com/2010/08/studi-efek-samping-
jahe-zingiberaceae.html
Minggu, 22 Agustus 2010
Studi Efek Samping Jahe (Zingiberaceae Officinaleae Roscoe) pada dosis
terapi
BAB I. PENDAHULUAN
Jahe (Zingiber officinale Roscoe, Zingiberaceae) adalah tumbuhan obat yang secara luas
digunakan sebagai pengobatan herbal China, Ayurveda, Tibunnani, serta di seluruh dunia.
Jahe telah luas digunakan di seluruh dunia sebagai makanan atau bumbu. Sejak jaman dahulu
secara luas digunakan dalam pengaturan penyakit seperti arthriris, reumathsm, kesleo, sakit
otot, sakit pinggang, sakit tenggorokan, kram, konstipasi, pencernaan, mual, hipertensi,
dimensia, demam, infeksi, dan penyakit cacingan.
Akhir-akhir ini penelitian terhadap jahe telah berubah dan beberapa peneliti telah melakukan
penelitian dengan tujuan mengisolsi dan mengidentifikasi senyawa aktif yang terdapat dalam
jahe. Penelitian ini dimaksudkan untuk dilaukan pembuktian terhadap aksi farmakologi dan
didasarkan kandungan aktifnya serta membuktikan dalam penyakit dan kondisi terentu.
Inti dari aksi farmakologi dari jahe dan hubungan dengan kandungan aktifnya adalah
immonomoduator, aksi tumor, antinflamasi, antiapoposis, antihiperglikemi, antilipedemia,
dan anti emetikum. Jahe adalah anti-oksidan kuat dapat mengurangi atau mencegah dari
senyawa radikal bebas. Dengan pertimbangan sebagai obat herbal yang aman dengan sedikit
atau efek samping yang tidak siqnifikan. Akan tetapi perlu kemudian kajian lebih lanjut serta
penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pernyataan tersebut. dikatakan bahwa tidak ada
satupun obat walaupun bahan alam yang aman dalam mengkonsumsinya karena jahe juga
terdiri dari senyawa kimia yang memberikan efek positif atau efek yang tidak diinginkan
dalam tubuh.
Untuk mempelajari jahe ini dilakukan pengujian terhadap hewan uji seta manusia dengan
analiasis kinetika, dan efek dengan mengkonsumsi jahe dalam jangka waktu tertentu.
Konstituen dari jahe ini sangat bergantung dari tempat tanam serta kondisi rizome dalam
kondisi basah atau kering. Tidak semua kandungan kimia dilaparkan dalam review yang
berjudul beberapa “Fitokimia, Farmakologi dan Toksikologi Dari Jahe (Zingiber officinale
Roscoe) : Review dari Penelitian Akhir-Akhir Ini (Badreldin dkk, 2007), lebih diprioritaskan
pada komponen mayor yang berperan dalam aksi farmakologi yang diperoleh dari ekstrak
kasar.
Bau dari jahe ini bergantung dari kandungan minyak atsiri yang pada pemanenan biasanya
berkisar antara 1% dan 3%. Lebih dari 50 komponen minyak atsiri yang memiliki karakter
yang bervariasi dan biasanya adala monoterpenoids (β-phellandrene, (+)-champhene, sineol,
geraniol, curcumin, sitral, terpineol, borneol) dan sesquiterpen (α- Zingiberance 30-70%, β-
sesquiphellandrin 15-20%, β-bisabolene 10-15%, E-E-α-farnesene, ar-kurkumin,
zingiberazol). Beberapa komponen minyak sedikait berbau ketika diambil dari jahe yang
kering (Langner et al, 1998; Evans, 2002).
Ketajaman bau dari jahe ini dipengaruhi oleh gingerol yang merupakan homolog dari fenol.
Kebanyakan yang melimpah adalah (6)gingerol walaupun didapatkan dalam kuantitas yang
kecil dari gingerol yang lain dengan perbedaan pada panjang rantainya. Rasa pedas pada jahe
dipengaruhi oleh keberadaan sogaol sebagai contoh (6) sogaol yang merupakan dehidrasi dari
gingerol. Sogaol terbentuk dari perubahan bentuk sogaol slam proses pemanasan (Wohlmuth
et al., 2005). Degradasi (6) gingerol menjadi (6) sogaol ditentukan oleh pH pada media
dengan suhu 100 °C dan pH 1. Degradasi yang berulang dapat terjadi (Bhattarai et al., 2001)
Degradaasi panas dari gingerol menjadi gingerone, shogaol, dan kandungan lain yang mirip
dipublikasikan oleh Jolad et al (2004).
