptosis yang signifiakan menyerang sel human
promiyelocytic leukemia dari kandungan jahe, seperti Diareleptanoids dan komponen
gingerol. Mereka menunjukkan struktur kimia signifiakan mempercepat aktifitas:
1. Kelompok asetosil pada posisi rantai 3 dan/atau 5
2. Pemanjangan rantai pada situs alkil
3. Gugus fungsi orto-diphenosil pada cincin aromatic.
4. α,β- unsaturasi moiety keton pada cincin
untuk analisis kandungan mayor jahe (6)-,(8)-, (10)-gingerol dan (6) sogaol pada produk
suplemen, bumbu, teh, dan keuntangan lain dalam sediaan obat, pada HPLC telah
dipublikasikan oleh Schwertner dan Rios.

BAB III. FARMAKOKINETIK

Setelah bolus sudah masuk dalam intravena dengan dosis 3 mg/kg (6)-gingerol, kurva
konsentrasi dalam plasma dibanding dengan waktu menunjukkan model dua kompartemen
terbuka. (6)-gingerol dikeluakan dalam plasma dengan waktu paro 7.23 menit dan total
Clearen dari tubuh adalah 16.8 ml/menit/kg. Protein serum berikatan (6)-gingerol dengan
presentasi 92.4% (Ding et al, 1991). Pada kelompok studi yang sama pada kinetika tikus
dengan percobaan hepatic akut atau gangguan ginjal (Naora et al, 1992) dan diidentfikasi
tidak ada perbedaan yang siknifikan terlihat pada urva waktu-konsentrasi plasma atau
parameter farmakoknetik lainnya dibandingkan dengan kontrol dan nephrektomize. Hal ini
memberi pertanda oleh karena itu, ekskresi ginjal tidak memberikan kontribusi terhadap
hilangnya (6)-gingerol dari plasma tikus. Ha ini berkebalikan dengan toksisitas hepar,
mengakibatkan peningkatan kadar (6)-gingerol dalam plasma pada pase terminal. Waktu paro
eliminasi meningkat signifikan dari 8.5 menjadi 11.0 menit., pada tikus dengan kerusakan
hati. Semakin panjangnya waktu ikatan (6)-gingerol dengan protein seru lebih dari 90% dan
efek menjadi kecil karena ketoksikannya. Aspek ini mengindikasikan bahwa (6)-gingerol
bahwa liminasinya sebagian besar melewati hepar.
Penurunan metabolit dari S-(+)-(6)-gingerol, mayoritas dari pedasnya jahe, diidentifikasi
secara in-vitro dengan induksi phenobarbabital pada hati tikus 10.000 gram dalam bentuk
superntan yang mengandung NADPH-pembangkit sistem (Surh dan Lec, 1994). Penurunan
diperlihatkan secara stereo-spesifik. Produk ekstrak etil asetat didisolasi dan dua
metabolismenya diidentifikasi sebagai diasteromer dari (6)-gingerol oleh kromatografy
gas/spektrometri massa. Penulis sebelumnya memperlihatkan (6)-gingerol sebagai zat pedas
dari jahe yang direduksi pada hati tikus secar in-vitro. Metabolit ekstrak etil asetat yaitu
sogaol telah diisolasi. Dibentuk dengan inkubasi pada alfanya, keton beta-saturasi dengan
fraksi citosolic hati tikus yang telah dfortifikasi dengan NADPH- atau NADPH-pembangkit
sistem: dua bagian besar metabolit yang teridentifikasi adalah 1-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-
deksa-3-one(6- paradol))dan 1-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-deksa-3-ol (reduksi 6- paradol). 1-
(4-hidroksi-3-metoksifenil)-deksa-3-one (dehidoparardol), bukan merupakan analog zat
padas sogaol, yang dibentuk dari metabolism yang sama , dari (6)-sogaol dibawah kondisi
inkubasi yang sama. (6)-paradol muncul pada intermeidet reduksi metabolit alfa, beta-
unsaturasi keton pada separuh sogaol yang disaturasi oleh alcohol (Surh dan Lec, 1994).
Aktivitas farmakologi pada metabolite yang diisolasi tidak terkarakterisasi.
Akhir-akhir ini, dilaporkan bahwa (6)-gingerol ktika diinkubasi dengan NADPH-fertilified
mikrosome hati tikus memberikan kenaikan metabolit menjadi delapan, hasil identifikasi
dengan kromatografy gas –spektrometri massa (GC-MS) menganalisa dua produk
hidroksilasi aromatic, serta diasteromer dua hidroksilasi alifatik produk diastereomer (6)-
gingerdiol. Mikrosom hepar dari tikus dan manusia, dipertahankan dengan UDPGA,
glusuronidasi (6)-gingerol yang didominasi oleh kelompok hidroksil fenolik, tapi jumlah
yang kecil dari monoglukuronide kedua menyertai kelompok hidroksi alifatik juga
diidentifikasi oleh analisis Kromatografi cair-spektrometri massa/spektrometri massa (LC-
S/MS). Mikrosome pencernaan manusia dibentuk dari glusuronide fenolik supersoma yang
terdiri dari UGTIAI manusia dan IA3 terpisah dari glukoronide fenolik, dengan aktifitas yang
kecil, dimana UGTIA9 mengkatalis dengan spesifik formasi dari glukoronide alkoilik, dan
UGT2B7 adalah predominan formasi dari gukorunide fenolik yang aktivitasnya tinggi. Studi
ini menggambarkan kompleknya metabolism (6)-gingerol, yang direkam oleh penulis, yang
seharusnya mempertibangkan aktivitas biologi yang multiple dari komponen ini (Pfeiffer et al
2006).
Metabolism lemak, dari (6)-gingerol telah diteliti pada tikus oleh Nakazawa dan Ohsawa
(2002). Empedu tikus bahwa pada oral administrasi (6)-gingerol diperlihatkan dalam analisis
HPLC yang mengandung metabolit mayor (S)-(6)-gingerol-4’-O-β-gluoronide. Walapun
metabolit diperoleh dari (6)-gingerol tidak ditemukan dalam urin, ektrak etil asetat dari urin,
setelah menglami hidrolisis enzimatik, menunjukkan enam metabolit minor (vanilic acid,
asam ferulic, (S)-(+)-4-hidroksi-6-oxo-8-(4-hidroksi-3-metoksifenil) asam butanoic, 9-
hidroksi (6)-gingerol dan (S)-(+)-(6)-gingerol totl ekskresi seluruh metabolit baik mayor dari
empedu dan enam minor melalui urin selama 60 jam setelah adanya aministrasion oral dari
(6)-gingerol kira-kira 48% dan 16% dari dosis, secara berturut-turut. Ekskresi dari enam
meabolit minor di dalam urin menurun tajam setelah sterilisasi usus, mungkin karena
keterlibatan flora normal di dalam metabolime. Di lain hal, inkubasi (6)-gingerol dengan
hepar tikus menunjukkan adanya dari 9-hidroksi (6)-gingerol, gingerdiol, dan (S)- (6)-
gingerol-4’-O-β-gluoronide. Hal ini mengindikasikan bahwa flora normal serta enzim dalam
hati, meberikan pengaruh besar terhadap metabollime dari (6)-gingerol.