Jolad et al (2004) meneliti kandungan dari organ tumbuh (rizoma) dari jahe segar dan
mengidentifikasi 63 komponen dengan 31 komponen telah dilaporkan sebagai konstituen dari
jahe dan 20 komponen yang tersembunyi adalah komponen yang tidak diketahui. Komponen
yang diidentifikasi adalah gingerol. Sogaol, 3-dehidrosogaol, paradols, dihidroparadols, asetil
derivate dari gingerol, gigerdiol, mono- dan di- asetil derivate dari gingerdiol, 1-
dehidrogigerdion, diarileptanoid, dan metil eter derivate dari beberapa komponenini. Denagn
tambahan (6) gingerol, (4), (7), (8), dan (10)gingerol yang telah teridentifikasi, seperti juga
metil (4) gingerol, metil (8) gingerol (4),(6), (8), (10) dan (12)- sogaol, metil (4)-., metil (6)-
dan metal (8)- sogaol. Paradol dan 5-dioksigingerol. (6)- paradol, (6)-, (7)-, (8)-,(9)-,(10)-,
(11)-, dan (13)- paradol telah dideteksi pada jahe segar.
Jolad et al (2004) juga juga menguji pada jahe kering menggunakan teknik yang sama pada
studinya baru-baru ini (2004. Mereka mengidentifiakasi 115 komponen dengan 88 komponne
yang telah dipublikasikan. 45 sari komponen itu sam seperti pada jahe segar, dan 31 lainnya
merupakan kompnen yang baru, seperti metil (8)-paradol, metal (6)-isogingerol dan (6)-
isosogaol. 12 yang lain diisolasi oleh orang yang berbeda. (6)-,(8)-,(10)-,dan (12)gingerdion
telah dideteksi. Konsentrasi gingerol dalam jahe kering telah tereduksi disbanding dengan
jahe segar, akan tetapi kandungan sogaolnya meningkat.
Diareleptanoids berada pada jahe kering ataupun basah. Ma et al (2004) melaporkan 7
Diareleptanoids yang sebelumnya tidak diketahui dari ekstrak etanol jahe China lebih dari 25
komponen telah diketahui, termasuk didalamnya Diareleptanoids. Sebaga contoh 1 yang telah
dilaporkan adalah (3S, 5S)-3,5-diacetoksi-1,7-bis (4-hidroksi-3-metoksifenil)hepan. Wei et al
(2005) melaporkan ativitas sitotoksik dan apoptosis yang signifiakan menyerang sel human
promiyelocytic leukemia dari kandungan jahe, seperti Diareleptanoids dan komponen
gingerol. Mereka menunjukkan struktur kimia signifiakan mempercepat aktifitas:
1. Kelompok asetosil pada posisi rantai 3 dan/atau 5
2. Pemanjangan rantai pada situs alkil
3. Gugus fungsi orto-diphenosil pada cincin aromatic.
4. α,β- unsaturasi moiety keton pada cincin
untuk analisis kandungan mayor jahe (6)-,(8)-, (10)-gingerol dan (6) sogaol pada produk
suplemen, bumbu, teh, dan keuntangan lain dalam sediaan obat, pada HPLC telah
dipublikasikan oleh Schwertner dan Rios.
Setelah bolus sudah masuk dalam intravena dengan dosis 3 mg/kg (6)-gingerol, kurva
konsentrasi dalam plasma dibanding dengan waktu menunjukkan model dua kompartemen
terbuka. (6)-gingerol dikeluakan dalam plasma dengan waktu paro 7.23 menit dan total
Clearen dari tubuh adalah 16.8 ml/menit/kg. Protein serum berikatan (6)-gingerol dengan
presentasi 92.4% (Ding et al, 1991). Pada kelompok studi yang sama pada kinetika tikus
dengan percobaan hepatic akut atau gangguan ginjal (Naora et al, 1992) dan diidentfikasi
tidak ada perbedaan yang siknifikan terlihat pada urva waktu-konsentrasi plasma atau
parameter farmakoknetik lainnya dibandingkan dengan kontrol dan nephrektomize. Hal ini
memberi pertanda oleh karena itu, ekskresi ginjal tidak memberikan kontribusi terhadap
hilangnya (6)-gingerol dari plasma tikus. Ha ini berkebalikan dengan toksisitas hepar,
mengakibatkan peningkatan kadar (6)-gingerol dalam plasma pada pase terminal. Waktu paro
eliminasi meningkat signifikan dari 8.5 menjadi 11.0 menit., pada tikus dengan kerusakan
hati. Semakin panjangnya waktu ikatan (6)-gingerol dengan protein seru lebih dari 90% dan
efek menjadi kecil karena ketoksikannya. Aspek ini mengindikasikan bahwa (6)-gingerol
bahwa liminasinya sebagian besar melewati hepar.
Penurunan metabolit dari S-(+)-(6)-gingerol, mayoritas dari pedasnya jahe, diidentifikasi
secara in-vitro dengan induksi phenobarbabital pada hati tikus 10.000 gram dalam bentuk
superntan yang mengandung NADPH-pembangkit sistem (Surh dan Lec, 1994). Penurunan
diperlihatkan secara stereo-spesifik. Produk ekstrak etil asetat didisolasi dan dua
metabolismenya diidentifikasi sebagai diasteromer dari (6)-gingerol oleh kromatografy
gas/spektrometri massa. Penulis sebelumnya memperlihatkan (6)-gingerol sebagai zat pedas
dari jahe yang direduksi pada hati tikus secar in-vitro. Metabolit ekstrak etil asetat yaitu
sogaol telah diisolasi. Dibentuk dengan inkubasi pada alfanya, keton beta-saturasi dengan
fraksi citosolic hati tikus yang telah dfortifikasi dengan NADPH- atau NADPH-pembangkit
sistem: dua bagian besar metabolit yang teridentifikasi adalah 1-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-
deksa-3-one(6- paradol))dan 1-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-deksa-3-ol (reduksi 6- paradol). 1-
(4-hidroksi-3-metoksifenil)-deksa-3-one (dehidoparardol), bukan merupakan analog zat
padas sogaol, yang dibentuk dari metabolism yang sama , dari (6)-sogaol dibawah kondisi
inkubasi yang sama. (6)-paradol muncul pada intermeidet reduksi metabolit alfa, beta-
unsaturasi keton pada separuh sogaol yang disaturasi oleh alcohol (Surh dan Lec, 1994).
Aktivitas farmakologi pada metabolite yang diisolasi tidak terkarakterisasi.
Akhir-akhir ini, dilaporkan bahwa (6)-gingerol ktika diinkubasi dengan NADPH-fertilified
mikrosome hati tikus memberikan kenaikan metabolit menjadi delapan, hasil identifikasi
dengan kromatografy gas –spektrometri massa (GC-MS) menganalisa dua produk
hidroksilasi aromatic, serta diasteromer dua hidroksilasi alifatik produk diastereomer (6)-
gingerdiol. Mikrosom hepar dari tikus dan manusia, dipertahankan dengan UDPGA,
glusuronidasi (6)-gingerol yang didominasi oleh kelompok hidroksil fenolik, tapi jumlah
yang kecil dari monoglukuronide kedua menyertai kelompok hidroksi alifatik juga
diidentifikasi oleh analisis Kromatografi cair-spektrometri massa/spektrometri massa (LC-
S/MS). Mikrosome pencernaan manusia dibentuk dari glusuronide fenolik supersoma yang
terdiri dari UGTIAI manusia dan IA3 terpisah dari glukoronide fenolik, dengan aktifitas yang
kecil, dimana UGTIA9 mengkatalis dengan spesifik formasi dari glukoronide alkoilik, dan
UGT2B7 adalah predominan formasi dari gukorunide fenolik yang aktivitasnya tinggi. Studi
ini menggambarkan kompleknya metabolism (6)-gingerol, yang direkam oleh penulis, yang
seharusnya mempertibangkan aktivitas biologi yang multiple dari komponen ini (Pfeiffer et al
2006).
Metabolism lemak, dari (6)-gingerol telah diteliti pada tikus oleh Nakazawa dan Ohsawa
(2002). Empedu tikus bahwa pada oral administrasi (6)-gingerol diperlihatkan dalam analisis
HPLC yang mengandung metabolit mayor (S)-(6)-gingerol-4’-O-β-gluoronide. Walapun
metabolit diperoleh dari (6)-gingerol tidak ditemukan dalam urin, ektrak etil asetat dari urin,
setelah menglami hidrolisis enzimatik, menunjukkan enam metabolit minor (vanilic acid,
asam ferulic, (S)-(+)-4-hidroksi-6-oxo-8-(4-hidroksi-3-metoksifenil) asam butanoic, 9-
hidroksi (6)-gingerol dan (S)-(+)-(6)-gingerol totl ekskresi seluruh metabolit baik mayor dari
empedu dan enam minor melalui urin selama 60 jam setelah adanya aministrasion oral dari
(6)-gingerol kira-kira 48% dan 16% dari dosis, secara berturut-turut. Ekskresi dari enam
meabolit minor di dalam urin menurun tajam setelah sterilisasi usus, mungkin karena
keterlibatan flora normal di dalam metabolime. Di lain hal, inkubasi (6)-gingerol dengan
hepar tikus menunjukkan adanya dari 9-hidroksi (6)-gingerol, gingerdiol, dan (S)- (6)-
gingerol-4’-O-β-gluoronide. Hal ini mengindikasikan bahwa flora normal serta enzim dalam
hati, meberikan pengaruh besar terhadap metabollime dari (6)-gingerol.