BAB IV. EFEK FARMAKOLOGI


1. Efek pada konsentrasi lipid serta Glukosa dalam darah
Dilaporkan bahwa pengobatan dari ekstrak metalonik dari jahe kering signfikan mereduksi
induksi-fruktosa yang meninggikan kadar lipid, berat badan, hiperglikemia, dan
hiperinsulinemia. Pengobatan dengan ekstrak etil asetat dari jahe tidak menujukkan
perubahan signifikan reduksi tinggnya kadar lipid serta berat badan. Konsentrasi (6)-gingerol
ditemukan tinggi pada methanol ekstrak yan memberukan effect lebih besar dibandingkan eti
asetat ekstrak pada induksi-fruktosa hiperlidimia yang berasosiasi dengan insulin resisten.
Perpanjangan aktivitas yang muncul erganntung konsentrasi dari (6)-gingerol di dalam estrak
(Kadnur dan Goyal, 2005). Penulis yang sama ekstrak methanol dan atil aseta dari jahe yang
diuji pada mencit selama delapan minggu, ditemukan adanya pegobatan pengurangan
goldthioglukose yang menginduksi obesitas pada perlakuan mencit dan lebih lanjut direduksi
dalam penurunan level glukosa dan insulin. Ini memberikan asumsi bahwa jahe
meningkatkan sensitifitas insulin di dalam binatang. Akhir-akhir ini Al-Amin et al (2006)
mempelajari potensi hipoglikemk dari jahe pada streptozotocid (STZ) yng menginduksi
diabetes pada tikus yang memberikan hasil ekstrak air pada jahe (500mg/kg, intraperitonial)
denagn periode 7 minggu. Serum darah dari binatang yang dipuasakan dianalisis gllukosa,
kolesterol, dan triascygliserol. STZ disuntikkan pada tikus menunjukan hiperglikemianay
bersamaan denagn berkurangnya berat badan. Pada dosisi 500mg/kg, jahe kasar signifikan
dalam menurunkan glukosa serum,kolesterol, dan triascygliserol pada pengobatan diabetes
tikus disbanding dengan kontrol tikus yang diabetes. Sebagai penambahan, pengobatan jahe
pada tikus dengan diabetic ini menopang awal dari berat badan selama periode perlakuan.
Selain itu, jahe juaga menurunkan penerimaan air serta pengeluaran urin pada STZ yang
diinduksikan pada tikus ang diabetes. Hasil dari percobaan in member asusi bahwa jahe
berpotensi dalam proses hipoglikemia, hipokolesterolemik, dan hipolipidemik. Sebagai
tambahan jahe menunjukan efektif dalam membalikkan proteinuria diabetes dan hilangnya
berat yang di temukan pada tikus yang diabetes. Dengan demikian, jahe mungkin dapat
mengatur pada efek komplikasi diabetes pada subjek manusia.
2. Efek tekanan darah
Dilaporkan bahwa ekstrak kasar jahe mampu menurunkan tekanan darah pada tekanan darah
arteri pada tikus yang dianastesi. Efeek yang nyata adalah menurunkan tekanan darah dengan
memblok kanal kalsium dan menihibisi reseptor muscarinik. Hal ini juga bergantung
kandungan aktifnya misal; resisten-atropin dan L-NAME-sensitif aktiif pada pembuluh darah
ketika dalam jahe mengandung (6)-,(8)-,dan(10)-gingerol bersama (6)-sogaol menunjukkan
efek ringan pada vasodilator.
3. Aktivitas Antiinflamasi dan Analgetik
Jahe mampu sebagai bahan anti-infalamasi dengan menghambat sintesisi prostlagandin
(Kiruchi dkk, 1982). Dengan konstituen gingerdioan memberikan efek farmakologi mirip
dengan obat NSAIDs pada tubuh yang telah diberi leukosit pada in-vitro(Flynn dkk, 1968).
Gingerol sangatlah aktif dalam menghambat postlagandin dan leukotrien dalam sel RBL-1,
gingerol dengan situs aktif alkil pada rantainya olebih efektif menghambat leukorien dari
pada prostlagandin (Kiuchi dkk, 1992). Jahe dengan beberapa kandungunnya efektif
menyerang sintesis sitokinin (protein yang dikeluarkan oleh sel makrofag, limfosit, dan
firoblas saat terjadi proses inflamasi) dan sekresi senyawa inflamasi dan pengeluaran
senyawa lainnya dalam proses inflamasi (Gzanna dkk, 2005). Jahe juga mampu mengatur
jalannya biokmia yang mengktifkan inflamasi kronis (Gzanna dkk, 2005). Untuk mrlihat
aktifitas jahe dalam memberi efek aktiitas sel monosit maka dilakuan kutur TPH-1 monosit
dan menujukkan ekstrak ampu menghambat beta-amiloid peptic-induced sitokinin dan
ekspresi semokin (Gzanna dkk, 2004). Pada studi in-vitr ekstrak jahe mampu menekan
inflamasi seperi artritis dengan menekan pro-inflamasi sitokinin dan cemokin yang
diproduksi oleh sinoviosit, condrosite, leukosit, jahe ditemukan secara efektif menghambat
ekspresi seokin (Phan dk, 2005)
Aksi antiinflamasi, analgesik, dan antipirtik dari ekstrak etanolik jahe diujikan pada tikus.
Ekstrak menurunkan atau mengurangi induksi karagenan pada pembengkakan kaki/tangan
dan induksi demam, tetapi tidak efektif menekan rasa sakit dari induksi asam asetat secara
intraperitoneal. Dosis tergantung inhibisi dari pelepasan prostaglandin juga dipelajari
penggunaannya pada leukosit tikus secara peritoneal. Thompson et al. (2002)
mengkonfirmasikan bahwa aksi penghambatan dari jahe pada prostaglandin yang diberikan
secara oral atau intraperitoneal dari ekstrak aie jahe (500 mg/kg) yang diberikan kepada tikus
setiap hari selama 4 minggu efektif secara signifikan menurunkan serum prostaglandin E2.
Penelitian yang baru juga melaporkan aksi anti inflamasi, analgesik, dan antipiretik ekstrak
etanol jahe pada tijus dan mencit.
Mekanisme aksi dari jahe, komponen, dan derivatnya masih terus diteliti oleh beberapa
peneliti. Gingerol dan derivatnya, khususnya (8)-paradol, telah dilaporkan lebih berpotensi
sebagai antiplatelet dan penghambatan siklooksigenase (COX-1) dibandingkan aspirin, ketika
diuji in vitro oleh Chrono Log dengan platelet darah agregometer. Peneliti ini menjelaskan
gugus fungsi karbon pada C3 ditemukan pada paradol dan seri diarylhetanoid mungkin
menyumbangkan potensinya sebagai antiplatelet dan menginhibisi COX-1. inhibisi dari asam
arakhidonat (AA) jalur cascade melalui COX-1 sistem sintesis tromboksan dengan komponen
fenolik mungkin memperjelas mekanime aksi dari jahe. Koo et al (2001) membandingkan
kemampuan gingerol dan hubungan analognya juga dengan aspirin pada penghambatan AA
menginduksi penurunan platelet manusia secara in vitro. Penggunaan pada rentang dosis yang
sama juga menunjukkan bahwa gingerol dan analognya kira-kira dua sampai tiga kali lipat
kurang berpotensi dibandingkan aspirin berlawnan dengan reaksi penurunan platelet yang
diinisiasi oleh AA, dan dua sampai empat kali lipat kurang berpotensi dibandingkan aspirin
pada penghambatan agregasi platelet yang diinduksi AA.
Trripathi et al. menguji hipotesis tentang ekstrak jahe yang diduga memilki efek
penghambatan fungsi makrofag secara in vitro dan pada laporan ini juga dijelaskan tentang
efek anti inflamasi secara in vivo. Dia juga memberikan hipotesis tentang konstituen aktif
dari jahe yaitu (6)-gingerol yang efektif sebagai substansi anti inflamasi karena menghambat
aktivasi makrofag, lebih spesifiknya pada penghambatan sitokinesis prto antiinflamasi dan
presentasi antigen oleh oleh aktivasi makrofag lipopolisakarida. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa (6)-gingerol menghambat secara selektif produksi sitokinin pro antiinflamasi dari
makrofag, tetapi tidak mempengaruhi fungsi sel yang mempresentasikan antigen atau
Antigen Presenting Cell (APC). Oleh karena itu (6)-gingerol sebagai komponen antiinflamasi
mungkin dapat digunakan untuk menyembuhkan inflamasi tanpa dicampuri dengan fungsi
presentasi antigen dari makrofag.
Pada kenyataannya tidak ada konstituen jahe yang menyebabkan efek samping pada
gastrointestinal seperti yang biasanya disebabkan oleh NSAID konvensional yang
menyebabkan penghambatan prostaglandin. Jahe juga menyenbuhkan borok pada tikus.
4. Efek Jahe Pada Gastointestinal
Tepung rimpang jahe telah lama digunakan pada pengobatan tradisional untuk meringankan
gejala penyakit pada gastrointestinal. Ekstrak aseton jahe dan konstituennya mampu
meningkatkan pengosongan lambung dari makanan pada mencit. Efektivitas dari jahe pada
emesis menjadi hiperemesis Gravidarum, motion sicknes, dan khemoterapi kanker juga
pernah dilaporkan. Jahe digunkan pada pencegahan dan penyembuhan mual dan muntah pada
manusia, tanpa efek yang signifikan pada pengosongan lambung. Peneliti menghilangkan
efek anti kolinergik sentral dari jahe, hal ini tidak mengurangi respon nistagmus untuk
vestibular dan stimulasi optokinetik. Pada tikus juga menunjukkan (6)-gingerol meningkatkan
transit gastrointestinal makanan dan kekurangan aksi ini pada manusia menyebabkan
perbedaan dosis yang digunakan. Baru-baru ini hal tersebut dijelaskan bahwa ekstrak jahe,
memilki efek agonis kolinergik secara langsung pada reseptor M3 juga efek penghambatan
pada pre sinapsis autoreseptor muskarinik, kesamaan untuk standar antagonis muskarinik.
Pada isolasi usus babi Guinea, beberapa komponen jahe (contohnya (6)-gingerol, (6)-shogaol,
dan galanolakton) menunjukkan efek anti serotonin (5-hidroksitriptamin). Hal ini mungkin
mempengaruhi aksi anti emetik beberapa jahe atau konstituennya mungkin menjadi media
sentral melalui reseptor 5-HT3, seperti konstituen yang memilki bobot molkul kecil dan
mudah melewati sawar darah otak. Pada Suncus murinus menunjukkan bahwa pemberian
peroral (6)-gingerol mencegah muntah pada respon untuk siklofosfamid, barangkali melalui