Ekstrak jahe (10 mg/kg) intra peritoneal memiliki aktivitas anti-mikroba terkait dosis
melawan Pseudomonas aeruginosa, Salmonela typhimurium, Escherichia coli dan Candida
albicans (Jagetia et al., 2003). Yin dan Change (1998) menunjukkna bahwa jahe tidak
memiliki aksi bermakna dalam melawan beberapa jamur (Aspergillus niger dan Aspergillus
flavus) secara in vitro. Namun, Ficker et al. (2003b) menemukan bahwa dari 29 ekstrak
tanaman, ekstrak jahe memiliki rentang aktivitas anti jamur paling besar yang diukur baik itu
dengan penghambatan jamur atau diameter zona inhibisi. Ekstrak jahe merupakan satu-
satunya yang aktif melawan Rhizopus sp., suatu organisme yang tidak dihambat oleh satupun
dari ekstrak tanaman lain yang diujicobakan atau oleh agen anti jamur ketokonazol atau
berberin. Dengan menggunakan isolasi yang dipandu dengan bio-assay dan identifikasi
komponen anti-jamur pada jahe, penulis yang sama (Ficker et al,, 2003a) melaporkan bahwa
[6], [8] dan [10]-ginerol dan [6]-gingerol merupakan prinsip utama anti-jamur. Komponen
tersebut aktif melawan 13 human pathogen pada konsentrasi < 1mg/ml. Kandungan gingerol
pada tanah ras Afrika paling tidak 3 kali lebih besar daripada tipe jahe komersial lainnya.
Oleh karena itu, penulis ini menyarankan bahwa ekstrak jahe distandardisasi berdasar pada
kandungan teridentifikasi yang dapat dianggap sebagai agen anti jamur untuk terapi praktis.
Iqbal et al. (2006) menyelidiki aktivitas anti-cacing pada bubuk mentah (CP) dan ekstrak cair
mentah (crude aqueous extract/CAE) dari jahe kering (1-3g/kg) pada biri-biri yang secara
alami terinfeksi dengan nematode gastrointestinal. Baik itu CP dan CAE menunjukkan efek
anti-cacing terkait dosis dan waktu dengan reduksi maksimum berturut-turut 25,6% dan
66,6% dalam telur per gram (EPG) dari feses pada hari 10 terapi. Levamisole (7,5 mg/kg),
agen anti-cacing standard pada studi ini menunjukkan reduksi EOG sebesar 99,2%. Meskipun
penulis dalam studi ini menyimpulkan bahwa jahe memiliki aktivitas anti-cacing in vivo pada
biri-biri, oleh karena itu (justifikasi penggunaan tradisional tanaman ini pada jaman dahulu
untuk kecacingan), telah jelas bahwa reduksi EPG diinduksi oleh jahe sangat kecil
dibandingkan dengan anti-cacing yang aman dan efektif yang telah tersedi
X. KESIMPULAN
Review terbaru berusaha untuk mendokumentasikan dan memberikan komentar terhadap
publikasi yang menunjukkan jahe dan konstituen jahe selama 10 tahun terakhir atau
sebelumnya. Paper yang direview ini menyediakan contoh lain bagaimana hal ini mungkin
dapat menjelaskan aksi obat jaman dahulu dalam hal biokimia dan farmasi konvensional.
Jahe dan konstituen kimianya memiliki aksi anti-oksidan kuat. Karena beberapa penyakit
metabolik dan gangguan degeneratif terkait usia berkaitan erat dengan proses oksidatif pada
tubuh, penggunaan jahe atau satu konstituennya atau lebih sebagai sumber anti oksidan untuk
menghancurkan oksidasi menjadi perhatian lebih lanjut. Jahe dan banyak dari konstituen
kimianya telah ditunjukkan pada sejumlah studi klinik, bermanfaat dalam menghilangkan
muntah paska operasi dan muntah pada kehamilan. Hal ini mungkin berguna dalam
investigasi efek jahe untuk muntah selama kemoterapi kanker, sebagai obat mentah dan
konstituennya telah menunjukkan anti kanker. Beberapa studi juga diperlukan pada kinetuk
jahe dan konstituennya dan efek pada konsumsi berlebihan pada periode lama. Jahe dianggap
sebagai obat herbal yang aman dengan efek samping sedikit saja dan tidak bermakna.