efek sentral.
Pemberian Cisplantin menyebabkan mual dan muntah pada manusia dan hewan. Ekstrak
aseton dan etanol 50% jahe secara oral dosis 25, 50, 100, dan 200 mg/Kg menunjukkan
perlindungan secara signifikan, sedangkan ekstrak air pada dosis yang sama tidak efektif
mengatasi muntah karena Cisplantin pada anjing.
Mahady et al (2003) pertama kali membuktikan konstituen aktif dari jahe (gingerol) efektif
secara in vitro melawan Heliobacter pylori, secara etiologi dihubungkan dengan dispepsia,
tukak lambung, dan berkembang pada kanker lambung dan usus besar. Hal ini selanjutnya
dibenarkan oleh Mahady et al (2005) dan Nastro et al (2006).
O”Mahony et al (2005) menguji aktivitas bakterisidal dan anti adhesiv komponen jahe dan
beberapa tanaman obat dan bahan makanan yang dapat melawan H. pylori dan menemukan
bahwa jahe paling efektif membunuh H. pylori, tetapi kemampuan menghambat adhesi pada
bakteri ini untuk daerah perut lebih rendah. Baru-baru ini, Siddaraju dan Dharmesh (2007)
melaporkan bahwa jahe yang bebas fenol dan fraksi fenolik yang telah dihidroolisis pada jahe
keduanya berpotensi menghambat aktifitas proton kalium ATPase sel perut dan pertumbuhan
H. pylori dan menjelaskan bahwa kedua fraksi dapat menyembuhkan tukak lambung dengan
harga yang relatif murah.
5. Efek Perlindungan dari Radiasi dan Jaringan
Beberapa ekstrak dan fraksi dari Zingiber officinalle masih menunjukkan perlindungan
terhadap induksi kimia pada kerusakan jaringan. Sebagai contoh fraksi Z. officinalle
ditunjukkan oleh Yemitan dan Izegbu (2006) bahwa perlakuan sebelumnya pada tikus dengan
ekstrak etanoldari rimpang jahe dan ektrak minyak dari tanaman efektif memperbaiki induksi
akut hepatotoksik dari CCl4 dan asetaminofen (parasetamol).
Efek perlindungan dari ekstrak hidroalkohol dari rimpang jahe telah dipelajari pada mencit
yang diberi ekstrak secara intraperitoneal dosis 10 mg/kg, sekali sehari selama 5 hari
berturut-turut yang sebelumnya diberi 6-12 Gy radiasi gamma dan diamati setiap hari hingga
30 hari setelah diradiasi untuk mengamati tanda-tanda sakit karena radiasi atau bahkan
kematian (Jagetioa et al., 2003). Perlindungan dari jahe mencegah kematian akibat radiasi
dilaporkan juga oleh peneliti yang sama pada publikasi berikutnya (Jagetia et al., 2004).
Praperlakuan pada mencit dengan ZOE mengurangi sakit karena radiasi dan kematian, serta
melindungi mencit dari sindrom gastrointestinal, sebaik sindrom sumsum tulang belakang.
Dosis yang mereduksi faktor dari ZOE telah ditemukan menjadi 1,15.dosis yang optimum
melindungi yaitu 10 mg/kg ZOE 1/50 dari LD 59 (500 mg/kg).
Pemberian ekstrak 1 h sebelum 2-Gy iradiasi gamma efektif menghambat respon
penghindaran sakarin setelah 5 hari perlakuan, keduanya tergantung dosis dan waktu, dengan
200 mg/kg b.w., i.p, menjadi dosis yang paling efektif. Baru-baru ini, pada kelompok yang
sama diteliti peranan ekstrak hidroalkohol jahe pada tikus dan ditentukan bahwa ektrak
berhasil melindungi tikus melawan CTA menjadi beberapa tingkatan perbandingan untuk
membandingkan obat antiemetik ondasteron dan deksametason. Mekanisme perlindungan
gastrointestinal dijelaskan dengan berbagai faktor termasuk antioksidan, mekanisme
modulasi otot dan perlindungan terhadap radiasi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa jahe
mungkin memilki aktivitas farmakologi yang dapat melindungi dan efektif mengurangi
kerusakan yang dihasilkan pada sel dan jaringan oleh radiasi ion (haksar et al., 2006)
6. Aksi Anti-oksidan Jahe
Beberapa penulis menunjukkan bahwa jahe dilengkapi dengan properti anti oksidan kuat
secara in vitro dan in vivo. Aksi anti oksidan jahe telah diajukan sebagai salah satu dari
mekanisme yang mungkin dari aksi protektif tanaman ini terhadap toksisitas dan lethalitas
radiasi (contoh : Jagetia et al, 2003; Haksar et al., 2006) dan sejumlah agen toksik seperti
karbon tetraklorida dan cisplastin (contoh : Amin dan Hamza, 2006; Yemitan dan Izegbu,
2006), dan sebagai obat anti ulkus (Siddaraju dan Dharmesh, 2007).
Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa [6]-gingerol memiliki aksi anti oksidan kuat baik itu
secara in vivo dan in vitro, sebagai tambahan terhadap aksi anti inflamasi dan anti apoptosis
(Kim et al., 2007). Hal ini membuatnya menjadi agen yang sangat efektif untuk mencegah
produksi species oksigen reaktif yang diinduksi oleh ultra violet B (UVB) dan ekspresi COX-
2 dan agen terapuetik yang mungkin melawan gangguan kulit yang diinduksi oleh UVB.

BAB V. INTERAKSI OBAT – JAHE


Beberapa interaksi obat-jahe telah dilaporkan dalam literature. Jahe tidak berinteraksi dengan
anti koagulan warfarin pada tikus atau manusia (Weidner dan Sigwart, 2000; Vaes dan
Chyka, 2000). Baru-baru ini, hal ini telah dikonfirmasikan pada suatu studi yang dilakukan
oleh Jiang et al. (2005) pada suatu penelitian teracak, tiga jalur silang (cross over), label
terbuka pada 12 orang relawan sehat. Jahe diberikan per oral dengan dosis 400 mg (tiga kali
sehari selama 1 minggu) sebelum warfarin dan dilanjutkan selama satu minggu setelahnya.
Jahe dapat mengganggu efek bermakna baik itu pada status pembekuan maupun status kinetic
dan dinamik dari warfarin.
Efek sinergetik jahe dan nifedipin sebagai anti agregasi trombosit pada relawan sehat dan
pasien hipertensi telah dipelajari di Taiwan (Young et al., 2006). Ditemukan bahwa
persentase agregasi trombosit yang diinduksi oleh kolagen, adenosine difosfat (ADP) dan
epinefrin pada pasien hipertensi lebih besar daripada orang normal. Baik itu aspirin atau jahe
dapat meningkatkan potensi efek anti agregasi trombosit dari nifedipin pada relawan normal
dan pasien hipertensi. Hal ini menunjukkkan bahwa jahe dan nifedipin memiliki efek
sinergetik sebagai anti agregasi trombosit. Telah direkomendasikan bahwa kombinasi 1g jahe
dengan 10mg nifedipin dapat berguna dalam menghilangkan komplikasi kardiovaskular dan
serebrovaskuler akibat agregasi platelet.
BAB VI. AKSI ANTI-MIKROBA JAHE

Ekstrak jahe (10 mg/kg) intra peritoneal memiliki aktivitas anti-mikroba terkait dosis
melawan Pseudomonas aeruginosa, Salmonela typhimurium, Escherichia coli dan Candida
albicans (Jagetia et al., 2003). Yin dan Change (1998) menunjukkna bahwa jahe tidak
memiliki aksi bermakna dalam melawan beberapa jamur (Aspergillus niger dan Aspergillus
flavus) secara in vitro. Namun, Ficker et al. (2003b) menemukan bahwa dari 29 ekstrak
tanaman, ekstrak jahe memiliki rentang aktivitas anti jamur paling besar yang diukur baik itu
dengan penghambatan jamur atau diameter zona inhibisi. Ekstrak jahe merupakan satu-
satunya yang aktif melawan Rhizopus sp., suatu organisme yang tidak dihambat oleh satupun
dari ekstrak tanaman lain yang diujicobakan atau oleh agen anti jamur ketokonazol atau
berberin. Dengan menggunakan isolasi yang dipandu dengan bio-assay dan identifikasi
komponen anti-jamur pada jahe, penulis yang sama (Ficker et al,, 2003a) melaporkan bahwa
[6], [8] dan [10]-ginerol dan [6]-gingerol merupakan prinsip utama anti-jamur. Komponen
tersebut aktif melawan 13 human pathogen pada konsentrasi < 1mg/ml. Kandungan gingerol
pada tanah ras Afrika paling tidak 3 kali lebih besar daripada tipe jahe komersial lainnya.
Oleh karena itu, penulis ini menyarankan bahwa ekstrak jahe distandardisasi berdasar pada
kandungan teridentifikasi yang dapat dianggap sebagai agen anti jamur untuk terapi praktis.
Iqbal et al. (2006) menyelidiki aktivitas anti-cacing pada bubuk mentah (CP) dan ekstrak cair
mentah (crude aqueous extract/CAE) dari jahe kering (1-3g/kg) pada biri-biri yang secara
alami terinfeksi dengan nematode gastrointestinal. Baik itu CP dan CAE menunjukkan efek
anti-cacing terkait dosis dan waktu dengan reduksi maksimum berturut-turut 25,6% dan
66,6% dalam telur per gram (EPG) dari feses pada hari 10 terapi. Levamisole (7,5 mg/kg),
agen anti-cacing standard pada studi ini menunjukkan reduksi EOG sebesar 99,2%. Meskipun
penulis dalam studi ini menyimpulkan bahwa jahe memiliki aktivitas anti-cacing in vivo pada
biri-biri, oleh karena itu (justifikasi penggunaan tradisional tanaman ini pada jaman dahulu
untuk kecacingan), telah jelas bahwa reduksi EPG diinduksi oleh jahe sangat kecil
dibandingkan dengan anti-cacing yang aman dan efektif yang telah tersedi