Percobaan lebih lanjut pada manusia diperlukan untuk menentukan efikasi jahe (atau satu
atau lebih dari konstituennya) dan untuk menegakkan sesuatu, jika ada, efek samping yang
teramati. Namun, percobaan klinis double-blind sulit untuk dilakkan karena rasa dan bau jahe
sangat menyengat.
Dari hasil pengamatan keamanan dari jahe sendiri tidak begitu signifikan. Adapun efek
samping yang mungkin timbul adalah gangguan pembekuan darah, hipertensi, gangguan saat
kehamilan awal, dan bebapa efek minor lainnya seperti diare ringan,heartburn, iritan lambung
serta inhalasi dari debu jahe mungkin dapat memproduksi alergi yang dimediasi oleh IgE.
Referensi
H. Ali Badreldin, Blunden, Tanira M, Nemmer, 2007, Some Phytochemical,
Pharmacological, and Toxikological Properties of Ginger (Zingiberaceae Officinaleae
Roscoe): A Review Of Rcent Research. Sience direct, elsevier
Valli G, V Grace-Elsa, Giardina, 2002, Benefit, Adverse Effect And Drugs Interactions of
Herbal Therapies with Cardivarcular Effect. New-York
‘’’’’’’’’’’’’’\
Deskripsi
Penyebab
Gejala
Pengobatan
Amnesia
Deskripsi
Penyebab
Gejala
Pengobatan
Alkoholik
Deskripsi
Penyebab
Gejala
Pengobatan
(Foto: thinkstock)
Berita Lainnya
Jakarta, Gejala mual dan muntah di pagi hari atau morning sickness biasa dialami oleh ibu hamil usia
di bawah 6 bulan. Untuk mengurangi gejalanya bisa dengan makan atau minum yang mengandung
jahe.
Sebuah studi menemukan bahwa jahe bisa efektif mengurangi morning sickness. Jahe selama ini
memiliki sejarah yang panjang sebagai obat untuk sakit perut. Hal ini karena kandungan senyawa
aktif 6-gingerol yang diketahui bisa membantu mengendurkan otot gastrointestinal.
Penelitian lain telah menunjukkan bahwa pil jahe atau jahe segar bisa meringankan gejala mabuk
laut atau bentuk lain dari mual-mual. Ternyata jahe juga bisa membantu mengurangi morning
sickness pada ibu hamil.
Sebuah kajian penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Obstetrics & Gynecology menemukan bahwa
jahe lebih efektif dalam mengontrol mual dan muntah dibandingkan dengan plasebo, seperti dikutip
dari Medicalnewstoday, Sabtu (14/5/2011).
Jahe cukup efektif pada ibu hamil yang memiliki bentuk morning sickness parah atau biasa disebut
dengan hyperemesis gravidarum.
Jahe yang dapat dikonsumsi oleh ibu hamil untuk mengurangi kondisi morning sicknessnya bisa
dalam berbagai bentuk seperti teh jahe, minuman jahe, permen atau biskuit.
Meski begitu jika ibu hamil mengalami efek samping seperti sakit kepala, mulas atau diare setelah
mengonsumsi jahe, sebaiknya hentikan konsumsi jahe dan cobalah berkonsultasi dengan dokter
kandungan.
Hingga saat ini memang belum ditemukan obat yang benar-benar mujarab untuk mengatasi morning
sickness, dikarenakan belum ditemukannya penyebab pasti dari kondisi ini. Diduga perubahan
hormonal berkaitan erat dengan kondisi ini meskipun mekanisme pastinya belum terungkap.
Salah satu bentuk morning sickness adalah hyperemesis gravidarum, yaitu suatu kondisi yang
melibatkan mual dan muntah sebelum usia kehamilan mencapai 22 minggu. Pada kasus yang berat
bisa menyebabkan penurunan berat badan.
Lebih dari 2 persen perempuan hamil mengalami hal ini dan menjadi penyebab
umum ibu hamil dirawat di rumah sakit.
http://health.detik.com/read/2011/05/14/100514/1639685/764/jahe-kurangi-gejala-mual-
muntah-ibu-hamil-di-pagi-hari?ld991103763
‘’’’’’’’’’’’’’’’’’’’
PERBEDAAN GEJALA HIPEREMESIS GRAVIDARUM RINGAN SEBELUM DAN SESUDAH DIBERIKAN
MINUMAN JAHE DI WILAYAH DESA GUNEM KECAMATAN GUNEM KABUPATEN REMBANG