BAB VII. EFEK LAIN


Iwakasi et al. (2006) menyelidiki komponen jahe yang terlibat dalam peningkatan suhu
tubuh. Semua gingerol dan shogaol meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler pada
reseptor transient tikus potensial sel HEK293 yang mengekspresikan vailloid suptipe-1
(TRPV1) melalui TRPV1. Berkaitan dengan hal ini, shogaol lebih poten daripada gingerol.
Efek samping diinduksi oleh [6]- dan [10]
Gingerol, dan [6]-shogaol (5 mmol/l) pada tikus ketika kandungan ini diberikan pada mata.
Namun, tidak ada respon yang teramati dengan [10]-shogaol (5 dan 10 mmol/l). [10]-shogaol
menginduksi reseptor nosiseptif via TRPV1 pada tikus mengikuti injeksi subkutan ke dalam
cakar yang tersembunyi; kandungan pedas capsaisin (CAP) dan [6]-shogaol diamati memiliki
efek yang sama. Lebih lanjut lagi, sekresi katekolamin adrenal, yang memiliki efek serupa
pada konsumsi energi, ditunjukkan pada tikus terhadap [6]- dan [10]-gingerol; dan [6] dan
[10]- shogaol 91,6 μmol/kg, i.v.). Sekresi adrenal yand diinduksi oleh [10]-Shogaol dihambat
oleh pemberian capsazepin, antagonis TRPV1. Telah disimpulkan bahwa aktivitas gingerol
dan shogaol yang diaktifkan dengan TRPV1 dan peningkatan sekresi adrenalin. Secara
menarik, [10]-shogaol merupakan kandungan tidak pedas diantara gingerol dan shogaol,
menunjukkan manfaatnya sebagai kandungan fungsional pada makanan.
Paraben merupakan kelompok bahan kimia yang digunakan secara luas sebagai bahan
pengawet pada kosmetik dan industri farmasi. Kandungan tersebut, dan bentuk garamnya,
secara primer digunakan oleh karena properti anti bakteriosidal dan fungisidalnya. Mereka
dapat ditemukan pada shampo, pelembab komersial, gel untuk bercukur, gel pembersih,
lubrikan, obat topikal/parenteral, dan pasta gigi. Mereka juga digunakan sebagai pengawet
makanan. Asnani dan Verma (2006) melaporkan bahwa ekstrak jahe yang memadai memiliki
efek amelioratif sitotoksisitas yang diinduksi oleh paraben (p-hydroxyebzoic azid) pada
eritrosit sehat manusia secara in vitro. Paraben terhadap suspensi RBC menyebabkan
peningkatan bermakna pada kecepatan hemolisis. Namun, tambahan konkuren paraben (150
μg/ml) dan ekstrak jahe menyebabkan retardasi terkait konsentrasi pada hemolisis yang
diinduksi oleh paraben. Yang lebih terbaru, Verma dan Asnani (2007) mengevaluasi efek
paraben (p-hydroxyebzoic azid) pada kandungan protein asam, basa dan netral, seperti halnya
karbohidrat dan kolesterol pada hati dan ginjal tikus. Mereka telah menemukan bahwa
pemberian ekstrak Z.officinale cair per oral (3mg/hewan/hari) bersama dengan paraben
selama 30 hari menyebabkan ameliorasi bermakna pada semua tipe protein, karbohidrat dan
kolesterol pada hati dan ginjal.
Pada paper terbaru, Tripathi et al (in press) menuliskan hasil yang belum terpublikasi yang
menunjukkan bahwa jahe memperpanjang survival alograft jantung tikus secara in vivo dna
menghambat beberapa fungsi makrofag in vitro.
Alkanon fenolik 6-gingerol dan kandungan 6-shogaol mereduksi sel kanker gaster melalui
mekanisme berbeda (Ishiguro et al., in press). Yang dulunya mempengaruhi viabilitas sel
kanker secara ringan, sedangkan kemudian memiliki efek inhibisi bermakna dengan merusak
mikrotubulus dan menginduksi mitotic arrest.

BAB VIII. EFEK SAMPING YANG TIDAK DIKEHENDAKI DARI JAHE


1. Efek pada Pembekuan darah
Pada ekstrak platelet memberikan efek platelet pad Trmboksin-2 (TBX-2) dan prostladandin-
E2 (PGE2), dengan pemberian setiap hari pada tikus selama 4 minggu abik secara oral
ataupun i.p. dosis 50 mg/kg pada ip tidak memberikan pengurangan yang siknifikan terhadap
TBX-2, akan tetapi secara signifikan mengubah PGE2 pada dosis yang sama. Pada dosis
yang tinggi 500 mmg/kg efektif mengurangi kadar PGE2 dalam serum baik secara oral atau
ip. Untuk TBX-2 hanya menurun ketika dberikan secara oral saja.
Dalam review yang lain dengan judul ” Manfaat, Efek Samping Dan Interaksi Obat pada
Terapi Herbal Dengan Efek Kardivaskuler” oleh Geogianne dkk New York, 2002
menyebutkan jahe mmberikan efek samping berupa gangguan fungsi platelet dan
menyebabkan hipertensi. Bubuk jahe kering sejumlah 500-1000 mg, atau jahe segar. 2-4
gram biasanya digunakan untuk anti mual. Jahe yang dikatakan mampu memberikan efek
vitalitas jantung dan darah ini mampu mengurangi agregasi platelet dan menghambat sintesis
tromoksin pada penelitian secara in-vitro. in-vitro aktivitas antiplatelet berbeda berdasarkan
bentuknya ( kering, menta, sudah dimasak atau ekstrak). Studi klinik, menggunaan materi
mentah,sudah dimasak, ataupun jahe kering tidak menunjukkan pengeluaran darah agregasi
platelet atau produksi trombosit. Jadi jahe ini mampu menghambat penjendalan darah
sehingga penggunaannya haruslah hati-hati.
2. Efek Hipertensi
Kandungan yang diisolasi sperti gingerol dan sogaol positif memberikan efek inotropik dan
tekanan. Dari sinilah efek saping hipertensi tersebut muncul.
3. Hipotesis keamanan pada wanita hamil
Untuk wanita hamil menjadi sengat berhati-hati apalagi pada masa kehamilan awal karena
jahe mampu menghambat ikatan testosteron dengan janin (hipotesis). Beberapa efek samping
dari jahe telah dilaporkan pada tikus yang hamil (Wilkinson, 2000). Teh jahe (15g/l, 20g/l
atau 50 g/l) telah diberikan pada botol minuman tikus Sprague-Dawley yang hamil pada
umur kehamilan 6 hari berturut-turut sampai hari ke-15 dan mereka dibunuh pada hari ke-20.
Tidak ada toksisitas maternal yang teramati, namun kematian embrionik pada kelompok
terapi berlipat ganda daripada kontrol. Tidak ada malformasi morfologi besar yang teramati
pada fetus yang diterapi. Fetus diekspos dengan teh jahe secara bermakna lebih berat
daripada kontrol, sebuah efek yang lebih besar pada fetus betina dan tidak berkaitan dengan
peningkatan ukuran plasenta. Fetus yang diterapi juga memiliki perkembangan skeletal
seperti yang ditentukan denan pengukuran pusat penulangan sternum dan metakarpal. Hasil
dari studi ini menunjukkan bahwa paparan in utero terhadap teh jahe memberikan hasil
peningkatan matinya embrio dini dengan peningkatan pertumbuhan dalam harapan hidup
fetus (Wilkinson, 2000). Meskipun teh juga diajukan sebagai obat alternatif yang aman dan
efektif terhadap anti-emetik konvensional (Boone dan Shields, 2005), hal ini mungkin secara
nyata digunakan untuk mencegah pemberian jahe atau komponen yang diekstrak darinya
selama kehamilan (Marcus dan Snodgrass, 2005).
4. Efek minor lainnya
Beberapa efek samping minor dapat berkaitan dengan penggunaan jahe untuk manusia. Pada
satu percobaan klinik yang melibatkan 12 orang relawan sehat yang menerima jahe per oral
pada dosis 400 mg jahe (3 kali sehari selama 2 minggu), satu subjek pada studi ini dilaporkan
mengalami diare ringan selama dua hari pertama pemberian jahe pra-terapi. Jahe mungkin
menyebabkan heartburn, dan pada dosis yang lebih tinggi dari 6 g dapat beraksi sebagai iritan
lambung. Inhalasi dari debu jahe mungkin dapat memproduksi alergi yang dimediasi oleh IgE
(Chrubasik et al., 2005)

IX. TOKSIKOLOGI JAHE


Jahe secara umum dianggap sebagai obat herbal yang aman (Weidner dan Sigwart, 2000).
Ekstrak jahe yang paten EV.EXT 33 diberikan per oral gavage pada konsentrasi 100, 333 dan
1.000 mg/kg, ke dalam tiga grup dari 22 tikus betina yang hamil dari hari ke-6 hingga ke-15
gestasi. Sebagai perbandingan, kelompok keempat menerima kendaraan, minyak sesame.
Berat badan dan intake makanan dan cairan dicatat selama periode terapi. Tikus dibunuh pada
hari ke-21 kehamilan dan diperiksa dengan parameter standard reproduksi. Fetus diperiksa
untuk melihat tanda efek teratogenik dan toksik. Preparasi jahe ditoleransi secara baik. Tidak
ada kematian atau efek samping terkait terapi yang teramati. Peningkatan berat badan dan
konsumsi makanan semua kelompok hampir sama selama masa kehamilan. Penampilan
reproduksi tidak dipengaruhi oleh terapi jahe. Pemeriksaan fetus untuk perubahan eksternal,
visceral dan skeletal tidak menunjukkan adanya efek embriotoksik atau teratogenik dari
preparasi jahe. Berdasarkan hasil ini, disimpulkan bahwa preparasi jahe EV.EXT 33 ketika
diberikan pada tikus hamil selama periode organogenesis, menyebabkan baik itu toksisitas
maternal atau perkembangan pada dosis harian hingga 1.000 mg/kg BB (Weidner dan
Sigwart, 2001).

X. KESIMPULAN
Review terbaru berusaha untuk mendokumentasikan dan memberikan komentar terhadap
publikasi yang menunjukkan jahe dan konstituen jahe selama 10 tahun terakhir atau
sebelumnya. Paper yang direview ini menyediakan contoh lain bagaimana hal ini mungkin
dapat menjelaskan aksi obat jaman dahulu dalam hal biokimia dan farmasi konvensional.
Jahe dan konstituen kimianya memiliki aksi anti-oksidan kuat. Karena beberapa penyakit
metabolik dan gangguan degeneratif terkait usia berkaitan erat dengan proses oksidatif pada
tubuh, penggunaan jahe atau satu konstituennya atau lebih sebagai sumber anti oksidan untuk
menghancurkan oksidasi menjadi perhatian lebih lanjut. Jahe dan banyak dari konstituen
kimianya telah ditunjukkan pada sejumlah studi klinik, bermanfaat dalam menghilangkan
muntah paska operasi dan muntah pada kehamilan. Hal ini mungkin berguna dalam
investigasi efek jahe untuk muntah selama kemoterapi kanker, sebagai obat mentah dan
konstituennya telah menunjukkan anti kanker. Beberapa studi juga diperlukan pada kinetuk
jahe dan konstituennya dan efek pada konsumsi berlebihan pada periode lama. Jahe dianggap
sebagai obat herbal yang aman dengan efek samping sedikit saja dan tidak bermakna.
Percobaan lebih lanjut pada manusia diperlukan untuk menentukan efikasi jahe (atau satu
atau lebih dari konstituennya) dan untuk menegakkan sesuatu, jika ada, efek samping yang
teramati. Namun, percobaan klinis double-blind sulit untuk dilakkan karena rasa dan bau jahe
sangat menyengat.
Dari hasil pengamatan keamanan dari jahe sendiri tidak begitu signifikan. Adapun efek
samping yang mungkin timbul adalah gangguan pembekuan darah, hipertensi, gangguan saat
kehamilan awal, dan bebapa efek minor lainnya seperti diare ringan,heartburn, iritan lambung
serta inhalasi dari debu jahe mungkin dapat memproduksi alergi yang dimediasi oleh IgE.

Referensi
H. Ali Badreldin, Blunden, Tanira M, Nemmer, 2007, Some Phytochemical,
Pharmacological, and Toxikological Properties of Ginger (Zingiberaceae Officinaleae
Roscoe): A Review Of Rcent Research. Sience direct, elsevier
Valli G, V Grace-Elsa, Giardina, 2002, Benefit, Adverse Effect And Drugs Interactions of
Herbal Therapies with Cardivarcular Effect. New-York

‘’’’’’’’’’’’’’\

Jahe Kurangi Gejala Mual Muntah Ibu Hamil di Pagi Hari


Vera Farah Bararah - detikHealth

Sabtu, 14/05/2011 10:05 WIB

Info Penyakit Info Obat

Aneurisma Aorta Abdominalis

 Deskripsi
 Penyebab
 Gejala
 Pengobatan

Amnesia
 Deskripsi
 Penyebab
 Gejala
 Pengobatan

Alkoholik

 Deskripsi
 Penyebab
 Gejala
 Pengobatan

(Foto: thinkstock)
Berita Lainnya

 Telat Penuhi Gizi Anak di Usia Emas? Ini Langkah Berikutnya


 2 Bocah Kembar Ini Lahir Prematur dengan Jarak 14 Hari
 Studi: Makin Banyak Pernikahan Dini, Kematian Ibu dan Bayi Meningkat
 ASI Eksklusif Selama 6 Bulan Bisa Cegah Anak jadi Hiperaktif
 Ini Dia 10 Negara Paling Ramah Ibu

Jakarta, Gejala mual dan muntah di pagi hari atau morning sickness biasa dialami oleh ibu hamil usia
di bawah 6 bulan. Untuk mengurangi gejalanya bisa dengan makan atau minum yang mengandung
jahe.

Sebuah studi menemukan bahwa jahe bisa efektif mengurangi morning sickness. Jahe selama ini
memiliki sejarah yang panjang sebagai obat untuk sakit perut. Hal ini karena kandungan senyawa
aktif 6-gingerol yang diketahui bisa membantu mengendurkan otot gastrointestinal.

Penelitian lain telah menunjukkan bahwa pil jahe atau jahe segar bisa meringankan gejala mabuk
laut atau bentuk lain dari mual-mual. Ternyata jahe juga bisa membantu mengurangi morning
sickness pada ibu hamil.

Sebuah kajian penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Obstetrics & Gynecology menemukan bahwa
jahe lebih efektif dalam mengontrol mual dan muntah dibandingkan dengan plasebo, seperti dikutip
dari Medicalnewstoday, Sabtu (14/5/2011).

Jahe cukup efektif pada ibu hamil yang memiliki bentuk morning sickness parah atau biasa disebut
dengan hyperemesis gravidarum.

Jahe yang dapat dikonsumsi oleh ibu hamil untuk mengurangi kondisi morning sicknessnya bisa
dalam berbagai bentuk seperti teh jahe, minuman jahe, permen atau biskuit.

Meski begitu jika ibu hamil mengalami efek samping seperti sakit kepala, mulas atau diare setelah
mengonsumsi jahe, sebaiknya hentikan konsumsi jahe dan cobalah berkonsultasi dengan dokter
kandungan.

Hingga saat ini memang belum ditemukan obat yang benar-benar mujarab untuk mengatasi morning
sickness, dikarenakan belum ditemukannya penyebab pasti dari kondisi ini. Diduga perubahan
hormonal berkaitan erat dengan kondisi ini meskipun mekanisme pastinya belum terungkap.

Salah satu bentuk morning sickness adalah hyperemesis gravidarum, yaitu suatu kondisi yang
melibatkan mual dan muntah sebelum usia kehamilan mencapai 22 minggu. Pada kasus yang berat
bisa menyebabkan penurunan berat badan.

Lebih dari 2 persen perempuan hamil mengalami hal ini dan menjadi penyebab
umum ibu hamil dirawat di rumah sakit.

http://health.detik.com/read/2011/05/14/100514/1639685/764/jahe-kurangi-gejala-mual-
muntah-ibu-hamil-di-pagi-hari?ld991103763
‘’’’’’’’’’’’’’’’’’’’
PERBEDAAN GEJALA HIPEREMESIS GRAVIDARUM RINGAN SEBELUM DAN SESUDAH DIBERIKAN
MINUMAN JAHE DI WILAYAH DESA GUNEM KECAMATAN GUNEM KABUPATEN REMBANG

Anda mungkin juga menyukai